You are on page 1of 13

V.

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN


Minyak dan lemak termasuk salah satu anggota golongan lipid yaitu lipid
netral. Lemak dan minyak sebagai bahan pangan dibagi menjadi dua golongan
yaitu: 1) lemak yang siap dikonsumsi tanpa dimasak (edible fat consumed
uncooked) misalnya mentega, mandarin serta lemak yang digunakan dalam
kembang gula, dan 2) lemak yang dimasak bersama bahan pangan, atau dijadikan
sebagai medium penghantar panas dalam memasak bahan pangan misalnya
minyak goreng, shortening, dan lemak babi.
Minyak dan lemak jika dipisahkan dari jaringan asalnya mengandung
sejumlah kecil komponen selain trigliserida, yaitu lipid kompleks (leshitin,
cephalin, fosfatida, dan glikolipid), sterol yang berada dalam keadaan bebas atau
terikat dengan asam lemak, asam lemak bebas, lilin, pigmen yang larut dalam
lemak, dan hidrokarbon. Komponen-komponen tersebut yang akan mempengaruhi
warna dan flavor produk serta berperan dalam proses ketengikan.
Minyak dan lemak (trigliserida) yang diperoleh dari berbagai sumber
mempunyai sifat fisiko-kimia yang berbeda satu sama lain, karena perbedaan
jumlah dan jenis ester yang terdapat di dalamnya. Menurut Ketaren (2008), sifat
fisikokimia biasanya berada dalam suatu kisaran nilai. Karena perbedaannya
cukup kecil, nilai tersebut dinamakan konstanta. Konstanta fisik yang dianggap
cukup pending adalah berat jenis, indeks bias dan titik cair. Sedangkan konstanta
kimia yang penting adalah bilangan Iod, bilanagn penyabunan, bilangan Reichert
Meisel, bilangan Polenske, bilangan asam dan residu fraksi yang tak tersabunkan.
Pada praktikum kali ini akan diamati sifat fisikokimia lemak dan minyak. Sifat
fisikokimia yang diamati adalah pengamatan warna, aroma, kekentalan,
kejernihan, bobot jenis minyak, indeks bias, titik asap dan titik nyala, serta kadar
air yang diamati dengan dua metode yang berbeda. Minyak yang diamati adalah
minyak kelapa sawit, minyak kelapa sawit setahun, minyak bekatul, minyak
jagung, minyak jagung setahun, minyak beraroma, minyak kedelai setahun,
minyak kelapa, dan minyak bekas.
Kelapa sawit mengandung 80% perikarp dan 20% buah yang dilapisi
kulit yang tipis. Kadar minyak dalam perikarp sekitar 34 40%. Minyak kelapa
sawit adalah lemak semi padat yang mempunyai komposisi yang tetap (Ketaren,
1986). Minyak sawit adalah fraksi cair berwarna kuning kemerahan yang
diperoleh dengan cara fraksinasi minyak kelapa sawit kasar (Crude Palm Oil) dan
telah mengalami proses pemurnian (Ketaren, 1986). Muchtadi (1992) menyatakan
bahwa munyak sawit sebagai salah satu jenis minyak nabati tidak mengandung
kolesterol, pada saat proses pemurnian CPO menjadi minyak sawit kolesterol
yang dimiliki CPO mengalami degradasi. Sterol yang dimiliki minyak sawit
adalah fitosterol yang sebenarnya akan dapat menurunkan LDL (Low Density
Lipoprotein) dan meningkatkan HDL (High Density Lipoprotein).
Minyak bekatul atau lebih dikenal dengan rice bran oil merupakan minyak
hasil ekstraksi dedak padi. Minyak dedak mengandung beberapa jenis lemak,
yaitu 47% lemak monounsaturated, 33% polyunsaturated, dan 20% saturated,
serta asam lemak yaitu asam oleat 38,4%, linoleat 34,4%, linolenat 2,2%, palmitat
21,5%, dan stearat 2,9%.
Minyak jelantah merupakan minyak bekas penggorengan, atau disingkat
minyak goreng bekas pakai. Karena harga minyak goreng asli yang terus
meningkat, maka penggunaan minyak jelantah menjadi salah satu pilihan
masyarakat, baik di rumah tangga maupun oleh para pengusaha kecil agar
usahanya dapat berjalan.
Bahaya minyak jelantah timbul karena proses penjernihan/pemurniannya
dicurigai menggunakan bahan kimia yang disebut hydrogen peroksida. Walaupun
daur ulang menjadi minyak jelantah dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun
penggunaan hydrogen peroksida lebih disukai karena prosesnya yang sederhana,
efisien dan hasil yang lebih baik. Selain itu, minyak goreng yang telah beberapa
kali digunakan, struktur kimianya akan mengalami perubahan. Akibatnya, minyak
bekas ini mengandung berbagai radikal bebas yang dapat memicu timbulnya
penyakit kanker (karsinogenik) pada liver dan menimbulkan penyakit jantung.

5.1 Pengamatan Warna, Aroma, Kekentalan, dan Kejernihan
Pengamatan warna pada minyak dilakukan dengan berbagai tahapan.
Pertama minyak itu diambil dan dimasukkan ke dalam beaker glass. Lalu sampel
minyak tersebut diamati warnanya dan dibandingkan diantara sampel-sampel
yang berbeda tersebut. Menurut Ketaren (2008), zat warna dalam minyak terdiri
dari dua golongan yaitu zat warna alamiah, dan warna dari hasil degradasi zat
warna alamiah. Zat warna alamiah yang umumnya terdapat dalam seluruh minyak
antara lain dan karoten, xantofil, klorofil dan antosianin. Zat-zat warna ini
yang menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecoklatan, kehijau-hijauan,
dan kemerah-merahan. Hasil pengamatan dapat dilihat di tabel 1.
Tabel 1. Pengamatan Organoleptik Berbagai Sampel Minyak
Sampel Warna Aroma Kejernihan
Minyak sawit
beraroma
Kuning ++++ Bau wijen kuat Jernih +++++++
Minyak jagung
baru
Kuning ++++++
Sedikit aroma
jagung
Jernih +++++
Minyak kedelai 1
tahun
Kuning + Agak menyengat
Jernih
++++++++++
Minyak sawit 1
tahun
Kuning +++++++ Sedikit tengik Jernih ++++

Minyak sawit baru Kuning +++ Tidak menyengat Jernih ++++++++
Minyak bekatul 1
tahun
Kuning +++++ Agak menyengat Jernih ++++++
Minyak jagung 1
tahun
Kuning ++
Sedikit aroma
jagung
Jernih +++++++++
Minyak kelapa
barco
Putih bening Khas kelapa Kurang jernih ++
Minyak jelantah
lama
Kuning ++++++++ Bau gorengan Kurang jernih +
Minyak jelantah
baru
Kuning
+++++++++
Agak tengik Jernih +++
Keterangan: semakin banyak tanda + semakin pekat warnanya

Berdasarkan hasil pengamatan, minyak kedelai memiliki warna kuning
pucat nyaris bening dan minyak bekas tersebtu memiliki warna paling kuning dan
agak gelap. Warna kuning yang jernih dan terang karena masih banyak
mengandung asam lemak tidak jenuh, dan karotenoid yang ada di dalam minyak
itu belum teroksidasi. Sedangkan pada minyak bekas, karena telah digunakan
telah terjadi proses oksidasi. Warna gelap disebabkan oleh proses oksidasi
terhadap tokoferol (Vitamin E).
Selain pengujian warna, dilakukan juga pengujian aroma pada minyak.
Berdasarkan baunya, minyak bekas memiliki bau paling menyengat. Sedangkan
pada minyak kelapa sawit beraroma memiliki bau wijen yang sangat kuat. Minyak
kelapa sawit memiliki bau khas yang disebabkan karena terdapatnya beta ionone
(Ketaren, 2008). Bau menyengat dapat disebabkan karena interaksi trimetilamin
oksida dengan ikatan rangkap dari lemak tidak jenuh.
Pengujian kejernihan minyak dilakukan dengan dua metode. Metode
pertama adalah secara visual, dimana praktikan mengamati langsung dan
membedakan tiap jenis minyak tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan secara
visual, minyak kedelai yang memiliki tingkat kejernihan paling tinggi.
Pengujian kedua adalah dengan menggunakan alat spektrofotometer.
Pertama, terlebih dahulu mengatur absorbansi dari spektrofotometer dan
menetralkannya dengan akuades yang diisikan ke dalam cuvet. Setelah itu, sampel
minyak dimasukkan ke dalam cuvet lalu dimasukkan ke spektrofotometer, atur
sesuai dengan warna dari minyak tersebut. Setelah itu dilihat nilai absorbansi dari
minyak dan hitung nilai transmitannya. Spektrofotometer ini dapat digunakan
untuk menentukan warna dan kejernihan dari minyak. Warna minyak yang
berbeda-beda disebabkan oleh perbedaan adsorpsi spektrum warna. Selain itu,
dengan spektrofotometer juga dapat diketahui ketidakjenuhan dari minyak karena
ikatan rangkap yang terdapat antara karbon dengan karbon akan menyerap sinar
ultraviolet yang bergelombang pendek. Kejernihan dari minyak dapat dinyatakan
dengan transmitan yang dihasilkan. Semakin jernih suatu minyak, makan
ketidakjenuhan minyak tersebut semakin tinggi. Semakin tinggi nilai T tersebut,
maka semakin jernih karena semakin semakin banyak cahaya yang dapat
diteruskan oleh minyak tersebut. Pada minyak bekas yang memiliki tingkat
kejernihan yang kurang disebabkan karena proses browning pada minyak selama
penggorengan dan reaksi kerusakan vitamin serta asam lemak esensial yang
terdapat di dalam minyak.


Tabel 2. Pengamatan Kejernihan Sampel Minyak
Sampel Kejernihan (%T)
Minyak kelapa barco 92,4
Minyak kedelai 82,0
Minyak jagung 67,4
Minyak bekatul 55,7
Minyak kelapa sawit 54,2
Minyak jagung bekas 44,6
Minyak sawit beraroma 43,8
Minyak jelantah 37,2

5.2 Pengamatan Bobot Jenis Minyak
Selain pengamatan sifat fisik secara visual, juga dilakukan pengamatan
sifat fisik berdasarkan bobot jenisnya. Pada prinsipnya, berat jenis minyak
ditentukan melalui perbandingan berat contoh minyak dengan berat air yang
volumenya sama pada suhu yang ditentukan. Minyak memiliki berat jenis yang
lebih kecil dibandingkan dengan air, yaitu berkisar antara 0,916-0,923 gr/ml
(Kusnandar, 2010).
Menurut Ketaren (2008), bobot jenis dari minyak dan lemak biasanya
ditentukan pada temperatur 25
0
C, akan tetapi dalam hal ini dianggap penting juga
untuk diukur pada temperatur 40
0
-60
0
C untuk lemak yang titik cairnya tinggi.
Pada penetapan bobot jenis, temperatur dikontrol dengan hati-hati dalam ksiaran
temperatur yang pendek. Pengamatan bobot jenis ini dilakukan dengan
menggunakan piknometer, yang merupakan alat untuk mengukur nilai massa jenis
atau densitas dari fluida. Secara matematis dapat dilakukan penghitungan dengan
cara berikut.

( ) ( )

()

Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 3, minyak kelapa sawit, jagung,
curah, kedelai, dan bekas memiliki nilai bobot jenis dibawah 1. Pada minyak
bekatul memiliki nilai berat jenis lebih dari satu, seharusnya bobot jenis minyak
dibawah 1 sehingga minyak selalu berada di atas air karena lebih ringan
dibandingkan dengan air. Hal ini kemungkinan disebabkan alat timbangan yang
tidak cukup bersih sehingga berat minyak + piknometer bertambah karena adanya
kotoran tersebut, atau karena ketidaktelitian dalam praktikum, dan kesalahan
pembacaan data. Seharusnya, nilai bobot jenis pada minyak bekatul berkisar
antara 0,918-0,926 gr/ml.
Tabel 3. Pengamatan Densitas Berbagai Sampel Minyak
Sampel P (g) P+W (g) P+M (g)
Volume air
(ml)
Densitas
(g/ml)
M. sawit
baru
12.5157 37.0733 36.7550 24.5576 0.9896
M. jagung
baru
15.4022 25.1708 22.3932 9.7886 0.7156
M. sawit
lama
15.2649 25.0856 24.2116 11.2004 0.3216
M. sawit
beraroma
24.7088 50.4099 49.3130 25.7011 0.9570
M. kedelai
lama
14.1765 25.5840 23.3753 11.4076 0.8003
M. bekatul
baru
15.1355 25.0831 24.3393 9.6859 0.9005
M. jagung
lama
15.6194 25.3315 24.5697 9.7121 0.9417
M. kelapa
barco
15.6868 25.4060 24.6011 9.9476 0.9252
M. jelantah
baru
15.8383 25.5342 24.7600 9.7192 0.9172
Keterangan:
M: berat minyak
P: berat piknometer
W: berat air
Volume air = berat air : densitas air
Berat air = berat (P+W) berat P
Densitas air = 1 g/ml
Christine Benedicta
240210110046

5.3 Pengamatan Indeks Bias Minyak
Indeks bias adalah derajat penyimpangan dari cahaya yang dilewatkan
pada suatu medium yang cerah. Indeks bias itu pada minyak dan lemak dipakai
pada pengenalan unsr kimia dan untuk pengujian kemurnian minyak. Untuk
pengukuran indeks bias minyak ini, dilakukan dengan Abbe Refractometer.
Refraktometer ini mempergunakan alat pengintril temperatur yang dipertahankan
pada suhu 25
0
C. Hasil pengamatan dari pengamatan indeks bias dapat dilihat di
tabel 4.
Tabel 4. Pengamatan Kejernihan dan Indeks Bias Berbagai Sampel Minyak
Sampel Indeks bias
Minyak kelapa barco 57,45
Minyak kedelai 59,45
Minyak jagung 57,45
Minyak bekatul 59,4
Minyak kelapa sawit 57,45
Minyak jagung bekas 59,5
Minyak sawit beraroma 59,3
Minyak jelantah 59,6

Berdasarkan hasil pengamatan, nilai indeks bias tertinggi dimiliki oleh
minyak bekas lalu minyak bekatul, minyak kedelai, minyak kelapa, dan minyak
jagung. Minyak bekatul seharusnya memiliki nilai indeks bias pada suhu 40C
sebesar 1,460% 1,470%.
Indeks bias seharusnya akan meningkat pada minyak atau lemak dengan
rantai karbon yang panjang dan juga dengan terdapatnya sejumlah ikatan rangkap.
Nilai indeks bias dari asam lemak juga akan bertambah dengan meningkatnya
bobot molekul, selain dengan naiknya derajat ketidak jenuhan dari asam lemak
tersebut (Ketaren, 2008). Minyak bekas seperti yang kita tahu, telah mengalami
proses pemanasan berkali-kali, seharusnya tingkat ketidakjenuhannya semakin
turun, dengan begitu seharusnya memiliki nilai indeks bias yang paling rendah.
Kemungkinan minyak bekas ini memiliki tingkat indeks bias yang tinggi karena
kesalahan dalam penggunaan alat atau kurang teliti dalam penggunaannya.

Christine Benedicta
240210110046

5.4 Pengamatan Titik Asap dan Titik Nyala Minyak
Apabila minyak atau lemak dipanaskan dapat dilakukan penetapan titik
asap, titik nyala, dan titik api. Titik asap adalah temperatur pada saat minyak atau
lemak menghasilkan asap tipis yang kebiru-biruan pada pemanasan tersebut. Titik
nyala adalah temperatur pada saat campuran uap dari minyak dengan udara mulai
terbakar. Sedangkan titik api adalah temperatur pada saat dihasilkan pembakaran
yang terus-menerus, sampai habisnya contoh uji. Pada praktikum ini, hanya
dilakukan pengamatan pada titik asap dan titik nyala minyak. Karena keterbatasan
waktu, titik api minyak tidak dilakukan. Hasil pengamatan dapat dilihat dari tabel
5.
Tabel 5. Pengamatan Titik Asap Dan Titik Cair Berbagai Sampel Minyak
Sampel Titik asap (C) Titik cair(C)
Minyak jelantah lama 195 28
Minyak bekatul baru 190 29
Minyak jagung 1 tahun 160 28
Minyak jagung baru 165 29
Minyak sawit beraroma 118 29
Minyak sawit 1 tahun 150 28
Minyak sawit baru 160 28
Minyak kedelai 1 tahun 135 29
Minyak kelapa barco 141 25
Minyak jelantah baru 195 27

Titik asap dan titik nyala adalah kriteria penting dalam hubungannya
dengan minyak yang digunakan untuk menggoreng. Berdasarkan hasil
pengamatan, semua titik asap dan titik nyala dari minyak diatas titik didih air
(>100
0
C). Titik asap suatu minyak tergantung dari kadar gliserol bebas. Lemak
yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan turun, karena telah
terjadi hidrolisis molekul lemak. Oleh karena itu, pemanasan lemak atau minyak
sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya. Pada
umumnya suhu penggorengan adalah sebesar 177 C 221 C.Semakin tinggi titik
asap dan titik nyala dari minyak, maka semakin bagus kualitasnya. Karena,
Christine Benedicta
240210110046

dengan titik asap yang tinggi berarti semakin lama mengalami kerusakan asam
lemak tak jenuhnya.

5.5 Pengamatan Kadar Air Minyak
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas minyak adalah
kandungan air yang terdapat di dalam minyak, contohnya pada proses produksi di
pabrik pengolahan minyak goreng. Air yang bercampur pada minyak umumnya
berasal dari proses penyukingan, selain itu juga karena pengembunan karena suhu
dingin. Standar air dalam berbagai minyak ditetapkan pada SNI, misalnya saja
pada minyak goreng memiliki standar kadar air maksimal sebesar 0.4% menurut
SNI 01-3555-1998. Kadar air di dalam minyak yang tinggi, akan dapat
mengakibatkan terjadinya hidrolisis lemak, dimana hidrolisis dari minyak ini akan
menghasilkan asam lemak yang menyebabkan bau dan rasa yang tidak sedap.
Proses pengujian kadar air dalam minyak dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu metode hot plate dan metode oven. Cara ini termasuk pada metode
thermogravimetri. Selain metode thermogravimetri, dapat juga dilakukan dengan
metode thermovolumetri (Sudarmaji et al, 1989).
Pengujian kadar air metode hotplate, yang pertama dilakukan adalah
menimbang cawan porselen yang telah dikeringkan sebelumnya dan masih di
dalam desikator. Setelah itu ditambahkan 5 gram sampel minyak, dan dipanaskan
selama 30 menit. Setelah itu dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit dan
ditimbang. Prosedur ini dilakukan lagi hingga mencapai kadar air konstan atau
dengan selisih maksimal berat diantara perlakuakn 0,05 gram. Hasil pengamatan
dapat dilihat di tabel 6.








Christine Benedicta
240210110046

Tabel 6. Kadar Air Berbagai Sampel Minyak
Sampel
Berat
cawan
kosong
(g)
Berat
sampel
(g)
Penimbangan ke-
Kadar
air %
(bb)
1 2 3
Minyak
kedelai
lama
3.3022 5.0323 8.3322 8.3269 8.3293 0.13
Minyak
sawit lama
3.3429 5.0108 8.3342 - - 0.39
Minyak
bekatul
lama
3.3354 5.0307 8.3605 8.3545 8.3600 0.18
Minyak
jagung lama
3.2906 5.0011 8.2889 8.2888 - 0.06
Minyak
jelantah
lama
3.3154 5.0163 8.3206 8.3230 8.3213 0.21
Minyak
sawit
beraroma
3.2868 5.0750 8.3645 8.3639 8.3699 -0.1
Minyak
jagung baru
3.3955 5.0114 8.4009 8.3982 8.3727 0.68
Minyak
sawit baru
3.2856 5.0483 8.3325 8.3583 8.3442 -0.20
Minyak
kelapa
barco
3.3147 5.1922 8.0565 8.5055 8.5057 0.03
Minyak
jelantah
baru
3.3032 5.0152 8.3213 8.3238 - -0.82
Keterangan: tanda berarti berat akhir minyak bertambah


Christine Benedicta
240210110046

Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dilihat setiap dilakukan pemanasan,
terjadi penrurunan berat dari sampel tersebut. Hal ini dokarenakan oleh bobot dari
air dan zat menguap yang terkandung di dalam minyak. Kadar air pada minyak
kedelai paling sedikit karena kualitas dari minyak ini yang baik. Tetapi pada
minyak bekas, kadar air yang rendah dikarenakan minyak tersebut sudah
digunakan untuk proses pemanasan atau penggorengan dimana proses thermal
tersebut akan menghilangkan sebagian dari kadar airnya.
Berdasarkan hasil pengamatan, nilai kadar air minyak kedelai tetap yang
paling rendah dan menunjukkan kualitas minyak kedelai yang bagus. Kedua
metode ini termasuk dalam metode thermogravimetrik. Menurut Sudarmaji, dkk
(1989) metode ini kurang tepat dan kurang akurat karena akan terikutnya zat-zat
penting yang mudah menguap selama proses pemanasan. Minyak sawit
merupakan sumber minyak nabati yang penting disamping minyak kelapa,
kacang-kacangan, jagung dan sebagainya (Tim Perkembangan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi, 1996). Minyak kelapa sawit memiliki kadar air 0,25% (Hardja,
2001). Sedangkan pada hasil pengamatan praktikum, nilai kadar air yang
diperoleh sebesar 0,13%.















Christine Benedicta
240210110046

VI. KESIMPULAN DAN SARAN































Christine Benedicta
240210110046

DAFTAR PUSTAKA
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wootton. 1985. Ilmu Pangan.
Penerjemah: Hari Purnomo dan Adiono. Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), Jakarta.
Ketaren, S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.
Kusnandar, Feri. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro.PT Dian Rakyat, Jakarta.
Sudarmaji S., B. Haryono, dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.
Tjahjadi, Carmencita. 2009. Pengantar Teknologi Pangan. Universitas
Padjadjaran. Jatinangor.
Winarno, F.G. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta.

You might also like