You are on page 1of 24

DIREKTORAT JENDERAL PEMERINTAHAN UMUM

KEMENTERIAN DALAM NEGERI


Oleh :

DR. RIZARI, MBA, M.Si
DIREKTUR KAWASAN DAN PERTANAHAN

JAKARTA
2014


1
KONSEP PERLUASAN KAWASAN INDUSTRI DAN
PEMUKIMAN TANPA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN
GUNA MENJAGA SUISTAINABLE DEVELOPMENT DALAM
RANGKA
KETAHANAN NASIONAL
2
KAWASAN INDUSTRI
PEMUKIMAN
PENGELOLAAN SUMBER KEKAYAAN ALAM
(PERTAMBANGAN, PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN)
KEPENTINGAN UMUM
DLL

LATAR BELAKANG

KETAHANAN NASIONAL
Kemampuan negara dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan,
baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas,
identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan nasionalnya

Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman
yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan.
ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN
Seiring waktu kebutuhan tanah meningkat
namun lahan menjadi terbatas
3
Pola alih fungsi lahan sawah dapat dibedakan menjadi dua:
(1)sistematis,
kawasan industri
kawasan pemukiman (real estate)
jalan raya /kepentingan umum
komplek perkantoran
Sumber daya alam, dll
(2) sporadis.
Luas lahan sawah yang terkonversi kecil-kecil dan
terpencar.

ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN
4

Setiap tahun diperkirakan 80 ribu hektare areal
pertanian hilang, berubah fungsi ke sektor lain
atau setara 220 hektare setiap harinya.

ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN
(Kementerian Pertanian dalam Harian Pikiran Rakyat Desember 2013)

5
KRONOLOGI KEBIJAKAN TERKAIT LARANGAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN
Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai
Penyediaandan Pemberian tanah untuk Keperluan Perusahaan
PMDN No. 3Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak atas Tanahuntuk Keperluan Pembangunan
Perumahan
Keppres No. 53Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, PP No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri
Keppres No. 54 Tahun 1980 tentang Kebijaksanaan mengenai Pencetakan Sawah

Diatas merupakan contoh-contoh aturan yang melarang alih fungsi lahan pertanian. Namun implementasinya
tidak efektif karena kurang didukung oleh data dan sikap proaktif pemerintah yang memadai.
Terdapat kendala mendasar yaitu Kebijakan yang kontradiktif dan Kendala konsistensi perencanaan
Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Pasal 44
pada dasarnya melarang alihf ungsi lahan pertanian, akan tetapi manakala kepentingan umum menghendaki,
alih fungsi lahan tersebut diperkenankan dengan persyaratan: 1. Dilakukan kajian kelayakan strategis;
2. Disusun rencana alih fungsi lahan; 3. Dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan 4. Disediakan
lahan pengganti terhadap lahan yang dialih-fungsikan

Ketentuan Pasal 108 PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang WilayahNasional (RTRWN)
dapat diartikan bahwa alih fungsi lahan pertanian untuk fungsi non pertanian dapat diperkenankan sepanjang
untuk pembangunan sistem jaringan prasarana umum yang dibangun untuk kepentingan umum.

6
UU 41/2009
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 72
(1) Orang perseorangan yang melakukan alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Orang perseorangan yang tidak melakukan kewajiban mengembalikan keadaan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan ke keadaan semula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dan Pasal 51 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh pejabat pemerintah,
pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang diancamkan.

Pasal 73
Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pengalihfungsian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 74
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh suatu
korporasi, pengurusnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.000.000.000,00
(tujuh miliar rupiah).
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana berupa:
a. perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
b. pembatalan kontrak kerja dengan pemerintah;
c. pemecatan pengurus; dan/atau
d. pelarangan pada pengurus untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.
UUD 1945
PASAL 33 ayat 3
Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
UU 5/ 1974 Ttg Pokok-
Pokok Pemerintahan
di Daerah
(Sentralistik)
(KK. Neil down)

UU 22/ 1999 Ttg
Pemerintahan Daerah
(Otonomi seluas-luasnya)
(KK. Neil down/ Prefeling
Law)

UU 32/ 2004 Ttg
Pemerintahan Daerah
(Otonomi luwes/ terbatas)
(Prefeling Law)
1. Pusat: Berwenang membuat norma-norma, standar, prosedur,
Monev, supervisi, fasilitasi dan urusan-urusan pemerintahan
dengan eksternalitas nasional dan internasional.
2. Provinsi: Berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan
pemerintahan dengan eksternalitas regional (lintas Kab/Kota)
dalam norma, standard, prosedur yang dibuat Pusat
3. Kab/Kota: Berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan
pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam satu Kab/Kota)
dalam norma, standard, prosedur yang dibuat Pusat



PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DILAKSANAKAN
SECARA BERSAMA BERDASARKAN 3 KRITERIA:
8
1. Melaksanakan fungsi Fasilitator dan/atau Kordinator sebagai
bridge (jembatan):
a. penyelengaraan Sub-sistem Pemerintahan, khususnya fungsi
bidang Pemerintahan Umum;
b. penyelenggaraan fungsi azas dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan (fungsi pemerintah bawahan);
c. Menjaga hubungan antar sektor, antara sektor dengan
daerah, dan antar Daerah agar terciptanya harmonisasi dan
sinkronisasi serta Keberlanjutan;
2. Melaksanakan penyelenggaraan fungsi Pembinaan yaitu
pengendalian dan pengawasan melalui kajian, monev maupun
analisis performance antar sektor dengan daerah, antar sektor
dan antar daerah
PERANAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI
(DITJEN PEMERINTAHAN UMUM)
TUPOKSI
Peranan tersebut sebagai implementasi dari


Pasal 217 dan Pasal 218 serta Pasal 222
UU No 32 Thn 2004 ttg Pemerintahan Daerah
Pasal 217 & 218 : Pembinaan dan Pengawasan atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pasal 222 : Pembinaan dan Pengawasan atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah
secara nasional dikoordinasikan oleh
Mendagri.
Fasilitasi dalam rangka Sinkronisasi dan Koordinasi
Regional

1. UU 21/2001 Ttg Otsus
Papua
2. UU 32/2004 Tentang
Pemerintahan Daerah;
3. UU 11/2006 Ttg
Pemerintah Aceh
4. UU 26/2007 Tentang
Penataan Ruang;
5. PP 38/2007 Tentang
Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemda
Provinsi & Pemda
Kab/Kota;
6. UU No.28/2009 Tentang
PDRD
SEKTOR
1. UU 5/1960 Ttg Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
2. TAP MPR RI IX/MPR/2001Tentang
Pembaruan Agraria
Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam
3. UU 41/1999 Tentang Kehutanan
4. UU 22/ 2001 Tentang Minyak dan Gas
Bumi
5. UU 18/2004 Tentang Perkebunan
6. UU 4/2009 Tentang Minerba
7. UU 32/2009 Tentang Perlindungan &
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
8. UU 11/2010 Tentang Cagar Budaya
9. UU 2/2012 ttg Pengadaan Tanah
untuk Pembangunan
10. Perpres 71/2012 Jo. Perpres 40/2014
12
1. UU 36/2000 tentang FTZ
2. UU 37/2000 tentang FTZ Sabang
3. UU 44/2007 tentang Perubahan
atas UU 36/2000 tentang FTZ
4. UU 39/2009 tentang KEK
5. PP 46/2007 tentang FTZ Batam
6. PP 47/2007 tentang FTZ Bintan
7. PP 48/2007 tentang FTZ Karimun
8. PP 24/2009 tentang Kawasan
Industri
9. Keppres 150/2000 tentang KAPET
SEKTOR
Fasilitasi dlm rangka Sinkronisasi dan
Koordinasi
KAWASAN EKONOMI, INDUSTRI, DAN
PERDAGANGAN BEBAS
Regional
1. UU 32/2004 Tentang
Pemerintahan Daerah;
2. UU No.28/2009 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah
3. UU 26/2007 Tentang Penataan
Ruang;
4. PP 38/2007 Tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemda Provinsi &
Pemda Kab/Kota;
5. PP 43/2010 Tentang Tata Cara
Penetapan Kawasan Khusus;

UU No 5/1960
UUPA
UU No. 5 Tahun 1974
Pemda
(SENTRALISTIK)
DEP.
AGRARIA
1960-1966
DITJEN.
AGRARIA
(DEPDAGRI)
1966/1988
Keppres No 26/1988
BPN
UUD 1945
Pasal 33
Ttg Bumi air..
UUD 1945
Pasal 18
Ttg pembagian
pemerintahan
TAP MPR
IX/MPR/2001
Reformasi
Agraria dan
pengelolaan
SDA
UU No. 32
Thn 2004
Pemda
(OTONOMI)
UU No. 22 Thn 1999
Pemda
(OTONOMI) Pasal 11
Urusan Pertanahan di
serahkan ke Pemda

Pasal 13
UU.32/2004
Pertanahan
Urusan
Wajib
Keppres
34/2003
Perintah utk Revisi
UU 5/1960
(SIP,9 kewenangan)
UU No. 11
Thn 2006
Pemda
ACEH
(OTSUS)
Keppres
No.10/2006
Pertanahan
masih urusan
pusat
PP No. 38 Thn
2007
Pemb.Urusan
Pem
UU No.2
/2012 dan
Perpres
No.71/2012
Tanah Utk Kep.
Umum
Keppres No.
10/2001
Urusan Tanah
Urusan Pusat
KRONOLOGIS URUSAN PERTANAHAN
1960 1988
1974
1999 2004 2001 2003
2006 2007 2012
1945
1965
G 30 S PKI
SARANA DAN PRASARANA
14
Keppres 34 thn 2003
Pertanahan tetap kewenangan pusat
UU 32/2004
PP 38 thn 2007
(Kewenangan Pertanahan)
1. Pengaturan, Penguasaan, dan Pemilikan
Tanah;
2. Penatagunaan tanah;
3. Pengurusan Hak atas Tanah:
4. Pengukuran dan Pendaftaran Tanah;
5. Penelitian dan Pengembangan Pertanahan;
6. Pengembangan dan Pembinaan SDM
Pertanahan;
7. Pengaturan Pertanahan di Wilayah Pesisir,
Laut dan Pulau Kecil;
8. Pengelolaan Pertanahan di Wilayah
Perbatasan dan Pulau-pulau Terpencil;
9. Pengelolaan Ruang atas dan bawah tanah
serta reklamasi;
10. Pengendalian dan monitoring pasca
penerbitan sertifikat;
11. Pengendalian nilai tanah dan Penilaian
Sumber Daya;
12. Pembangunan sistem informasi pertanahan.
1. Pemberian izin lokasi
2. Pengadaan tanah untuk kepentingan
umum,
3. Penyelesaian sengketa tanah garapan
4. Penjyelesaian sengketa masalah ganti
kerugian dan santunan tanah untuk
pembangunan,
5. Penetapan subyek dan obyek
redistribusi tanah,serta gantui rugi tanah
kelebihan maksimum dan tanah
absentee,
6. Penetapan dan penyelesaian masalah
tanah ulayat,
7. Pemanfaatan dan Penyelesaian masalah
tanah kosong,
8. Pemberian izin membuka tanah,
9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah
Kabupaten/Kota
PERMASALAHAN BIDANG PERTANAHAN
PEMERINTAH
DAERAH
TNI/POLRI/BUMN
PEMUKIMAN RAKYAT/
TANAH ULAYAT
PERTAMBANGAN
PERKEBUNAN
KAWASAN HUTAN
LAHAN TRANSMIGRASI
BATAS WILAYAH/DAERAH
B
A
T
A
S

W
I
L
A
Y
A
H
/
D
A
E
R
A
H

BATAS WILAYAH/DAERAH
B
A
T
A
S

W
I
L
A
Y
A
H
/
D
A
E
R
A
H

16
PEMERINTAH
DAERAH
MP3EI
Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia
KEK
UU 39/2009 tentang KEK

KAWASAN INDUSTRI
PP 24/2009 tentang
Kawasan Industri

FTZ
UU 36/2000 tentang FTZ

PERMASALAHAN PENGELOLAAN KAWASAN EKONOMI,
INDUSTRI, DAN PERDAGANGAN BEBAS
KAWASAN KHUSUS
PP 43/2010 Tentang Tata Cara
Penetapan Kawasan Khusus
KAPET
Keppres 150/2000
tentang KAPET

KAWASAN INDUSTRI
PP 24/2009 tentang Kawasan Industri
Kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan
sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh
perusahaan kawasan industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan
Industri.
TUJUAN PEMBANGUNAN KAWASAN INDUSTRI
Mengendalikan pemanfaatan ruang;
Meningkatkan upaya pembangunan industri
yang berwawasan lingkungan;
Mempercepat pertumbuhan industri di
daerah;
Meningkatkan daya saing industri;
Meningkatkan daya saing investasi; dan
Memberikan kepastian lokasi dalam
perencanaan dan Pembangunan
infrastruktur yang terkoordinasi antar sektor
terkait
Pasal 2 PP No. 24/2009 ttg Kawasan Industri

KETAHANAN NASIONAL
MENDUKUNG
RPP KAWASAN INDUSTRI SEBAGAI TINDAK LANJUT
UU 3/2014 TTG PERINDUSTRIAN
Pasal 48
Pemerintah dalam melaksanakan prakarsa pembangunan Kawasan
Industri dapat bekerja sama dengan Gubernur/Bupati/Walikota dalam
pengadaan lahan sesuai dengan kewenangannya.
Tata cara pengadaan lahan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
18
SPESIFIKASI DAN FASILITAS KAWASAN INDUSTRI
Luas lahan kawasan industri minimal 50 hektar dalam satu
hamparan
Luas lahan kawasan industri tertentu untuk usaha mikro, kecil,
dan menengah paling rendah 5 hektar dalam satu hamparan
Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dikecualikan dari
ketentuan tentang gangguan, izin lokasi dan pengesahan site plan
Perusahaan di dalam kawasan industri dapat diberikan fasilitas
kepabeanan dan fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
Sesuai PP 24/2009 ttg Kawasan Industri
Menetapkan kawasan industri tertentu
Melakukan pengaturan dan pembinaan terhadap kawasan industri,
kawasan industri tertentu dan perusahaan industri
Menetapkan pedoman teknis kawasan industri
Memfasilitasi penyelesaian permasalahan antara perusahaan KI
dengan perusahaan industri di KI
Membentuk Tim Nasional Kawasan Industri
Menetapkan patokan harga jual/sewa kaveling dan atau bangunan
industri di kawasan industri atas usul Timnas KI
Melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam hal prasarana
dan sarana
KEWENANGAN MENTERI PERINDUSTRIAN
Sesuai PP 24/2009 ttg Kawasan Industri
KEWENANGAN
GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA
Memberikan insentif dan perizinan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan
Memberikan kemudahan dalam perolehan/pembebasan
lahan pada areal yang diperuntukkan bagi pembangunan
kawasan industri
Mengarahkan kegiatan industri ke dalam kawasan industri
Mewujudkan Pelayanan Terpadu sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
Sesuai PP 24/2009 ttg Kawasan Industri
22
1. Pembangunan industri banyak terkonsentrasi di pulau Jawa (80%)
terkait masalah infrastruktur
2. Hasil kajian menunjukkan bahwa kebijakan pengendalian alih
fungsi lahan pertanian selama ini belum efektif, diakibatkan:
Kurangnya sinkronisasi kegiatan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah
Kurangnya Komitmen stakesholder terkait
3. Lahan pertanian belum mendapatkan perhatian serius dari
eksekutif dan lembaga legislatif. Dalam penyusunan RTRW
4. Belum adanya dukungan penegakan hukum yang cukup kuat dan
konsisten.
5. Di lapisan paling bawah (grass root), masih rendahnya partisipasi
masyarakat maupun LSM secara aktif dalam pengendalian alih
fungsi lahan pertanian (Bappenas, 2007).
PERMASALAHAN
23
1. Secara teoritis terdapat tiga pendekatan yang dapat ditempuh dalam
pengendalian alih fungsi lahan sawah yaitu: Regulasi, Implementasi, Reward
dan Punishment. Ketiga pendekatan tersebut harus diimplementasikan secara
simultan.
2. Dalam pendekatan hukum, RTRW perlu disempurnakan lebih lanjut.
Diperlukan zonasi yang lebih rinci terkait dengan pengendalian alih fungsi
Lahan pertanian.
3. Peraturan perundang-undangan yang telah dibuat perlu diharmonisasikan dan
didukung penegakan hukum (law enforcement) yang kuat dan konsisten.
4. Mengingat situasi dan kondisi yang dihadapi antar daerah berbeda, maka
Metode dan Pendekatan yang dilakukan harus berbeda. Hal itu berimplikasi
pada strategi pengendalian maupun urutan prioritasnya.
5. Dukungan dan partisipasi masyarakat maupun LSM


LEMHANNAS LEADER


HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
24

You might also like