Konsep Perluasan Kawasan Industri Dan Permukiman Tanpa Alih Fungsi Lahan Pertanian Guna Menjaga Sustainable Development Dalam Rangka Ketahanan Nasional
disampaikan oleh Rizari (Direktur Kawasan dan Pertanahan, Ditjen PUM, Kemendagri) pada tanggal 25 September di FGD Lemhanas
Original Title
Konsep Perluasan Kawasan Industri dan Permukiman Tanpa Alih Fungsi Lahan Pertanian guna menjaga Sustainable Development dalam rangka Ketahanan Nasional
Konsep Perluasan Kawasan Industri Dan Permukiman Tanpa Alih Fungsi Lahan Pertanian Guna Menjaga Sustainable Development Dalam Rangka Ketahanan Nasional
DR. RIZARI, MBA, M.Si DIREKTUR KAWASAN DAN PERTANAHAN
JAKARTA 2014
1 KONSEP PERLUASAN KAWASAN INDUSTRI DAN PEMUKIMAN TANPA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN GUNA MENJAGA SUISTAINABLE DEVELOPMENT DALAM RANGKA KETAHANAN NASIONAL 2 KAWASAN INDUSTRI PEMUKIMAN PENGELOLAAN SUMBER KEKAYAAN ALAM (PERTAMBANGAN, PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN) KEPENTINGAN UMUM DLL
LATAR BELAKANG
KETAHANAN NASIONAL Kemampuan negara dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan nasionalnya
Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN Seiring waktu kebutuhan tanah meningkat namun lahan menjadi terbatas 3 Pola alih fungsi lahan sawah dapat dibedakan menjadi dua: (1)sistematis, kawasan industri kawasan pemukiman (real estate) jalan raya /kepentingan umum komplek perkantoran Sumber daya alam, dll (2) sporadis. Luas lahan sawah yang terkonversi kecil-kecil dan terpencar.
ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN 4
Setiap tahun diperkirakan 80 ribu hektare areal pertanian hilang, berubah fungsi ke sektor lain atau setara 220 hektare setiap harinya.
ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN (Kementerian Pertanian dalam Harian Pikiran Rakyat Desember 2013)
5 KRONOLOGI KEBIJAKAN TERKAIT LARANGAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai Penyediaandan Pemberian tanah untuk Keperluan Perusahaan PMDN No. 3Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak atas Tanahuntuk Keperluan Pembangunan Perumahan Keppres No. 53Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, PP No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri Keppres No. 54 Tahun 1980 tentang Kebijaksanaan mengenai Pencetakan Sawah
Diatas merupakan contoh-contoh aturan yang melarang alih fungsi lahan pertanian. Namun implementasinya tidak efektif karena kurang didukung oleh data dan sikap proaktif pemerintah yang memadai. Terdapat kendala mendasar yaitu Kebijakan yang kontradiktif dan Kendala konsistensi perencanaan Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Pasal 44 pada dasarnya melarang alihf ungsi lahan pertanian, akan tetapi manakala kepentingan umum menghendaki, alih fungsi lahan tersebut diperkenankan dengan persyaratan: 1. Dilakukan kajian kelayakan strategis; 2. Disusun rencana alih fungsi lahan; 3. Dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan 4. Disediakan lahan pengganti terhadap lahan yang dialih-fungsikan
Ketentuan Pasal 108 PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang WilayahNasional (RTRWN) dapat diartikan bahwa alih fungsi lahan pertanian untuk fungsi non pertanian dapat diperkenankan sepanjang untuk pembangunan sistem jaringan prasarana umum yang dibangun untuk kepentingan umum.
6 UU 41/2009 BAB XVI KETENTUAN PIDANA Pasal 72 (1) Orang perseorangan yang melakukan alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Orang perseorangan yang tidak melakukan kewajiban mengembalikan keadaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ke keadaan semula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dan Pasal 51 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh pejabat pemerintah, pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang diancamkan.
Pasal 73 Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pengalihfungsian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 74 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh suatu korporasi, pengurusnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah). (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana berupa: a. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; b. pembatalan kontrak kerja dengan pemerintah; c. pemecatan pengurus; dan/atau d. pelarangan pada pengurus untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama. UUD 1945 PASAL 33 ayat 3 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. UU 5/ 1974 Ttg Pokok- Pokok Pemerintahan di Daerah (Sentralistik) (KK. Neil down)
UU 22/ 1999 Ttg Pemerintahan Daerah (Otonomi seluas-luasnya) (KK. Neil down/ Prefeling Law)
UU 32/ 2004 Ttg Pemerintahan Daerah (Otonomi luwes/ terbatas) (Prefeling Law) 1. Pusat: Berwenang membuat norma-norma, standar, prosedur, Monev, supervisi, fasilitasi dan urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas nasional dan internasional. 2. Provinsi: Berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional (lintas Kab/Kota) dalam norma, standard, prosedur yang dibuat Pusat 3. Kab/Kota: Berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam satu Kab/Kota) dalam norma, standard, prosedur yang dibuat Pusat
PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DILAKSANAKAN SECARA BERSAMA BERDASARKAN 3 KRITERIA: 8 1. Melaksanakan fungsi Fasilitator dan/atau Kordinator sebagai bridge (jembatan): a. penyelengaraan Sub-sistem Pemerintahan, khususnya fungsi bidang Pemerintahan Umum; b. penyelenggaraan fungsi azas dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (fungsi pemerintah bawahan); c. Menjaga hubungan antar sektor, antara sektor dengan daerah, dan antar Daerah agar terciptanya harmonisasi dan sinkronisasi serta Keberlanjutan; 2. Melaksanakan penyelenggaraan fungsi Pembinaan yaitu pengendalian dan pengawasan melalui kajian, monev maupun analisis performance antar sektor dengan daerah, antar sektor dan antar daerah PERANAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI (DITJEN PEMERINTAHAN UMUM) TUPOKSI Peranan tersebut sebagai implementasi dari
Pasal 217 dan Pasal 218 serta Pasal 222 UU No 32 Thn 2004 ttg Pemerintahan Daerah Pasal 217 & 218 : Pembinaan dan Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pasal 222 : Pembinaan dan Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah secara nasional dikoordinasikan oleh Mendagri. Fasilitasi dalam rangka Sinkronisasi dan Koordinasi Regional
1. UU 21/2001 Ttg Otsus Papua 2. UU 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah; 3. UU 11/2006 Ttg Pemerintah Aceh 4. UU 26/2007 Tentang Penataan Ruang; 5. PP 38/2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemda Provinsi & Pemda Kab/Kota; 6. UU No.28/2009 Tentang PDRD SEKTOR 1. UU 5/1960 Ttg Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria 2. TAP MPR RI IX/MPR/2001Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam 3. UU 41/1999 Tentang Kehutanan 4. UU 22/ 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi 5. UU 18/2004 Tentang Perkebunan 6. UU 4/2009 Tentang Minerba 7. UU 32/2009 Tentang Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup; 8. UU 11/2010 Tentang Cagar Budaya 9. UU 2/2012 ttg Pengadaan Tanah untuk Pembangunan 10. Perpres 71/2012 Jo. Perpres 40/2014 12 1. UU 36/2000 tentang FTZ 2. UU 37/2000 tentang FTZ Sabang 3. UU 44/2007 tentang Perubahan atas UU 36/2000 tentang FTZ 4. UU 39/2009 tentang KEK 5. PP 46/2007 tentang FTZ Batam 6. PP 47/2007 tentang FTZ Bintan 7. PP 48/2007 tentang FTZ Karimun 8. PP 24/2009 tentang Kawasan Industri 9. Keppres 150/2000 tentang KAPET SEKTOR Fasilitasi dlm rangka Sinkronisasi dan Koordinasi KAWASAN EKONOMI, INDUSTRI, DAN PERDAGANGAN BEBAS Regional 1. UU 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah; 2. UU No.28/2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 3. UU 26/2007 Tentang Penataan Ruang; 4. PP 38/2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemda Provinsi & Pemda Kab/Kota; 5. PP 43/2010 Tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Khusus;
UU No 5/1960 UUPA UU No. 5 Tahun 1974 Pemda (SENTRALISTIK) DEP. AGRARIA 1960-1966 DITJEN. AGRARIA (DEPDAGRI) 1966/1988 Keppres No 26/1988 BPN UUD 1945 Pasal 33 Ttg Bumi air.. UUD 1945 Pasal 18 Ttg pembagian pemerintahan TAP MPR IX/MPR/2001 Reformasi Agraria dan pengelolaan SDA UU No. 32 Thn 2004 Pemda (OTONOMI) UU No. 22 Thn 1999 Pemda (OTONOMI) Pasal 11 Urusan Pertanahan di serahkan ke Pemda
Pasal 13 UU.32/2004 Pertanahan Urusan Wajib Keppres 34/2003 Perintah utk Revisi UU 5/1960 (SIP,9 kewenangan) UU No. 11 Thn 2006 Pemda ACEH (OTSUS) Keppres No.10/2006 Pertanahan masih urusan pusat PP No. 38 Thn 2007 Pemb.Urusan Pem UU No.2 /2012 dan Perpres No.71/2012 Tanah Utk Kep. Umum Keppres No. 10/2001 Urusan Tanah Urusan Pusat KRONOLOGIS URUSAN PERTANAHAN 1960 1988 1974 1999 2004 2001 2003 2006 2007 2012 1945 1965 G 30 S PKI SARANA DAN PRASARANA 14 Keppres 34 thn 2003 Pertanahan tetap kewenangan pusat UU 32/2004 PP 38 thn 2007 (Kewenangan Pertanahan) 1. Pengaturan, Penguasaan, dan Pemilikan Tanah; 2. Penatagunaan tanah; 3. Pengurusan Hak atas Tanah: 4. Pengukuran dan Pendaftaran Tanah; 5. Penelitian dan Pengembangan Pertanahan; 6. Pengembangan dan Pembinaan SDM Pertanahan; 7. Pengaturan Pertanahan di Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau Kecil; 8. Pengelolaan Pertanahan di Wilayah Perbatasan dan Pulau-pulau Terpencil; 9. Pengelolaan Ruang atas dan bawah tanah serta reklamasi; 10. Pengendalian dan monitoring pasca penerbitan sertifikat; 11. Pengendalian nilai tanah dan Penilaian Sumber Daya; 12. Pembangunan sistem informasi pertanahan. 1. Pemberian izin lokasi 2. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, 3. Penyelesaian sengketa tanah garapan 4. Penjyelesaian sengketa masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, 5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah,serta gantui rugi tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, 6. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat, 7. Pemanfaatan dan Penyelesaian masalah tanah kosong, 8. Pemberian izin membuka tanah, 9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota PERMASALAHAN BIDANG PERTANAHAN PEMERINTAH DAERAH TNI/POLRI/BUMN PEMUKIMAN RAKYAT/ TANAH ULAYAT PERTAMBANGAN PERKEBUNAN KAWASAN HUTAN LAHAN TRANSMIGRASI BATAS WILAYAH/DAERAH B A T A S
W I L A Y A H / D A E R A H
BATAS WILAYAH/DAERAH B A T A S
W I L A Y A H / D A E R A H
16 PEMERINTAH DAERAH MP3EI Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia KEK UU 39/2009 tentang KEK
KAWASAN INDUSTRI PP 24/2009 tentang Kawasan Industri
FTZ UU 36/2000 tentang FTZ
PERMASALAHAN PENGELOLAAN KAWASAN EKONOMI, INDUSTRI, DAN PERDAGANGAN BEBAS KAWASAN KHUSUS PP 43/2010 Tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Khusus KAPET Keppres 150/2000 tentang KAPET
KAWASAN INDUSTRI PP 24/2009 tentang Kawasan Industri Kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri. TUJUAN PEMBANGUNAN KAWASAN INDUSTRI Mengendalikan pemanfaatan ruang; Meningkatkan upaya pembangunan industri yang berwawasan lingkungan; Mempercepat pertumbuhan industri di daerah; Meningkatkan daya saing industri; Meningkatkan daya saing investasi; dan Memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan Pembangunan infrastruktur yang terkoordinasi antar sektor terkait Pasal 2 PP No. 24/2009 ttg Kawasan Industri
KETAHANAN NASIONAL MENDUKUNG RPP KAWASAN INDUSTRI SEBAGAI TINDAK LANJUT UU 3/2014 TTG PERINDUSTRIAN Pasal 48 Pemerintah dalam melaksanakan prakarsa pembangunan Kawasan Industri dapat bekerja sama dengan Gubernur/Bupati/Walikota dalam pengadaan lahan sesuai dengan kewenangannya. Tata cara pengadaan lahan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 18 SPESIFIKASI DAN FASILITAS KAWASAN INDUSTRI Luas lahan kawasan industri minimal 50 hektar dalam satu hamparan Luas lahan kawasan industri tertentu untuk usaha mikro, kecil, dan menengah paling rendah 5 hektar dalam satu hamparan Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dikecualikan dari ketentuan tentang gangguan, izin lokasi dan pengesahan site plan Perusahaan di dalam kawasan industri dapat diberikan fasilitas kepabeanan dan fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Sesuai PP 24/2009 ttg Kawasan Industri Menetapkan kawasan industri tertentu Melakukan pengaturan dan pembinaan terhadap kawasan industri, kawasan industri tertentu dan perusahaan industri Menetapkan pedoman teknis kawasan industri Memfasilitasi penyelesaian permasalahan antara perusahaan KI dengan perusahaan industri di KI Membentuk Tim Nasional Kawasan Industri Menetapkan patokan harga jual/sewa kaveling dan atau bangunan industri di kawasan industri atas usul Timnas KI Melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam hal prasarana dan sarana KEWENANGAN MENTERI PERINDUSTRIAN Sesuai PP 24/2009 ttg Kawasan Industri KEWENANGAN GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA Memberikan insentif dan perizinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan Memberikan kemudahan dalam perolehan/pembebasan lahan pada areal yang diperuntukkan bagi pembangunan kawasan industri Mengarahkan kegiatan industri ke dalam kawasan industri Mewujudkan Pelayanan Terpadu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Sesuai PP 24/2009 ttg Kawasan Industri 22 1. Pembangunan industri banyak terkonsentrasi di pulau Jawa (80%) terkait masalah infrastruktur 2. Hasil kajian menunjukkan bahwa kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian selama ini belum efektif, diakibatkan: Kurangnya sinkronisasi kegiatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah Kurangnya Komitmen stakesholder terkait 3. Lahan pertanian belum mendapatkan perhatian serius dari eksekutif dan lembaga legislatif. Dalam penyusunan RTRW 4. Belum adanya dukungan penegakan hukum yang cukup kuat dan konsisten. 5. Di lapisan paling bawah (grass root), masih rendahnya partisipasi masyarakat maupun LSM secara aktif dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian (Bappenas, 2007). PERMASALAHAN 23 1. Secara teoritis terdapat tiga pendekatan yang dapat ditempuh dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah yaitu: Regulasi, Implementasi, Reward dan Punishment. Ketiga pendekatan tersebut harus diimplementasikan secara simultan. 2. Dalam pendekatan hukum, RTRW perlu disempurnakan lebih lanjut. Diperlukan zonasi yang lebih rinci terkait dengan pengendalian alih fungsi Lahan pertanian. 3. Peraturan perundang-undangan yang telah dibuat perlu diharmonisasikan dan didukung penegakan hukum (law enforcement) yang kuat dan konsisten. 4. Mengingat situasi dan kondisi yang dihadapi antar daerah berbeda, maka Metode dan Pendekatan yang dilakukan harus berbeda. Hal itu berimplikasi pada strategi pengendalian maupun urutan prioritasnya. 5. Dukungan dan partisipasi masyarakat maupun LSM