1. DEFINISI Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal vasomotor sebagai akibat pemakaian vasokonstriktor topical (obat tetes hidung atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat dikatakan hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse) (Soepardi et al., 2007). Rinitis medikamentosa dikenal juga dengan rebound rhinitis atau rinitis kimia karena menggambarkan kongesti mukosa hidung yang diakibatkan penggunaan vasokontriksi topikal yang berlebihan. Obat-obatan lain yang bisa mempengaruhi keseimbangan vasomotor adalah antagonis -adrenoreseptor oral, inhibitor fosfodiester, kontrasepsi pil, dan antihipertensi. Tetapi mekanisme terjadinya kongesti antara vasokontriktor hidung dengan obat-obat di atas berbeda sehingga istilah rinitis medikamentosa hanya digunakan untuk rinitis yang disebabkan oleh penggunaan vasokontiktor topikal sedangkan yang disebabkan oleh obat-obat oral dinamakan rhinitis yang dicetuskan oleh obat (drug-induced rhinitis) (Lockey, 2006).
2. ETIOLOGI Obat vasokonstriktor topikal dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus nasal terganggu dan akan berfungsi kembali bila pemakaian dihentikan. Pemakaian vasokontriktor topikal yang berulang dan waktu lama akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi ulang (rebound dilatation) setelah vasokontriksi, sehingga timbul obstruksi. Bila pemakaian obat diteruskan maka akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan, pertambahan mukosa jaringan dan rangsangan sel-sel mukoid sehingga sumbatan akan menetap dan produksi sekret berlebihan (Adams, Boies, & Higler, 2006). Selain vasokontriktor topikal, obat-obatan yang dapat menyebabkan edema mukosa diantaranya adalah asam salisilat, kontrasepsi oral, hydantoin, estrogen, fenotiazin, dan guanetidin. Sedangkan obat-obatan yang menyebabkan kekeringan pada mukosa hidung adalah atropin, beladona, kortikosteroid dan derivat katekolamin (Adams, Boies, & Higler, 2006). Penyakit rinitis medikamentosa disebabkan oleh pemakaian obat sistemis yang bersifat sebagai antagonis adreno-reseptor alfa seperti anti hipertensi dan psikosedatif . Selain itu aspirin, derivat ergot, pil kontrasepsi , dan anti cholinesterasi yang digunakan secara berlebihan juga dapat menyebabkan gangguan hidung. Obat vasokonstriktor topikal sebaiknya isotonik dengan sekret hidung yang normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5, serta pemakaiannya tidak lebih dari satu minggu. Jika tidak, akan terjadi kerusakan pada mukosa hidung berupa: 1. Silia rusak 2. Sel goblet berubah ukurannya 3. Membran basal menebal 4. Pembuluh darah melebar 5. Stroma tampak edema 6. Hipersekresi kelenjar mukus 7. Lapisan submukosa menebal 8. Lapisan periostium menebal (Garfield, 2006).
Antihipertensi Phosphodiesterase type 5 inhibitors Hormon
Dekongestan yang menyebabkan Rhinitis Medikamentosa (Ramer, Bailen, & Lockey, 2006)
3. EPIDEMIOLOGI Rhinitis medikamentosa terjadi pada tingkat yang sama pada pria dan wanita tetapi lebih sering terjadi pada dewasa muda dan setengah baya (Lockey, 2006). Kejadian dilaporkan dalam rentang 1 tahun pada klinik THT dari 1% menjadi 7%. Dari 500 pasien berturut-turut dengan hidung tersumbat di klinik alergi, 9% memiliki rhinitis medikamentosa (Adams, Boies, & Higler, 2006).
4. PATOFISIOLOGI Mukosa hidung merupakan organ yang amat peka terhadap rangsangan atau iritan sehingga harus berhati hati dalam mengkonsumsi obat vasokonstriksi topikal dari golongan simptomatik yang dapat mengakibatkan terganggunya siklus nasal dan akan berfungsi kembali dengan menghentkan pemakaian obat. Pemakaian vasokonstriktor topikal yang berulang dalam waktu lama, akan mengakibatkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriksi, sehingga menimbulkan terjadinya obstruksi atau penyumbatan. Dengan adanya gejala obstruksi hidung ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut sehingga efek vasokonstriksi berkurang, pH hidung berubah dan aktivitas silia terganggu, sedangkan efek blik akan menyebabkan obstruksi hidung lebih hebat dari keluhan sebelumnya. Bila pemakaian obat diteruskan akan menyebabkan dilatasi dan kongesti jaringan. Kemudian terjadi pertambahan mukosa jaringan dan rangsangan selsel mukoid, sehingga sumbatan akan menetap dengan produksi sekret yang berlebihan (Soepardi et al., 2007). Pemberian antibiotik selama minimal 2 minggu dan obat simptomatik lainnya. Tindakan meliputi diatermi, fungsi dan irigasi sinus (sinusitis maksila), pencucian Proetz (sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid), pembedahan radikal dan tidak radikal. Diatermi menggunakan gelombang pendek di daerah sinus paranasal yang sakit selama 10 hari (Behrman, 2000). Selain itu, terdapat juga hipotesis bahwa rhinitis medikamentosa terjadi sebagai akibat berkurangnya produksi nor-epinefrin simpatetik endogen menerusi jalur umpan balik negatif. Dengan penggunaan dekongestan dalam jangka waktu yang lama, saraf simpatetik tidak bisa berfungsi untuk mempertahankan vasokonstriksi karena pelepasan nor-epinefrin yang ditekan (Garfield, 2006).
5. GAMBARAN KLINIS Pada rhinitis medikamentosa terdapat gejala hidung tersumbat terus menerus, berair. Pada pemeriksaan edema/hipertrofi konka dengan secret hidung berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang (Lockey, 2006). Keluhan utama pasien adalah hidung tersumbat secara terus menerus tanpa mengeluarkan sekret. Penampakan pada pemeriksaan fisis bagi rhinitis medikamentosa tidak jauh bedanya dengan infeksi atau rhinitis alergi. Mukosa hidung kelihatan kemerahan ( beefy-red ) dengan area bercak pendarahan dan sekret yang minimal atau udem. Selain itu juga, mukosanya bisa tampak pucat dan udem, juga bisa menjadi atrofi dan berkrusta disebabkan penggunaan dekongestan hidung dalan jangka waktu yang lama (Lockey, 2006).
6. DIAGNOSIS Kriteria bagi diagnosis rhinitis medikamentosa adalah : i. Riwayat pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat tetes hidung atau obat semprot hidung dalam waktu lama dan berlebihan. ii. Obstruksi hidung yang berterusan ( kronik ) tanpa pengeluaran sekret atau bersin. iii. Ditemukan mukosa hidung yang menebal pada pemeriksaan fisis (Ramer, Bailen, & Lockey, 2006). Rhinitis medikamentosa sering terjadi disebabkan oleh kondisi medis lainnya yang menyebabkan penggunaan dekongestan. Jadi, penting untuk menjalankan beberapa pemeriksaan lainnya untuk mengidentifikasi kondisi medis lainnya yang berpotensi untuk diobati. Di antara pemeriksaannya adalah uji tusuk bagi pasien yang mempunyai riwayat rhinitis alergi, uji aspirin bagi pasien yang mempunyai trias ASA dan pemeriksaan rinoskopi untuk mengidentifikasi deviasi septal, abnormalitas struktur anatomi dan juga polip hidung (Ramer, Bailen, & Lockey, 2006). a. Anamnesa hidung tersumbat terus-menerus dan berair b. Pemeriksaan Rhinoskopi anterior : konka edema (hipertrofi), sekret hidung yang berlebihan tes adrenalin : negatif (edema konka tidak berkurang) (Soepardi et al., 2007).
7. DIAGNOSIS BANDING i. Rinitis Alergi ii. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) Rhinitis iii. Polip Nasi iv. Rinitis Non-Alergi v. Rhinosinusitis (Adams, Boies, & Higler, 2006).
8. PENANGANAN Penanganan terhadap rhinitis medikamentosa adalah sebagai berikut: i. Hentikan pemakaian obat tetes /semprot hidung ii. Untuk mengatasi sumbatan hidung berulang (rebound congestion) berikan kortikosteroid iii. secara tappering off dengan penurunan dosis sebanyak 5mg/hari iv. dekongestan oral : pseudoefedrine v. operatif bila tidak ada perbaikan selama 3 minggu : cauterisasi konka inferior, conchotomi concha inferior (Soepardi et al., 2007). Jika rinitis medikamentosa dikenal pasti akibat penggunaan dekongentan topikal, maka pasien harus dinasihatkan agar segera dihentikan penggunaannya. Pasien juga harus diberi edukasi mengenai keluhan yang dialami dan diberikan pengobatan alternatif lainnya bagi menggantikan obat yang menyebabkan terjadinya sumbatan hidung pada pasien (Garfield, 2006). Penghentian penggunaan secara mendadak dapat menyebabkan rebound swelling dan kongesti. Beberapa obat telah dikenalpasti bagi mengatasi masalah ini yaitu dengan menggunakan Cromolyn, sedatif / hipnotik, semprotan hidung yang menggunakan larutan saline. Adenosin trifosfat oral, obat tetes deksametason dan obat tetes triamcinolon juga membantu dalam usaha menyembuhkan pasien (Behrman, 2000). Menurut penelitian, kombinasi antihistamin oral dengan dekongestan bersama penggunaan deksametason intranasal juga direkomendasikan buat pengobatan rhinitis medikamentosa. Pada penelitian lainnya, injeksi kortikosteroid (triamsinolone asetat 20 mg pada turbinasi anterior juga mampu mengurangkan kongesti hidung). Glukokortikosteroid intranasal (semprotan deksametason sodium fosfat / budesonide) (Lockey, 2006).
9. KOMPLIKASI Dengan penggunaan yang berkelanjutan, medicamentosa rhinitis dapat menyebabkan sinusitis kronis, rinitis atropi, dan permanen hiperplasia turbinate. Pasien mengembangkan ketergantungan psikologis dan sindrom pantang atas penarikan obat, yang terdiri dari sakit kepala, gangguan tidur, gelisah, lekas marah dan kecemasan (Lockey, 2006). Hampir semua pasien pada akhirnya bisa menghentikan penggunaan obat tetes hidung dengan penyembuhan sempurna. Pada pasien yang tidak bisa menghentikan penggunaannya, menurut penelitian dapat terjadi hiperplasia menetap yang memerlukan intervensi yang bervariasi dari elektrokauter submukosa atau kryoterapi untuk mengurangkan destruksi turbinasi melalui penggunaan laser dan reseksi bedah. Komplikasi lainnya yang dapat terjadi adalah seperti perforasi septum, rinitis atropi dan infeksi sinus (Ramer, Bailen, & Lockey, 2006).
10. PENCEGAHAN Ada 3 tipe pencegahan yaitu primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah terjadinya tahap sensitisasi. Hal yang dapat dilakukan adalah menghindari paparan terhadap alergen inhalan maupun ingestan selama hamil, menunda pemberian susu formula dan makanan padat sehingga pemberian ASI lebih lama Pencegahan sekunder adalah mencegah gejala timbul dengan cara menghindari alergen dan terapi medikamentosa. Sedangkan pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi atau berlanjutnya penyakit (Adams, Boies, & Higler, 2006). Oleh karena itu, pencegahan melalui edukasi menjadi hal yang tak boleh dilupakan. Pasien perlu dimotivasi dan diberi pemahaman diberitahu mengenai efek samping obat yang mungkin timbul, apa yang harus dilakukan bila gejala itu timbul, dan komplikasi apa saja yang dapat terjadi pada rinitis medikamentosa. Tanpa edukasi, mustahil dapat dicapai efek terapi yang optimal (Ramer, Bailen, & Lockey, 2006).
11. PROGNOSIS Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua pasien bisa menghentikan penggunaan obat tetes hidung dan akhirnya menunjukkan penyembuhan yang sempurna. Bagi yang tetap menggunakan obat tersebut, fenomena kongesti rebound ini akan tetap berlangsung selagi pasien tidak menghentikan pengobatan tersebut (Adams, Boies, & Higler, 2006). DAFTAR PUSTAKA Adams, G., Boies, L., & Higler, P. 2006. Buku Ajar Penyakit THT (6 ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Behrman. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson (15 ed., Vol. 1). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Garfield, C. F. 2006. Rhinitis Medicamentosa. The Journal of e-Medicine , 1-10. Lockey, R. F. 2006. Rhinitis Medicamentosa and Stuffy Nose. Allergy Clinical Immunology Journal , 118, 1017-1018. Ramer, J. T., Bailen, E., & Lockey, R. F. 2006. Rhinitis Medikamentosa. Allergy Clinical Immunology Journal , 16 (3), 148-155. Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., & Restuti, R. D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher (6 ed.). Jakarta: Fakultas Kedoktera Universitas Indonesia.