1. RHINITIS VASOMOTOR Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktifitas parasimpatis. Rhinitis vasomotor disebut juga dengan vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific allergic rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis (Kasakeyan, 2006). Rhinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi sehingga sulit untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang(Kasakeyan, 2006). Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktor- faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut (Kasakeyan, 2006). Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan THT serta beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan jenis rhinitis yang lainnya (Wainwright dan Gombako,2004). Penatalaksanaan rhinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya gejala dan dapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif (Wheeler PW dan Wheleer SF, 2004).
I. DEFINISI Rhinitis vasomotor adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik. Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi (Kasakeyan, 2006).
II. ETIOLOGI Etiologi dari rhinitis dapat di klasifikasikan dalam 3 (tiga) kategori utama, yaitu : 1. Rhinitis alergi 2. Rhinitis infeksi 3. Rhinitis non-alergi, non-infeksi (rhinitis vasomotor) (Kasakeyan, 2006). Etiologi pasti rhinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu. Menurut Wainwright dan Gombako (2004), beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor : 1. Obat-obatan yang menekan dan mengahambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal. 2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang. 3. Faktor endokrin, seperti keadaan kehamilan, pubertas, pemakai pil anti hamil dan hipotiroidisme. 4. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatique. Mygind (1988), seperti yang dikutip oleh Sunaryo (1999), memperkirakan sebanyak 30-60% dari kasus rhinitis sepanjang tahun merupakan kasus rhinitis vasomotor dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita Walaupun demikian insiden pastinya tidak diketahui. Biasanya timbul pada dekade ke 3-4. Secara umum prevalensi rhinitis vasomotor bervariasi antara 7-21% (Kasakeyan, 2006). Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Jessen dan Janzon (1989) dijumpai sebanyak 21% menderita keluhan hidung non-alergi dan hanya 5% dengan keluhan hidung yang berhubungan dengan alergi. Prevalensi tertinggi dari kelompok non-alergi dijumpai pada dekade ke 3 (Sunaryo et al., 1999). Sibbald dan Rink (1991) di London menjumpai sebanyak 13% dari pasien, menderita rhinitis perenial dimana setengah diantaranya menderita rhinitis vasomotor (Sunaryo et al., 1999). Sunaryo et el., (1999) pada penelitiannya terhadap 2383 kasus rhinitis selama 1 tahun di RS Sardjito Yogyakarta menjumpai kasus rhinitis vasomotor sebanyak 33 kasus (1,38%) sedangkan pasien dengan diagnosis banding rhinitis vasomotor sebanyak 240 kasus (10,07%).
III. PATOFISIOLOGI Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rhinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan kongesti (Wainwright san Gombako, 2004). Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari sel-sel seperti sel mast. Termasuk diantara peptida ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin, polipeptida intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan rinore. Pelepasan peptida-peptida ini tidak diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti pada rhinitis alergi (Wainwright san Gombako, 2004). Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rhinitis vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara, parfum, asap rokok, polusi udara dan stress (emosional atau fisik) (Wainwright san Gombako, 2004).
Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rhinitis vasomotor, yaitu : 1. Meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis 2. Mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis 3. Mengurangi peptida vasoaktif 4. Mencari dan menghindari zat-zat iritan (Wainwright san Gombako, 2004).
IV. PATOGENESIS Rhinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh- pembuluh darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf parasimpatis. Tidak dijumpai alergen terhadap antibodi spesifik seperti yang dijumpai pada rhinitis alergi. Keadaan ini merupakan refleks hipersensitivitas mukosa hidung yang non-spesifik. Serangan dapat muncul akibat pengaruh beberapa faktor pemicu (Sunaryo et al., 1999). 1. Latar Belakang Adanya paparan terhadap suatu iritan memicu ketidakseimbangan sistem saraf otonom dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa hidung, vasodilatasi dan edema pembuluh darah mukosa hidung, hidung tersumbat dan rinore 2. Pemicu (Triggers) Alkohol Perubahan temperatur / kelembaban Parfum, hair spray ataupun pewangi ruangan Bahan pembersih rumah tangga ataupun bau tinta pada koran, buku ataupun majalah Bau yang menyengat seperti aroma masakan atau makanan (strong odor) Asap rokok atau polusi lainnya asap diesel Faktor psikis seperti stress dan ansietas Penyakit-penyakit endokrin Obat-obatan seperti anti hipertensi dan kontrasepsi o V. GEJALA KLINIS Gejala yang dijumpai pada rhinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan dengan rhinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi (Kasakeyan, 2006). Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rhinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata (Kasakeyan, 2006). Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya (Kasakeyan, 2006). Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok (post nasal drip) (OHollaren, 2006).
Berdasarkan gejala yang menonjol, rhinitis vasomotor dibedakan dalam dua golongan, yaitu golongan obstruksi (blockers) dan golongan rinore (runners/sneezers). Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rhinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya (Kasakeyan, 2006).
VI. DIAGNOSIS Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor dan disingkirkan kemungkinan rhinitis alergi (Kasakeyan, 2006). Biasanya penderita tidak mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa (Kasakeyan, 2006). Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat iritan tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar (Kasakeyan, 2006). Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa hidung, konkha hipertropi dan berwarna merah gelap atau merah tua (karakteristik), tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konkha dapat licin atau berbenjol. Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak (Wainwright dan Gombako, 2004). Pada rhinoskopi posterior dapat dijumpai post nasal drip (OHollaren, 2006). Pemeriksaan laboraturium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis alergi. Test kulit (skintest) biasanya negatif, demikian pula test RAST (phadebas radioallergosobent test), serta kadar Ig E total dalam batas normal. Kadang-kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret (Kasakeyan, 2006). Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.
Tabel 1. Perbedaan antara rhinitis alergi dan rhinitis vasomotor
(Dikutip dari kepustakaan 3)
Mulai serangan
Alergen
Etiologi
Gatal & bersin
Gatal di mata
Test kulit
Sekret hidung
Rhinitis Alergi
Usia belasan tahun
Terpapar (+)
Reaksi Ag Ab terhadap rangsangan spesifik
Menonjol
Sering dijumpai
Positif
Eosinofil meningkat
Rhinitis Vasomotor
Dekade ke 3-4
Terpapar (-)
Reaksi neurovaskular terhadap beberapa rangsangan mekanis atau kimia, juga faktor psikis
Tidak menonjol
Tidak dijumpai
Negatif
Eosinofil tidak meningkat
VIII. PENATALAKSANAAN Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan gejala yang menonjol (Snow dan Ballenger, 2003). Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam : 1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy ) 2. Pengobatan konservatif (Farmakoterapi) : Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan hidung tersumbat. Obat tetes atau semprot hidung dapat menghilangkan simptom rhinitis vasomotor secara dramatis dengan kemampuannya menciutkan pembuluh darah. Namun penggunaan preparat ini yang berkelanjutan dapat menimbulkan rebound swelling yang akhirnya dapat menimbulkan efek merugikan. Contohnya : Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine (oral) serta Afrin, Neosynephrine, Phenylaphrine dan Oxymetazoline (semprot hidung) (di kutip dari kepustakaan 7). Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore (Wheeler PW dan Wheleer SF, 2005). Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone (Wheeler PW dan Wheleer SF, 2005). Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan utamanya. Contoh :Ipratropium bromide (nasal spray). William W. Storms, MD dari Colorado melakukan penelitian terhadap 426 pasien dengan penggunaan Azelastine Nasal Spray dapat menghilangkan secara signifikan gejala yang ditimbulkan oleh rhinitis vasomotor dalam 3 minggu, dibandingkan dengan respon terapi anti alergi biasa (Montanaro, 2001). Eosinofil darah
Ig E darah
Neurektomi n. vidianus Meningkat
Meningkat
Tidak membantu Normal
Tidak meningkat
Membantu 3. Terapi operatif (dilakukan bila pengobatan konservatif gagal) : Kauterisasi konkha yang hipertropi dengan larutan AgNO 3 25% atau triklorasetat pekat (Chemical cautery) maupun secara elektrik (Electric cautery). Diatermi submukosa konkha inferior (submucosal diathermy of the inferior turbinate). Bedah beku konkha inferior (Cryosurgery). Reseksi konkha parsial atau total (Partial or total turbinate resection). Turbinektomi dengan laser (Laser turbinectomy). Neurektomi n. vidianus (vidian neurectomy), yaitu dengan melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi (Kasakeyan,2006).
IX. KOMPLIKASI 1. Infeksi sinus rekuren 2. Infeksi telinga rekuren (Wheeler PW dan Wheleer SF, 2005).
X. PROGNOSIS Prognosis dari rhinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat membaik dengan tiba-tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberikan (Wheeler PW dan Wheleer SF, 2005). Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rhinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya (Kasakeyan. 2006).
XI. KESIMPULAN 1. Rhinitis vasomotor merupakan suatu gangguan fisiologik neurovaskular mukosa hidung dengan gejala hidung tersumbat, rinore yang hebat dan kadang- kadang dijumpai adanya bersin-bersin. 2. Penyebab pastinya tidak diketahui. Diduga akibat gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh faktor-faktor tertentu. 3. Biasanya dijumpai setelah dewasa (30 40 tahunan) 4. Rhinitis vasomotor sering tidak terdiagnosis karena gejala klinisnya mirip dengan rhinitis alergi, oleh sebab itu sangat diperlukan pemeriksaan yang teliti untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis lainnya terutama rhinitis alergi dan mencari faktor pencetus yang memicu terjadinya gangguan vasomotor. 5. Penatalaksanaan dapat dilakukan secara konservatif dan apabila gagal dapat dilakukan tindakan operatif.
XII. DAFTAR PUSTAKA
1. Kasakeyan EL. 2006. Rinitis Vasomotor. Dalam : Soepardi EA, Nurbaiti Iskandar, Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-5. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. h. 107-8. 2. Wainwright M., Gombako LA. Vaomotor Rhinitis : School of Medicine at New Orleans.January 28 th , 2004. http://www.medschool.lsuhsc.edu/otorhinolaryngology/common_article2.asp 3. Wheeler PW, Wheeler SF. Vasomotor Rhinitis : American Academy of Family Physicians . Vol. 72/No. 6 (September 15 th ,2005). http://www.aafp.org 4. Rhinitis Vasomotor: http://www.icondata.com/health/pedbase/files/RHINITI1.HTM 5. Sunaryo, Soepomo S, Hanggoro S. 1999. Pola Kasus Rinitis di Poliklinik THT RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 1998. Disampaikan pada Kongres Nasional Perhati XII, Semarang. 6. OHollaren MT. 2006. Evaluating The Risk Factors for Nonallergic Vasomotor Rhinitis: Medscape Allergy & Clinical Immunology. http://www.medscape.com 7. Rhinitis Category, Allergic Rhinitis, Persisten Rhinitis, Vasomotor Rhinitis And Non-Allergic Rhinitis Treatment Method : Rhinitis Faq. Copyright 2006. http://www.rhinitisfaq.com 8. Montanaro, A. 2001. Studies Confirm Effectiveness of Therapy for Rhinitis : Med Students.http://www.medscape.com Medscape Portals, Inc. RHINITIS ALERGIKA Gol Penyakit SKDI : 4A Maryamah 0907101010122
1. RHINITIS ALERGIKA Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar dengan allergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang sama serta meliputi mekanisme pelepasan mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen yang serupa (Irawati et al., 2007). Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin- bersin, keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE (WHO ARIA tahun 2001). Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung (Irawati et al., 2007). Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung. Rhinitis alergi Adalah istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan setiap reaksi alergi mukosa hidung, dapat terjadi bertahun-tahun atau musiman (Irawati et al., 2007). Rinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh perempuan dan laki-laki yang berusia 30 tahunan. Merupakan inflamasi mukosa saluran hidung yang disebabkan oleh alergi terhadap partikel, seperti: debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di udara.
I. Definisi Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Irawati et al., 2007). Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE (Irawati et al., 2007). II. Epidemiologi Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta penderita dari seluruh etnis dan usia (Sudiro et al., 2010). Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya menderita rhinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sedangkan pada dewasa prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan perempuan. Sekitar 80% kasus rhnitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia (Sheikh, 2011).
Di Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%) (Sudiro et al., 2010). III. Etiologi Menurut Irawati et al., (2007), berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas: 1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur. 2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan. 3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah. 4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
IV. Patogenesis Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai satu jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam (Irawati et al., 2007). Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T Helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilakan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13. IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain itu juga dikeluarkan Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrein D4 (LTD4), Leukotrein C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC) (Irawati et al., 2007). Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan menyebabkan sel mukosa dan sel goblet megalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinorea. Gejala lain dalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1) (Irawati et al., 2007). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eusinofil dan noutrofil di jaringan target. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiper responsive hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti ECP, EDP, MBP, EPO. Pada fase ini, selain factor spesifik (allergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati et al., 2007).
Gambar 2: Patogenesis Rinitis Alergi
V. Gambaran Histologik Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang inter seluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel- sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung (Irawati et al., 2007). VI. Klasifikasi Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi (Dhingra, 2000): 1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen), rerumputan, dan spora jamur. 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit ini timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan dan alergen ingestan.
Berdasarkan WHO Initiative ARIA, rinitis alergi berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi: 1. Intermitten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. 2. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu (ARIA, 2007). Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: 1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan akivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu (Mabry dan Marple, 2005). 2. Sedang-berat bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas (Irawati et al., 2007).
VII. Gejala Klinis Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi) (Sheikh, 2011). Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa bersin, mata atau palatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung tersumbat (Sheikh, 2011). Pada mata dapat menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis, mata terasa terbakar, dan lakrimasi (Sheikh, 2011). Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga bagian tengah (Dhingra, 2000). VIII. Diagnosis Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan: a. Anamnesis Pada anamnesis didapati keluhan serangan bersin yang berulang. Bersin ini merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang RAFL sebagai akibat dilkepaskannya histamin. Gejala lain adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi) (Irawati et al., 2007). Riwayat penyakit alergi dalam keluarga perlu ditanyakan. Pasien juga perlu ditanya gangguan alergi selain yang menyerang hidung, seperti asma, eczema, urtikaria, atau sensitivitas obat.
Keadaan lingkungan kerja dan tempat tinggal juga perlu ditanya untuk mengaitkan awitan gejala (Sheikh, 2011). IX. Pemeriksaan Fisik Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertofi (Irawati et al., 2007). Gejala spesifik lain pada anak adalah adanya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain itu juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergig salute. Menggosok-gosok hidung mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue) (Sheikh, 2011). X. Pemeriksaan Penunjang
Invitro : Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal. Invivo : Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/ SET). SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya (Irawati et al., 2007). Untuk allergen makanan, uji kulit Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). XI. Diagnosis Banding Menurut Harsono et al., (2011), diagnosa banding dari rinitis alergi adalah 1. Rinitis vasomotor 2. Rinitis infeksi
XII. Penatalaksanaan a. Terapi yang paling ideal dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab dan eliminasi (Sheikh, 2011). b. Medikamentosa
(Dhingra, 2000) Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non-sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (Plaut dan Valentine, 2005). Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. c. Operatif
(Irawati et al., 2007) Tindakan konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berta dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO 3 25% atau triklor asetat. d. Imunoterapi
(Sheikh, 2011) Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. e. Edukasi Pasien (Sheikh, 2011) Memberikan edukasi pada pasien utnuk menghindari bahan-bahan yang merupakan allergen.
XIII. Komplikasi Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah (Adams et al., 1997): 1. Polip hidung. 2. Otitis media 3. Sinusitis paranasal 4. Gangguan fungsi tuba eustachius
XIV. Prognosis Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah dapat memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak) semakin dewasa akan semakin kurang sensitif terhadap. Namun, sebagai aturan umum, jika suatu zat menjadi penyebab alergi bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang itu dalam jangka panjang (Sylvia, 2005). XV. KESIMPULAN Rintis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Alergen dapat berupa Alergen inhalan misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur, alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan, alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah, dan alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dijumpai keluhan dan gejala berupa bersin, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi). pada anamnesis perlu diatanyakan riwayat keluarga, riwayat tempat tinggal dan lingkungan pekerjaan. Pada pemeriksaan fisik, pada rinoskopi anterior dijumpai mukosa edema basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Penatalaksanaan dari rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan allergen, medikamentosa, operatif, imunoterapi, dan edukasi kepada pasien. Komplikasi yang sering terjadi pada rinitis alergi adalah polip hidung, otitis media, gangguan fungsi tuba dan sinusitis paranasal.
XVI. DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. 2007. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 128-134. 2. Sudiro, M., Madiadipoera, T., Purwanto, B. 2010. Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung Sebagai Diagnostik Rinitis Alergi. MKB volume 42 No 1. hslm 6-11. 3. Sheikh, J. 2011. Allergic Rhinitis. Available from: http://emedicine.medscape. com/article/134825. [Accessed 11 Oktober 2011]. 4. Adams, G., Boies, L R., Higler, P A. 1997. Penyakit Hidung. Dalam : Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi keenam. Jakarta: EGC; 210-218. 5. Snow, J B., Ballenger, J J. 2003. Allergic Rhinitis. In: Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery Edition 9 th . Spain: BC Decker; 708-731. 6. Dhingra, PL. 2000. Allergic Rhinitis. In : Disease of Ear, Nose and Throat fourth edition. Elsevier. 157-159. 7. Mabry, R., Marple, B. 2005. Allergic Rhinitis. In:Cummings Otolaryngologi Head Neck Surgery Fourth Edition. USA: Elsevier ; 982-988. 8. ARIA. 2007. ARIA At A Glance Pocket Reference 2007 1 st Edition. 9. Plaut, M., Valentine, M D. 2005. Allergic Rhinitis. The New England Journal of Medicine 353;18; 1934-1943. 10. Harsono, Ariyanto, Endaryato, Anang. 2011. Rinitis Alergika. Diunduh dari : http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt &filepdf=0&pdf=&html=07110-bfxu225.htm. [Diakses 11 Oktober 2011]. 11. Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC