You are on page 1of 112

KONSEP AMAR MARUF NAHI MUNKAR DALAM

TAFSIR AL-MISBAH KARYA QURAISH SHIHAB


DALAM PERSPEKTIF DAKWAH









SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)

NURUL ATIQOH
071211044

FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO
SEMARANG
2011
ii

iii

iv

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya
sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi di lembaga pendidikan
lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang
belum/tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan daftar pustaka.


Semarang, 8 Desember 2011



Nurul Atiqoh
NIM. 071211044
v

MOTTO


!!., _ `.., `-,L < `-,L _.l _|` . `>.. | ,.s...
_ ,`_: ::` _|| < _.l | ,.. `... <!, ,,l > ,l: ,>
_.> ,!. __

Hai orang-orang yang beriman!. Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulul Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(al- Quaran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
(Q.S. Annisa : 59) (Departemen Agama RI, 2006 : 87).
vi

PERSEMBAHAN

Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat
dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini untuk orang-orang yang selalu
hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia
berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat:
1) Umi Hj. Khuzaimah (Ibu paling cerdas di dunia), terima kasih untuk
segala curahan kasih Umi selama ini, tanpa kasih sayang Umi tidak
mungkin Atiqoh bisa menyelesaikan studi ini dengan baik.
2) Abah H. Abdul kholiq (Ayah nomor satu di dunia), terima kasih atas
segala nasihat yang Abah hujamkan, insya Allah Atiqoh akan selalu
menjadi orang yang tegar dalam menghadapi apapun.
3) Kakak ku tersayang, para motivator muda di dadaku (mba Nura dan mas
Yidin) kalian motivasi Atiqoh dalam menyelesaikan skripsi ini, tanpa
hadirnya kalian dalam kalbu, tak mungkin karya ini tercipta.
4) Kakanda ku Dedi Rosadi,S.Sos.I, Seseorang yang spesial dalam hatiku,
sumber inspirasi, tanpamu imajinasiku beku, terima kasih atas segala
kesabaran dan pengertianmu dalam menghadapi sifat dan sikapku.


Penulis


vii

ABSTRAKSI

Nurul Atiqoh (071211044). Konsep Amar maruf Nahi Munkar dalam
Tafsir A-Misbah karya Qurais Shihab dalam Perspektif Dakwah. Skripsi Fakultas
Dakwah IAIN Walisongo Semarang.
Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan konsep ayat-ayat amar maruf
nahi munkar yang terkandung dalam tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab dalam
perspektif dakwah. Dalam merumuskan hasil penelitian skripsi ini perlu adanya
upaya perolehan dan pengolahan data. Untuk memperoleh data, penulis
menggunakan riset kepustakaan (library research), yang dijadikan sumber data
baik primer maupun sekunder. Data tersebut penulis analisis dengan
menggunakan metode analisis hermeneutik, yaitu proses mengubah sesuatu atau
situasi dari ketidaktahuan menjadi mengerti, dalam hal ini penulis akan
menafsirkan dakwah sesuai dengan konteks sekarang.
Dari penelitian yang penulis lakukan dapat di temukan hasil rumusan
sebagai berikut, bahwa berdasarkan konsep dalam ayat-ayat amar maruf nahi
munkar di dalam tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab yang telah diterangkan
secara rinci di atas, dapat diketahui bahwa ayat tersebut mengandung petunjuk
dan perintah dari Allah SWT yang mencakup antara lain: pertama, golongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah
dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung. Kedua, Mereka itu
tidak sama di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, beriman
kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang makruf, dan
mencegah dari yang munkar dan mengerjakan berbagai kebajikan. Ketiga, lelaki
dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian
yang lain. Mereka menyuruh mendirikan sembahyang, menunaikan zakat.
Keempat, kedurhakaan. Kelima, beriman kepada Allah. Keenam, siksaan yang
keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Ketujuh, orang-orang mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah
dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.
Kedelapan, tolong - menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa. Kesembilan, melarang mereka mengucapkan perkataan bohong.
Kesepuluh, keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan.
Kesebelas, orang yang benar-benar penegak keadilan. Kedua belas, bisikan
menyuruh maruf antara lain sedekah karena akan diberi pahala yang besar. Tiga
belas, golongan dari orang-orang mukmin yang disenangi Allah SWT.
viii

Hasil dari pembahasan menunjukkan bahwa konsep amar maruf nahi
munkar dalam tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab yaitu, Amar maruf nahi
munkar, digunakan syariat Islam untuk pengertian memerintahkan atau mengajak
diri dan orang lain melakukan hal-hal yang dipandang baik oleh agama, dan
melarang atau mencegah diri dan orang lain dari melakukan hal- hal yang
dipandang buruk oleh agama.
Al-Quran dan sunnah melalui dakwah rasulullah SAW mengamanahkan
nilai-nilai. Nilai-nilai itu ada yang bersifat mendasar, universal dan abadi, serta
ada juga yang bersifat praktis, lokal, dan temporal sehingga dapat berbeda antara
satu tempat atau waktu dan tempat atau waktu yang lain.



















ix

KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang menciptakan
langit dan bumi serta segala isinya. Sang pemberi karunia, hidayah dan inayah.
Atas izin Engkau ya Robb, hamba masih diberi kesempatan sebagai penghuni
dunia yang fana ini. Semoga Engkau selalu membimbing sisa perjalanan hidup
hamba ke jalan yang selalu Engkau ridhoi. Amin.
Sholawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW,
nabi akhir zaman yang diutus untuk menyebarkan Islam di dunia ini. Semoga
kelak kita mendapatkan syafaatnya serta diakui menjadi umatnya di yaumil akhir.
Penulis menyadari akan keterbatasan diri dalam penyusunan skripsi ini.
Dan penulis yakin penyelesaian srikipsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak yang telah banyak membentu baik secara langsung maupun tidak langsung,
material dan spiritual, sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan. Maka dalam
kesempatan kali ini izinkanlah penulis menyampaikan ucapan terimakasih tak
terhingga kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.A, selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang.
2. Bapak Dr. Muhammad Sulthon, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo Semarang.
3. Bapak Drs. H. Ahmad Hakim, MA. Ph.D. selaku dosen pembimbing yang
selalu sabar memberikan nasihat, bimbingan dan bersedia meluangkan waktu,
tenaga dan pikiran, dan Bapak Ahmad Faqih, SAg, M.Si selaku dosen
pembimbing II sekaligus wali dalam tahun ketahun memberikan nasihat dan
memberikan arahan dalam perkuliahan dan selesainya skripsi ini..
4. Dosen Fakultas Dakwah yang selama ini telah menjadi guru yang sabar
mendidik mahasiswanya di bangku kuliah. Segenap karyawan yang telah
membantu menyelesaikan administrasi.
5. Bapak ku tercinta H. Abdul Kholiq, MH dan Ibunda ku tercinta Hj.Khuzaimah,
yang senantiasa selalu ada dalam kondisi apapun, yang selalu memberikan doa
restu serta cinta kasih yang tidak pernah berkurang setiap waktu,yang selalu
memberi ketegaran dikala kesedihan datang mendera, dan yang selalu sabar
x

dalam mendidik putrinya.
6. Kakak tersayang Nura Azizah dan Muhyidin, terima kasih untuk semua tawa
yang kalian berikan, kalianlah motivator muda yang selalu ada di hatiku.
7. Seseorang yang selalu mendampingi hidup ku dan menghiasi hari-hariku
menjadi berwarna-warni, yang selalu sabar menghadapi sikapku, yang selalu
memberi masukan di saat banyak problem, yang selalu tersenyum dalam
keadaan apapun, yang selalu ada di kala suka dan duka, Kanda Dedi
Rosadi,S.Sos.I
8. Teman-temanku mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, khususnya teman-
temanku Dakwah dan KPI 07(Silfi, Fela, Ani, Fia, Nia, Nisa, dll). Dan teman-
temanku yang ada di Ponpes Tahfudhul Quran(dolog)(Dek ningsih, Lina dll).
Dan kos Nusa indah semuanya yang sudah memberikan semangat.
9. UKM Kordais Tercinta yang selalu memberikan kebahagiaan dan selalu
memberikan inspirasi khususnya periode 07 yang selalu aktif (Lilik, Usfi,
Ruroh, Khofsoh, Hasan, Ridwan, Rizal, Akif, Fajri, Nisa, Nia, Fela, Fida, Ulya,
Luluk, Nela, Aim, Slamet, Suhono dll).
Semoga segala kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan yang sesuai
dari Allah. Amin.
Penulis menyadari ada banyak kesalahan dalam skripsi ini. Oleh karenanya
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan sebagai pembelajaran
untuk pencapaian yang lebih baik di masa mendatang.




Semarang, 8 Desember 2011




Penulis

xi

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................... iv
HALAMAN MOTTO ....................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................ vi
ABSTRAKSI ..................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ....................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .......................................................... 5
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 6
1.4. Telaah Pustaka .................................................................. 6
1.5. Metode Penelitian ............................................................. 9
1.6. Sistematika Penulisan ....................................................... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AMAR MARUF NAHI
MUNKAR DALAM PERSPEKTIF DAKWAH
2.1. Tentang Amar maruf nahi munkar .................................... 14
2.2. Rukun-Rukun Amar maruf nahi munkar ........................... 23
2.3. Tentang Dakwah ............................................................... 24
2.4. Unsur-unsur Dakwah ....................................................... 26





xii

BAB III PROFIL M. QURAIS SHIHAB DAN ISI KANDUNGAN
TAFSIR AL-MISBAH KARYA QURAISH SHIHAB
TENTANG AMAR MARUF NAHI MUNKAR

3.1. Profil M. Qurais Shihab.................................................. ..... 28
3.2. Profil Tafsir Al-Misbah ...................................................... 34
3.3. Ayat-ayat tentang Amar maruf nahi munkar ..................... 36
3.4. Kandungan makna Amar maruf nahi munka ..................... 55
BAB IV ANALISIS
4.1. Analisis Konsep Amar maruf nahi munkar ....................... 69
4.2. Relevansi dalam perspektif dakwah masa kini.................... 88

BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan ....................................................................... 91
5.2. Saran ................................................................................ 92
5.3. Penutup ............................................................................. 92

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BIODATA PENULIS











1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Islam adalah agama dakwah yaitu agama yang menugaskan umatnya untuk
menyebarluaskan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat, hal ini berlangsung
sepanjang zaman, kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun. Sebagai agama
dakwah, Islam disebar luaskan dan diperkenalkan kepada manusia melalui
aktifitas dakwah, tidak melalui kekerasan, pemaksaan, terhadap umatnya, agar
mau memeluk agama (Amin, 1989:5). Jadi Islam menginginkan setiap orang
memeluk agama Islam dengan sukarela, ikhlas dan damai tanpa paksaan, karena
pada dasarnya esensi dakwah adalah ajakan bukan paksaan.
Dakwah Islamiyah adalah menyampaikan seruan Islam, mengajak dan
memanggil umat manusia agar menerima dan mempercayai keyakinan dan
pandangan hidup Islam, di dalam pembicaraan tentang dakwah akan ditemukan
beberapa istilah yang dimaksud pengertiannya sama dengan dakwah atau
berhubungan dengan dakwah, diantaranya nahi munkar (Yaqub, 1973:11).
Dalam menyampaikan dakwah selalu terkait dengan pembahasan amar
maruf nahi munkar, seorang dai harus berpedoman pada sumber utama Al-
Quran dan Al-Hadist, di dalam Al-Quran dan Al-Hadist diberikan tuntunan
tentang cara-cara berdakwah yang bisa digunakan sebagai pedoman pokok tentang
metode dan teknik berdakwah, seperti dalam firman Allah SWT, dalam QS An-
Nahl ayat 125, yaitu:
2



Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk(QS.16: 125)(Depag RI, 1978: 421).

Dakwah pada hakekatnya adalah mengajak baik pada diri sendiri ataupun
kepada orang lain. Untuk berbuat baik sesuai dengan ketentuan yang telah
digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta meninggalkan perbuatan yang tercela
(yang dilarang Allah) dan Rasul-Nya. Dakwah bisa diidentifikan dengan amar
maruf nahi munkar.
Berkenaan dengan masalah perintah dan larangan, kita perlu memahami
kembali peranan amar maruf nahi munkar (menyeru kepada yang maruf dan
mencegah yang munkar) yang diajarkan Islam kepada umatnya. Karena banyak
diantara kita yang belum memahami hakikat, fungsi dan kedudukanya diantara
ibadah-ibadah lainnya. Semuanya itu menyebabkan kurang berfungsinya konsep
amar maruf nahi munkar dalam kehidupan kita sehari-hari, apabila pada era
modernisasi yang tidak pernah sepi dari kemunkaran. Pembahasan masalah
kebaikan dan kemunkaran sangat luas dan beragam bentuknya, namun sampai
pada saat ini banyak orang-orang Islam yang mengkonsumsi kebaikan hanya
untuk dirinya sendiri tanpa memperdulikan orang lain. Demikian halnya terhadap
kemunkaran, mereka hanya mencegah kemunkaran dari dirinya pribadi dan
membiarkan orang lain.
3

Tujuan beramar maruf nahi munkar yang diturunkan di atas bumi ini
adalah sebagai rahmatan lil alamin yakni sebagai rahmat bagi seluruh alam
semesta. Untuk mewujudkan tersebut dalam kenyataan, sekaligus untuk
mempertahankan kedudukan orang mukmin sebagai umat yang terbaik yang
ditampilkan Allah di arena kehidupan ini, maka sangat diperlukan suatu konsepsi
yang harus dilaksanakan secara konsekuen. Konsep itu tak lain melaksanakan
amar maruf nahi munkar tanpa adanya cadangan sesuai dengan Al-Quran.
Terlebih dalam kemajuan dimasa ini dimana kehidupan senantiasa diwarnai
dengan pertarungan dan pertentangan yang demikian dahsyat, maka dengan
adanya keberanian sikap untuk melaksanakan amar maruf nahi munkar tersebut
sangat diperlukan demi terwujudnya Izlul Islam wal muslimin.
Nahi munkar artinya melarang kepada perbuatan yang munkar (Syukir,
1983: 11). Menurut Shihab (2001: 162), kata munkar dipahami banyak ulama
sebagai segala sesuatu, baik ucapan maupun perbuatan yang bertentangan dengan
ketentuan agama, akal, dan adat istiadat. Penekanan kata munkar lebih banyak
pada adat-istiadat. Demikian juga kata maruf yang dipahami dalam arti adat
istiadat yang sejalan dengan tuntunan agama.
Amar maruf nahi munkar, digunakan syariat Islam untuk pengertian
memerintahkan atau mengajak diri dan orang lain melakukan hal-hal yang
dipandang baik oleh agama, dan melarang atau mencegah diri dan orang lain dari
melakukan hal- hal yang dipandang buruk oleh agama. Ulama fikih sepakat
bahwa amar maruf nahi munkar adalah prinsip yang harus dimiliki setiap
muslim.
4

Muhammad Quraish Shihab dikenal sebagai penulis dan penceramah yang
handal. Berdasarkan pada latar belakang keilmuan yang kokoh yang ia tempuh
melalui pendidikan formal serta ditopang oleh kemampuanya menyampaikan
pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas, rasional, dan
kecenderungan pemikiran yang moderat, ia tampil sebagai penceramah dan
penulis yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat.
Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar al-Quran di Indonesia,
tetapi kemampuannya menerjemahkan dan menyampaikan pesan-pesan al-Quran
dalam konteks kekinian dan masa moderen membuatnya lebih dikenal dan lebih
unggul daripada pakar al-Quran lainnya. Dalam hal penafsiran, ia cenderung
menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudui (tematik), yaitu
penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Quran yang terbesar dalam
berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan
pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik
kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan.
Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat al-Quran
tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat
Al-Quran sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban
masyarakat (Shihab, 1990:3).
Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi
secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar
pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan
nyata. Ia juga banyak memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca
5

sarjana, agar berani menafsirkan Al-Quran, tetapi dengan tetap berpegang ketat
pada kaidah-kaidah tafsir yang sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran
terhadap al-Quran tidak akan pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja
muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan
kemajuan. Beliau tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati
dalam menafsirkan al-Quran sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu
pendapat sebagai pendapat al-Quran. Bahkan, menurutnya adalah satu dosa bila
seseorang memaksakan pendapatnya atas nama al-Quran.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis terdorong mengangkat tema
dengan judul: Konsep amar maruf nahi munkar dalam tafsir Al-Misbah karya
Quraish Shihab dalam perspektif dakwah.

1.2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan suata upaya untuk mengatakan secara
tersurat tentang suatu masalah yang akan di teliti atau pertayaan-pertanyaan apa
saja yang ingin di cari jawabannya (Suriasumantri, 1993:312). Titik tolak dan
pengertian tersebut dan berdasarkan pada latar belakang yang telah penulis
uraikan, maka yang menjadi pokok permasalahan yaitu:
Bagaimana konsep amar maruf nahi munkar dalam perspektif dakwah
dalam tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab?



6

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dan manfaat penelitian ini adalah:
a. Penelitian ini tidak lepas dari permasalahan, untuk itu maka tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui bagaimana konsep amar maruf nahi munkar dalam
perspektif dakwah dalam tafsir Al Misbah karya Quraish Shihab.
b. Manfaat dari penelitian ini adalah: Secara teoritis, diharapakan dapat
menambah khasanah keilmuwan dakwah khususnya dalam bidang
komunikiasi penyiaran islam terutama dalam bidang ke Islamannya. Secara
praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan baru
kepada masyarakat utama tentang ke Islaman,sehingga bisa diterapkan dalam
kehidupan masyarakat.

1.4. Telaah pustaka
Berdasarkan penelitian di perpustakaan ditemukan beberapa skripsi yang
berhubungan dengan judul skripsi di atas:
Pertama, Skripsi yang disusun oleh Sumarsih (2006), Semantik Nahi
Munkar Dalam Al - Quran. Pada intinya penulis skripsi ini menjelaskan
bahwa yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana nahi munkar, dalam
Al- Quran ditinjau dari segi semantik. Metode penelitian ini menggunakan
content analysis. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa perkataan munkar
disebut sebanyak 37 kali dalam Al-Quran, antara lain disebut dalam QS Al-
Maidah 5:79. Dari membaca ayat itu saja sulit diketahui apa makna yang
sesungguhnya. Ayat itu berbunyi demikian:
7


Artinya:
Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang telah
mereka perbuat, sesungguhnya amat buruk lah apa yang selalu mereka perbuat
itu (Q.S. Al- Maidah:79).

Dalam ayat tersebut hanya diterangkan sebab-sebab dari perbuatan
munkar itu, yakni sikap durhaka dan melampui batas. Jika kita baca ayat
sebelumnya, maka yang di maksud dengan mereka yang telah melakukan
perbuatan munkar itu adalah sebagian kaum Yahudi keturunan Dawud dan Isa
ibn Maryam. Dalam ayat selanjutnya dijelaskan pula bahwa kaum Yahudi itu
tolong menolong dengan orang-orang musyrik yang menentang kenabian
Muhammad SAW. Dalam ayat sebelumnya disebutkan pula bahwa kaum Yahudi
yang disebutkan juga sebagai ahlul-kitab itu telah berlebih-lebihan (melampui
batas) dengan cara yang tidak benar dalam agama. Mereka juga telah
mengikuti hawa-nafsu, menyesatkan sebagian manusia dan mereka itulah
orang-orang tersebut dari jalan yang lurus. Jika dihubungkan dengan sikap
maruf, salah satu ciri perbuatan munkar adalah berlebih-lebihan dan melampui
batas, sebagai lawan dari yang sepantasnya atau wajar.
Penelitian ini menitik beratkan pembahasan pada perspektif semantic dan
sama sekali tidak menyentuh pemikiran tokoh. Sedangkan penelitian saat ini
mengambil pemikiran tokoh dan di hubungkan dengan dakwah.
Kedua,skripsi yang disusun Rika Nuraini (2007), Telaah Pemikiran TM.
Hasbi ash-shiddieqy tentang Amar Maruf Nahi Munkar ( Kajian pesan
dakwah). Pada intinya penulis skripsi ini menjelaskan bahwa yang menjadi
8

rumusan masalah adalah bagaimana pemikiran TM.Hasbi ash-shiddieqy tentang
Amar Maruf Nahi Munkar, Metode penelitian ini menggunakan komparasi.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa menurutnya untuk memperbaiki perilaku
munkar harus melihat dan memenuhi syarat syarat bahwa suatu perbuatan itu
benar -benar munkar. Syarat -syarat tersebut antara lain (a) harus jelas bahwa
perbuatan tersebut merupakan kemunkaran, Permasalahan Ijtihad dalam
masalah-masalah khilafiyah bukanlah suatu kemunkaran; (b) Kemunkaran
tersebut jelas, serta diketahui oleh khalayak umum (manusia), Tanpa harus harus
semata-mata si pelaku kemunkaran itu, dan (c) Kemunkaran tersebut betul- betul
terjadi pada saat itu, peristiwanya tidaklah terjadi sudah lama atau pun juga akan
terjadi pada masa mendatang.
Perbedaan antara penelitian saat ini dengan yang lain, untuk menitik
beratkan pada pesan, sedangkan penelitian ini lebih di titik beratkan pada
pemikiran tokoh dalam hubungannya dengan dakwah.
Ketiga, skripsi yang disusun Uud Nurkhadiq (2005), Amar Maruf Nahi
Munkar Menurut Mutazilah dan Asariyyah (studi Komporatif ). Pada intinya
penulis skripsi ini menjelaskan bahwa yang menjadi rumusan masalah adalah
bagaimana kelebihan dan kekurangan mutazilah dan asariyyah tentang konsep
Ama Maruf Nahi Munkar. Metode penelitian ini menggunakan hermeneutik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada intinya amar maruf nahi munkar
merupakan prinsip yang erat hubungannya dengan masalah amaliah, sebagai
menifestasi dari pada iman yang ada di dalam hati. Di dalam Al quran banyak
di sebutkan tentang perintah ini antara lain : surat Ali imron ayat 104, surat
9

lukman ayat 17 dan sebagainya. Dari prinsip ini menunjukkan bahwa Mutazilah
memandang sama pentingnya antara aqidah dan amaliah antara iman dan amal.
Oleh sebab itu perlu orang disuruh untuk mengerjakan kebaikan dan menjauhkan
perbuatan jahat. Pelaksanaan prinsip ini bila mana perlu dengan kekerasan,
sebab Mutazilah berkeyakinan bahwa orang-orang yang tidak sepaham
dipandang sesat dan perlu diluruskan.
Penelitian ini, dahulu menitik beratkan pembahasan pada aliran.
Sedangkan penelitian sekarang lebih menitik beratkan pada pemikiran tokoh
dalam hubungannya dengan dakwah Islam.

1.5. Metode Penelitian
1.5.1. Jenis, Pendekatan, dan Spesifikasi Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yakni prosedur
penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong, 1997:3). Dalam meneliti
data tidak diwujudkan dalam bentuk angka, namun data-data tersebut diperoleh
dengan penjelasan dan berbagai uraian yang berbentuk tulisan.
Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kepustakaan (library
research). Kepustakaan yang dimaksud berupa sejumlah buku, bulletin, jurnal
skripsi, tesis, dan lain-lain. Spesifikasi penelitian ini adalah amar maruf nahi
munkar.


10

1.5.2. Definisi Konseptual
Untuk lebih memperjelas dalam penelitian ini, maka penulis
mendifinisikan judul secara konseptual bahwa yang dimaksud amar ma,ruf
nahi munkar dalam tema skripsi ini yaitu suruhan untuk berbuat baik serta
mencegah dari perbuatan jahat. Dari pengertian ini maka yang menjadi
indikator amar maruf nahi munkar yaitu: (a). adanya pihak yang menyuruh
berbuat baik sesuai dengan apa yang digariskan dalam al-Quran dan hadis; (b).
adanya pihak yang berusaha mencegah perbuatan munkar.
1.5.3 Data dan Sumber data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data mengenai
konsep tafsir Al- Misbah karya Quraish Shihab yang diimplementasikan dalam
konsep amar maruf nahi munkar dalam perspektif dakwah.
Adapun sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah sumber
primer dan sumber sekunder. ( Irawan, 1999 : 65-87 ).
a. Sumber Primer
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah tafsir Al- Misbah. Sumber
primer ini di kembangkan melalui terjemahan dan tafsir- tafsir lainnya.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder yang dijadikan data pelengkap dan pendukung data
primer (Surachmad, 1990: 134), yang diambil dari buku - buku yang ada
relevansinya dengan tema penelitian ini. Adapun buku penunjang tafsir
11

Al-Maraghi karangan Imam Ahmad al Maraghi, tafsir Al-Azhar
karangan Hamka, dan lain sebagainya.
1.5.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik dokumentasi dalam mengumpulkan data, maka peneliti
menggunakan library research yang dalam hal ini meneliti sejumlah
kepustakaan yang revelan dengan tema skripsi ini. Kepustakaan yang
dimaksud yaitu berupa buku-buku atau kitab tafsir dan lain-lain.
1.5.4. Analisis data
Analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori dan satuan kategori dan
dianalisis secara kualitatif. Adapun metode yang digunakan adalah Metode
analisis Hermeneutik yaitu studi tentang prinsip-prinsip metodologis
interpretasi dan ekplanasi, yang dimaksudkan untuk menguraikan tentang
makna. Beberapa permasalahan yang dikemukakan, pada rumusan masalah
akan dipecahkan menggunakan analisis dari teori Formula hermeneutika
Dilthey yaitu suatu prosedur yang di dasarkan atas hubungan sistematis antara
hidup atau pengalaman, ekspresi dan pemahaman.
Teori Dilthey memfokuskan dalam mengembangkan metode
memperoleh interpretasi obyektivitas yang valid dari ekpresi kehidupan,
dan cara berfikir dari ilmu alam, dan menggunakanya untuk studi manusia
(Palmer, 2010: 110-112).
12

Metode ini penulis terapkan dengan cara menganalisis data tentang
tafsir di klasifikasikan dengan tafsir lainnya. Dengan metode ini penulis akan
menjelaskan tentang bagaimana konsep amar maruf nahi munkar dalam
perspektif dakwah.
Dengan mempersatukan ini akan dapat menarik kesimpulan,
berdasarkan hasil penelitian dalam gagasan yang spesifik (Noeng, 2000:305).
1.6. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi di bawah ini di buat sedemikian rupa,
sehingga dapat diketahui topik-topik bahasanya beserta alur pembahasanya.
Sistematika penulisan skripsi yang digunakan adalah sebagai berikut:
BAB I: Berisi pendahuluan mencakup ruang lingkup penulisan, yaitu
merupakan gambarangambaran umum dari keseluruhan isi skripsi
meliputi: pendahuluan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, penelusuran pustaka, metode penelitian, dan sistematika
penelitian.
BAB II: Berisi tinjauan umum tentang amar maruf nahi munkar , Rukun-
rukun amar maruf nahi munkar dan dakwah
BAB III: Berisi tentang isi dan kandungan tafsir Al-Misbah karya Quraish
Shihab tentang amar maruf nahi munkar, yang mencakup isi ayat
amar maruf nahi munkar, dan kandungan makna di dalam tafsir
Al- Misbah.
BAB IV: Berisi analisis yang meliputi isi tafsir Al- Misbah karya Quraish
Shihab tentang amar maruf nahi munkar, relevansi dalam
13

perspektif dakwah tentang amar maruf nahi munkar dengan
dakwah saat ini.
BAB V: Merupakan bab penutup dari skripsi penulis, yang di dalamnya
mencakup tentang kesimpulan pokok hasil penelitian beserta saran-
saran dan penutup.
Setelah terselesainya penulisan dari Bab I hingga Bab V, penulis
melengkapinya dengan daftar kepustakaan, lampiran-lampiran serta riwayat
hidup penulis.

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG AMAR MARUF NAHI MUNKAR
DAN DAKWAH

2. 1. Tentang Amar Maruf Nahi Munkar
Menurut Nurcholis Madjid, dalam berkembangnya dakwah di tengah
masyarakat cenderung mengarah pada nahi munkar, yakni tekanan-tekanan untuk
melawan atau perjuangan reaktif, dan kurang amar marufnya, yang mengajak
pada kebaikan, kebersamaan, suatu cita-cita dalam bentuk perjuangan proaktif.
Barangkali ini sebabnya sikap proaktif masih menjadi tantangan besar kaum muslim
(Madjid, 1999:97).
Secara sosiologis, keduanya, yakni al-maruf dan al-munkar menunjuk pada
kenyataan bahwa kebaikan dan keburukan itu terdapat dalam masyarakat. Umat
Islam dituntut untuk mengenali kebaikan dan keburukan yang ada dalam
masyarakat, kemudian mendorong, memupuk, dan memberanikan diri kepada
tindakan-tindakan kebaikan, dan pada waktu yang sama ia mampu mencegah,
menghalangi, dan menghambat tindakan-tindakan keburukan.
Menurut Muhiddin (2002:57) tiga terma, yakni; penyeruan pada al-khayr,
amar maruf dan nahi munkar, hal inilah yang menjadi dasar keunggulan umat
Islam atas umat yang lain sehingga umat Islam disebut sebagai yang beruntung,
yang menang atau yang bahagia (al-muflihun). Tentu, semua ini tidak dapat
disepakati dan diterima apa adanya secara statis.
Karena yang pertama dari term tadi, yakni seruan kepada al-khayr,
menuntut sikap dinamis, mempertajam kemampuan tersebut umat Islam untuk
memahami nilai-nilai etis dan moral universal. Tanpa kemampuan tadi, tidak
mungkin ditemukan satu pedoman yang jelas untuk menghadapi masa depan.
Aspek kedua, yakni amar maruf; menuntut kemampuan memahami
lingkungan hidup sosial, politik, dan kultural, sebagai lingkungan yang menjadi
wadah terwujudnya al-khayr secara konkret, dalam konteks ruang dan waktu
(Muhiddin,2002:58).
Aspek ketiga, yakni nahi munkar menuntut kemampuan umat Islam untuk
mengidentifikasi faktor lingkungan hidup kultural, sosial, politik, juga ekonomi,
dapat menjadi wadah bagi munculnya tindakan dan perbuatan yang berlawanan
dengan hati nurani (tindakan yang tidak maruf) kemudian diusahakan untuk
mencegah dan menghambat pertumbuhan lingkungan yang buruk itu.
Menyerukan manusia kepada kebajikan, menyuruh maruf dan mencegah
munkar ialah mengajak manusia kepada agama Allah dengan berbagai upaya yang
menarik, menganjurkan, mengajak dan menyuruh para manusia berbuat maruf dan
melarang orang mengerjakan munkar serta menghilangkan kemunkaran, dengan
jalan-jalan yang benarkan syara. Maruf ialah setiap pekerjaan (urusan) yang
diketahui dan dimaklumi berasal dari agama Allah dan syara-Nya. Masuk ke
dalamnya segala yang wajib, yang mandub. Maruf itu diartikan juga kesadaran,
keakraban persahabatan, lemah lembut terhadap keluarga dan lain-lain. Munkar
ialah setiap pekerjaan yang tidak bersumber dari agama Allah dan syara-Nya,
setiap pekerjaan yang dipandang oleh syara. Masuk ke dalamnya segala yang
haram dan segala yang makruh. Adapun mubah, ialah yang tidak maruf dan tidak
pula dipandang munkar. Menyerukan manusia kepada agama Allah, disebut
dakwah. Adapun pekerjaan menyuruh maruf dan mencegah munkar dinamai
hisbah. Yang melakukan hisbah dinamai muhtasib (Hasbi, 2001: 347-348).
Amar maruf nahi munkar merupakan tuntunan yang diturunkan Allah dalam
kitab-kitabnya di sampaikan oleh rasul-rasulnya, dan merupakan bagian dari syariat
Islam. Risalah Allah, ada yang berupa berita (akhbar) dan ada juga berupa tuntunan
berupa (insya). Akhbar disini menyangkut zatnya, makhluknya, seperti tauhidullah
dan kisah-kisah yang mengandung janji baik dan buruk (waad dan waiid). Adapun
isinya adalah perintah (amar), larangan (nahi) dan pembolehan (ibadah)
(Taimiyyah, 1990:15).
Ungkapan ini tersebut dalam hadist Qul huwallahu ahad setara dengan
seper tiga Al-Quran (HR. Abu Daud, Turmidi, nasaI). Yang seperti itu adalah
tauhid. Sedang isi kandungan Al-Quran berupa kisah-kisah, tauhid dan amar.
Allah SWT berfirman.
..
Artinya: ...Ia (Muhammad) menyuruh mereka mengerjakan yang
maruf dan melarang mereka mengerjakan yang mungkar, dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan segala
yang buruk...(Al-Araf 157).

Isi ayat tersebut diatas merupakan kejelasan risalah beliau. Allah lah yang
memerintah lidah beliau untuk mengemukakan segala yang maruf dan melarang
segala yang munkar, menghalalkan semua yang baik dan mengharamkan segala
kekejian dan keburukan dalam suatu hadist dinyatakan:
Artinya: Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemulyaan
akhlak (Imam Maliki dalam Al-Muwaththa jilid 5 hal 251).

Dengan diutusnya beliau, Allah menyempurnakan Din yang mengandung
perintah yang makruf dan larangan bagi segala yang munkar, menghalalkan yang
baik dan mengharamkan semua yang buruk.
Sedang rasul-rasul terdahulu, ada yang mengharamkan sebagian yang baik
untuk umatnya, seperti firmannya,
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulu) dihalalkan bagi mereka (An
Nisaa:160).
Tidak semua kekejian diharamkan oleh mereka, seperti Firman-Nya.
Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil, kecuali yang diharamkan oleh
Israil (Yaqub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan.(Ali Imran: 93).
Adapun pengertian nahi munkar adalah mengharamkan segala bentuk
kekejian, sedang amar maruf berarti memerintahkan semua yang baik yang
diperintahkan Allah.
Perintah melakukan semua yang baik dan melarang semua yang keji akan
terlaksana secara sempurna karena diutusnya Rasulallah Saw oleh Allah Swt, untuk
menyempurnakan akhlak mulai bagi umatnya.
Jelas, Allah telah menyempurnakan agama ini untuk kita, telah melengkapi
nikmat kepada kita, juga ridho Islam sebagai satu satuannya agama bagi umat
manusia. Oleh karena itu umat Muhammad Saw, sebagai umat yang terbaik, seperti
firman-Nya.
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang makruf, mencegah dari yang munkar, dan kepada Allah. (Ali
Imran;110).

Dengan jelas Allah menegaskan bahwa umat ini adalah sebaik-baiknya umat
yang senantiasa berbuat ihsan sehingga keberadaannya sangat besar manfaatnya
bagi segenap umat manusia. Dengan amar maruf nahi munkar itu mereka
menyempurnakan seluruh kebaikan dan kemanfaatan bagi umat manusia.
Sedangkan bagian umat yang lain tidak ada yang memerintahkan untuk
meleksanakan semua yang maruf bagi kemaslahatan seluruh lapisan manusia, dan
tidak pula melarang semua orang dari berbuat kemunkaran. Mereka tidak berjihad
untuk itu. Bahkan di antara mereka ada yang sama sekali tidak pernah berjihad,
seperti Bani Israil, mereka lebih banyak melakukan penganiayaan dan pengusiran
serta pembunuhan terhadap musuh-musuh mereka. Semua ini mereka melakukan
bukan dalam rangka mengarahkan mereka (musuh) kepada hidayah dan kebaikan
atau menyeru mereka menjelaskan yang maruf nahi munkar (Taimiyyah, 1990:15-
18).
Ali bin Abi Tholib r.a. pernah berkata,Kegagalan pertama yang akan
kautemui dalam berjihad, adalah berjihad dengan tangan, kemudian berjihad dengan
lisan, kemudian dengan hati. Karenanya, apabila hati sudah tidak lagi mengenali
yang maruf dan tidak mengingkari yang munkar, maka hati seperti itu akan
dibalikkan sehingga yang tadinya di atas berbalik menjadi di bawah.
Sahl bin Abdullah r.a. pernah berkata, Siapa pun yang melakukan suatu
kebaikan untuk dirinya sendiri berkaitan dengan agamanya sesuai dengan yang
diperintahkan kepadanya, atau meninggalkan suatu keburukan yang dilarang
mengerjakanya, sementara hatinya tetap merasa mantap dengan hal itu, meski
zaman telah rusak dan keadaan umum telah membingungkan, maka sesungguhnya
ia termasuk orang yang melaksanakan amar maruf nahi munkar di zamannya itu.
Artinya, apabila ia tidak mampu selain mengendalikan diri sendiri, dan pada saat
yang sama mengingkari dalam hati tentang keburukan yang dilakukan orang di
zamannya itu, maka ia dapat dikatakan telah cukup melaksanakan perintah ber-
amar maruf nahi munkar. Berkaitan dengan ini, pernah ditanyakan kepada Al-
Fudhail, Mengapa Anda tidak ber-amar maruf nahi munkar? Jawab Al-Fudhail,
Telah ada sesuatu kaum yang melakukannya lalu mereka menjadi kafir (yakni
menjadi putus harapannya kepada Allah). Hal itu disebabkan mereka tidak tahan
bersabar ketika menderita kesusahan akibat gangguan masyarakat terhadapnya.
Pernah pula dinyatakan kepada Ats-Tsauri,Mengapa Anda tidak ber-amar maruf
nahi munkar?Jawabnya, Jika gelombang samudra sudah begitu dahsyatnya, siapa
kiranya yang mampu mencegah?.
Jelaslah sudah, bahwa pelaksanaan amar maruf nahi munkar adalah wajib
hukumnya, dan bahwa kewajiban itu tidak akan gugur sepanjang ada kemampuan
untuk melaksanakannya. Kecuali apa bila telah ada orang-orang lain yang
melaksanakanya secara cukup (Ghozali, 2003:32-33).
Dalam tafsir Al-Misbah mengemukakan tentang amar ma'rf nh munkar
bahwa penggunaan dua kata yang berbeda itu menunjukan keharusan adanya dua
kelompok dalam masyarakat Islam. Kelompok pertama yang bertugas mengajak,
dan kelompok kedua yang bertugas memerintah dan melarang. Kelompok kedua ini
tentulah memiliki kekuasaan di bumi ajaran ilahi di bumi ini bukan sekedar
nasehat petunjuk dan penjelasan ini adalah salah satu sisi, sedang sisi yang kedua
adalah melaksanakan kekuasaan pemerintah dan melarang, agar maruf dapat
wujud dan kemunkaran dapat sirna. Demikian anntara lain tutur Sayyid Quthub.
Perlu dicatat bahwa apa yang diperintahkan oleh ayat diatas sebagaimana
terbaca barkaitan pula dengan dua hal, mengajak dikaitkan dengan al-khair, sedang
memerintah jika berkaitan dengan perintah melakukan dikaitkan dengan al-maruf,
sedang perintah untuk tidak melakukan, yakni melarang dikaitkan dengan al-
munkar.
Ini berarti mufasir tersebut mempersamakan kandungan al-khoir dengan al-
maruf dan bahwa lawan dari al-khoir adalah al-munkar. Padahal, hemat penulis,
tidak ada dua kata yang berbeda, walau sama akar katanya kecuali mengandung
pula perbedaan makna. Tanpa mendiskusikan perlu tidaknya ada kekuasaan yang
menyuruh kepada kebaikan mencegah kemungkaran penulis mempunyai tinjauan
lain.
Semua kita mengetahui bahwa Al-Quran dan sunnah melalui dakwahnya
mengamanahkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu ada yang bersifat mendasar, universal
dan abadi, serta ada juga yang bersifat praktis, lokal, dan temporal sehingga dapat
berbeda antara satu tempat atau waktu dan dan tempat atau waktu yang lain.
perbedaan, perubahan, dan perkembangan nilai itu dapat diterima oleh Islam selama
tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal.
Al-Quran mengisyaratkan kedua nilai diatas dalam firmannya ini dengan kata
() al-khoir atau kebajikan dan al-maruf. Al-khoir adalah nilai universal yang
diajarkan oleh al-Quran dan sunah. Al-khoir menurut rasul SAW. Sebagai mana
dikemukakan oleh ibn katsir dalam tafsirnya adalah: (Mengikuti al-quran dan
sunahku). Sedang al-maruf adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum
satu masyarakat selama sejalan dengan al-khoir. Adapun al-munkar, ia adalah
sesuatu yang dinlai buruk suatu masyarakat serta bertentangan dengn nilai-nilai
ilahi. Karena itu, ayat diatas menekankan perlunya mengajak kepada al-khoir atau
kebaikan, memerintahkan yang maruf dan mencegah yang munkar. Jelas terlihat
betapa mengajak kepada al-khoir didahulukan, kemudian memerinahkan kepada
maruf dan melarang melakukan yang munkar.
Dalam al-Quran ada tiga puluh delapan kata al-maruf dan enam belas kata
al-munkar (Taimiyah, 1983:1). Munkar adalah segala sesuatu yang dianggap buruk
dan dibenci oleh syariah yang mencakup seluruh apa yang dilarang. Sedangkan
maruf mencakup segala sesuatu yang diperintahkan (Darwis, 1996:5).
Menurut ilmu bahasa, arti Amar Maruf Nahi Munkar ialah: Menyuruh
kepada kebaikan, mencegah dari kejahatan. Amar = menyuruh; maruf = kebaikan;
nahi = mencegah; munkar = kejahatan. Dipandang dari sudut syariyah, perkataan
amar ma'rf nh munkar itu sudah menjadi istilah yang merupakan ajaran pokok
agama Islam, malah menjadi tujuannya yang utama. Mengenai hal ini, Abdul Ala
al Maududi menjelaskan:
The main objective of the Shariah is to construch human life on the basis of
marufat and to cleanse it of the munkarat.

Artinya: Tujuan yang utama dari syariat ialah untuk membangun kehidupan
manusia di atas marufat (kebaikan) dan membersihkannya darin hal-hal yang
munkarat (kejahatan) (Maududi, 1995:71).

Lebih jauh, dalam bukunya itu, Maududi memberikan definisi tentang apa
yang dimaksud dengan maruf dan munkar itu sebagai berikut:
Istilah marufat (jamak atau murfod dari maruf) itu menunjukkan semua
kebaikan. Kebaikan dan sifat-sifat yang baik yang sepanjang masa ditrima oleh hati
nurani manusia sebagai sesuatu yang baik (good). Sebaiknya, istilah munkarat
(jamak dari munkar) menunjukkan semua dosa dan kejahatan-kejahatan yang
sepanjang masa telah dikutuk oleh watak manusia sebagai satu hal yang jahat
(evil). Pendeknya, maruf itu adalah serasi atau sesuai dengan umumnya watak
manusia dan kebutuhan-kebutuhannya, sedang munkarat ialah kebalikan dari itu.
Syariat memberikan satu pandangan yang jelas tentang marufat dan munkarat itu
dan menyatakan-nya sebagai norma-norma yang merekalah orang-prang yang
berjaya (Q.S. Ali imron: 104) (Depag RI, 1978:93).
Dalam ayat tersebut, terdapat kata amar ma'rf nh munka secara lengkap.
Ayat di atas mengandung beberapa pengertian: (1) hendaklah ada di antara kamu
sekelompok umat; (2) yang (tugas atau misinya) menyeru pada kebaikan; (3) (yaitu)
menyuruh pada yang maruf dan mencegah dari yang munkar; dan (4) merekalah
yang berjaya atau orang-orang yang beruntung (Muhiddin, 2002: 56).
Adapun ayat 110 dari surat Ali Imran mengandung kalimat yang mirip
dengan ayat sebelumnya, yaitu:

Artinya: Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Menyuruh
kepada yang maruf dan mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah
(Depag RI, 1978:93).

Dari ayat di atas terdapat dua kesimpulan. Pertama, kamu adalah unat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Kedua, menyuruh kepada yang maruf dan
mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah. Pada ayat 103, Allah
SWT, menyerukan agar dalam suatu umat dibentuk satu kelompok atau organisasi
yang misinya adalah menegakkan amar ma'rf nh munkar.




2.2. Rukun-Rukun Amar maruf nahi munkar
Amar ma'rf nh munkar terdiri atas empat rukun: Pertama, pelaku amr
maruf nahi munkar (al-muhtasib);kedua, yang ditujukan kepadanya amr maruf
nahi munkar (al-muhtasb alaihi); ketiga, perbuatan yang menjadi obyek amr
maruf nahi munkar (al-muhtasab fihi); dan keempat, hakikat amr maruf nahi
munkar itu sendiri (al-ihtisab) (Ghozali, 2003:35).
1. Al-Muhtasab (pelaku amr maruf nahi munkar )
Kewajiban ber amar ma'rf nh munkar berlaku atas setiap muslim yang
mukallaf (yang telah berlaku hukum-hukum agama atas dirinya) dan memiliki
kemampuan. Oleh sebab itu, tidak ada kewajiban atas seorang gila atau anak
kecil. atau kafir atau yang tidak berkemampuan. Dalam kewajiban ini termasuk
semua penduduk negeri (yang memenuhi persyaratan di atas), walaupun tidak
mendapat izin khusus dari penguasa negeri. Dan terrnasuk pula orang yang fasik
(yang biasa melakukan perbuatan dosa), budak dan perempuan.
2. Al-Muhtasab alaihi (pelaku yang ditunjukkan kepadanya amar ma'rf nh
munkar)
Syarat untuk diajukannya amar ma'rf nh munkar, ialah adanya
seseorang (manusia) yang memenuhi suatu sifat tertentu, sehingga menjadikan
setiap perbuatan terlarang yang dilakukanya, termasuk dalam kategori
kemungkaran. Tidak diisyaratkan ia seorang mukallaf (yakni yang telah berlaku
kewajiban agama atas dirinya), mengingat bahwa seperti telah dijelaskan
sebelum ini seandainya seorang anak kecil (yang belum baligh) minum khamr,
wajib atas yang mengetahui hal itu untuk melarangnya. Tidak diisyaratkan pula
ia seorang yang berakal waras, dan karena itu, seandainya seorang gila berzina
dengan seorang perempuan gila juga, wajiblah mencegahnya dari perbuatan
tersebut.
3. Al-Muhtasab fihi (perbuatan yang menjadi obyek amar ma'rf nh munkar)
Yaitu setiap kemungkaran yang ada saat sekarang, tampak (atau
diketahui secara jelas) bagi yang hendak ber amar maruf nahi munkar tanpa
harus memata-matai, dan dikenal secara meluas sebagai kemunkaran, tanpa
memerlukan ijtihad.
4. Al-Ihtisab (bentuk amr maruf nahi munkar)
Ada berbagai tingkatan cara ber-amar maruf nahi munkar. Yaitu (1)
Menyelidiki kemungkaran. (2) Memberitahu kepada si pelaku kemungkaran.
(3) Melarang. (4) Menasehati. (5) Mengecam. (6) Mengubah melalui tindakan.
(7) Mengancam akan memukul. (8) Memukul. (9) Mengancam dengan senjata.
(10) Mengatasi dengan cara mengumpulkan kawan dan pasukan.
2. 3. Tentang Dakwah
Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan suatu proses yang
berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk mengubah
sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara bertahap menuju
perikehidupan yang islami (Hafidhudin, 2000:77). Dakwah setiap usaha rekontruksi
masyarakat yang masih mengandung unsur-unsur jahili agar menjadi masyarakat
yang Islami (Rais, 1999:25). Oleh karena itu Abu Zahra menegaskan bahwa
dakwah Islamiah itu diawali dengan amar ma'rf dan nh munkar, maka tidak ada
penafsiran logis lain lagi mengenai makna amar maruf kecuali menegaskan Allah
secara sempurna, yakni menegaskan pada zat sifat-Nya (Zahra, 1994:25). Lebih
jauh dari itu, pada hakikatnya dakwah islam merupakan aktualisasi imani (teologis)
yang dimanifestasikan dalam suatu system kegiatan manusia beriman dalam bidang
kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cari merasa,
berpikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan
sosio kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua
segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu (Achmad, 1983: 2).
Adapun tujuan dakwah adalah untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir,
dan bertindak manusia pada dataran individual dan sosiokultural dalam rangka
terwujudnya ajaran islam dalam semua segi kehidupan (Ahmad, 1991: 2).
Salah satu tugas pokok dari Rasulullah adalah membawa amanah suci berupa
menyempurnakan akhlak yang mulia bagi manusia. Dan akhlak yang dimaksudkan
ini tidak lain adalah Al-Quran itu sendiri sebab hanya kepada Al-Quran lah setiap
pribadi Muslim itu akan berpedoman. Atas dasar ini tujuan dakwah secara luas,
dengan sendirinya adalah menegakkan ajaran Islam kepada setiap insan baik
individu maupun masyarakat, sehingga ajaran tersebut mampu mendorong suatu
perbuatan sesuai dengan ajaran tersebut (Tasmara, 1997: 47).
Secara umum tujuan dakwah dalam al-Quran adalah: Aziz (2004: 68).
1. Dakwah bertujuan untuk menghidupkan hati yang mati.
2. Agar manusia mendapat ampunan dan menghindar azab dari Allah.
3. Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan Nya
4. Untuk menegakkan agama dan tidak terpecah-belah
5. Mengajak dan menuntun ke jalan yang lurus
6. Untuk menghilangkan pagar penghalang sampainya ayat-ayat Allah ke dalam
lubuk hati masyarakat.
Unsur-Unsur dakwah adalah segala aspek yang ada sangkut pautnya dengan
proses pelaksanaan dakwah, dan sekaligus menyangkut tentang kelangsungannya
(Anshari, 1993: 103).
Unsur unsur tersebut adalah daI (pelaku dakwah), madu (obyek dakwah),
materi dakwah maddah, wasilah (media dakwah), thariqah (metode), dan atsar
(efek dakwah).
a. Dai(Pelaku dakwah)
Kata dai ini secara umum sering disebut dengan sebutan mubaligh ( orang yang
menyampaikan ajaran Islam) namun sebenarnya sebutan ini konotasinya sangat
sempit karena masyarakat umum cenderung mengartikan sebagai orang yang
menyampaikan ajaran Islam melalui lisan seperti penceramah agama, khatib (
orang yang berkhutbah ), dan sebagainya.
b. Madu (Penerima dakwah)
Unsur dakwah yang kedua adalah madu, yaitu manusia yang menjadi sasaran
dakwah atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai
kelompok, baik manusia yang beragama Islam maupun tidak atau dengan kata
lain manusia secara keseluruhan



c. Media Dakwah
Media dakwah, yaitu alat yang dipergunakan untuk menyampaikan materi
dakwah ( ajaran Islam ) kepada madu (Syukir, 1983: 163). Untuk
menyampaikan ajaran Islam kepada umat, dakwah dapat menggunakan berbagai
wasilah.
d. Thariqah (metode)
Hal yang sangat erat kaitanya dengan metode wasilah adalah metode dakwah
thariqah (metode) dakwah. Kalau wasilah adalah alat-alat yang dipakai untuk
mengoperkan atau menyampaikan ajaran Islam maka thariqah adalah metode
yang digunakan dalam dakwah.
e. Atsar (efek dakwah)
Demikian jika dakwah telah dilakukan oleh seorang dai dengan materi dakwah,
wasilah, thariqah, tertentu maka akan timbul respons dan efek (atsar) pada
madu, (penerima dakwah). Atsar itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa
Arab yang berarti bekasan/sisa, atau tanda. Istilah ini selanjutnya digunakan
untuk menunjukkan suatu ucapan atau perbuatan yang berasal dari sahabat atau
tabiin yang pada perkembangan selanjutnya dianggap sebagai hadis, karena
memiliki cirri-ciri sebagai hadis (Nata, 1998: 363).






BAB III
PROFIL MUHAMMAD QURAIS SHIHAB DAN ISI KANDUNGAN
TAFSIR AL-MISBAH KARYA QURAISH SHIHAB TENTANG AMAR
MARUF NAHI MUNKAR

3.1. Profil Muhammad Qurais Shihab
Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir tanggal 16
Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab
yang terpelajar. Ayahnya, Prof. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru
besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang
ulama, pengusaha, dan politikus yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat
Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya
membina dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia
(UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur,
dan IAIN Alauddin Ujungpandang. Ia juga tercatat sebagai rektor pada kedua
perguruan tinggi tersebut: UMI 1959-1965 dan IAIN 19721977.
Sebagai seorang yang berpikiran progresif, Abdurrahman percaya bahwa
pendidikan adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan pandangannya yang
demikian maju itu dapat dilihat dari latar belakang pendidikannya, yaitu Jamiatul
Khair, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Murid-murid yang
belajar di lembaga ini diajari tentang gagasan-gagasan pembaruan gerakan dan
pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena lembaga ini memiliki hubungan yang erat
dengan sumber-sumber pembaruan di Timur Tengah seperti Hadramaut, Haramaian
dan Mesir. Banyak guru-guru yang didatangkarn ke lembaga tersebut, di antaranya
Syaikh Ahmad Soorkati yang berasal dari Sudan, Afrika. Sebagai putra dari seorang
guru besar, Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap
bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anak-anaknya duduk bersama
setelah magrib. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang
kebanyakan berupa ayat-ayat al-Qur'an. Quraish kecil telah menjalani pergumulan dan
kecintaan terhadap al-Quran sejak umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian al-
Quran yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca al-Quran,
ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam al-Quran. Di sinilah,
benih-benih kecintaannya kepada al-Quran mulai tumbuh.
Pendidikan formalnya di Makassar dimulai dari sekolah dasar sampai kelas 2
SMP. Pada tahun 1956, ia di kirim ke kota Malang untuk nyantri di Pondok
Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyah. Karena ketekunannya belajar di pesantren, 2
tahun berikutnya ia sudah mahir berbahasa arab. Melihat bakat bahasa arab yg
dimilikinya, dan ketekunannya untuk mendalami studi keislamannya, Quraish beserta
adiknya Alwi Shihab dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar Cairo melalui beasiswa dari
Propinsi Sulawesi, pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua I'dadiyah Al Azhar
(setingkat SMP/Tsanawiyah di Indonesia) sampai menyelasaikan tsanawiyah Al
Azhar. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar pada Fakultas
Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 ia meraih gelar LC. Dua
tahun kemudian (1969), Quraish Shihab berhasil meraih gelar M.A. pada jurusan yang
sama dengan tesis berjudul al-Ijaz at-Tasryrii al-Qur'an al-Karim (kemukjizatan al-
Qur'an al-Karim dari Segi Hukum). Pada tahun 1973 ia dipanggil pulang ke Makassar
oleh ayahnya yang ketika itu menjabat rektor, untuk membantu mengelola pendidikan
di IAIN Alauddin. Ia menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan
sampai tahun 1980. Di samping mendududki jabatan resmi itu, ia juga sering mewakili
ayahnya yang uzur karena usia dalam menjalankan tugas-tugas pokok tertentu.
Berturut-turut setelah itu, Quraish Shihab diserahi berbagai jabatan, seperti
koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian timur, pembantu
pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental, dan sederetan
jabatan lainnya di luar kampus. Di celah-celah kesibukannya ia masih sempat
merampungkan beberapa tugas penelitian, antara lain Penerapan Kerukunan Hidup
Beragama di Indonesia (1975) dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978).
Untuk mewujudkan cita-citanya, ia mendalami studi tafsir, pada 1980 Quraish
Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya, al-Azhar Cairo, mengambil
spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur'an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk
meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul Nazm ad-Durar li
al-Biqai Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian dan analisa terhadap keotentikan Kitab
Nazm ad-Durar karya al-Biqai) berhasil dipertahankannya dengan predikat dengan
predikat penghargaan Mumtaz Maa Martabah asy-Syaraf al-Ula (summa cum laude).
Pendidikan Tingginya yang kebanyakan ditempuh di Timur Tengah, Al-Azhar,
Cairo ini, oleh Howard M. Federspiel dianggap sebagai seorang yang unik bagi
Indonesia pada saat di mana sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di
Barat. Mengenai hal ini ia mengatakan sebagai berikut: "Ketika meneliti biografinya,
saya menemukan bahwa ia berasal dari Sulawesi Selatan, terdidik di pesantren, dan
menerima pendidikan tingginya di Mesir pada Universitas Al-Azhar, di mana ia
menerima gelar M.A dan Ph.D-nya. Ini menjadikan ia terdidik lebih baik
dibandingkan dengan hampir semua pengarang lainnya yang terdapat dalam Popular
Indonesian Literature of the Quran, dan lebih dari itu, tingkat pendidikan tingginya di
Timur Tengah seperti itu menjadikan ia unik bagi Indonesia pada saat di mana
sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di Barat. Dia juga mempunyai karier
mengajar yang penting di IAIN Makassar dan Jakarta dan kini, bahkan, ia menjabat
sebagai rektor di IAIN Jakarta. Ini merupakan karier yang sangat menonjol".
Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk
melanjutkan kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Makassar ke Fakultas
Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-
Quran di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas
pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN
Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya
menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal
tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan
Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap
negara Republik Djibouti berkedudukan di Kairo.
Kehadiran Quraish Shihab di Ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan
disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas
yang dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Di samping mengajar, ia juga
dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashhih Al-
Qur'an Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa organisasi
profesional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-
Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan. Selanjutnya ia juga tercatat sebagai
Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu
Agama Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan
adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic
Studies, Ulumul Qur 'an, Mimbar Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian Agama dan
Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.
Di samping kegiatan tersebut di atas, M.Quraish Shihab juga dikenal sebagai
penulis dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar belakang keilmuan yang
kokoh yang ia tempuh melalui pendidikan formal serta ditopang oleh kemampuannya
menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas,
rasional, dan kecenderungan pemikiran yang moderat, ia tampil sebagai penceramah
dan penulis yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Kegiatan ceramah ini
ia lakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta, seperti Masjid al-Tin dan
Fathullah, di lingkungan pejabat pemerintah seperti pengajian Istiqlal serta di sejumlah
stasiun televisi atau media elektronik, khususnya di.bulan Ramadhan. Beberapa
stasiun televisi, seperti RCTI dan Metro TV mempunyai program khusus selama
Ramadhan yang diasuh olehnya.
Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar al-Qur'an di Indonesia, tetapi
kemampuannya menerjemahkan dan meyampaikan pesan-pesan al-Qur'an dalam
konteks kekinian dan masa post modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul
daripada pakar al-Qur'an lainnya. Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan
pentingnya penggunaan metode tafsir maudui (tematik), yaitu penafsiran dengan cara
menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah yang
membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari
ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap
masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat
diungkapkan pendapat-pendapat al-Qur'an tentang berbagai masalah kehidupan,
sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat al-Qur'an sejalan dengan perkembangan
iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.
Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara
kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang
terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia juga banyak
memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani
menafsirkan al-Qur'an, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir
yang sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran terhadap al-Qur'an tidak akan
pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan
perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap mengingatkan
perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan al-Qur'an sehingga
seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat al-Qur'an.
Bahkan, menurutnya adalah satu dosa besar bila seseorang mamaksakan pendapatnya
atas nama al-Qur'an.
Quraish Shihab adalah seorang ahli tafsir yang pendidik. Keahliannya dalam
bidang tafsir tersebut untuk diabdikan dalam bidang pendidikan. Kedudukannya
sebagai Pembantu Rektor, Rektor, Menteri Agama, Ketua MUI, Staf Ahli Mendikbud,
Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan, menulis karya ilmiah, dan ceramah amat
erat kaitannya dengan kegiatan pendidikan. Dengan kata lain bahw ia adalah seorang
ulama yang memanfaatkan keahliannya untuk mendidik umat. Hal ini ia lakukan pula
melalui sikap dan kepribadiannya yang penuh dengan sikap dan sifatnya yang patut
diteladani. Ia memiliki sifat-sifat sebagai guru atau pendidik yang patut diteladani.
Penampilannya yang sederhana, tawadlu, sayang kepada semua orang, jujur, amanah,
dan tegas dalam prinsip adalah merupakan bagian dari sikap yang seharusnya dimiliki
seorang guru (Shihab, 1998: 56).
3.2. Profil Tafsir Al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab
M. Quraish Shihab memulai dengan menjelaskan tentang maksud-maksud firman
Allah swt sesuai kemampuan manusia dalam menafsirkan sesuai dengan keberadaan
seseorang pada lingkungan budaya dan kondisisosial dan perkambangan ilmu dalam
menangkap pesan-pesan al-Quran. Keagungan firman Allah dapat menampung segala
kemampuan, tingkat, kecederungan, dan kondisi yang berbeda-beda itu. Seorang
mufassir di tuntut untuk menjelaskan nilai-nilai itu sejalan dengan perkembangan
masyarakatnya, sehingga al-Quran dapat benar-benar berfungsi sebagai petunjuk,
pemisah antara yang haq dan bathil serta jalan keluar bagi setiap probelam kehidupan
yang dihadapi, Mufassir dituntut pula untuk menghapus kesalah pahaman terhadap al-
Quran atau kandungan ayat-ayat.
M. Quraish Shihab juga memasukkan tentang kaum Orientalis mengkiritik tajam
sistematika urutan ayat dan surah-surah al-Quran, sambil melemparkan kesalahan
kepada para penulis wahyu. Kaum orientalis berpendapat bahwa ada bagian-bagian al-
Quran yang ditulis pada masa awal karier Nabi Muhammad saw.
Contoh bukti yang dikemukakannya antara lain adalah: QS. Al-Ghasyiyah. Di
sana gambaran mengenai hari kiamat dan nasib orang-orang durhaka, kemudian
dilanjutkan dengan gambaran orang-orang yang taat.
Kemudian beliau mengambil tokoh-tokoh para ulama tafsir, tokoh-tokohnya
seperti: Fakhruddin ar-Razi (606 H/1210 M). Abu Ishaq asy-Syathibi (w.790 H/1388
M), Ibrahim Ibn Umar al-Biqai (809-885 H/1406-1480 M), Badruddin Muhammad
ibn Abdullah Az-Zarkasyi (w.794 H) dan lain-lain yang menekuni ilmu Munasabat al-
Quran/keserasian hubungan bagian-bagian al-Quran.
Ada beberapa prinsip yang dipegangi oleh M. Quraish Shihab dalam karya
tafsirnya, baik tahll maupun mawdh, di antaranya bahwa al-Quran merupakan
satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam al-Mishbh, beliau tidak pernah luput dari
pembahasan ilmu al-munsabt yang tercermin dalam enam hal: keserasian kata
demi kata dalam satu surah; keserasian kandungan ayat dengan penutup ayat
(fawshil); keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya; keserasian uraian
awal/mukadimah satu surah dengan penutupnya; keserasian penutup surah dengan
uraian awal/mukadimah surah sesudahnya; Keserasian tema surah dengan nama
surah.
Tafsr al-Mishbh banyak mengemukakan uraian penjelas terhadap sejumlah
mufasir ternama sehingga menjadi referensi yang mumpuni, informatif, argumentatif.
Tafsir ini tersaji dengan gaya bahasa penulisan yang mudah dicerna segenap kalangan,
dari mulai akademisi hingga masyarakat luas. Penjelasan makna sebuah ayat tertuang
dengan tamsilan yang semakin menarik atensi pembaca untuk menelaahnya.
Begitu menariknya uraian yang terdapat dalam banyak karyanya, pemerhati karya
tafsir Nusantara, Howard M. Federspiel, merekomendasikan bahwa karya-karya tafsir
M. Quraish Shihab pantas dan wajib menjadi bacaan setiap Muslim di Indonesia
sekarang. Dari segi penamaannya, al-Mishbah berarti lampu, pelita, atau lentera,
yang mengindikasikan makna kehidupan dan berbagai persoalan umat diterangi oleh
cahaya al-Quran. Penulisnya mencitakan al-Quran agar semakin membumi dan
mudah dipahami. Tafsr al-Mishbh merupakan tafsir Al-Quran lengkap 30 juz
pertama dalam 30 tahun terakhir, yang ditulis oleh ahli tafsir terkemuka Indonesia :
Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Ke-Indonesiaan penulis memberi warna yang menarik
dan khas serta sangat relevan untuk memperkaya khasanah pemahaman dan
penghayatan kita terhadap rahasia makna ayat-ayat Allah. Mari terangi jiwa dan
keimanan kita dengan Tafsr al-Mishbh sekarang juga (Shihab, 1999:673).

3.3. Ayat-ayat tentang Amar Maruf Nahi Munkar
Ayat-ayat yang dibahas dalam tafsir al-Misbah ini dapat kita akses melalui suatu
prosedur yang didasarkan atas hubungan sistematis antara pengalaman, ekspresi dan
pemahaman yang dikemukakan dalam teori Hermeneutika Dilthey.
a) Surat Ali-Imran 104


Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Ali Imran: 104) (Shihab,
2010: 208).
Ayat ini dapat kita akses melalui suatu prosedur yang didasarkan atas
hubungan sistematis antara pengalaman, ekspresi dan pemahaman.
1) Pengalaman
Pengalaman merupakan suatu unit yang secara kehidupan sudah kita lampui,
dengan demikian pengalaman dalam peristiwa hidup langsung didapati dalam
keseharian (Palmer, 2010: 120).
Suatu pengalaman dalam ayat ali-Imran 104 ini, seorang penafsir dari al-
Quran bertingkat-tingkat. Maksudnya, kebanyakan manusia berbeda-beda
sehingga apa yang diungkapkan dalam penafsiran ini sebagian golongan umat
muslim menyeru kebajikan dengan berpedoman kepada kebaikan dan menjauhi
larangan-Nya. Firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia, sehingga suatu
pengalaman melukiskan apa yang penuh makna, misalnya mungkin mencakup
banyak perjumpaan dengan pengalaman atau penafsir lain jadi pengalaman lain
yang dijumpai dapat ditambahkan dalam pengalaman tafsir ini. Dalam makna
sangat rinci pemikiranya dan untuk memahami isi kandungan ayat tersebut jika
dalam perilaku kesadaran untuk menjalani hidup dengan amar makruf nahi munkar(
menjalankan yang baik menjauhi yang jelek).
2) Ekspresi
Sebuah ekspresi terutama bukanlah merupakan pembentukan perasaan
seseorang namun lebih sebuah ekspresi hidup sebuah eskpresi mengacu pada ide,
hukum, bentuk sosial, bahasa dalam kehidupan manusia (Palmer, 2010: 126).
Pembentukan ekspresi dalam tafsir al-Misbah, dalam ayat tersebut terdapat
ekspresi pada ide yang menjalankan kebaikan dan menjauhi yang munkar mendapat
keberuntungan, hukum yang ada dalam menjalankan amar makruf nahi munkar
wajib bagi setiap muslim, sehingga kita menjalankan kegiatan ini dalam masyarakat
akan terlaksana dengan baik. Nilai-nilai kehidupan ada pada ayat tersebut yang
menjalankan kebaikan dapat keberuntungan.
3) Pemahaman
Ilmu tentang tafsir sangat luas dan banyak di kaji beberapa tokoh,
pemahaman dalam kehidupan dengan menjalankan perintah-perintah Allah SAW
ayat ini menerangkan segolongan umat yang mengajak kebajikan untuk menempuh
jalan yang lurus, yaitu menuju kebenaran yang kita ikuti serta mengajak orang
mukmin untuk menghindari kejelekan. Pengetahuan yang dimiliki seseorang
kemampuanya mengamalkan sesuatunya sangat berkurang, bahkan terlupakan atau
hilang. Jika tidak ada yang mengingatkan dalam al-Quran maka pemahaman yang
mendorong kita berbuat baik, semua umat muslim tidak akan mendapan
keberuntungan.
b) Surat Ali-Imran 113-114
*


Artinya: Mereka itu tidak sama; di antara Ahl al- Kitab itu ada golongan yang
berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam
hari, sedang mereka bersujud * Mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian,
mereka menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah yang mungkar dan
bersegera (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang
yang saleh (QS. Ali Imran: 113-114) (Shihab, 2010: 227).
1) Pengalaman
Apa yang dikemukakan ayat-ayat ini dialami oleh orang-orang Yahudi sejak dahulu
kala dan berlanjut sampai setelah turunya al-Quran berabad-abad lamanya.
Namun, harus diingat bahwa al-Quran tidak mengeneralisasi. Dalam Surah al-
Isra, Allah menceritakan keselamatan mereka dan menegaskan: Mudah-mudahan
Tuhan akan melimpahkan rahmat-Nya, kepada kamu dan sekiranya kamu kembali
kepada kedurhakaan, niscaya kami kembali mengazabmu(QS. Al-Isra (17): 8).
Karena itu, ayat 113 dan 114 menegaskan dalam pengalaman bahwa: mereka itu,
yakni Ahli al-Kitab, orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak sama dalam sikap dan
kelakuan mereka terhadap Allah dan manusia. Ada golongan yang berlaku lurus,
yakni menerima dan melaksanakan secara sempurna tuntunan nabi-nabi mereka
sehingga bersedia untuk percaya kepada kebenaran dan mengamalkan nilai-nilai
luhur (Shihab, 2010: 227)
2) Ekspresi
Menjalankan amar makruf nahi munkar berbeda-beda, dengan mengerjakan hal-hal
yang baik ada dengan kejahatan dulu dan ada yang menjalankan langsung kebaikan,
umat Islam diperintahkan untuk menjalankan kebaikan dengan cara nilai-nilai
luhur. Pada umumnya, ulama-ulama tafsir memahaminya kelompok yang memeluk
agama Islam tidak mengenal sholat tapi dapat diartikan tubduk dan patuh, jadi
ekspresi yang digunakan ayat ini bermacam-macam mengenal Islam.


3) Pemahaman
Al-Quran sering kali menggunakan istilah semacam termasuk orang-orang yang
saleh, atau termasuk orang-orang mukmin, dan lain-lain untuk menggambarkan
pemahaman seseorang masuk dalam kelompok orang-orang mukmin. Ungkapan
semacam ini dinilai oleh para ulama lebih baik dan lebih tinggi kualitasnya
daripada menyatakan dia adalah orang saleh atau orang mukmin. Hal ini
disebabkan oleh dua hal. Pertama: bahwa masuknya seseorang dalam kelompok
pilihan menunjukkan kemantapan dan kepiawaiannya dalam persoalan atau sifat
yang menandai kelompok itu. Yang kedua: untuk menggambarkan sikap
kebersamaan yang merupakan ciri ajaran Ilahi. Yang masuk dalam satu kelompok
berarti ia tidak sendiri, tetapi bersama semua anggota kelompok itu, dan sepeti
diketahui bantuan Allah dianugrahkan-Nya kepada yang berjamaah, dan serigala
tidak menerkam kecuali domba yang sendirian (Shihab, 2010:229).
c) Surat At-Taubah 71

..
Artinya : Dan orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang makruf,
mencegah yang mungkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat(QS. At-
Taubah: 71) (Shihab, 2005: 649-650).
1) Pengalaman
Melalui ayat ini Allah menguraikan keadaan orang-orang mukmin yang
sepenuhnya bertolak belakang dengan keadaan orang munafik. Sekaligus sebagai
dorongan kepada orang-orang munafik dan selain mereka agar tertarik mengubah
sifat buruk mereka. Dan orang-orang mukmin yang mantap imannya dan terbukti
kemantapanya melalui amal-amal mereka, sehingga pengalaman yang didapat
banyak sekali dalam melaksanakan jalan kebaikan. Allah menjanjikan kepada
orang-orang mukmin lelaki atau perempuan, surge yang dibawahnya mengalir
sungai-sungai, kekal mereka didalamnya, dan tempat yang bagus di surge, itu
adalah keberuntungan yang besar.
2) Ekspresi
Bukti kemantapan iman mereka adalah mengepresikan melakukan yang maruf,
mencegah perbuatan yang munkar dengan melaksanakan shalat dengan khusu dan
berkesinambungan, menunaikan zakat dengan sempurna, dan mereka taat kepada
Allah dan Rasul-Nya menyangkut segala tuntunan-Nya. Dan mereka akan
dirahmati Allah dengan rahmat khusus, sesungguhnya Allah Maha Perkasa tidak
dapat dikalahkan kehendak-Nya oleh siapapun lagi Maha Bijaksana, dalam semua
ketetapan (Shihab,2005: 650)
3) Pemahaman
Kenikmatan yang diberikan yang tercantum dalam surat at-Taubah ayat 71 ini,
setiap orang mukmin maupun kelompok mereka ditemukan antara kenikmatan
berhubungan dengan Allah swt, dan pada ketenangan batin yang dihasilkan dari
segala bencana, persatuan dan kesatuan serta kesediaan setiap anggota masyarakat
muslim untuk berkorban demi semuanya. Ini antara lain yang diraih di dunia,
adapun yang diraih di akhirat maka tiada kata yang dapat di sampaikan Rasul saw.


d) Surat Al-Maidah 78-79

*
Artinya : Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud
dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu
melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar
yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka
perbuat itu.(QS. Al-Maidah: 78-79) (Shihab, 2001: 174-175).

1) Pengalaman
Surat diatas merupakan larangan melakukan kesesatan dan mengikuti orang-orang
yang sesat, diingatkan-Nya melalui ayat ini bahwa para nabi yang mereka
agungkan tidak merestui sikap mereka. Karena itu, ditegaskan-Nya melalui ayat
ini bahwa: telah dilaknat, dikutuk oleh Allah dan dijauhkan dari rahmat-Nya,
orang-orang kafir yang merupakan umat dari bani Israil disebabkan oleh lisan
yakni ucapan lidah Daud yang melaksanakan syariatMusa as. dan juga dengan
lisan Isa putra Maryam, yang datang mengukuhkan syariat Musa as. yang
demikian itu yakni kutukan kedua nabi agung itu, tidak lain kecuali, disebabkan
karena mereka, yakni orang-orang yahudi dan Nasrani telah durhaka dengan
melakukan dosa-dosa mereka kepada Allah dan Rasul-Nya dan masih selalu
melmpui batas kewajaran, baik dalam beragama maupun dalam kehidupan sehari-
hari.
2) Ekspresi
Ayat ini salah satu bentuk ekspresi melaksanakan kedurhakaan karena melakukan
dosa-dosa tidak menjalankan amar maruf nahi munkar, kata munkar dipahami
banyak ulama sebagai segala sesuatu baik maupun perbuatan yang bertentangan
dengan ketentuan agama, akal dan istiadat.
3) Pemahaman
Ala lisan Daud berarti disebabkan yang sekaligus mengandung makna
kemantapan, sehingga kata itu mengisyaratkan bahwa kutukan itu benar-benar
diucapkan oleh lidah beliau, bukan atas namanya, bukan juga dengan bahasa yang
digunakanya. sehingga pada akhirnya ayat ini mengandung makna bahwa kutukan
tersebut tidak lain kecuali karena kedurhakaan mereka. Ada juga ulama yang
mempersamakan kandungan makna durhaka dan melampui batas. Melampui batas
mengakibatkan kedurhakaan, dan kedurhakaan adalah pelampauan batas. Jika
demikian, dua kata berbeda itu pada akhirnya mengandung makna yang sama.
Kendati bentuk kata yang digunakannya berbeda, makna yang dikandungnya pun
mengandung perbedaan karena memakai madhi dan mudhari (Shihab, 2010: 174-
175).
e) Surat Ali-Imran 110
..
Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah(QS. Ali Imran: 110) (Shihab, 2010: 221).

1) Pengalaman
Ayat ini kewajiban berdakwah atas umat Islam, mereka dituntut kini di
kemukakan bahwa kewajiban itu pada hakikatnya lahir dari kedudukan umat.
Umat ini sebagai sebaik-baik umat, sejak dahulu dalam pengetahuan Allah adalah
umat yang terbaik karena adanya sifat-sifat yang menghiasi diri kalian. Umat yang
dikeluarkan, yakni diwujudkan dan ditampakkan untuk manusia seluruhnya sejak
Adam hingga ahir zaman.
2) Ekspresi
Dalam melakukan nilai-nilai Ilahi dengan mencegah kemunkaran, yakni yang
bertentangan dengan nilai-nilai luhur, pencegahan yang sampai pada batas
menggunakan kekuatan dank arena kalian beriman kepada Allah dengan iman
yang benar sehingga atas dasarnya kalian percaya dan mengamalkan tuntunan-
Nya dan tuntunan Rasul-Nya, serta melakukan amar maruf dan nahi munkar itu
sesuai dengan cara dan kandungan yang diajarkannya.
3) Pemahaman
Ayat di atas, dengan demikian ia menggunakan makna wujudnya sesuatu pada
masa lampau tanpa diketahui kapan itu terjadi dan tidak juga mengandung isyarat
bahwa ia pernah tidak ada atau suatu ketika akan tiada.
f) Surat Al-Araf 165

.
Artinya: Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada
mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan
Kami timpakan kepada orang-orang yang lalim siksaan yang keras, disebabkan
mereka selalu berbuat fasik (QS. Al-Araf: 165) (Shihab, 2005: 165).




1) Pengalaman
Tujuan yang diterangkan dengan perbincangan serta nasihat berkelanjutan yang
terbaca pada ayat yang lalu adalah mengantar para pendurhaka itu sadar dan
bertakwa, tetapi mereka tetap lengah dan lupa. Maka tatkala mereka melupakan,
yakni mengabaikan apa yang diperingatkan kepada mereka oleh siapapun antara
lain peringatan bahwa Allah boleh jadi menunda hukuman tapi sama sekali tidak
akan mengabaikan, kami selamatkan orang-orang yang terus menerus melarang
keburukan dan kami timpakan kepada orang-orang yang zalim antara lain kepada
mereka yang mengail pada hari sabtu siksaan yang keras, disebabkan mereka
selalu berbuat fasik.
2) Ekspresi
Peringatan kepada umat muslim bermacam-macam misalnya dengan adanya
gempa, tanah longsor, dan gunung meletus itu semua peringatan yang dilihatkan
untuk kita, supaya kita bisa berfikir bagaimana kita bisa melewati itu semua.
Banyak siksaan yang kita trima orang-orang yang melakukan keburukan,
disebabkan mereka selalu berbuat fasik.
3) Pemahaman
Siksa Allah disebabkan karena melecehkan tuntunan-Nya dan mengabaikan
peringatan-Nya. Adapun lupa maka ia pada hakikatnya menjadi sebab gugurnya
kewajiban dan tidak jatuhnya sanksi, karena itu yang dimaksud dengan lupa pada
ayat ini adalah mengabaikan. Lebih lanjut ulama itu menulis, manusia selalu
dikelilingi oleh bimbingan Allah yang mengingatkannya tentang kewajiban-
kewajiban penting yang ditetapkan Allah swt. Kalau ia istiqamah dan konsisten
maka itulah yang diharapkan, dan kalau ia mengabaikan konsistensi dan tidak
merasakan teguran, kecaman batin serta rasa perihakibat pelanggaran yang
dilakukanya. Tetapi jika pelanggaran itu berulang tanpa taubat, maka kedurhakaan
berlanjut, maka bertambah lemah pula teguran dan kecaman batin sampai
akhirnya hilang sama sekali sehingga ada atau tidaknya peringatan sama saja buat
mereka, dan inilah yang dimaksud dengan mereka melupakan peringatan, yakni
tidak berbekas lagi dan terhenti sudah pengaruhnya dalam jiwa bagaikan hilang
sama sekali (Shihab,2005: 287).
g) Surat Al-Hajj 41

.
Artinya : (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di
muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan
kepada Allah-lah kembali segala urusan (QS. Al-Hajj: 41) (Shihab, 2001: 143).

1) Pengalaman
Kedudukan dalam surat ini merupakan ajakan untuk setiap muslim dalam
melaksanakan kebaikan di dunia dan ahirat, melaksanakan rukun-rukun Islam
yang tertera di ayat tersebut. Melaksanakan kebaikan setiap muslim dengan
mengamalkan ajaran dan berbuat makruf untuk semua nilai, maksudnya
menjalankan dan membantu orang-orang yang kesusahan, Allah selalu
memudahkan kepada orang-orang yang berbuat baik.

2) Ekspresi
Perbuatan yang maruf dengan cara kita beribadah kepada Allah saw yang selalu
memberikan kemudahan dan pencerahan buat umatnya, menunaikan zakat bagi
orang yang mampu karena peduli kepada orang-orang di sekeliling kita yang
masih membutuhkan bantuan berbentuk apapun.
3) Pemahaman
Kedudukan di muka bumi ini sangatlah sederhana, dengan kita menjalankan
perintah-perintah Allah saw. yang selalu kita jalankan dengan menjauhkan diri
pada keburukan karena akan membuat kita tersesat kelak, dalam hal ini kita harus
melihat dan memperhatikan apa yang kita jalankan selama ini dengan kebaikan
atau keburukan.
h) Surat Al-Maidah 2
.
.

Artinya: .Dan tolong - menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya (QS.
Al-Maidah: 2) (Shihab, 2005: 9).
1) Pengalaman
Ayat yang selalu memerintah dan ayat ini melarang, demikian dalam al-Quran
menyebut dua hal yang bertolak belakang secara bergantian ditemukan lagi disini.
Dapat juga dikatakan bahwa ayat ini berbicara uraian tentang apa yang
dikecualikan-Nya. Ayat ini merinci apa yang disinggung di atas, rincian itu
dimulai dengan hal-hal yang berkaitan dengan haji dan umrah, ayat yang lalu telah
disinggung yakni tidak menghalalkan berburu ketika sedang dalam keadaan
berihram.
2) Ekspresi
Allah menyeru orang-orang beriman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu melanggar syiar-syiar Allah dalam ibadah haji dan umrah bahkan semua
ajaran agama, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, yakni Dzul
Qaidah dan lainya jangan mengganggu binatang yang akan disembelih di Mekah
dan sekitarnya.
3) Pemahaman
Janganlah sekali-kali kebencian yang telah mencapai puncaknya sekalipun kepada
suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari masjid al-Haram,
mendorong kamu berbuat aniaya kepada mereka atau selain mereka. Dan tolong
menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan, yakni segala bentuk dan
macam hal yang membawa kepada kemaslahatan duniawi dan atau ukhrawi dan
demikian juga tolong menolonglah dalam ketakwaan, yakni segala upaya yang
dapat menghindarkan bencana duniawi dan ukhrawi, walaupun dengan orang-
orang yang tidak seiman dengan kamu, dan jangan tolong-menolonglah dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya (Shihab, 2004: 10).
i). Surat Al-Maidah 63

.

Artinya: Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak
melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?
Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu (QS. Al-Maidah:
63) (Shihab, 2004: 143).
1) Pengalaman
Ayat yang menegaskan ketiadaan iman mereka, dengan membuktikan kebenaran
penegasan tersebut, yakni buktinya adalah bahwa engkau wahai Muhammad atau
siapa pun yang dapat melihat akan melihat dari saat kesaat dengan mata kepala
atau pikiranmu, banyak dari mereka yang terus dosa, permusuhan, yakni agresi
dan pelampauan batas kewajaran dan memakan yang haram, seperti riba dan
sogok. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.
2) Ekspresi
Orang-orang yang menjauhkan diri dari gemerlapan duniawi untuk mendekatkan
diri kepada Allah saw atau para cendekiawan, orang-orang bijaksana serta
pemuka-pemuka masyarakat dan pendeta-pendeta mereka yang paham seluk
beluk agama, tidak menghalangi mereka dari saat kesaat dari perkataan mereka
yang dosa, seperti berbohong dan pelecehan agama dan tidak juga melarang
memakan makanan mereka yang haram, sesungguhnya amat buruk apa yang telah
yakni amat terampil dan terbiasa yang mereka kerjakan itu.
3) Pemahaman
Dosa yang dimaksud di sini adalah ucapan-ucapan bohong, serta pelecehan
mereka terhadap agama dan penganjur-penganjurnya sebagaimana dipahami dari
ayat 63. Dengan demikian, ayat di atas menggambarkan dua jenis keburukan
mereka, yakni dalam ucapan dan juga dalam perbuatan, yang dicerminkan oleh
dua hal, yaitu permusuhan, baik antar mereka satu dengan yang lain maupun
terhadap umat Islam, dan memakan riba (Shihab,2004: 144).
j) Surat Hud 116
.
Artinya: Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-
orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan)
kerusakan di muka bumi. (QS. Hud: 116) (Shihab, 2005: 370).
1) Pengalaman
Kelompok ayat ini adalah menutup surat ini, dengan berbicara tentang umat yang
dibinasakan Allah dengan tujuan antara lain kiranya kisah mereka menggugah hati
kaum musyrikin yang enggan menerima kebenaran al-Quran serta tuntunan Nabi
Muhammad saw.
2) Ekspresi
Perintah ayat tersebut adalah istiqamah sambil melarang melampui batas dan
cenderung mengandalkan orang-orang yang zalim. Ayat-ayat yang lalu berpesan
jangan berlaku sebagaimana halnya umat-umat terdahulu yang tidak banyak
tampil di antara mereka orang-orang yang mencegah kemunkaran, sehingga jatuh
siksa Allah terhadap mereka. Sungguh disayangkan mengapa tidak ada dari umat-
umat yang lalu dan seterusnya.
3) Pemahaman
Umat-umat yang menjelaskan, mempunyai keutamaan karena memiliki akal yang
sehat, jiwa yang bersih dan amal-amal kebaikan yang senantiasa melarang
anggota masyarakatnya mengerjakan dan menyetujui perusakan di muka bumi,
tidak ada yang melakukan hal tersebut kecuali sedikit, yaitu orang-orang yang
telah kami selamatkan di antara mereka, dan sebagian besar di antara mereka yaitu
orang-orang yang zalim tidak melarang kemunkaran dan perusakan dan mereka
diangkuhkan serta dilengahkan oleh nikmat kemewahan yang ada pada mereka,
sehingga mereka melampui batas, serta bergemilang dalam dosa dan mereka
adalah para pendurhaka yang telah mendarah daging dan membudaya
kedurhakaannya. Karena kebanyakan mereka durhaka, maka Allah membinasakan
mereka, tetapi itu bukan kesewenangan dari Allah karena sekali-kali Allah tidak
menzalimi siapa pun (Shihab, 2004: 371).
k) Surat An-Nisa 135

.
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.(QS. An-Nisa:135) (Shihab, 2005:
615).
1) Pengalaman
Ayat-ayat al-Quran merupakan serat yang membentuk tenunan hidup seseorang
muslim. Karena itu seringkali pada saat al-Quran berbicara tentang aspek
tertentu, tiba-tiba ayat yang lain muncul berbicara tentang aspek dan dimensi lain
yang secara sepintas terkesan tidak saling berkaitan bagi yang tekun
mempelajarinya akan menemukan keserasian yang amat mengagumkan, serupa
dengan keserasian hubungan yang memadukan bisikan-bisikan hati manusia yang
saling berbeda, sehingga pada akhirnya dimensi dan aspek yang tadinya terkesan
kacau menjadi terangkai dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak
diketahui di mana ujung dan pangkalnya, atau seperti vas bunga yang dihiasi oleh
aneka kembang berbeda-beda dan warna-warni tetapi pada akhirnya menghasilkan
pemandangan yang sangat indah.
2) Ekspresi
Dalam menegakkan keadilan menjadi saksi-saksi karena Allah, biarpun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika, ia kaya atau pun miskin,
maka Allah lebih tahu kemaslahatanya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu karena ingin menyimpang. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau
berpaling, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang
kamu kerjakan.
3) Pemahaman
Nasihat dan peringatan diatas, dikemukakan juga dalam ayat ini, hasil dari segala
bimbingan sebelum ini terhadap semua umat beriman yaitu, wahai orang-orang
yang beriman, jadilah penegak keadilan yang sempurna lagi sebenar-benarnya,
menjadi saksi-saksi karena Allah, yakni selalu merasakan kehadiran Ilahi
memperhitungkansegala langkah kamu dan menjadikannya demi karena Allah
biarpun keadilan yang kamu tegakkan itu terhadap dirimu sendiri atau terhadap
ibu bapak dan kaum kerabatmu.
l) Surat An-Nisa 114

.
Artinya: Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali
bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau
berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang
siapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami
memberi kepadanya pahala yang besar (QS. An-Nisa: 114) (Shihab, 2005: 585).
1) Pengalaman
Ayat yang merupakan pendidikan yang sangat berharga bagi masyarakat, yakni
hendaklah anggota masyarakat saling terbuka,sedapat mungkin tidak saling
merahasiakan sesuatu. Keahasiaan mengandung makna ketidakpercayaan, sedang
keterbukaan dan keterusterangan menunjukkan keberanian pembicara. Keberanian
atas dasar kebanaran dan ketulusan. Karena itu, ayat ini menyatakan bahwa tidak
ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka manusia. Dari sini juga
dapat dipahami larangan Nabi saw. Melakukan pembicaraan rahasia di hadapan
orang lain.
2) Ekspresi
Kaum muslimin dan siapa pun menyangkut perbincangan dengan mengecam
perbincangan yang selama ini banyak dilakukan oleh manusia, utamanya orang-
orang munafik. Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka
yang melakukan bisikan, siapa pun mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang
yang menyuruh orang lain memberi sedekah atau berbuat makruf, yakni kebajikan
yang direstui agama dan masyarakat atau mengadakan perdamaian di antara
manusia yang berselisih. Dan barang siapa yang berbuat demikian, yakni ketiga
hal yang tersebut di atas karena bersungguh-sungguh mencari keridhaan Allah,
maka kelak dan pasti kami menganugrahkan kepadanya di akhirat pahala yang
besar, banyak, lagi agung.
3) Pemahaman
Pelajaran yang sangat berharga menyangkut pembicaraan yang direstui agama,
sekaligus mengingatkan bahwa amal-amal lahiriah hendaknya selalu disertai
dengan keikhlasan serta keterbatasan dari tujuan duniawi yang sifatnya
menggugurkan amal itu. Perintah bersedekah, perintah melakukan maruf dan
upaya melakukan perbaikan antar manusia, ketiga hal yang dikecualikan dari
pembicaraan rahasia yang buruk, menunjukkan bahwa amal-amal dapat menjadi
terpuji bila dilakukan secara rahasia, seperti bersedekah, melakukan perbaikan
antara manusia serta amal-amal maruf tertentu.
m) Surat Al-Hujurat 9

.
Artinya: Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang
maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah
(QS. Al-Hujurat: 9) (Shihab, 2003: 243).

1) Pengalaman
Sebagaimana menghadapi berita-berita yakni keharusan meneliti kebenaranya
dan merujuk kepada sumber pertama guna mengetahuinya, ayat-ayat di atas
berbicara tentang perselisihan antara kaum mukminin yang antara lain
disebabkan oleh adanya isu yang tidak jelas kebenaranya. Dan jika ada dua
kelompok yang telah menyatu secara factual atau berpotensi untuk menyatu dari
yakni kedua kelompok itu, sedang atau masih terus menerus berbuat aniaya itu
sehingga ia yakni kelompok itu, sedang atau masih terus menerus berbuat aniaya
itu sehungga ia kembali kepada perintah Allah yakni kebenaran, jika ia telah
kembali kepada perintah Allah itu maka demikianlah antara keduanya dengan
adil dan dapat ditrima dengan baik.
2) Ekspresi
Memerintahkan untuk melakukan kebaikan dengan tindakan terhadap kebaikan
yang baik, dalam menindakan hal-hal yang dikerjakan untuk dimanfaatkan untuk
masyarakat, dapat diterapkan dalam beribadah kepada Allah yang selalu
memberikan kita nikmat iman dan ihsan dalam kehidupan kita.
3) Pemahaman
Ada dua kelompok dari orang-orang yang mukmin bertikai maka demikianlah
antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya itu sehingga ia
kembali kepada perintah Allah, jika ia telah kembali maka demikianlah antara
keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil dalam segala hal, karena Allah akan memberikan
kebaikan kepada orang-orang mukmin semua.

3.4. Kandungan makna ayat - ayat tentang Amar maruf nahi munkar
a) Surat Ali-Imran 104
Dengan konsep maruf, al-Quran membuka pintu yang cukup lebar guna
menampung perubahan nilai-nilai akibat perkembangan positif masyarakat. Hal ini
agaknya ditempuh al-Quran karena ide atau nilai yang dipaksakan atau tidak sejalan
dengan perkembangan budaya masyarakat tidak akan didapat diterapkan. Karena
itu, al-Quran, disamping memperkenalkan dirinya sebagai pembawa ajaran yang
sesuai dengan fitrah manusia, ia juga melarang pemaksaan nilai-nilainya walau
merupakan nilai yang amat mendasar seperti keyakinan akan keesaan Allah SWT.
Perlu dicatat bahwa konsep maruf hanya membuka pintu bagi perkembangan
positif masyarakat, bukan perkembangan negatifnya. Dari sini, filter al-khair harus
benar-benar difungsikan. Demikian juga halnya dengan munkar, yang pada
gilirannya dapat memengaruhi pandangan tentang muruah, identitas dan intgritas
seseorang (Shihab, 2010 : 212).
Ayat ini mengandung perintah yang wajib dilaksanakan, disamping
menjelaskan bahwa keberuntungan hanya dapat dicapai melalui pelaksanaan hal
tersebut sebagaimana yang ditunjukkan oleh penutup ayat,dan merekalah orang-
orang yang beruntung. Dapat pula disimpulkan bahwa perintah tersebut merupakan
fardhu kifayah, dan bukan fardhu ain,dan karenanya jika telah ada (secara cukup)
segolongan umat yang melaksanakanya, maka kewajiban tersebut dapat dianggap
gugur berkaitan dengan orang-orang selain mereka. Sebab disini Allah Swt.tidak
menyatakan, hendaklah kalian semuanya menjadi orang-orang yang menyeru
kepada kebijakan tetapi hendaklah ada di antara kalian Oleh sebab itu, jika telah
ada satu orang saja atau sekelompok orang yang melaksanakannya (secara cukup),
maka gugurlah kewajiban tersebut berkaitan dengan orang-orang selain mereka.
Walaupun yang beroleh keberuntungan hanya mereka yang melaksanakanya saja.
Sebaiknya, apabila tak seorang pun dari mereka yang melaksanakan perintah itu,
maka dosanya pasti ditanggung oleh mereka semua yang memiliki kemampuan.

b) Surat Ali-Imran 113-114
Ayat 113-114 menegaskan bahwah mereka itu, yakni ahli al-kitab, orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak sama dalam sikap dan kelakuan mereka terhadap Allah
dan manusia, diantara Ahl al-qitab itu ada golongan berlaku lurus, yakni
menerima dan melaksanakan secara sempurna tuntunan nabi-nabi mereka sehingga
bersedia untuk percaya kepada kebenatan dan mengamalkan nilai-nilai luhur. Ini
disebabkan mereka selalu membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di
malam hari, sedang mereka juga bersujud, yakni tunduk patuh atau shalat. Mereka
beriman kepada Allah dan hari kemudian sehingga tampak buahnya dalam prilaku
mereka, terbukti antara lain bahwa mereka berbeda dengan kelompok yang
durhaka. Mereka menyuruh kepada yang maruf dan mencegah yang munkar dan
bersegera tidak bermalas-malas seperti orang-orang munafik apalagi mengabaikan;
seperti orang-orang kafir, mengerjakan pelbagai kebajikan; mereka itu orang-orang
yang jujur lagi lurus keberagamaannya dan mereka itu termasuk orang-orang soleh,
yakni yang memelihara nilai-nilai luhur yang diamanakan Allah (Shihab, 2010:
227-228).
Dalam ayat ini, Allah Swt. Tidak begitu saja menggolongkan mereka dalam
kelompok orang-orang saleh, semata-mata karena mereka beriman kepada Allah
dan Hari Akhir saja, tetapi menambahkan pula perbuatan mereka yang ber-amar
maruf dan nahi munkar.


c) Surat At-Taubah 71
Melalui ayat ini Allah menguraikan keadaan orang-orang mukmin yang
sepenuhnya bertolak belakang dengan keadaan orang munafik. Sekaligus sebagai
dorongan kepada orang-orang munafik dan selain mereka agar tertarik mengubah
sifat buruk mereka. Dan orang-orang mukmin yang mantap imannya dan terbukti
kemantapannya melalui amal-amal saleh mereka, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka dengan sebagian yang lain, yakni menyatu hati mereka, dan senasib serta
sepenanggungan mereka, sehingga sebagian mereka menjadi penolong bagi
sebagian yang lain dalam segala urusan dan kebutuhan mereka. Bukti kemantapan
iman mereka adalah mereka menyuruh melakukan yang maruf, mencegah
perbuatan yang munkar, melaksanakan shalat dengan khusuk dan bersinambung,
menunaikan zakat dengan sempurna, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya
menyangkut segala tuntunan-Nya. Mereka itu pasti akan di rahmati Allah dengan
rahmat khusuk; sesungguhnya Allah Maha Perkasa tidak dapat dikalahkan atau
dibatalkan kehendak-Nya oleh siapa pun lagi Maha Bijaksana, dalam semua
ketetapan-Nya (Shihab, 2005: 650).
Sehingga Allah melukiskan orang-orang beriman sebagai orang-orang yang
menyuruh mengerjakan yang maruf dan mencegah dari yang munkar. Dapatlah
disimpulkan bahwa mereka yang meninggalkan amar maruf dan nahi munkar
tidak termasuk dalam kelompok kaum beriman seperti disebutkan dalam ayat ini.


d) Surat Al-Maidah 78-79
Kandungan ayat ini melarang melaukan kesesatan dan mengikuti orang-orang
yang sesat, diingatkan-Nya melalui ayat ini bahwa para nabi yang mereka agungkan
tidak merestui sikap mereka. Karena itu, ditegaskan-Nya melalui ayat ini bahwa:
Telah dilaknat, dikutuk oleh Allah dan dijauhkan dari rahmat-Nya, orang-orang
kafir yang merupakan umat dari Bani Israel disebabkan oleh lisan yakni ucapan
lidah Daud yang melaksanakan syariat Musa as. Dan juga dengan lisan Isa putra
Maryam, yang datang mengukuhkan syariat Musa as. Yang demikian itu yakni
kutukan kedua nabi agung itu, tidak alain kecuali, disebabkan karena mereka, yakni
orang-orang Yahudi dan Nasrani telah durhaka dengan melakukan dosa-dosa
mereka kepada Allah dan Rasul-Nya dan masih selalu melampui batas kewajaran
baik dalam beragama maupun dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk
kedurhakaan mereka, khusunya Ulama dan cerdik cendekia mereka, sekaligus
menjelaskan mereka yang mungkin muncul dalam benak, yakni bagaimana satu
umat secara keselurahan dapat dikutuk! Ini dijelaskan dan dijawab dalam firman-
Nya diatas bahwa: Mereka senantiasa dan sejak dulu hingga kini tidak saling
melarang tindakan munkar yang mereka perbuat, yakni tidak saling melarang
mengulangi perbuatan munkar yang diperbuat sebagian mereka. Sungguh umat
yang buruklah apa yang mereka perbuat itu (Shihab, 2010: 174-176).
Dalam ayat ini sungguh merupakan puncak kecaman keras, mengingat
pernyataan Allah Swt. bahwa adanya mereka layak dilaknat adalah semata-mata
karena mereka meninggalkan tindakan mencegah kemunkaran di antara mereka.
e) Surat Ali-Imron 110
Setelah menjelaskan kewajiban berdakwah atas umat Islam, pada ayat 104,
persatuan dan kesatuan mereka yang dituntut, ini dikemukakan bahwa kewajiban
itu dan tuntutan itu pada hakikatnya lahir dari kedudukan umat ini sebagai sebaik-
baiknya umat. Ini yang membedakan mereka yang sementara Ahl-Kitab yang justru
yang mengambil sikap bertolak dengan itu tanpa ketiga hal tersebut oleh ayat ini
kedudukan ini sebagai sebaik-baiknya umat tidak dapat mereka pertahankan.
Kamu, wahai seluruh umat Muhammad dari generasi kegenerasi berikutnya
sejak dahulu dalam pengetahuan Allah adalah umat yang terbaik karena adanya
sifat-sifat yang menghiasi diri kalian. Umat yang dikeluarkan, yakni diwujudka dan
ditampakkan umat manusia seluruhnya sejak Adam hingga akhir zaman. Ini karena
kalian adalah umat yang terus menerus tanpa bosan menyuruh kepada yang makruf
yakni apa yang dinilai baik oleh masyarakat selama serjalan dengan nilai-nilai
Illahi, dan mencegah yang munkar yakni yang bertentangan nilai-nilai luhur,
pencegahan yang sampai pada batas yang menggunakan kekuatan dan karena
kalian beriman kepada Allah, dengan iman yang benar sehingga atas dasarnya
kalian percaya dan mengamalkan tuntunan-Nya dan tuntunan Rasul-Nya, serta
melakukan amar maruf dan nahi munkar itu sesuai dengan cara dan kandungan
yang di ajarkannya. Inilah yang menjadikan kalian meraih kebajikan, tapi jangan
juga Allah pilih kasih sekiranya Ahl-Kitab, yakni orang Yahudi dan Nasrani
beriman sebagaimana keimanan mereka tidak bercerai berai tentulah itu baik juga
bagi mereka, diantara mereka ada yang beriman sebagaimana iman kalian,
sehingga demikian merekapun meraih kebijakan itu dan menjadi pula bagian dari
sebaik-baiknya umat, tetapi jumlah mereka tidak banyak kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik. Yakni keluar dari ketaatan kepada tuntutan-
tuntutan Allah swt (Shihab, 2010: 221-222).
Ayat ini menunjukkan betapa besarnya fadhilah (keutamaan) amar maruf
dan nahi munkar, mengingat bahwa dengan melaksanakannya mereka menjadi
umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.
f) Surat Al-Araf 165
Tujuan perbincangan serta nasihat berkelanjutan yang terbaca pada ayat
yang lalu adalah mengantar para pendurhaka itu sadar dan bertakwa, tetapi mereka
tetap lengah dan lupa. Maka tatkala mereka melupakan, yakni mengabaikan apa
yang diperingatkan kepada mereka oleh siapapun antara lain peringatan bahwa
Allah boleh jadi menunda hukuman tapi sama sekali tidak akan mengabaikan, Kami
selamatkan orang-orang yang terus menerus melarang keburukan dan kami
timpakan kepada orang-orang yang zalim antara lain kepada mereka yang mengail
pada hari sabtu siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu perbuat fasik
(Shihab, 2005: 286).
Jadi ayat ini, Allah menjelaskan bahwa mereka memperoleh keselamatan
disebabkan mereka melarang perbuatan buruk dan hal itu menunjukkan bahwa yang
demikian itu adalah sesuatu yang diwajibkan.


g) Surat Al-Hajj 41
Dalam ayat ini diterangkan kalau orang-orang yang diusir dari kampung
halamannya ialah orang-orang yang apabila Kami meneguhkan kedudukan mereka
di dalam negeri, lalu mereka mengalahkan kaum musyrikin. Lalu, mereka taat
kepada Allah, mendirikan shalat seperti yang diperintahkan kepada mereka,
mengeluarkan zakat harta yang telah diberikan kepada mereka, menyeru manusia
untuk mentauhidkan Allah dan taat kepadaNya, menyuruh orang untuk
mengerjakan apa yang diperintahkan oleh syariat, dan melarang melakukan
kemusyikan serta kejahatan.
Sesungguhnya Allah menyejajarkan amar maruf dan nahi munkar dengan
pelaksanaan shalat dan zakat sebagai sifat-sifat utama kaum mukminin yang baik-
baik.
h) Surat Al-Maidah 2
Dalam surat Al-Maidah ayat 2 ini tentang memerintah dan melarang.
Demikian kebiasan al-Quran menyebut dua hal yang bertolak belakang secara
bergantian ditemukan lagi disini. Dapat juga dikatakan bahwa ayat yang lalu
berbicara secara umum, termasuk uraian tentang apa yang dikecualiakn-Nya. Ayat
ini merinci apa yang disinggung diatas. Rincian itu dimulai dengan hal-hal yang
berkaitan dengan haji dan umrah, yang pada ayat lalu telah disinggung, yakni tidak
tidak menghalalkan berburu ketika sedang dalam keadaan berihram. Di sini sekali
lagi Allah menyeru orang-orang beriman: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah dalam ibadah haji dan murah
bahkan semua ajaran agama , dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan
haram, yakni Dzul Qaidah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, jangan
mengganggu binatang al-hadya, yaitu binatang yang akan disembelih di Mekah
dan sekitarnya, dan yang dijadikan sebagai persembahan kepada Allah, demikian
pula jangan mengganggu al-qalaid, yaitu binatang-binatang yang dikalungi
lehernya sebagai tanda bahwa ia adalah persembahan yang sangat istimewa, dan
jangan juga mengganggu para pengunjung Bairullah, yakni siapa pun yang ingin
melaksanakan ibadah haji atau umrah sedang mereka melakukan hal tersebut dalam
keadaan mencari dengan sungguh-sungguh karunia keuntungan duniawi dan
keridhaan ganjaran ukhrawi dari Tuhan mereka (Shihab 2004:10).
Ayat ini merupakan perintah yang tegas. Adapun makna bertolong-
menolong ialah saling mendorong melakukannya, melapangkan jalan untuk
perbuatan kebajikan dan menutup pintu-pintu kejahatan dan pelanggaran dengan
sekuat tenaga dan kemampuan.
i) Surat Al-Maidah 63
Setelah menegaskan ketiadan iman mereka, ayat ini membuktikan kebenaran
penegasan tersebut, yakni buiktinya adalah bahwa engkau wahai Muhammad atau
siapa pun yang dapat melihat akan melihat dari saat ke saat dengan mata kepala
atau pikiran pikiranmu banyak dari mereka yang terus menerus bersegera bagaikan
berlomba dengan orang lain dalam melakukan dosa, permusuhan, yakni agresi dan
pelampuan batas kewajaran dan memakan yang haram, seperti riba dan sogok.
Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.
Mengapa ar-Rabbaniyyun, yaitu orang-orang yang menjauhkan diri dari
gemerlapan duniawi untuk mendekatkan diri pada Allah atau para cendikiawan,
orang-orang bijaksana serta pemuka-pemuka masyarakat dan pendeta-pendeta
mereka yang paham seluk beluk agama, tidak menghalangi mereka dari saat kesaat
dari perkataan mereka yang dosa, seperti berbohong dan pelecehan agama dan
tidak juga melarang memakan makanan mereka yang haram? Sesungguhnya amat
buruk apa yang telah yakni amat terampil dan terbiasa yang mereka kerjakan itu.
Yusariun fi al- istm, / bersegerah dalam dosa dst, berarti melakukan dosa-
dosa dengn penuh antusias, bagaikan orang yang berlomba ingin meraih
kemenangan. Penggunaan kata fi/ dalam bukan ila/ menuju yang dalam, sehingga
mereka tidak mudah keluar dari dalam jurang itu. Di sisi lain, jika dikatakan
ila/menuju maka ia dapat memberi kesan bahwa mereka pernah meninggalkan
wadah dosa, permusuhan dan maka riba itu. Dosa yang dimaksud di sini ucapan-
ucapan bohong, serta pelecehan mereka terhadap agama dan penganjur-
penganjurnya sebagaimana di pahami dalam ayat tersebut (Shihab, 2004:143).
Jadi di sini Allah Swt. menegaskan bahwa para pendeta itu telah berdosa
karena meninggalkan pencegahan dari perbuatan kejahatan.
j) Surat Hud 116
Kelompok ayat-ayat ini adalah penutup surah ini, yang sebelumnya telah
berbicara tentang umat-umat yang dibinasakan Allah dengan tujuan antara lain
kiranya kisah mereka menggugah hati kaum musyrikin yang enggan menerima
kebenara al-Quran serta tuntunan Nabi Muhammad saw (Shihab, 2004: 370).
Penjelasan dalam ayat ini, Allah Swt. menjelaskan bahwa ia telah
memusnahkan mereka, kecuali sebagian kecil dari mereka yang diselamatkan,
yaitu yang senantiasa melarang dari perbuatan kerusakan.
k) Surat An- Nisa 135
Dikemukakan dalam ayat ini natijah/hasil dari segala bimbingan sebelum
ini terhadap semua umat beriman yaitu Wahai orang-orang yang beriman, jadilah
penegak-penegak keadilan yang sempurna lagi sebenar-benarnya, menjadi saksi-
saksi karena Allah, yakni selalu merasakan kehadiran Ilahi memperhitungkan
segala langkah kamu dan menjadikannya demi karena Allah biarpun keadilan
yang kamu tegakkan itu terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan
kaum kerabatmu, misalnya terhadap anak atau saudara dan paman kamu sendiri.
Jika ia, yakni pribadi yang disaksikan, kaya yang boleh jadi kamu harapankan
bantuannya atau ia disegani dan ditakuti atau pun miskin yang biasanya dikasihi
sehingga menjadikan kamu bertindak tidak adil guna memberinya manfaat atau
menolak mudharat yang dapat jatuh atas mereka maka sekali-kali jangan jadikan
kondisi itu alas an untuk tidak menegakkan keadilan karena Allah lebih utama dan
lebih tahu kemaslahatan mereka sehingga tegakkanlah keadilan demi karena Allah
(Shihab, 2010: 757).
Ayat ini menjelaskan, itulah amar maruf yang ditujukan kepada kedua
orang tua dan kaum kerabat.



l) Surat An-Nisa 114
Ayat ini menuntun kaum muslimin dan siapapun menyangkut perbincangan
dengan mengecam perbincangan yang selama ini banyak dilakukan oleh manusia,
utamanya orang-orang munafik.
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka yang
melakukan bisikan, siapa pun mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh orang lain memberi sedekah, atau berbuat makruf, yakni kebajikan
yang direstui agama dan masyarakat atau mengadakan perdamaian di antara
manusia yang berselisih,. Dan barang siapa yang berbuat demikian, yakni ketiga
hal disebut diatas karena bersungguh-sungguh mencari keridhaan Allah, maka
kelak dan pasti Kami menganugrahkan kepadanya di akhirat pahala yang besar,
banyak, lagi agung.
Ayat ini juga mengandung pelajaran yang sangat berharga menyangkut
pembicaraan yang direstui agama, sekaligus mengingatkan bahwa amal-amal
lahiriah hendaknya selalu disertai dengan keikhlasan serta keterbatasan dari tujuan
duniawi yang sifatnya menggugurkan amal itu (Shihab, 2010: 716).
m) Surat Al- Hujurat 9
Dalam surat Al-Hujarat ayat 9 ini berbicara tentang perselisihan antara
kaum mukminin yang antara lain disebabkan oleh adanya isu yang tidak jelas
kebenaranya. Dan jika ada dua kelompok yang telah menyatu secara faktual atau
berpotensi untuk menyatu dari yakni sedang mereka adalah orang-orang mukmin
bertikai dalam bentuk sekecil apapun maka demikianlah antara keduanya. Jika
salah satu dari keduanya yakni kedua kelompok itu, sedang atau masih terus
menerus berbuat aniaya terhadap kelompok yang lain sehingga enggan menerima
kebenaran dan atau perdamaian maka tindaklah kelompok yang berbuat aniaya itu
sehingga ia yakni kelompok itu kembali kepada perintah Allah yakni menerima
kebenaran, jika ia telah kembali kepada perintah Allah itu maka demikianlah
antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah dalm segala hal agar putusan
kamu dapat diterima dengan baik oleh semua kelompok. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil (Shihab, 2003: 243).
Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi
secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar
pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan
nyata. Ia juga banyak memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca
sarjana, agar berani menafsirkan Al-Quran, tetapi dengan tetap berpegang ketat
pada kaidah-kaidah tafsir yang sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran
terhadap al-Quran tidak akan pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja
muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan
kemajuan. Beliau tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati
dalam menafsirkan al-Quran sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu
pendapat sebagai pendapat al-Quran. Bahkan, menurutnya adalah satu dosa bila
seseorang memaksakan pendapatnya atas nama al-Quran.
Jadi ayat ini upaya mendamaikan antara kedua golongan orang-orang
mukmin yang bertikai merupakan pencegahan terhadah pelanggaran atas hak
orang lain dan upaya mengembalikan mereka kepada ketaatan kepada Allah Swt.
yang apabila tidak mereka turuti, maka Allah telah memerintahkan agar mereka
diperangi, seperti dalam penghujung ayat di atas. Dan yang demikian itu termasuk
nahi munkar.








BAB IV
ANALISIS

4.1. Analisis konsep amar maruf nahi munkar dalam tafsir Al-Misbah
karya Quraish Shihab
4.1.1. Amar maruf nahi munkar
Konsep amar maruf nahi munkar dalam tafsir Al-Misbah
dapat di analisis melalui teori dalam bukunya Palmer yang berjudul
Hermeneutika teori baru mengenai interpretasi, metode yang
digunakan adalah Metode analisis Hermeneutik yaitu studi tentang
prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan ekplanasi, yang
dimaksudkan untuk menguraikan tentang makna. Pada rumusan
masalah yang dipecahkan menggunakan analisis dari teori Formula
hermeneutika Dilthey yaitu suatu prosedur yang di dasarkan atas
hubungan sistematis antara hidup atau pengalaman, ekspresi dan
pemahaman.
Teori Dilthey memfokuskan dalam mengembangkan metode
memperoleh interpretasi obyektivitas yang valid dari ekpresi
kehidupan, dan cara berfikir dari ilmu alam, dan menggunakanya
untuk studi manusia (Palmer, 2010: 110-112).
a) Surat Ali-Imran 104
Dalam tafsir Al-Misbah terdapat ayat-ayat yang menjelaskan
tentang amar maruf nahi munkar antara lain; Surat Ali-Imran ayat
104 di sini terdapat kata ada ulama yang memahaminya dalam
arti sebagian, dengan demikian perintah berdakwah yang dipesankan
oleh ayat ini tidak tertuju kepada setiap orang. Bagi yang
memahaminya demikian, ayat ini buat mereka mengandung dua
macam perintah, yang pertama kepada seluruh umat Islam agar
membentuk dan menyiapkan satu kelompok khusus yang bertugas
melaksanakan dakwah, sedang perintah yang kedua adalah kepada
kelompok khusus itu untuk melaksanakan dakwah kepada kebajikan
dan makruf serta mencegah kemunkaran. Ada juga ulama yang
memfungsikan dalam arti penjelasan sehingga ayat ini
merupakan perintah kepada setiap orang muslim untuk
melaksanakan tugas dakwah, masing-masing sesuai kemampuannya.
Selanjutnya, ditemukan bahwa ayat di atas menggunakan dua
kata yang berbeda dalam rangka perintah berdakwah. Pertama,
adalah kata yakni mengajak, dan kedua adalah
yakni memerintah (Shihab, 2010:209-210).
Dilihat dari segi pengalaman dalam ayat ini, seorang
Mufasirin dari al-Quran bertingkat-tingkat. Maksudnya, keberadan
manusia mempunyai tipologi pemikiran berbeda-beda dalam
penafsiran ini sebagian golongan umat muslim yang menyeru kepada
kebajikan dengan berpedoman kepada kebaikan dan menjauhi
larangan-Nya. Firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia,
sehingga suatu pengalaman melukiskan apa yang penuh makna,
misalnya mungkin mencakup banyak perjumpaan dengan
pengalaman atau penafsir lain jadi pengalaman lain yang dijumpai
dapat ditambahkan dalam pengalaman tafsir ini. Kesimpulany adalah
seseorang mufasirin harus menegakan yang maruf dan menjauhi
yang munkar.
Tafsir al-Misbah dalam ayat tersebut terdapat ekspresi
pemikiran yang mewujudkan kebaikan dan menjauhi yang munkar
mendapat keberuntungan, wajib hukumnya bagi seoarang muslim
untuk menegakan amar maruf nahi munkar, sehingga terwujudnya
tatanan masyarakat yang beriman dan bertaqwa. Nilai-nilai
kehidupan ada pada ayat tersebut yang menjalankan kebaikan dapat
keberuntungan. Ilmu tentang tafsir sangat luas dan banyak dikaji
beberapa tokoh, pemahaman dalam kehidupan dengan menjalankan
perintah-perintah Allah SAW ayat ini menerangkan segolongan umat
yang mengajak kebajikan untuk menempuh jalan yang lurus, yaitu
menuju kebenaran yang kita ikuti serta mengajak orang mukmin
untuk menghindari kejelekan. Pengetahuan yang dimiliki seseorang
kemampuanya mengamalkan sesuatunya sangat berkurang, bahkan
terlupakan atau hilang. Dalam hal mewujudkan kebaikan dan
menjauhi larangan dapat di kemukakan dalam ini.
b) Surat Ali-Imran 113-114
Sedangkan dalam Surat Ali-Imran ayat 113-114, mereka
dilukiskan oleh ayat di atas dengan yang
penulis terjemahkan dengan bersegera mengerjakan berbagai
kebajikan, bukanya bersegera kepada (mengerjakan) berbagai
kebajikan; seperti sementara penerjemah menerjemahkannya.
Pilihan penulis itu disebabkan ayat ini tidak menggunakan kata ( \ )
yang arti menuju ke, tetapi ayat ini menggunakan () yang berarti
berada di dalam. Ini memberi kesan bahwa sejak semula mereka
telah berada dalam koridor atau wadah kebajikan. Mereka berpindah
dari satu kebajikan kepada kebajikan yang lain karena mereka telah
berada di dalamnya, bukan berada di luar koridor itu. Bila mereka
berada di luar koridor kebajikan, itu berarti mereka dalam kesalahan
yang mengharuskan mereka pindah dari sana menuju kebajikan.
Ayat 113 dan 114 menegaskan dalam pengalaman bahwa:
mereka itu, yakni Ahli al-Kitab, orang-orang Yahudi dan Nasrani
tidak sama dalam sikap dan kelakuan mereka terhadap Allah dan
manusia. Ada golongan yang berlaku lurus, yakni menerima dan
melaksanakan secara sempurna tuntunan nabi-nabi mereka sehingga
bersedia untuk percaya kepada kebenaran dan mengamalkan nilai-
nilai luhur.
Dengan menjalankan yang baik dan keburukan berbeda-beda,
dengan mengerjakan hal-hal yang baik ada dengan kejahatan dulu
dan ada yang menjalankan langsung kebaikan, umat Islam
diperintahkan untuk menjalankan kebaikan dengan cara nilai-nilai
luhur. Pada umumnya, ulama-ulama tafsir memahaminya kelompok
yang memeluk agama Islam tidak mengenal sholat tapi dapat
diartikan tubduk dan patuh, jadi ekspresi yang digunakan ayat ini
bermacam-macam mengenal Islam. Al-Quran sering kali
menggunakan istilah semacam termasuk orang-orang yang saleh,
atau termasuk orang-orang mukmin, dan lain-lain untuk
menggambarkan pemahaman seseorang masuk dalam kelompok
orang-orang mukmin. Ungkapan semacam ini dinilai oleh para
ulama lebih baik dan lebih tinggi kualitasnya daripada menyatakan
dia adalah orang saleh atau orang mukmin. Hal ini disebabkan oleh
dua hal. Pertama: bahwa masuknya seseorang dalam kelompok
pilihan menunjukkan kemantapan dan kepiawaiannya dalam
persoalan atau sifat yang menandai kelompok itu. Yang kedua: untuk
menggambarkan sikap kebersamaan yang merupakan ciri ajaran
Ilahi. Yang masuk dalam satu kelompok berarti ia tidak sendiri,
tetapi bersama semua anggota kelompok itu, dan sepeti diketahui
bantuan Allah dianugrahkan-Nya kepada yang berjamaah, dan
serigala tidak menerkam kecuali domba yang sendirian, itulah yang
dikemukakan dalam surat tersebut.
c) Surat At-Taubah 71
Dalam surat At-Taubah 71, firman-Nya
sebagian mereka adalah penolong sebagian yang lain berbeda
redaksinya dengan apa yang dilukiskan menyangkut orang munafik.
Ayat 67 yang lalu menggambarkan mereka sebagai badhuhum min
badh/sebagian mereka dari sebagian yang lain. Perbedaan ini
menurut al-Biqai untuk mengisyaratkan bahwa kaum mukminin
tidak saling menyempurnakan dalam keimanannya, karena setiap
orang di antara mereka telah mantap imannya, atas dasar dalil-dalil
pasti yang kuat, bukan berdasar taklid. Pendapat serupa
dikemukakan oleh Thahir Ibnu Asyur yang menyatakan bahwa yang
menghimpun orang-orang mukmin adalah keimanan yang mantap
yang melahirkan tolong-menolong yang diajarkan Islam. Tidak
seorang pun yang bertaklid kepada yang lain atau mengikutinya
tanpa kejelasan dalil. Ini tulis Ibnu Asyur- dipahami dari kandungan
makna auwliya yang mengandung makna ketulusan dalam tolong
menolong. Berbeda dengan kaum munafikin yang kesatuan antar
mereka lahir dari dorongan sifat-sifat buruk.
Menunaikan zakat dengan sempurna menjadikan kenikmatan
yang diberikan yang tercantum dalam surat at-Taubah ayat 71 ini,
setiap orang mukmin maupun kelompok mereka ditemukan antara
kenikmatan berhubungan dengan Allah swt, dan pada ketenangan
batin yang dihasilkan dari segala bencana, persatuan dan kesatuan
serta kesediaan setiap anggota masyarakat muslim untuk berkorban
demi semuanya. Dan mereka akan mendapat balasan atau
kenikmatan yang di dapatnya di dunia.
d) Surat Al-Maidah 78-79
Ayat ala pada firman-Nya: ala lisan Daud berarti disebabkan
yang sekaligus mengandung makna kemantapan, sehingga lidah
beliau, bukan atas namanya, bukan juga dengan bahasa yang
digunakanya. Menurut Thahir Ibn Asyur, gabungan dari tiga hal
yang dikandung ayat diatas dzalika/itu, ala/sebab dan jawaban
terhadap adanya pertanyaan di atas, ketiganya melahirkan
pembatasan, sehingga pada akhirnya ayat ini mengandung makna
bahwa kutukan tersebut tidak lain kecuali karena kedurhakaan
mereka. Asy-Syarawi memahami kata ashauw/mereka durhaka
pada ayat ini dalam arti melakukan pelanggaran yang akibatnya
hanya menimpa diri sendiri, sedang kata yatadun/ mereka
melampaui batas adalah kedurhakaan yang menimpa pihak lain.
Sedangkan ayat selanjutnya bahwa kata yatanahaun/saling melarang
dalam arti bila ada yang melakukan suatu kemunkaran, maka yang
lain melarangnya, dan bila suatu ketika yang melarang itu
melakukan kemunkaran serupa/berbeda, maka ada lagi yang yang
tampil melarangnya, baik yang dahulu pernah dilarang maupun
anggota masyarakat lain. Kata yatanahaun dapat juga dipahami
dalam arti berhenti, yakni tidak melakukan, sehingga jika dipahami
demikian, dengan penambahan kata la/tidak, ayat ini berarti bahwa
mereka terus menerus dan tidak henti-hentinya melakukan
kemunkaran. Ayat ini merupakan salah satu dasar menyangkut dasar
kewajiban melaksanakan amar maruf nahi munkar (Shihab,
2004:174-176).
Melalui ayat ini Allah menguraikan keadaan orang-orang
mukmin yang sepenuhnya bertolak belakang dengan keadaan orang
munafik. Sekaligus sebagai dorongan kepada orang-orang munafik
dan selain mereka agar tertarik mengubah sifat buruk mereka. Dan
orang-orang mukmin yang mantap imannya dan terbukti
kemantapanya melalui amal-amal mereka, sehingga pengalaman
yang didapat banyak sekali dalam melaksanakan jalan kebaikan.
Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin lelaki atau
perempuan, surge yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal
mereka didalamnya, dan tempat yang bagus di surge, itu adalah
keberuntungan yang besar.
Dijelaskan dalam bukti kemantapan iman mereka adalah
mengepresikan melakukan yang maruf, mencegah perbuatan yang
munkar dengan melaksanakan shalat dengand khusu dan
berkesinambungan, menunaikan zakat dengan sempurna, dan mereka
taat kepada Allah dan Rasul-Nya menyangkut segala tuntunan-Nya.
Dan mereka akan dirahmati Allah dengan rahmat khusus,
sesungguhnya Allah Maha Perkasa tidak dapat dikalahkan kehendak-
Nya oleh siapapun lagi Maha Bijaksana, dalam semua ketetapan.
e) Surat Ali-Imran 110
Dalam tafsir Qurais Shihab (2010: 222) ayat 110 kata kuntum,
yang digunakan ayat di atas, ada yang memahaminya sebagai kata
kerja yang sempurna, kana tammah sehingga ia diartikan wujud,
yakni kamu wujud dalam keadaan sebaik-baik umat. Ada juga yang
memahaminya dalam arti kata kerja yang tidak sempurna, kana
naqishah, dan dengan demikian ia mengandung makna wujudnya
sesuatu pada masa lampau tanpa diketahui kapan itu terjadi dan tidak
juga mengandung isyarat bahwa ia pernah tidak ada atau suatu ketika
akan tiada. Jika demikian, ayat ini berarti kamu dahulu dalam ilmu
Allah adalah sebaik-baik umat. Surat ini juga menggunakan
ummah/umat. Kata ini digunakan untuk menunjuk semua kelompok
yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama yang sama, waktu atau
tempat yang sama, baik yang penghimpunanya secara terpaksa
maupun atas kehendak mereka. Demikian ar- Raghib dalam al-
Mufradat fi gharib al-Quran. Kalimat tuminuna billah dipahami
oleh pengarang tafsir al-Mizan, dalam arti percaya kepada ajakan
bersatu untuk berpegang teguh pada tali Allah, tidak bercerai berai.
Kewajiban dalam berdakwah atas umat Islam, mereka dituntut
kini di kemukakan bahwa kewajiban itu pada hakikatnya lahir dari
kedudukan umat. Umat ini sebagai sebaik-baik umat, sejak dahulu
dalam pengetahuan Allah adalah umat yang terbaik karena adanya
sifat-sifat yang menghiasi diri kalian. Umat yang dikeluarkan, yakni
diwujudkan dan ditampakkan untuk manusia seluruhnya sejak Adam
hingga ahir zaman. Nilai-nilai Ilahi dengan mencegah kemunkaran,
yakni yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur, pencegahan yang
sampai pada batas menggunakan kekuatan dank arena kalian
beriman kepada Allah dengan iman yang benar sehingga atas
dasarnya kalian percaya dan mengamalkan tuntunan-Nya dan
tuntunan Rasul-Nya.


f) Surat Al-Araf 165
Thabathabai mengomentari ayat 165 dalam tafsir ini, falamma
nasu ma zdukkiru bih/maka tatkala mereka melakukan apa yang
diperingatkan kepada mereka bahwa yang dimaksud dengannya
adalah terhentinya peringatan itu dalam jiwa mereka, walaupun
mereka masih mengingat peringatan itu. Siksa Allah disebabkan
karena melecehkan tuntunan-Nya dan mengabaikan peringatan-Nya.
Dalam ayat ini menganjurkan untuk orang yang tatkala
melupakan-Nya, yakni mengabaikan apa yang diperingatkan kepada
mereka oleh siapapun antara lain peringatan bahwa Allah boleh jadi
menunda hukuman tapi sama sekali tidak akan mengabaikan, tapi
kami selamatkan orang-orang yang terus menerus melarang
keburukan dan kami timpakan kepada orang-orang yang zalim
siksaan.
Keterkaitan dengan pembahsan diatas bahwasanya musibah
yang akan dialami umat muslim yang selalu menjalankan yang
munkar bermacam-macam misalnya dengan adanya gempa, tanah
longsor, dan gunung meletus itu semua peringatan yang dilihatkan
untuk kita, supaya kita bisa berfikir bagaimana kita bisa melewati itu
semua. Banyak siksaan yang kita trima orang-orang yang melakukan
keburukan. Bencana dan musibah hadir dikarenakan manusia lupa
akan perintah dan larangan Allah SWT. Lebih lanjut ulama itu
menulis, manusia selalu dikelilingi oleh bimbingan Allah yang
mengingatkannya tentang kewajiban-kewajiban penting yang
ditetapkan Allah swt. Tetapi jika pelanggaran itu berulang tanpa
taubat, maka kedurhakaan berlanjut, maka bertambah lemah pula
teguran dan kecaman batin sampai akhirnya hilang sama sekali
sehingga ada atau tidaknya peringatan sama saja buat mereka, dan
inilah yang dimaksud dengan mereka melupakan peringatan, yakni
tidak berbekas lagi dan terhenti sudah pengaruhnya dalam jiwa
bagaikan hilang sama sekali. Berarti tujuan dari ini untuk
mempersadarkan para orang yang berbuat kejelekan supaya sadar
apa yang dikerjakan dalam dunia, dan supaya bisa segera bertaubat
kepada Allah saw.
g) Surat Al-Hajj 41
Ajakan untuk setiap muslim dalam melaksanakan kebaikan di
dunia dan ahirat dengan kedudukan di dalam ayat ini, melaksanakan
rukun-rukun Islam yang tertera di ayat tersebut. Melaksanakan
kebaikan setiap muslim dengan mengamalkan ajaran dan berbuat
makruf untuk semua nilai, maksudnya menjalankan dan membantu
orang-orang yang kesusahan, Allah selalu memudahkan kepada
orang-orang yang berbuat baik, dengan cara kita beribadah kepada
Allah SWT yang selalu memberikan kemudahan dan pencerahan
buat umatnya, maruf yang dimkasud. Kedudukan di muka bumi ini
sangatlah sederhana, dengan kita menjalankan perintah-perintah
Allah saw. yang selalu kita jalankan dengan menjauhkan diri pada
keburukan karena akan membuat kita tersesat kelak, dalam hal ini
kita harus melihat dan memperhatikan apa yang kita jalankan selama
ini dengan menjalan amar maruf dan meninggalan kemunkaran.
h) Surat Al-Maidah 2
Kata syaa ir adalah jamak dari kata syairah yang berarti
tanda, atau bisa juga dinamai syiar. Ketika menafsirkan, penilis
mengemukakan bahwa syiar seakar dengan kata syuur yang berarti
rasa. Tanda-tanda agama dan ibadah yang ditetapkan dalam ibadah,
tanda-tanda itu dinamai syiar karena ia seharusnya menghasilkan
rasa hormat dan agung kepada Allah. Ada bermacam-macam tanda
itu ada yang merupakan tempat, seperti shofa dan marwa serta
masyar al-haram, ada juga berupa waktu, seperti bulan-bulan haram
dan ada lagi dalam wujud sesuatu seperti al-hadya dan al-qolaid,
yakni binatang kurban yang dipersembahkan kepada Allah.
i) Surat Al-Maidah 63
Dalam ayat ini tidak ditemukan kata permusuhan dalam
konteks teguran dari para pemuka agama mereka, kalaupun
sebelumnya hal tersebur telah dicatat sebagai salah satu keburukan
mereka. Ini boleh jadi karena dosa dan permusuhan merupakan hal
yang sama, yakni keduanya adalah pelampauan batas. Tetapi
pendapat ini dihadang oleh keduanya kata qaul atau ucapan yang
dirangkaikan dengan kata itsm, sehingga dengan demikian, teguran
dimaksud hanya berkaitan dengan ucapan yang melampaui batas,
belum termasuk tindakan melampaui batas.
Orang-orang alim banyak dari mereka yang terus melakukan
dosa, permusuhan, yakni agresi dan pelampauan batas kewajaran dan
memakan yang haram, seperti riba dan sogok. Sesungguhnya amat
buruk apa yang telah mereka kerjakan itu, orang yang selalu
menjalankan perbuatan dosa dengan kriteria diatas merupakan orang
yang tidak beriman. Orang-orang yang menjauhkan diri dari
gemerlapan duniawi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,
orang yang selalu mencegah perkataan mereka yang dosa, seperti
berbohong dan pelecehan agama dan tidak juga melarang makanan
mereka yang haram, sehingga hidupnya di dunia ini hanya untuk
Allah SWT. Dari sini kita bisa ambil kesimpulan bahwa, ayat di atas
menggambarkan ada dua jenis keburukan, yakni dalam ucapan dan
juga dalam perbuatan.
j) Surat Hud 116
Kata laula atau mengapa pada mulanya digunakan untuk
mendorong dan menganjurkan. Tetapi karena ayat diatas berbicara
tentang umat yang lalu, yang tentunya sudah tidak dapat didorong
atau dianjurkan untuk melakukan sesuatu, maka pengertian kata ini
bila berbicara tentang persistiwa lalu mengandung makna
penyesalan dan rasa iba sekaligus mengandung anjuran kepada
yang lain untuk tidak melakukan hal serupa. Nah, itulah yang
dimaksud disini. Atas dasr itu ayat ini dapat dipahami sebagai
anjuran kepada umat Islam agar melakukan marmaruf nahi munkar,
karena kalu tidak, mereka juga akan ditimpah apa yang menimpah
umatnya. Kelompok ayat ini adalah menutup surat ini, dengan
berbicara tentang umat yang dibinasakan Allah dengan tujuan antara
lain kiranya kisah mereka menggugah hati kaum musyrikin yang
enggan menerima kebenaran al-Quran serta tuntunan Nabi
Muhammad saw.
Ayat-ayat yang lalu berpesan jangan berlaku sebagaimana
halnya umat-umat terdahulu yang tidak banyak tampil di antara
mereka orang-orang yang mencegah kemunkaran, sehingga jatuh
siksa Allah terhadap mereka. Sungguh disayangkan mengapa tidak
ada dari umat-umat yang lalu dan seterusnya. Umat-umat yang
menjelaskan, mempunyai keutamaan karena memiliki akal yang
sehat, jiwa yang bersih dan amal-amal kebaikan yang senantiasa
melarang anggota masyarakatnya mengerjakan dan menyetujui
perusakan di muka bumi, tidak ada yang melakukan hal tersebut
kecuali sedikit, yaitu orang-orang yang telah kami selamatkan di
antara mereka, dan sebagian besar di antara mereka yaitu orang-
orang yang zalim tidak melarang kemunkaran dan perusakan dan
mereka diangkuhkan serta dilengahkan oleh nikmat kemewahan
yang ada pada mereka, sehingga mereka melampui batas, serta
bergemilang dalam dosa dan mereka adalah para pendurhaka yang
telah mendarah daging dan membudaya kedurhakaannya. Karena
kebanyakan mereka durhaka, maka Allah membinasakannya.
k) Surat An-Nisa 135 dan114
Sedangkan surat Annisa ayat 135 dan 114, firman-Nya kunu
quwwamina bi al-qisth/jadilah penegak-penegak keadilan
merupakan redaksi yang sangat kuat. Perintah berlaku adil dapat
dikemukakan dengan menyatakan: Idilu/berlaku adillah. Lebih
tegas dari ini adalah kunu muqsithin/jadilah orang-orang adil dan
lebih tegas dari ini adalah kunu qaimina bi al-qisth/jadilah penegak-
penegak keadilan yang sempurna lagi sebenar-benarnya. Dalam
kata syuhada lillah/menjadi saksi-saksi karena Allah
mengisyaratkan juga bahwa persaksian yang ditunaikan itu,
hendaknya demi karena Allah, bukan untuk tujuan-tujuan duniawi
yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Ilahi.
Najwahum/pembicaraan rahasia mereka. Kata najwa terambil
dari kata an-najwa yang berarti tempat yang tersembunyi, siapa yang
menuju ke sana, tidak akan ditemukan oleh yang mencarinya. Kata
najwa dapat berarti pelaku pembicaraan dan dapat juga berarti
pembicaraan rahasia. Ayat diatas dapat dipahami dengan kedua
makna itu, jadi ayat ini merupakan pendidikan yang sangat berharga
bagi masyarakat, yakni hendaklah anggota masyarakat saling
terbuka, sedapat mungkin tidak saling merahasiakan sesuatu. Al-
Quran merupakan serat yang membentuk tenunan hidup seseorang
muslim. Karena itu seringkali pada saat al-Quran berbicara tentang
aspek tertentu, tiba-tiba ayat yang lain muncul berbicara tentang
aspek dan dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak saling
berkaitan bagi yang tekun mempelajarinya akan menemukan
keserasian yang amat mengagumkan, serupa dengan keserasian
hubungan yang memadukan bisikan-bisikan hati manusia yang
saling berbeda, sehingga pada akhirnya dimensi dan aspek yang
tadinya terkesan kacau menjadi terangkai dan terpadu indah, bagai
kalung mutiara yang tidak diketahui di mana ujung dan pangkalnya,
atau seperti vas bunga yang dihiasi oleh aneka kembang berbeda-
beda dan warna-warni.
Saksi-saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau
ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika, ia kaya atau pun miskin, maka
Allah lebih tahu kemaslahatanya. Maka, janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang. Dan jika kamu
memutarbalikkan (kata-kata) atau berpaling, maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Nasihat dan peringatan diatas, dikemukakan juga dalam ayat ini,
hasil dari segala bimbingan sebelum ini terhadap semua umat
beriman yaitu, wahai orang-orang yang beriman, jadilah penegak
keadilan yang sempurna lagi sebenar-benarnya, menjadi saksi-saksi
karena Allah, yakni selalu merasakan kehadiran Ilahi
memperhitungkansegala langkah kamu dan menjadikannya demi
karena Allah.
Pendidikan yang sangat berharga bagi masyarakat, yakni
hendaklah anggota masyarakat saling terbuka,sedapat mungkin tidak
saling merahasiakan sesuatu. Keahasiaan mengandung makna
ketidakpercayaan, sedang keterbukaan dan keterusterangan
menunjukkan keberanian pembicara. Keberanian atas dasar
kebanaran dan ketulusan. Karena itu, ayat ini menyatakan bahwa
tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka
manusia. Dari sini juga dapat dipahami larangan Nabi saw.
Melakukan pembicaraan rahasia di hadapan orang lain. Kaum
muslimin dan siapa pun menyangkut perbincangan dengan
mengecam perbincangan yang selama ini banyak dilakukan oleh
manusia, utamanya orang-orang munafik. Tidak ada kebaikan pada
kebanyakan bisikan-bisikan mereka yang melakukan bisikan, siapa
pun mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh
orang lain memberi sedekah atau berbuat makruf, yakni kebajikan
yang direstui agama dan masyarakat atau mengadakan perdamaian di
antara manusia yang berselisih. Dan barang siapa yang berbuat
demikian, yakni ketiga hal yang tersebut di atas karena bersungguh-
sungguh mencari keridhaan Allah, maka kelak dan pasti kami
menganugrahkan kepadanya di akhirat pahala yang besar, banyak,
lagi agung. Pelajaran yang sangat berharga menyangkut pembicaraan
yang direstui agama, sekaligus mengingatkan bahwa amal-amal
lahiriah hendaknya selalu disertai dengan keikhlasan serta
keterbatasan dari tujuan duniawi yang sifatnya menggugurkan amal
itu. Perintah bersedekah, perintah melakukan maruf dan upaya
melakukan perbaikan antar manusia.


l) Surat Al-hujarat 9
Surat Al-Hujarat ini ayat 9, menggunakan kata in ini untuk
menunjukkan bahwa pertikaian antara kelompok orang beriman
sebenarnya diragukan atau jarang terjadi. Bukankah mereka adalah
orang-orang yang memiliki iman yang sama sehingga tujuan mereka
pun seharusnya sama. Kata iqtatalu terambil dari kata qatala. Ia
dapat berarti membunuh atau berkelahi atau mengutuk, karena itu
kata iqtatalu tidak harus diartikan berperang atau saling membunuh,
sebagaimana diterjemahkan oleh sementara orang. Kata iqtatalu
berbentuk jamak, sedang thaifatan berbentuk dual. Sepintas
mestinya kata iqtatalu berbentuk dual juga. Tetapi tidak demikian
kenyataanya. Hal tersebut menurut sementara pakar disebabkan
karena jika terjadi perkelahian atau peperangan antara dua
kelompok, maka masing-masing anggota kelompok melakukan
perkelahian atau peperangan yang tentunya ketika itu berjumlah
lebih dari dua orang. Namun sebelum terjadinya perkelahian dan
peperangan begitu juga setelah terhentinya, maka seluruh anggota
yang terlibat kembali ke kelompoknya, dan dengan demikian mereka
hanya terdiri dari dua pihak saja (Shihab, 2003: 244).
Penjelasan tentang ayat ini, perselisihan antara kaum
mukminin yang antara lain disebabkan oleh adanya isu yang tidak
jelas kebenaranya. Dan jika ada dua kelompok yang telah menyatu
secara factual atau berpotensi untuk menyatu dari yakni kedua
kelompok itu, sedang atau masih terus menerus berbuat aniaya itu
sehingga ia yakni kelompok itu, sedang atau masih terus menerus
berbuat aniaya itu sehungga ia kembali kepada perintah Allah yakni
kebenaran, jika ia telah kembali kepada perintah Allah itu maka
demikianlah antara keduanya dengan adil dan dapat ditrima dengan
baik.
Kebaikan dengan tindakan terhadap kebaikan yang baik, dalam
menindakan hal-hal yang dikerjakan untuk dimanfaatkan untuk
masyarakat, dapat diterapkan dalam beribadah kepada Allah yang
selalu memberikan kita nikmat iman dan ihsan dalam kehidupan
kita. Ada dua kelompok dari orang-orang yang mukmin bertikai
maka demikianlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya
berbuat aniaya itu sehingga ia kembali kepada perintah Allah, jika ia
telah kembali maka demikianlah antara keduanya dengan adil dan
berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil dalam segala hal, karena Allah yang selalu memberikan
ketentraman dalam dunia dan ahirat.
Semua yang diterangkan di atas dapat di tarik kesimpulan
dalam tafsir Al-Misbah berbicara tentang amar ma'rf nh munkar.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab dua bahwa menurut
Quraish Shihab, dalam tafsir Al-Misbah mengemukakan tentang
amar ma'rf nh munkar bahwa penggunaan dua kata yang berbeda
itu menunjukan keharusan adanya dua kelompok dalam masyarakat
Islam. Kelompok pertama yang bertugas mengajak, dan kelompok
kedua yang bertugas memerintah dan melarang. Kelompok kedua ini
tentulah memiliki kekuasaan di bumi ajaran ilahi di bumi ini bukan
sekedar nasehat petunjuk dan penjelasan ini adalah salah satu sisi,
sedang sisi yang kedua adalah melaksanakan kekuasaan pemerintah
dan melarang, agar maruf dapat wujud dan kemunkaran dapat
sirna. Di dalam pembicaraan tentang "dakwah" akan ditemukan
beberapa istilah yang maksud pengertiannya sama dengan dakwah
atau berhubungan dengan dakwah, di antaranya "nh munkar". Nh
munkar artinya melarang kepada perbuatan yang munkar.
Menurut Qurais Shihab Al-Quran dan sunnah melalui dakwah
Rasullah SAW mengamanahkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu ada yang
bersifat mendasar, universal dan abadi, serta ada juga yang bersifat
praktis, lokal, dan temporal sehingga dapat berbeda antara satu
tempat atau waktu dan dan tempat atau waktu yang lain.
Bagaimana yang diungkapkan Quraish Shihab dimana dalam
mengajak seseorang untuk melakukan hal yang maruf dan
mencegah hal yang munkar, hal tersebut merupakan hal yang
mendasar dan praktis namun kesemuanya itu diharuskan
menyesuaikan dengan tempat dan waktu, dikarenakan sasaran yang
kita jadikan objek itu berbeda-beda. Dari sini terlihat bahwa pada
hakikatnya manusia makhluk yang berbagai macam sifat di
antaranya melalui proses interaksi. Karena itu menurut penulis,
seorang penyeru kebaikan harus berinteraksi dengan mad'u, melalui
interaksi dan pendekatan yang sesuai dengan kondisi tempat dan
waktu si madu.
Istilah amar ma'rf nh munkar ini digunakan syariat Islam
untuk pengertian memerintahkan atau mengajak diri dan orang lain
melakukan hal-hal yang dipandang baik oleh agama, dan melarang
atau mencegah diri dan orang lain dari melakukan hal-hal yang
dipandang buruk oleh agama.
Adapun hukum amar ma'rf nh munkar bagi al-muhtasib
adalah fardu ain. Artinya, bagi petugas wilayah al-hisbah, tugas
amar ma'rf nh munkar merupakan kewajibannya, dan ia
dianggap lalai dan berhak diberhentikan jika ia tidak melaksanakan
tugas amar ma'rf nh munkar tersebut.
Ulama Muktazilah (aliran teologi Islam yang rasional dan
liberal) mejadikan amar ma'rf nh munkar sebagai salah satu
prinsip dasar mereka, yang dikenal dengan al-usul al-khamsah
(prinsip-prinsip yang lima). Atas dasar itu, mereka menyatakan
bahwa amar ma'rf nh munkar merupakan fardu ain (kewajiban
individu) setiap muslimin, tanpa membedakan apakah ia seoranga-
muhtasib maupun bukan.
Muhammad Abduh, seorang tokoh pembaruan pemikiran
Islam, berpendirian sama dengan prinsip Muktazilah di atas.
Menurutnya, hukum amar ma'rf nh munkar bagi setiap mukmin
adalah fardu ain. Pendapatnya ini didasarkan atas penafsirannya
terhadap kata depan (lafal) "min" dalam surah Ali-'Imran ayat 104 di
atas. Menurutnya, lafal tersebut bukan bermakna tab'id (sebagian),
tetapi bermakna tabyin (menjelaskan), sehingga pengertian ayat itu
yang paling tepat menurutnya "Hendaklah kamu menjadi umat...
yang menyeru kepada yang ma'rf dan mencegah dari yang
munkar."(Abduh, 1999: 54).
Amar maruf nahi munkar dalam wilayah al-Hisbah harus
memenuhi petugas khusus yang di tunjuk untuk melaksanakan
kebaikan, dan melaksanakan perbuatan yang menjadi sasaran amar
maruf nahi munkar. Orang yang menjadi sasaran tersebut yang
melaksanakan kewajiban untuk memberikan kebaikan dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Dengan menjalankan syarat untuk
melakukan kebaikan yaitu mukalaf, iman, adil, dan Qadir untuk
mampu diberikan baik secara langsung atau tertulis kepada umatnya.

4.2. Relevansi dalam perspektif dakwah tentang amar maruf nahi
munkar dengan dakwah saat ini.
Dalam Al-Quran, istilah amar maruf nahi munkar secara
berulang dinyatakan sebagai istilah yang utuh, artinya tidak
dipisahkan antara amar maruf dan nahi munkar. Istilah itu berulang
sampai Sembilan kali sekalipun hanya dalam lima surat.
Kata maruf sendiri, baik dalam rangkaian kata amar maruf
nahi munkar maupun berdiri sendiri, kata ini memiliki arti harfiah
sebagai yang dikenal atau yang dapat dimengerti dan dapat dipahami
serta dapat ditrima oleh masyarakat. Perbuatan yang maruf itu jika
dikerjakan dapat ditrima dan dapat dipahami oleh manusia, dan dipuji
karena begitulah yang patut dikerjakan oleh manusia yang
mengfungsikan akalnya sebagai ciri khas kedirianya.
Kebalikan dari kata maruf adalah munkar, yakni yang benci,
tidak disenangi, dan ditolak oleh masyarakat karena tidak patut, tidak
pantas, tidak selayaknya dikerjakan oleh manusia berakal. Dengan
mengutip pendapat Hamka, Dewan Rahardjo menjelaskan alasan tidak
dapat dipisahkannya anjuran pada yang maruf dan pencegah pada
yang munkar, sebagaimana penuturannya berikut:
Agama datang menuntun manusia dan memperkenalkan mana yang
maruf dan mana yang munka. Sebab itu, maruf dan munkar itu
tidaklah terpisah. Kalau ada orang berbuat maruf, seluruh masyarakat
umumnya, menyetujui membenarkan, dan memuji. Kalau ada
perbuatan munkar, seleruh masyarakat menolak, membenci dan tidak
menyetujui. Sebab itu, bertambah tinggi kecerdasan beragama,
bertambah kenal akan yang maruf dan bertambah benci kepada yang
munkar(Rahardjo, 2002:625).
Berdasarkan pandangan di atas, perbuatan yang baik dan yang
buruk itu ditentukan oleh pendapat umum. Pandangan masyarakat
menjadi barometer apakah sesuatu itu maruf atau munkar. Menurut
Nurcholish Madjid; al-maruf berarti yang telah diketahui, yakni yang
telah diketahui sebagai baik dalam pengalaman manusia menurut
ruang dan waktunya pada waktu dia hadir.
Dengan demikian, perkataan maruf berkaitan dengan
perkataan al-urf yang berarti adat, dalam hal ini adat yang baik.
Dalam pengertiannya sebagai adat yang baik itulah (al-urf) diakui
eksistensi dan fungsinya dalam Islam, sehingga dalam teori ushul al-
fiqh disebutkan bahwa adat dapat dijadikan hukum (al-adah
muhakkah). Dalam pengertian yang lebih dalam, al-maruf dapat
berarti kebaikan yang diakui atau diketahui hati nurani manusia
sebagai fitrah kehanifannya, sebagai bagian dan kelanjutan dari
kebaikan universal sebagaimana disebutkan diatas. Oleh karena itu,
al-maruf dalam pngertian ini merupakan lawan dari al-munkar.
Sebab, al-munkar berarti apa saja yang diingkari, yakni diingkari oleh
fitrahnya atau ditolak oleh hati nurani.
Di sinilah terletak kaitan antara amar maruf nahi munkar dan
dakwah sebab salah satu tugas dakwah adalah membentuk pendapat
umum (public opinion) tentang sesuatu yang baik atau yang buruk.
Dari sini pula penulis menilai adanya relevansi dalam konsep amar
maruf nahi munkar dalam Al-Misbah karya Quraish Shihab saat ini.
Alasanya adalah karena dakwah saat ini menghadapi tantangan yang
besar dan makin rumit.
Persoalan demi persoalan terus berkembang, seiring dengan itu
bertaburan sejumlah kemaksiatan. Namun memberantas kemaksiatan
tidak semudah itu, resiko dan akibat pasti akan dirasakan bagi para
pendakwah. Penulis melihat tidak sedikit pendakwah atau daI yang
berusaha menyuruh ma'rf dan mencegah kemunkaran, tapi sejalan
dengan itu pula banyak kemunkaran yang makin berkembang.
Kontradiksi seperti ini bukan sesuatu yang sulit dipahami, mengingat
tidak sedikit orang melakukan respon negatif ketika diseru amar
ma'rf nh munkar. Karena itu Qurais Shihab menggulirkan gagasan
bahwa untuk memperbaiki perilaku munkarat harus melihat temapt
dan waktu sehingga seorang dalam menyampaikan hal yang maruf
atau dalam menanamkan nilai-nilai Al-Quran cepat masuk sehingga
bisa merubah hal-hal yang munkar.









1

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
Konsep Amar maruf nahi munkar dalam tafsir Al-Misbah karya Quraish
Shihab yaitu, Amar maruf nahi munkar digunakan syariat Islam untuk
pengertian memerintahkan atau mengajak diri dan orang lain melakukan hal-hal
yang dipandang baik oleh agama, dan melarang atau mencegah diri dan orang lain
dari melakukan hal- hal yang dipandang buruk oleh agama.
Bahwasannya ayat-ayat yang telah dibahas terkait konsep amar maruf nahi
munkar di dalam skripsi ini yaitu Dengan konsep maruf, al-Quran membuka
pintu yang cukup lebar guna menampung perubahan nilai-nilai akibat
perkembangan positif masyarakat, Mereka menyuruh kepada yang maruf dan
mencegah yang munkar dan bersegera tidak bermalas-malas seperti orang-orang
munafik apalagi mengabaikan, Allah menguraikan keadaan orang-orang mukmin
yang sepenuhnya bertolak belakang dengan keadaan orang munafik, menjelaskan
kewajiban berdakwah atas umat Islam, Allah menjelaskan bahwa mereka
memperoleh keselamatan disebabkan mereka melarang perbuatan buruk dan hal
itu menunjukkan bahwa yang demikian itu adalah sesuatu yang diwajibkan.
Menurut Qurais Shihab Al-Quran dan sunnah melalui dakwahnya
mengamanahkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu ada yang bersifat mendasar, universal


2

dan abadi, serta ada juga yang bersifat praktis, lokal, dan temporal sehingga dapat
berbeda antara satu tempat atau waktu dan dan tempat atau waktu yang lain.

B. Saran-saran
Dalam mengajak seseorang untuk melakukan hal yang maruf dan
mencegah hal yang munkar, hal tersebut merupakan hal yang mendasar dan
praktis namun kesemuanya itu diharuskan menyesuaikan dengan tempat dan
waktu, dikarenakan sasaran yang kita jadikan objek itu berbeda-beda. Untuk itu
supaya lebih mudah dan faham tentang perilaku amar maruf nahi munkar kita
gali lagi oleh peneliti-peneliti yang lain.

C. Penutup
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan
ridhanya pula tulisan ini dapat diangkat dalam bentuk skripsi. Peneliti menyadari
bahwa Ia sana-sini terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam paparan
maupun metodologinya. Karenanya dengan sangat menyadari, tiada gading yang
tak retak, maka kritik dan saran membangun dari pembaca menjadi harapan
peneliti. Semoga Allah SWT meridhoinya. Wassalam


DAFTAR PUSTAKA
Amrullah Ahmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Primadura
1983
Ahmadi Abu dan Rohani Ahmad, Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Jakarta
1991
Anshari Hafi, Pemahaman dan Pengalaman Dakwah, Surabaya:Al-Ikhlas 1993
Al-Ghozali Muhammad, Amr maruf nahi munkar, Bandung: Karisma 2003
Aziz Moh Ali, Ilmu dakwah, Jakarta: Pranada Media 2004
Darwis, Shaleh bin Abdullah, Konsep amar maruf nahi munkar di dunia modern,
Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya 1996
Depag, RI, Al-Quran dan terjemahan, Surabaya:Surya Cipta Aksara 1978
Hafidudin didin, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani 2000
Hasbi ash-Shiddieqy, Al-Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2001
Irawan Soehartono, Metodologi Penelitian Sosial, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya 1999
Moleong. Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rusdakarya 1997
Muhadjir Noeng, Metode penelitian kualitatif edisi IV, Yogyakarta: Rake Sarasin
2000
Maududi Abdul Ala, The Islamic law and Constation,terjmh Asep Lukman
Hukum dan Konstitusi system politik Islam, Jakarta: Bulan Bintang 1995
Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Palmer E.Richard, Hermeneutika teori mengenai Interpretasi, Yogyakarta:Pustaka
Belajar 2010
Rais Amin, Cakrawala Islami antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan 1999
Shihab M Quraish, Pesan Kesan dan Keserasian al-Quran, Jakarta: Lentera Hati
2005
Shihab M Quraish, membumikan al-Quran, Bandung: Mizan 2001
Syukir Asmuni, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas 1983
Shihab M Quraish, Pesan Kesan dan keserasian al-Quran, Jakarta: Lentera Hati
2001
Shihab M Quraish, Pesan Kesan dan Keserasian al-Quran, Jakarta: Lentera Hati
2010
Singa Rimbun, Masrih dan Sofyan Afendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta:
LP3S 1987
Surya Sumantri. Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan 1993
Shihab M Quraish, Pesan Kesan dan Keserasian al-Quran, Jakarta: Lentera Hati
2004
Syadzirin Amin, Mengenal Ajaran Tarajumah Rifaiyah, Jakarta Pusat: Jamaah
masjid Baiturrohman 1989
Surachmad Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah(dasar-dasar metodik teknik),
Bandung:Rosdak, Transito 1990
Shihab M Quraish, Pesan Kesan dan Keserasian al-Quran, Jakarta: Lentera Hati
2003
Tamiyyah Ibnu, Etika Beramar Maruf Nahi Munkar, Jakarta: Gema Insani 1990
Taimiyah Ibnu, Menuju Umat Amar maruf nahi munkar, Jakarta: Pustaka
panjimas 1983
Tasmara Toto, Komunikasi Dakwah, Jakarta: Gaya Baru Pertama 1997
Yaqub Hamzah, Publisistik Islam, Seni dan teknik Dakwah, Bandung: CV.
Diponegoro 1973
Zahra Abu, Dakwah Islamiyah, Bandung: PT Remaja Rosda Karya 1994
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Nurul Atiqoh
NIM : 071211044
Tempat / tgl. lahir : Kendal, 18 Desember 1987
Alamat Asal : Jl. Raya Putat - Pegandon Rt:2/3, Pegandon Kendal
Pendidikan : - SDN 1 Gubugsari Pegandon lulus th. 2000
- SMP NU 04 Sunan Abinawa Pegandon lulus th. 2003
- SMA NU Al-Hidayah Kendal lulus th. 2006
- Fakultas Dakwah Komunikasi Penyiaran Islam Dakwah IAIN
Walisongo Semarang 2011
Demikian daftar riwayat hidup pendidikan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan
harap maklum adanya.



Semarang, 8 Desember 2011






Nurul Atiqoh

You might also like