You are on page 1of 113

PENGUJIAN POTENSI PREBIOTIK UBI GARUT

DAN UBI JALAR SERTA HASIL OLAHANNYA


(COOKIES DAN SWEET POTATO FLAKES)










SRI RINI DWIARI



















SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008




ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya dengan judul Pengujian
Potensi Prebiotik Ubi Garut dan Ubi Jalar serta Hasil Olahannya (Cookies
dan Sweet Potato Flakes) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari penulis lain atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbirtkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008
Sri Rini Dwiari
NIM F251040061
































iii
RINGKASAN

SRI RINI DWIARI. Pengujian Potensi Prebiotik Ubi Garut dan Ubi Jalar serta
Hasil Olahannya (Cookies dan Sweet Potato Flakes). Dibimbing oleh LILIS
NURAIDA dan NURHENI SRI PALUPI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi ekstrak cookies ubi
garut dan ubi jalar secara in vitro, ekstrak ubi garut (Maranta arundinaceae)
secara in vivo dan sweet potato flakes (SPF) sebagai prebiotik secara in vitro dan
in vivo. Jenis gula dalam ubi garut adalah glukosa, fruktosa, sukrosa, rafinosa dan
oligofruktosa (FOS). Secara in vitro, ekstrak ubi garut dapat menstimulir
pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL). Jenis gula dalam ubi jalar varietas sukuh
adalah fruktosa, glukosa, sukrosa, maltosa, rafinosa, maltotriosa dan FOS.
Pengolahan dapat mengubah kandungan oligosakarida. Sweet Potato
Flakes (SPF), cookies ubi garut dan ubi jalar merupakan model pengolahan yang
digunakan dalam penelitian ini. BAL yang digunakan adalah Lactobacillus casei
Rhamnosus, L. casei Shirota, Lactobacillus G3, Lactobacillus F1,
Bifidobacterium bifidum dan B. longum. Pada pengujian secara in vitro digunakan
media MRS basis yang mengandung ekstrak ubi garut atau ekstrak SPF. Jenis
BAL yang memiliki pertumbuhan tertinggi dalam media yang mengandung
ekstrak ubi garut atau SPF dikompetisikan dengan patogen E. coli, Bacillus cereus
dan Salmonella. Pengujian potensi prebiotik secara in vivo terhadap ekstrak ubi
garut dan SPF menggunakan tikus Sprague Dawley.
Ekstrak ubi garut, cookies ubi garut, ubi jalar, cookies ubi jalar dan SPF
dapat mendukung pertumbuhan Lactobacillus dan Bifidobacteria. Pertumbuhan
terbaik terjadi pada L. casei Rhamnosus. Pertumbuhan Lactobacillus dalam media
yang mengandung ekstrak cookies ubi garut atau ubi jalar lebih rendah
dibandingkan dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut atau ubi jalar. Hal
ini dikarenakan sebagian gula pada cookies ubi garut dan ubi jalar telah
mengalami reaksi Maillard sehingga tidak dapat difermentasi oleh BAL.
Dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut, L. casei Rhamnosus
dapat menekan pertumbuhan Salmonella sebesar 3.5 log cfu/ml, E. coli 3.2 log
cfu/ml, B. cereus 1.9 log cfu/ml, sedangkan dalam media yang mengandung
ekstrak SPF dapat menekan E. coli sebesar 3.9 log cfu/ml, Salmonella 3.9 log
cfu/ml, dan B. cereus 3.1 log cfu/ml dalam media yang mengandung ekstrak SPF.
Pemberian ekstrak ubi garut (prebiotik) pada tikus selama 10 hari dapat
menurunkan jumlah E. coli dalam feses sebesar 1.4 log cfu/g dan meningkatkan
jumlah BAL sebesar 1.0 log cfu/g. Pemberian SPF (prebiotik) pada tikus selama
10 hari dapat menurunkan jumlah E. coli 1.2 log cfu/g feses dan meningkatkan
jumlah BAL 0.9 log cfu/g feses. Ketika pemberian perlakuan dihentikan maka
jumlah E.coli meningkat sedangkan jumlah BAL menurun.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ubi garut dan SPF
berpotensi sebagai prebiotik karena dapat mendukung pertumbuhan BAL baik
secara in vitro maupun in vivo.







iv
ABSTRACT

SRI RINI DWIARI. Analysis of arrowroot and sweet potato and their products
(cookies and sweet potato flakes) as prebiotic potency. Under direction of LILIS
NURAIDA and NURHENI SRI PALUPI.

The objective of this research was to evaluate the potency arrowroot and
sweet potato cookies by in vitro, arrowroot (Maranta arundinaceae) extract by in
vivo and sweet potato flakes by in vitro and in vivo as prebiotic. Previous research
showed that arrowroot contained glucose, fructose, sucrose, raffinose and
fructooligosaccharide (FOS). Arrowroot extract stimulated the growth of colonic
bacteria, such as lactic acid bacteria (LAB) by in vitro assay. Sweet potato sukuh
variety contained glukose, fructose, sucrose, rafinose, maltotriosa and FOS.
Sweet Potato Flakes (SPF), arrowroot and sweet potato cookies were
processing model which used in this research because processing changed
oligosasaccharides content. Soybean flour contained soyoligosaccharide (raffinose
and stachiose) which potential as prebiotic. Assesment of prebiotics potency was
done on Lactobacillus casei Rhamnosus, L. casei Shirota, Lactobacillus G3,
Lactobacillus F1, Bifidobacterium bifidum and B. longum. In vitro evaluation
used MRS basic contained extract tested. LAB whose the highest growth in MRS
basic that contained arrowroot or SPF extract was used in competition with
pathogens (E. coli, Salmonella and Bacillus cereus). Analysis of prebiotic potency
by in vivo assay used Sprague Dawley mice.
Extract of arrowroot, arrowroot cookies, sweet potato, sweet potato
cookies and SPF supported all Lactobacilli and Bifidobacteria tested. Among
LAB tested, L. casei Rhamnosus was the higest growth in medium substituted
with oligosaccharide extract of arrowroot and SPF. The growth of Lactobacilli
tested were poorer in medium substitute with oligosaccharide extract of cookies
arrowroot than arrowroot. It because of Maillard reaction has took place and made
the sugars unavailable to support the growth of LAB.
Among sweet potato and its product, L. casei Rhamnosus was the highest
growth on medium substituted with arrowroot extract and SPF extract. L. casei
Rhamnosus suppressed the growth of pathogenic bacteria tested i.e 3.5 log cfu/ml
for Salmonella, 3.2 log cfu/ml for E.coli and 1.9 log cfu/ml for B. cereus on
medium substituted with arrowroot extract. While in medium substituted SPF
extract, L. casei Rhamnosus suppressed the growth of pathogenic bacteria tested
i.e 3.9 log cfu/ml for E. coli, 3.9 log cfu/ml for Salmonella, and 3.1 log cfu/ml
for B. cereus. Feeding arrowroot extract to mice for 10 days reduced 1.4 log cfu/g
feces for E.coli and raised 1.0 log cfu/g feces for LAB. Similar trend also
observed in mice fed with L. casei Rhamnosus (probiotic) and combination of L.
casei Rhamnosus and arrowroot extract (synbiotic). When the feeding was
terminated, the count of E. coli increased. In the mice fed with standard diet as
control, the count of E. coli tended to increase and LAB decrease.
Feeding SPF diet to mice for 10 days reduced 1.2 log cycle E.coli and
raised 0.9 log cycle LAB. After 10 days treatment, the highest LAB count was
observed in L. casei Rhamnosus (probiotic) treated mice, however the higher
increased was observed in mice treated by combination of L.casei Rhamnosus and
SPF diet (synbiotic) than SPF diet (prebiotic). In contrast, E. coli count decreased




v
in treated mice and increased in control mice. The suppression was greater in mice
fed with synbiotic than prebiotic. After treatment, the number of E. coli re-
increased, while the number of LAB decreased.
The result of present research suggest that arrowroot and SPF were
potencial as prebiotic product.


Key words: Oligosaccharide, Arrowroot, Sweet Potato Flakes, Prebiotic, L.casei
Rhamnosus.


































vi










Hak cipta milik IPB, tahun 2008


Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB





















vii

PENGUJIAN POTENSI PREBIOTIK UBI GARUT
DAN UBI JALAR SERTA HASIL OLAHANNYA
(COOKIES DAN SWEET POTATO FLAKES)








SRI RINI DWIARI





Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan











SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008




viii

























Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc
















ix
Judul Tesis : Pengujian Potensi Prebiotik Ubi Garut Dan Ubi
Jalar Serta Hasil Olahannya (Cookies Dan Sweet
Potato Flakes)
Nama Mahasiswa : Sri Rini Dwiari
NIM : F251040061




Disetujui
Komisi Pembimbing






Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi
Ketua Anggota






Diketahui


Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Pangan





Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS





Tanggal Ujian : 30 Mei 2008 Tanggal Lulus:





x
PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga karya ilmiah ini
dapat terselesaikan.
Beasiswa pendidikan penulis dapatkan dari PPPG Pertanian Cianjur
sedangkan sumber dana untuk penelitian diperoleh dari Hibah Bersaing DIKTI
tahun 2007, Rusnas Diversifikasi Pangan Kementrian Riset dan Teknologi yang
dikelola oleh SEAFAST Center IPB tahun 2008, PPPG Pertanian Cianjur, dan
Biro Perencanaan Kerjasama Luar Negeri.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ir. Giri Suryatmana selaku Kepala Pusat Pengembangan Penataran Guru
(PPPG) Pertanian Cianjur dan Drs. Dedy H. Karwan, MM selaku Kepala
Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (PPPPTK) Pertanian Cianjur yang telah memberikan
kesempatan dan beasiswa untuk melanjutkan sekolah pada jenjang Pasca
Sarjana (S2) di Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor.
2. Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir
Nurheni Sri Palupi, MSi selaku anggota komisi, yang telah memberikan
bimbingan dan arahan dengan penuh kesabaran dan ketelatenan, sehingga
penulis mendapat tambahan wawasan, pendidikan dan pengalaman yang
berharga dalam melakukan penelitian dan penyusunan tesis.
3. Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc selaku penguji luar komisi dan ketua Peneliti
dalam Penelitian Hibah Bersaing yang didanai dari DIKTI.
4. Dr. Ir Dahrul Syah sebagai ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
dan Dr. Ir Purwiyatno-Hariyadi, MSc sebagai kepala SEAFAST Centre, atas
ijin yang diberikan untuk menggunakan laboratorium Mikrobiologi Pangan
dan Kimia Pangan.
5. Dr. Ir. Gatot Hari Priowirjanto selaku kepala Biro Perencanaan dan
Kerjasama Luar Negeri yang memberikan dana untuk mendukung biaya pra-
penelitian.
6. Agnani, Hana, Kiki, Ari, Edi, Sri, Nurwanto, Adi yang telah membantu
selama penelitian berlangsung.




xi
7. Sri Rahayu, Rika, Danik, Miksusanti, Sunar dan teman-teman Agroindustri
PPPPTK Pertanian Cianjur yang telah memberikan dorongan selama
pendidikan maupun penelitian berlangsung.
8. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, atas dukungan dan kerjasamanya selama penulis
menuntut ilmu.
9. Akhirnya, ucapan terimakasih tak terhingga penulis sampaikan kepada
keluarga tercinta, ibunda H. Soepingah, Hawignyo (suami), Nastiti Harini
(putri sulung), Duky Sumantri (putra kedua) dan Rizki Yuniarini (putri
bungsu), kakak-kakak dan adik-adikku tersayang atas doa, kasih-sayang,
pengorbanan, kesabaran serta dukungan moril ataupun materil yang tidak
ternilai dalam menyelesaikan pendidikan ini.
Harapan penulis, walaupun masih jauh dari sempurna terutama karena
keterbatasan informasi, dana dan waktu, akan tetapi karya ilmiah ini dapat
bermanfaat bagi pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Agustus 2008
Sri Rini Dwiari





















xii
RIWAYAT HIDUP


Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 02 Januari 1962 dari pasangan
bapak Soedjito (alm) dan ibu Soepingah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara. Tahun 1980 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Jember. Pada tahun
yang sama diterima di Fakultas Pertanian Universitas Jember dan lulus Sajana
tahun 1985. Pada tanggal 20 Agustus 1985 penulis menikah dengan Hawignyo
dan dikaruniai tiga orang anak (dua putri dan satu putra).
Pada tahun 1986 penulis hijrah ke Cianjur dan menjadi tenaga honorer di
Pusat Pengembangan Pentaran Guru (PPPG) Pertanian atau Vocational Education
Development Center for Agriculture (VEDCA). Tahun 1988 diangkat sebagai
pegawai negeri di tempat yang sama, tahun 1991 hingga 2007 sebagai
Widyaiswara (pengajar) di tempat yang sama. Tahun 2007 hingga sekarang
sebagai Widyaiswara di Pusat Pendidikan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (PPPPTK) Pertanian Cianjur. Pada tahun 2004, penulis mendapat
kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) pada Program Studi
Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.



























xiii
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ........................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................... xix
I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 3
C. Hipotesis ................................................................................... 4
D. Tujuan Penelitian ...................................................................... 5
E. Manfaat Penelitian .................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 6
A. Bakteri Asam Laktat (BAL) ..................................................... 6
B. Prebiotik ................................................................................... 13
C. Pengujian Produk Pangan Sebagai Prebiotik ........................... 20
D. Ubi Garut (Maranta arundinaceae L) ...................................... 22
E. Ubi Jalar (Ipomea batatas L) .................................................... 25
F. Sweet Potato Flakes (SPF) ....................................................... 26
III. METODOLOGI .............................................................................. 28
A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. 28
B. Bahan ....................................................................................... 28
C. Alat .......................................................................................... 29
D. Metode Penelitian ..................................................................... 29
E. Penyiapan Kultur, Media Pengujian dan Bahan ...................... 31
F. Pengujian Potensi Prebiotik Ekstrak Cookies Ubi Garut secara
In Vitro ......................................................... ...........................
36
G. Pengujian Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Garut secara In Vivo 38
H. Pengujian Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Jalar dan Hasil
Olahan (Cookies Ubi Jalar dan SPF) secara In Vitro ...............
42
I. Pengujian Potensi Prebiotik Hasil Olahan Ubi Jalar (SPF)
secara In Vivo ...........................................................................
43
J. Metode Pengujian .................................................................... 45
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 48
A. Tepung Ubi Garut, Ubi Jalar, SPF dan Cookies ....................... 48
B. Potensi Prebiotik Cookies Ubi Garut secara In Vitro .............. 49
C. Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Garut secara In Vivo ................. 58
D. Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Jalar dan Hasil Olahan (Cookies
Ubi Jalar dan SPF) secara In Vitro ............................
68
E. Potensi Prebiotik SPF secara In Vivo ........................................ 75
V. SIMPULAN DAN SARAN............................................................. 88




xiv
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................
LAMPIRAN ................................................................................
90
95















































xv
DAFTAR TABEL

Halaman
1 Karakteristik tiga grup genus Lactobacillus ......................................... 8
2 Komposisi kimia ubi garut kultivar banana dan creole dalam 100
gram ubi .................................................................................................
23
3 Komposisi kimia pati ubi garut per 100 gram ....................................... 23
4 Jenis ransum dan pemberian perlakuan pada kelompok tikus selama
pengujian potensi ekstrak ubi garut secara in vivo ................................
40
5 Jenis ransum dan pemberian perlakuan pada kelompok tikus selama
pengujian potensi prebiotik SPF secara in vivo .....................................
44
6 Komposisi kimia tepung ubi garut ........................................................ 48
7 Komposisi kimia tepung SPF ................................................................. 48
8 Kenaikan atau penurunan E. coli setelah dikompetisikan dengan
L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut
52
9 Kenaikan atau penurunan jumlah B.cereus pada uji kompetisi dengan
L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut
54
10 Kenaikan atau penurunan jumlah Salmonella pada uji kompetisi
dengan L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak
ubi garut ..................................................................................................
55
11 Hasil pengujian Salmonella dalam feses secara kualitatif pada
pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut ........................................
67
12 Perubahan jumlah E. coli setelah dikompetisikan dengan L. casei
Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF ....................
71
13 Perubahan jumlah B. cereus setelah dikompetisikan dengan L. casei
Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF ....................
72
14
Perubahan jumlah Salmonella sp setelah dikompetisikan dengan
L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF ........
73
15 Perubahan jumlah L.casei Rhamnosus setelah dikompetisikan dengan
patogen dalam media yang mengandung ekstrak SPF.......
73
16 Hasil uji Salmonella dalam feses secara kualitatif pada pengujian
potensi prebiotik SPF dengan L. casei Rhamnosus ...............................
83










xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Bifidobacterium longum ......................................................................... 12
2 Diagram pengujian prebiotik .................................................................. 20
3 Tanaman garut (Maranta arundinaceae L) ........................................... 22
4 Ubi garut ................................................................................................. 22
5 Diagram alir penelitian ........................................................................... 30
6 Alat Anoxomat (a) dan anaerob jar (b) .................................................. 31
7 Tahapan pembuatan tepung ubi garut .................................................... 33
8 Tahapan pembuatan tepung ubi jalar ..................................................... 34
9 Diagram ekstraksi gula dan oligosakarida.............................................. 36
10 Tikus jantan galur Sprague Dawley....................................................... 39
11 Persiapan suspensi BAL (L.casei Rhamnosus) ..................................... 41
12 Pertumbuhan BAL dalam ekstrak ubi garut dan cookies ubi garut:
(a) L.casei Rhamnosus, (b) L.casei Shirota, (c) Lactobacillus F1,
(d) Lactobacillus G3, (e) B. longum, (f) B. bifidum .............................
50
13 Jumlah E. coli yang dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus dalam
media yang mengandung ekstrak ubi garut segar ........................
53
14 Jumlah B. cereus yang dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus
dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut .................................
54
15 Jumlah Salmonella yang dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus
pada media yang mengandung ekstrak ubi garut ...................................
55
16 Pertumbuhan L. casei Rhamnosus yang dikompetisikan dengan bakteri
patogen: E. coli, (b) Salmonella sp, (c) B.cereus pada media yang
mengandung ekstrak ubi garut ...............................................................
56
17 Peningkatan berat badan tikus (ekstrak ubi garut dengan L. casei
Rhamnosus)............................................................................................
60
18 Perubahan jumlah total mikroba feses tikus pada kelompok: (a)Kontrol,
(b) Prebiotik (ekstrak ubi garut), (c) Probiotik (L. casei Rhamnosus),
(d) Sinbiotik (ekstrak ubi garut dan L. casei
Rhamnosus)............................................................................................
61
19 Perubahan jumlah BAL pada feses tikus pada kelompok : (a) Kontrol,
(b) Prebiotik (ekstrak ubi garut), (c) Probiotik (L.casei Rhamnosus),
(d) Sinbiotik (ekstrak ubi garut dan L.casei Rhamnosus).......................
62
20 Perubahan jumlah E. coli pada feses tikus pada kelompok: (a) Kontrol,
(b) Prebiotik (ekstrak ubi garut), (c) Probiotik (L. casei Rhamnosus),
(d) Sinbiotik (ekstrak ubi garut dan L. casei Rhamnosus)......................
64




xvii
21

Pertumbuhan BAL dalam ekstrak ubi jalar dan hasil olahan (cookies ubi
jalar dan SPF): (a) L. casei Rhamnosus, (b) L. casei Shirota,
(c) Lactobacillus F1, (d) Lactobacillus G3, (e) B. longum,
(f) B. Bifidum .........................................................................................
69


22 Pertumbuhan E. coli yang dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus
dalam media yang mengandung ekstrak SPF .........................................
70
23 Pertumbuhan B. cereus yang dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus
pada media yang mengandung ekstrak SPF ...........................................
71
24 Pertumbuhan Salmonella sp yang dikompetisikan dengan L. casei
Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF ......................
72
25 Pertumbuhan L. casei Rhamnosus yang dikompetisikan dengan patogen
pada media yang mengandung ekstrak SPF ..............................................
74
26 Peningkatan berat badan tikus (SPF dengan L. casei Ramnosus)............ 76
27 Perubahan jumlah total mikroba feses tikus pada kelompok:
(a) Kontrol, (b) Prebiotik (SPF), (c) Probiotik (L. casei Rhamnosus),
(d) Sinbiotik (SPF dan L. casei Rhamnosus) .........................................
77
28 Perubahan jumlah BAL pada feses pada kelompok: (a). Kontrol,
(b) Prebiotik (SPF), (c) Probiotik (L.casei Rhamnosus), (d) Sinbiotik
(SPF dan L.casei Rhamnosus) ...............................................................
79
29 Perubahan jumlah E. coli feses tikus pada kelompok: (a). Kontrol,
(b) Prebiotik (SPF), (c) Probiotik (L.casei Rhamnosus), (d) Sinbiotik
(SPF dan L. casei Rhamnosus) ...............................................................
82
30 Invasi Salmonella pada mucosa usus ..................................................... 84

























xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Komposisi ransum standar yang diberikan pada pengujian in vivo
ekstrak ubi garut dengan L. casei Rhamnosus..................................
96
2. Hasil perhitungan jumlah L.casei Rhamnosus ................................ 97
3. Perhitungan jumlah ekstrak ubi garut yang digunakan untuk sonde 97
4. Komposisi ransum SPF .................................................................... 98
5. Jumlah BAL dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut dan
cookies ubi garut ..............................................................................
99
6. Jumlah E. coli setelah dikompetisikan dengan BAL dalam media
yang mengandung ekstrak ubi garut dan cookies ubi garut .............
99
7. Jumlah B.cereus setelah dikompetisikan dengan L.casei
Rhamnosus pada media yang mengandung ekstrak ubi garut .........
100
8. Jumlah Salmonella sp pada uji kompetisi bakteri patogen dengan
BAL pada media yang mengandung ekstrak ubi garut ...
100
9. Hasil pengamatan jumlah BAL yang dikompetisikan dengan
bakteri patogen dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut
100
10. Perhitungan jumlah BAL (L. casei Rhamnosus) yang diberikan ..... 101
11. Perhitungan jumlah ekstrak ubi garut untuk cekok .. 101
12. Rata-rata kenaikan berat badan tikus pada pengujian potensi
prebiotik ekstrak ubi garut ................................................................
102
13. Analisis Ragam Rata-rata Kenaikan Berat Badan Tikus pada
Pengujian Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Garut .............................
102
14. Perubahan Jumlah Total Mikroba Feses pada Pengujian Potensi
Prebiotik Ekstrak Ubi Garut secara in vivo ....................................
103
15. Analisis Ragam Perubahan Jumlah Total Mikroba Feses pada
Pengujian Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Garut secara in vivo .......
103
16. Perubahan Jumlah BAL Feses pada Pengujian Potensi Prebiotik
Ekstrak Ubi Garut secara in vivo ....................................
105
17. Analisis Ragam Perubahan Jumlah BAL Feses pada Pengujian
Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Garut secara in vivo .......
105
18. Perubahan Jumlah E.coli Feses pada Pengujian Potensi Prebiotik
Ekstrak Ubi Garut secara in vivo ....................................
107
19. Analisis Ragam Perubahan Jumlah E.coli Feses pada Pengujian
Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Garut secara in vivo .......
107
20. Hasil pengujian Salmonella feses secara kualitatif pada
pengujian potensi prebiotik ekstrak garut secara in vivo .................
109





xix
21. Jumlah BAL dalam media yang mengandung ekstrak ubi jalar dan
hasil olahan (cookies ubi jalar dan SPF) ........................................
113
22. Jumlah E. coli setelah dikompetisikan dengan BAL dalam media
yang mengandung ekstrak SPF ......................................... .............
114
23. Jumlah B.cereus setelah dikompetisikan dengan L.casei
Rhamnosus pada media yang mengandung ekstrak SPF ....... .........
114
24. Jumlah Salmonella sp pada uji kompetisi bakteri patogen dengan
BAL pada media yang mengandung ekstrak SPF ...........
114
25. Hasil pengamatan jumlah BAL yang dikompetisikan dengan
bakteri patogen dalam media yang mengandung ekstrak SPF .........
115
26. Rata-rata kenaikan berat badan tikus pada pengujian potensi
prebiotik SPF ...................................................................................
116
27. Analisis Ragam Rata-rata Kenaikan Berat Badan Tikus pada
Pengujian Potensi Prebiotik SPF .....................................................
116
28. Perubahan Jumlah Total Mikroba Feses pada Pengujian Potensi
Prebiotik SPF secara in vivo ............................................................
117
29. Analisis Ragam Perubahan Jumlah Total Mikroba Feses pada
Pengujian Potensi Prebiotik SPF secara in vivo ..............................
117
30. Perubahan Jumlah BAL Feses pada Pengujian Potensi Prebiotik
SPF secara in vivo ............................................................................
117
31. Analisis Ragam Perubahan Jumlah BAL Feses pada Pengujian
Potensi Prebiotik SPF secara in vivo ...............................................
119
32. Perubahan Jumlah E.coli Feses pada Pengujian Potensi Prebiotik
SPF secara in vivo ..........................................................................
121
33. Analisis Ragam Perubahan Jumlah E.coli Feses pada Pengujian
Potensi Prebiotik SPF secara in vivo ..............................................
121
34. Hasil Pengujian Salmonella Feses Secara Kualitatif Pada
Pengujian Potensi Prebiotik SPF secara in vivo ..............................
123


1
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini masyarakat semakin menyadari bahwa fungsi pangan, tidak
hanya untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi tubuh, tetapi juga diharapkan dapat
memberikan manfaat lain terhadap kesehatan. Kepedulian masyarakat akan
kesehatan menjadi peluang bagi peneliti untuk mengembangkan produk pangan
yang berkhasiat bagi kesehatan (pangan fungsional).
Pangan fungsional adalah pangan yang dapat menguntungkan salah satu atau
lebih dari target fungsi-fungsi dalam tubuh seperti halnya nutrisi yang dapat
memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, dan menurunkan resiko dari suatu
penyakit (Roberfroid 2002). Adapun ciri-ciri dari pangan fungsional sebagai
berikut: (1) produk dapat dikonsumsi sebagai pangan yang dikonsumsi sehari-
hari; (2) komponen pangan fungsional berasal dari alam (alami) atau bukan
sintetik; (3) produk merupakan produk pangan; (4) bukan kapsul atau tablet;
(5) memiliki nilai gizi sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan atau dapat
mengurangi resiko penyakit atau menyehatkan sehingga dapat meningkatkan
kualitas hidup.
Salah satu pangan fungsional adalah prebiotik. Prebiotik merupakan bahan
pangan yang tidak dapat dicerna, dapat menstimulir pertumbuhan bakteri asam
laktat atau BAL (Lactobacilli dan Bifidobacteria), sehingga meningkatkan
kesehatan inang (Salminen et al. 1998; Manning et al. 2004; Gibson 2004;
Manning dan Gibson 2004). Oligosakarida (rafinosa, stakiosa dan verbakosa)
dapat bertindak sebagai prebiotik karena tidak dapat dicerna, namun mampu
menstimulir pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) seperti Lactobacilli dan
Bifidobacterium di dalam saluran pencernaan (Weese 2002; Manning dan Gibson
2004).
Oligosakarida terdapat pada berbagai bahan pangan, seperti biji-bijian, buah-
buahan, sayuran, kacang-kacangan, umbi-umbian dan hasil tanaman lainnya.
Oligosakarida juga dapat diperoleh dengan cara hidrolisis atau proses enzimatis
polisakarida, seperti pati dan serat kasar (Manning et al. 2004). Tanaman garut
(Maranta arundinaceae) merupakan tanaman lokal Indonesia yang berpotensi
2
sebagai sumber oligosakarida. Namun demikian pati garut tidak dapat digunakan
sebagai bahan prebiotik karena tidak mengandung serat (Widayanti 2005),
sedangkan tepung ubi garut (whole flour) yang masih mengandung serat diduga
berpotensi sebagai prebiotik, karena selama proses pengolahan tidak ada
komponen yang dihilangkan kecuali pengurangan kadar air. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Krisnayudha (2007) mengidentifikasi bahwa pada ekstrak tepung
ubi garut mengandung glukosa, fruktosa, sukrosa, rafinosa dan oligofruktosa.
Bifidobacterium bifidum, B. longum, Lactobacillus casei Rhamnosus, L. casei
Shirota, Lactobacillus G1, Lactobacillus F1, Lactobacillus G3 dapat
memanfaatkan ekstrak oligosakarida dari tepung ubi garut dengan baik sebagai
sumber gula untuk pertumbuhannya.
Bahan pangan lain yang berpotensi sebagai sumber prebiotik adalah ubi
jalar. Penelitian tentang potensi ubi jalar sebagai prebiotik telah dilakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Nuraida et al. (2004) menunjukkan bahwa
oligosakarida ubi jalar berpotensi sebagai prebiotik dengan mendukung
pertumbuhan Lactobacillus dan Bifidobacteria yang diketahui dapat bertahan
dalam saluran pencernaan. Ekstrak oligosakarida ubi jalar putih varietas Sukuh
mampu mendukung pertumbuhan Lactobacillus dan Bifidabacteria lebih baik dari
pada ekstrak yang diperoleh dari ubi jalar merah. Di dalam ekstrak tepung ubi
jalar varietas Sukuh mengandung glukosa, fruktosa, sukrosa, maltosa, maltotriosa,
dan rafinosa (Marlis 2008, belum dipublikasikan). Hasil penelitan Adijuwana
(2005) menunjukkan bahwa kandungan rafinosa pada ubi jalar putih varietas
Sukuh lebih tinggi dibandingkan dengan ubi jalar putih varietas Jago dan ubi jalar
merah, masing-masing sebesar 2.97%, 2.27% dan 1.26%. Pengujian in vivo yang
dilakukan oleh Suryadjaya (2005) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak ubi
jalar terhadap tikus Sprague-Dawley (SD) mampu menekan jumlah E.coli dalam
feses, namun dapat meningkatkan jumlah BAL. Efek terbesar diperoleh ketika
pemberian ekstrak disertai dengan pemberian L. casei Rhamnosus. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa ubi jalar berpotensi untuk mendukung pertumbuhan
BAL dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen.
Dalam aplikasinya, tepung ubi jalar dan tepung ubi garut akan dikonsumsi
melalui proses pengolahan. Proses pengolahan telah diketahui dapat
3
mempengaruhi sifat fisik dan kimia oligosakarida di dalam bahan pangan.
Pemanasan terhadap ekstrak oligosakarida dapat meningkatkan kemampuan
ekstrak dalam mendukung pertumbuhan Lactobacillus dan Bifidobacteria
(Nuraida et al. 2004). Pengukusan terhadap ubi jalar menurunkan kadar rafinosa,
namun meningkatkan kadar maltosa dan maltotriosa (Suryadjaya 2005). Hasil
penelitian Marlis 2008 (belum dipublikasikan) menunjukkan bahwa kromatografi
kertas terhadap ekstrak ubi jalar hasil pengukusan, pemanggangan, penyangraian
dan perlakuan spray drying terhadap adonan tepung ubi jalar menunjukkan
terjadinya penurunan oligosakarida.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Ubi garut sebagai salah satu umbi-umbian yang banyak terdapat di Indonesia
dapat digunakan sebagai salah satu bahan pangan sumber karbohidrat dan
mengandung serat sekitar 1.3% (varietas creole). Hasil penelitian Widayanti
(2005), menunjukkan pati garut yang dikenal oleh masyarakat dan mudah
ditemukan di pasaran tidak dapat digunakan oleh BAL (Lactobacillus G3 dan
L. casei Shirota) untuk pertumbuhannya, sehingga pati garut tidak dapat
digunakan sebagai sumber prebiotik. Sedangkan tepung ubi garut telah
teridentifikasi mengandung glukosa, fruktosa, sukrosa, rafinosa dan oligofruktosa.
Hasil penelitian Krisnayudha (2007), menunjukkan bahwa secara in vitro bakteri
B. bifidum, B. longum, L. casei Rhamnosus, L. casei Shirota, Lactobacillus G1,
Lactobacillus F1, Lactobacillus G3 dapat memanfaatkan ekstrak oligosakarida ubi
garut dengan baik sebagai sumber gula untuk pertumbuhannya. Untuk menguji
potensi prebiotik tepung ubi garut, maka perlu dilakukan pengujian potensi
prebiotik tepung ubi garut secara in vivo. Proses pengolahan dapat mempengaruhi
kandungan oligosakarida. Hasil penelitian Krisnayudha (2007), menunjukkan
bahwa proses pengolahan tepung ubi garut dapat mempengaruhi kandungan
oligosakaridanya. Jenis BAL yang digunakan dapat tumbuh lebih baik dalam
media yang mengandung ekstrak tepung ubi garut panggang dibandingkan dengan
media yang mengandung ekstrak tepung garut sangrai maupun kukus. Cookies
ubi garut merupakan salah satu hasil olahan ubi garut yang diproses dengan
4
pemanggangan. Untuk mengetahui potensi prebiotik cookies ubi garut maka
dilakukan pengujian secara in vitro.
Hasil penelitian Suryadjaya (2005) menunjukkan bahwa pemberian
ekstrak ubi jalar pada tikus SD mampu menekan jumlah E. coli dalam feces dan
meningkatkan jumlah BAL. Perubahan komposisi gula-gula dalam ubi jalar dapat
mempengaruhi sifat prebiotik secara in vivo. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Marlis (2008, belum dipublikasikan), menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus
dapat tumbuh baik dalam media yang mengandung ekstrak tepung ubi jalar
panggang. Cookies ubi jalar dan SPF merupakan hasil olahan ubi jalar dengan
menggunakan proses pemanggangan. Bahan baku SPF adalah tepung ubi jalar
tergelatinisasi dan tepung kedelai. Hasil penelitian yang dilakukan Marlis (2008,
belum dipublikasikan), menunjukkan bahwa kandungan oligosakarida dalam
tepung ubi jalar kukus paling tinggi dibandingkan dengan tepung ubi jalar yang
diolah melalui proses pemanggangan, penyangraian dan yang diolah dengan drum
drier. Oleh karena itu, untuk melengkapi informasi mengenai sifat prebiotik ubi
jalar, maka perlu dilakukan pengujian secara in vivo terhadap produk-produk
olahan ubi jalar. Salah satu produk ubi jalar yang telah dikembangkan adalah
olahan ubi jalar dalam bentuk Sweet Potato Flakes (SPF). Melalui penelitian ini
diharapkan dapat diketahui potensi prebiotik SPF dalam sistem pencernaan hewan
percobaan.

C. HIPOTESIS
Hipotesis penelitian adalah :
1. Ekstrak cookies ubi garut, cookies ubi jalar dan SPF dapat meningkatkan
pertumbuhan BAL,
2. Ekstrak ubi garut berpotensi sebagai prebiotik secara in vivo,
3. Produk olahan ubi jalar yaitu SPF berpotensi sebagai prebiotik baik secara
in vitro maupun in vivo.




5
D. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian adalah:
1. Mengevaluasi potensi ekstrak cookies ubi garut sebagai prebiotik secara in
vitro dan potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo.
2. Mengevaluasi potensi SPF sebagai prebiotik secara in vitro dan in vivo.

E. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat dari penelitian ini untuk:
1. Menggali potensi ubi garut dan SPF sebagai prebiotik sehingga dapat
meningkatkan nilai ekonomi ubi garut dan ubi jalar.
2. Menyediakan data ubi garut dan SPF yang mendukung sebagai prebiotik
secara khusus dan secara umum sebagai pangan fungsional.




















6
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. BAKTERI ASAM LAKTAT
Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri yang memproduksi asam
laktat dari fermentasi kabohidrat, termasuk genus bakteri Gram positif, tidak
membentuk spora, sel berbentuk batang atau bulat. Pada umumnya BAL bersifat
katalase negatif, mempunyai komposisi basa kurang dari 50% mol G+C dan
membutuhkan karbohidrat yang difermentasi untuk pertumbuhannya (Axelsson
2004).
BAL dikelompokkan menjadi dua, yaitu homofermentatif dan
heterofermentatif. Produk akhir dari proses homofermentatif glukosa sebagian
besar berupa asam laktat, sedangkan heterofermentatif menghasilkan asam laktat,
etanol, asam asetat dan CO
2
. Klasifikasi BAL menurut generanya, yaitu
Aerococcus, Carnebacterium, Enterococcus, Lactobacillus, Lactococcus,
Leuconostoc, Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus,
Vagococcus, dan Weisella. Bifidobacterium juga dikelompokkan sebagai BAL
karena mampu memfermentasi gula menjadi produk-produk yang menguntungkan
bagi kesehatan (Axelsson 2004). Berdasarkan kemampuan BAL tinggal dalam
usus, Mitsuoka (1990) mengelompokkan BAL sebagai berikut: (1) kelompok
yang dapat mencapai usus dalam keadaan hidup dan paling sering ditemukan
dalam kotoran manusia, contohnya Bifidobacterium (B. bifidum, B. breve,
B. longum, B. infantis, B. adolescentis); (2) kelompok yang dapat mencapai usus
dalam keadaan hidup dan cukup sering ditemukan dalam kotoran manusia,
contohnya Lactobacillus (L. acidophilus dan L. reuteri); (3) kelompok yang dapat
mencapai usus dalam keadaan hidup dan terkadang ditemukan dalam kotoran
manusia, contohnya Lactobacillus (L. casei dan L. brevis); (4) Kelompok yang
dapat dipakai oleh industri susu dan tidak ditemukan dalam kotoran manusia,
contohnya L. bulgaricus, Streptococcus thermophilus dan Streptococcus cremoris.
Bifidobacterium, Lactobacillus dan Eubacteria memiliki aktivitas yang
menguntungkan bagi inang, karena bakteri tersebut menghasilkan asam laktat
sehingga mampu menekan pertumbuhan bakteri patogen, mensintesa vitamin atau
7
protein, membantu penyerapan dan merangsang fungsi kekebalan tubuh. Sifat
tersebut bertolak belakang dengan kelompok bakteri yang merugikan, seperti
Clostridium perfringens, Proteus spp dan Veilonella spp yang menghasilkan
senyawa karsinogen, toksin, NH
3
, H
2
S, amin, dan fenol. Bahan-bahan tersebut
dapat menyebabkan penyakit seperti diare, konstipasi, kerusakan hati, penurunan
kekebalan tubuh, kanker dan hipertensi (Yuguchi et al. 1992). Menurut Ouwehand
dan Vesterlund (2004), BAL memproduksi asam-asam organik dan antimikroba
yang penting. Antimikroba yang dihasilkan dapat berupa hidrogen peroxida,
karbondioksida dan diasetil. Beberapa strain BAL dapat menghasilkan
antimikroba reuterin dan asam pyroglutamat. Ada juga BAL yang menghasilkan
bakteriosin.
BAL yang dapat bertahan dalam saluran pencernaan dan memberikan
kontribusi terhadap kesehatan. BAL ini disebut sebagai probiotik. Probiotik
adalah mikroorganisme hidup yang menguntungkan bagi inangnya sehingga dapat
menjaga keseimbangan dalam usus (Tannock 1999 dan Roberfroid 2000),
meningkatkan kesehatan (Agget 1999 diacu dalam Tuohy et al. 2003). Probiotik
mempunyai efek immunoregulatory, antikarsinogen, antiinflamasi, dapat
memproduksi antimikroba dan memberikan efek langsung terhadap mucosa usus
halus. Secara komersial probiotik yang tersedia berupa BAL yang tidak
membentuk spora, yaitu Lactobacillus, Bifidobacterium dan Enterococci. Akan
tetapi Enterococci tidak digunakan sebagai probiotik karena bakteri ini dikenal
berpotensi sebagai patogen. Organisme probiotik hendaknya berasal dari mikroba
asli yang terdapat dalam pencernaan. Probiotik juga mampu menurunkan tingkat
berbagai enzim fekal yang berasosiasi dengan aktivasi metabolit dari karsinogen
dan mutagen (Weese 2002).
1. Lactobacillus
Genus Lactobacillus merupakan grup penting dari bakteri asam laktat,
karena kemampuannya memproduksi asam laktat. Lactobacillus berbentuk
batang dengan ukuran 0.5-1.2 x 1-10 m, bersifat gram positif dan tidak
membentuk spora, fakultatif anaerob, G+C% 32-53%, tumbuh optimum pada
kisaran suhu 30-40
o
C, tetapi dapat tumbuh pada kisaran 5-35
o
C. Lactobacillus
tumbuh optimum pada pH 5.5 5.8 namun secara umum dapat tumbuh pada
8
pH < 5 (Axelsson 2004). Lactobacillus mampu menghasilkan asam laktat yang
cukup besar dapat mencapai > 50% (Batt 1999).
Lactobacillus banyak terdapat dalam produk makanan fermentasi seperti
produk-produk susu fermentasi (yoghurt, keju, yakult), produk fermentasi daging
(sosis fermentasi), produk fermentasi roti (souerdough bread), serta produk
fermentasi sayuran (pikel dan sauerkraut). Lactobacillus berkontribusi untuk
pengawetan, ketersediaan nutrisi dan flavor pada produk fermentasi tersebut.
Galur murni Lactobacillus sp yang diisolasi dari produk probiotik komersial
mampu menghambat Listeria monocytogenes, E. coli, S. Typhimurium dan
S. enteritidis (Chateau et al. 1993). Genus Lactobacillus terdiri dari 70 spesies
lebih dan dikelompokkan menjadi 3 grup (Tabel 1), kebanyakan homofermentatif,
namun ada juga yang heterofermentatif.
Tabel 1 Karakteristik tiga grup genus Lactobacillus
Karakteristik
Grup I:
Obligat homo-
fermentatif
Grup II:
Fakultatif hetero-
fermentatif
Grup III:
Obligat hetero-
fermentatif
Fermentasi
Pentosa
- + +
CO
2
dari glukosa - - +
CO
2
dari glukonat - +
a
+
a

Aldolase + + -
Fosfoketolase - +
b
+
Spesies
Lb. acidophilus
Lb. delbrueckii
Lb. helveticus
Lb. salivarius
Lb. casei
Lb. curvatus
Lb. plantarum
Lb. sake
Lb. brevis
Lb. buchneri
Lb. fermentum
Lb. Reuteri

Keterangan
a
: pada saat fermentasi
b
: induksi oleh pentosa
Sumber: Sharpe (1981); Kandler dan Weiss (1986) diacu dalam Axelsson
(2004).

a. Lactobacillus casei Rhamnosus
Lactobacillus casei terdiri dari strain yang heterogen secara fenotif dan
genetik yang mengkoloni berbagai ekosistem pangan. L. casei ditambahkan untuk
meningkatkan kualitas dari makanan dan meningkatkan kesehatan manusia
maupun hewan. Lactobacillus casei merupakan bakteri gram positif, tidak motil,
tidak membentuk spora, katalase negatif, berbentuk batang dari 0.7-1.1 x 2.0- 4.0
9
m, cenderung membentuk rantai, bersifat mikroaerofilik, dapat tumbuh pada
kisaran suhu 15
o
C, tidak tumbuh pada suhu 45
o
C dengan suhu optimum 30
o
C, pH
optimum untuk pertumbuhan 6.8 namun masih dapat tumbuh pada pH 3.5 (Batt
1999).
Lactobacillus casei Rhamnosus termasuk dalam genus bakteri asam laktat
yang bersifat termobakterium, karena dapat tumbuh pada suhu 45
o
C, toleran
terhadap pemanasan 72
o
C selama 40 menit (Batt 1999). Bakteri ini bersifat
homofermentatif, Gram positif, katalase negatif dan tidak membentuk spora.
L. casei Rhamnosus mampu memfermentasi gula-gula seperti glukosa, galaktosa,
laktosa, manosa, selobiosa, trehalosa dan rhamnosa, kadang-kadang juga mampu
memfermentasi sukrosa dan maltosa. Menurut Narayanan et al. (2004),
Lactobacillus rhamnosus bersifat fakultatif anaerob, dalam suasana anaerob dapat
menghasilkan L(+) asam laktat dan etanol. Lactobacillus rhamnosus MTCC 1408
menghasilkan asam laktat murni dalam media yang mengandung ekstrak glucosa-
yeast. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Lactobacillus rhamnosus GG
mampu menempel pada mucosa, meskipun sifat penempelannya sementara
(Alander et al. 1999), pemberian Lactobacillus rhamnosus GG pada tikus dapat
mengeluarkan aflatoksin B
1
(AFB
1
) lebih banyak melalui feses (Gratz et al. 2006),
dapat memperpendek lama diare dan frekuensi buang air besar lebih jarang pada
anak-anak diare yang diberi antibiotik, menstimulir pembentukan antibodi,
memodifikasi produksi cytokinin yang merupakan protein penting dalam respon
imun (Young 2008). Menurut Gill dan Rutherfurd (2000), menunjukkan bahwa
Lactobacillus rhamnosus HN001 (diisolasi dari produk susu) mampu
meningkatkan imunitas tikus dengan meningkatkan aktivitas pagocytic darah dan
sel peritoneal.
b. Lactobacillus casei Shirota
Lactobacillus casei Shirota ditemukan pertama kali oleh Dr. Shirota pada
tahun 1935, seorang ahli mikrobiologi dari Jepang. Jenis bakteri ini mempunyai
morfologi berbentuk batang, berada dalam koloni tunggal maupun berantai,
memiliki panjang 1.5-5.0 m dan lebar 0.6-0.7 m, Gram positif, katalase
negatif, tidak membentuk spora maupun kapsul, tidak memiliki flagela, fakultatif
anaerob. L. casei Shirota dapat hidup dengan baik pada suhu optimum 15-41
o
C
10
dan pH 3.5 atau lebih (Meutia 2003). L. casei Shirota bersifat homofermentatif,
yaitu memecah glukosa menjadi asam laktat 90%, sejumlah kecil asam sitrat,
malat, asetat, suksinat, asetaldehid, diasetil dan asetoin yang berperan dalam
pembentukan flavor (Selamat 1992). Pemberian L. casei Shirota setiap hari pada
bayi kelinci dapat meningkatkan respon imun terhadap sel Escherichia coli
penghasil Shiga-toxin (STEC) dan menurunkan konsentrasi Shiga-toxin dalam
pencernaan, sehingga dapat mengurangi terjadinya diare.
c. Lactobacillus Fl
Lactobacillus Fl merupakan isolat klinis BAL yang diisolasi dari feses bayi
oleh Evanikastri (2003). Bakteri ini berbentuk batang pendek, dan bersifat Gram
positif, katalase negatif, tidak memproduksi NH
3
dan CO
2
dari glukosa. Jenis
bakteri ini tergolong BAL homofermentatif, karena hanya memproduksi asam
laktat, tanpa karbondioksida dari glukosa. Lactobacillus Fl dapat tumbuh pada
suhu 37
o
C dan 45
o
C. Hasil uji gula-gula yang dilakukan menunjukkan bahwa
bakteri ini positif pada gula-gula maltosa, arabinosa, rhamnosa, xylosa dan
sorbitol. Bakteri ini diduga merupakan spesies Lactobacillus acidophilus.
Lactobacillus Fl bersifat hidrofobik, mempunyai aktivitas yang tinggi dalam
menghambat Escherichia coli O157:H7, Staphylococcus aureus dan Salmonella
typhimurium. Bakteri ini tahan terhadap asam (pH 3.0) dan garam empedu
(Evanikastri 2003).
d. Lactobacillus G3
Lactobacillus G3 tidak memproduksi CO
2
dari glukosa, sehingga tergolong
sebagai BAL homofermentatif. Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu 37
o
C dan
45
o
C. Hasil uji gula-gula yang dilakukan menunjukkan bahwa bakteri ini positif
pada gula-gula maltosa, rafinosa, galaktosa, mellibiosa, rhamnosa, xylosa dan
sorbitol. Lactobacillus G3 diduga merupakan spesies L. acidophilus, tahan
terhadap asam, tahan terhadap bile, secara in vitro memiliki sifat penempelan
yang baik, memiliki kemampuan antimikroba yang baik, yaitu terhadap
Staphylococcus aureus dan Salmonella typhimurium (Evanikastri 2003). Hasil
penelitian Meutia (2003), menunjukkan bahwa isolat Lactobacillus G3 memiliki
kemampuan penempelan yang baik, tahan terhadap asam, tahan terhadap garam
11
empedu (bile), memiliki sifat anti mikroba yang baik terhadap bakteri Gram
positif maupun Gram negatif. Pada pengujian secara in vivo, pemberian
Lactobacillus G3 sebanyak 10
8
CFU/gram per hari ternyata mempengaruhi
jumlah E. coli, namun dapat meningkatkan jumlah BAL pada feses tikus setelah
10 hari pemberian ransum, meskipun peningkatan jumlah BAL tidak terlalu
signifikan.
2. Bifidobacterium
Bifidobacterium adalah salah satu BAL alami usus yang memiliki efek
probiotik, diisolasi pertama kali dari feses bayi yang mengkonsumsi air susu ibu
(ASI). Bakteri ini berbentuk basil (batang), tidak bergerak, tidak berspora,
merupakan bakteri Gram positif, katalase negatif. Bifidobacterium merupakan
bakteri anaerobik, hidup pada suhu optimum 37
o
C 41
o
C (minimum 25-28
o
C
dan maksimum 43-45
o
C). Memiliki pH optimum untuk pertumbuhan awal
6.5-7.0, tidak ada pertumbuhan pada pH 4.5-5.0 atau 8.0-8.5, sakarolitik dengan
menghasilkan asam asetat dan asam laktat dengan perbandingan 3:2, dan tidak
menghasilkan CO
2
(Dallas 1999).
Bifidobacterium dapat memetabolisme heksosa melalui jalur
phosphoketolase dengan menggunakan enzim frutose-6-phosphate
phosphoketolase (F6PPK). Pengujian Bifidobacterium didasarkan pada
kemampuannya memetabolisme heksosa sebab bakteri gram positif dalam usus
halus lainnya tidak mampu memetabolisme heksosa. Secara in vitro dan in vivo
Bifidobacterium dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen, seperti:
Clostridium perfringens, Salmonella, Shigella, B. cereus, Staphylococcus aureus,
Campylobacter jejuni dan yeast patogen Candida albicans (Dallas 1999).
Bifidobacterium dipercaya dapat mensintesa vitamin-vitamin yang
digunakan oleh tubuh, termasuk thiamin, asam folat, asam nicotin, pyridoxin dan
vitamin B12. Tikus yang mengkonsumsi L. acidophilus atau B. bifidum
menunjukkan jumlah phagocytosis terhadap E. coli meningkat, dapat melindungi
perlawanan rotavirus yang menyebabkan penyakit diare (Ramberg 2002). Dari
hasil penelitian Bruno et al. (2002), pertumbuhan lima strain Bifidobacterium
(B. infantis Bb-1, B. longum Bb-2, Bb-3, B. pseudolongum Bb-4 dan B. animalis
12
Bb-5) dalam susu skim dipengaruhi oleh adanya prebiotik. Penambahan prebiotik
(kecuali dengan penambahan hi-maize) menyebabkan waktu generasi kelima
strain tersebut menurun, tetapi dapat meningkatkan viabilitas Bifidobacterium.
B. bifidum merupakan flora alami usus manusia dan ditemukan juga dalam
vagina manusia. Bakteri ini merupakan penghuni utama usus besar manusia
bersama-sama dengan spesies Bifidobacterium lainnya. Karakteristik B. bifidum
adalah katalase negatif, dapat tumbuh pada suhu 43-45
o
C, bersifat
heterofermentatif dimana rasio asam asetat dan asam laktat yang dihasilkannya
adalah 1.5 : 1 (Nakazawa dan Hosono 1992).
Ada beberapa efek menguntungkan dari B. bifidum antara lain dapat
melindungi usus dari bakteri atau khamir patogen, menghasilkan asam asetat dan
asam laktat sehingga dapat mencegah bakteri berbahaya, meningkatkan
metabolisme protein dan pertambahan berat badan bayi, mencegah pertumbuhan
bakteri yang mampu mengubah senyawa nitrat dalam usus yang berasal dari
makanan atau minuman menjadi senyawa nitrit yang bersifat prokarsinogen,
menghasilkan vitamin B, serta membantu fungsi hati dalam proses pencernaan
makanan. Bifidin, suatu antibiotik yang dihasilkan oleh B. bifidum, sangat efektif
melawan Shigella dysentriae, Salmonella typhosa, Staphylococcus aureus, E. coli
dan bakteri lainnya (Tomomatsu 1994).
B. longum merupakan bakteri yang tidak membentuk spora, berukuran
2-8 m, bersifat katalase negatif, dengan suhu optimum untuk pertumbuhan yaitu
36-38
o
C dan akan mati pada suhu 60
o
C. B. longum berbentuk batang, tidak
tumbuh pada suhu < 20
o
C, tidak memiliki resistensi terhadap suhu > 46
o
C dan pH
optimal untuk awal pertumbuhan adalah 6.5-7.0 (Ballongue 2004). Gambar 1
Bifidobacterium longum secara mikroskopik.

Gambar 1 Bifidobacterium longum (Anonim 2006)
13
B. PREBIOTIK
1. Pengertian, Definisi dan Persyaratan Prebiotik
Prebiotik merupakan bahan pangan yang tidak dapat dicerna, memiliki efek
menguntungkan terhadap inang dengan menstimulir pertumbuhan secara selektif
terhadap aktivitas satu atau lebih dalam jumlah terbatas bakteri di dalam usus
(Lactobacilli dan Bifidobacteria), sehingga meningkatkan kesehatan inang
(Gibson 2004; Manning et al. 2004; Manning dan Gibson 2004). Menurut FAO
(2007), prebiotik adalah komponen pangan yang tidak hidup (not viable) yang
memberikan keuntungan kesehatan inang berasosiasi dengan memodulasi
mikrobiota. Manning et al. (2004), menyatakan bahwa bahan makanan
dikategorikan sebagai prebiotik, apabila: (1) tidak dapat dihidrolisa atau diserap
oleh saluran pencernaan bagian atas, (2) secara selektif menstimulir pertumbuhan
bakteri potensial yang menguntungkan, (3) dapat menekan pertumbuhan patogen
dan virulen, sehingga dapat meningkatkan kesehatan inang. Menurut FAO (2007),
kualifikasi prebiotik apabila: (1) merupakan komponen pangan yang tidak
berbentuk organisme atau obat-obatan, dapat dikarakterisasi secara kimia,
merupakan komponen food grade, (2) memberikan keuntungan kesehatan,
terukur, tidak diserap untuk masuk ke aliran darah atau komponen yang bertindak
sendirian, (3) dapat memodulasi, adanya komponen secara tunggal atau sudah
diformulasikan dapat mengubah komposisi atau aktifitas mikrobiota target inang,
mekanisme tersebut meliputi fermentasi, penghentian reseptor atau lainnya.
Menurut Weese (2002); Manning dan Gibson (2004), dietary fibre (serat
makanan) dapat dikelompokkan sebagai prebiotik, apabila: substrat tidak dapat
diserap atau dihidrolisa di dalam usus halus, secara selektif substrat dapat
difermentasi oleh bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacterium,
fermentasi substrat memberikan efek sistemik yang menguntungkan bagi
inangnya. Bahan prebiotik diklasifikasikan sebagai GRAS atau generally
recognized as safe (Weese 2002, Gibson 2004 dan FAO 2007). Beberapa bahan
yang berpotensi sebagai prebiotik yaitu rafinosa, FOS, oligosakarida kedelai,
galaktooligosakarida, galaktosil laktosa, laktusukrosa, isomalto-oligosakarida,
gluko-oligosakarida, xylo-oligosakarida (Manning dan Gibson 2004).
14
2. Mekanisme Kerja dan Manfaat Prebiotik
Senyawa prebiotik yang tidak dapat dicerna oleh usus halus akan mencapai
usus besar, selanjutnya akan didegradasi atau difermentasi oleh bakteri usus dan
dapat menstimulir pertumbuhan BAL. Fermentasi oligosakarida oleh bakteri usus
akan menghasilkan energi metabolisme dan asam lemah rantai pendek (terutama
asam asetat dan asam laktat), sehingga komposisi mikroflora usus berubah. Selain
asam, bakteri usus juga akan menghasilkan zat yang bersifat antimikroba. Hampir
semua zat yang diproduksi oleh bakteri bersifat asam merupakan hasil fermentasi
karbohidrat oligosakarida (Tomomatsu 1994). Adanya produksi asam tersebut
akan menurunkan pH usus sehingga persentase bakteri yang menguntungkan
seperti Bifidobacterium dan Lactobacillus meningkat, sedangkan persentase
bakteri pembusuk seperti E. coli dan Streptococcus faecalis yang merugikan akan
menurun. Menurut Tomomatsu (1994), pertumbuhan bakteri patogen seperti
Salmonella dan E. coli akan terhambat dengan adanya asam dan zat-zat
antibakteri. Dengan demikian oligosakarida merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri Bifidobacterium dan Lactobacillus yang menguntungkan di
dalam kolon (usus besar), sehingga dapat digolongkan sebagai prebiotik.
Karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan diklaim memiliki efek fungsional
terhadap kesehatan karena karbohidrat tersebut dapat: menunda pengosongan
lambung, memodulasi waktu transit pada sistem pencernaan, meningkatkan
toleransi terhadap glukosa, mereduksi penyerapan lemak dan kolesterol,
meningkatkan volume dan kemampuan membawa air dari usus dan memodulasi
fermentasi mikroba dengan meningkatkan produksi asam lemak rantai pendek
(Short Chain Fatty Acid atau SCFA), menurunkan pH dan produksi amonia.
Kombinasi dan efek fungsional tersebut menghasilkan peningkatan kesehatan
inang dengan menurunnya gangguan pada usus (konstipasi dan diare), penyakit
kardiovaskuler dan kanker usus (Zietner dan Gibson 1998).
Ukuran partikel serat pangan dan tingkat kelarutan berpengaruh terhadap
kemampuan serat pangan untuk difermentasi oleh bakteri. Produk utama
fermentasi polisakarida dalam usus oleh bakteri, tidak hanya meningkatkan
volume feses tetapi juga menaikkan aktivitas metabolisme bakteri sakarolitik.
Pektin, hemiselulosa, guar gum dan inulin adalah serat pangan yang dapat larut
15
dalam air sehingga membentuk gel di dalam saluran pencernaan. Hal ini
membantu proses fermentasi oleh mikroflora usus karena meningkatkan luas
permukaan yang tersedia untuk hidrolisa enzim (Manning dan Gibson 2004).
Menurut Manning dan Gibson (2004), konsumsi prebiotik mempunyai
beberapa manfaat, yaitu dapat: menghambat pertumbuhan bakteri patogen,
meningkatkan penyerapan kalsium, mencegah kanker usus, memberikan pengaruh
terhadap sistem imun (immunological effect) dan dapat menurunkan kolesterol.
Menghambat Pertumbuhan Patogen. Prebiotik merupakan substrat bagi
bakteri yang menguntungkan dalam usus. Sebagai contoh tersedianya inulin dan
FOS dapat meningkatkan jumlah Bifidobacterium dalam pencernaan.
Terbentuknya asam laktat oleh BAL memiliki beberapa keuntungan. Produk akhir
metabolisme BAL akan menurunkan pH usus dimana bakteri patogen tidak
mampu berkompetisi (memiliki sifat penghambatan). Bifidobacterium mampu
menghasilkan antimikroba yang berpengaruh terhadap berbagai bakteri patogen
Gram-positif dan Gram-negatif yang ada dalam usus (Manning dan Gibson 2004).
Prebiotik dapat meningkatkan ketahanan terhadap patogen dengan
meningkatnya Bifidobacterium dan Lactobacilli di dalam usus (Gibson 2004).
Beberapa spesies Lactobacilli dan Bifidobacterium dapat menghasilkan antibiotik
alami yang memiliki aktivitas spektrum yang luas (Gibson dan Wang 1993;
Manning dan Gibson 2004). Beberapa spesies Bifidobacterium dapat
menghasilkan antimikroba alami yang bervariasi dalam menghambat
pertumbuhan bakteri patogen gram positif dan gram negatif dalam usus. Hasil
pengujian in vivo menunjukkan bahwa FOS dan inulin mampu melindungi
masuknya patogen enterik dan sistemik maupun tumor inducer, termasuk E.coli
O157:H7 dan campylobacter (Manning dan Gibson 2004; Manning et al. 2004).
Meningkatkan Penyerapan Kalsium. Pengaruh prebiotik terhadap
peningkatan penyerapan kalsium terjadi melalui mekanisme berikut:
(a) fermentasi prebiotik seperti inulin menghasikan produk SCFA, sehingga
menurunkan pH koloni lumenal. Akibatnya meningkatkan kelarutan kalsium di
dalam usus (b) Fermentasi phytate oleh bakteri juga dapat melepaskan kalsium.
Phytate sebagai salah satu komponen tanaman yang dikonsumsi, juga dapat
membentuk komplek dengan kation divalen yang tidak larut dan stabil seperti
16
kalsium (c) SCFA masuk ke kolon dalam bentuk proton kemudian berdissosiasi di
lingkungan intraselluler. Proton yang dilepaskan dalam lumen berubah menjadi
ion kalsium. Berdasarkan pengujian in vivo dengan hewan percobaan seperti tikus,
menunjukkan bahwa prebiotik dapat meningkatkan penyerapan kalsium dalam
usus dan mengurangi kehilangan kalsium pada tulang (Manning dan Gibson
2004). Konsumsi inulin sebesar 40g/hari selama 28 hari dapat meningkatkan
penyerapan kalsium bagi manusia secara nyata (Coudray et al. 1997 diacu dalam
Manning dan Gibson 2004), 15g inulin, FOS atau GOS per hari selama 21 hari
meningkatkan penyerapan kalsium dan besi (Heuvel et al. 1998 diacu dalam
Manning dan Gibson 2004), 15 g FOS/hari selama 9 hari dapat meningkatkan
penyerapan kalsium hingga 10.8% (Heuvel et al. 1999 diacu dalam Manning dan
Gibson 2004).
Melindungi Terhadap Kanker Kolon. Prebiotik dipostulatkan mampu
melindungi kolon dari serangan kanker kolon. Beberapa prebiotik (inulin, FOS,
GOS dan resisant starch dapat menstimulir Eubacteria (tetapi bukan Clostridia
yang toksik) yang menghasilkan metabolit berupa butirat. Adanya prebiotik dapat
mendukung pertumbuhan BAL. BAL dipercaya mampu menghambat beberapa
bakteri yang menghasilkan enzim karsinogenik. Dengan demikian prebiotik dapat
meningkatkan pembentukan butirat dalam usus. Ada dua mekanisme perlindungan
prebiotik terhadap perkembangan kanker usus, yaitu : (a) produksi metabolit yang
bersifat protektif. Butirat merupakan produk akhir dari fermentasi yang diketahui
dapat menstimulasi apoptosis dalam cell line kanker usus dan juga berperan
sebagai bahan bakar untuk kesehatan colonisit. Butirat dalam usus diproduksi oleh
Eubacteria. Penggunaan prebiotik dapat mendukung pertumbuhan Eubacteria
yang tidak berbahaya (b) prebiotik akan menyebabkan metabolisme bakterial di
dalam usus menghasilkan produk akhir yang tidak berbahaya (Manning dan
Gibson 2004).
Efek Terhadap Sistem Imun. Prebiotik dapat meningkatkan jumlah
mikroflora dalam usus. Pemberian FOS, GOS dan laktulosa dapat mengubah
komposisi mikroflora usus. Prebiotik juga dapat mendukung pertumbuhan BAL
Pemberian GOS, inulin dapat meningkatkan jumlah Bifidobacteria dan
Lactobacilli. BAL diketahui dapat menstimulir respon baik yang spesifik maupun
17
non-spesifik. Akibatnya meningkatkan aktivitas pagositas dan atau meningkatkan
molekul immunological seperti IgA yang mempengaruhi Salmonellae dan
rotavirus. Prebiotik juga menghasilkan produk akhir yang sama dengan BAL
karena prebiotik dapat mendukung pertumbuhan BAL dan meningkatkan
komposisi mikroflora. Pengujian secara in vivo pada hewan menunjukkan bahwa
prebiotik dapat mempengaruhi fungsi imun (Manning dan Gibson 2004).
Efek pada Lemak Darah. Industri makanan banyak mengembangkan
pangan fungsional untuk memodulasi lemak darah seperti kolesterol dan
trigliserida. Peningkatan kolesterol dalam darah berisiko menyebabkan penyakit
jantung koroner. Beberapa bukti menunjukkan bahwa BAL mampu menurunkan
konsentrasi level total dan LDL (low-density lipoprotein) kolesterol. Namun
sampai saat ini mekanismenya belum jelas. Kemungkinan BAL secara langsung
mampu mengasimilasi kolesterol. Prebiotik seperti FOS dapat menurunkan sintesa
de novo trigliserida oleh hati. Menurut Delzenne dan Kok (1999) diacu dalam
Manning dan Gibson (2004) menyatakan bahwa prebiotik seperti inulin dapat
menghambat insulin-induced yang disintesa dari trigliserida.

3. Sumber-sumber Prebiotik
Sumber prebiotik alami terdapat dalam air susu ibu (ASI) dalam bentuk
oligosakarida yang terkandung colostrum, yaitu N-acetyl glucosamine (Ballongue
2004), yang dicerna dalam usus kurang dari 5% dan dapat mendukung
pertumbuhan Bifidobacteria (Ballongue 2004 dan Surono 2004). Sumber
prebiotik lain dapat diperoleh dari buah-buahan dan sayuran seperti bawang
merah, bawang putih, pisang, asparagus, leek, chicory (mengandung inulin) dan
Jerusalem articoke, oligosakarida kedelai. Selain terdapat dalam buah dan
sayuran, prebiotik juga terdapat dalam umbi-umbian seperti rafinosa dalam ubi
jalar (Palmer 1982, Adijuwana 2005, Krisnayudha 2007, Marlis 2008, belum
dipublikasikan), oligofruktosa dan rafinosa dalam ubi garut dan ganyong
(Krisnayudha 2007).


18
4. Jenis-jenis Senyawa Prebiotik
Senyawa-senyawa yang termasuk dalam prebiotik adalah oligosakarida
(seperti: rafinosa, stakiosa, GOS, FOS, inulin), beberapa disakarida dan alternatif
sumber prebiotik lain (seperti: laktitol, sorbitol) dan serat makanan yang tidak
diserap oleh usus halus.
a. Oligosakarida
Oligosakarida merupakan gula-gula yang terdiri dari 2 sampai 20 unit
sakarida atau karbohidrat sederhana (Manning dan Gibson 2004). Menurut Oku
(1994), oligosakarida terutama terdiri dari verbakosa, stakiosa dan rafinosa yang
memiliki ikatan -galakto-glukosa dan -galakto-galaktosa. Oligosakarida yang
tidak dicerna dan diserap dalam usus halus akan mencapai usus besar, selanjutnya
akan didegradasi atau difermentasi oleh bakteri usus.
Rafinosa. Oligosakarida dari kelompok rafinosa bersifat fungsional karena
tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan manusia, yaitu -galaktosidase,
sehingga bermanfaat bagi kesehatan karena akan menghasilkan energi
metabolisme yang lebih rendah dibandingkan sukrosa, tidak memberikan efek
pada sekresi insulin dari pankreas, mencegah penyakit gigi dan dapat
meningkatkan mikroflora usus (Oku 1994). Di dalam kolon, rafinosa dapat
menstimulir pertumbuhan Bifidobacterium spp dan Bacteriodes spp. Menurut
Benno et al. (1987) diacu dalam Salminen et al. (1998), menunjukkan bahwa
pemberian rafinosa pada manusia sebesar 15 g/hari dapat menaikkan jumlah
bifidobakteria feses secara signifikan dan menurunkan jumlah Clostridium spp
dan Bacteriodaceae, terjadi penurunan pH fekal selama mengkonsumsi rafinosa.
Rafinosa dapat diperoleh dari purifikasi beberapa tanaman
Oligosakarida kedelai. Dalam oligosakarida kedelai terdapat rafinosa,
stakiosa dan sukrosa yang dibentuk dari galaktosa yang berikatan dengan sukrosa.
Oligosakarida kedelai dibuat dari kedelai atau whey kedelai melalui proses
ekstraksi dan purifikasi. Oligosakarida bersifat stabil terhadap panas maupun
asam, stabilitasnya lebih baik dibandingkan dengan sukrosa. Hayakawa et al.
(1990) diacu dalam Salminen et al. (1998), membuktikan bahwa secara in vitro,
19
stakiosa dan rafinosa yang dimurnikan dari oligosakarida kedelai dapat
difermentasi oleh Bifidobacterium spp. Konsumsi oligosakarida kedelai 10 g/hari
dapat meningkatkan jumlah bifidobacteria dalam feses manusia secara signifikan,
menurunkan bakteri usus halus yang berbahaya.
Fruktooligosakarida (FOS). FOS merupakan oligosakarida yang tidak
dapat dicerna. Konsumsi FOS sebesar 4-20 g/hari dapat meningkatkan
pertumbuhan bifidobacteria, menurunkan jumlah bacteroides dan clostridia fekal,
meningkatkan berat feses, mudah buang air besar, menurunkan pembentukan
bahan-bahan putrefaktif (Hidaka et al. 1986; Gibson et al. 1995 diacu dalam
Salminen et al. 1998).
Galaktooligosakarida (GOS). Galaktooligosakarida yang terdapat dalam
susu sapi, air susu ibu (ASI) dan yoghurt dapat menstimulir pertumbuhan
bifidobacteria. Menurut Ito et al. (1990) diacu dalam Salminen et al. (1998),
enzim -D-galaktosidase dari Aspergillus oryzae dan Streptococcus thermophillus
dapat memecah laktosa menjadi galaktooligosakarida. Terjadi perubahan
mikroflora usus secara nyata apabila mengkonsumsi galaktooligosakarida sebesar
10 g/hari.
Galaktosil Laktosa (GL). GL merupakan trisakarida yang terdapat dalam
ASI. GL yang dibuat secara komersial dan ditambahkan dalam infant formula
mampu menstimulir pertumbuhan bifidobacteria pada pencernaan balita
(Salminen et al. 1998).
Palatinosa. Palatinosa digunakan sebagai bahan pemanis non karsinogen.
Palatinosa dapat dicerna, namun daya cerna palatinosa kondensat belum diketahui
dengan jelas. Khasimura et al. (1989) diacu dalam Salminen et al. (1998),
pemberian palatinosa dapat meningkatkan jumlah bifidobacteria dalam feses.
b. Disakarida dan alternatif sumber prebiotik lainnya
Laktulosa, laktitol, xilitol, sorbitol dan mannitol merupakan bahan pengganti
atau alternatif oligosakarida. Bahan-bahan tersebut dapat dicerna namun lambat
dan dapat difermentasi oleh BAL dalam kolon. Laktolosa, laktitol dan xilitol
berpengaruh sangat baik terhadap peningkatan mikroflora usus. Namun demikian
20
konsumsi laktulosa, laktitol, xilitol, dan mannitol yang tinggi dapat menurunkan
toleransinya (Salminen dan Salminen 1989 diacu dalam Salminen et al. 1998).
C. PENGUJIAN PRODUK PANGAN SEBAGAI PREBIOTIK
Menurut FAO (2007), untuk menentukan suatu produk pangan dapat
diklasifikasikan sebagai prebiotik ada empat langkah yang dilakukan, yaitu
(1) karakterisasi komponen prebiotik, (2) karakterisasi fungsionalitas, (3)
kualifikasi dan (4) keamanan. Gambar 2 menunjukkan diagram pengujian
prebiotik.

Gambar 2. Diagram pengujian prebiotik (FAO 2007).
Karakterisasi Komponen Prebiotik. Komponen pangan dapat diklaim
sebagai prebiotik apabila sudah diketahui asal-usulnya, tingkat kemurniannya,
struktur dan komposisi kimia dapat dikarakterisasi, apabila sebagai pembawa
(vehicle) maka konsentrasi dalam produk yang diberikan kepada inang dapat
diketahui.
Karakterisasi komponen: sumber,
asal-usul, kemurnian, komposisi
kimia, struktur
Karakterisasi fungsional: pengujian
secara in vitro atau pada hewan
Formulasi produk, pembawa
(vehicle), jumlah dan konsentrasi
Assesmen keamanan: pengujian secara
in vitro dengan/atau tanpa hewan,
dan/atau studi manusia (fase I) jika
bukan GRAS atau yang setara
Double blind, randomized, controlled
human trial (RCT) dengan ukuran
sample hasil utama sesuai untuk
menetapkan khasiat produk.
Minimum proof (bukti minimum)
korelasi antara sifat fisiologis dan
modulasi mikrobiota pada tempat
tertentu
Studi RCT kedua yang bersifat
independen untuk mengonfirmasi
hasil
PREBIOTIK
21
Karakterisasi Fungsional. Minimum diperlukan bukti-bukti yang
menunjukkan adanya korelasi antara hasil fisiologis yang terukur dengan
modulasi mikrobiota sebagai dampak samping (terutama pada gastrointestinal
tract, atau dampak lain yang potensial seperti pengaruh senyawa prebiotik
terhadap vagina dan kulit). Diperlukan adanya korelasi fungsi spesifik pada
dampak spesifik dengan efek fisiologis dalam kurun waktu tertentu.
Melalui pengujian secara in vitro atau pada hewan. Pada pengujian ini
hendaknya variabel yang menjadi target dapat menunjukkan adanya perubahan
yang nyata secara statistik dan secara biologis menunjukkan konsistensi target
kelompok dengan klaim produk sebagai prebiotik. Klaim prebiotik hendaknya
didasarkan pada studi-studi mengenai jenis produk akhir dan pengujian terhadap
inang. Diperlukan kesesuaian ukuran secara random/acak terhadap kontrol
pengujian (dibandingkan dengan placebo atau standar kontrol), akan lebih baik
apabila antara perlakuan dengan kontrol bersifat independen. Hasil fisiologis
prebiotik yang dimaksud adalah: satiety (pengukuran terhadap kandungan
karbohidrat, lemak, total energi intake), mekanisme endokrin yang mengatur food
intake dengan penggunaan energi dalam tubuh, efek-efek penyerapan nutrien
(seperti kalsium, magnesium, trace elemen, protein), menurunnya atau
berkurangnya kejadian infeksi, lemak darah dan parameter endokrin klasik, bowel
movement dan regularity, tanda-tanda resiko kanker, perubahan innate dan
immunitas yang semuanya membuktikan bahwa prebiotik yang diuji dapat
memberikan keuntungan kesehatan.
Kualifikasi. Pengaruh-pengaruh bifidogenik belum cukup tanpa ditunjukkan
keuntungan-keuntungan yang berkaitan dengan kesehatan fisiologis. Hal tersebut
perlu dikenali bahwa pada saat yang sama sering mengalami kesulitan untuk
mengetahui hal-hal yang terjadi di dalam usus halus. Teknik pengambilan sampel
yang tepat dapat diketahui adanya modulasi mikrobiota yang menggambarkan
kesehatan inang. Analisis fekal akan lebih sesuai dengan keterbatasan teknik
pengambilan sampel yang tepat.
Keamanan. Untuk mengklaim bahwa produk tertentu sebagai prebiotik,
maka diperlukan parameter yang aman sesuai dengan regulasi nasional yang
berlaku. Beberapa hal yang direkomendasikan untuk mengetahui keamanan dari
22
prebiotik, yaitu: secara historis produk diketahui aman, GRAS atau ekivalen.
Untuk komoditas yang demikian maka pengujian toksikologi terhadap hewan atau
manusia tidak perlu dilakukan. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui level
konsumsi yang aman dan efek samping terhadap kesehatan. Produk harus tidak
mengandung kontaminan dan benda asing. Berdasarkan ilmu pengetahuan,
prebiotik bukan merupakan alternatif mikrobiota untuk memperpanjang efek
detrimental yang lebih panjang terhadap inang.
C. UBI GARUT (Maranta arundinaceae L)
Ubi garut (arrowroot) merupakan salah satu jenis umbi-umbian, yang
banyak ditemukan di Indonesia. Tanaman garut termasuk dalam famili
Marantaceae, genus Maranta spesies Maranta arundinaceae L. Tanaman ini
berasal dari Indian Barat (West Indian), mereka menyebut Tibur starch,
merupakan family Ginger, genus Curcuma. Perbanyakan tanaman dengan umbi,
kedalaman lubang tanam 6 inch, jarak tanam 15 inch dan lebar bedengan 30 inch.
Ubi garut baru bisa dipanen setelah berumur 10-11 bulan, dengan hasil panen 4-6
ton/acre. Ubi garut mengandung 12% tepung kering dan 1.7% protein.

Gambar 3 Tanaman garut atau Maranta arundinaceae L. (Anonim (2007).




Gambar 4 Ubi garut
23
Masyarakat mengenal ubi garut dengan istilah yang berbeda-beda, di Jawa
ada yang menyebut angkrik, arus, erus, sedangkan di daerah Sunda dikenal
dengan nama patat atau sagu (Widowati et al. 2002) Di Malaysia disebut ubi
bemban, Batak: Sagu Ban-ban, Nias: Saku Ndrawa, Minang: Sagu larut, Bali:
Krarus, Minahasa: Tawang, Gorontalo: Labia Walanta. Profil tanaman ubi garut
dapat dilihat pada Gambar 3, sedangkan ubi garut dapat dilihat pada Gambar 4.
Tanaman garut mempunyai dua jenis kultivar, yaitu kultivar creole dan
kultivar pisang (banana). Ciri-ciri kultivar creole memiliki rhizome yang kurus
memanjang, lebih menyebar dan menembus masuk ke dalam tanah, lebih berserat
dengan kandungan pati yang lebih tinggi. Kultivar banana mempunyai rhizome
yang lebih pendek dan gemuk dibandingkan dengan kultivar creole. Perbandingan
antara komposisi kimia ubi garut kultivar banana dan creole dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi kimia ubi garut kultivar banana dan creole
dalam 100 gram ubi
Komposisi zat gizi
(gram)
Ubi garut untuk kultivar
Banana (%) Creole (%)
Karbohidrat :
Pati
Serat
Protein
Lemak
Abu
Air
19.4
0.6
2.2
0.1
1.3
1.3
72.0
21.7
1.3
1,0
0.1
1.4
1.4
69.1
Sumber : Kay (1973).
Tabel 3 Komposisi kimia pati ubi garut per 100 gram
Jenis Gizi Tepung Ubi Garut
Kalori (kal) 355
Protein (g) 0.7
Lemak (g) 0.2
Karbohidrat (g) 85.2
Ca (mg) 8.0
P (mg) 22.0
Fe (mg) 1.5
Vit. A (SI) 0.0
Vita. B-1 (mg) 0.09
Vit. C (mg) 0.0
Air (g) 14.0
Sumber: Depkes RI (1991).

24
Pati garut (Marantha arundinacea L) diketahui sangat potensial untuk bahan
baku makanan dan minuman, farmasi atau obat-obatan, kimia, kosmetik, tekstil,
kertas, dan karton. Selain campuran bedak, pati garut digunakan sebagai bahan
campuran minuman, ransum, obat penyakit panas dalam, obat borok, bahan
pengikat tablet, ekstender pada perekat sintetis, dan campuran bedak (Yun 2002).
Pati garut juga dapat digunakan sebagai bahan penambah nafsu makan
(stomachica), anti-radang (anti-inflammatory), dan sebagai penguat (tonik), obat
diare, radang sendi, radang usus, penambah asam lambung, mengatasi keputihan,
biang keringat, digigit serangga, jerawat atau flek hitam. Komposisi kimia pati
garut dapat dilihat pada Tabel 3.
Pati garut merupakan hasil olahan ubi garut melalui proses ekstraksi pati.
Masyarakat menyebut pati garut dengan istilah tepung garut. Pembuatan pati garut
dilakukan dengan cara: pembersihan ubi garut dari kulit ari maupun akar,
pencucian, pengecilan ukuran (pemarutan), ekstraksi, pengendapan pati,
pembuangan air rendaman, penjemuran pati, penghancuran dan pengayakan pati
(Widowati et al. 2002). Pembuatan tepung ubi garut dilakukan dengan cara:
pembersihan ubi garut dari sisik maupun akar, pencucian, pengecilan ukuran
(pengirisan), pengeringan, penepungan dan pengayakan (Krisnayudha 2007).
Hasil pengujian dengan kromatografi kertas yang dilakukan oleh Widayanti
(2005), menunjukkan bahwa dalam ekstrak pati garut tidak terdapat rafinosa.
Hasil pengujian secara in vitro terhadap ekstrak pati ubi garut menunjukkan
bahwa bakteri L.casei Shirota dan Lactobacillus G3 tidak dapat menggunakan
ekstrak pati ubi garut untuk pertumbuhannya. Berbeda dengan hasil penelitian
Krisnayudha (2007), menunjukkan bahwa di dalam ekstrak tepung ubi garut
terdapat glukosa, fruktosa, sukrosa, rafinosa dan FOS. Secara in vitro, ekstrak
tepung ubi garut dapat mendukung pertumbuhan BAL uji, berturut-turut mulai
yang tertinggi adalah L. casei Rhamnosus, Lactobacillus G3, Lactobacillus F1,
L.casei Shirota, B. bifidum, Lactobacillus G1 dan B. longum.
Proses pengolahan diduga dapat mengubah kandungan oligosakarida.
Hasil penelitian yang dilakukan Krisnayudha (2007), menunjukkan bahwa pada
ekstrak tepung ubi garut segar mengandung gula sangat sederhana dan gabungan
dari rafinosa, FOS, sukrosa dan fruktosa. Pada tepung ubi garut yang disangrai
25
mengandung rafinosa dan FOS paling tinggi dibandingkan dengan hasil
pengukusan dan pemanggangan.
D. UBI JALAR (Ipomoea batatas L)
Ubi jalar (Ipomoea batatas L) termasuk ke dalam divisi Spermatophyta,
subdivisi Angiospermae, kelas Dicothyledone, ordo Solanaceae, famili
Convolvulaceae, genus Ipomeae dan spesies Ipomoea batatas. Pada umumnya ubi
jalar dibagi dalam dua genus yaitu ubi jalar yang bermubi lunak karena banyak
mengandung air dan ubi jalar yang bermubi keras karena banyak mengandung pati
(Lingga et al. 1986). Menurut Palmer (1982), jenis oligosakarida yang terdapat
pada ubi jalar adalah rafinosa. Pada ubi jalar yang sudah dimasak juga masih
terdapat rafinosa dan tidak dapat dicerna.
Adijuwana (2005) mengidentifikasi kandungan rafinosa dari tiga jenis
varietas ubi jalar (ubi jalar putih varietas Jago dan Sukuh serta ubi jalar merah
klon BB00105.10) dengan metode kromatografi kertas. Hasil identifikasi tersebut
menunjukkan bahwa kadar rafinosa pada ubi jalar yang tidak dikukus berturut-
turut adalah 2.97% (varietas Sukuh), 2.27% (varietas Jago), 1.26% (ubi jalar
merah). Sedangkan pada ubi jalar dengan pengukusan tidak diperoleh spot yang
memiliki Rf sebanding dengan Rf standar rafinosa. Identifikasi lanjut ekstrak
oligosakarida pada ubi jalar Sukuh yang memiliki kadar rafinosa tertinggi,
menunjukkan bahwa selain rafinosa juga terdapat sukrosa, maltosa dan
maltotriosa. Hasil penelitian Suryadjaya (2005), menunjukkan bahwa pemberian
ekstrak ubi jalar pada tikus SD selama 10 hari dapat menekan jumlah E.coli dalam
feses sebesar 2.35 log cfu/g namun meningkatkan jumlah BAL sebesar 0.28 log
cfu/g. Hasil penelitian Marlis (2008, belum dipublikasikan), menunjukkan bahwa
konsentrasi gula pada tepung ubi jalar varietas Sukuh terdiri dari fruktosa 0.17%,
glukosa 0.25%, sukrosa 1.42%, maltosa 3.12%, maltotriosa 0.12% dan rafinosa
0.18%. Pada tepung ubi jalar yang dikukus terjadi kenaikan kandungan
maltotriosa (0.14%) dan rafinosa (0.2%) tertinggi dibandingkan dengan tepung
ubi jalar segar maupun hasil pengolahan melalui pemanggangan, drum dry
maupun penyangraian.

26
F. SWEET POTATO FLAKES (SPF)
Sweet Potato Flakes (SPF) atau makanan sarapan dari ubi jalar merupakan
salah satu jenis produk yang berasal ubi jalar. Produk tersebut merupakan produk
turunan yang dibuat dari campuran tepung ubi jalar instant atau tergelatinisasi (ubi
jalar kukus yang dikeringkan dan ditepungkan), tepung kedelai, tapioka sebagai
bahan baku, gula, garam dan air. Proses produksi flaked cereal melibatkan proses
pemanasan dengan suhu tinggi sehingga dihasilkan produk yang berwarna gelap.
Karena menggunakan bahan baku tepung tergelatinisasi, maka proses pemasakan
awal dihilangkan, sehingga proses pemasakan hanya dilakukan pada tahap
pemanggangan. Secara garis besar proses pengolahan SPF adalah persiapan bahan
baku, formulasi, pencampuran, pencetakan (pembentukan), flaking,
pemanggangan, pelapisan (coating) dan pengemasan. Bahan baku SPF terdiri dari
55% tepung ubi jalar kukus, 25% tepung kedelai, 20% tapioka, gula pasir 10%
(dari total tepung), air 30% (dari total tepung), garam 0,5% (dari total tepung).
Untuk membuat SPF, pertama-tama dilakukan pencampuran kering tepung ubi
jalar kukus, tepung kedelai, tapioka. Gula dan garam dilarutkan dalam air. Larutan
gula dan garam dimasukkan dalam campuran tepung kemudian dicampur dengan
menggunakan mixer sampai adonan homogen. Adonan dibuat pellet dengan
menggunakan grinder. Pellet dipotong-potong dengan panjang 0.5-1 cm,
kemudian dipipihkan menggunakan drum drier sehingga terbentuk flake.
Selanjutnya flake dipanggang dalam oven dengan menggunakan suhu pemanasan
300
0
F selama 11 menit kemudian SPF didinginkan (Koswara 2003 dan Syamsir
et al. 2007). Hasil penelitian Koswara (2003), menunjukkan bahwa SPF yang
dibuat memiliki keunggulan dibandingkan produk sarapan komersial lainnya yaitu
mengandung karoten 30.76 ppm (tidak terdapat pada produk sarapan
komersial) dan kadar serat mencapai 10.46% (pada produk sarapan komersial
berkisar antara 1.4 3.8%). Penyajian SPF dengan cara mencampur SPF dengan
susu atau bisa dikonsumsi langsung sebagai makanan camilan. Produk SPF yang
diperoleh dari Seafast Center telah memiliki sertifikat penyuluhan (SP) dari
Depkes RI dengan nomor Depkes. RI. SP. No. 503/10.03/2003 (Koswara 2003).
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa produk SPF mengandung tepung
kedelai. Di dalam tepung kedelai terdapat oligosakarida kedelai yang berpotensi
27
sebagai prebiotik. Oligosakarida kedelai dapat bertindak sebagai prebiotik karena
mengandung rafinosa, stakiosa dan sukrosa yang dibentuk dari galaktosa yang
berikatan dengan sukrosa (Salminen et al. 1998). Menurut Smiricky (2001), jenis
oligosakarida pada kedelai adalah rafinosa dan stakiosa. Stabilitas oligosakarida
lebih baik dibandingkan dengan sukrosa, stabil terhadap panas maupun asam.
Hayakawa et al. 1990 diacu dalam Salminen et al. (1998), secara in vitro, stakiosa
dan rafinosa yang dimurnikan dari oligosakarida kedelai dapat difermentasi oleh
Bifidobacterium spp. Konsumsi oligosakarida kedelai 10 g/hari dapat
meningkatkan jumlah bifidobacteria dalam feses manusia secara signifikan dan
menurunkan bakteri usus halus yang berbahaya. Menurut Anonim (2008), secara
alami galakto-oligosakarida (GOS) ditemukan dalam kedelai dan dapat disintesa
dari laktosa (gula susu).
Oligosakarida dapat berubah setelah mengalami proses pengolahan.
Menurut Jood et al. (1985), kadar sukrosa, rafinosa, stakiosa dan verbakosa yang
terkandung dalam lima jenis leguminose yang diuji (Phaseolus vulgaris, Cicer
areitinium, Phaseolus mungo, Cajanus cajan dan Vicia vaba) mengalami
penurunan setelah dilakukan proses perendaman air maupun larutan sodium
bikarbonat, pemasakan, pemasakan dengan otoklaf pada biji yang sudah
direndam, germinasi maupun penggorengan biji yang sudah berkecambah. Hasil
penelitian yang dilakukan Marlis (2008, belum dipublikasikan), memunjukkan
bahwa pada tepung ubi jalar kukus terjadi kenaikan kandungan maltotriosa dan
rafinosa tertinggi dibandingkan dengan tepung ubi jalar segar maupun hasil
pengolahan melalui pemanggangan, penyangraian maupun yang diolah
menggunakan drum drier.








28
III. METODOLOGI


A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian dan Laboratorium Southeast Asia Food and
Agriculture Science & Technology (SEAFAST) Center IPB, Kampus IPB
Darmaga, Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2006 Juli 2007.

B. BAHAN
Bahan-bahan yang digunakan adalah ubi garut varietas creole dari salah
satu petani dari kota Temanggung Jawa Tengah, ubi jalar putih varietas Sukuh
dari International Center Potato (CIP) Ciapus-Bogor dan SPF (Sweet Potato
Flakes) didapat dari Seafast Center, IPB. Pembuatan cookies ubi garut dan ubi
jalar menggunakan mentega (Blue Band
TM
), gula halus dan telur ayam. Kultur
bakteri asam laktat (BAL) yang digunakan adalah Lactobacillus casei Shirota
(L. casei Shirota), Lactobacillus casei Rhamnosus (L. casei Rhamnosus),
Lactobacilus galur Fl dan G3, Bifidobacterium longum (B. longum) dan
Bifidobacterium bifidum (B. bifidum), bakteri patogen yang digunakan adalah
Escherichia coli (E. coli), Salmonella sp, Bacillus cereus (B. cereus). Untuk
sterilisasi dan ekstraksi ubi garut dan hasil olahan, ubi jalar dan hasil olahan
menggunakan alkohol 70%. Bahan ransum tikus menggunakan maizena Honig
TM
,
minyak jagung China Corn Oil
TM
, Ca-kaseinat, premix vitamin Fitkom
TM
,
premix mineral, selulosa, air minum dalam kemasan (AMDK). Klorinasi alat dan
kandang tikus menggunakan triklorit (klorin).
Standar gula yang digunakan adalah standar glukosa (Merck
TM
). Bahan
untuk pengujian mikrobiologi adalah proteose peptone Difco
TM
, yeast exract
Difco
TM
, Tween 80 Merck
TM
, dipotasium hidrogen fosfat Merck
TM
, sodium asetat
Merck
TM
, MgSO
4
.7H
2
O Difco
TM
, dan MnSO
4
.4H
2
O Merck
TM
, bacto agar
Difco
TM
. Media yang digunakan adalah MRS (deMann Rogosa Sharpe) Broth
Oxoid
TM
, MRS (deMann Rogosa) Agar Oxoid
TM
, EMBA (Eosin Methylene Blue
Agar) Merck
TM
, PCA (Plate count Agar) Merck
TM
, LB (Lactose Broth) Difco
TM
,
SCB (Selenite Cystine Broth) Oxoid
TM
, BSA (Bismuth Sulfite Agar) Oxoid
TM
,
HEA (Hectoen Enteric Agar) Oxoid
TM
, NB (Nutrient Broth) Oxoid
TM
, NA
29
(Nutrient Agar) Difco
TM
, TSIA (Triple Sugar Iron Agar) Oxoid
TM
, LIA (Lysine
Iron Agar) Oxoid
TM
, larutan fisiologis (NaCl 0.85%), aquades dan spiritus.
C. ALAT
Alat- alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari peralatan
pembuatan tepung ubi garut dan ubi jalar, peralatan pembuatan cookies, peralatan
ekstraksi, peralatan kandang, penyiapan sonde prebiotik, probiotik, sinbiotik dan
peralatan pengujian mikrobiologi. Peralatan pembuatan tepung ubi garut meliputi
oven pengering (cabinet drier), electric slicer, willey mill dan ayakan 60 mesh.
Peralatan pembuatan cookies ubi garut dan cookies ubi jalar adalah stand mixer,
baskom, spatula, loyang, baking oven, cetakan cookies.
Peralatan ekstraksi dan sterilisasi ekstrak gula meliputi magnetic stirrer,
plate stirer, evaporator vakum, sentrifus, gelas ukur, botol penyemprot, kertas
Whatman No. 1, filter membran steril 0.45 m dan 0.2 m (Millipore). Peralatan
pengujian mikrobiologi meliputi otoklaf, inkubator 37
o
C, anaerobic jar,
ANOXOMAT
tm
, Laminar hood, refrigerator, spektrofotometer, cawan petri,
tabung reaksi, erlenmeyer, gelas piala, kertas label, alumunium foil, kapas,
vorteks, micropipette 100-1000 m, tip 100-1000 m, syringe, bunsen dan ose.
Alat yang digunakan untuk penyiapan sonde prebiotik, probiotik, sinbiotik
adalah tabung sentrifus (volume 2ml dan 12 ml), sentrifus berpendingin (Mikro
22R Hettich
TM
). Alat-alat yang diperlukan untuk pemeliharaan dan perlakuan
tikus adalah sonde, sekam, gelas ukur plastik, baskom, ember penampung air,
gayung, kandang lengkap dengan tutupnya, wadah minum lengkap dengan corong
kaca, wadah ransum, syringe (volume 1ml) dan pemanas air listrik.

D. METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan terdiri dari lima tahapan utama yaitu:
(1) Penyiapan kultur, media pengujian dan bahan. Penyiapan bahan yang
dimaksud adalah mulai dari pembuatan tepung ubi garut, ubi jalar dan SPF,
ekstraksi gula dan oligosakarida (2) Pengujian potensi prebiotik secara in vitro,
yaitu pengujian pertumbuhan BAL uji dan uji kompetisi antara BAL dengan
patogen dalam media yang mengandung gula dan oligosakarida (3) Pengujian
potensi prebiotik SPF dan ekstrak ubi garut secara in vivo (4). Skema penelitian
digambarkan sebagai diagram alir seperti yang tertuang dalam Gambar 5.
30
Pengujian Potensi Prebiotik Ubi Jalar Pengujian Potensi Prebiotik Ubi Garut




















Gambar 5 Diagram alir penelitian
Tepung ubi jalar
Ubi garut
Pembuatan cookies ubi
garut
Pembuatan tepung
ubi garut
Ekstraksi gula &
oligosakarida
Ekstraksi gula &
oligosakarida
Ekstraksi gula &
oligosakarida
Tepung SPF
Ekstraksi gula &
oligosakarida
Ekstrak SPF Ekstrak cookies ubi jalar

Ekstrak cookies ubi garut

Ekstrak tepung ubi
garut

Pembuatan cookies ubi
jalar
Ekstraksi gula &
oligosakarida
Ekstrak tepung
ubi jalar
Uji pertumbuhan BAL pada ekstrak oligosakarida secara in vitro
Uji kompetisi BAL dengan patogen secara in vitro
Uji potensi prebiotik secara in vivo
Ubi jalar SPF
1
2
4
3
31
E. PENYIAPAN KULTUR, MEDIA PENGUJIAN DAN BAHAN
1. Penyiapan kultur
Pengawetan Kultur (Dewanti et al. 2003). Kultur L. casei Rhamnosus,
L.casei Shirota, Lactobacillus F1, dan Lactobacillus G3, maupun patogen
diawetkan dengan diimobilisasi dalam manik-manik sedangkan kultur
Bifidobacterium diawetkan dengan agar semisolid. Pengawetan dalam manik-
manik dengan cara sebagai berikut: kultur BAL yang telah diinokulasikan dalam
MRS Broth diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37
o
C. Kultur patogen yang telah
diinokulasikan dalam Nutrient Broth diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37
o
C.
Kemudian terhadap kultur segar ditambahkan gliserol steril dengan perbandingan
4:1 (kultur : gliserol) dan dikocok rata. Suspensi bakteri yang telah berisi gliserol
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi manik-manik steril sampai manik-
manik tersebut terendam. Campuran tersebut kemudian dikocok dan sisa cairan
dibuang. Kultur yang telah terimobilisasi disimpan pada suhu -20
o
C. Pengawetan
Bifidobacteria bifidum dan Bifidobacteria longum dilakukan dengan cara
menginokulasikan 1 ose kultur murni ke dalam agar semisolid yang dibuat dengan
cara mencampurkan MRS Broth dengan Bacto agar sebanyak 0.5%, kemudian
diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37
o
C. Untuk membuat kondisi anaerob,
digunakan alat ANOXOMAT (Gambar 6). Kultur yang telah terimobilisasi
disimpan pada suhu -20
o
C.










Gambar 6 Alat ANOXOMAT (a) dan anaerobik jar (b).
(a)
(b)
32
Penyegaran Kultur Bakteri Asam Laktat (BAL). Media yang
digunakan untuk penyegaran kultur BAL adalah MRS Broth (MRSB). Kultur
BAL disegarkan dengan menginokulasikan sebanyak 3 buah manik-manik ke
dalam 10 ml MRS Broth kemudian diinkubasi pada suhu 37
o
C selama 48 jam.
Inkubasi Lactobacillus secara aerob sedangkan Bidobacterium secara anaerob.
BAL yang telah disegarkan dapat langsung dipakai. Penyegaran hanya dilakukan
pada saat pengujian akan dilakukan.
Penyegaran Kultur Bakteri Patogen. Media yang digunakan untuk
penyegaran kultur E. coli, Salmonella dan B. cereus adalah media Nutrient Broth.
Kultur patogen disegarkan dengan menginokulasikan 3 buah manik-manik
kultur ke dalam 10 ml media Nutrient Broth kemudian diinkubasi pada suhu 37
o
C
selama 24 jam. Kultur patogen yang telah disegarkan dapat langsung dipakai.
2. Penyiapan Media Pengujian
Media pengujian yang digunakan adalah media berbasis MRS Broth tetapi
glukosa pada media diganti dengan jenis gula yang digunakan. Media pengujian
dibuat dengan mencampurkan 10 g proteose peptone, 5 g yeast exract, 1 g Tween
80.5 g Na-asetat, 0.2 g MgSO
4
.7H
2
O, dan 0.05 g MnSO
4
.4H
2
O. Selanjutnya
bahan tersebut diatur pH-nya hingga 6.4-6.6 dengan cara menambahkan HCl 1%
atau NaOH 1%. Kemudian ditempatkan dalam tabung reaksi @ 9 ml dan
disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121
o
C selama 15 menit. Mineral
K
2
HPO
4
.3H
2
O dibuat terpisah, dengan tujuan untuk menghindari terbentuknya
endapan dan kekeruhan. K
2
HPO
4
.3H
2
O dibuat dengan konsentrasi 100x
konsentrasi awal media, kemudian disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121
o
C
selama 15 menit. Sebanyak 0.1 ml larutan mineral K
2
HPO
4
.3H
2
O ditambahkan
secara aseptis ke dalam tabung yang berisi 8.9 ml MRS basis. Penambahan
mineral K
2
HPO
4
.3H
2
O dilakukan pada saat akan melakukan uji pertumbuhan
BAL dan uji kompetisi antara BAL dengan patogen secara in vitro.
Ekstrak ubi garut dan cookies ubi garut yang digunakan disterilisasi
dengan membran filter steril 0.45 m kemudian disaring dengan membran steril
0.2 m. Ekstrak tepung ubi garut maupun ekstrak cookies ubi garut yang sudah
disterilisasi kemudian diukur total padatan terlarutnya. Standar glukosa dengan
33
konsentrasi 5% disterilisasi dengan metode yang sama. Sebanyak 1 ml ekstrak
tepung ubi garut atau cookies ubi garut steril atau standar glukosa steril
ditambahkan ke dalam 9 ml MRS basis steril secara aseptis. Sehingga diperoleh
kandungan ekstrak tepung ubi garut 0.5% TPT, kandungan ekstrak cookies ubi
garut 0.5% TPT dan konsentrasi standar glukosa 0.5% dalam media pengujian.
Cara penyiapan media pengujian untuk ekstrak ubi jalar dan hasil
olahannya (cookies ubi jalar dan SPF) sama dengan cara penyiapan media
pengujian untuk ekstrak ubi garut, tetapi ekstrak ubi garut diganti dengan ekstrak
ubi jalar atau cookies ubi jalar atau SPF.
3. Penyiapan Bahan
Pembuatan Tepung Ubi Garut. Ubi garut yang sudah dipanen,
dibersihkan dari tanah dengan melakukan pencucian menggunakan air mengalir.

















Gambar 7 Tahapan pembuatan tepung ubi garut
Ubi garut var Creole
Penghilangan akar dan
pengupasan kulit ari
Pengirisan
Pengeringan pada T = 55
o
C, t = 15 jam
Penggilingan dengan willey mill
Tepung ubi garut
Pengayakan 60 mesh
Pencucian
34
Kemudian akar halus dan kulit ari yang menempel pada ubi garut dibuang secara
manual menggunakan tangan. Ubi garut diiris dengan ketebalan 2-3 mm
menggunakan electric slicer, dikeringkan dengan pengering (cabinet drier) pada
suhu 55
0
C selama 15 jam. Selama belum digunakan, irisan ubi garut kering
dikemas secara vakum menggunakan vacuum packer dan disimpan dalam
pendingin (refrigerator). Irisan ubi garut kering selanjutnya digiling
menggunakan willey mill hingga 60 mesh. Tahapan pembuatan tepung ubi garut
dapat dilihat pada Gambar 7.
Pembuatan Tepung Ubi Jalar. Ubi jalar putih varietas Sukuh,
dibersihkan dari tanah dengan melakukan pencucian menggunakan air mengalir
selanjutnya dikupas dan diiris dengan ketebalan 1 mm, lalu dikeringkan dengan
oven pengering pada suhu 55
o
C selama 20 jam dan digiling dengan willey mill
hingga 60 mesh. Tahapan dalam pembuatan tepung ubi jalar dapat dilihat pada
Gambar 8.














Gambar 8 Tahapan pembuatan tepung ubi jalar

Ubi jalar var Sukuh
Pengupasan
Pengirisan
Pengeringan pada T = 55
o
C, t =20 jam
Penggilingan dengan willey mill
Pengayakan 60 mesh
Tepung ubi jalar
35
Pembuatan Tepung SPF. SPF yang diperoleh dari Seafast Center
selanjutnya dibuat tepung dengan cara digiling menggunakan waring blender
kering, kemudian diayak dengan ayakan 60 mesh.
Pembuatan Cookies Ubi Garut. Tepung ubi garut yang diperoleh
kemudian dibuat cookies. Formulasi yang digunakan: 180 g mentega (Blue
Band
TM
), 80 g gula halus, 2 butir kuning telur, 280 g tepung ubi garut. Cara
pembuatannya: mentega dan gula halus dikocok hingga berwarna putih dan
mengembang, kuning telur dimasukkan satu persatu sambil dikocok, terakhir
tepung ubi garut dimasukkan sedikit demi sedikit sambil diaduk dengan spatula.
Adonan cookies dicetak dan diletakkan di atas loyang yang sudah diolesi dengan
mentega. Selanjutnya adonan dipanggang dalam oven pada suhu 150
0
C selama
17 menit.
Pembuatan Cookies Ubi Jalar. Formulasi dan cara pembuatan cookies
ubi jalar yang digunakan sama dengan pembuatan cookies ubi garut, hanya tepung
ubi garut diganti dengan tepung ubi jalar.
Pembuatan Ekstrak Gula dan Oligosakarida (Muchtadi 1989).
Ekstraksi gula dan oligosakarida tepung ubi garut, cookies ubi garut, tepung ubi
jalar, cookies ubi jalar maupun tepung SPF memakai etanol 70% dengan
pengadukan selama 15 jam menggunakan magnetic stirer pada suhu ruang.
Untuk 100 gram tepung ubi garut atau cookies ubi garut atau tepung ubi jalar atau
cookies ubi jalar atau tepung SPF memerlukan 1000 ml etanol 70%. Setelah
proses ekstraksi selesai kemudian dilakukan penyaringan menggunakan kertas
saring Whatman no.1 dan dibilas dengan etanol 70%. Filtrat yang diperoleh
dipekatkan menggunakan eveporator vakum pada suhu 40
o
C. Ekstrak pekat
kemudian disentrifus pada 2000 x g selama 10 menit untuk mengendapkan
kotoran dan padatan sehingga memudahkan dalam sterilisasi. Sterilisasi ekstrak
tepung ubi garut, cookies ubi garut, tepung ubi jalar, cookies ubi jalar maupun
tepung SPF dilakukan secara bertahap, setelah disentrifus kemudian ekstrak
disaring dengan membran filter steril 0.45 m kemudian disaring dengan
membran steril 0.2 m. Ekstrak tepung ubi garut, cookies ubi garut, tepung ubi
jalar, cookies ubi jalar maupun tepung SPF yang sudah disterilisasi kemudian
36
diukur total padatan terlarutnya. Diagram ekstraksi gula dan oligosakarida dapat
dilihat pada Gambar 9.














Gambar 9 Diagram ekstraksi gula dan oligosakarida.

F. PENGUJIAN POTENSI PREBIOTIK EKSTRAK COOKIES UBI
GARUT SECARA IN VITRO
1. Pertumbuhan BAL dalam Ekstrak Cookies Ubi Garut.
Tujuan dari tahap ini adalah menguji potensi ekstrak cookies ubi garut dalam
mendukung pertumbuhan BAL. Sebagai pembanding digunakan ekstrak ubi garut
segar. Jenis BAL yang digunakan adalah Bifidobacterium bifidum, B. longum,
L.casei Shirota, L.casei Rhamnosus, Lactobacillus F1 dan G3. Media yang
digunakan sebagai media pertumbuhan adalah media cair MRS basis tetapi
glukosa media diganti dengan ekstrak tepung ubi garut atau ekstrak cookies ubi
garut. Sebagai pembanding digunakan standar gula yaitu glukosa. Sebagai kontrol
digunakan MRS basis tanpa komponen gula.
Media MRS basis ditempatkan pada tabung reaksi sebanyak 9 ml
kemudian ditambahkan 1 ml ekstrak tepung ubi garut atau cookies ubi garut steril
dengan TPT sebesar 5% sehingga konsentrasi ekstrak dalam media adalah 0.5%.
Ekstrak gula dan oligosakarida
Ekstraksi dengan pelarut etanol 70%, menggunakan
magnetic stirrer, t = 15 jam

Penyaringan dengan kertas saring
dan pencucian dengan etanol 70%
Sentrifuse 2000 x g selama 10 menit
Filtrat dipekatkan dengan evaporator vakum T = 40
o
C
Tepung (ubi garut
atau ubi jalar atau SPF)
37
Kultur dari masing-masing BAL ditambahkan ke dalam media yang mengandung
ekstrak gula atau glukosa sebanyak 0.1 ml (1%). Untuk menghindari kontaminasi
maka masing-masing dibuat dua tabung dalam setiap hari pengamatan yang akan
diamati pada 0 jam dan 24 jam perlakuan. Inkubasi secara aerob untuk
Lactobacillus dan secara anaerob (dalam anaerobik jar) untuk Bifidobacterium
dalam inkubator 37
o
C. Untuk membuat kondisi anaerob, digunakan alat
ANOXOMAT (Gambar 6). Perhitungan jumlah BAL dihitung setelah diinkubasi
selama 48 jam.
Kontrol dikerjakan melalui tahapan yang sama dengan pengerjaan
perlakuan ekstrak tepung ubi garut atau cookies ubi garut (ditambahkan 0.1 ml
kultur) tetapi pada media tidak ditambahkan sumber gula (standar gula maupun
ekstrak ubi garut atau cookies ubi garut). Bakteri asam laktat dengan pertumbuhan
terbaik pada ekstrak tepung ubi garut dan cookies ubi garut dipilih untuk
digunakan pada pengujian selanjutnya.

2. Kompetisi Patogen dengan BAL dalam Media yang Mengandung Ekstrak
Ubi Garut.

Pengujian kompetisi pertumbuhan BAL dengan bakteri patogen dilakukan
dengan menginokulasikan secara bersama-sama BAL dan bakteri patogen ke
dalam satu media. Dalam pengujian ini menggunakan MRS basis tetapi glukosa
diganti dengan ekstrak tepung ubi garut atau cookies ubi garut TPT 5 %.
Sebanyak 8.1 ml MRS basis steril ditambahkan 0.9 ml ekstrak sehingga
kandungan ekstrak dalam media menjadi 0.5% TPT. Bakteri asam laktat yang
digunakan adalah L. casei Rhamnosus. Bakteri patogen yang digunakan adalah
E.coli, Salmonella sp dan B. cereus.
Jumlah BAL (L. casei Rhamnosus) yang diinokulasi ke dalam media
kompetisi sejumlah 10
8
cfu/ml, sedangkan jumlah patogen yang diinokulasi ke
dalam media kompetisi sejumlah 10
4
cfu /ml. Untuk mendapatkan L. casei
Rhamnosus sejumlah 10
8
cfu /ml maka kultur segar yang telah diinkubasi selama
24 jam diencerkan 10 kali. Patogen segar yang telah diinkubasi selama 24 jam
dilakukan pengenceran. Untuk mendapatkan jumlah awal patogen 10
4
cfu /ml
38
maka E. coli dan Salmonella diencerkan 1000 kali sedangkan B. cereus
diencerkan 100 kali.
Sebanyak 1 ml BAL dan 0.1 ml patogen (setelah pengenceran)
diinokulasikan ke dalam media kompetisi. Untuk menghindari kontaminasi dalam
setiap hari pengamatan maka media kompetisi dibuat dalam 3 tabung terpisah
yang akan diamati pada 0 jam, 24 jam dan 48 jam perlakuan. Perhitungan BAL
dan patogen dilakukan secara kuantitatif dengan metode agar tuang (AOAC
1990). Untuk menghitung jumlah BAL maka digunakan media MRS Agar, sedang
untuk menghitung jumlah E. coli digunakan media EMBA, dan untuk menghitung
jumlah Salmonella sp dan B. cereus digunakan media NA.
G. PENGUJIAN POTENSI PREBIOTIK EKSTRAK UBI GARUT SECARA
IN VIVO.
Uji ini bertujuan untuk melihat potensi ekstrak ubi garut sebagai prebiotik,
L. casei Rhamnosus sebagai probiotik, dan campuran L. casei Rhamnosus dengan
ekstrak ubi garut sebagai sinbiotik terhadap pertumbuhan total mikroba, BAL,
E.coli, dan Samonella sp dalam saluran pencernaan makhluk hidup.
1. Penyiapan ransum.
Ransum standar yang diberikan untuk tikus pada pengujian prebiotik secara
in vivo terdiri dari kasein, minyak jagung, campuran vitamin, campuran mineral,
serat, air (AMDK) dan pati (maizena) (AOAC 1984). Komposisi ransum standar
yang diberikan pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo
dapat dilihat pada Lampiran 1.
2. Pemeliharaan Hewan Percobaan.
Hewan percobaan yang digunakan sebanyak 24 ekor tikus putih jantan galur
Sprague-Dawley berumur dua bulan. Tikus-tikus tersebut dibagi dalam
4 kelompok masing-masing terdiri dari 6 ekor tikus. Kelompok A = kontrol,
kelompok B = perlakuan prebiotik (ekstrak ubi garut), kelompok C = perlakuan
probiotik (L. casei Rhamnosus), dan kelompok D = perlakuan sinbiotik (ekstrak
ubi garut dengan L. casei Rhamnosus). Pemberian ransum serta air minum
diberikan kepada setiap tikus selama 31 hari. Setiap ekor tikus ditempatkan dalam
kandang yang terpisah (Gambar 10). Frekuensi pemberian ransum standar atau
39
ransum perlakuan serta air minum dilakukan satu kali per hari secara ad libitum.
Sisa ransum ditimbang pada keesokan harinya. Berat badan tikus ditimbang setiap
2 hari sekali.
Setiap hari kandang tikus, wadah pakan dan botol minum diganti dengan
yang telah dicuci dan diklorinasi. Sekam yang digunakan juga diganti setiap hari
dengan yang baru dan telah disterilkan dengan cara diotoklaf (121
o
C, 15 menit).
Kandang tikus, wadah ransum bekas pakai dicuci dengan sabun dan dicelupkan
dalam larutan klorin 200 ppm kemudian dijemur. Sedangkan botol dan corong
gelas wadah minum bekas didesinfeksi dengan cara direndam dalam air mendidih.

Gambar 10 Tikus putih jantan galur Sprague Dawley
Periode adaptasi selama 10 hari dilakukan dengan memberikan ransum
standar sebanyak 20 g/ekor/hari dan air minum pada semua kelompok perlakuan.
Pada periode perlakuan selama 10 hari, suspensi sel L.casei Rhamnosus sebanyak
1ml diberikan pada kelompok probiotik dan sinbiotik dengan cara disonde,
sedangkan kelompok prebiotik disonde dengan 1ml ekstrak ubi garut. Untuk
perlakuan kontrol disonde dengan larutan garam fisiologis NaCl 0.85% steril.
Pada periode pasca perlakuan setiap tikus dari semua kelompok kembali diberikan
ransum standar dan air minum AMDK (Aqua
TM
). Pemberian perlakuan pada
pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo dengan L.casei
Rhamnosus dilakukan dengan bantuan syringe volume 1ml, tikus yang berbeda
pada kelompok yang sama menggunakan syringe yang berbeda. Setiap kali akan
memberikan perlakuan, digunakan syringe baru yang masih steril. Sebelum
dipergunakan untuk tikus lainnya, ujung alat sonde dilap dengan kapas yang telah
40
dibasahi alkohol 70%. Ransum dan pemberian perlakuan yang diberikan pada
setiap kelompok selama pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Jenis ransum dan pemberian perlakuan pada kelompok tikus
selama pengujian potensi ekstrak ubi garut secara in vivo

Kelompok
Periode
Adaptasi (11
hari)
Masa Perlakuan (10 hari) Pasca
Perlakuan
(10 hari)
Jenis ransum Disonde
Kontrol
Ransum
standar
Ransum
standar
1 ml larutan fisiologis NaCl 0.85% steril
Ransum
standar
Prebiotik
garut
Ransum
standar
1 ml larutan ekstrak ubi garut (0.3g TPT/kg
BB tikus
rata-rataH11
/hari) steril dalam larutan
fisiologis NaCl 0.85% steril
Probiotik
Ransum
standar
1 ml suspensi sel BAL (10
10
cfu/ml) dalam
aquades steril
Sinbiotik
garut
Ransum
standar
1 ml campuran suspensi sel BAL (10
10
cfu/ml) dengan ekstrak ubi garut (0.3g
TPT/kgBB tikus
rata-rataH11
/hari) steril dalam
larutan fisiologis NaCl 0.85% steril
3. Penyiapan Suspensi BAL dan Ekstrak Ubi Garut.
Kultur L.casei Rhamnosus disegarkan dengan menginokulasikan sebanyak
3 buah manik-manik ke dalam 10 ml MRS Broth kemudian diinkubasi pada
suhu 37
o
C selama 48 jam. Sebanyak 0.1 ml kultur BAL hasil penyegaran
ditambahkan ke dalam 9 ml MRS Broth kemudian diinkubasi pada suhu 37
o
C
selama 1 hari (24 2 jam). Kultur BAL yang telah disegarkan sel bakterinya
diendapkan dengan cara disentrifus menggunakan sentrifus berpendingin. Kultur
BAL masing-masing sebanyak 2 ml ditempatkan (secara aseptis) ke dalam tabung
sentrifus steril volume 2ml (untuk satu perlakuan dibuat sebanyak 4 tabung),
kemudian disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm, selama 10 menit pada suhu 5
0
C.
Media MRS Broth dipisahkan (diambil) secara aseptis, kemudian diganti dengan
8 ml larutan fisiologis NaCl 0.85% steril. Persiapan suspensi BAL (L. casei
Rhamnosus) dapat dilihat pada Gambar 11. Untuk perlakuan probiotik, maka tikus
disonde dengan 1ml sel BAL dalam larutan fisiologis NaCl 0.85% steril. Untuk
perlakuan prebiotik, tikus disonde dengan 1 ml ekstrak ubi garut (berasal dari 2.6
ml ekstrak ubi garut TPT 20.34% steril dalam 7.4 ml larutan fisiologis NaCl
0.85% steril). Untuk perlakuan sinbiotik, tikus disonde dengan 1 ml campuran sel
BAL (berasal dari 8ml kultur BAL umur 24 jam) dalam 5.92 ml larutan fisiologis
41
NaCl 0.85% steril dan 2.08 ml ekstrak ubi garut TPT 20.34% steril. Jumlah sel
BAL L. casei Rhamnosus yang digunakan 1.3x10
10
CFU/ml, hasil perhitungan

























Gambar 11 Persiapan suspensi BAL (L.casei Rhamnosus).
jumlah L. casei Rhamnosus dapat dilihat pada Lampiran 2. Perhitungan jumlah
ekstrak ubi garut yang digunakan untuk sonde dapat dilihat pada Lampiran 3.
9 ml BAL hasil penyegaran
2 ml 2 ml 2 ml 2 ml
Disentrifus 3000xg,
T=5
0
C, t= 10 menit
Supernatan diambil
+ larutan fisiologis NaCl 0.85% + larutan fisiologis NaCl 0.85%
+ 1 ml ekstrak ubi garut

divorteks
divorteks
Suspensi BAL (probiotik)
Suspensi BAL & ekstrak
ubi garut (sinbiotik)
42
Menurut WHO (1992) diacu dalam Suryadjaja (2005), konsumsi
mikroorganisme hidup yang berperan sebagai probiotik sebesar 10
6
-10
8
CFU/ml
atau gram dapat memberikan efek positif bagi kesehatan manusia. Untuk
mengetahui banyaknya sel BAL yang diberikan, maka dilakukan perhitungan
jumlah BAL di dalam kultur dengan cara menghitung kultur yang telah
disegarkan. Kultur BAL yang telah disegarkan, selanjutnya dilakukan
pengenceran yang sesuai dan pemupukan dengan metode tuang menggunakan
media MRS Agar (MRSA) sehingga didapatkan koloni yang tumbuh pada cawan
berkisar antara 25-250 koloni (Harrigan 2000).
4. Pengambilan Sampel Feses.
Sampel feses dari setiap tikus untuk semua kelompok diambil secara
aseptis pada hari ke 0, 3, 5, 10 perlakuan dan hari ke 1, 5, dan 10 pasca perlakuan
dengan cara memijat bagian anus tikus, selanjutnya feses ditampung langsung
dalam kantung plastik tahan panas yang disterilkan (diotoklaf pada suhu 121
0
C,
selama 15 menit). Feses dari dua ekor tikus pada kelompok yang sama disatukan
(ada tiga feses untuk setiap kelompok), jadi jumlah feses untuk pengujian
mikrobiologi ada 12 sampel. Pengambilan feces dilakukan mulai pukul 04.30
sampai selesai. Pengumpulan feses dihentikan bila seluruh tikus sudah diperoleh
fesesnya. Feses disimpan dalam thermos es yang diberi es batu dan pada hari yang
sama dilakukan pengujian mikrobiologi. Terhadap sampel feses dilakukan analisa
jumlah total bakteri, BAL, E. coli dan analisa secara kualitatif terhadap
keberadaan Salmonella.

H. PENGUJIAN POTENSI PREBIOTIK EKSTRAK UBI JALAR DAN
HASIL OLAHAN (COOKIES UBI JALAR DAN SPF) SECARA IN
VITRO

1. Pertumbuhan BAL dalam Ekstrak Ubi Jalar dan Hasil Olahan (Cookies
Ubi Jalar dan SPF).

Tujuan dari pengujian ini untuk membandingkan kemampuan ekstrak
tepung ubi jalar dan ekstrak hasil olahan (cookies ubi jalar dan SPF) dalam
menstimulir pertumbuhan BAL secara in vitro. Jenis BAL yang digunakan untuk
43
pengujian ekstrak ubi jalar dan cookies ubi jalar adalah B. bifidum, B. longum,
L.casei Shirota, L. casei Rhamnosus, Lactobacillus F1 dan G3. Sedangkan Jenis
BAL yang digunakan untuk pengujian ekstrak SPF adalah L. casei Shirota,
L.casei Rhamnosus, Lactobacillus F1 dan G3. Jenis media dan metode pengujian
sama dengan pengujian pada pertumbuhan BAL dalam ekstrak ubi garut dan
cookies ubi garut, akan tetapi ekstrak ubi garut atau ekstrak cookies ubi garut
diganti dengan ekstrak ubi jalar atau ekstrak cookies ubi jalar atau ekstrak SPF.
2. Kompetisi Patogen dengan BAL dalam media yang mengandung ekstrak
SPF.
Ekstrak SPF yang digunakan adalah ekstrak SPF yang sudah steril dan
diketahui total padatan terlarutnya. Kandungan ekstrak SPF dan konsentarsi
standar glukosa dalam media pengujian 0.5%. Metode pengujian kompetisi
patogen dengan BAL dalam media yang mengandung ekstrak SPF sama dengan
metode pengujian kompetisi patogen dengan BAL dalam media yang
mengandung ekstrak ubi garut.
I. PENGUJIAN POTENSI PREBIOTIK HASIL OLAHAN UBI JALAR
(SPF) SECARA IN VIVO

Uji ini bertujuan untuk melihat potensi hasil olahan ubi jalar (SPF) sebagai
prebiotik, L. casei Rhamnosus sebagai probiotik, dan campuran L. casei
Rhamnosus dengan SPF sebagai sinbiotik terhadap jumlah total mikroba, BAL,
E.coli, dan pertumbuhan Samonella sp pada saluran pencernaan makhluk hidup.
1. Pemeliharaan Hewan Percobaan.
Hewan percobaan yang digunakan baik jenis, jumlah tikus, pembagian
kelompok, penempatan tikus dalam kandang, frekuensi pemberian ransum
standar dan air minum, penimbangan sisa ransum dan berat tikus, ransum standar
yang diberikan, jenis BAL yang digunakan sama dengan yang dilakukan pada
pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo. Untuk ransum SPF
menggunakan ransum standar yang disubstitusi dengan 35% tepung SPF sebagai
pengganti selulosa.
Jenis ransum dan pemberian perlakuan pada setiap tikus selama pengujian
potensi prebiotik SPF secara in vivo dapat dilihat pada Tabel 5. Periode adaptasi
44
selama 10 hari dilakukan dengan memberikan ransum standar sebanyak 20
g/ekor/hari dan air minum pada semua kelompok perlakuan. Pada periode
perlakuan selama 10 hari, suspensi sel L. casei Rhamnosus sebanyak 1ml
diberikan pada kelompok probiotik dengan cara disonde, kelompok sinbiotik
disonde dengan 1ml suspensi sel L.casei Rhamnosus dan diberi ransum SPF,
sedangkan kelompok prebiotik diberi ransum SPF dan disonde dengan 1ml larutan
fisiologis NaCl 0.85% steril. Untuk kelompok kontrol disonde dengan 1 ml
larutan garam fisiologis NaCl 0.85% steril. Cara pembuatan suspensi sel L.casei
Rhamnosus sama dengan pembuatan suspensi sel L.casei Rhamnosus pada
pengujian potensi probiotik ekstrak ubi garut (Gambar 10). Pada periode pasca
perlakuan setiap tikus dari semua kelompok kembali diberikan ransum standar
dan air minum. Pemberian suspensi BAL dan larutan garam fisiologis NaCl
0.85% steril dilakukan dengan bantuan syringe volume 1ml, tikus yang berbeda
pada kelompok yang sama menggunakan syringe yang berbeda. Setiap kali akan
memberikan perlakuan, digunakan syringe baru yang masih steril. Sebelum
dipegunakan untuk tikus lainnya, ujung alat sonde dilap dengan kapas yang telah
dibasahi alkohol 70%. Komposisi ransum SPF dapat dilihat pada Lampiran 4.
Tabel 5 Jenis ransum dan pemberian perlakuan pada kelompok tikus selama
pengujian potensi prebiotik SPF secara in vivo.

Kelompok
Periode

Adaptasi
(11 hari)
Masa Perlakuan (10 hari) Pasca
Perlakuan
(10 hari)
Jenis ransum Disonde
Kontrol
Ransum
standar
Ransum standar 1 ml larutan fisiologis NaCl 0.85% steril
Ransum
standar
Prebiotik Ransum standar
1 ml suspensi sel BAL (10
9
cfu/ml) dalam
larutan fisiologis NaCl 0.85% steril
Probiotik Ransum SPF 1 ml larutan fisiologis NaCl 0.85% steril
Sinbiotik Ransum SPF
1 ml suspensi sel BAL (10
9
cfu/ml) dalam
larutan fisiologis NaCl 0.85% steril

2. Pengambilan Sampel Feses dan Metode Pengujian Mikrobiologi.
Pengambilan sampel feses dan metode pengujian mikrobiologi potensi
prebiotik SPF secara in vivo sama dengan pengambilan sampel feses dan metode
pengujian mikrobiologi pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara
in vivo.
45
J. METODE PENGUJIAN
1. Pengukuran Total Padatan Terlarut (Apriyantono 1989).
Ekstrak tepung ubi garut, cookies ubi garut, ubi jalar, cookies ubi jalar dan
SPF diukur total padatan terlarutnya. Cawan porselen dikeringkan selama 2 jam
dalam oven bersuhu 100
o
C, didinginkan dalam desikator sehingga diperoleh berat
konstan. Kemudian cawan tersebut ditimbang (a gram). Sebanyak 1 ml ekstrak
ditempatkan ke dalam cawan porselen tersebut dan ditimbang berat larutan
ekstrak (b gram). Cawan yang telah berisi ekstrak kemudian ditempatkan dalam
oven selama sehari semalam. Setelah kering, cawan berisi sampel ekstrak
didinginkan dalam desikator selama 10 menit atau hingga diperoleh berat cawan
konstan. Berat cawan yang berisi ekstrak kering kemudian ditimbang (c gram).
Total padatan terlarut dihitung dari hasil perbandingan berat ekstrak setelah
dikeringkan dengan berat ekstrak sebelum dikeringkan dan dikalikan 100%.
% 100 x
b
a c
TPT

=
Ekstrak tepung ubi garut, cookies ubi garut, ubi jalar, cookies ubi jalar dan
SPF dipersiapkan dengan TPT 5%. Ekstrak tepung ubi garut, cookies ubi garut,
ubi jalar, cookies ubi jalar dan SPF yang sudah diencerkan, kemudian disterilisasi
secara bertahap dengan membran filter 0.45 m dan 0.2 m.
2. Penyiapan Sampel Feses
Penyiapan Sampel Feses pada Pengujian Potensi Prebiotik Ekstrak
Ubi Garut dan SPF secara in vivo. Sampel feses dari setiap dua ekor tikus pada
kelompok yang sama sebelum dilakukan pengujian digabung, sehingga dari setiap
kelompok perlakuan didapatkan 3 (tiga) sampel feses tikus atau untuk empat
perlakuan ada 12 sampel. Setiap sampel kemudian dihancurkan dan dibagi dua
secara aseptis dan ditimbang beratnya. Bagian pertama diencerkan dengan larutan
fisiologis NaCl 0.85% steril sehingga didapatkan pengenceran 10
-1
. Penyiapan
sampel ini dilakukan untuk analisa jumlah total mikroba, BAL, dan E. coli
(AOAC 1990). Bagian kedua diencerkan dengan media Lactose Broth sehingga
didapatkan pengenceran 10
-1
, penyiapan sampel ini dilakukan untuk analisa
Salmonella sp (BAM 2005).
46
3. Metode Pengujian Mikrobiologi
Total Mikroba (AOAC 1990). Suspensi sampel dalam larutan fisiologis
NaCl 0.85% (pengenceran 10
-1
) dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam
9 ml larutan fisiologis NaCl 0.85% sehingga diperoleh pengenceran 10
-2
,
kemudian dengan cara yang sama dibuat pengenceran 10
-3
, 10
-4
dan seterusnya
sampai tingkat pengenceran yang diinginkan (diharapkan hasil plating didapat
antara 25-250 koloni). Pada tingkat pengenceran yang sesuai, suspensi sampel
dipipet 1 ml secara aseptik dan dipupukkan ke dalam cawan steril (duplo)
kemudian dituangi PCA, digoyangkan supaya rata dan diinkubasi pada suhu 37
o
C
selama 48 jam. Pengamatan jumlah koloni yang tumbuh dihitung sebagai total
mikroba.
Perhitungan jumlah E. coli (AOAC 1990). Suspensi sampel dalam
larutan fisiologis NaCl 0.85% (pengenceran 10
-1
) dipipet sebanyak 1 ml dan
dimasukkan ke dalam 9 ml larutan fisiologis NaCl 0.85% sehingga diperoleh
pengenceran 10
-2
, kemudian dengan cara yang sama dibuat pengenceran 10
-3
, 10
-4

dan seterusnya sampai tingkat pengenceran yang diinginkan (diharapkan hasil
plating didapat antara 25-250 koloni). Suspensi sampel dari tingkat pengenceran
yang sesuai dipipet 1 ml dan dipupukkan ke dalam cawan petri steril (duplo),
dituangi EMBA dan digoyang supaya rata kemudian diinkubasi pada suhu 37
o
C
selama 48 jam. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah koloni
fekal dan non fekal. Koloni tipikal E. coli adalah koloni berwarna hijau metalik
(fekal).
Perhitungan jumlah BAL (AOAC 1990). Suspensi sampel dalam larutan
fisiologis NaCl 0.85% (pengenceran 10
-1
) dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan
ke dalam 9 ml larutan fisiologis NaCl 0.85% sehingga diperoleh pengenceran 10
-2
,
kemudian dengan cara yang sama dibuat pengenceran 10
-3
, 10
-4
dan seterusnya
sampai tingkat pengenceran yang diinginkan (diharapkan hasil plating didapat
antara 25-250 koloni). Perhitungan jumlah BAL dilakukan dengan metode tuang
(sama seperti total mikroba dan E. coli), suspensi sampel dari tingkat pengenceran
yang sesuai (10
-5
, 10
-6
, 10
-7
dan 10
-8
) dipipet 1 ml dan dipupukkan ke dalam
cawan petri steril kemudian dituangi media MRSA, digoyang supaya rata dan
47
diinkubasi pada suhu 37
o
C selama 48 jam. Koloni yang tumbuh dihitung sebagai
jumlah BAL.
Uji Salmonella (BAM 2005). Suspensi sampel di dalam Lactose Broth
(LB) yang telah diinkubasi pada suhu ruang selama 1 jam, diinkubasikan kembali
pada suhu 37
o
C selama 24 + 2 jam. Setelah diinkubasi, suspensi bakteri dipipet 1
ml secara aseptis dan dimasukkan ke dalam media SCB kemudian diinkubasi pada
suhu 37
o
C selama 24 + 2 jam. Apabila warna media berubah menjadi keruh maka
dilakukan langkah selanjutnya.
Sampel diambil secara aseptis dengan ose kemudian digoreskan pada
media HEA (digores secara kuadran) dan diinkubasi pada suhu 37
o
C selama 48 +
2 jam. Setelah diinkubasi, koloni-koloni tipikal yang tumbuh pada media diamati.
Ciri-ciri koloni tipikal Salmonella pada HEA adalah warna biru kehijauan, dengan
atau tanpa warna hitam di bagian tengah koloni, beberapa tampak sebagai koloni
yang besar, berwarna hitam di tengahnya atau tampak sebagai koloni yang hampir
semuanya berwarna hitam. Apabila terdapat koloni tipikal tersebut maka
dilakukan langkah selanjutnya.
Koloni tipikal Salmonella yang tumbuh pada media HEA diambil dan
digoreskan ke agar miring TSIA dan LIA kemudian diinkubasi pada suhu 37
o
C
selama 24 + 2 jam dengan tutup tabung agak dilonggarkan untuk mencegah
produksi H
2
S berlebih. Setelah diinkubasi, perubahan-perubahan warna pada
media diamati. Hasil reaksi spesies Salmonella yang positif pada media TSIA
akan menunjukkan warna merah pada bagian atas media agar sebagai tanda
diproduksinya senyawa basa pada goresan miring dan bagian dasar media agar
berwarna kuning sebagai tanda diproduksinya asam di dasar tabung dengan atau
tanpa produksi H
2
S (kehitaman pada agar). Tipikal kultur Salmonella pada media
LIA menghasilkan warna ungu (alkali) pada dasar tabung reaksi. Sedangkan bila
membentuk warna kuning menunjukkan reaksi asam, berarti uji Salmonella
negatif. Umumnya Salmonella pada media LIA menghasilkan H
2
S. Beberapa
yang bukan kultur Salmonella menghasilkan warna merah bata pada media LIA
miring.


48
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. TEPUNG UBI GARUT, UBI JALAR, SPF DAN COOKIES
Tepung ubi garut yang dihasilkan berwarna putih dengan rendemen rata-
rata sebesar 22.62% (Lampiran 5). Tepung ubi jalar yang dihasilkan berwarna
putih dengan rendemen rata-rata sebesar 29.71% (Lampiran 6) dan kadar air
4.98%. Hasil analisa proksimat tepung ubi garut dapat dilihat pada Tabel 6.
Komposisi kimia tepung SPF yang diperoleh dari Seafast Center SPF dapat dilihat
pada Tabel 7.
Tabel 6 Komposisi kimia tepung ubi garut
Komposisi %
Protein 8.50
Lemak 4.04
Serat 3.18
Air 7.13
Mineral 3.19
Karbohidrat 73.96

Tabel 7 Komposisi kimia tepung SPF
Komposisi %
Protein 10.08
Lemak 5.66
Serat 8.52
Air 2.84
Mineral 2.84
Karbohidrat 78.58

Dari 280 g tepung ubi garut/ubi jalar, 180 g mentega (Blue Band
TM
), 80 g
sukrosa dan 2 butir kuning telur, berat cookies ubi garut yang diperoleh sebanyak
510 g, sedangkan berat cookies ubi jalar sebanyak 518 g. Meskipun formulasi
cookies yang digunakan sama namun rendemen cookies ubi garut lebih kecil
dibandingkan dengan cookies ubi jalar. Hal ini dikarenakan kadar air tepung ubi
garut (7.13%) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air tepung ubi jalar
(4.98%).


49
B. POTENSI PREBIOTIK COOKIES UBI GARUT SECARA IN VITRO
1. Pertumbuhan BAL dalam Media yang Mengandung Ekstrak Cookies Ubi
Ubi Garut
Jenis BAL yang digunakan dalam pengujian ini adalah L.casei
Rhamnosus, L. casei Shirota, Lactobacillus G3, Lactobacillus F1, B. bifidum dan
B. longum. Dari hasil uji pertumbuhan BAL dalam media yang mengandung
ekstrak ubi garut dan cookies ubi garut dapat dilihat bahwa keenam jenis BAL
yang digunakan dapat memanfaatkan ekstrak ubi garut dan cookies ubi garut
sebagai sumber gula (Gambar 12). Dengan kromatografi kertas terhadap ekstrak
ubi garut, Krisnayudha (2007) berhasil mengidentifikasi rafinosa, oligofruktosa,
sukrosa, glukosa dan fruktosa. Disamping itu ditunjukkan pula bahwa dalam
media yang mengandung ekstrak ubi garut, L. casei Rhamnosus dapat tumbuh
lebih baik, daripada Lactobacillus G3, F1, B. bifidum dan B.longum. Penelitian
yang dilakukan oleh Suryadjaja (2005), menunjukkan bahwa pertumbuhan BAL
(L. casei Rhamnosus, L. casei Shirota, Lactobacillus F1 dan G3) dalam media
yang mengandung glukosa atau fruktosa lebih baik dibandingkan dengan media
yang mengandung sukrosa, rafinosa dan maltosa. Glukosa dan fruktosa
merupakan golongan gula sederhana yang tidak berikatan dengan gugus lainnya
dan tidak memiliki ikatan glikosidik sehingga BAL tidak menemukan kesulitan
dalam menggunakan glukosa sebagai sumber gula untuk pertumbuhannya.
Gambar 12 menunjukkan bahwa pertumbuhan BAL uji yang digunakan
lebih baik dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut dibandingkan dalam
media yang mengandung ekstrak cookies ubi garut. Hal ini berbeda dengan hasil
penelitian Krisnayudha (2007), yang menunjukkan bahwa pertumbuhan
Lactobacillus G3 pada ekstrak ubi garut hasil olahan (pengukusan dan
pemanggangan tepung ubi garut) lebih baik dibandingkan dalam ekstrak tepung
ubi garut non olahan. Perbedaan tersebut kemungkinan dikarenakan dalam
pembuatan cookies ubi garut ditambahkan sukrosa sebanyak 30% dari berat
adonan. Adanya gula yang relatif tinggi, protein yang berasal dari telur dan
dilakukan proses pemanggangan pada suhu 150
0
C terhadap cookies ubi garut
dapat menyebabkan terjadinya reaksi Maillard pada sebagian gula, sehingga gula
sederhana yang sudah mengalami reaksi Maillard tidak dapat digunakan oleh
50
BAL. Menurut Winarno (1989), reaksi Maillard adalah reaksi-reaksi karbohidrat
khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Menurut Belitz dan
7.2 7.2 7.3
7.1
9.7
8.2
9.0
7.9
2.6
1.0
1.7
0.8
0
2
4
6
8
10
12
Ubi garut Cookies Glukosa Kontrol
Jenis gula
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
Kenaikan

(a)

7.8
7.7 7.8 7.8
9.3
8.9 8.9
8.2
1.5
1.2
1.1
0.5
0
2
4
6
8
10
12
Ubi garut Cookies Glukosa Kontrol
Jenis gula
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
Kenaikan

(b)
7.9 7.9 7.9
7.7
9.5
9.2 9.1
8.6
1.6
1.3 1.3
0.9
0
2
4
6
8
10
12
Ubi garut Cookies Glukosa Kontrol
Jenis gula
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
Kenaikan
(c)

8.2
8.1
8.2
8.1
9.9
9.0
9.2
8.8
1.7
0.9
1.0
0.7
0
2
4
6
8
10
12
Ubi garut Cookies Glukosa Kontrol
Jenis gula
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
Kenaikan

(d)
8.1
7.6
7.4
7.1
8.9
8.4
9.1
8.0
0.8 0.8
1.7
1.0
0
2
4
6
8
10
12
Ubi garut Cookies Glukosa Kontrol
Jenis gula
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
Kenaikan
(e)

7.7
7.8
8.1
7.7
8.9 8.9
8.4
8.6
1.1
0.4
0.9
1.2
0
2
4
6
8
10
12
Ubi garut Cookies Glukosa Kontrol
Jenis gula
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
Kenaikan

(f)
Gambar 12 Pertumbuhan BAL dalam ekstrak ubi garut segar dan cookies
ubi garut: (a) L. casei Rhamnosus, (b) L. casei Shirota,
(c) Lactobacillus F1, (d) Lactobacillus G3, (e) B. longum,
(f) B. bifidum.
51
Grosch (1987) menyatakan bahwa hasil reaksi Maillard menghasilkan pigmen
berwarna coklat, yang dikenal sebagai melanoidin. Dalam reaksi Maillard akan
dihasilkan beberapa komponen, yaitu : (1) 4-hydroxy-5-methyl-2,3-dihidrofuran,
(2) methylene reductonic acid dan dihydro--pyrone, (3) maltol dari disakarida
dan dihydropyranone dari monosakarida.
Kenaikan jumlah BAL dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut
berturut-turut adalah 2.6 log cfu/ml (L. casei Rhamnosus), 1.7 log cfu/ml
(Lactobacillus G3), 1.6 log cfu/ml (Lactobacillus F1), 1.5 log cfu/ml (L. casei
Shirota), 1.2 log cfu/ml (B. bifidum), 0.8 log cfu/ml (B. longum). Berdasarkan
data tersebut, terlihat bahwa pertumbuhan genus Lactobacillus lebih baik daripada
pertumbuhan genus Bifidobacterium sp didalam media yang mengandung ekstrak
ubi garut. Hal ini disebabkan genus Lactobacillus sp cenderung lebih mudah
menggunakan gula-gula sederhana yang terdapat dalam ekstrak ubi garut daripada
genus Bifidobacterium sp. Adanya gula-gula sederhana dan kandungan
oligosakarida yang relatif sedikit dalam ekstrak ubi garut, maka Lactobacillus
akan lebih mudah menggunakan gula-gula sederhana dibandingkan oligosakarida
untuk mendukung pertumbuhannya. Batt (1999
b
) mengemukakan bahwa bakteri
dari genus Lactobacillus dapat tumbuh dengan baik pada media yang kaya akan
molekul kompleks dengan nutrisi berupa gula-gula sederhana seperti xylose dan
ribose karena Lactobacillus dapat langsung menggunakannya sebagai sumber
karbon.
Kelompok Bifidobacterium yang digunakan menunjukkan tingkat
pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok Lactobacillus,
hal ini dikarenakan beberapa genus Bifidobacterium dikategorikan slow grower,
yaitu genus bakteri dengan laju pertumbuhan yang lambat bila dibandingkan
dengan bakteri-bakteri lainnya. Dallas (1999), menyatakan bahwa
Bifidobacterium di dalam usus besar berkembang tidak secepat bakteri lain pada
umumnya. Pertumbuhan B. bifidum dalam media yang mengandung glukosa lebih
rendah dibandingkan dengan B. longum. Menurut Petuely (1930) dan Gyorgy
(1953) diacu dalam Ballongue (2004), B. bifidum kurang baik dalam
memanfaatkan glukosa sebagai sumber gula. B. bifidum akan tumbuh dengan baik
ketika terdapat gula-gula yang menyerupai gula-gula yang terdapat dalam susu ibu
52
(ASI). ASI mengandung laktoferin, laktulosa dan kandungan laktose yang tinggi.
Jumlah BAL dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut dan cookies ubi
garut dapat dilihat pada Lampiran 8.
Berdasarkan hasil pengujian terhadap pertumbuhan BAL uji pada ekstrak
ubi garut menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus tumbuh paling baik dalam
media yang mengandung ekstrak ubi garut, oleh karena itu jenis BAL yang
digunakan dalam pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo
adalah L. casei Rhamnosus.
2. Kompetisi Bakteri Patogen dengan BAL dalam Media yang Mengandung
Ekstrak Ubi Garut
Pengujian kompetisi bakteri patogen dengan BAL bertujuan untuk melihat
kemampuan BAL (L. casei Rhamnosus) dalam menghambat pertumbuhan bakteri
patogen dengan memanfaatkan ekstrak ubi garut sebagai sumber gula. Bakteri
patogen yang digunakan adalah E. coli, B. cereus dan Salmonella sp. Jumlah
E.coli pada uji kompetisi dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang
mengandung ekstrak ubi garut dapat dilihat pada Gambar 13. Hasil uji kompetisi
antara bakteri E. coli dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung
ekstrak ubi garut menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus dapat menekan jumlah
E. coli sampai 1.5 log cfu/ml setelah diinkubasi selama 24 jam dan 1.9 log cfu/ml
setelah diinkubasi 48 jam. Sedangkan pada kontrol (pertumbuhan E.coli dalam
media yang mengandung ekstrak ubi garut) meningkatkan jumlah E.coli sampai
4.9 log cfu/ml (setelah diinkubasi selama 24 jam) dan 0,3 log cfu/ml setelah
inkubasi 48 jam. Hal ini menunjukkan ekstrak ubi garut dapat pula mendukung
pertumbuhan E. coli karena bakteri tersebut dapat memanfaatkan ekstrak ubi
garut sebagai sumber gula. Pada pengujian ini juga menunjukkan bahwa gula-gula
Tabel 8 Kenaikan atau penurunan jumlah E. coli pada uji kompetisi dengan
L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut

Perlakuan
Jumlah E. coli (log cfu/ml)
Pada inkubasi hari ke-
Kenaikan /penurunan
E. coli (log cfu/ml)
H0
( 0 jam)
H1
(24 jam)
H2
(48 jam)
Setelah
24 jam
Setelah
48jam
Kontrol (Ekstrak garut + E. coli) 4.0 8.9 9.2 4.9 0.3
Kompetisi (Ekstrak garut+ E. coli
+L.caseiRhamnosus) 4.0 8.0 0.7 4.0 -3.2
53
sederhana (glukosa, fruktosa dan sukrosa) yang terdapat dalam ekstrak ubi garut
lebih mudah dimanfaatkan oleh L. casei Rhamnosus maupun E. coli. Tabel 8
menunjukkan kenaikan atau penurunan E. coli setelah dikompetisikan dengan
L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut. Hasil
lengkap pengamatan jumlah E. coli pada uji kompetisi bakteri patogen dengan
BAL dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut dapat dilihat pada
Lampiran 9.
4.0 4.0
8.9
8.0
9.2
0.7
0
2
4
6
8
10
12
Kontrol + E. coli Kompetisi+E.coli+
L.casei Rhamnosus
Perlakuan
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
l
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
48 jam

Gambar 13 Jumlah E. coli yang dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus
dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut segar.

Gambar 14 menunjukkan jumlah B. cereus pada uji kompetisi dengan
L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut. Pada uji
kompetisi antara bakteri B. cereus dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang
mengandung ekstrak ubi garut menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus dapat
menekan jumlah B. cereus sampai 1.5 log cfu/ml setelah diinkubasi selama 24 jam
dan 1.9 log cfu/ml setelah diinkubasi 48 jam. Sedangkan pada kontrol
(pertumbuhan B.cereus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut) jumlah
B.cereus meningkat sampai 3.6 log cfu/ml (setelah diinkubasi selama 24 jam
maupun 48 jam). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak ubi garut dapat pula
mendukung pertumbuhan B. cereus karena bakteri tersebut dapat memanfaatkan
ekstrak ubi garut sebagai sumber gula. Kenaikan atau penurunan jumlah B. cereus
pada uji kompetisi dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung
ekstrak ubi garut dapat dilihat pada Tabel 9. Hasil lengkap pengamatan jumlah
54
B.cereus pada uji kompetisi bakteri patogen dengan BAL dalam media yang
mengandung ekstrak ubi garut dapat dilihat pada Lampiran 10.
3.4 3.4
7.1
1.9
7.1
1.5
0
2
4
6
8
10
12
Kontrol+B.cereus Kompetisi + B.cereus +
L.casei Rhamnosus
Perlakuan
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
48 jam

Gambar14 Jumlah B. cereus yang dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus
dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut segar.

Tabel 9 Kenaikan atau penurunan jumlah B. cereus pada uji kompetisi dengan
L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut

Perlakuan
Jumlah B. cereus (log cfu/ml)
Pada inkubasi hari ke-
Kenaikan /penurunan
B. cereus (log cfu/ml)
H0
( 0 jam)
H1
(24 jam)
H2
(48 jam)
Setelah
24 jam
Setelah
48jam
Kontrol (Ekstrak garut +B.cereus) 3.4 7.1 7.1 3.7 3.6
Kompetisi (Ekstrak
garut+B.cereus+L.casei Rhamnosus) 3.4 1.9 1.5 -1.5 -1.9

Gambar 15 menunjukkan jumlah Salmonella pada uji kompetisi dengan
L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut. Pada uji
tersebut menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus dapat menekan jumlah
Salmonella sp sampai 3.5 log cfu/ml. Sedangkan pada kontrol (pertumbuhan
Salmonella sp dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut) jumlah
Salmonella sp meningkat sampai 1.8 log cfu/ml (setelah diinkubasi selama 24
jam) dan 4.0 log cfu/ml setelah diinkubasi selama 48 jam. Hal ini menunjukkan
bahwa Salmonella sp mampu memanfaatkan ekstrak ubi garut sebagai sumber
gula. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Vuyst (2005), menunjukkan bahwa
secara in vitro, beberapa Lactobacillus mampu menghambat Salmonella enterica
serovar Typimurium dan bakteri gram negatif lainnya yang dapat menyebabkan
gastroenteritis. Kenaikan atau penurunan jumlah Salmonella pada uji kompetisi
55
dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut
dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil pengamatan jumlah Salmonella sp pada uji
kompetisi bakteri patogen dengan BAL dalam media yang mengandung ekstrak
ubi garut dapat dilihat pada Lampiran 11.
3.9
9.0
2.5
9.1
0.4
4.0
0
2
4
6
8
10
12
Kontrol + Salmonella Kompetisi+Salmonella+
L.casei Rhamnosus)
Perlakuan
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
48 jam


Gambar15 Jumlah Salmonella sp yang dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus
dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut segar.

Tabel 10 Kenaikan atau penurunan jumlah Salmonella sp pada uji kompetisi
dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak
ubi garut

Perlakuan
Jumlah Salmonella sp
(log cfu/ml)
Pada inkubasi hari ke-
Kenaikan /penurunan
Salmonella sp
(log cfu/ml)
H0
( 0 jam)
H1
(24 jam)
H2
(48 jam)
Setelah
24 jam
Setelah
48jam
Kontrol (Ekstrak
garut+Salmonella) 4.0 9.0 9.1 4.9 5.0
Kompetisi (Ekstrak
garut+Salmonella+rhamnosus) 3.9 2.5 0.4 -1.4 -3.5

Pertumbuhan L. casei Rhamnosus yang dikompetisikan dengan bakteri
patogen dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut dapat dilihat pada
Gambar 16. Pada uji kompetisi antara bakteri E. coli dengan L. casei Rhamnosus
dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut menunjukkan bahwa jumlah
BAL setelah diinkubasi 24 jam naik 0.4 log cfu/ml dan tidak terjadi kenaikan
setelah diinkubasi 48 jam. Hasil uji kompetisi antara bakteri Salmonella sp
dengan L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut
56
8.3 8.2 8.4
8.6
8.2 8.2
-2
0
2
4
6
8
10
12
Kontrol+L.casei
Rhamnosus
Kompetisi+E.coli+L.casei
Rhamnosus
Perlakuan
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
48 jam

(a)
8.3 8.4 8.4 8.4
8.2 8.2
-2
0
2
4
6
8
10
12
Kontrol+L.casei
Rhamnosus
Kompetisi+Salmonella
+L.casei Rhamnosus
Perlakuan
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
48 jam

(b)
8.3 8.3
8.4
8.3 8.2
8.0
-2
0
2
4
6
8
10
12
Kontrol+L.casei
Rhamnosus
Kompetisi+B.cereus
+L.casei Rhamnosus
Perlakuan
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
48 jam

(c)
Gambar 16 Pertumbuhan L.casei Rhamnosus yang dikompetisikan dengan bakteri
patogen: E. coli, (b) Salmonella sp, (c) B. cereus pada media yang
mengandung ekstrak ubi garut segar.

menunjukkan jumlah BAL setelah inkubasi 24 jam tidak terjadi kenaikan dan
setelah inkubasi 48 jam terjadi penurunan 0.2 log cfu/ml. Hal yang sama terjadi
pula pada hasil uji kompetisi antara bakteri B. cereus dengan L. casei Rhamnosus
dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut menunjukkan bahwa jumlah
BAL setelah inkubasi 24 jam juga tidak terjadi kenaikan dan setelah inkubasi 48
jam terjadi penurunan 0.3 log cfu/ml. Hasil pengamatan jumlah BAL pada uji
57
kompetisi bakteri patogen dengan BAL dalam media yang mengandung ekstrak
ubi garut dapat dilihat pada Lampiran 12.
Penurunan jumlah patogen (E. coli, B. cereus dan Salmonella) yang
dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus dikarenakan L. casei Rhamnosus
mampu berkompetisi dengan patogen untuk mengambil substrat dan
menghasilkan asam laktat. Hal ini juga didukung oleh beberapa penelitian yang
menunjukkan bahwa BAL mampu menghasilkan asam-asam organik sebagai hasil
fermentasi gula seperti asam asetat dan laktat (Scheinbach 1998, Makinen dan
Bigret 2004), asam propionat, diasetil, reuterin (Ouwehand dan Vesterlund 2004).
Asam laktat dan asetat dapat menghambat bakteri lain (patogen) sedangkan asam
propionat lebih baik dalam menghambat pertumbuhan yeast dan kapang. Senyawa
penghambat lainnya yang dihasilkan BAL dalam jumlah kecil adalah hidrogen
peroksida (Scheinbach 1998, Ouwehand dan Vesterlund 2004), diasetil dan
reuterin (Ouwehand dan Vesterlund 2004), bakteriosin (Ouwehand dan
Vesterlund 2004, Scheinbach 1998, Makinen dan Bigret 2004). Proses
penghambatan yang dilakukan oleh bakteri-bakteri baik terhadap bakteri patogen
dengan melakukan kompetisi untuk mengambil substrat atau sumber nutrisi
(Scheinbach 1998) dan alterasi pH (Makinen dan Bigret 2004). Kelompok
Lactobacilli dapat mengurangi konstipasi dan diare, membantu meningkatkan
pertahanan terhadap serangan Salmonella, mencegah diare bawaan atau travellers
diarrhea (Manning et al. 2004).
Berdasarkan hasil uji kompetisi menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus
mampu berkompetisi dengan patogen (Salmonella sp, E. coli dan B. cereus) untuk
mengambil substrat dan menghasilkan asam laktat. Asam laktat merupakan salah
satu asam lemah dan sebagai asam organik yang merupakan hasil fermentasi
gula. Asam laktat memiliki sifat dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen,
hal ini dibuktikan dengan terjadinya penurunan jumlah patogen (Salmonella sp,
E.coli dan B. cereus). Mekanisme penghambatan pertumbuhan patogen oleh asam
lemah dikarenakan terjadinya akumulasi anion dalam sel akan menghambat
pertumbuhan mikroba karena kecepatan sintesa makromolekul menurun (Eklund
1980, 1985 dan Russell 1992 diacu dalam Ouwehand dan Vesterlund 2004).
Asam lemah yang tidak terdissosiasi bersifat lebih toksik dibandingkan dalam
58
bentuk terdissosiasi sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Asam
lemah yang tidak terdissosiasi mampu menembus dinding sel mikroba karena
asam tersebut larut dalam lemak. Di dalam sel mikroba yang memiliki pH netral,
maka asam organik terdissosiasi/terurai menjadi RCOO
-
dan H
+
(Padan et al.
1981 dan Slonczewski et al. 1981 diacu dalam Ouwehand dan Vesterlund 2004).
Lepasnya proton dalam sitoplasma menyebabkan pH di dalam sel turun sehingga
terjadi pH gradien akibatnya pertumbuhan mikroba terhambat. Menurut Eklund
1985 diacu dalam Ouwehand dan Vesterlund 2004, menyatakan bahwa
penghambatan pertumbuhan mikroba bukan karena adanya pelepasan proton
melainkan terjadinya akumulasi anion dalam sel.
Dari ketiga jenis patogen yang digunakan dalam uji kompetisi dengan
L. casei Rhamnosus menunjukkan bahwa penurunan jumlah B.cereus paling
rendah dibandingkan dengan penurunan jumlah E. coli dan Salmonella. Hal ini
dikarenakan B.cereus merupakan bakteri yang membentuk spora sehingga lebih
tahan dibandingkan E. coli dan Salmonella. Todar (2005) menyatakan bahwa
B.cereus merupakan spesies yang membentuk spora ellipsoid. Pada saat
kandungan nutrisi dalam media berkurang maka bakteri ini akan membentuk
endospora yang lebih tahan terhadap bahan kimia. Sedangkan pertumbuhan
L.casei Rhamnosus yang dikompetisikan dengan patogen menunjukkan bahwa
L.casei Rhamnosus masih dapat tumbuh dengan baik, hal ini menunjukkan bahwa
L. casei Rhamnosus mampu bersaing dengan patogen untuk mengambil substrat
atau sumber nutrisi.

C. POTENSI PREBIOTIK EKSTRAK UBI GARUT SECARA IN VIVO

Dalam pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo,
digunakan L. casei Rhamnosus sebagai probiotik, dan kombinasi pemberian
ekstrak ubi garut dengan L. casei Rhamnosus sebagai sinbiotik. Jumlah L. casei
Rhamnosus yang diberikan sebesar 10
10
sel. Pemilihan L. casei Rhamnosus
sebagai probiotik karena bakteri ini dapat tumbuh paling baik dalam media yang
mengandung ekstrak ubi garut (Gambar 12). Jumlah ekstrak ubi garut yang
diberikan sebanyak 0.26 ml/tikus/hari dengan konsentrasi ekstrak 20.34 % TPT.
Jumlah ransum yang dikonsumsi/hari/ekor tikus sebesar 15 g. Perhitungan
59
komposisi ransum standar yang diberikan dapat dilihat pada Lampiran 1. Data
pengamatan dan perhitungan jumlah L. casei Rhamnosus yang diberikan dapat
dilihat pada Lampiran 13. Perhitungan jumlah ekstrak ubi garut untuk sonde pada
pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut dengan L. casei Rhamnosus dapat
dilihat pada Lampiran 14. Berat badan tikus ditimbang setiap dua hari sekali
(Lampiran 15).
Keadaan Tikus Selama Penelitian. Sebanyak dua puluh empat ekor tikus
dibagi ke dalam empat kelompok, sehingga setiap kelompok terdiri dari enam
ekor tikus. Grafik peningkatan berat badan tikus tersebut dapat dilihat pada
Gambar 17. Selama penelitian baik kontrol, perlakuan prebiotik, probiotik
maupun sinbiotik secara umum menunjukkan berat badan tikus mengalami
kenaikan. Total peningkatan berat badan masing-masing kelompok diukur dari
selisih antara rata-rata berat badan tikus pada akhir masa penelitian dengan awal
penelitian. Kelompok kontrol mengalami peningkatan sebesar 40.8 g, kelompok
prebiotik garut mengalami peningkatan sebanyak 43.7 g, kelompok probiotik
meningkat berat badannya sebanyak 50 g dan kelompok sinbiotik meningkat
sebanyak 52.8 g. Peningkatan berat badan tertinggi terjadi pada kelompok
sinbiotik, sedangkan peningkatan terendah terjadi pada kelompok kontrol.
Peningkatan berat badan tikus menunjukkan bahwa tikus dalam kondisi sehat
selama penelitian.
Berdasarkan peningkatan berat badan tikus selama penelitian,
menunjukkan bahwa pemberian perlakuan dapat meningkatkan berat badan tikus
secara nyata dibandingkan dengan kontrol. Kenaikan berat badan tikus pada
perlakuan prebiotik (ekstrak ubi garut) tidak berbeda nyata dibandingkan dengan
kontrol. Sedangkan kenaikan berat badan tikus pada perlakuan probiotik (suspensi
L. casei Rhamnosus) maupun sinbiotik (campuran ekstrak ubi garut dan suspensi
L. casei Rhamnosus) mengalami kenaikan secara nyata dibandingkan dengan
kontrol. Kenaikan berat badan tikus untuk perlakuan prebiotik dibandingkan
dengan perlakuan probiotik tidak berbeda nyata, akan tetapi berbeda nyata bila
dibandingkan dengan perlakuan sinbiotik. Kenaikan berat badan tikus untuk
perlakuan probiotik dibandingkan dengan perlakuan sinbiotik tidak berbeda nyata.
Analisis ragam peningkatan berat badan tikus pada pengujian potensi prebiotik
60
ekstrak ubi garut secara in vivo dengan L. casei Rhamnosus dituangkan dalam
Lampiran 16.
150
200
250
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31
Pemeliharaan hari ke-
B
e
r
a
t

b
a
d
a
n

t
i
k
u
s

(
g
r
a
m
)
Rata2 Kontrol
Rata2 Prebiotik (garut)
Rata2 Probiotik
Rata2 Sinbiotik (garut)

Gambar 17 Peningkatan berat badan tikus (ekstrak ubi garut dengan
L. casei Rhamnosus).
Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Total Mikroba Feses Tikus.
Dibandingkan dengan kontrol, jumlah total mikroba feses pada kelompok
probiotik dan sinbiotik selama dilakukan penelitian mengalami kenaikan secara
nyata sampai H1 pasca perlakuan kemudian mengalami penurunan jumlah total
mikroba feses secara nyata ketika pemberian perlakuan dihentikan. Begitu pula
pada perlakuan prebiotik, pola perubahan jumlah total mikroba feses sama dengan
perlakuan probiotik dan sinbiotik, meskipun bila dibandingkan dengan kontrol
perubahan jumlah total mikroba feses tidak berbeda nyata. Sedangkan pada
perlakuan kontrol perubahan jumlah total mikroba naik turun dari waktu ke
waktu, meskipun kenaikan atau penurunannya antara 0.1 - 0.2 log cfu/g.
Mikroba yang berkontribusi dalam perhitungan jumlah total mikroba
merupakan mikroflora normal usus seperti Enterococcus, Enterobacteriaceae
(termasuk E. coli), Lactococcus, Leuconostoc dan Lactobacillus. Grafik
perubahan jumlah total mikroba feses keempat kelompok tikus dapat dilihat pada
Gambar 18. Sebelum perlakuan seluruh kelompok memiliki jumlah total mikroba
yang relatif sama, yaitu antara 8.7 - 8.9 log cfu/g. Pada perlakuan probiotik dan
61
sinbiotik, terjadi peningkatan jumlah total mikroba selama perlakuan sampai H1
pasca perlakuan. Peningkatan jumlah total mikroba diduga karena pada perlakuan
7
8
9
10
11
12
H0 H1 H5 H5 H10
Pengujian pada
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
g
)
Kontrol
Prebiotik
Probiotik
Sinbiotik
Perlakuan Pasca Perlakuan
H10 H1

Gambar 18 Perubahan jumlah total mikroba feses tikus pada kelompok:
(a) Kontrol, (b) Prebiotik (ekstrak ubi garut), (c) Probiotik
(L.casei Rhamnosus), (d) Sinbiotik (ekstrak ubi garut dan L.casei
Rhamnosus).

tersebut tikus diberi suspensi L. casei Rhamnosus (BAL). BAL bersama-sama
mikroflora usus dapat memfermentasi oligosakarida yang terdapat dalam ekstrak
ubi garut tersebut dan dapat berkolonisasi sehingga jumlah total mikroba feses
naik. Hasil pengamatan perubahanjumlah total mikroba feses pada pengujian
potensi prebiotik ekstrak ubi garut dengan L. casei Rhamnosus dapat dilihat pada
Lampiran 17. Analisis ragam perubahan jumlah total mikroba feses pada
pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo dengan L. casei
Rhamnosus dapat dilihat pada Lampiran 18.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah BAL Feses Tikus. Grafik
perubahan jumlah BAL feses keempat kelompok tikus selama penelitian dapat
dilihat pada Gambar 19. Perubahan jumlah BAL tidak selalu diikuti dengan
62
perubahan jumlah total mikroba. Hal tersebut dapat disebabkan karena populasi
mikroba dalam feses tikus tidak hanya terdiri dari BAL saja. Berdasarkan Gambar
19, pada hari ke-0 sebelum pemberian perlakuan, kandungan BAL dalam feses
untuk kelompok kontrol 8.7 log cfu/g, sedangkan kelompok prebiotik, probiotik
dan sinbiotik 8.3 log cfu/g. Pada H-1 perlakuan terjadi peningkatan jumlah BAL
feses, untuk kelompok kontrol dan prebiotik sebesar 0.1 log cfu/g, kelompok
probiotik sebesar 0.4 log cfu/g dan kelompok sinbiotik sebesar 0.8 log cfu/g.
Selama masa perlakuan jumlah BAL feses pada kelompok probiotik dan
sinbiotik mengalami peningkatan secara nyata dibandingkan dengan kelompok
kontrol dan prebiotik, akan tetapi ketika pemberian perlakuan dihentikan jumlah
BAL feses mengalami penurunan secara nyata. Data ini juga menunjukkan bahwa
L. casei Rhamnosus mampu bertahan pada kondisi ekstrim saluran pencernaan
dan dapat mencapai usus. Dibandingkan dengan kelompok kontrol, kelompok
prebiotik mengalami kenaikan jumlah BAL feses secara nyata selama masa
perlakuan, namun jumlah BAL feses menurun ketika pemberian perlakuan
6
7
8
9
10
11
12
Pengujian pada
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
g
)
Kontrol
Prebiotik
Probiotik
Sinbiotik
Perlakuan Pasca perlakuan
H0 H1
H0 H1
H5
H0 H1
H1
H0 H1
H10
H0 H1
H5
H0 H1
H10
H0 H1

Gambar 19 Perubahan jumlah BAL dalam feses tikus pada kelompok:
(a) Kontrol, (b) Prebiotik (ekstrak ubi garut), (c) Probiotik
(L.casei Rhamnosus), (d) Sinbiotik (ekstrak ubi garut dan
L.casei Rhamnosus).
63
dihentikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian prebiotik (ekstrak ubi garut)
dapat menaikkan jumlah BAL pada saluran pencernaan, dan kenaikan lebih nyata
bila ekstrak ubi garut diberikan bersama-sama dengan L. casei Rhamnosus
(sinbiotik). Menurut Surono (2004), pola diet dapat mempengaruhi komposisi
bakteri dalam usus dan penelitian membuktikan bahwa populasi bakteri jahat
dalam tinja pengkonsumsi makanan tinggi lemak dan protein tetapi rendah serat
akan lebih tinggi dibandingkan konsumen yang mengkonsumsi lebih banyak
sayuran. Menurut Gibson (2004), adanya prebiotik menyebabkan sebagian
komposisi flora usus berubah akibat terjadinya fermentasi prebiotik, termasuk
perubahan strain Bifidobacterium spp, Lactobacillus spp, dan bakteri representatif
lainnya seperti Bacteroides spp, Clostridium spp dan Escherichia coli. Hasil
pengamatan perubahan jumlah BAL feses pada pengujian potensi prebiotik
ekstrak ubi garut dengan L. casei Rhamnosus dapat dilihat pada Lampiran 19.
Analisis ragam perubahan jumlah BAL feses pada pengujian potensi prebiotik
ekstrak ubi garut secara in vivo dengan L. casei Rhamnosus dapat dilihat pada
Lampiran 20.
Hasil penelitian Krisnayudha (2007), menunjukkan ekstrak ubi garut
mengandung glukosa, fruktosa, sukrosa, rafinosa dan oligofruktosa. Adanya
rafinosa dan oligofruktosa pada ekstrak ubi garut maka ekstrak ubi garut dapat
berfungsi sebagai prebiotik sehingga diduga ekstrak ubi garut dapat menstimulasi
bakteri yang menguntungkan dalam saluran pencernaan (probiotik). Laktulosa,
oligofruktosa, galaktooligosakarida, oligosakarida kedelai, laktosukrosa,
isomaltooligosakarida, glukooligosakarida, xylooligosakarida, dan palatinosa juga
merupakan oligosakarida yang berpotensi sebagai prebiotik (Manning et al. 2004).
Buddington et al. (2002) diacu dalam Manning et al. 2004, menunjukkan bahwa
tikus yang diberi FOS dan inulin dapat mencegah masuknya patogen enterik dan
sistemik (termasuk E. coli O157:H7 dan Campylobacters) maupun tumor inducer.
Gibson et al. (2000) didalam Manning et al (2004), membuktikan bahwa
pemberian FOS, GOS dan laktulosa dalam jangka waktu pendek dapat mengubah
komposisi mikroflora usus dan meningkatkan jumlah Bifidobacteria. Menurut
Bouhnik et al. (1996) diacu dalam Manning et al (2004), menunjukkan bahwa
pemberian FOS dapat menurunkan enzim-enzim genotoksik sebagai akibat dari
64
meningkatkan jumlah Bifidobacteria. Menurut Manning et al. (2004), pemberian
FOS sebanyak 4 8 g/hari dapat menaikkan secara nyata jumlah Bifidobacteria
dalam pencernaan manusia. Dengan demikian diduga kenaikan jumlah BAL pada
perlakuan prebiotik dan sinbiotik menunjukkan bahwa ekstrak ubi garut memiliki
potensi sebagai prebiotik. Penurunan BAL feces pada pasca perlakuan diduga
karena laju pertumbuhan BAL akan menurun ketika pemberian perlakuan
dihentikan sehingga jumlah substrat berkurang, akibatnya laju pertumbuhan BAL
akan terhambat.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah E. coli Feses Tikus. Grafik
perubahan jumlah E.coli keempat kelompok tikus selama penelitian dapat dilihat
pada Gambar 20. Jumlah awal E.coli feses tikus pada awal perlakuan untuk
seluruh perlakuan hampir sama yaitu antara 8.4 8.6 log cfu/g. Pada kelompok
kontrol jumlah E.coli selama penelitian (baik sebelum perlakuan, masa perlakuan
dan pasca perlakuan) mengalami peningkatan secara nyata. Dibandingkan dengan
6
7
8
9
10
11
12
Pengujian pada
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
g
)
Kontrol
Prebiotik
Probiotik
Sinbiotik
Perlakuan Pasca perlakuan
H0 H1 H5 H10 H1 H5 H10

Gambar 20 Perubahan jumlah E. coli pada feses tikus pada kelompok:
(a) Kontrol, (b) Prebiotik (ekstrak ubi garut), (c) Probiotik
(L.casei Rhamnosus), (d) Sinbiotik (ekstrak ubi garut dan L.casei
Rhamnosus).
65
kontrol, maka pada kelompok prebiotik, probiotik dan sinbiotik terjadi penurunan
jumlah E. coli feses secara nyata selama masa perlakuan sampai H1 pasca
perlakuan, dan naik kembali ketika perlakuan dihentikan. Pada kelompok
prebiotik, selama masa perlakuan sampai H-1 pasca perlakuan terjadi penurunan
E. coli sampai 1.4 log cfu/g, setelah itu jumlah E. coli feses kembali naik. Pada
kelompok probiotik, selama masa perlakuan sampai H-1 pasca perlakuan terjadi
penurunan jumlah E.coli feses sampai 1.6 log cfu/g, setelah itu jumlah E. coli
feses kembali naik. Pada kelompok sinbiotik, selama masa perlakuan sampai H-1
pasca perlakuan terjadi penurunan jumlah E. coli feses sampai 1.7 log cfu/g,
setelah itu jumlah E.coli feses kembali naik. Data lengkap hasil pengamatan
perubahan jumlah E.coli feses pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut
dapat dilihat pada Lampiran 21. Analisis ragam perubahan jumlah E.coli feses
pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo dapat dilihat
pada Lampiran 22.
Penurunan jumlah E. coli feses pada kelompok prebiotik, probiotik dan
sinbiotik selama masa perlakuan sampai H-1 pasca perlakuan diduga karena
terjadi kenaikan jumlah metabolit BAL (seperti asam laktat dan asam asetat) yang
dihasilkan meningkat, sehingga pH usus menjadi turun. Penurunan pH
menyebabkan pertumbuhan E. coli terhambat. Asam laktat dan asetat yang
merupakan asam organik tersebut dapat bersifat anti mikroba sehingga
pertumbuhan patogen seperti E. coli terhambat. Hal ini juga didukung oleh data
pengujian kompetisi antara bakteri patogen (E. coli, B. cereus dan Salmonella sp)
dengan L.casei Rhamnosus yang menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus dapat
menekan pertumbuhan E. coli sampai 3.5 log cfu/ml setelah diinkubasi selama
48 jam. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Buddington et al. (2002) diacu
dalam Manning et al. (2004), membuktikan bahwa pemberian FOS dan inulin
(prebiotik) pada tikus dapat mencegah masuknya tumor inducer dan patogen
(termasuk E.coli O157:H7 dan campylobacter). Hasil-hasil penelitian terdahulu
(Hayakawa et al. 1990 diacu dalam Manning et al. 1998, Hidaka et al. 1986,
Gibson et al. 1995 diacu dalam Manning et al. 1998), membuktikan bahwa
prebiotik dapat meningkatkan ketahanan inang terhadap serangan patogen karena
kemampuannya dalam meningkatkan jumlah Bifidobacteria maupun Lactobacilli.
66
Asam laktat yang dihasilkan oleh Bifidobacteria dan Lactobacilli memiliki sifat
inhibitory (penghambat), karena dapat menurunkan pH pencernaan sehingga
patogen tidak mampu berkompetisi untuk hidup (Manning et al. 2004). Hasil
penelitian yang dilakukan Todorov dan Dicks (2005) menunjukkan bahwa
Lactobacillus rhamnosus yang diisolasi dari minuman fermentasi cereal
menggunakan yeast dan BAL (boza) dapat memproduksi bakteriosin ST461BZ
dan ST462BZ yang mampu menghambat pertumbuhan Escherichia coli, L. casei,
Enterococcus faecalis dan Pseudomonas aeruginosa.
Pengaruh Pemberian Perlakuan Terhadap Keberadaan Salmonella sp
dalam Feses Tikus. Selain dilakukan pengujian mikrobiologis secara kuantitatif
dilakukan juga pengujian secara kualitatif terhadap feses tikus yaitu pengujian ada
atau tidaknya kandungan Salmonella selama dan pasca perlakuan, hasil pengujian
(Tabel 11). Hasil uji Salmonella, menunjukkan bahwa terdapat sampel yang
positif mengandung c pada semua perlakuan. Pada kelompok kontrol, pada saat
sebelum perlakuan, H-5 dan H-10 pasca perlakuan terdapat 1 sampel yang positif
Salmonella dari 3 sampel yang diujikan. Pada kelompok prebiotik menunjukkan
pada H-1 perlakuan terdapat 1 sampel yang positif Salmonella dari 3 sampel yang
diujikan, dan selama masa perlakuan maupun setelah pasca perlakuan hasil uji
Salmonella negatif. Pada kelompok probiotik menunjukkan bahwa sebelum
perlakuan terdapat 1 sampel yang positif Salmonella dari 3 sampel yang diujikan,
dan selama masa perlakuan maupun setelah pasca perlakuan hasil uji Salmonella
negatif. Sedangkan pada kelompok sinbiotik menunjukkan bahwa pada H-5
perlakuan dan H-10 pasca perlakuan, terdapat 1 sampel yang positif Salmonella
dari 3 sampel yang diujikan. Meskipun secara in vitro menunjukkan bahwa
L.casei Rhamnosus yang dikompetisikan dengan Salmonella dapat menekan
pertumbuhan Salmonela, namun secara in vivo pemberian perlakuan belum
nampak pengaruhnya dalam menekan pertumbuhan Salmonella. Diduga pada
tikus SD yang digunakan sudah mengandung Salmonella dalam pencernaannya
sebelum tikus tersebut digunakan dalam penelitian. Karena tikus yang digunakan
tidak dipelihara sejak tikus tersebut dilahirkan sehingga jenis ransum yang
diberikan dan tingkat sanitasi yang dilakukan sebelum tikus digunakan untuk
penelitian diabaikan. Menurut Gallan dan Curtiss (1991) diacu dalam Hirano et al.
67
(2003), Salmonella mampu menginvasi epitelium dan dapat hidup dalam
lingkungan intracelluler. Hirano et al. (2003), menemukan bahwa L. casei
Rhamnosus yang digunakan secara in vivo tidak dapat mempengaruhi invasi
Salmonella enteritidis yang berpotensi invasif. Data lengkap hasil pengamatan
pengujian Salmonella sp dalam feses pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi
garut secara in vivo dengan L. casei Rhamnosus dapat dilihat pada Lampiran 23.
Hasil pengujian keberadaan Salmonella sp dalam feses pada pengujian
potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo berbeda dengan hasil pengujian
uji kompetisi antara L. casei Rhamnosus dengan patogen secara in vitro. Pada
pengujian secara in vitro, menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus mampu
menekan jumlah Salmonella sp hingga 3.5 log cfu/g. Hal ini disebabkan pada
pengujian secara in vitro, adanya kandungan gula-gula sederhana (glukosa,
fruktosa dan sukrosa) yang lebih tinggi dibandingkan dengan oligosakarida yang
terdapat dalam ekstrak ubi garut. Gula-gula sederhana tersebut akan lebih mudah
digunakan sebagai sumber energi oleh L. casei Rhamnosus dibandingkan dengan
oligosakarida. Sementara itu, pada pengujian secara in vivo, gula sederhana
diserap oleh usus halus dan yang tersedia sebagai substrat BAL adalah
oligosakarida. Dengan hanya tersedia oligosakarida, metabolit yang dihasilkan
lebih sedikit sehingga belum terlihat pemberian perlakuan dapat menekan
pertumbuhan Salmonella sp.
Tabel 11 Hasil pengujian Salmonella dalam feses secara kualitatif pada pengujian
potensi prebiotik ekstrak ubi garut

Kelompok
Dugaan Salmonella*
Periode perlakuan, hari ke- Periode pasca perlakuan, hari ke-
0 1 5 10 1 5 10
Kontrol 1/3 0/3 0/3 0/3 0/3 1/3 1/3
Prebiotik 0/3 1/3 0/3 0/3 0/3 0/3 0/3
Probiotik 1/3 0/3 0/3 0/3 0/3 0/3 0/3
Sinbiotik 0/3 0/3 1/3 0/3 0/3 0/3 1/3
*) jumlah sampel yang menunjukan hasil positif Salmonella / jumlah sampel yang diuji.




68
D. POTENSI PREBIOTIK EKSTRAK UBI JALAR DAN HASIL OLAHAN
(COOKIES UBI JALAR DAN SPF) SECARA IN VITRO

1. Pertumbuhan BAL dalam media yang mengandung ekstrak ubi jalar dan
hasil olahan (cookies ubi jalar dan SPF).
Untuk melihat pertumbuhan BAL dalam ekstrak ubi jalar dan cookies ubi
jalar digunakan bakteri L. casei Rhamnosus, L.casei Shirota, Lactobacillus G3,
Lactobacillus F1, B. bifidum dan B. longum, sedangkan untuk melihat
pertumbuhan BAL dalam ekstrak SPF digunakan L. casei Rhamnosus, L. casei
Shirota, Lactobacillus G3, Lactobacillus F1. Dari hasil uji menunjukkan bahwa
L.casei Rhamnosus, L. casei Shirota, Lactobacillus F1 dan Lactobacillus G3 dapat
tumbuh baik dalam media yang mengandung ekstrak SPF.
L. casei Rhamnosus dan Lactobacillus F1 dapat tumbuh lebih baik
dibandingkan L. casei Shirota dan Lactobacillus G3 dalam media yang
mengandung ekstrak SPF. Di dalam SPF terdapat gula-gula yang berasal dari ubi
jalar yaitu glukosa, fruktosa, sukrosa, maltosa, maltotriosa, rafinosa (Marlis 2008,
belum dipublikasikan), berasal dari tepung kedelai yaitu rafinosa dan stakiosa
(Smiricky 2001). Seluruh BAL uji dapat memanfaatkan ekstrak ubi jalar sebagai
sumber gula untuk pertumbuhannya. Pertumbuhan L. casei Rhamnosus,
Lactobacillus F1, dan Lactobacillus G3 tumbuh lebih baik dalam media yang
mengandung ekstrak cookies ubi jalar dibandingkan dalam media yang
mengandung ekstrak ubi jalar. Hal ini juga didukung hasil penelitian yang
dilakukan oleh Nuraida et al. (2004) menunjukkan bahwa oligosakarida ubi jalar
berpotensi sebagai prebiotik dengan mendukung pertumbuhan Lactobacillus dan
Bifidobacteria yang diketahui dapat bertahan dalam saluran pencernaan. Ekstrak
oligosakarida ubi jalar putih varietas Sukuh mampu mendukung pertumbuhan
Lactobacillus dan Bifidabacteria lebih baik dari pada ekstrak yang diperoleh dari
ubi jalar merah varietas Sukuh.
L. casei Rhamnosus, Lactobacillus F1, dan Lactobacillus G3 dapat
tumbuh lebih baik dalam media yang mengandung ekstrak cookies ubi jalar
dibandingkan dalam media yang mengandung ekstrak ubi jalar. Hal ini
disebabkan dalam cookies ubi jalar mengandung gula-gula dan oligosakarida yang
dapat dimanfaatkan oleh ketiga jenis BAL tersebut. Dalam pembuatan cookies ubi
69
jalar ditambahkan sukrosa sehingga komponen gula dalam cookies lebih tinggi
dibandingkan yang ada dalam ubi jalar. Adanya gula sederhana menyebabkan
BAL tersebut dapat langung memanfaatkan gula-gula sederhana untuk
pertumbuhannya. Data lengkap hasil pengamatan jumlah BAL pada pengujian
7.4
7.1
7.7
7.3
7.1
8.4
8.7
10.4
9.0
7.9
1.0
1.6
2.7
1.7
0.8
0
2
4
6
8
10
12
Ubi jalar Cookies SPF Glukosa Kontrol
Jenis gula
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
l
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
Kenaikan


7.5
7.7 7.9 7.8 7.8
8.3 8.3
10.2
8.9
8.2
0.8
0.5
2.4
1.1
0.5
0
2
4
6
8
10
12
Ubi jalar Cookies SPF Glukosa Kontrol
Jenis gula
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
l
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
Kenaikan

(a)

(b)
7.8 7.9
7.7
7.9
7.7
9.2 9.1
10.4
9.1
8.6
1.4
1.2
2.7
1.3
0.9
0
2
4
6
8
10
12
Ubi jalar Cookies SPF Glukosa Kontrol
Jenis gula
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
l
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
Kenaikan


8.3 8.4
8.1
8.2 8.1
9.1
9.5
9.8
9.2
8.8
0.7
1.1
1.8
1.0
0.7
0
2
4
6
8
10
12
Ubi jalar Cookies SPF Glukosa Kontrol
Jenis gula
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
l
o
g

c
f
u
U
/
m
l
)
0 jam
24 jam
Kenaikan

(c)

(d)
7.3 7.3 7.4
7.1
8.2
8.9
9.1
8.0
0.9
1.6 1.7
1.0
0
2
4
6
8
10
12
Ubi jalar Cookies Glukosa Kontrol
Jenis gula
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
l
o
g

c
f
u
/
m
l
)0 jam
24 jam
Kenaikan


8.0 7.9
8.1
7.7
9.2
9.6
8.4
8.6
1.2
1.6
0.4
0.9
0
2
4
6
8
10
12
Ubi jalar Cookies Glukosa Kontrol
Jenis gula
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
l
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
Kenaikan

(e)

(f)
Gambar 21 Pertumbuhan BAL dalam ekstrak ubi jalar dan hasil olahan (cookies
ubi jalar dan SPF): (a) L. casei Rhamnosus, (b) L. casei Shirota,
(c) Lactobacillus F1, (d) Lactobacillus G3, (e) B. longum,
(f) B. bifidum.
70
ekstrak ubi jalar dan hasil olahan (cookies ubi jalar dan SPF) secara in vitro dapat
dilihat pada Lampiran 24.
Karena L. casei Rhamnosus tumbuh paling baik dalam media yang
mengandung ekstrak SPF, maka BAL tersebut dipilih untuk digunakan dalam
pengujian berikutnya yaitu pengujian kompetisi antara L. casei Rhamnosus
dengan patogen dalam media yang mengandung ekstrak SPF secara in vitro
maupun pengujian potensi prebiotik SPF secara in vivo.
2. Kompetisi patogen dengan BAL dalam media yang mengandung ekstrak
SPF

Pertumbuhan E. coli pada uji kompetisi dengan L. casei Rhamnosus dalam
media yang mengandung ekstrak SPF dapat dilihat pada Gambar 22. Pengujian
kompetisi bertujuan untuk melihat kemampuan BAL (L. casei Rhamnosus) dalam
menghambat pertumbuhan bakteri patogen dengan memanfaatkan ekstrak SPF
sebagai sumber gula. Bakteri patogen yang digunakan adalah E. coli, B. cereus
dan Salmonella sp. Hasil uji kompetisi antara bakteri E. coli dengan L. casei
Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF menunjukkan bahwa
L. casei Rhamnosus dapat menekan jumlah E. coli sampai 3.9 log cfu/ml.

3.8
3.9
8.8 8.7
9.6
0.0
0
2
4
6
8
10
12
Kontrol + E.coli Kompetisi+ E.coli+
L.casei Rhamnosus
Perlakuan
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
l
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
48 jam


Gambar 22 Pertumbuhan E. coli yang dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus
dalam media yang mengandung ekstrak SPF.

Sedangkan pertumbuhan E. coli dalam media yang mengandung ekstrak SPF
(kontrol) meningkat sampai 5.0 log cfu/ml (setelah diinkubasi selama 24 jam) dan
71
5.8 log cfu/ml setelah diinkubasi selama 48 jam. Tabel 12 menunjukkan
perubahan jumlah E. coli setelah dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus.
Hasil pengamatan lengkap jumlah E. coli yang dikompetisikan dengan L.casei
Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF dapat dilihat pada
Lampiran 25.
Tabel 12. Perubahan jumlah E. coli setelah dikompetisikan dengan L. casei
Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF

Perlakuan
Jumlah E. coli (log cfu/ml)
Pada inkubasi hari ke-
Kenaikan /penurunan
E. coli (log cfu/ml)
H0
( 0 jam)
H1
(24 jam)
H2
(48 jam)
Setelah
24 jam
Setelah
48jam
Kontrol (Ekstrak SPF+ E. coli) 3.8 8.8 9.6 5.0 5.8
Kompetisi (Ekstrak SPF+ E. coli+
L. casei Rhamnosus) 3.9 8.7 0.0 4.9 -3.9

Pertumbuhan B. cereus yang dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus
dalam media yang mengandung ekstrak SPF dapat dilihat pada Gambar 23. Hasil
uji kompetisi antara bakteri B. cereus dengan L. casei Rhamnosus dalam media
yang mengandung ekstrak SPF menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus dapat
menekan jumlah B. cereus sampai 3.1 log cfu/ml. Sedangkan pertumbuhan
B.cereus yang tidak dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus (kontrol)
mengalami peningkatan sampai 3.0 log cfu/ml (setelah diinkubasi selama 24 jam)
dan 3.4 log cfu/ml setelah diinkubasi selama 48 jam. Tabel 13 menunjukkan
perubahan jumlah B.cereus setelah dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus.
Hasil pengamatan lengkap jumlah B. cereus yang dikompetisikan dengan L. casei
3.0
3.4
6.0
0.5
6.3
0.4
0
2
4
6
8
10
12
Kontrol +B.cereus Kompetisi + B.cereus +
L.casei Rhamnosus
Perlakuan
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
48 jam

Gambar 23 Pertumbuhan B. cereus yang dikompetisikan dengan L.casei
Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF.
72
Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF dapat dilihat pada
Lampiran 26.
Tabel 13. Perubahan jumlah B. cereus setelah dikompetisikan dengan L. casei
Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF

Perlakuan
Jumlah B. cereus (log cfu/ml)
Pada inkubasi hari ke-
Kenaikan /penurunan
B. cereus (log cfu /ml)
H0
( 0 jam)
H1
(24 jam)
H2
(48 jam)
Setelah
24 jam
Setelah
48jam
Kontrol (Ekstrak SPF +B. cereus) 3.0 6.0 6.3 3.0 3.4
Kompetisi (Ekstrak SPF +B. cereus +
L. casei Rhamnosus) 3.4 0.5 0.4 -3.0 -3.1

Hasil uji kompetisi antara bakteri Salmonella sp dengan L. casei
Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF menunjukkan bahwa
L.casei Rhamnosus dapat menekan jumlah Salmonella sp sebesar 1.5 log cfu/ml
(inkubasi 24 jam) dan 3.9 log cfu/ml (inkubasi 48 jam). Sedangkan dalam media
yang mengandung ekstrak SPF (kontrol) jumlah Salmonella sp meningkat sampai
5.2 log cfu/ml (inkubasi 24 jam) dan 5.4 log cfu/ml (inkubasi 48 jam). Tabel 14
menunjukkan perubahan jumlah Salmonella setelah dikompetisikan dengan
L.casei Rhamnosus. Hasil pengamatan lengkap jumlah Salmonella yang
dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung
ekstrak SPF dapat dilihat pada Lampiran 27.
3.8 3.9
9.0
2.4
9.2
0.0
0
2
4
6
8
10
12
Kontrol + Salmonella Kompetisi+Salmonella+
L.casei Rhamnosus)
Perlakuan
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
48 jam

Gambar 24 Pertumbuhan Salmonella sp yang dikompetisikan dengan L. casei
Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF.


73
Tabel 14 Perubahan jumlah Salmonella sp setelah dikompetisikan dengan L.casei
Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF

Perlakuan
Jumlah Salmonella sp
(log CFU/ml)
Pada inkubasi hari ke-
Kenaikan
/penurunan
Salmonella sp
(log CFU/ml)
H0
( 0 jam)
H1
(24 jam)
H2
(48 jam)
Setelah
24 jam
Setelah
48jam
Kontrol (Ekstrak SPF+Salmonella sp) 3.8 9.0 9.2 5.2 5.4
Kompetisi (Ekstrak SPF+Salmonella sp
+ L. casei Rhamnosus) 3.9 2.4 0.0 -1.5 -3.9

Dari ketiga jenis patogen yang digunakan pada uji kompetisi dengan
L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF menunjukkan
bahwa penurunan jumlah B. cereus paling rendah dibandingkan dengan
penurunan jumlah E. coli dan Salmonella. Hal ini dikarenakan B. cereus
merupakan bakteri yang membentuk spora sehingga lebih tahan dibandingkan
E. coli dan Salmonella. Batt (1999
a
), menyatakan bahwa B. cereus merupakan
spesies yang membentuk spora yang tahan terhadap suhu pemasakan. Todar

(2005) menyatakan bahwa B. cereus merupakan spesies yang membentuk spora
ellipsoid. Pada saat kandungan nutrisi dalam media berkurang maka bakteri ini
akan membentuk endospora yang lebih tahan terhadap bahan kimia.
Tabel 15 Perubahan jumlah L.casei Rhamnosus setelah dikompetisikan dengan
patogen dalam media yang mengandung ekstrak SPF

Perlakuan
H0
log
cfu/ml
H1
log cfu
cfu /ml
H2
log cfu
cfu /ml
Kenaikan atau
penurunan jumlah BAL
log cfu cfu /ml
Setelah 24
jam
Setelah 48
jam
Kontrol (Ekstrak SPF +L.casei
Rhamnosus) 8.4 8.6 8.3 0.2 -0.2
Kompetisi (Ekstrak SPF+E.coli+L.
casei Rhamnosus) 8.5 8.7 8.4 0.2 -0.1
Kompetisi Ekstrak (SPF+Salmonella
sp+L.casei Rhamnosus) 8.4 8.6 8.3 0.1 -0.2
Kompetisi (Ekstrak
SPF+B.cereus+L.casei Rhamnosus) 8.3 8.5 8.1 0.2 -0.2

Hasil uji kompetisi antara L. casei Rhamnosus dengan patogen dalam
media yang mengandung ekstrak SPF, menunjukkan bahwa patogen tidak
mempengaruhi pertumbuhan L.casei Rhamnosus (Gambar 25), akan tetapi L casei
Rhamnosus mampu menghambat E. coli dan Salmonella sp sampai 3.9 log cfu/ml
74
serta menghambat B. cereus sampai 3.1 log cfu/ml. Hal ini menunjukkan bahwa
L. casei Rhamnosus dapat berkompetisi dengan baik untuk mengambil substrat.
Adanya gula-gula sederhana dan oligosakarida yang terdapat dalam ekstrak SPF

8.3 8.2
8.4
8.6
8.2 8.2
-2
0
2
4
6
8
10
12
Kontrol+L.casei
Rhamnosus
Kompetisi+E.coli+L.casei
Rhamnosus
Perlakuan
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
48 jam

(a)
8.4 8.4
8.6 8.6
8.3 8.3
-2
0
2
4
6
8
10
12
Kontrol+ L.casei
Rhamnosus
Kompetisi+Salmonella
+L.casei Rhamnosus
Perlakuan
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
48 jam

(b)
8.4 8.3
8.6 8.5
8.3
8.1
-2
0
2
4
6
8
10
12
Kontrol+ L.casei
Rhamnosus
Kompetisi+B.cereus
+L.casei Rhamnosus
Perlakuan
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
m
l
)
0 jam
24 jam
48 jam

(c)

Gambar 25 Pertumbuhan L. casei Rhamnosus yang dikompetisikan dengan
patogen dalam media yang mengandung ekstrak SPF.
75
akan menstimulir pertumbuhan BAL (L. casei Rhamnosus). L. casei Rhamnosus
akan menghasilkan asam laktat (Scheinbach 1998; Makinen dan Bigret 2004;
Ouwehand dan Vesterlund 2004) menyebabkan pH media turun sehingga
pertumbuhan bakteri patogen terhambat. Hasil pengamatan lengkap jumlah BAL
yang dikompetisikan dengan patogen dalam media yang mengandung ekstrak SPF
dapat dilihat pada Lampiran 28.

E. PENGUJIAN POTENSI PREBIOTIK SPF SECARA IN VIVO

Pengujian in vivo dilakukan untuk mengetahui sifat prebiotik sweet potato
flakes (SPF), L. casei Rhamnosus sebagai probiotik dan kombinasi pemberian
ransum SPF dengan L. casei Rhamnosus sebagai sinbiotik. Jumlah SPF yang
disubstitusikan dalam ransum SPF sebesar 35%. Jumlah L. casei Rhamnosus
yang diberikan sebesar 10
10
CFU/ml. Komposisi ransum standar, metode
pengujian dan parameter yang diuji sama dengan yang digunakan pada pengujian
potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo. Adapun perhitungan komposisi
ransum SPF yang diberikan dapat dilihat pada Lampiran 4.
Keadaan Tikus Selama Penelitian. Grafik peningkatan berat badan tikus
tersebut dapat dilihat pada Gambar 26. Selama masa pemeliharaan, berat badan
tikus semua kelompok meningkat, baik pada masa adaptasi, perlakuan maupun
pada pasca perlakuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama penelitian tikus
dalam kondisi yang sehat. Kelompok kontrol mengalami peningkatan sebanyak
40.8 g, kelompok probiotik meningkat sebanyak 50 g, kelompok prebiotik (SPF)
mengalami peningkatan sebanyak 46.1 g dan kelompok sinbiotik (SPF) meningkat
sebanyak 45.3 g.
Pemberian perlakuan tidak mempengaruhi kenaikan berat badan tikus
secara nyata, peningkatan berat badan tertinggi terjadi pada kelompok probiotik,
sedangkan peningkatan terendah terjadi pada kelompok kontrol. Rata-rata
perubahan berat badan tikus pada pengujian potensi prebiotik SPF dapat dilihat
pada Lampiran 29. Analisis ragam peningkatan berat badan tikus pada pengujian
potensi prebiotik SPF dapat dilihat pada Lampiran 30.

76
150
200
250
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31
Pemeliharaan hari ke-
B
e
r
a
t

b
a
d
a
n

t
i
k
u
s

(
g
r
a
m
)
Rata2 Kontrol
Rata2 Probiotik
Rata2 Prebiotik (SPF)
Rata2 Sinbiotik (SPF)

Gambar 26 Peningkatan berat badan tikus (SPF dengan L. casei Rhamnosus).
Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Total Mikroba Feses Tikus.
Perubahan jumlah total mikroba pada feses tikus dapat dilihat pada Gambar 27.
Pada kelompok kontrol, jumlah total mikroba awal sampai H-10 perlakuan relatif
sama (8.9 log cfu/g), pada H-1 pasca perlakuan mengalami kenaikan sebesar 0.2
log cfu/g kemudian turun pada hari-hari berikutnya. Dibandingkan dengan
kontrol, jumlah total mikroba feses selama perlakuan sampai H1 pasca perlakuan
pada kelompok probiotik dan sinbiotik mengalami kenaikan secara nyata, namun
setelah perlakuan dihentikan maka jumlahnya menurun secara nyata. Jumlah total
mikroba feses pada kelompok prebiotik memiliki pola yang sama dengan
kelompok probiotik dan sinbiotik, meskipun tidak berbeda nyata dibandingkan
dengan kontrol. Pada perlakuan probiotik terjadi kenaikan jumlah total mikroba
feses (1.6 log cfu/g) secara nyata dibandingkan dengan kelompok lainnya dan
menurun secara nyata setelah perlakuan dihentikan. Menurut Hong et al. (2004),
jenis bakteri dominan yang terdapat dalam usus besar dan usus halus adalah
Lactobacillus, Streptococcus, Enterobacteria, Bifidobacteria, Bacteroides,
Clostridia dan Bacillus. BAL berkontribusi menghasilkan enzim dalam usus,
seperti -galaktosidase (laktase). Asupan oligosakarida dari SPF meningkatkan
ketersediaan oligosakarida dalam kolon sehingga meningkatkan jumlah total
mikroba. Sementara itu pemberian BAL secara langsung meningkatkan jumlah
77
total mikroba dalam feses. Hasil pengamatan jumlah total mikroba feses pada
pengujian potensi prebiotik SPF secara in vivo dapat dilihat pada Lampiran 31.
Analisis ragam perubahan jumlah total mikroba feses pada pengujian potensi
prebiotik SPF secara in vivo dapat dilihat pada Lampiran 32.
7
8
9
10
11
12
H0 H1 H5 H5 H10
Pengujian pada
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
g
)
Kontrol
Probiotik
Prebiotik
Sinbiotik
Perlakuan Pasca perlakuan
H10 H1

Gambar 27 Perubahan jumlah total mikroba feses tikus pada kelompok:
(a) Kontrol, (b) Prebiotik (SPF), (c) Probiotik (L. casei
Rhamnosus), (d) Sinbiotik (SPF dan L. casei Rhamnosus).

Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah BAL Feses Tikus. Perubahan
jumlah BAL dalam feses tikus dapat dilihat pada Gambar 28. Pada kelompok
kontrol, jumlah BAL dalam feses pada awal sampai H-10 perlakuan jumlahnya
relatif sama yaitu 8.7 log cfu/g, kemudian pada H-1 pasca perlakuan mengalami
penurunan sebesar 0.5 log cfu/ml kemudian semakin berkurang pada hari-hari
berikutnya. Jumlah BAL dalam feses pada awal pada perlakuan untuk kelompok
prebiotik 8.3 log cfu/g, selama perlakuan (pemberian ransum perlakuan SPF)
mengalami kenaikan sampai H-10 perlakuan mencapai 9.1 log cfu/g, akan tetapi
setelah H-10 perlakuan jumlah BAL menurun. Jumlah BAL dalam feses pada
awal perlakuan untuk kelompok probiotik 8.3 log cfu/g, kemudian terus
78
mengalami peningkatan sampai 10.0 log cfu/g selama masa perlakuan dan
menurun setelah H-1 pasca perlakuan. Jumlah BAL dalam feses pada awal untuk
kelompok sinbiotik 8.3 log cfu/g, kemudian terus mengalami peningkatan sampai
9.7 log cfu/g selama masa perlakuan dan menurun setelah H-1 pasca perlakuan.
Pada kelompok prebiotik terjadi kenaikan jumlah BAL dalam feses secara nyata
dibandingkan dengan kontrol selama masa perlakuan, namun jumlah BAL dalam
feses menurun ketika pemberian perlakuan dihentikan. Dibandingkan dengan
kelompok kontrol dan prebiotik maka selama masa perlakuan terjadi peningkatan
jumlah BAL dalam feses secara nyata pada kelompok probiotik dan sinbiotik dan
terjadi penurunan secara nyata ketika perlakuan dihentikan. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian prebiotik (ransum SPF) meningkatkan jumlah BAL pada
saluran pencernaan, dan kenaikan lebih nyata bila ransum SPF diberikan
bersama-sama dengan L. casei Rhamnosus (sinbiotik). Sebagaimana disebutkan
sebelumnya bahwa dalam SPF terdapat maltotriosa, rafinosa, dan stakiosa yang
dapat bertindak sebagai prebiotik. Adanya oligosakarida tersebut memberikan
sumber energi kepada BAL sehingga jumlahnya meningkat. Penurunan jumlah
BAL dalam feses setelah perlakuan karena jumlah substrat berkurang, akibatnya
laju pertumbuhan BAL terhambat. Dari ketiga perlakuan, menunjukkan bahwa
perlakuan probiotik (pemberian suspensi L. casei Rhamnosus) dapat
meningkatkan jumlah BAL dalam tertinggi selama perlakuan. Hal ini sesuai
dengan hasil pengamatan jumlah total mikroba dalam feses tikus. Hasil
pengamatan perubahan jumlah BAL dalam feses pada pengujian potensi prebiotik
SPF dapat dilihat pada Lampiran 33. Analisis ragam perubahan jumlah BAL
dalam feses pada pengujian potensi prebiotik SPF dapat dilihat pada Lampiran 34.
Terjadinya kenaikan jumlah BAL pada perlakuan prebiotik dan sinbiotik
menunjukkan bahwa pemberian ransum SPF dapat meningkatkan jumlah BAL
selama perlakuan. Dalam produk SPF mengandung oligosakarida yang berasal
dari kedelai yaitu rafinosa dan stakiosa (Smiricky et al. 2001) maupun dari ubi
jalar kukus yaitu 0.2 % rafinosa dan 0.14 % maltotriosa (Marlis 2008, belum
dipublikasikan). Oligosakarida dalam ubi jalar mampu mendukung pertumbuhan
Lactobacillus (Nuraida et al. 2004). Rafinosa dan stakiosa tidak diserap oleh usus
79
halus dan masuk ke dalam usus besar. Dalam usus besar oligosakarida tersebut
dimetabolisme oleh BAL untuk berkolonisasi (Manning et al. 2004).
6
7
8
9
10
11
12
Pengujian pada
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
g
)
Kontrol
Probiotik
Prebiotik
Sinbiotik
Perlakuan Pasca perlakuan
H0 H1
H0 H1
H5
H0 H1
H5
H0 H1
H10 H1
H0 H1
H10
H0 H1

Gambar 28 Perubahan jumlah BAL pada feses tikus pada kelompok:
(a). Kontrol, (b) Prebiotik (SPF), (c) Probiotik (L. casei
Rhamnosus), (d) Sinbiotik (SPF dan L. casei Rhamnosus).

Dalam 100 g ubi jalar tergelatinisasi diasumsikan mengandung 0.2 %
rafinosa dan 0.14 % maltotriosa (Marlis 2008, belum dipublikasikan). Asumsi
kadar air ubi jalar tergelatinisasi 70 %, maka dalam 100 g tepung ubi jalar kering
akan mengandung 0.007 g rafinosa dan 0.005 g maltotriosa. Menurut Parson et al.
(2001), oligosakarida kedelai terdiri dari 0.58% rafinosa dan 3.23% stakiosa.
Dalam 100 g ransum SPF mengandung 35 g tepung SPF. Dalam 100 g SPF
mengandung 33 g tepung ubi jalar, 15 g tepung kedelai, 12 g tepung tapioka dan
40 g bahan lain (gula, garam dan air). Maka dalam 100 g SPF mengandung 0.38 g
oligosakarida ubi jalar (0.22 g rafinosa dan 0.16 g maltotriosa) dan 0.57 g
oligosakarida kedelai (0.09 g rafinosa dan 0.48 g stakiosa). Dengan kata lain
dalam 100 g SPF mengandung 0.95 g oligosakarida atau 1 g oligosakarida.
Rata-rata jumlah ransum yang dikonsumsi tikus sebesar 15 g/200 g berat
badan tikus. Maka setiap tikus/hari rata-rata mengkonsumsi 0.05 g
80
oligosakarida/200 g BB tikus. Dengan kata lain jumlah oligosakarida yang
dikonsumsi oleh tikus sebesar 0.26 g oligosakarida/kg BB. Menurut Manning dan
Gibson (2004), konsumsi 4 sampai 8 g FOS dapat menaikkan jumlah
Bifidobacteria dalam pencernaan manusia. Penelitian yang dilakukan oleh
Konsumsi 10 g/hari oligosakarida kedelai dapat meningkatkan jumlah
bifidobacteria dan secara bersamaan akan menurunkan jumlah bakteri patogen
dalam feses manusia secara nyata. Ketika rata-rata berat minimum orang dewasa
50 kg (Bender dan Bender 2001), maka konsumsi oligosakarida kedelai sebesar
0.2 g/kg BB manusia/hari dapat meningkatkan jumlah Bifidobacteria dan
menekan pertumbuhan patogen. Apabila diasumsikan konsumsi oligosakarida
SPF 4 - 8 g/hari maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut dapat diperoleh dari
400 - 800 g SPF/hari.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah E. coli Feses Tikus. Perubahan
jumlah E. coli dalam feses tikus (SPF dengan L.casei Rhamnosus) dapat dilihat
pada Gambar 29. Jumlah E. coli dalam feses awal pada kelompok kontrol,
perlakuan prebiotik dan probiotik sama yaitu 8.6 log cfu/g, sedangkan jumlah
awal E. coli feses pada perlakuan sinbiotik sebesar 8.4 log cfu/g. Pada kelompok
kontrol jumlah E. coli selama masa perlakuan dan pasca perlakuan mengalami
kenaikan. Pada perlakuan prebiotik (pemberian ransum perlakuan SPF) selama
masa perlakuan jumlah E. coli dalam feses mengalami penurunan sampai H-1
pasca perlakuan mencapai 7.4 log cfu/g (turun hingga 1.2 log cfu/g), namun
setelah H-1 pasca perlakuan jumlah E. coli dalam feses mengalami peningkatan.
Pola yang sama ditunjukkan pula pada perlakuan probiotik dan sinbiotik. Pada
perlakuan probiotik penurunan jumlah E. coli dalam feses sampai H-1 pasca
perlakuan mencapai 7.0 log cfu/g (turun 1.6 log cfu/g) dan pada perlakuan
sinbiotik mencapai 7.2 log cfu/g (1.2 log cfu/g). Dari ketiga perlakuan,
menunjukkan bahwa pemberian probiotik (suspensi L. casei Rhamnosus) dapat
menurunkan jumlah E. coli dalam feses tertinggi selama perlakuan, penurunan
E.coli dalam feses mencapai 1.6 log cfu/g. Pemberian perlakuan prebiotik dan
sinbiotik juga dapat menurunkan jumlah E. coli. Hasil pengamatan perubahan
jumlah E. coli feses pada pengujian potensi prebiotik SPF dapat dilihat pada
81
Lampiran 35. Analisis ragam perubahan jumlah E. coli feses pada pengujian
potensi prebiotik SPF dapat dilihat pada Lampiran 36.
Penurunan jumlah E. coli dalam feses selama masa perlakuan pada
kelompok sinbiotik lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok prebiotik.
Adanya prebiotik SPF (maltotriosa, rafinosa, stakiosa) dan suspensi L. casei
Rhamnosus dalam perlakuan sinbiotik membantu menekan jumlah E. coli.
Menurut Gibson (2004), adanya prebiotik menyebabkan sebagian komposisi flora
usus berubah akibat terjadinya fermentasi, termasuk perubahan strain
Bifidobacterium spp, Lactobacillus spp, dan bakteri representatif lainnya seperti
Bacteroides spp, Clostridium spp dan Escherichia coli. Penelitian yang dilakukan
oleh Hirano et al. (2003), menunjukkan bahwa secara in vitro penempelan dan
kolonisasi Escherichia coli enterohemorrhagic (EHEC) dalam sel epitel usus besar
tidak dipengaruhi oleh hadirnya strain Lactobacillus (L. rhamnosus, L.gasseri, L.
casei dan L. plantarum), akan tetapi L.rhamnosus dapat menekan internalisasi
EHEC dalam sel epitel. Pengujian secara in vivo yang dilakukan oleh Suryadjaya
(2005) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak ubi jalar pada tikus SD mampu
menekan jumlah E. coli dalam feses, namun meningkatkan jumlah BAL feses.
Efek lebih besar diperoleh ketika pemberian ekstrak ubi jalar disertai dengan
pemberian L.casei Rhamnosus. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa ubi
jalar berpotensi untuk mendukung pertumbuhan BAL dan menghambat
pertumbuhan bakteri patogen.
Hasil uji potensi prebiotik ekstrak SPF secara in vitro (kompetisi antara L. casei
Rhamnosus dengan patogen) menunjukkan pertumbuhan patogen uji (E. coli,
B.cereus dan Salmonella) menurun bila dikompetisikan dengan L. casei
Rhamnosus yang ditumbuhkan dalam media yang mengandung ekstrak SPF.
Adanya maltotriosa, rafinosa dan stakiosa yang terkandung dalam SPF dapat
menaikkan jumlah BAL (Gambar 28) dan menurunkan jumlah E. coli (Gambar
29) pada feses tikus. Penelitian tentang pengaruh oligosakarida kedelai terhadap
mikroba pada feses manusia (Hayakawa et al. 1990) menunjukkan bahwa fraksi
stakiosa dan rafinosa dari oligosakarida kedelai dapat difermentasi oleh
Bifidobacterim spp secara in vitro. Konsumsi oligosakarida kedelai sebanyak 10 g
82
per hari telah dilaporkan meningkatkan jumlah Bifidobacteria dalam feses
manusia secara nyata, dan secara bersamaan menurunkan jumlah bakteri patogen.
6
7
8
9
10
11
12
Pengujian pada
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

(
L
o
g

c
f
u
/
g
)
Kontrol
Probiotik
Prebiotik
Sinbiotik
Pasca perlakuan Perlakuan
H0 H1 H5 H10 H1 H5 H10

Gambar 29 Perubahan jumlah E. coli feses tikus pada kelompok: (a). Kontrol, (b)
Prebiotik (SPF), (c) Probiotik (L.casei Rhamnosus), (d) Sinbiotik
(SPF dan L.casei Rhamnosus).

Pengaruh Pemberian Perlakuan Terhadap Keberadaan Salmonella
sp. Rekapitulasi hasil uji Salmonella dalam feses dapat dilihat pada Tabel 16.
Pada kelompok kontrol, sebelum masa perlakuan, H-5 dan H-10 pasca perlakuan
terdapat 1 sampel yang positif dari 3 sampel yang diujikan. Pada kelompok
probiotik menunjukkan sebelum perlakuan tidak ada sampel yang positif pada
pengujian Salmonella, namun pada H1 perlakuan terdapat 1 sampel yang positif
dari 3 sampel yang diujikan, dan selama masa perlakuan maupun pasca perlakuan
hasil uji Salmonella negatif. Pada kelompok prebiotik menunjukkan pada H-0
perlakuan terdapat 1 sampel yang positif dari 3 sampel yang diujikan dan pada
H-5 terdapat 2 sampel positif dari 3 sampel yang diuji, kemudian pada hari
selanjutnya hasil uji Salmonella negatif. Pada kelompok sinbiotik menunjukkan
uji Salmonella positif atau terdapat 1 sampel positif dari 3 sampel yang diuji pada
H-0, kemudian pada H-1 dan H-5 masa perlakuan, H-1 dan H-5 pasca perlakuan
83
masing-masing terdapat 2 sampel positif Salmonella dari 3 sampel yang diuji,
sedangkan pada H-10 pasca perlakuan hasil uji Salmonella negatif. Data lengkap
hasil pengamatan keberadaan Salmonella sp dalam feses tikus dapat dilihat pada
Lampiran 37.
Tabel 16 Hasil uji Salmonella dalam feses secara kualitatif pada pengujian
potensi prebiotik SPF dengan L. casei Rhamnosus

Kelompok
Dugaan Salmonella*
Pra
perlakuan
Periode perlakuan, hari ke- Periode pasca perlakuan, hari ke-
1 5 10 1 5 10
Kontrol 1/3 0/3 0/3 0/3 0/3 1/3 1/3
Probiotik 0/3 1/3 0/3 0/3 0/3 0/3 0/3
Prebiotik 1/3 0/3 2/3 0/3 0/3 0/3 0/3
Sinbiotik 1/3 2/3 2/3 0/3 2/3 1/3 0/3
*) jumlah sampel yang menunjukan hasil positif Salmonella/jumlah sampel yang diuji.
Meskipun secara in vitro menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus yang
dikompetisikan dengan Salmonella dapat menekan pertumbuhan Salmonela,
namun secara in vivo pemberian perlakuan belum nampak pengaruhnya dalam
menekan pertumbuhan Salmonella. Hirano et al. (2003), menemukan bahwa
L.casei Rhamnosus yang digunakan secara in vivo tidak mempengaruhi invasi
Salmonella enteritidis yang berpotensi invasif.
Menurut Gallan dan Curtiss (1991) diacu dalam Hirano et al. (2003),
Salmonella mampu menginvasi epitelium dan dapat hidup dalam lingkungan
intracelluler. Menurut Giannella (2006), patogenesis Salmonella dipengaruhi oleh
atribut yang dimilikinya yaitu faktor virulen, yang meliputi: (1) kemampuannya
menginvasi sel, (2) dinding polisakarida yang lengkap, (3) kemampuannya
bereplikasi dalam intraselluler dan (4) kemungkinan berelaborasi dengan toksin.
Setelah menginfeksi, maka Salmonella berkolonisasi dalam ileum dan kolon
kemudian menginvasi epitelium usus. Setelah menginvasi epitelium, Salmonella
berkolonisasi dalam intraselluler dan menyebar ke limposit kemudian dibawa ke
seluruh tubuh oleh sel reticuloendothelial. Gambar 30 menunjukkan terjadinya
invasi Salmonella pada mucosa usus.

84

Gambar 30 Invasi Salmonella pada mucosa usus (Giannella 2006).
F. PEMBAHASAN UMUM
Berdasarkan hasil pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in
vitro menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus dapat tumbuh baik dan menekan
patogen (Salmonella sp, E. coli, dan B. cereus) pada media yang mengandung
ekstrak ubi garut. L. casei Rhamnosus mampu memanfaatkan gula-gula sederhana
dan oligosakarida ekstrak ubi garut serta mampu berkompetisi dengan patogen
untuk mengambil substrat dengan baik. Kondisi demikian menyebabkan hasil
metabolisme berupa asam-asam organik yang semakin banyak sehingga pH media
menjadi turun. Adanya asam-asam organik dan terjadinya penurunan pH
lingkungan menyebabkan pertumbuhan patogen terhambat. Krisnayudha (2007),
menunjukkan bahwa dalam ekstrak ubi garut konsentrasi gula-gula sangat
sederhana lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi gabungan dari rafinosa,
FOS, sukrosa dan fruktosa. Meskipun kandungan oligosakarida ubi garut rendah
namun secara in vitro bakteri L. casei Rhamnosus mampu tumbuh dengan baik
karena ketersediaan gula sederhana dalam media yang mengandung ekstrak ubi
85
garut lebih tinggi dibandingkan kandungan oligosakarida sehingga BAL tersebut
dapat memanfaatkan gula sederhana dengan mudah sebagai sumber energi.
Hasil pengujian secara in vitro berbeda dengan hasil pada pengujian
potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo. Pada pengujian ini gula yang
tersedia untuk digunakan oleh BAL adalah oligosakarida dan bakteri L.casei
Rhamnosus harus bersaing dengan lebih dari satu jenis bakteri yang terdapat
dalam pencernaan tikus. Meskipun demikian, pengujian secara in vivo
menunjukkan terjadinya kenaikan jumlah BAL dan penurunan E. coli pada
kelompok prebiotik, probiotik dan sinbiotik selama diberi perlakuan dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Akan tetapi pemberian perlakuan prebiotik dan
sinbiotik belum menunjukkan penghambatan terhadap keberadaan Salmonella sp.
Pada pengujian potensi prebiotik cookies ubi garut secara in vitro
menunjukkan bahwa pertumbuhan BAL uji dalam media yang mengandung
ekstrak cookies ubi garut lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan BAL
uji dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut. Sehingga pengujian potensi
prebiotik cookies ubi garut kurang tepat apabila dilakukan secara in vitro, hal ini
dikarenakan kandungan gula sederhana yang terdapat dalam cookies ubi garut
lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan oligosakaridanya. Pertumbuhan
BAL uji dalam media yang mengandung ekstrak cookies ubi garut lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan BAL uji dalam media yang mengandung
ekstrak ubi garu, menunjukkan bahwa proses pengolahan dapat mengubah
kandungan gula dan oligosakarida dalam produk. Hal ini juga didukung dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Jodd et al. (1985), menunjukkan bahwa
proses pengolahan pada lima jenis komoditas leguminose dapat menurunkan
kadar gula sukrosa, rafinosa, stakiosa dan verbakosa.
Hasil pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo,
menunjukkan bahwa pemberian prebiotik, probiotik dan sinbiotik dapat
meningkatkan jumlah total mikroba feses tikus, meskipun kenaikannya tidak
berbeda nyata. Pengujian ini juga menunjukkan bahwa perlakuan tersebut dapat
meningkatkan jumlah BAL dan menurunkan jumlah E. coli feses selama
perlakuan, serta terjadi kenaikan jumlah E.coli dan penurunan jumlah total
mikroba feses apabila perlakuan dihentikan. Hal ini menunjukkan bahwa gula dan
86
oligosakarida yang terdapat di dalam ekstrak ubi garut (pemberian prebiotik)
dapat menstimulir pertumbuhan BAL dalam pencernaan tikus. Pemberian
sinbiotik (campuran ekstrak ubi garut dan L.casei Rhamnosus) meningkatkan
jumlah BAL secara nyata. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi simbiosis antara
pemberian ekstrak ubi garut dengan L.casei Rhamnosus sehingga meningkatkan
jumlah BAL feses secara nyata.
Berdasarkan hasil pengujian potensi prebiotik produk olahan ubi jalar
(cookies ubi jalar dan SPF) secara in vitro menunjukkan bahwa seluruh BAL uji
dapat tumbuh dalam media yang mengandung cookies ubi jalar maupun SPF.
L.casei Rhamnosus tumbuh paling baik dalam media yang mengandung ekstrak
SPF dibandingkan jenis BAL uji lainnya, bakteri tersebut juga dapat tumbuh
paling baik dalam media yang mengandung ekstrak lainnya. L.casei Rhamnosus
dapat menekan patogen (E.coli, Salmonella dan B.cereus) pada media yang
mengandung ekstrak SPF. Hal ini dikarenakan L.casei Rhamnosus mampu
memanfaatkan gula-gula sederhana dan oligosakarida yang terdapat dalam ekstrak
SPF serta mampu berkompetisi dengan patogen untuk mengambil substrat dengan
baik. Kondisi demikian menyebabkan hasil metabolisme berupa asam-asam
organik yang bersifat antimikroba semakin banyak sehingga pH di dalam sel
menjadi turun. Terbentuknya asam-asam organik dan terjadinya penurunan pH
media menyebabkan pertumbuhan patogen uji terhambat. Dalam suasana asam,
sifat anti mikroba dari asam lemah menjadi lebih kuat dibandingkan dalam pH
netral.
Mekanisme asam organik atau asam lemah dalam menghambat
pertumbuhan mikroba dikarenakan asam lemah dalam bentuk tidak terurai
(undissociated) bersifat toksik dan non polar dapat menembus fosfolipid dinding
sel mikroba yang non polar. Di dalam sel mikroba yang memiliki pH netral, asam
organik terdissosiasi/terurai menjadi RCOO
-
dan H
+
(Padan et al. 1981 dan
Slonczewski et al. 1981 diacu dalam Ouwehand dan Vesterlund 2004). Lepasnya
proton dalam sitoplasma menyebabkan pH di dalam sel turun sehingga terjadi pH
gradien akibatnya pertumbuhan mikroba terhambat. Menurut Eklund 1985 diacu
dalam Ouwehand dan Vesterlund 2004, menyatakan bahwa penghambatan
pertumbuhan mikroba bukan karena adanya pelepasan proton melainkan
87
penyebab utama penghambatan pertumbuhan mikroba karena terjadi akumulasi
anion dalam sel.
Dalam SPF selain mengandung gula-gula sederhana juga terdapat
oligosakarida seperti maltotriosa dan rafinosa dari ubi jalar (Marlis 2008, belum
dipublikasi), rafinosa dan stakiosa dari kedelai (Smiricky 2001) yang berpotensi
sebagai prebiotik. Adanya komponen prebiotik tersebut menyebabkan
pertumbuhan BAL dalam pencernaan dapat terstimulasi dengan baik. Hal ini
dibuktikan dengan terekspresinya kanaikan jumlah BAL feses pada kelompok
prebiotik, probiotik dan sinbiotik. Pemberian perlakuan prebiotik, probiotik dan
sinbiotik juga dapat meningkatkan jumlah total mikroba dan menurunkan jumlah
E.coli feses.
Dalam ekstrak cookies ubi garut, ubi jalar dan SPF yang digunakan pada
penelitian ini masih mengandung gula-gula sederhana yang dengan mudah
digunakan oleh BAL. Oleh karena itu pengujian potensi ekstrak cookies ubi garut,
ubi jalar dan SPF sebagai prebiotik kurang tepat apabila dilakukan secara in vitro
karena BAL akan menggunakan gula-gula sederhana lebih dahulu sebelum
menggunakan oligosakarida. Pertumbuhan BAL dalam media yang mengandung
ektrak cookies ubi garut, ubi jalar dan SPF belum dapat dipastikan bahwa BAL
menggunakan oligosakarida. Pada pengujian secara in vivo, gula-gula sederhana
akan diserap oleh usus halus, oligosakarida masuk ke dalam usus besar.
Selanjutnya oligosakarida tersebut akan digunakan oleh BAL untuk berkolonisasi.
Kenaikan BAL dalam feses tikus yang diberi SPF dapat mencerminkan bahwa
substrat yang diberikan dapat berfungsi sebagai prebiotik. Oleh karena itu, untuk
produk-produk yang mengandung gula sederhana dalam jumlah tinggi, pengujian
potensi prebiotik sebaiknya dilakukan secara in vivo.







88
V. SIMPULAN DAN SARAN


A. SIMPULAN
Secara in vitro menunjukkan bahwa ekstrak ubi garut dan cookies ubi
garut dapat mendukung pertumbuhan BAL uji (L. casei Rhamnosus, L. casei
shirota, Lactobacillus G3, Lactobacillus F1, B. bifidum, B. longum). L. casei
Rhamnosus dapat tumbuh paling baik diantara BAL uji yang digunakan.
Pertumbuhan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak cookies
ubi garut lebih rendah dibandingkan dengan media yang mengandung ekstrak ubi
garut. Dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut, L.casei Rhamnosus
yang dikompetisikan dengan patogen dapat menekan pertumbuhan E. coli sebesar
3.2 log cfu/ml, Salmonella 1.5-3.9 log cfu/ml dan B.cereus 1.4-3.5 log cfu/ml.
Dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut, tidak terjadi penurunan jumlah
BAL ketika L.casei Rhamnosus dikompetisikan E.coli, terjadi penurunan jumlah
BAL sebesar 0.2 log cfu/ml bila L.casei Rhamnosus dikompetisikan dengan
Salmonella dan terjadi penurunan jumlah BAL sebesar 0.3 log cfu/ml bila
dikompetisikan dengan B.cereus. Pemberian ekstrak ubi garut (prebiotik) pada
tikus selama 10 hari dapat menurunkan jumlah E. coli sebesar 1.4 log cfu/ml.
Penurunan E.coli lebih besar pada tikus yang diberi suspensi L. casei Rhamnosus
(probiotik) mencapai 1.6 log cfu/ml dan yang diberi kombinasi ekstrak ubi garut
dengan suspensi L. casei Rhamnosus (sinbiotik) mencapai 1.7 log cfu/ml. Hal ini
menunjukkan bahwa ubi garut berpotensi sebagai prebiotik karena mampu
mendukung pertumbuhan BAL (L. casei Rhamnosus) dan menekan pertumbuhan
patogen baik secara in vitro maupun in vivo.
Secara in vitro, menunjukkan bahwa ekstrak ubi jalar maupun hasil
olahan (cookies ubi jalar dan SPF) dapat mendukung pertumbuhan BAL uji
(L. casei Rhamnosus, L. casei Shirota, Lactobacillus G3, Lactobacillus F1,
B. bifidum, B. longum). Pertumbuhan L. casei Rhamnosus dalam media yang
mengandung ekstrak SPF paling tinggi dibandingkan dengan media yang
mengandung ekstrak ubi jalar maupun cookies ubi jalar. L.casei Rhamnosus
dalam media yang mengandung ekstrak SPF mampu menghambat pertumbuhan
89
patogen E. coli, Salmonella dan B. cereus berturut-turut 3.2 log cfu/ml, 1.5-3.9
log cfu/ml dan 3.0-3.1 log cfu/ml yang dikompetisikan dengan L. casei
Rhamnosus. Dalam media yang mengandung ekstrak SPF, terjadi penurunan
jumlah BAL ketika L.casei Rhamnosus dikompetisikan dengan E. coli sebesar 0.1
log cfu/ml dan terjadi penurunan jumlah BAL ketika L.casei Rhamnosus
dikompetisikan dengan Salmonella atau B. cereus sebesar 0.2 log cfu/ml.
Pemberian 35% SPF (prebiotik) dalam ransum dan kombinasi 35% SPF dalam
ransum dengan suspensi L. casei Rhamnosus (sinbiotik) pada tikus selama 10 hari
dapat menurunkan jumlah E. coli sebesar 1.2 siklus log, sedangkan pemberian
suspensi L. casei Rhamnosus (probiotik) mampu menekan jumlah E.coli sebesar
1.6 siklus log. Dengan demikian SPF berpotensi sebagai prebiotik karena mampu
mendukung pertumbuhan BAL (L. casei Rhamnosus) dan menekan pertumbuhan
patogen baik secara in vitro maupun in vivo.

B. SARAN
Meskipun secara in vitro, cookies ubi garut dan ubi jalar dapat mendukung
pertumbuhan BAL (L. casei Rhamnosus), namun untuk mengetahui potensinya
sebagai prebiotik masih diperlukan penelitian lebih lanjut secara in vivo. Untuk
produk atau ekstrak yang mengandung gula-gula sederhana dalam jumlah banyak,
maka tidak perlu melakukan pengujian secara in vitro akan tetapi langsung
melakukan pengujian secara in vivo. Hal tersebut disebabkan dengan adanya
gula-gula sederhana dipastikan dapat menstimulir pertumbuhan BAL dengan
sangat baik. Untuk itu maka pengujian potensi prebiotik secara in vitro dapat
langsung dilakukan untuk oligosakarida murni (mendekati murni).









90
DAFTAR PUSTAKA


Adijuwana NT. 2005. Pemanfaatan Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) untuk
Mendukung Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat [skripsi]. Bogor: Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Alander M et al. 1999. Persistence of Colonization of Human Colonic Mucosa by
a Probiotic Strain, Lactobacillus rhamnosus GG, after Oral Consumption.
Appl Environ Microbiol. 65(1): 351-354
[Anonim]. 2006. Bifidobacterium. http://www.enzymeindia.com/probiotic/
bifidobacterium.asp
[Anonim]. 2007. Arrowroot: Cornstarch Substitute. http://www.localforage.com
/local_forage/2007/05/arrowroot_corns.html
[Anonim]. 2008. Soybean meal, soyabean meal, soya bean meal, sojabean meal,
Manchurian meal. http://www.fao.org/AG/aGa/agap/FRG/AFRIS
/Data/736.htm.
[AOAC] Assosiation of Official Agricultural Chemists. 1984. Virginia: Official
Methods of Analysis.
[AOAC] Assosiation of Official Agricultural Chemists. 1990. Washington:
Official Methods of Analysis.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989.
Petunjuk Laboratorium Pengujian Pangan. Bogor: IPB Press
Axelsson L. 2004. Lactic Acid Bacteria : Classification and Physiology. Di dalam:
Salminen S, Wright A dan Ouwehand A, editor. 2004. Lactic Acid Bacteria
Microbiological and Functional Aspects. Ed ke-3, Revised and Expanded.
New York: Marcel Dekker, Inc. hlmn 1-66.
Ballongue J. 2004. Bifidobacteria and Probiotic Action. Di dalam: Salminen S,
Wright A dan Ouwehand A, editor. 2004. Lactic Acid Bacteria
Microbiological and Functional Aspects. Ed ke-3, Revised and Expanded.
New York: Marcel Dekker, Inc. hlmn 67-124.
[BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2005. Salmonella. Chapter 5.
Batt CA. 1999. Bacillus cereus. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PD.
2000. Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 1. London: Academic Press.
Batt CA. 1999. Lactobacillus. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PD. 2000.
Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 1. London: Academic Press.
Belitz HD, Grosch W.1987. Food Chemistry. Translation from the Second
German edition by Hadziyev D. Heidelberg: Springer Verlag
Bender AE, Bender DA. 2001. Food Tables and Labelling. Oxford University
Press.
91
Bruno EA, Lankaputhra WEV, Shah NP. 2002. Growth, Viability and Activity of
Bifidobacterium spp. In Skim Milk Containing Prebiotics. J Food Sci 67(7).
Chateau N, Deschamps AM, Sassi H. 1993. Distribution of pathogen Inhibition in
the Lactobacillus isolates of a commercial probiotic Consortium. J Appl
Microbiol. 18: 42-44.
Cunniff P. 1995. Official Methods of Analysis of AOAC International. Ed ke-16.
Vol 1B. Virginia: AOAC International.
Dallas GH. 1999. Bifidobacterium. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PD.
2000. Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 1. London: Academic Press.
[Depkes RI]. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1991. Daftar
Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bharata.
Dewanti-Hariyadi R, Anjana N, Suliantari, Nuraida L, Satiawihardja B. 2003.
Teknologi Fermentasi. Petunjuk Praktikum. Bogor: ForATETA Institut
Pertanian Bogor.
Evanikastri. 2003. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat dari Sampel
Klinis yang Berpotensi sebagai Probiotik [tesis]. Bogor: Program Studi Ilmu
Pangan, Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
[FAO]. Food and Agriculture Organitation of the United Nations. 2007. FAO
Technical Meeting on Prebiotics. Food Quality and Standards Service
(AGNS)
Giannella AR. 2002. Salmonella. General Concepts. Medmicro Chapter 21.
Todars Online Textbook of Bacteriology. Kennenth Todar University of
Wisconsin-Madison Department of Bacteriology.
Gibson GR. 2004. Fibre and effects on probiotics (die prebiotic concept). Clinical
Nutrition Supplements, 1: 25-31.
Gibson GR, Wang X. 1993. Regulatory effects of bifidobacteria on growth of
other colonic bacteria. J Applied Bacterioloy 77:412-420.
Gratz S et al. 2006. Lactobacillus rhamnosus Strain GG Modulates Intestinal
Absorption, Fecal Excretion, and Toxicity of Aflatoxin B
1
in Rats. J Appl
Environ Microbiol 72(11): 73987400.
Harrigan WF. 2000. Laboratory Methods in Food Microbiology. Sandiego:
Academic Press Publishing .
Hidaka H, Eida T, Tazikawa T, Tokunaga T. 1986. Effect of
fructooligosaccharides on intestinal flora and human health. Bifidobacteria
Microflora. 6 ; 5:37-50.
Hirano J, Yoshida T, Sugiyama T, Koide N, Mori I, Yokochi T. 2003. The Effect
of Lactobacillus rhamnosus on Enterohemorrhagic Escherichia coli
Infection of Human Intestinal Cells In Vitro. J Microbiol. Immunol., 47(6) :
405-409.
Jood S, Mehta U, Singh R, Bhat CM. 1985. Effect of Precessing on Flatus
Producing Factors in Legumes. J Agric Food Chem (33): 268-271.
92
Lingga et al. 1986. Bertanam Umbi-umbian. Jakarta: Penebar Swadaya.
Kay DE. 1973. Root Crops. The Tropical Products Institute. London: Foreign &
Common Wealth office.
Koswara S. 2003. Optimasi Teknologi Pengolahan Sweet Potato Flakes. Di
dalam: Laporan Akhir Penelitian RUSNAS Diversifikasi Pangan Pokok.
Bogor: Pusat Sudi Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
Krisnayudha K. 2007. Mempelajari Potensi Garut (Maranta arundiacea L.) dan
Ganyong (Canna edulis, Kerr) untuk Mendukung Pertumbuhan Bakteri
Asam Laktat [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Makinen AM, Bigret M. 2004. Industrial Use and Production of Lactic Acid
Bacteria. Di dalam : Salminen S, Wright A dan Ouwehand A, editor. 2004.
Lactic Acid Bacteria Microbiological and Functional Aspects. Ed ke-3,
Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker, Inc. hlmn 175-198.
Manning TS dan Gibson GR. 2004. Prebiotics. Best Practice & ResearchClinical
Gastroenterology 18(2): 287-298
Manning TS, Rastall R, Gibson G. 2004. Prebiotics and Lactic Acid Bacteria. Di
dalam : Salminen S, Wright A dan Ouwehand A, editor. 2004. Lactic Acid
Bacteria Microbiological and Functional Aspects. Ed ke-3, Revised and
Expanded. New York: Marcel Dekker, Inc. hlmn 407-418.
Marlis A. 2008 (belum dipublikasikan). Pengaruh Pengolahan Terhadap Sifat
Prebiotik (Oligosakarida) Tepung Ubi Jalar (Ipomoea Batatas L), [tesis].
Bogor: Ilmu pangan, Institut Pertanian Bogor.
Meutia YR. 2003. Evaluasi Potensi Probiotik Isolat Klinis Lactobacillus sp Secara
in vitro dan in vivo [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Nakazawa Y, Hosono A. 1992. Function of Fermented Milk: Challenges for The
Health Sciences. Cambridge: Elsevier Science Publisher Ltd., University
Press.
Naranayan N, Roychoudhury PK, Srivastava A. 2004. Isolation of adh Mutant of
Lactobacillus rhamnosus for production of L(+) lactic acid . J of Biotech
ISSN: 0717-3458. Chile: Pontificia Universidat Catolicade Valparaiso.
Nuraida L, Palupi NS, Anggiarini AN, Pertiwi W. 2004. Pemanfaatan Ubi Jalar
sebagai Prebiotik dan Formulasi Sinbiotik Sebagai Supplemen Pangan.
Bogor: Laporan Akhir Penelitian, RUSNAS Diversifikasi Pangan Pokok,
IPB.
Oku T. 1994. Special Physiology Functions of Newly Develope Mono and
Oligosaccharides. Di dalam: Goldberg, I. (Ed). Function Foods Designer
Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals. New York: Chapman and Hall.


93
Ouwehand AC, Vesterlund S. 2004. Antimicrobial Components from Lactic Acid
Bacteria. Di dalam : Salminen S, Wright A dan Ouwehand A, editor. 2004.
Lactic Acid Bacteria Microbiological and Functional Aspects. Ed ke-3,
Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker, Inc. hlmn 375-396.
Palmer JK. 1982. Carbohydrates in sweet potato. Di dalam: Villareal RL dan
Griggs TD (ed.). Sweet Potato Proceedings of The First International
Symposium. Taiwan: AVRDC.
Ramberg J. 2002. Bifidobacteria bifidum. www.glycoscience.org.
Roberfroid MB. 2000. Prebiotics and probiotics: are they functional foods?
American J ClinNut71 (6) : 1682-1687.
Roberfroid MB. 2002. Functional Food Concept and its Application to prebiotics.
Digest Liver Dis 34 (21):105-108.
Salminen S, Roberfroid M, Ramos P, Fonden R. 1998. Prebiotic Substrates and
Lactic Acid Bacteria. Di dalam: Salminen S, Wright A. Lactic Acid Bacteria
Microbiological and Functional Aspects. Ed ke-2, Revised and Expanded.
New York: Marcel Dekker, Inc. hlmn 343-358.
Sceinbach S. 1998. Probiotics: Functionality and Commercial Status.
Biotechnology Advances 16(3): 581-608.
Smiricky MR. 2001. The influence of soy oligosaccharides on apparent and true
ideal amino acid digestibilities and fecal consistency in growing pigs. Iowa
Soybean Association. http://www.soybean.org/worldlitarticles new/
Smirickyandco.workers2001.html.
Surono IS. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. Jakarta: YAPMMI
(Yayasan Pengasuh Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia).
Suryadjaja A. 2005. Potensi Ubi garut Dan Merah (Ipomea batatas L) Untuk
Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat dan Menekan Pertumbuhan Patogen
[skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Syamsir et al. 2007. Praktikum Terpadu Teknologi Pengeringan: Sweet Potato
Flakes. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Tannock GW. 1999. Probiotic: A Crtical Review. Editor. Wymondham: Horison
Scienctific Press. Elsevier. Biotech Adv 17: 691-693.
Todar K. 2005. The Genus Bacillus. University of Wisconsin-Madison
Department of Bacteriology. http://www.textbookofbacteriology.net/
Bacillus.html.
Tomomatsu H. 1994. Healt Effects of Oligosaccharides. J Food Tech Oct: 61-64.
Tuohy KM, Probert HM, Smejkal CW, Gibson GR. 2003. Using Probiotics and
Prebiotics to Improve Gut Health. Reviews Terapeutic focus. DDT Vol. 8
No. 15 Agustus 2003.
Vuyst LD. 2005. Inhibition of Pathogens by Probiotics and Prebiotics. Di dalam:
The Foionality ang Human Hod, Gastrointestinal-Tract Functionalityu and
Human Health Cluster, Proeuhealth. March 10, 2005.
94
Weese JS. 2002. Probiotics, Prebiotics, and Synbiotics. Elsevier Scien 22(8).
Widayanti NWY. 2005. Mempelajari Potensi Sukun (Artocarpus altilis (Park)
Forberg) dan Pati Garut (Maranta arundiacea L.) Untuk Mendukung
Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Widowati S, Suismono, Surni, Sutrisno, Komalasari O. 2002. Petunjuk Teknis
Proses Pembuatan Aneka Tepung dari Bahan Pangan Sumber Karbohidrat
Lokal. Bogor: Balai Penelitian Pascapanen.
Winarno FG. 1989. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia.
Wilbraham AC, Matta MS. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Bandung:
Institut Teknologi Bandung.
Young R. 2008. Lactobacillus Rhamnosus GG Powerful Probiotic Strengthens
Digestion and Immunity.
Yuguchi H, Goto T, Okonogi S. 1992. fermented Milks, Lactics Drinks and
Intestinal Microflora. Di dalam: Nakazawa Y, Hosono A, editor. 1992.
functions of Fermented Milk. London: Elsevier.
Yun 2002. Tepung Garut untuk Sindrom Down. Kompas: Minggu 3 Maret 2002.
Zietner CJ, Gibson GR. 1998. An overview of probiotics, prebiotics and
synbiofics in the fitnctional food concept: perspectives and future strategies.
J Int Dairy 8:473-479.

You might also like