You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam datang untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan yang menyelimutinya. Karena itu,
banyak pengamat Islam yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad datang membawa sebuah agama
yang sangat revolusioner, karena mampu mengatasi berbagai bentuk kebekuan dan kejumudan yang
terjadi dalam masyarakat itu. Yakni membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kejahiliyaan dan
belenggu-belenggu kesukuan . Seperti banyak disebutkan dalam referensi-referensi sejarah, bangsa
Arab sebelum kedatangan Islam merupakan bangsa yang berada pada pola tribalisme. Karena pola
hidup yang semacam itu, maka harga diri, kehormatan, dan martabat seseorang tidak ditentukan oleh
kesalehan atau ketakwaan, melainkan oleh tingkat keningratan suatu suku
(http://digilib.itb.ac.id/index.php/25/7/2002).

Lebih jauh, masyarakat Arab pra Islam ternyata tidak memberikan tempat yang cukup terhormat bagi
kaum wanita. Akibatnya, wanita tidak dianggap sebagai seseorang, melainkan dianggap sebagai
sesuatu. Bahkan lebih dari itu, bangsa Arab Jahiliyah juga menganggap wanita sebagai binatang ternak,
yang dapat diwariskan oleh seorang laki-laki yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Islam
datang untuk membebaskan hal-hal itu, sehingga hak-hak wanita dalam Islam dalam Islam benar-benar
dihormati. Persoalannya, dalam proses penegakan kehormatan dan martabat wanita itu, ternyata banyak
sekali halangan-halangan yang dihadapi oleh umat Islam. pada masa Rasulullah, ketika muncul berbagai
peperangan untuk menegakkan agama Islam, muncul satu persoalan. Persoalan itu adalah lemahnya
semangat tentara Islam untuk berperang, karena hasrat biologis mereka tak tersalurkan
(http://digilib.itb.ac.id/index.php/25/7/2002).

Menanggapi persoalan ini, maka Nabi Muhammad kemudian membuat suatu keputusan yang sangat
revolusioner, yakni memperbolehkan tentara-tentara tersebut untuk melakukan kawin kontrak yang saat
ini disebut sebagai nikah mut’ah. Disinilah kemudian dilema itu terjadi. Pada saat terjadinya kelesuan
para tentara Islam itu, nikah mut’ah sebagai suatu solusi barangkali sangat efektif. Tetapi ternyata
implikasi jangka panjang yang ditimbulkannya juga sangat tidak kecil. Sebagian ulama mengatakan
bahwa diperbolehkannya nikah mut’ah hanya pada saat peperangan masa Nabi Muhammad, dan hal itu
kemudian tidak diperbolehkan lagi untuk saat-saat berikutnya. Sementara pendapat yang lain
menyatakan bahwa sampai dengan hari ini pun nikah mut’ah itu tetap boleh dijalankan
(http://digilib.itb.ac.id/index.php/25/7/2002).

Pada awal islam nikah mut’ah memang dihalalkan, sebagaimana yang tercantum dalam banyak hadits
diantaranya:

Hadits Abdullah bin Mas’ud : berkata : Kami berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
sedangkan kami tidak membawa istri istri kami, maka kami berkata bolehkan kami berkebiri? Namun
Rasulallah melarangnya tapi kemudian beliau memberikan kami keringanan untuk menikahi wanita
dengan mahar pakaian sampai batas waktu tertentu.. (Bukhari 5075, muslim 1404)
(http://oryza.blogsome.com/29 Januari 2006).

Hadits Jabir bin Salamah : Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah kami dalam
sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata
:Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah maka sekarang mut’ahlah. (Bukhari 5117)
(http://oryza.blogsome.com/29 Januari 2006).

Namun hukum ini telah dimansukh dengan larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk
menikah mut’ah sebagaimana beberapa hadits diatas. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat kapan
diharamkannya nikah mut’ah tersebut dengan perselisihan yang tajam, namun yang lebih rajih-Wallahu
a’lam- bahwa nikah mut’ah diharamkan pada saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah. Ini adalah tahqiq Imam
Ibnul Qoyyim dalam zadul Ma’ad 3/495, Al-Hafidl Ibnu Hajar dalam fathul bari 9/170, Syaikh Al-Albani
dalam irwaul Ghalil 6/314 (http://oryza.blogsome.com/29%20Januari%202006).

Pembahasan ini lebih rinci akan di bahas oleh penulis dalam bab pembahasan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi

Nikah mut'ah ialah perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk jangka
waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban
memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri, serta tidak menimbulkan pewarisan antara
keduanya (http://www.perpustakaan-islam.com/ 03/06/2002).

B. Dalil Haram Nikah Mut’ah

Haramnya nikah mut'ah berlandaskan dalil-dalil hadits Nabi saw juga pendapat para ulama dari 4
madzhab.
Dalil dari hadits Nabi saw yang diwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim
menyatakan bahwa dari Sabrah bin Ma'bad Al-Juhaini, ia berkata: Kami bersama Rasulullah saw dalam
suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu dengan
seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut
(selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: Ada selimut seperti selimut.
Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjidil
Haram, dan tiba-tiba aku melihat Rasulullah saw sedang berpidato diantara pintu Ka'bah dan Hijr Ismail.
Beliau bersabda, Wahai sekalian manusia, aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan
nikah mut'ah. Maka sekarang siapa yang memiliki istri dengan cara nikah mut'ah, haruslah ia
menceraikannya, dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya, janganlah kalian ambil lagi.
Karena Allah azza wa jalla telah mengharamkan nikah mut'ah sampai Hari Kiamat (Shahih Muslim
II/1024) (http://www.perpustakaan-islam.com/ 03/06/2002).

Dalil hadits lainnya: Dari Ali bin Abi Thalib ra. ia berkata kepada Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Muhammad
saw melarang nikah mut'ah dan memakan daging keledai jinak pada waktu perang Khaibar (Fathul Bari
IX/71) (http://www.perpustakaan-islam.com/ 03/06/2002).

C. Pendapat Ulama

Berdasarkan hadits-hadits tersebut diatas, para ulama berpendapat sebagai berikut: - Dari Madzhab
Hanafi, Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi (wafat 490 H) dalam kitabnya Al-Mabsuth (V/152) mengatakan:
Nikah mut'ah ini bathil menurut madzhab kami. Demikian pula Imam Ala Al Din Al-Kasani (wafat 587 H)
dalam kitabnya Bada'i Al-Sana'i fi Tartib Al-Syara'i (II/272) mengatakan, Tidak boleh nikah yang bersifat
sementara, yaitu nikah mut'ah (http://www.perpustakaan-islam.com/ 03/06/2002).

- Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H) dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-
Muqtashid (IV/325 s.d 334) mengatakan, hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai
peringkat mutawatir Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawanah Al-
Kubra (II/130) mengatakan, Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka
nikahnya batil. (http://www.perpustakaan-islam.com/ 03/06/2002).

- Dari Madzhab Syafi', Imam Syafi'i (wafat 204 H) dalam kitabnya Al-Umm (V/85) mengatakan, Nikah
mut'ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku nikahi kamu
selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan. Sementara itu Imam Nawawi (wafat 676 H) dalam
kitabnya Al-Majmu' (XVII/356) mengatakan, Nikah mut'ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu
pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu.
(http://www.perpustakaan-islam.com/ 03/06/2002).

- Dari Madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) dalam kitabnya Al-Mughni (X/46)
mengatakan, Nikah Mut'ah ini adalah nikah yang bathil. Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam
Ahmad bin Hambal (wafat 242 H) yang menegaskan bahwa nikah mut'ah adalah haram.
(http://www.perpustakaan-islam.com/ 03/06/2002).

- Jumhur ulama berpendapat bahwa nikah muht'ah adalah nikah yang tidak sah dan dihukumi batal. Jadi
menurut jumhur ulama, akad nikah mut'ah tidak memiliki kekuatan hukum (secara syar'i). Maka kedua
orang yang melakukan transaksi mut'ah tidak bisa dikatakan sebagai pasangan suami istri. Hal ini
dikuatkan oleh pandangan mayoritas sahabat yang tidak menyetujui nikah mut'ah. Adapun Ibnu Abbas
yang dianggap berpendapat akan keabsahan nikah muth'ah telah mencabut pendapat itu di akhir hayat
beliau (http://www.ppdarussholah.org/25/8/2004).

- Adapun Syi'ah Imamiah berpendapat bahwa nikah semacam itu (nikah mut'ah) adalah boleh dan sah
(http://www.ppdarussholah.org/25/8/2004).

D. Kesimpulan
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan beberapa poin:

1. Nikah Mut'ah adalah batal/tidak sah dan hubungan (suami-istri) yang dilakukan atas dasar akad mut'ah
dihukumi haram oleh mayoritas ulama/jumhur.

2. Nikah Mut'ah boleh dan dianggap sah oleh Syi'ah Imamiah. Dan relasi (suami-istri) yang dilakukan atas
dasar akad muth'ah adalah halal.

3. Bagi mereka yang mengikuti jumhur/penganut mazhab jumhur (baik Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i,
Hambali, Dzahiri, Zaidiy dll atau selain penganut Imamiah) tidak boleh/haram melakukan nikah mut'ah.
Sedangkan bagi penganut Imamiah boleh melakukan nikah mut'ah sesuai dengan mazhab mereka.
(http://www.ppdarussholah.org/25/8/2004).

4. Namun bagi mereka yang telah melakukan mut'ah tidak dapat dijatuhi hukuman/di hadd karena dalam
masalah ini ada dua pendapat yang saling bertentangan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh : "al-Hudud
Tudra'u bis Syubuhat". Maksudnya, sebuah hukuman atau hadd tidak bisa diterapkan jika terdapat
kerancuan (halal dan haramnya masih diperdebatkan). Dalam hal ini yang terjadi adalah Syubhat fit
Thariq atau kerancuan yang disebabkan oleh perbedaan sudut pandang antara mazhab yang ada.
Wallahu a'lam (http://www.ppdarussholah.org/25/8/2004).
Senin, 14 Januari 2008

DISKUSI HADIST AHKAM I

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Apakah alasan Syi'ah Imamiah berpendapat bahwa nikah mut'ah
adalah boleh dan sah?

Jawaban:

Alasan Syi'ah Imamiah berpendapat bahwa nikah mut'ah adalah boleh dan sah adalah:

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Dalam firman Allah, Q.S An-Nisa: 24 yang di kutip


http://www.jalal-center.com/diakses, 13 Januari 2008

Maka jika ia sudah menikmatinya dengan dukhul ia memberikan kepadanya


mahar dengan sempurna. Jika ia menikmatinya dengan akad nikah (saja) ia
memberikan kepadanya setengah mahar.”

Ayat ini khusus tentang nikah mut’ah karena alasan berikut:

1. Ubayy bin Ka’b dan Abdullah bin Abbas membaca ayat

iIlâ ijalin musammâ = sampai waktu yang ditentukan

‫ضًة‬
َ ‫ن َفِري‬
ّ ‫جوَرُه‬
ُ ‫ن ُأ‬
ّ ‫َفآُتوُه‬

Tidak ada sahabat yang menyangkalnya, berarti umat ijmak tentang kebenaran qiraat
keduanya.

2.“mencari isteri-isteri dengan harta” yg menghalalkan bercampur tidak terjadi kecuali dalam
nikah mut’ah. Dalam nikah mutlak, hanya memberikan harta saja tidak dengan sendirinya
menghalalkan. Diperlukan aqad, wali, dan saksi.

3.Ayat ini menunjukkan bahwa mahar wajib hanya karena istimta’. Istimta’ berarti menikmati
dan menggunakan. Sedangkan dalam nikah (biasa) mahar diwajibkan bukan karena istimta’
tetapi karena nikah.

4. Jika ayat ini dikenakan pada nikah biasa, terjadi perulangan penetapan hukum nikah dalam
surat yang sama. Jika dikenakan pada nikah mut’ah, Tuhan menetapkan hukum yang baru.
Dan ini lebih tepat.

<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Semua ulama sepakat bahwa Rasulullah saw pernah


mengizinkan mut’ah, tetapi tidak sepakat kapan beliau mengharamkannya. Berpeganglah pada
yang disepakati dan tinggalkan yang diikhtilafi.

Menurut Ensiklopedi Sunnah-Syiah, semua hadis yang mengharamkan nikah mut’ah dha’if
kecuali pengharaman di Khaybar dan Fat-h Makkah. Tidak benar mut’ah diharamkan di
Khaybar

Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, pengharaman mut’ah pada perang Khaybar tidak shahih
karena:

Di Khaybar tidak ada muslimat; yang ada hanya Yahudiat. Waktu itu belum turun ayat yang
mengizinkan Muslim menikah dengan prp Ahli Kitab.

Pengharaman mut’ah yang benar terjadi pada tahun penaklukan (Fat-h). Bila perang Khaybar
itu benar berarti telah terjadi nasakh dua kali, “ini adalah seuatu yang tidak ada tandingannya
dalam syariat, dan tidak pernah ada hukum seperti itu”

Sofyan bin Uyainah menyebutkan bahwa yang diharamkan di Khaybar hanyalah keledai
kampung dan bukan nikah mut’ah. “Kebanyakan manusia mengikuti pendapat ini.”
(http://www.jalal-center.com/diakses, 13 Januari 2008)

<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]-->Hadis pengharaman mut’ah di Fat-h Makkah juga tidak shahih

Hadis Saburah bin Ma’bad tentang haramnya nikah mut’ah diriwayatkan melalui Abd al-Malik
bin al-Rabi’ bin Saburah dari bapaknya, dari kakeknya. Menurut Ibn Ma’in, dia dha’if. “Al-
Bukhari saja tidak mau mengeluarkan hadisnya, walaupun ia sangat memerlukannya.”
(http://www.jalal-center.com/diakses, 13 Januari 2008)

<!--[if !supportLists]-->d. <!--[endif]-->Larangan Umar ini sekaligus menunjukkan bahwa pada


zaman Rasulullah saw tidak pernah terjadi pengharaman mut’ah. Umarlah yang pertama
melarangnya. Rasulullah saw harus lebih diikuti dari Khulafa al-Rasyidun. Dari Ayyub: ‘Urwah
berkata kepada Ibn Abbas- Apakah kamu tidaktakut kepada Allah sampai kamu membolehkan
nikah mut’ah? Kata Ibn Abbas: Tanya ibumu, hai ‘Ariyyah. Kata ‘Urwah: Tetapi Abu Bakar dan
Umar tidak pernah melakukannya. Kata Ibn Abbas: Demi Allah, tampaknya kalian tidak akan
berhenti sampai Allah menurunkan azab-Nya kepada kalian. Kami sampaikan dari Nabi saw
dan kalian menyampaikan kepada kami dari Abu Bakar dan Umar (http://www.jalal-
center.com/diakses, 13 Januari 2008)

<!--[if !supportLists]-->e. <!--[endif]-->Contoh sahabat dan tabi’in yang mempraktekkan nikah mut’ah

Imran bin al-Hushayn, Jabir bin Abdillah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Umar, Mu’awiyyah
bin Abi Sufyan, Abu Sa’id al-Khudri, Salmah bin Umayyah bin Khalaf, Ma’bad bin ‘Umayyah,
Zubayr bin ‘Awwam, Khalid bin Muhajir al-Makhzumi, ‘Amr bin Harits, Ubayy bin Ka’b, Rabi’ah
bin Umayyah, Samurah bin Jundab, Sa’id bin Jubayr, Thawus al-yamani, ‘Atha bin Muhammad,
Al-Suddy, Mujahid, Zufar.

<!--[if !supportLists]-->f. <!--[endif]-->Untuk menggalakkan amalan mut’ah ini mereka mengadakan


sekian banyak hadis-hadis palsu atas nama para Imam mereka yang Duabelas dan atas nama
Nabi s.a.w.

Mereka meriwatkan dari Nabi s.a.w. bahawa Baginda saw bersabda, “ Sesiapa yang keluar dari
dunia (mati ) dalam keadaan tidak pernah melakukan mut’ah ia akan datang pada hari qiamat
dalam keadaan rompong . “ Mulla Fathullah Ka-Syaani – Tafsir Manhaj As Shadiqin j 2 hal. 489
(http://almawaddah.orgfree.com/diakses 13 Januari 2008)

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Apakah nikah mut’ah menurut Syi'ah Imamiah mempunyai syarat-
syarat yang ketat?

Jawaban:

Syarat nikah mut’ah menurut Syi'ah Imamiah, adalah:

a. Baligh

b. Berakal

c. Tidak ada halangan syar’i (secara syarak) untuk melangsungkannya, seperti adanya pertalian
nasab, saudara sesusuan atau masih menjadi istri orang lain.

Dan syarat lain adalah:

1. Syarat-syarat yang dimestikan dalam aqad mut’ah

Terdapat hanya dua syarat sahaja yang mesti disebutkan di dalam aqad, untuk menjadi aqad itu
sebagai aqad mut’ah iaitu;

( i) Tempoh atau jangkamasa mut’ah dan

(ii) Mas kahwinnya.

Adapun syarat-syarat nikah mut'ah yang lain yang di kutip (http://almawaddah.orgfree.com/diakses 13


Januari 2008)adalah:

i. Mahar.

ii. Ajal (tempoh)

iii. Akad yang mengandungi ijab dan kabul dan ianya sah dilakukan secara wakil
iv. Perceraian selepas tamatnya tempoh

v. Iddah

vi. Sabitnya nasab (keturunan)

vii. Tidak sabitnya pusaka di antara suami dan isteri jika ia tidak syaratkan.

(saailu As Syiah j. 14 hal. 465 )

<!--[if !supportLists]-->3. Apakah menurut pendapat penulis setuju, bahwa praktek nikah mut’ah sekarang
bisa disamakan dengan prostitusi?

Jawaban:

Jika kaum muslimin memiliki pandangan bahwa pernikahan yang sah menurut syariat Islam
merupakan jalan untuk menjaga kesucian harga diri mereka, maka kaum Syi'ah Rafidhah memiliki
pandangan lain. Perzinaan justru memiliki kedudukan tersendiri di dalam kehidupan masyarakat
mereka. Bagaimana tidak, perzinaan tersebut mereka kemas dengan nama agama yaitu nikah
mut'ah. Tentu saja mereka tidak ridha kalau nikah mut'ah disejajarkan dengan perzinaan yang
memang benar-benar diharamkan Allah 'azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kenyataan-lah yang akan membuktikan hakekat nikah mut'ah ala Syi'ah Rafidhah.

Definisi Nikah Mut'ah

Nikah mut'ah adalah sebuah bentuk pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah
tertentu tanpa memperhatikan perwalian dan saksi, untuk kemudian terjadi perceraian apabila telah
habis masa kontraknya tanpa terkait hukum perceraian dan warisan. (Syarh Shahih Muslim hadits
no. 1404 karya An-Nawawi dengan beberapa tambahan)

Hukum Nikah Mut'ah

Pada awal tegaknya agama Islam nikah mut'ah diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam di dalam beberapa sabdanya, di antaranya hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu dan
Salamah bin Al-Akwa' radhiyallahu 'anhu: "Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
menemui kami kemudian mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut'ah." (HR. Muslim)
Al-Imam Al-Muzani rahimahullah berkata: "Telah sah bahwa nikah mut'ah dulu pernah
diperbolehkan pada awal-awal Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa nikah
tersebut tidak diperbolehkan lagi. Kesepakatan ulama telah menyatakan keharaman nikah
tersebut." (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi)

Dan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu
pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut'ah. Namun sekarang Allah 'azza wa jalla
telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat." (HR. Muslim)

Adapun nikah mut'ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr
radhiyallahu 'anhu dan Umar radhiyallahu 'anhu, maka hal itu disebabkan mereka belum
mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut'ah selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim
hadits no. 1405 karya An-Nawawi)

Gambaran Nikah Mut'ah di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam


Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, jelas sekali gambaran
nikah mut'ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu 'anhum. Gambaran tersebut
dapat dirinci sebagai berikut:
1. Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika
seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116
dan Muslim no. 1404)

3. Jangka waktu nikah mut'ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)

4. Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana
mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan
hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)

Nikah Mut'ah menurut Tinjauan Syi'ah Rafidhah

Dua kesalahan besar telah dilakukan kaum Syi'ah Rafidhah ketika memberikan tinjauan tentang
nikah mut'ah. Dua kesalahan tersebut adalah:
A. Penghalalan Nikah Mut'ah yang Telah Diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya
Bentuk penghalalan mereka nampak dari kedudukan nikah mut'ah itu sendiri di kalangan mereka.
Ash-Shaduq di dalam kitab Man Laa Yahdhuruhul Faqih dari Ash-Shadiq berkata: "Sesungguhnya
nikah mut'ah itu adalah agamaku dan agama pendahuluku. Barangsiapa mengamalkannya maka
dia telah mengamalkan agama kami. Sedangkan barangsiapa mengingkarinya maka dia telah
mengingkari agama kami dan meyakini selain agama kami."

Di dalam halaman yang sama, Ash-Shaduq mengatakan bahwa Abu Abdillah pernah ditanya:
"Apakah nikah mut'ah itu memiliki pahala?" Maka beliau menjawab: "Bila dia mengharapkan wajah
Allah (ikhlas), maka tidaklah dia membicarakan keutamaan nikah tersebut kecuali Allah tulis
baginya satu kebaikan. Apabila dia mulai mendekatinya maka Allah ampuni dosanya. Apabila dia
telah mandi (dari berjima' ketika nikah mut'ah, pen) maka Allah ampuni dosanya sebanyak air yang
mengalir pada rambutnya."
Bahkan As-Sayyid Fathullah Al Kasyaani di dalam Tafsir Manhajish Shadiqiin 2/493 melecehkan
kedudukan para imam mereka sendiri ketika berdusta atas nama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
bahwa beliau bersabda: "Barangsiapa melakukan nikah mut'ah satu kali maka derajatnya seperti
Al-Husain, barangsiapa melakukannya dua kali maka derajatnya seperti Al-Hasan, barangsiapa
melakukannya tiga kali maka derajatnya seperti Ali radhiyallahu 'anhu, dan barangsiapa
melakukannya sebanyak empat kali maka derajatnya seperti aku."
Betapa Keji dan Kotor Gambaran Nikah Mut'ah Ala Syi'ah Rafidhah

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Akad nikah

Di dalam Al Furu' Minal Kafi 5/455 karya Al-Kulaini, dia menyatakan bahwa Ja'far Ash-Shadiq
pernah ditanya seseorang: "Apa yang aku katakan kepada dia (wanita yang akan dinikahi,
pen) bila aku telah berduaan dengannya?" Maka beliau menjawab: "Engkau katakan: Aku
menikahimu secara mut'ah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, namun engkau
tidak mendapatkan warisan dariku dan tidak pula memberikan warisan apapun kepadaku
selama sehari atau setahun dengan upah senilai dirham demikian dan demikian." Engkau
sebutkan jumlah upah yang telah disepakati baik sedikit maupun banyak." Apabila wanita
tersebut mengatakan: "Ya" berarti dia telah ridha dan halal bagi si pria untuk menggaulinya.
(Al-Mut'ah Wa Atsaruha Fil-Ishlahil Ijtima'i hal. 28-29 dan 31)

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Tanpa disertai wali si wanita

Sebagaimana Ja'far Ash-Shadiq berkata: "Tidak apa-apa menikahi seorang wanita yang
masih perawan bila dia ridha walaupun tanpa ijin kedua orang tuanya." (Tahdzibul Ahkam
7/254)

3. Tanpa disertai saksi (Al-Furu' Minal Kafi 5/249)


4. Dengan siapa saja nikah mut'ah boleh dilakukan?

Seorang pria boleh mengerjakan nikah mut'ah dengan:

- wanita Majusi. (Tahdzibul Ahkam 7/254)

- wanita Nashara dan Yahudi. (Kitabu Syara'i'il Islam hal. 184)

- wanita pelacur. (Tahdzibul Ahkam 7/253)

- wanita pezina. (Tahriirul Wasilah hal. 292 karya Al-Khumaini)

- wanita sepersusuan. (Tahriirul Wasilah 2/241 karya Al-Khumaini)

- wanita yang telah bersuami. (Tahdzibul Ahkam 7/253)


- istrinya sendiri atau budak wanitanya yang telah digauli. (Al-Ibtishar 3/144)

- wanita Hasyimiyah atau Ahlul Bait. (Tahdzibul Ahkam 7/272)

- sesama pria yang dikenal dengan homoseks. (Lillahi... Tsumma Lit-Tarikh hal. 54)

5. Batas usia wanita yang dimut'ah

Diperbolehkan bagi seorang pria untuk menjalani nikah mut'ah dengan seorang wanita walaupun
masih berusia sepuluh tahun atau bahkan kurang dari itu. (Tahdzibul Ahkam 7/255 dan Lillahi...
Tsumma Lit-Tarikh hal. 37)

6. Jumlah wanita yang dimut'ah

Kaum Rafidhah mengatakan dengan dusta atas nama Abu Ja'far bahwa beliau membolehkan
seorang pria menikah walaupun dengan seribu wanita karena wanita-wanita tersebut adalah
wanita-wanita upahan. (Al-Ibtishar 3/147)

7. Nilai upah

Adapun nilai upah ketika melakukan nikah mut'ah telah diriwayatkan dari Abu Ja'far dan
putranya, Ja'far yaitu sebesar satu dirham atau lebih, gandum, makanan pokok, tepung, tepung
gandum, atau kurma sebanyak satu telapak tangan. (Al-Furu' Minal Kafi 5/457 dan Tahdzibul
Ahkam 7/260)

8. Berapa kali seorang pria melakukan nikah mut'ah dengan seorang wanita?
Boleh bagi seorang pria untuk melakukan mut'ah dengan seorang wanita berkali-kali. (Al-Furu'
Minal Kafi 5/460-461)

9. Bolehkah seorang suami meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada orang lain?
Kaum Syi'ah Rafidhah membolehkan adanya perbuatan tersebut dengan dua model:
a. Bila seorang suami ingin bepergian, maka dia menitipkan istri atau budak wanitanya kepada
tetangga, kawannya, atau siapa saja yang dia pilih. Dia membolehkan istri atau budak wanitanya
tersebut diperlakukan sekehendaknya selama suami tadi bepergian. Alasannya agar istri atau
budak wanitanya tersebut tidak berzina sehingga dia tenang selama di perjalanan!!!
b. Bila seseorang kedatangan tamu maka orang tersebut bisa meminjamkan istri atau budak
wanitanya kepada tamu tersebut untuk diperlakukan sekehendaknya selama bertamu. Itu semua
dalam rangka memuliakan tamu!!!
(Lillahi... Tsumma Lit-Tarikh hal. 47)

10. Nikah mut'ah hanya berlaku bagi wanita-wanita awam. Adapun wanita-wanita milik para
pemimpin (sayyid) Syi'ah Rafidhah tidak boleh dinikahi secara mut'ah. (Lillahi... Tsumma Lit-Tarikh
hal. 37-38)

11. Diperbolehkan seorang pria menikahi seorang wanita bersama ibunya, saudara kandungnya,
atau bibinya dalam keadaan pria tadi tidak mengetahui adanya hubungan kekerabatan di antara
wanita tadi. (Lillahi... Tsumma Lit-Tarikh hal. 44) 12. Sebagaimana mereka membolehkan
digaulinya seorang wanita oleh sekian orang pria secara bergiliran. Bahkan, di masa Al-'Allamah
Al-Alusi ada pasar mut'ah, yang dipersiapkan padanya para wanita dengan didampingi para
penjaganya (germo). (Lihat Kitab Shobbul Adzab hal. 239)
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu Menentang Nikah Mut'ah
Para pembaca, bila kita renungkan secara seksama hakikat nikah mut'ah ini, maka tidaklah
berbeda dengan praktek/transaksi yang terjadi di tempat-tempat lokalisasi. Oleh karena itu di dalam
Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim diriwayatkan tentang penentangan Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu 'anhu –yang ditahbiskan kaum Syi'ah Rafidhah sebagai imam mereka- terhadap nikah
mut'ah. Beliau radhiyallahu 'anhu mengatakan: "Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
telah melarang nikah mut'ah dan daging keledai piaraan pada saat perang Khaibar." Beliau (Ali
radhiyallahu 'anhu) juga mengatakan bahwa hukum bolehnya nikah mut'ah telah dimansukh atau
dihapus sebagaimana di dalam Shahih Al-Bukhari hadits no. 5119.

SETUJU atau TIDAK SETUJU kita renungkan saja.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Apa perbedaan Nikah menurut Islam dengan Nikah Mut’ah?

Jawaban:

Perkahwinan menurut umat Islam

1. Perkahwinan ini terjadi dengan sighah atau lafaz aqad nikah di hadapan wali dan 2 orang saksi.

2. Si suami bertanggungjawab menanggung nafkah isteri termasuk tempat tinggal dan sebagainya.

3. Seseorang lelaki tidak harus menghimpunkan lebih daripada 4 orang isteri dalam satu masa
dengan syarat-syarat yang tertentu.

4. Perempuan mewarisi suami apabila suaminya mati.

5. Persetujuan bapa merupakan satu syarat bagi sahnya perkahwinan anak dara.

6. Tempoh perkahwinan berterusan selagi suami isteri itu hidup jika tidak berlaku perceraian .

Perkahwinan secara mut’ah menurut Syiah

1. Perkahwinan terjadi dengan aqad mut’ah walaupun tanpa wali dan saksi.
2. Lelaki bebas dari menanggung sebarang nafkah terhadap isteri.

3. Seorang lelaki harus menghimpun seramai mana perempuan yang diingininya tanpa syarat.

4. Isteri tidak berhak mendapat pesaka dari suami.

5. Persetujuan bapa tidak merupakan syarat dalam semua keadaan.

6. Tempoh perkahwinan mut’ah mungkin ¼ jam, mungkin sehari, mungkin juga seminggu mengikut
apa yang dilafazkan oleh seorang lelaki.

You might also like