You are on page 1of 41

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...............................................................................................


Daftar Isi .........................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan .....................................................................................

BAB II. PEMBAHASAN .....................................................................................
2.1 Pengertian dan Tujuan dan Syariah .........................................................
2.2 Keunggulan Syariat Islam .........................................................................
2.3 Perbedaan Syariah dan Fiqih ...................................................................
2.4 Muamalah ................................................................................................
2.4.1 Azas-Azas Transaksi Ekonomi Islam...........................................
2.4.2 Implementasi Transaksi Ekonomi Islam....................................
2.5 Bank Islami ...............................................................................................
2.6 Khilafiyah ..................................................................................................
2.7 Penyebab Terjadinya Perbedaan Pendapat Tentang Khilafiyah ..............
2.8 Perbedaan Pendapat Terhadap Pemahaman Nash .................................
2.9 Aliran Dalam Hukum Islam .......................................................................
2.10 Kesatuan Mazhab dalam Hukum Islam .................................................

BAB III. PENUTUP ...........................................................................................
3.1 Kesimpulan ...............................................................................................
3.2 Saran ........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Allah SWT adalah Tuhan yang Mahakuasa yang menciptakan makhluk dengan
berbagai bentuk rupa. Salah satu makhluk ciptaan Allah adalah manusia. Manusia telah
diciptakan oleh dalam bentuk yang paling sempurna. Manusia dianggap sempurna
karena manusia diberi akal fikiran dan perasaan oleh Allah SWT sehingga dengan
kelebihan yang dimiliki, manusia diharapkan dapat menjadi seorang pemimpin di muka
bumi ini.
Menjadi seorang manusia yang baik tidak mudah karena banyak aturan yang
harus dilaksanakan. Aturan penting ada dan penting juga untuk dilaksanakan karena
aturan tersebut mengatur berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan dengan aturan
tersebut seseorang akan tetap pada jalan yang lurus. Aturan yang ada hendaknya juga
berdasarkan ajaran agama Islam dan mengikuti petunjuk Nabi Muhammad SAW karena
beliau adalah manusia yang paling mulia.
Seiring perkembangan zaman, banyak aturan yang kurang memperhatikan
ajaran agama Islam. Hal ini disebabkan oleh agama yang dianut di dunia ini tidak hanya
Islam sehingga aturan yang ada juga mengacu pada ajaran agama yang ada pula.
Sejatinya jika aturan yang ada mengacu pada ajaran agam Islam seperti yang telah
diajarkan Nabi Muhammad, maka umat manusia akan bahagia kehdupannya baik di
dunia ini maupun diakhirat kelak. Sehingga, sebagai umat Islam hendaknya mengetahui
dan mempelajari aturan-aturan yang ada dalam agama Islam agar kehidupan saat ini
maupun kelak akan selalu dalam jalan yang benar.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis ingin membahas mengenai:
1. Apa pengertian dan tujuan syariah?
2. Bagaimana karakteristik syariah dan ruang lingkupnya?
3. Bagaimana penerapan syariah islam masa kini?
4. Apa perbedaan syariah dan fiqih?
5. Bagaimana muamalah (jual beli dalam Islam)?
6. Apa pengertian Khilafiyah?
7. Apa penyebab terjadinya perbedaan pendapat tentang khilafiyah?
8. Bagaimana pemahaman nash sebagai sebagai fakta timbul perbedaan pendapat?
9. Apa aliran dalam hukum islam?
10. Bagaimana kesatuan mazhab dalam hukum Islam?

1.3 Tujuan Penulisan
Pembuatan makalah ini bertujuan:
1. Mengetahui syariah dan tujuannya.
2. Penerapan syariah dalam kehidupan.
3. Khilafiyah, nash, dan mazhab yang ada dalam Islam.













BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan tujuan syariah
Secara etimologis, kata syariat, (dalam bahasa Arab, aslinya, syarah/ )
berasal dari kata syaraa ( ) yang berarti jalan ke tempat keluarnya air untuk minum
atau tempat lalu air di sungai. Dalam perkembangannya, kata syariah digunakan orang Arab
untuk konotasi jalan lurus ( ).
Dalam al-Qur`an kata syara`a, dalam berbagai bentuknya diungkapkan sebanyak lima
kali, yaitu surat al-Maidah/ 5: 48, al-A`raf/ 7: 163; al-Syra/ 42: 13 dan 21, dan dalam surat
al-Jtsiyah/ 45: 18. Kata syariat pada ayat-ayat tersebut mengandung arti jalan yang lurus
dan jelas menuju kebahagiaan hidup. Pengertian ini menurut para ahli, identik dengan
pengertian agama (al-din/ ). Karena hanya agamalah yang dapat membimbing manusia
kepada kebenaran hakiki untuk memperoleh kemenangan dan kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Firman Allah dalam surat al-Jtsiyah ayat 18.



Artinya: Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama) itu, maka ikutilah syariat itu.

Dalam surat al- Syra ayat 13 ditegaskan:




Artinya: Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu; tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya.
Kata syariat dalam ayat di atas, tampaknya, identik dengan agama, yang
mengandung arti mengesakan Allah, mematuhi dan mengimani utusan-Nya, kitab-kitab-
Nya, hari pembalasan, dan mentaati segala sesuatu (perintah dan, atau larangan Allah) yang
membawa seseorang menjadi muslim dalam arti sesungguhnya.
Apabila dicermati arti syariat secara bahasa di atas, tampaknya terdapat keterkaitan
kandungan makna antara syariat dengan air, seperti dijelaskan Amir Syarifuddin, bahwa
orang yang mematuhi syariat, ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air
sebagai penyebab kehidupan lahiriah (fisik) sebagaimana Dia menjadikan syariat sebagai
penyebab kehidupan jiwa (batiniah) manusia.
Menurut istilah, Mann al-Qatthn mengemukakan, bahwa syariat adalah:



Segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-Nya baik menyangkut akidah,
ibadah, akhlak maupun mu`amalah.
Defenisi di atas, tampaknya masih mengacu pada pengertian agama (al-dn), dimana
aspek-aspek pokok ajaran agama (Islam) dimasukkan ke dalam cakupan syariat.
Muhammad Al al-Syis. Berdasarkan kesimpulannya terhadap pendapat para ulama,
mengatakan bahwa syariat adalah:



Hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah agar manusia beriman dan beramal
saleh, yang dapat membuat mereka bahagia di dunia dan di akhirat.
Menurut al-Syis, pengertian syariat seperti ini mengandung tiga dimensi; salah
satunya adalah dimensi hukum, yaitu meliputi tindakan-tindakan manusia, seperti ibadah,
mu`amalah, hukuman dan lain sebagainya yang termasuk ke dalam kajian fikih. Pengertian
inipun masih berorientasi pada pengertian agama.
Sementara, menurut Mahmd Syaltt, syariat adalah:






Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah atau hasil penalaran atas dasar
ketentuan tersebut, untuk dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan umat manusia, baik
dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan umat manusia; sesama muslim atau non
muslim, maupun dengan alam sekitarnya. Pengertian yang dikemukakan Syaltt ini dengan
jelas telah memisahkan antara agama dengan syariat. Menurutnya, agama (Islam) terdiri
dari dua ajaran pokok, yaitu akidah dan syariat, dimana syariah lebih dikhususkan pada
persoalan amaliah. Lebih lanjut, masih menurut Syaltt, aspek akidah merupakan pondasi
tempat tumbuh dan berkembangnya syariah. Sedangkan syariah adalah sesuatu yang harus
tumbuh dari akidah itu.
Defenisi di atas juga menunjukkan, bahwa syariat sebagai ketentuan yang mengatur
persoalan-persoalan amaliah, terdiri dari dua kategori; pertama, ketentuan-ketentuan
hukum yang secara langsung ditetapkan oleh Syri (Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur`an
dan As-Sunnah). Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat abadi dan tidak berubah, karena
tidak ada yang punya wewenang merubahnya kecuali Allah.

2.2 Keunggulan Syariat Islam
Keunggulan-keunggulan Syariat Islam itu antara lain karena mempunyai karakteristik-
karakteristik sebagai berikut :
1. Rabbaniyah, karena sumber pokoknya wahyu dari Allah ( QS An-Najm (53) : 3 , QS
Al-Haqqah (69) : 44 47 ). Karena itu orientasinya ibadah kepada Allah ( QS Adz-
Dzariyat (51) : 56 ) berikut efek pengamalannya.
2. Al-Insaniyah. Seluruh ajarannya sesuai dengan kemanusiaan, karena itu agama Islam
disebut sebagai Agama Fithrah ( QS Ar-Rum (30) : 30 ). Rasul dari kalangan manusia (
QS An-Nahl (16) : 43 ). Menjunjungtinggi kemanusiaan ( QS Al-Isra (17) : 70 ).
Mengajarkan kesetaraan ( QS Al-Hujurat (49) : 13 ).
3. Syumuliyah (komprehensif), kaffah (QS Al-Baqarah (2) : 208) dan shaalih likulli
zamaan wa makaan.
4. Wasathiyah (QS Al-Baqarah (2) : 143, QS An-Nisa (4) : 171) Waqiiyah, karena itu
ditata untuk mudah dan praktis (QS Al-Hajj (21) : 78, QS An-Nisa (4) : 28).
5. Agama Islam memberi jalan yang luas dan wajar kepada akal fikiran manusia,
sehingga taklid dilarang dalam Islam ( QS Al-Isra (17) :36 ).
6. Agama Islam mewajibkan keadilan, dan setiap orang hanya bertanggungjawab
terhadap apa yang ia lakukan ( QS An-Nahl (16) : 90 , QS An-Najm (53) : 38-41 ).
7. Seluruh ajaran Islam bertumpu kepada rahamat dan maslahat ( QS Al-Anbiya (21)
:107 ).
8. Al-Akhlaqul-karimah merupakan missi agama Islam ( Hadits : Innamaa Buitstu
Liutammima Makaarimal-Akhlaaq )
9. Aspek Sanksi & Penghargaan Dalam Syariah Islam Mencakup Dunia dan Akhirat.
Artinya, hukuman dan balasan kebaikan dalam syariah Islam, tidak hanya berupa
hukuman di dunia, namun juga hukuman di akhirat. Allah SWT berfirman:
Hukuman yang demikian itu adalah suatu kehinaan di dunia bagi mereka dan di
akhirat kelak mereka beroleh azab seksa yang amat besar. (QS. Al-Maidah : 33)
10. Langgeng Sepanjang Masa Untuk Seluruh Umat Manusia.
Artinya bahwa syariah Islam merupakan pedoman hidup yang langgeng untuk semua
manusia, diseluruh tempat dan di semua masa. Allah SWT berfirman (QS. Saba : 28)
Dan tidaklah kami mengutusmu (wahai Muhammad), melainkau untuk seluruh
umat manusia, dengan membawa berita gembira (kepada orang-orang beriman)
dan pemberi peringatan (kepada orang-orang yang ingkar). Akan tetapi kebanyakan
maunsia tidak mengetahui (hakikat tersebut).
11. Sempurna
Artinya bahwa syariah Islam merupakan syariah yang sempurna, karena dibuat dan
diciptakan oleh Dzat yang Maha Sempurna, yaitu Allah SWT. Allah berfirman :
Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan
kepadamu nikmat Ku, dan telah Ku redhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al-
Maidah : 3)

2.3 Perbedaan Syariah dan Fiqih
Perbedaan antara Syariah dan Fiqih dibagi menjadi beberapa macam segi perbedaan.
a. Perbedaan dalam Objek
Syariah: Objeknya meliputi bukan saja batin manusia akan tetapi juga lahiriah manusia
dengan Tuhannya (ibadah)
Fiqih: Objeknya peraturan manusia yaitu hubungan lahir antara manusia dengan
manusia, manusia dengan makhluk lain.

b. Perbedaan dalam Sumber Pokok
Syariah: Sumber Pokoknya ialah berasal dari wahyu ilahi dan atau kesimpulan-
kesimpulan yang diambil dari wahyu.
Fiqih: Berasal dari hasil pemikiran manusia dan kebiasaan-kebiasaan yang terdapat dalam
masyarakat atau hasil ciptaan manusia dalam bentuk peraturan atau UU

c. Perbedaan dalam Sanksi
Syariah: Sanksinya adalah pembalasan Tuhan di Yaumul Mahsyar, tapi kadang-kadang
tidak terasa oleh manusia di dunia ada hukuman yang tidak langsung
Fiqih: Semua norma sanksi bersifat sekunder, dengan Menunjuk sebagai Pelaksana alat
pelaksana Negara sebagai pelaksana sanksinya.

d. Perbedaan Pokok Antara Syariah dan Fiqih
Syariah
Berasal dari Al-Qur'an dan As-sunah
Bersifat fundamental
Hukumnta bersifat Qath'i (tidak berubah)
Hukum Syariatnya hanya Satu (Universal)
Langsung dari Allah yang kini terdapat dalam Al-Qur'an
Kebenaran Syariah adalah MUTLAK (QOTH'I)
QS Al Baqarah (2) : 147 Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-
kali kamu termasuk orang-orang yang ragu
QS Ali Imran (3) : 60 (Apa yang telah kami ceritakan itu) Itulah yang benar, yang
datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu.
Syariah berlaku sampai dengan Hari Akhir/Kiamat (SEMPURNA/BAKU)
QS AL Hijr (15) : 9 Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur'an, dan
sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya (selamanya)
Syariah diperuntukkan kepada UMAT MANUSIA SELURUHNYA/UNIVERSAL
QS Saba' (34) : 28 Dan kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia
seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai peringatan
Fiqih
Karya Manusia yang bisa Berubah
Bersifat Fundamental
Hukumnya dapat berubah
Banyak berbagai ragam
Bersal dari Ijtihad para ahli hukum sebagai hasil pemahaman manusia yang
dirumuskan oleh Mujtahid
Kebenaran berdasarkan FIQH adalah RELATIF
QS Yunus (10) : 36 Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran
(sama sekali tidak bisa menggantikan sesuatu yang diperoleh dengan keyakinan)
Fiqh berlaku TEMPORAL/LOKAL
Masa berlakunya pada waktu fiqh tersebut dimunculkan, diperlukan
pembaharuan/tadjid
Fiqh HANYA menimbulkan TAQLID bagi penganutnya
QS At Taubah (9) : 31 Mereka menjadikan orang alim & rahib mereka sebagai Tuhan
selain Allah dan juga mereka menuhankan Isa padahal mereka hanya disuruh
menyembah Allah yang Esa.

2.4 Muamalah
Menurut fiqih, muamalah ialah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi
manfaat dengan cara yang ditentukan. Yang termasuk dalam hal muamalah adalah jual beli,
sewa menyewa, upah mengupah, pinjam meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat
dan lain-lain.
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain,
masing-masing berhajat kepada yang lain, bertolong-tolongan, tukar menukar keperluan
dalam urusan kepentingan hidup baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjam
meminjam atau suatu usaha yang lain baik bersifat pribadi maupun untuk kemaslahatan
umat. Dengan demikian akan terjadi suatu kehidupan yang teratur dan menjadi ajang
silaturrahmi yang erat.
Agar hak masing-masing tidak sia-sia dan guna menjaga kemaslahatan umat, maka
agar semuanya dapat berjalan dengan lancar dan teratur, agama Islam memberikan
peraturan yang sebaik-baiknya aturan.

2.4.1 Azaz-Azaz Transaksi Ekonomi Islam
Dalam hal bermuamalah, ruang lingkupnya sangat luas. Agama islam dalam hal ini
memberikan tuntunan secara global. Para ahli fikih memberikan rumusan prinsip umum
dalam bermuamalah, yaitu berupa kaidah ushul fiqih asal hukum dalam setiap masalah
yang berhubungan dengan muamalah adalah jaiz atau boleh, sampai ditemukan adanya dalil
yang melarangnya.
Dalam transaksi dijalankan secara sukarela atau tanpa paksaan dari pihak manapun
antara kedua belah pihak dan dalam pelaksanaannya dilandasi dengan niat yang baik dan
tulus agar kecurangan dapat dihindarinya.
Transaksi ekonomi dalam islam dapat dicontohkan seperti aktivitas di pasar yang para
pedagangnya menggunakan system perdagangan secara Islam.

2.4.2 Implementasi Transaksi Ekonomi Islam
Dalam kehidupan sehari-hari, hendaknya menerapkan transaksi ekonomi Islam.
Misalnya dalam hal jual beli, utang piutang, sewa menyewa dan kerjasama dagang.
1. Jual Beli
Jual beli dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna
berlawanan yaitu Al Bai yang artinya jual dan Asy Syiraa yang artinya Beli. Menurut istilah
hukum Syara, jual beli adalah penukaran harta (dalam pengertian luas) atas dasar saling rela
atau tukar menukar suatu benda (barang) yang dilakukan antara dua pihak dengan
kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka sama suka (lihat QS Az Zumar : 39, At Taubah :
103, hud : 93) Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara
yang tertentu (akad). Firman Allah SWT:
Artinya : Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS Al Baqarah (2) : 275).
Dalam jual beli terdapat rukun dan syaratnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
*. Penjual dan pembeli
Syarat keduanya adalah berakal, baligh, dan berhak menggunakan hartanya
*. Uang dan benda yang dibeli
Syaratnya keduanya adalah: suci, ada manfaatnya, keadaan barang itu dapat diserahkan,
barang itu diketahui oleh si penjual dan si pembeli
*. Ijab qabul
Unsur utama dalam jual beli yaitu ketulusan antara penjual dan pembeli.
Selain rukun dan syaratnya, dalam jual beli terdapat istilah khiyar. Khiyar artinya boleh
memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkannya. Jenis khiyat ada tiga
macam yaitu Khiyar majlis, khiyat syarat dan khiyar aibi. Khiyar majlis maksudnya, si
pembeli dan si penjual boleh memilih antara dua perkara selama keduanya masih tetap di
tempat jual beli. Khiyar syarat maksudnya, khiyar itu dijadikan syarat sewaktu akad. Dan
khiyar aibi maksudnya, si pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya, apabila
terdapat cacat

Macam jual beli
Dalam hal jual beli ada tiga macam yaitu jual beli yang sah dan tidak terlarang, jual beli yang
terlarang dan tidak sah, jual beli yang sah tetapi terlarang, monopoli dan najsi. Jual beli yang
sah dan tidak terlarang yaitu jual beli yang diizinkan oleh agama artinya, jual beli yang
memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Sedangkan jual beli yang terlarang dan tidak
sah yaitu jual beli yang tidak diizinkan oleh agama, artinya jual beli yang tidak memenuhi
syarat dan rukunnya jual beli. Dan jual beli yang sah tapi terlarang yaitu jual belinya sah,
tidak membatalkan akad dalam jual beli tapi dilarang dalam agama Islam karena menyakiti si
penjual, si pembeli atau orang lain; menyempitkan gerakan pasaran dn merusak
ketentraman umum. Monopoli yaitu menimbun barang dengan tujuan supaya orang lain
tidak dapat membelinya dan najsyi adalah menawar barang dengan tujuan untuk
mempengaruhi orang lain agar membeli barang yang ditawarkannya.
Jual beli yang terlarang dan tidak sah diantaranya adalah: jual beli barang najis, Jual beli
anak hewan yang masih berada dalam perut induknya, jual beli yang ada unsur kecurangan
dan jual beli sperma hewan.
Jual beli yang sah tetapi terlarang diantaranya :membeli barang dengan harga mahal yang
tujuannya supaya orang lain tidak dapat membeli barang tersebut, Membeli barang yang
sudah dibeli orang lain yang masih dalam hiyar, Mencegat para pedagang dan membeli
barangnya sebelum mereka sampai dipasar dan sewaktu mereka belum mengetahui harga
pasar. Membeli barang untuk ditimbul dan setelah harganya mahal baru dijual, menjual
barang yang menjadi alat maksiat bagi pembelinya, dan mengecoh urusan jual belibaik dari
pembeli maupun penjual dalam keadaan barang atau ukurannya.
Hukum Jual Beli
Orang yang terjun dalam bidang usaha jual beli harus mengetahui hukum jual beli agar
dalam jual beli tersebut tidak ada yang dirugikan, baik dari pihak penjual maupun pihak
pembeli. Jual beli hukumnya mubah. Artinya, hal tersebut diperbolehkan sepanjang suka
sama suka. Allah berfirman.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka diantara kamu.(QS An Nisa : 29)
Hadis nabi Muhammad SAW menyatakan sebagai berikut.

( )
Artinya : Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka suka sama suka. (HR Bukhari)

( )
Artinya : Dua orang jual beli boleh memilih akan meneruskan jual beli mereka atau tidak,
selama keduanya belum berpisah dari tempat akad. (HR Bukhari dan Muslim)
Dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang melakukan jual beli
dan tawar menawar dan tidak ada kesesuaian harga antara penjual dan pembeli, si pembeli
boleh memilih akan meneruskan jual beli tersebut atau tidak. Apabila akad (kesepakatan)
jual beli telah dilaksanakan dan terjadi pembayaran, kemudian salah satu dari mereka atau
keduanya telah meninggalkan tempat akad, keduanya tidak boleh membatalkan jual beli
yang telah disepakatinya.

2. Ariyah (Pinjam meminjam)
Ariyah adalah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil
manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya agar dapat dikembalikan zat barang itu. Dalam
hal ariyah terdapat rukun dan syaratnya yaitu sebagai berikut:
a. Rukun Ariyah
1).Orang yang meminjamkan syaratnya berhak berbuat kebaikan sekehendaknya, manfaat
barang yang dipinjam dimiliki oleh yang meminjamkan.
2). Orang yang meminjam berhak menerima kebaikan
3). Barang yang dipinjam syaratnya barang tersebut bermanfaat, sewaktu diambil
manfaatnya zatnya tetap atau tidak rusak
Orang yang meminjam boleh mengambil manfaat dari barang yang dipinjamnya hanya
sekedar menurut izin dari yang punya dan apabila barang yang dipinjam hilang,atau rusak
sebab pemakaianyang diizinkan , yang meminjam tidak menggantinya. Tetapi jikalau sebab
lain, dia wajib mengganti.
Asal hukum meminjamkan sesuatu adalah sunat. Akan tetapi kadang hukumnya
wajib dan kadang-kadang juga haram. Hukumnya wajib contohnya yaitu meminjamkan
pisau untuk menyembelih hewan yang hamper mati. Dan hukumnya haram contohnya
sesuatu yang dipinjam untuk sesuatu yang haram.

3. Perseroan
Perseroan adalah akad perjanjian antara dua orang atau lebih yang menetapkan hak milik
bersama dalam persekutuan. Perseroian yang kita ketahui diantaranya adalah PT, CV, NV,
dan Firma.
Perseroan ada beberapa macam yang lebih peting dan berguna adalah serikat harta dan
serikat kerja.
Penjelasan tentang kedua serikat ini dapat dipelajari sebagaimana berikut:
a. Serikat harta
Serikat harta atau serikat Inan yaitu serikat yang terdiri dari dua orang atau lebih untuk
bersekutu harta yang ditentukan dengan tujuan keuntungannya untuk mereka yang
berserikat. Dalam berserikat keikhlasan sangat diperlukan dan harus menghindari
penghianatan.
Rukun serikat harta diantaranya:
Lafal akad atau sighat
Orang yang berserikat
Pokok atau modal dan pekerjaan
Jenis usaha dalam serikat perlu suatu kesepakatan yang disepakati oleh anggota serikat
tersebut. Keuntungan dan kerugian ddiperoleh dan ditanggung oleh setiap anggota serikat
sesuai dengan hasil musyawarah anggota serikat.
Perseroan yang dikategorikan dalam serikat inan antara lain:
PT (Perseroan Terbatas)
P T yaitu perusahaan yang modalnya didapat dari saham-saham yang memiliki harga
nominal tertentu. Dalam pendirian P T didirikan dengan akte notarisdan A D
(Anggaran Dasar) nya harus disyahkan dari menteri kehakiman.
* Firma
Perseroan firma yaitu Persekutuan dari dua orang atau lebih yang berdagang bersama-sama
dalam satu nama dan bertanggung jawab bersama terhadap perdagangannya. Sehingga
semuanya bekerja penuh pada perusahaan
* CV (Commanditaire Venootschaf)
Dalam C V tidak semua anggotanya turut bekerja dalam perusahaan. Ada yang hanya
menyerahkan modal untuk dikelola oleh anggota-anggota lainnya. Maka C V adalah bentuk
perluasan dari firma. Baik C V maupun Firma didirikan berdasarkan akte notaries dan segala
bentuk aktivitas perusahaan dicantumkan dalam aktenya.
b. Serikat Kerja (Serikat Abdan)
Serikat kerja yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih bersepakat atas suatu pekerjaan
dan masing-masing mengerjakan pekerjaan sesuai dengan bidangnya. Penghasilannya dibagi
menurut perjanjian sewaktu akad. Serikat kerja ini hukumnya sah apabila tidak ada yang
berkhianat.
Serikat kerja jenisnya bermacam-macam diantaranya adalah qirad, mukhabarah, muzaraah
dan musaqah.
Qirad
Qirad yaitu memberikan modal kepada orang lain untuk diperniagakan. Mengenai
keuntungan, untuk keduanya sesuai dengan perjanjian sewaktu akad. Akad dalam qirad
adalah akad percaya mempercayai dan semuanya harus didasari dengan ikhlas. Modal
dalam qirad bisa berupa barang atau uang yang dapat dihitung harganya. Agama Islam tidak
melarang qirad. Dalam qirad terdapat unsur tolong menolong dalam meningkatkan
penghasilan.
Dalam qirad terdapat rukun-rukunnya diantaranya adalah:
Ada harta atau modal baik berbentuk uang atau barang
Pekerjaan atau usahanya perdagangan
Ada pembagian keuntuangan atau kerugian
Pemodal dan yang menjalankan modal telah baligh

Muzaraah dan mukhabarah
Muzaraah yaitu suatu kerjasama antara pemilik lahan pertanian baik berupa sawah
atau ladang dengan penggarap yang bibitnya asalnya dari penggarap dengan bagi hasil yang
jumlahnya sesuai dengan kesepakatan bersama. Apabila system yang digunakan muzaraah
mengenai zakat ditanggung oleh penggarap dan apabila benihnya asalnya dari pemilik
sawah atau ladang dinamakan mukhabarah dan zakatnya ditanggung oleh pemilik tanah
tersebut.

Musaqah
Musaqah disebut juga dengan paroan kebun maksudnya, suatu kerjasama antara
pemilik kebun dengan pemelihara kebun dengan perjanjian dan kesepakatan bersama. Hal
ini saling menguntungkan karena kadang orang punya kebun tetapi tidak sanggup
mengurusinya atau menggarapnya. Sedangkan orang yang tidak punya kebun mendapat
kesempatan untuk menggarap atau mengurusinya sehingga mendapat suatu penghasilan
yang bisa dinikmati bersama yang punya kebun.
Dalam hal musaqah terdapat rukun-rukunnya yaitu diantaranya adalah:
Pemilik kebun dan yang menggarap kebun sama-sama berhak membelanjakan harta
keduanya
Semua pohon yang berbuah boleh diparohkan demikian juga hasil pertahunnya
Ditentukan masanya dalam mengerjakan kebun
Terdapat kesepakatan dalam pembagian hasil kebun
Bank Islami
Dalam rangka untuk menghindari unsur riba, maka bermunculan bank yang berdasarkan
syariah misalnya bank muamalat, bank syariah mandiri dan bank-bank lainnya yang
berdasarkan syariah. Bank-bank tersebut dalam operasinya disesuaikan dengan prinsip-
prinsip syariah Islam dan tatacaranya acuannya adalah Al Quran dan As Sunah.
Agar tidak terdapat unsur riba, nasabah yang akan mengadakan akad perjanjian dengan
bank dapat melaksanakan perihal sebagaimana berikut:
Mudarabah atau qirad
Syirkah atau perseroan
Wadiah atau titipan uang
qard hasan atau peminjaman yang baik
murabahah atau bank membelikan barang yang diperlukan oleh pengusaha untuk
dijual lagi dan bank dapat minta tambahan atas harga pembeliannya.
Dengan adanya bank syariah maka umat islam dapat menghilangkan keragu-raguannya
dalam berurusan dengan bank. Selain itu hikmahnya dengan adanya bank syariah antara
lain:
Mempermudah umat islam dalam menjalankan syariat khususnya dalam bidang
keuangan dan perekonomian
Dapat menghindari unsur riba
Nyaman dalam berhubungan dengan bank karena sudah bersyariah Islam
Ekploitasi dari orang kaya terhadap orang miskin dapat terhindar.

2.6 Pengertian Khilafiyah
Secara harfiyah persepsi berarti tanggapan atau penerimaan, proses seseorang
mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya (Dep.P&K, 1990:576). Pringgodigdo &
Shadilly (1977: 866) dalam Ensiklopedi Umum mengemukakan, persepsi diartikan sebagai
proses mental yang menghasilkan bayangan pada diri individu, sehingga dapat mengenal
suatu obyek dengan jalan asosiasi dengan suatu ingatan tertentu, baik secara indera
penglihatan, indera peradaban, dan sebagainya. Jalaluddin Rakhmat (1998:51) dalam
bukunya Psikologi Komunikasi mendefinisikan: Persepsi adalah pengalaman tentang objek,
peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli indrawi (sensory
stimuli).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa paling tidak ada tiga unsur
hingga terjadinya persepsi, yaitu: proses mengetahui atau pengenalan, objek, dan alat idera.
Edgar F. Huse (dalam Thoha, 1983:143) menyebutkan ada tiga faktor yang dapat
mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu: psikologis, keluarga, dan kebudayaan.
a. Faktor Psikologis
Keadaan psikologi besar sekali pengaruhnya dalam menentukan arah persepsi
seseorang terhadap situasi tertentu. Misalnya, orang tua yang menyayangi anaknya tidak
mudah percaya bila mendengar ada seorang ayah yang mampu menyiksa dan
membunuh anak kandungnya sendiri. Atau seseorang yang tidak senang terhadap
kawannya, akan menganggap segala tingkah laku kawannya tersebut sebagai sesuatu
yang tidak benar.
b. Keluarga
Lingkungan keluarga mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk persepsi
seseorang terhadap situasi lingkungannya. Seorang anak yang dibesarkan dalam
lingkungan keluarga yang memiliki persepsi-persepsi tertentu dan melihat kenyataan-
kenyataan yang dihadapi, akan mudah mengikut-ikuti persepsi-persepsi tersebut.
Sehingga tidaklah mengherankan bila dalam suatu lingkungan keluarga terdapat orang-
orang yang memiliki pandangan yang sama terhadap situasi tertentu.
c. Kebudayaan
Kebudayaan di lingkungan masyarakat tertentu cukup besar dalam mempengaruhi
persepsi seseorang terhadap suatu situasi tertentu. Bruner dan Golman, 1947 (dalam
Thoha, 1983:143) pernah mengadakan penelitian di Amerika Serikat terhadap dua
kelompok anak (miskin dan kaya) diminta menggambarkan uang logam 25 sen. Hasilnya
memperlihatkan bahwa gambar uang lugam tersebut bagi anak-anak miskin ternyata
dilukiskan lebih besar bila dibandingkan dengan yang dilukis oleh anak-anak kaya. Di sini
terlihat bahwa uang logam 25 sen bagi anak-anak miskin lebih berharga (berarti) bila
dibandingkan dengan anak-anak yang kaya.

Khilafiyah fiqh
Menurut bahasa khilafiyah (

) berarti yang dipertentangkan atau maslah yang


dipertentangkan (Munawwir, t.th:392). Sedang yang dimaksud dengan khilafiyah fiqh ialah
terjadinya perbedaan pendapat dan fatwa hukum fiqh, ini terjadi pada masalah furu bukan
dalam masalah pokok. Menurut Hanafi, 1991:103) perbedaan pendapat dikalangan fuqaha
adalah suatu hal yang wajar dan sesuai dengan corak ijtihad, dan mereka sendiri masih
tetap berada di sekitar apa yang ditunjuki oleh syara.

2.7 Penyebab Terjadinya Perbedaan Pendapat Tentang Khilafiyah
Suatu hal yang telah diketahui bersama bahwa tidak ada seorang ulama pun yang
tepercaya keilmuan, amanah, dan ketaatannya sengaja menyelisihi apa yang ditunjukkan
oleh dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Karena orang yang sejatinya alim, niscaya yang menjadi
penunjuk jalannya adalah kebenaran. Namun para ulama bisa saja terjatuh ke dalam
kesalahan saat menyebutkan suatu hukum syariat. Kesalahan pasti bisa terjadi, karena
manusia pada dasarnya lemah ilmu dan pemahamannya. Pengetahuannya pun terbatas,
tidak bisa meliputi seluruh perkara. Sebab terjadinya perselisihan pendapat di kalangan
ulama dalam suatu hukum sendiri di antaranya sebagai berikut:
1. Karena dalil belum sampai kepadanya. Hal ini tidak hanya terjadi setelah zaman para
sahabat. Bahkan di zaman mereka pun pernah terjadi. Seperti tersebut dalam Shahih
Al-Bukhari bahwa Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu
melakukan safar menuju Syam. Di tengah perjalanan dikabarkan kepadanya bahwa di
Syam tengah terjadi wabah thaun. Umar menghentikan perjalanannya dan
bermusyawarah dengan para sahabat. Mereka berselisih pendapat. Ada yang
mengusulkan untuk pulang dan ada yang berpendapat terus melanjutkan. Ketika
mereka tengah bermusyawarah, datang Abdurrahman bin Auf yang tadinya tidak ikut
musyawarah karena ada suatu keperluan. Abdurrahman mengatakan: Saya memiliki
ilmu tentang ini. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:



Jika kalian mendengar di suatu negeri ada thaun maka janganlah kalian
memasukinya. Dan jika terjadi di tempat yang kalian ada di sana maka janganlah
keluar (dari daerah tersebut, red.) untuk lari darinya. (Lihat Shahih Al-Bukhari no.
5729)
2. Adakalanya hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia belum percaya
(penuh) kepada yang membawa beritanya. Dia memandang bahwa hadits itu
bertentangan dengan yang lebih kuat darinya. Sehingga dia mengambil dalil yang
menurutnya lebih kuat.
3. Hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia lupa.
4. Dalil telah sampai kepadanya namun ia memahaminya tidak sesuai dengan yang
diinginkan. Misalnya kalimat

artinya: Atau kalian menyentuh


perempuan, dalam surat Al-Ma`idah ayat 6. Sebagian ulama mengatakan bahwa
sekadar seorang lelaki menyentuh perempuan batal wudhunya. Sebagian lainnya
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menyentuh di sini adalah jima
(bersetubuh) sebagaimana pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma. Pendapat
inilah yang benar, dengan landasan adanya riwayat bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam mencium sebagian istrinya lalu berangkat menuju shalat dan tidak berwudhu.
5. Telah sampai dalil kepadanya dan dia sudah memahaminya, namun hukum yang ada
padanya telah mansukh (dihapus) dengan dalil lain yang menghapusnya. Sementara
dia belum tahu adanya dalil yang menghapusnya.
6. Telah datang kepadanya dalil namun ia meyakini bahwa dalil itu ditentang oleh dalil
yang lebih kuat darinya, dari nash Al-Qur`an, hadits, atau ijma (kesepakatan ulama).
7. Terkadang sebabnya karena seorang alim mengambil hadits yang dhaif (lemah) atau
mengambil suatu pendalilan yang tidak kuat dari suatu dalil. (Diringkas dari risalah Al-
Khilaf Bainal Ulama, Asbabuhu wa Mauqifuna minhu bersama Kitabul Ilmi karya Asy-
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu)

2.8 Perbedaan Pendapat Terhadap Pemahaman Nash
Hal-hal yang menimbulkan pemahaman yang berbeda terhadap nash-nash (dalil) pada
garis besarnya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian kata-kata tunggal dan
pengertian susunan kata (uslub). Kata-kata tunggal tersebut ialah kata-kata musytarak,
suruhan dan larangan, hakikat dan majaz, mutlak dan muqayyad. Adapun susunan kata-kata
(uslib) yang menim-bulkan pemahaman yang berbeda ialah pengecualian dari kata-kata
umum, mafhum mukhalafah, fahwul khitab, umumul muqtadha, istisna sesudah beberapa
jumlah kata-kata. Berikut ini contoh-contohnya:

1. Kata-kata Musytarak
Kata mustarak ialah kata-kata yang mempunyai pengertian rangkap. Misalnya kata-kata
"quru' " pada firman Allah:
Artinya:
"Istri yang diceraikan suaminya harus menunggu dirinya (beriddah) tiga kali quru' ".
Kata-kata quru' ini mempunyai arti dua yaitu "suci" dan "haid". Kedua arti ini tidak bisa
dipakai bersama-sama, melainkan hams diambil salah satunya. Menurut Imam Malik, Syafi'i,
dan Dawud Ad-Dhahiri arti tersebut ialah "suci". Jadi menurut mereka iddah istri yang
dicerai adalah tiga kali persucian. Menurut Imam Abu Hanifah arti tersebut ialah haid, dan
kelanjutannya ialah bahwa iddah istri tersebut ialah tiga kali haid.

2. Pengertian Suruhan dan Larangan
Dalam membcrikan suruhan/perintah dengan menggunakan bermacam-macam bentuk
kata, scpcrti fi'il aniar, fi'il mudhari' yang disertai dengan lam amr dan kalimat berita yang
bennakna perintah. Di kalangan fuqaha pengertian bentuk perintah tersebut masih
diperselisihkan, apakah menunjukkan wajib atau sunah, kecuali kalau adaqarinuli. Sebagai
contoh suruhan menulis perjanjian hutang piutang dan mendatangkan dua orang saksi pada
firman Allah sebagai berikut.

Artinya: "Wahai orang-orang yang heriman, jika kamu sating berpiutang dengan sesuatu
hutang sampai masa tertentu, maka tuliskan hutang piutang tersebut." (Q.S. Albaqarah/2:
282)

Menurut jumhur fuqaha perintah-perintah tersebut hanya. bersifat irsyad saja (petunjuk)
atau sunat, akan tetapi menurut ulama lain perintah tersebut menunjukkan wajib. Dalam
memberikan larangan syara" juga memakai bermacam-macam bentuk dan mengehai
pengertiannya masih diperselisihkan. Apakah menunjukkan haram atau makruh. Hal ini
tergantung qarinahnya. Sebagai contoh ialah larangan mengadakan pembelian atau
pinangan pada hadis berikut. "Seseorang diantara kamu tidak boleh membeli atas
pembelian (tawaran) saudaranya atau meminang atas pinangan saudaranya kecuali
diizinkan kepadanya." Maksudnya membeli barang yang masih dalam penawaran orang lain
atau meminang kepada wanita yang masih dalam pinangan orang lain. Sebagian fuqaha
mengatakan bahwa larangan tersebut adalah pasti dan perbuatan yang dilarang adalah
haram. Kelanjutannya adalah bahwa pembelian atau perkawinan yang dilakukan dalam
keadaari demikian tidak sah. Akan tetapi menunit fuqaha lain, larangan tersebut tidak pasti
dan tidak haram, melainkan larangan etis yang bersifat tata krama. Kelanjutannya ialah
pembelian dan perkawinan yang dilakukan dalam keadaan demikian letup sah. Fuqaha yang
lain lagi mongalakan bahwa larangan tersebut menunjukkan haram juga, tetapi tidak
berakibat sahnya pembelian atau perkawinan, karena larangan tersebut tidak bertalian
dengan perbuatan itu sendiri, melainkan dengan hal-hal yang diluamya.

3. Kata-kata Hakikat dan Majazi
Sesuatu kata-kata kadang-kadang dipakai dalam arti hakiki (arti yang sebenarnya) dan
kadang-kadang dipakai dalam arti majazi (bukan arti yang sebenarnya). Hal ini ada
pengaruhnya terhadap perbedaan pendapat bagi kalangan fuqaha. Sebagai aturan pokok
sudah diakui oleh semua fuqaha, bahwa selama masih bisa memakai arti hakiki maka arti
majazi tidak boleh dipakai. Tetapi perselisihan tentang arti hakiki bisa dimungkinkan. Juga
tentang apakah arti dan majazi kedua-duanya bisa dipakai bersama-sama sekaligus atau
tidak. Sebagai contoh ialah membaca surat Fatihah dalam shalat yang berpangkal pada
hadis Rasulullah saw.:


Artinya: "Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surat Fatihah. "

Menurut sebagian fuqaha, hadis tersebut diartikan kepada arti hakiki, yakni shalat dianggap
tidak sah (tidak ada) apabila tidak membaca Fatihah. Menurut Imam Hanafi, hadis tersebut
diartikan arti majazi. Jadi yang ditiadakan adalah kesempurnaannya, yakni sesuatu shalat
tidak akan sempuma apabila tidak 'membaca Fatihah. Kalau diartikan kepada arti hakiki
tentu akan berarti membatalkan ayat Alquran yang berbunyi "Maka bacalah apa yang
mudah berupa Alquran." Menurut ketentuan Alquran ini baik surat Fatihah atau bukan, asal
berupa Alquran bisa dibaca. Menurut ulama-ulama Hanafiah dengan membaca sembarang
ayat Alquran maka shalat menjadi sah.

4. Kata-kata Mutlak dan Muqayyad
Sesuatu kata-kata kadang-kadang disebutkan dalam satu tempat dengan bentuk mutlak,
artinya disebutkan tanpa batasan-batasan tertentu, seperti kata-kata "tiga hari". Kemudian
kata-kata tersebut disebutkan di tempat lain dengan bentuk muqayyad, artinya memakai
batasan-batasan tertentu, sehingga dapat mengurangi daerah penerapannya seperti kata-
kata "tiga hari berturut-turut." Contoh dalam hal ini, misalnya kata-kata "raqabah" (hamba
sahaya) pada surat Annisa ayat 92.

Artinya: "Barang siapa membunuh orang mukmin karena tidak sengaja, maka atasnya
membebaskan seorang hamba sahaya mukmin dan diyat (denda) yang diserahkan kepda
keluarganya. " (Annisa/4: 92)

Kata-kata hamba sahaya mukmin ini menunjukkan "muqayyad", sedangkan dalam surat lain
disebut kata hamba sahaya dengan tidak menyebut mukmin, jadi "mutlak" sobagaimana
dalam surat Almujadalah ayat 3 :

Artinya: "Mereka yang menyhar (mempersamakan istrinya dengan orang perempuan
mahramnya) istrinya, kemudian menarik kembali kata-katanya, maka atasnya
membebaskan seorang hamba sahaya, sebelum keduariya bercampur. " (Almujadalah/58: 3)

Kalau kita perbandingkan antara kedua ayat tersebut, maka ternyata bahwa hukum
kedua ayat tersebut adalah sama yaitu pembebasan hamba sahaya, tetapi sebab adanya
hukum tersebut berbeda, karena ayat yang pertama mengenai pembunuhan yang tidak
disengaja, sedangkan ayat yang kedua mengenai zihar kepada istrinya. Maka menurut
ulama-Hanafiah dan Malikiah. antara kedua ayat tersebut tidak perlu dipertalikan. Jadi
kewajiban pembunuhan tidak sengaja ialah membebaskan hamba sahaya mukmin,
sedangkan kewajiban pada zihar membebaskan sembarang hamba sahaya. Sebaliknya
menurut ulama-ulama Syafi'iah, kata-kata mutlak harus dibawa kepada kata-kata
muqayyad. Jadi kewajiban pada zihar adalah membebaskan hamba sahaya yang mukmin,
sebagaimana pembunuhan yang tidak disengaja.

5. Mafhum Mukhalafah
Kalau sesuatu hukum dipertalikan dengan sesuatu sifat (keadaan), atau syarat atau
ghoyah (perhinggaan) atau bilangan tertentu, apakah bisa ditarik kesimpulah bahwa
perkara-perkara lain yang tidak mempunyai sifat. atau syarat atau ghoyah atau bilangan
tertentu, mempunyai hukum scbaliknya (hukum kebalikan)? Contoh mafhum mukhalafah
dan sifat ialah hadis yang berbunyi: "Pada kambing yang digembalakan ado. zakatnya. "
Menurut Syafi'i dan Hanafi, penyipatan kambing dengan kata "digembalakan" menunjukkan
bahwa yang tidak digembalakan tidak dikenakan zakat. Jadi mereka memakai mafhum
mukhalafah. Menurut Imam Malik, kambing baik digembala maupun tidak tetap ada
zakatnya. Jadi ia tidak memakai mafhum mukhalafah.

6. Fahwal Khitab/Mafhum Muwafaqah
Fahwal khitab ialah penunjukan sesuatu nash atas adanya sesuatu hukum dari perkara
yang disebutkan untuk sesuatu yang tidak disebutkan dan yang seimbang atau lebih utama
daripada yang disebutkan, karena alasan adanya hukum tersebut pada kedua-duanya.
Perluasan sesuatu hukum dari perkara yang disebutkan kepada perkara yang tidak
disebutkan masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Fuqaha mazhab Syafi'i mengakui
perluasan tersebut, sedang fuqaha mazhab Hanafi tidak mengakuinya. Sebagai contoh ialah
tentang pembebasan hamba sahaya pada pembunuhan yang tidak disengaja, sebagaimana
ayat di atas. Berdasarkan bunyi ayat tersebut, maka kifarat bagi yang berupa pembebasan
hamba sahaya mukmin dikenakan terhadap pembunuhan karena tidak sengaja. Akan tetapi,
menurut fahwal khitab (mafhum muwafaqah) kifarat tersebut juga dikenakan kepada
pembunuhan yang disengaja, karena kedua macam pembunuhan tersebut sama-sama
memerlukan ala( pelebur dosanya, atau sama-sama kualifikasinya yaitu pembunuhan.
Perbedaan yang ada antara keduanya ialah hanya sengaja dengan tidak sengaja saja, dan
perbedaan semacam ini tidak perlu menimbulkan perbedaan dalam penetapan kifarat,
bahkan pada pembunuhan sengaja keperluan terhadap alat pelebur dosa lebih besar lagi,
karena dosa pada pembunuhan tidak sengaja hanya timbul dari kurang hati-hati.
Demikianlah pendirian ulama-ulama Syafi'iyah. Menurut Ulama-ulama Hanafiyah, Ahmad,
dan Maliki, pembunuhan dengan sengaja tidak ada kifaratnya, sebab dosa antara yang
disebut (tidak sengaja) dengan dosa yang tidak disebut (sengaja) tidak sama. Dosa
pembunuhan sengaja tidak bisa dilebur dengan ibadah, yaitu kifarat, sebab kifarat hanya
bisa melebur dosa yang memang pada dasamya bisa hilang. Di sampmg itu kifarat
mengandung arti hukuman (pembalasan) yang dimaksudkan sebagai pengajaran agar tidak
mengulang kembali apa yang dilarang.

7. Istisna Sesudah Serangkaian Perkataan
Kalau sesudah menyebutkan beberapa ketentuan hukum (serangkaian perkataan),
kemudian diikuti pengecualian (istisna), maka ketentuan hukum mana yang harus dikenakan
pengecualian tersebut. Seperti ayat Alquran sebagai berikut.

Artinya: "Mereka yang menuduh (memfitnah telah berbuat zina) orang-orang perempuan
yang baik-baik. kemudian ia tidak mendatangkan empai orang saksi, maka jilidlah mereka
delapan puluh kali. Dan janganlah kamu terima persaksian mereka selamanya. Mereka
adalah orang-orang yang fasiq. Kecuali mereka yang bertaubat." (Q.S.Annur/24:4)

Di sini ada tiga kctentuan hukum, yaitu hukuman jilid, penolakan persaksian, dan
kefasikan. Kemudian ada pengecualian, yaitu mereka yang taubat. Menurut sebagian
fuqaha, pengecualian tersebut dipertalikan kepada tiga ketentuan hukum tersebut
semuanya karena ke tiga ketentuan hukum tersebut bernilai sama. Di antara mereka ialah
As-Syi'bi, ia mengatakan bahwa orang yang memfitnah apabila sebelum dijatuhi hukuman
had (80 jilid) telah bertaubat, maka ia tidak dijatuhi hukuman had, diterima persaksiannya
dan tidak dicap sebagai orang fasik. Sebagian fuqaha lain berpendapat bahwa pengecualian
tersebut dipertalikan kepada dua ketentuan hukum terakir. Oleh karena itu, apabila orang
tersebut bertaubat, maka hukuman had tetap dijatuhkan. Akan tetapi, persaksiannya dapat
diterima dan kualifikasi sebagai orang fasiq terhapus. Menurut fuqaha Hanafiah,
pengecualian pada ayat tersebut hanya dipertalikan kepada ketentuan hukum yang terakhir,
yaitu yang dengan langsung berhubungan dengan pengecualian. Dengan demikian, maka
orang yang memfitnah tersebut dijatuhi hukuman had dan ditolak persaksiannya, meskipun
ia telah bertaubat. Akan tetapi, dengan taubamya itu kualifikasi fasiq terhapus. Perbedaan
pendapat tersebut berpangkal pada perbedaan pendirian tentang tempat mempertalikan
pengecualian.

2.9 Aliran dalam Hukum Islam
Pada pembicaraan-pembicaraan yang telah lewat sudah disebutkan bahwa perbedaan
pendapat tentang hukum-hukum Islam baru terjadi setelah Rasulullah saw., wafat sebagai
akibat perlunya penerapan nash-nash hukum yang telah ada, berupa Alquran dan hadis,
terhadap peristiwa-peristiwa baru yang timbul dan memerlukan penentuan hukumnya.
Perbedaan tersebut adalah suatu hal yang wajar, karena keadaan mereka tidak sama
tentang pengetahuan dan pemahaman terhadap nash-nash syari'at dan tujuan-tujuannya,
selain karena perbedaan tinjauan dan dasar-dasar pertimbangan dalam menganalisis
sesuatu persoalan hukum. Para Imam Mujtahid, seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan
Imam Ahmad bin Hanbali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebagian besar umat Islam.
Bagi Umuwan, selain imam mazhab yang empat itu, juga mereka kenal seperti Imam Daud
Adz-Dzahiri, Syi'ah Zaidiyah, Syi'ah Imamiyah, dan mujtahid lainnya. Akan tetapi, untuk
mengetahui pemikiran masing-masing imam mazhab itu sangat terbatas. Bahkan ada yang
cenderung hanya ingin mendalami mazhab tertentu saja. Hal ini disebabkan karena
pengaruh lingkungan alau karena ilmu yang diterima hanya dan ulama atau guru yang,
menganut suatu mazhab saja. Mengenai suatu aliran mazhab saja, sebenarnya tidak ada
larangan, tetapi hendaknya jangan menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat
pemikiran-pemikiran yang ada pada mazhab yang lain yang bersumber dari Alquran dan
hadis. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak panatik kepada satu mazhab. Untuk
mengenal tokoh-tokoh, pikiran-pikiran dan pengaruhnya kepada kaum muslimin, maka
perlu disebutkan sccara singkat tentang mazhab-mazhab tersebut, terutama empat mazhab
yang terkenal di Indonesia.

1. Imam Hanafi
a. Nama dan tempat lahir
Imam Hanafi dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H (699M). Nama beliau yang
sebenamya adalah Nu'man bin Tsabit bin Zautha bin Man. Menurut riwayat, bahwa ayah
beliau (tsabit) dikala kecilnya pernah diajak ayahnya (zautha) untuk mengunjungi AH bin
AJbi Thalib, kemudian AH berdoa: mudah-mudahan dari keturunannya ada orang yang
menjadi golongan orang yang baik-baik serta luhur. Imam Hanafi setelah mempunyai
beberapa anak, yang di antaranya ada yang diberi nama Hanifah, lalu beUau mendapat gelar
dari orang banyak dengan gelar: Abu Hanifah. Ini menurut satu riwayat, adapun riwayat lain
sebab beliau mendapat gelar Abu Hanifah, karena beliau seorang yang rajin melakukan
ibadah kepada Allah swt, dan sungguh-sungguh mengerjakan kewajibannya dalam agama.
Karena kata "hanif' dalam bahasa Arab itu artinya "condong" kepada agama yang benar.
Ada sebagian yang meriwayatkan bahwa beliau mendapat gelar Abu Hanifah, karena
eratnya beliau dengan "tinta". Karena kata "hanifah" menurut bahasa Iraq artinya adalah
"dawat" atau "tinta". Yakni beliau di mana-mana senantiasa membawa dawat atau tinta
untuk menulis atau mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari para gurunya.

b. Kecerdasan Imam Hanafi
Kecerdasan Imam Hanafi dapat diketahui melalui pengakuan dan pernyataan para
ilmuwan, di antaranya:
1. Imam Ibnu Al-Mubarak, beliau menyatakan: Aku belum pernah melihat seorang laki-laki
yang lebih cerdik dari pada Imam Abu Hanifah;
2. Imam Ali bin Ashim berkata: Jika sekiranya ditimbang akal Abu Hanifah dengan akal kota
penduduk ini, tentu akal mereka itu dapat dikalahkan;
3. Raja Harun Al-Rasyid pemah berkata : Abu Hanifah adalah seorang yang dapat melihat
dengan akalnya pada barang apa yang tidak dapat ia lihat dengan mata kepalanya;
4. Imam Abu Yusuf berkata: Aku belum pemah bersahabat dengan seorang yang cerdas dan
cerdik melebihi kecerdasan akal pikiran Abu Hanifah.
Terlepas dari pernyataan di atas, kitapun tentu dapat membayangkan bahwa
bagaimana mungkin beliau dikenal sebagai seorang mujtahid, bila tidak memiliki kecerdasan
dan pandangan luas dalam menetapkan suatu hukum.

c. Kepandaian Imam Hanafi tentang fiqh
Imam Hanafi dikenal sangat rajin dalam menuntut ilmu. Mula-mula ia mempelajari hukum
agama, kemudian ilmu kalam. Imam Hammad bin Abi Sulaiman adalah seorang guru beliau
yang sering mewakilkan kepada beliau dalam mengajarkan agama dan memberikan fatwa.
Kepercayaan ini diberikan karena keluasan wawasan dan pandangan beliau dalam
mengupas masalah fiqh. Imam Malik pernah ditanya orang: Pernahkah anda mclihat Imam
Abu Hanifah? Jawabnya: "Ya, saya pernah melihatnya, ia adalah seorang laki-laki, jika Anda
berkata tentang tiang ini supaya ia jadikan etnas, niscaya ia akan memberikan alasan-
alasannya." Imam Syafi'i pemah berkata: "Manusia seluruhnya adalah menjadi keluarga
dalam fiqh dan menjadi anak buah Imam Abu Hanifah." Pernyataan Imam Malik dan Imam
Syafi'i tentang kepandaian Imam Abu Hanifah dalam masalah fiqh, sudah cukqp dijadikan
alasan, bahwa betapa luas pandangan beliau dalam mengupas hukum-hukum Islam.

d. Kepandaian Imam Hanafi tentang ilmu hadis
Dalam menetapkan hukum, beliau menggunakan Alquran dan hadis. Hal ini senaja
ditekankan supaya tidak ada kesan bahwa beliau kurang memperhatikan sunah rasul,
karena beliau dijuluki "ahlu al-Ra'yi". Menurut Imam Abu Yusuf, saya bclum pernah mclihut
scorung yang lebih mengerti tentang hadis dan tafsirnya, selain Abu Hanifah. la tahu akan
'illah-'illah hadis, mengerti tentang ta'dil dan tarjih, mengerti tentang tingkatan-tingkatan
hadis yang sah dan tidak. Imam Hanafi sendiri pemah berkata: "Jauhilah oleh kamu
memperkatakan urusan agama Allah menurut pendapat sendiri, tidak menurut hadis-hadis
nabi. Beliau memang sangat selektif terhadap hadis, sehingga hadis yang dianggap lemah,
belim tinggalkan dan lebih mengutamakan rasio (analog! atau qiyas)."

e. Dasar-dasar Mazliab Imam Hanafi
Imam Hanafi banyak sekali mengemukakan masalah-masalah baru, bahkan beliau banyak
menetapkan hukum-hukum yang belum terjadi. Sebagai dasar yang beliau jadikan dalam
menetapkan suatu hukum adalah :
1. Alquran,
2. Alhadis,
3. Fatwa sahabat/ijma',
4. Qiyas,
5. Istihsan, dan
6. 'Urf

Mazhab Hanafi dapat tersebar luas di negeri Islam bagian timur pada abad-abad
pertengahan berkat kekuasaan imam Abu Yusuf sebagai Hakim Agung di Bagdad dan
sebagai akibat pengutamaan Khalifah-khalifah Abasiyah terhadap mazhab-mazhab tersebut
dalam lapangan pengadilan. Untuk negeri Magribi mazhab tersebut dipakai. sampai hampir
tahun 400 H, sehingga dapat menguasai kepulauan Silsilia. Pada waktu sekarang mazhab
tersebut mendapat pengikut yang banyak sekali di India dan mempakan mazhab yang
berkuasa di Turki. Mazhab tersebut mulai masuk negeri Mesir pada permulaan masa Abassi,
dan kemudian mendapat desakan-desakan dari mazhab-mazhab Maliki dan Syafi'i.
Kemudian mazhab Hanafi tersebut dijadikan pegangan peradilan di Mesir sampai sekarang,
meskipun dengan beberapa perubahan yang diambilkan dari mazhab-mazhab yang lain.

f. Pesan-pesan Imam Hanafi
Beliau berpesan mengenai taqlid antara lain:
1 haram bagiorangyangtidakmengetahuidalilkumernberifatwadenganperkataanku;
2 ini hanya sekedar pendapat Abu Hanifah, maka siapa saja yang datang kepadaku dengan
pendapat (hasil ijtihad) yang lebih baik dari pada pendapatku mscaya akan kuterima.. Pesan
beliau tentang bid' ah antara lain:
1. jauhilah perbuatan bid'ah, mencari-cari bid'ah dan melampaui batas dalam urusan
agama. Dan hendaklah kamu mengikuti perkara-perkara yang permulaan sekali,
yakni mengikuti Nabi Muhammad saw.;
2. Hendaklah kamu mengikuti sunah Nabi saw., dan menjauhi semua perkara-perkar
baru, sebab perkara yang baru dalam urusan ibadah adalah bid'ah.

2. Imam Malik Bin Anas (93-179 H)
a. Nama dan Tempat lahir
Imam Malik dilahirkan di kota Madinah daerah kota Hijaz, pada tahun 93 H (712 M)
Nama beliau adalah Maliki bin Abi Anir. Salah seorang kakeknya datang ke Madinah lalu
berdiam di sana. Kakeknya Abu Amir seorang sahabat yang turut menyaksikan segala
peperangan Nabi saw., selain perang Badar.Pada masa Maliki dilahirkan, pemerintahan klam
ada ditangan kekuasaan kepala negara Sulaiman bin Abdul Maliki (dari Bani Umayyah yang
ke tujuh). Kemudian setelan beliau menjadi seorang alim besar dan dikenal dimana-mana,
pada masa itu pila penyelidikan beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui oleh
sebagian kaura muslimin. Buah hasil ijtihad beliau itu dikenal oleh orang banyak dengan
sebutan MaznaD Imam Malik.

b. Kepandaian Imam Malik
Kepandaian Imam Malik dapat kita ketahui melalui para ulama pada masanya, seperti
pernyataan Imam Hanafi yang menyatakan bahwa: "Beliau tidak pernan menjumpai seorang
pun yang lebih alim dari pada Imam Malik." Bahkan Imam A*-Laits bin Sa'ad pernah berkata,
bahwa pengetahuan Imam Malik adalah pengetatiuan orang yang takwa kepada allah dan
boleh dipercaya bagi orang-orang yang benar-benar hendak mengambil pengetahuan. Imam
Yahya bin Syu'bah berkata:" Pada masa itu tidak ada seorang yang dapat menduduki kursi
mufti di Masjid Nabi saw., selain Imam Maliki. Karena kepandaian Imam Malik, maka
terkenallah beliau sebagai seorang ahli kota Madinah dan terkenal pula sebagai imam di
negeri Hijaz.

c. Dasar-dasar Mazhab Imam Malik
Dasar-dasar hukum yang diambil dan dipcrgunakan oleh Imam Malik dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1. Kitab Allah (Alquran).
2. Hadis rasul yang ia pandang sah.
3. Ijma' para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadis apabila ternyata
berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
4. Qiyas.
5. Maslahah Mursalah.

d. Cara Imam Malik memberi fatwa
Imam Malik adalah seorang yang terkenal ulama besar, beliau sangat hati-hati dan teliti
dalam urusan hukum-hukum keagamaan, terutama dalam urusan riwayat yang dikatakan
hadis dari Rasulullah saw.. Ringkasnya bahwa cara-cara beliau memberi fatwa bisa dilihat
dari cara beliau memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan
beliau. Imam Syafi'i berkata: "Sungguh aku telah menyaksikan Imam Malik, bahwa beliau
pernah ditanya masalah-masalah sebanyak empat puluh delapan masalah, beliau
menjawab: Saya belum tahu." Dari pertanyaan ini jelaslah, bahwa beliau adalah seorang ang
amat berhati-hati menjawab masalah yang bertalian dengan hukum-hukum iceagamaan dan
beliau tidak terburu-buru memberi jawaban terhadap masalah yang memang belum
diketahui hukumnya oleh beliau. Beberapa ulama mcriwayatkan, bahwa Imam Malik
berkata: "Saya tidak memberi fatwa-fatwa dan meriwayatkan hadis, sehingga tujuh ulama
membenarkan dan mengakui." Artinya bahwa segala masalah yang difatwakan oleh beliau
kepada orang lain setelah disaksikan oleh tujuh puluh orang ulama, dan mereka
menetapkan sepakat, bahwa beliau seorang yang ahli dalam masalah yang difatwakannya
itu.

e. Nasihat Imam Malik terhadap taqlid
Sebagai seorang mufti besar dan seorang Alim, ahli hadis beliau tidak pernah engajarkan
atau bimbingan kepada muridnya untuk mengekor (bertaqlid) terhadap sndapat atau buah
hasil penyelidikan beliau, bahkan sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukum halal dan
haram dan sangat melarang bertaqlid buta dan sebagai bukti di bawah ini ada beberapa
pesan beliau. Imam Malik pernah berkata: Saya seorang manusia dan saya terkadang benar
dan terkadang saya salah, oleh karena itu lihatiah dan pikirkanlah baik-baik pendapat saya,
sesuai dengan Alquran dan sunah maka ambillah dia dan jika tidak sesuai maka
tinggalkanlah. Artinya, bahwa jika beliau menjatuhkan hukuman dalam masalah keagamaan
dan pada waktu menetapkan buah pikirannya itu bukan dari nash Alquran dan sunah, maka
masing-masing kita disuruh untuk melihat dan memperhatfkannya kembali dengan baik
tentang buah pikiran beliau itu. Maksudnya semua pikiran yang dituangkannya, terlebih
dahulu harus dicocokkan dengan nash Alquran dan sunah. Pada suatu waktu beliau juga
pemah mengatakan bahwa: 'Tidaklah semua perkataan itu lalu diikuti sekalipun ia orang
yang mempunyai kelebihan-kelebihan." Kita tidak mesti mengikuti perkataan orang dengan
sembarangan meskipun orang itu mempunyai kelebihan, ketinggian derajat atau
terpandang mulia. Kalau perkataan orang itu jelas berlawanan atau menyalahi hukum-
hukum rasul, maka kita diperbolehkan untuk tidak mengikutinya. Dengan demikian jelaslah,
bahwa kita dilarang bertaqlid kepada pendapat-pendapat dan perkataan yang memang
nyata tidak sesuai dengan petunjuk yang ada dalam Alquran dan sunah. Demikian nasihat
Imam Malik dalam masalah bertaqlid.

f. Nasihat Imam Malik masalah bid'ah
Beliau sangat keras terhadap bid'ah dan ahli bid'ah, antara lain beliau pemah bersyair
yang artinya: "Sebaik-baik urusan agama itu adalah orang yang mengikuti sunah Nabi saw.,
dan sejelek-jelek urusan agama itu adalah perbuatan yang baru. Artinya bahwa sebaik-baik
urusan agama mengenai peribadatan adalah yang mengikuti sunah Nabi saw., dan sejelek-
jeleknya adalah yang diperbuat tanpa contoh dari nabi dan tidak pula dikerjakan oleh Nabi
saw. Pada kesempatan vang berbeda beliau pernah berkata: "Barang siapa yang mengada-
ada suatu perbuatan baru dalam urusan Islam dan ia telah menganggap bahwa perbuatan
itu baik, maka sesungguhnya berarti ia telah menuduh bahwa Nabi saw., telah menyem-
bunyikan risalahnya, padahal Allah telah berfirman: Pada hari ini aku telah sempurnakan
agamamu....". Oleh sebab itu, apapun yang tidak menjadi agama pada masa itu, tidak akan
menjadi agama pada masa yang lain. Artinya bahwa orang yang memandang perbuatan
yang baru itu baik, berarti tidak menganggap bahwa nabi tidak sempurna dalam
menyampaikan risalahnya kepada umat manusia.Dari riwayat di atas jelaslah bahwa Imam
Malik sangat keras terhadap bid'ah dalam urusan agama. Demikianlah beberapa nasihat
beliau tentang bid'ah.

g. Murid-muridnya
Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Imam Syafi'i (wafat 204 H), yang
kemudian mendirikan mazhab sendiri. Ibnu Wahab (wafat 197 H) yang menyiarkan mazhab
Imam Maliki di Mesirdan negeri-negeri Magribi. Ibnul Qasim (wafat 191 H) yang menyiarkan
mazhab tersebut di Mesir dan yang membukukan mazhab tersebut. Asyhab (wafat 204 H)
dan Ibnul Furut (wafat 213 H) yang menyiarkan mazhab tersebut di negeri Magribi. Selain
negeri-ncgcri tersebut, negeri Andalusia dan Sudan pada masa itu telah
menggunakan/melaksanakan mazhab Imam Malik sampai sekarang.

3. ImamSyafi'i
a. Nama dan tempat lahir
Imam Syafi'i dilahirkan di Guzzah, suatu kampung dalam jajahan Palestina, masih wilayah
Asqalan pada tahun 150 H (767 M), bersamaan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah.
Kemudian beliau dibawa ibunya ke Mekkah dan dibesarkan di sana. Nama beliau adalah Abu
Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi'i bin Syaib bin Abdu Yazid bin
Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf. Dengan silsilah ini jelaslah bahwa beliau itu
adalah dari keturunan bangsa Arab Quraisy, dan keturunan beliau bersatu dengan
keturunan Nabi saw., pada Abdul Manaf dan Hasyim yang tersebut dalam silsilah tersebut.

b. Kepandaian Imam Syafi'i
Kecerdasan ImamSyafi'i dapatkitaketahui melalui ri way at-riwayat yang mengatakan
bahwa Imam Syafi'i pada usia 10 tahun sudah hapal dan mengetti kitab Almuwatha',
kitabnya Imam Malik. Karena itulah ketika beliau belajar ilmu hadis kepada Imam Sofyan bin
Uyainah, beliau sangat dikagumi oleh guru besar ini dan selanjutnya beliau dapat
menempuh ujian ilmu hadis serta lulus mendapat ijazah tentang ilmu hadis dari guru besar
tersebut. Imam Syafi'i setelah berumur 15 tahun diberi izin oleh gurunya untuk mengajar
dan memberi fatwa kepada khalayak ramai, dan beliaupun tidak keberatan untuk
menduduki jabatan sebagai guru besar dan mufti di dalam Masjid Al-Haram dan sejak itulah
beliau terus memberi fatwa. Akan tetapi meskipun demikian, beliau tetap belajar untuk
menuntut ilmu pengetahuan di Makkah, dan semenjak itu pula orang-orang berdatangan
kepada Imam Syafi'i dan orang yang berdatangan itu tidak sembarangan orang, tetapi terdiri
dari para ulama, ahli syain ahli sastra Arab, dan orang-orang terkemuka, karena dada beliau
pada waktu itu telah penuh ilmu-ilmu. Kepandaian Imam Syafi'i dalam bidang fiqh, terbukti
dengan kenyataan ketika beliau berusia 15 tahun, sudah termasuk orang alim ahli fiqh di
Makkah dan sudah diikut sertakan dalam majelis fatwa dan lebih tegas lag! beliau disuruh
menduduki kursi mufti. Kepandaiannya dalam bidang ilmu hadis dan tafsir dapat kita
kctahui, ketika beliau masih belajar kepada Imam Sofyan bin Uyainah di kota Makkah. Pada
waktu itu beliau boleh dikatakan sebagai seorang ahli tafsir. Sebagai bukti pula bahwa
apabila Imam Sofyan bin Uyainah pada waktu mengajar tafsir Alquran menerima
pertanyaan-pertanyaan tentang tafsir yang agak sulit, guru besar segera berpaling kepada
beliau dulu, lalu berkata kepada orang yang bertanya: "Hendaknya kamu bertanya kepada
pemuda ini, sambil menunjuk tempat duduk Imam Syafi'i." Selain kepandaiannya dalam
bidang fiqh dan tafsir, beliau juga seorang alim dalam bidang hadis, karena sebelum beliau
dewasa sudah hapal kitab Muwatha". Dari uraian di atas kiranya cukup menjadi bukti
tentang kepandaian beliau dalam bidang ilmu agama.

c. Dasar-dasar Mazhab Syafi'i
Dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi'i sebagai acuan pendapatnya adalah
termaktub dalam kitabnya Arrisalah dan Alumm, yaitu sebagai berikut.
1. Alquran.
2. Alhadis yang shahih. S.Ijma'.
4. Qiyas.
5. Istidlal (istishab).
Imam Syafi'i adalah pakar yurisprudensi Islam, salah seorang tokoh yang tidak kaku dalam
pengambilan hukum dan tanggap terhadap keadaan lingkungan tempat beliau menetapkan
hukum, sehingga beliau tidak segan-segan untuk mengubah penetapan hukum yang semula
ia telah lakukan untuk menggantikan dengan hukum yang bam, karena berubah keadaan
lingkungan yang dihadapi. Karena pendirian beliau yang demikian itu, maka muncullah apa
yang disebut qaul qadim sebagai hasil ijtihadnya yang pertama dan qaul jadid sebagai
pengubah keputusan hukum yang pertama.
Qaul Qadim dan Qaul Jadid Imam Syafi'i itu terungkap datom beberapa masalah, antara lain
sebagai berikut.
1. Bersambung (muwalah) dalam berwudu.
- Qaul Qadim: Bersambung (muwaalah) dalam berwudu hukumny a wajib, karena beralasan
bahwa huruf wawu dalam ayat 6 Surat Almaidah, menunjukkan harus berurutan dan
beringan satu sama lainnya sampai selesai.
- Qaul Jodid: Bersambung (muwalah) dalam berwudu itu hukumny a sunat, karena
berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah saw., pernah berwudu dan menunda membasuh kaki
beliau.
2. Hukum shalat orang yang terdapat najis yang tidak dapat dimaafkan, sedangkan dia tidak
tabu.
- Qaul Qadim: Tidak wajib mengqadha shalat.
- Qaul Jadid: Wajib mengqadha shalat, karena suci dalam shalat itu hukumnya wajib.
Hukum wajib tidak bisa gugur, karena tidak tahu ada najis, sebagaimana halnya wajib
bersuci dari hadas.
3. Habis waktu Magrib
- Qaul Qadim: Waktu magrib habis setelah hilang mega merah.
- Qaul Jadid: Waktu magrib habis, kira-kira cukup waktu untuk berwudu, menutup aurat,
azan dan qamat serta mengerjakan shalat lima rakaat (magrib dan sunat ba'diyah) yang
dikerjakan secara wajar dan tidak tergesa-gesa. Dan sebagainya (ini hanya merupakan
contoh saja).

d. Kitab-kitab Karangan Imam Syafi'i
Kitab yang pertama kali ditulis oleh Imam Syafi' i ialah kitab Ar-Risalah yang ditulis di
Makkah atas permintaan Abdur-Rahman bin Mahdi. Kemudian di Mesir beliau menyusun
kitab Alumm, Alamnli, dan Alimlak. Salah satu jasa Imam Syafi'i dalam lapangan hukum
Islam ialah bahwa ia telah menciptakan ilmu usul-fiqh, sebagaimana yang telah dibukukan
dalam kitabnya yang bernama "Ar-Risalah". Dengan adanya ilmu tersebut, maka cara-cara
melakukan ijtihad dan pengambilan alasan hukum Islam sudah ditentukan jalannya, untuk
menghindari kekacauan dan kesimpangsiuran sedapat-dapatnya. Karya Imam syafi'i lain
yang besar ialah kitab Al-umm yang menjadi pegangan utama dalam mazhab Syafi'i. Al-
Buwathi mengihtisarkan kitab-kitab As-Syafi'i dan menamakannya dengan nama "Al-
Muhtashar Al-Buwaithi" dan juga oleh Al-Muzani mengihtisharkan kitab-kitab tersebut
dengan nama "Al-Muhtashar Al-Muzani".

e. Murid-murid Imam Syafi'i
Di antara murid-muridnya yang di Makkah ialah Ibnu Abil Jarud, di Iraq ialah Az-Za'farani
(wafat 260 H) dan Abu Al-Karbisi (wafat 245 H), di Mesir Al-Buwaithi (wafat 234 H), Al-
Muzani (wafat 264 H) dan Ar-Rabi bin Sulaiman al-Muradi (wafat 270 H).
Imam Syafi'i aktif menyiarkan sendiri mazhabnya di Iraq dan di Mesir, yang kemudian
dilanjutkan oleh murid-muridnya. Pada akhirnya mazhab tersebut dapat mendesak mazhab
Hanafi dan Mazhab Maliki, bahkan untuk negeri Mesir bawah, Syam, beberapa negeri
Yaman, Hijaz, Asia Tengah, dan Indonesia merupakan mayoritas bermazhab Syafi'i.

f. Pesan-Pesan Imam Syafi'i
1. Tentang Taqlid
a. Jika kamu berpendapat bahwa perkataanku menyalahi sabda Rasulullah saw, maka
amalkan sabda Rasuluillah saw., dan lemparkan saja perkataanku ke luar pagar.
b. Berkata Imam Syafi'i kepada Rabik (muridnya): "Janganlah engkau bertaqlid kepadaku
tentang tiap apa yang aku katakan, melainkan engkau sendiri harus menyelidiki perkara
itu, karena hal itu mengenai agama."
c. Jika suatu hadis temyata sahih, maka itulah mazhabku.
d. Tidak halal bertaqlid kepada seseorangpun selain kepada Nabi saw.
2. Tentang bid'ah
Bid'ah itu ada dua macam, yaitu bid'ah yang sesat, yaitu perkara yang diada-adakan
dengan menyalahi Alquran atau Alhadis atau ijma' atau atsar (keterangan sahabat). Dan
kedua bid'ah yang tidak sesat, yaitu perkara yang diada-adakan dengan tidak menyalahi
scdikitpun dari scmuanya itu (Yang dimaksud kan dengan bid'ah ysmg tidak tercela atau
tidak sesat disini ialah yang diada-adakan dengan cara baru tetapi mengenai urusan
keduniaan semata-mata. Adapun yang mcngenai urusan ibadah, maka itulah bid'ah yang
tercela dan tersesat). Terhadap ahli bid'ah, Imam Syafi'i berkata: "Barang siapa menganggap
baik, maka sesungguhnya ia telah membuat syara' atau peraturan agama (yakni, siapa yang
menganggap baik suatu amalan ibadah yang tidak ada contohnya dari Nabi saw., dan tidak
ada pula perintahnya, maka dengan perbuatannya itu berarti ia mengada-adakan syara'
atau aturan agama sendiri." Terhadap perkataan Syafi'i yang demikian itu, seorang alim
terkemuka berkata: sebagai tambahan atas perkataan beliau tersebut: Barang siapa
mengada-adakan syar', maka kufudah ia).
3. Tentang lain-lain
a. Ilmu itu malu terhadap orang yang tidak mempunyai perasaan malu kepadanya,
(maksudnya, ilmu akan tetap jauh dari orang yang tidak suka menuntut ilmu).
b. Ilmu adalah pemimpin bagi amal, dan amal adalah pengikutnya, juga amal adalah
buahnya. Amal sedikit beserta ilmu lebih utama dari pada amal yang banyak
beserta kebodohan.
c. Siapa rela terhadap yang telah ada, tentulah lenyap dari orang itu sifat nista, (yakni,
siapa telah memiliki sifat qanaali, dia akan terhindar dari sifat tamak dan rakus).
d. Bersihkanlah pendengaranmu dari mendengarkan perkataan yang keji, karena
sesungguhnya yang mendengarkan perkataan yang keji bersekutu dengan yang
mengucapkannya.

4. Imam Ahmad Bin Hambali (164 H-241 H)
a. Nama dan Tempat Lahir
Imam Hambali nama lengkapnya ialah Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibnu Hambali bin
Hilal Abdahili As-Syaibani Al-Maruzi, beliau dilahirkan di Bagdad pada tahun 164 H.
Ayahandanya bemama Muhammad As-Syaibani, sedangkan ibunya bernama Syarifah binti
Maimunah binti Abdul Maliki bin Sawadah binti Hindun As-Syaibani (wanita dari bangsa
Syaibaniyah) dari golongan terkemuka kaum Bani Amir.
b. Kepandaian Imam Hambali
Imam Hambali sejak masih muda sudah kelihatan kecintaannya terhadap hadis Nabi
saw., dan sebagai bukti yang menunjukkan kecintaannya itu adalah kepergian beliau ke
berbagai negeri dalam rangka mencari orang-orang yang meriwayatkan hadis-hadis dari
nabi, bahkan tidak jarang beliau pergi ke suatu negara atau kota ketika beliau mendengar
beritabahwa seorang ahli tentang riwayat dan hadis nabi, tanpa menghiraukan kepayahan
dan kesulitan yang akan ditempuhnya. Karena kecintaannya beliau terhadap hadis, beliau
amat keras tegurannya kepada orang-orang yang mengaku muslim tetapi berani
mengerjakan bid'ah di dalam agamanya. Juga beliau seringkali membicarakan orang-orang
yang mengaku ulama tetapi perbuatan yang dikerjakannya banyak menyalahi sunah Nabi
saw., maka pada saat itu beliau dikenal sebagai seorang yang alim yang sangat mahir
tentang urusan hadis-hadis nabi. Menurut riwayat Imam Abu Zur'ah seorang ahli hadis yang
semasa dengan Imam Hambali, menyatakan: "Bahwa Imam Hambali itu telah hafal satu juta
hadis". Lalu ia ditanya oleh orang: Bagaimana engkau mengerti itu ? Abu Zur'ah berkata :
karena aku pernah berunding dengan dia dan aku mengambil beberapa bab darinya.
Selanjutnya ia ditanya orang lagi: Apakah engkau lebih hafal dari Imam Ahmad ? Abu Zur'ah
berkata: Imam Ahmad yang lebih hapal. Imam Syafl'i yang pemah menjadi gurunya Imam
Ahmad berkata kepada muridnya: Engkau lebih tahu dan lebih mengerti tentang hadis-hadis
nabi daripada saya, oleh karena itu jika terdapat hadis shahih sampaikanlah kepada saya,
saya akan mencarinya di mana saja hadis itu berada. Demikianlah beberapa riwayat yang
menyatakan tentang kepandaian Imam Hambah'.

c. Dasar-dasar mazhabnya
Dasar-dasar dalam berpendapat adalah didasarkan atas Alquran, kemudian As-sunah
yang sahih dan yang dipandangnya sebagai juru penerang Alquran. Apabila tidak terdapat
dalam sunah yang sahih, maka dicarinya dalam fatwa-fatwa dan keputusan-keputusan
sahabat, apabila tidak diperselisihkan, apabila diperselisihkan, maka dipilih pendapat
sahabat yang lebih mendekati Alquran dan hadis. Apabila dalam pendapat sahabat tidak
didapati, maka dipakailah hadis-hadis rriursal atau hadis dha'if yang tidak terlalu lemah, dan
kemudian lebih mengufamakan hadis mursal atas qiyas, karena hanya dalam keadaan
terpaksa saja ia menggunakan qiyas, sedang keadaan terpaksa ini tidak akan terdapat, kalau
masih ada hadis yang dipcrtalikan kepada rasul, meskipun hadis mursal atau dha'if. Bagi
Imam Ahamad, hadis dha'if lebih disenangi daripada pendapatnya sendiri (qiyas).
Jadi dasar-dasar beliau dalam berpendapat dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Alquran.
2. Hadis nabi.
3. Fatwa sahabat.
4. Pendapat sebagian sahabat
5. Hadis Mursal atau hadis dha'if.
6. Qiyas, beliau memakai qiyas apabila tidak didapati ketentuan hukum pada sumber-
sumber hukum yang disebutkan pada point 1-5 di atas.

d. Pesan-pesan Imam Hambali
1. Tentang taqlid
a. Selidikilah perkara agamamu, karena sesungguhnya taqlid kepada orang yang tidak
ma'shum itu tercela dan membuta-tulikan hati nurani. (Orang yang ma'shum atau terjaga
dari kesalahan hanya nabi atau rasul).
b. Tercela sekali orang yang telah diberi pelita untuk dijadikan penerangan, tetapi ia sendiri
memadamkan pelita itu lalu ia berjalan berganlung pada orang lain. (Maksudnya orang yang
mematikan atau membekukan akalnya lalu taqlid kepada pendapat orang lain).
c. Janganlah engkau taqlid kepadaku, jangan pula taqlid kepada Malik, jangan pula kepada
Auza'i, jangan kepada Nakha'i dan jangan pula taqlid kepada mereka. Ambillah hukum
langsung dari mana mereka mengambil (yakni Alquran dan hadis rasul).
2. Tentang bid'ah
Pokok pangkal sunah itu bagiku, ialah memegang dan mengikuti dengan kuat apa yang
pernah dilakukan oleh para sahabat nabi, dan meninggalkan perbuatan bid'ah, karena tiap-
tiap bid'ah dalam perkara agama itu sesat. Dapat disimpulkan, bahwa berdasarkan pesan-
pesan tersebut di atas, para imam pendiri mazhab mempunyai pendirian yang sama
mengenai dua hal, yaitu sebagai berikut:
1. Mereka melarang siapapun mengikuti pendapat mereka secara taqlid. Taqlid adalah
haram, kata Abu Hanifah, sedang Syafi'i mengatakan taqlid adalah tidak halal. Sedangkan
kata Imam Ahmad taqlid adalah sangat tercela dan membabi-buta hati nurani. Satu-satunya
taqlid yang dapat dibenarkan adalah taqlid kepada Nabi saw., kata Imam Malik.
2. Mereka melarang kepada siapapun yang mengerjakan bid'all dalam perkara agama,
menurut. Imam Malik, mengerjakan bid'ah berarti menuduh Nabi Muhammad
menyembunyikan risalahnya, padahal Allah sendiri telah mengakui kesempurnaan Islam.
Sedangkan menurut Imam Syafi'i menyatakan bahwa mengadakan bid'ah berarti membuat
agama sendiri. Menurut beliau memang ada bid'ah yang tidak sesat, yaitu dalam perkara
dunia.

2.10 Kesatuan Mazhab dalam Hukum Islam
Perbedaan pendapat yang bisa dikatakan menimbulkan mazhab ialah perbedaan pokok
yang berpangkal pada perbedaan pendirian terhadap sumber-sumber hukum itu sendiri,
seperti perbedaan antara fuqaha Dhahiri yang mengakui kebolehan "riba" pada pertukaran
beras (dengan jumlah lebih pada salah satunya), dan kebolehan ini didasarkan itu
"kebolehan asal" (ibahah asliyah), sedangkan jumhur fuqaha menganggap haramnya riba
tersebut, karena mereka mendasarkan pendapatnya pada qiyas, yakni mempersamakan
beras dengan gandum yang sudah ada ketentuannya dalam hadis. Dalam hal ini masing-
masing pendapat bisa dianggap sebagai mazhab. Kalau perbedaan pokok menjadi kriteria
(ciri khas) mazhab, maka perbedaan-perbedaan pendapat yang terdapat antara empat
mazhab Sunni (Hanafi, MaUki, Syafi'i, dan Hambali) seharusnya tidak perlu menimbulkan
mazhab-mazhab yang berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain, karena dasar-dasar dalam
mazhab-mazhab tersebut sebenarnya sama, dan perbedaan yang terjadi antara mereka
hanya berpangkal pada pemahaman, pertimbangan, tinjauan dan cara-cara pengambilan
hukum dari sumber-sumbemya. Masing-masing dari mazhab empat tersebut memakai
Alquran, Alhadis, ijma', qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah, meskipun kadang-kadang
terjadi selisih pendirian mengenai perincian-perincian kecil sekitar sumber-sumber tersebut.
Dengan demikian, apabila kita teliti benar-benar, maka perbedaan pendapat antara Imam
Abu Hanifah dengan Imam Syafi'i atau Imam Malik, tidak berpangkal pada dasar-dasar
hukum. Bahkan pada garis besaraya cara-cara pengambilan hukum pun tidak banyak
berbeda. Penggabungan Imam-imam Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan Zufar
dengan Imam abu Hanifah tidak lain adalah karena mereka berguru dan bergaul dengannya,
menyiarkan pendapat-pendapatnya dan menyatakan persetujuan pendiriannya dengan
pendapat-pendapat tersebut. Imam Syafi'i sendiri pada mulanya adalah pengikut Imam
Malik dan baru memisahkan diri dan dianggap memisahkan diri dengan mengemukakan
mazhab bam, setelah ia mementingkan unruk menjelaskan pendapat- pendapatnya sendiri
kepada orang banyak. Demikian pula halnya dengan Abu Tsaur dan At-Thabari (mazhab-
mazhab fiqhnya sudah musnah) pengikut mazhab Syafi'I Dengan berpijak pada kesamaan
dasar hukum, maka perbedaan pendapat tersebut tidak lebih dari pada perbedaan
pendirian yang terjadi antara mazhab-mazhab tersebut dan dengan demikian maka sumber-
sumber hukum yang dipegang adalah sama.
























BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Menjadi seorang muslim, banyak aturan yang harus dijalankan. Aturan tersebut ada
untuk menjadikan seorang muslim tersebut tetap pada jalan yang lurus dan benar. Aturan
islam tersebut terangkum dalam syariah islam. Syariah islam mengatur berbagai aspek
kehidupan seorang muslim. Syariah islam ini memiliki karakteristik yang berbeda seperti
misalnya seperti sumbernya yang pasti karena berasal dari wahyu Allah, ajarannya yang
sesuai dengan kemanusiaan, ditata untuk mudah dan praktis dan lain-lain. Meskipun ajaran
syariah islam bertujuan baik yakni membawa seseorang menuju pada kebahagiaan dunia
dan akhirat namun pada zaman sekarang ini, pelaksanaan syariat islam sudah banyak
ditinggalkan. Banyak kalangan yang tidak mau dan menolak menggunakan syariat islam
dalam kehidupannya. Selain itu, semakin majunya zaman menimbulkan banyak pemahaman
dan pandangan tentang ajaran islam sehingga tidak sedikit golongan islam yang ada di dunia
ini.

3.2 Saran
Agar menjadi seorang umat islam yang baik, hendaknya kita tetap berpegang teguh
pada al-quran dan al-hadist. Selain itu, sebaiknya kita juga tetap menegakkan syariah islam
dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari agar apa yang kita lakukan mendapat berkah dan
diridhoi oleh Allah SWT. Berusaha tetap satu meskipun saat ini banyak golongan dalam
ajaran agama islam agar agama islam bisa kembali berjaya.











DAFTAR PUSTAKA

http://fuadiqudwah.blogspot.com/2010/03/pengertian-syariat-fikih-dan-hukum.html
http://ashassan.wordpress.com/2011/02/13/karakteristik-syariat-islam/
http://geniusreference.wordpress.com/2009/10/29/karakteristik-syariah-islam/
http://syariahdanfiqih.blogspot.com/2011/09/pengertian-persamaan-dan-perbedaan.html
http://myislam.blogspot.com/2005/12/perbedaan-syariah-fiqh.html
http://agama.kompasiana.com/2010/08/13/muamalah/
http://hayat-banjar.blogspot.com/2009/04/khilafiyah-fiqh.html
http://www.renungan.indah.web.id/2012/04/menyikapi-perbedaan-mazhab-
dan.html
http://nurkholisalbantani.blogspot.com/2012/09/khilafiah.html

You might also like