You are on page 1of 20

1

PENDAHULUAN

Stroke atau cerebrovaskuler disease (CVD) adalah kehilangan fungsi otak
yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah kebagian otak. Stroke adalah
masalah neurologik primer di AS dan di dunia. Stroke adalah peringkat ketiga
penyebab kematian dengan laju mortalitas 18% sampai 37% untuk stroke pertama
dan sebesar 62% untuk stroke selanjutnya. Terdapat kira-kira 7 juta orang di AS
menderita stroke setiap tahun.
1

Pada pasien stroke sering mengalami disfagia (kesulitan menelan) dan
status gizi buruk, yang diperkirakan antara 16% - 60% dari penderita stroke.
Disfagia sangat sering dijumpai pada penderita stroke dimana hampir 65%
penderita stroke mengalami gangguan pada proses menelannya. Disfagia juga
mempengaruhi peningkatan komplikasi seperti peningkatan mortalitas, dan
peningkatan biaya perawatan pasien di rumah sakit. Sejumlah besar penderita
stroke akan menunjukkan ciri-ciri disfagia dan merupakan salah satu kondisi yang
permanen.
2

Disfagia orofaringeal pada dewasa dapat disebabkan karena kelainan
neurologis (kelainan saraf tepi daerah laring, faring, lidah dan rahang, miasthenia
gravis, miopati), kelainan anatomis di kepala dan leher (kanker, perubahan bentuk
setelah operasi atau terapi radiasi, paska trauma, iatrogenik, kelainan kongenital),
dan penyebab lainnya (infeksi, kelainan sistemik, efek samping obat,
psikogenik).
3









2

TINJAUAN PUSTAKA
A. Fisiologi Menelan
Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal seperti berikut, pembentukan
bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik, upaya sfingter
mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan, mempercepat
masuknya bolus makanan ke dalam faring saat respirasi, mencegah masuknya
makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan laring, kerjasama yang baik dari
otot-otot di rongga mulut untuk mendorong bolus makanan ke lambung, usaha
untuk membersihkan kembali esofagus. Sekitar 50 pasang otot dan saraf yang
bekerja untuk memindahkan makanan dari mulut ke perut. Proses menelan di
mulut, faring, laring, dan esofagus secara keseluruhan akan terlibat secara
berkesinambungan.
4
Proses menelan dapat dibagi dalam 3 fase: fase oral, fase faringal, dan fase
esofagal.
4

Fase Oral
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur
liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini bergerak dari rongga mulut
melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah ak8ibat kontraksi otot intrinsic
lidah. Kontraksi m.levator veli palatine mengakibatkan rongga pada lekukan
dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat, dan bagian dinding posterior
faring (Passavants ridge) akan terangkat pula. Bolus terdorong ke posterior
karena lidah terangkat ke atas. Bersamaan dengan ini terjadi penutupan nasofaring
sebagai akibat kontraksi m.palatoglosus yang meneybabkan ismus fasium
tertutup, diikuti kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus maknana tidak akan
berbalik ke rongga mulut. Pada gambar1 sampai gambar 3 dapat dilihat fisiologi
menelan sampai ujung epiglottis terdorong ke belakang dan bawah.
4





3

Fase Faringal
Fase faringal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpindahan
bolus makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring bergerak ke atas oleh
kontraksi m.stilofaring, m.salfingofaring, m.tirohioid, dan m.palatofaring.
4

Aditus laring tertutup oleh epiglottis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu
plikaariepiglotika, plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi
m.ariepiglotika dan m.aritenoid obliges. Bersamaan dengan ini terjadi juga
penghentian aliran udara ke laring karena refleks yang menghambat pernapasan,
sehingga bolus makanan tidak akan masuk ke saluran napas.
4

Selanjutnya bolus makanan akan meluncur kea rah esofagus, karena
valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus. Pada gambar 4 s.d.
gambar 6 disajikan fisiologi menelan sampai menutupnya vestibulum laring
akibat kontraksi plika ariepiglotik dan plika ventrikularis.
4













Fase Esofagal
Fase esofagal ialah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke
lambung. Dalam keadaan istirahat, introitus esofagus selalu tertutup. Dengan
adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringal, terjadi relaksasi
m.krikofaring, introitus esofagus terbuka dan bolus makanan masuk ke dalam
esofagus.
4
4

Setelah bolus makanan lewat, sfingter akan berkontraksi lebih kuat,
melebihi tonus introitus esofagus pada waktu istirahat, sehingga makanan tidak
akan kembali ke faring. Dengan demikian refluks dapat dihindari.
4
Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh
kontraksi m.konstriktor faring inferior pada akhir fase faringal. Selanjutnya bolus
makanan akan didorong ke distal oleh gerakan peristaltic esofagus.
4
Dalam keadaan istirahat sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup
dengan tekanan rata-rata 8 milimeter Hg lebih dari tekanan di dalam lambung,
sehingga tidak terjadi regurgitasi isi lambung.
4
Pada akhir fase esofagal sfingter ini akan terbuka secara refleks ketika
dimulainya peristaltic esofagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke
distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, sfingter ini akan menutup
kembali. Gambar 7 s.d. 8 menunjukkan fisiologi menelan mulai dari proses bolus
makanan di valekuela hingga gelombang peristaltic mendorong bolus makanan ke
esophagus.
4
















5

B. Persarafan pada proses menelan

Proses menelan memerlukan beberapa elemen: input sensori dari saraf
tepi, koordinasi saraf pusat, dan respon motorik sebagai umpan balik. Input
sensori dari saraf tepi terutama dari saraf cranial V, VII, IX, X, dan XII. Reseptor
sensori memperoleh stimulus dari berbagai macam bentuk rasa, cairan,
atautekanan. Area paling efektif sebagai rangsang menelan adalah arkus faring
anterior. Meskipun peran yang pasti sebagai pusat menelan belum jelas,
diperkirakan kortikal dan subkortikal mengatur ambang rangsang menelan.
Sedangkan pusat menelan di batang otak menerima input, mengaturnya menjadi
respon yang terprogram, dan mengirim respon tersebut melalui saraf tepi untuk
aktifitas otot-otot mengunyah dan menelan.
5,6

Nervus trigeminus atau nervus kranial V merupakan nervus dengan
serabut motorik dan sensorik dengan inti nervus berada di pons. Serabut
motoriknya mempersarafi otot-otot untuk mengunyah, termasuk otot temporalis,
otot maseter, serta otot pterigoid medial dan lateral. Selain itu, nervus trigeminus
juga membantu saraf glosofaringeal mangangkat laring dan kembali selama fase
faringeal. Sedangkan serabut sensoriknya memiliki 3 cabang. Cabang pertama ke
arah optalmika, cabang kedua mempersarafi palatum, gigi, bibir atas, dan sulkus
gingivibukal. Cabang ketiga mempersarafi lidah, mukosa bukal, dan bibir bawah.
Secara umum, serabut sensorik nervus V ini membawa informasi tentang sensasi
yang berasal dari wajah, mulut dan mandibula.
5,6

Nervus fasialis atau nervus kranial VII merupakan nervus dengan serabut
motorik, sensorik, dan parasimpatis. Inti nervus VII ini juga berada di pons..
Serabut motoriknya mempersarafi otot-otot bibir, termasuk otot orbikularis oris
dan otot zigomatikus, yang berfungsi untuk mencegah makanan keluar dari mulut.
Nervus fasialis juga menginervasi otot-otot businator pada pipi, yang berperan
untuk mencegah makanan terkumpul di celah antara gigi dan pipi. Serabut
sensoriknya mempersarafi dua pertiga lidah depan untuk mengecap.
5,6


6

Nervus glosofaringeus atau nervus kranial IX mengandung serabut
motorik, sensorik, dan saraf otonom. Bersama nervus X menginervasi otot
konstriktor faring bagian atas. Inti atau nukleus nervus ini berada di medula
oblongata. Serabut motorik nervus IX ini menginervasi tiga buah kelenjar saliva
di mulut. Saliva inilah yang membantu pembentukan makanan menjadi bolus di
mulut. Nervus ini juga menginervasi otot stilofaringeus, yang mengangkat laring
dan menariknya kembali selama proses menelan fase faringeal. Gerakan laring ini
juga membantu rileksasi dan terbukanya otot krikofaringeal. Serabut sensorik
nervus glosofaringeus ini menerima seluruh sensasi, termasuk rasa, dari sepertiga
lidah bagian belakang.
5,6

Nervus vagus atau nervus X mengandung serabut motorik, sensorik dan
nervus otonom. Bersama nervus IX menginervasi otot konstriktor faring bagian
atas. Bersama nervus XI menginervasi otot intrinsik laring. Nervus ini juga
menginervasi otot krikofaringeal dan mengontrol otot-otot yang terlibat selama
fase esofageal. Nervus vagus membawa informasi sensasi dari velum, faring
bagian posterior, faring bagian inferior, dan laring. Nervus hipoglosus atau nervus
XII merupakan nervus motorik tanpa serabut sensorik. Inti nervus ini berada di
medula oblongata sama dengan nervus IX dan X. Nervus ini memberikan
persarafan pada lidah. Perannya pada proses menelan terutama pada pembentukan
bolus dan membawa bolus ke arah faring.
5,6


C. Evaluasi fungsi menelan
Melakukan pemeriksaan fisik pada fungsi menelan, penting untuk menilai
struktur dan fungsi. Kelainan pada struktur dapat memberikan petunjuk visual
yang dapat mendasari fisiologis dan atau kelainan neurologis. Gerakan struktur
menelan memberikan informasi mengenai aspek kekuatan dan kecepatan menelan
dan keterlibatan saraf cranial. Saraf cranial yang paling penting pada proses
menelan adalah N.V, N.VII, N.IX, N.X, dan N.XII.
5



7

1. Pemeriksaan Fisik
Wajah dan rahang
Pengamatan terhadap otot-otot wajah pada saat istirahat sampai proses
menelan dapat memberikan infrmasi mengenai kekuatan otot, nada, dan
mobilitas. Pada fase oral menelan,pergerakan otot-otot wajah dapat menetukan
dan membedakan kerusakan umn dan lmn pada nVII.kekuatan otot rahang dan
mobilitas serta fungsi nV dapat dinilai dengan cara membuka dan menutup rahang
dan menggerakan rahang bawah ke arah lateral. Membuka mulut dan mengunyah
tanpa menggunakan bolus makanan juga merupakan cara lain untuk menilai
fungsi dari nV.
5

Fungsi lidah
Fungsi lidah sangat penting terhadap penialian klinis dari fungsi menelan.
Lidah diperlukan tidak hanya untuk menggerakan bolus makanan dan membentuk
masa kohesif tetapi juga untuk menekan bolus makanan melalui orofaring masuk
ke segmen atas esophagus. Fungsi lidah sangat penting terhadap kesuksesan
menelan. Bagian anterior dan posterior lidah harus dievaluasi keduanya.
5

Penilaian pertama adalah inspeksi pada lidah. Atrofi unilateral atau bilateral
merupakan indikasi kerusakan lmn pada nXII. Spastisitas merupakan indikasi
kerusakan umn nXII.Tekanan pada lidah juga harus diukur, kelemahan pada lidah
sangat berkorelasi dengan disfagia.
5

Kesehatan mulut dan gigi
Kebersihan mulut dan gigi yang buruk dapat menggaanggu proses
menelan. Jumlah gigi yang rusak, bercak putih pada lidah yang menunjukkan
infeksi jamur, sariawan, dan produksi air liur harus diperhatikan karena dapat
mengganggu fungsi menelan.
5
Palatum, Laring dan faring
Kesimetrisan dan struktur palatum harus dinilai. Kemampuan palatum
untuk menutup pada saat menelan harus dinilai. Berdasarkan penelitian, telah
8

dilaporkan bahwa tidak simetrisnya dan kelemahan pada palatum merupakan
predictor utama pada disfagia.
5

Penilaian fungsi otot faring sulit dilakukan dalam pemeriksaan fisik.
Endoskopi dan videofluoroskopi dapat memberikan gambaran yang lebih baik.
5

Fungsi laring juga berpengaruh terhadap proses menelan. Berdasarkan
penelitian, kualitas suara serta rasa ingin batuk berkorelasi terhadap gangguan
fungsi menelan.
5

2. Pemeriksaan nervus kranialis
Nervus V Trigeminus
Sensibilitas N V ini dapat dibagi 3 yaitu bagian dahi, cabang keluar dari
foramen supraorbitalis, bagian pipi, keluar dari foramen infraorbitalis, bagian
dagu, keluar dari foramen mentale. Pemeriksaan dilakukan pada tiap cabang dan
dibandingkan kanan dengan kiri.
6
Pada pemeriksaan motorik penderita disuruh menggigit yang keras dan
kedua tangan pemeriksa ditruh kira-kira didaerah otot maseter. Jika kedua otot
masseter berkontraksi maka akan terasa pada tangan pemeriksa. Kalau ada parese
maka dirasakan salah satu otot lebih keras.
6
Pada pemeriksaan reflek penderita diminta melirik kearah laterosuperior,
kemudian dari arah lain tepi kornea disentuhkan dengan kapas agak basah. Bila
reflek kornea mata positif, maka mata akan ditutupkan.
6

Nervus VII Fasialis
Dalam keadaan diam, diperhatikan asimetri muka (lipatan nasolabial),
gerakan-gerakan abnormal.
6

Penderita disuruh untuk mengangkat alis, bandingkan kanan dengan kiri.
Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri), kemudian pemeriksa mencoba
membuka kedua mata tersebut (bandingkan kekuatan kanan dan kiri).
Memperlihatkan gigi (asimetri). Bersiul dan mencucu (asimetri/deviasi ujung
bibir). Meniup sekuatnya (bandingkan kekuatan udara dari pipi masing masing).
Menarik sudut mulut ke bawah (bandingkan konsistensi otot platisma kanan dan
9

kiri). Pada kelemahan ringan, kadang-kadang tes ini dapat untuk mendeteksi
kelemahan saraf fasialis pada stadium dini.
6

Pada pemeriksaan sensorik khusus (pengecapan 2/3 depan lidah)
membutuhkan zat-zat yang mempunyai rasa manis (dipakai gula), asin (dipakai
garam), asam (dipakai cuka).
6

Paling sedikit menggunakan 3 macam. Penderita tidak boleh menutup
mulut dan mengatakan perasaannya dengan menggunakan kode-kode yang telah
disetujui bersama antara pemeriksa dan penderita. Penderita diminta membuka
mulut dan lidah dikeluarkan. Zat-zat diletakkan di 2/3 bagian depan lidah. Kanan
dan kiri diperiksa sendiri-sendiri, mula-mula diperiksa yang normal.
6


Saraf IX-X (N. Glossopharyngeus-N. Vagus)
Pemeriksaan saraf IX dan X terbatas pada sensasi bagian belakang rongga
mulut atau 1/3 belakang lidah dan faring, otot-otot faring dan pita suara serta
reflek muntah/menelan/batuk.
6

Pada pemeriksaan gerakan palatum, penderita diminta mengucapkan huruf
a atau ah dengan panjang, sementara itu pemeriksa melihat gerakan uvula dan
arcus pharyngeus. Uvula akan berdeviasi kearah yang normal (berlawanan dengan
gerakan menjulurkan lidah pada waktu pemeriksaan N XII).
6

Untuk pemeriksaan reflek muntah dan pemeriksaan sensorik pemeriksa
meraba dinding belakang pharynx dan bandingkan refleks muntah kanan dengan
kiri. Refleks ini mungkin menhilang oada pasien lanjut usia.
6

Kecepatan menelan dan kekuatan batuk juga harus dievaluasi pada
pemeriksaan ini.
6

Saraf XII (N. Hypoglossus)
Pada lesi LMN, maka akan tamapk adanya atrofi lidah dan fasikulasi
(tanda dini berupa perubahan pada pinggiran lidah dan hilangnya papil lidah).
6

Penderita diminta untuk menjulurkan lidah, pada lesi unilateral, lidah akan
berdeviasi kearah lesi. Pada Bells palsy (kelumpuhan saraf VII) bisa
menimbulkan positif palsu.
6

10

Penderita diminta untuk menggerakkan lidah kelateral, pada kelumpuhan
bilateral dan berat, lidah tidak bisa digerkkan kearah samping kanan dan kiri.
Diperhatikan apakah ada tremor lidah dan atropi. Pada lesi perifer maka tremor
dan atropi papil positif.
6

Diperhatikan juga bicara dari penderita. Bila terdapat parese maka
didapatkan dysarthria.
6


C. DISFAGIA
1.Definisi
Keluhan kesulitan menelan (disfagia) merupakan salah satu gejala
kelainan atau penyakit di orofaring dan esophagus. Keluhan ini timbul bila
terdapat gangguan gerakan otot-otot menelan dan gangguan transportasi makanan
dari rongga mulut ke lambung.
7
Tanda dan gejala disfagia yang lain meliputi mengiler, kesulitan
mengunyah, makanan tertahan di mulut, memerlukan waktu lama saat menelan,
batuk, tersedak, suara serak, makanan melekat di kerongkongan, berat badan
menurun, rasa panas di dada atau heart burn, keluar makanan dari hidung, dan
aspirasi pneumonia.
7

Insiden disfagia pada pasien stroke dilaporkan mencapai sekitar 27%-
40%. Komplikasi utama akibat disfagia mencakup malnutrisi, dehidrasi, dan
infeksi. Diperkirakan proses menelan yang tidak aman pada tiga hari pertama
pasca stroke sebagai penyebab infeksi saluran nafas atas, lima sampai 10 kali lipat
risiko infeksi dibanding pasien yang tidak mengalami gangguan fungsi menelan.
Penatalaksanaan pasien stroke yang mengalami disfagia secara tepat sedini
mungkin selain menurunkan risiko aspirasi juga terbukti memperbaiki status gizi,
mengoptimalkan program rehabilitasi, dan memperpendek lama rawat di rumah
sakit.

2. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi menjadi disfagia mekanik,
disfagia motorik, dan disfagia oleh gangguan emosi.
7

11

Disfagia mekanik timbul bila terjadi penyempitan lumen esophagus.
Penyebab utama disfagia mekanik adalah sumbatan lumen esophagus oleh massa
tumor dan benda asing. Penyebab lain adalah akibar peradangan mukosa
esophagus, striktur lumen esophagus, serta akibat penekanan lumen esophagus
dari luar, misalnya pembesaran kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelemjar getah
bening di mediastinum, pembesaran jantung, dan elongasi aorta.
7

Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuscular yang
berperan dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang otak, kelainan
saraf otak n. V, n. VII, n. IX, n. X dan n. XII, kelumpuhan otot faring dan lidah
serta gangguan peristaltic esophagus dapat menyebabkan disfagia. Penyebab
utama dari disfagia motorik adalah akalasia, spasme difus esophagus, kelumpuhan
otot faring dan skleroderma esophagus.
7

Keluhan disfagia dapat juga timbul bila terdapat gangguan emosi atau
tekanan jiwa yang berat. Kelainan ini dikenal sebagai globus histerikus.
7

3. Disfagia pada proses menelan
Fase Oral.
Kelemahan otot menelan pada fase oral dapat berupa kelemahan otot lidah,
buruknya koordinasi bibir, pipi, dan lidah, yang menyebabkan terkumpulnya
makanan dalam mulut atau masuknya bolus ke faring sebelum menelan yang
dapat menyebabkan aspirasi. Gangguan pada fase oral ini juga dapat berupa
gangguan inisiasi menelan oleh karena perubahan status mental dan kognitif, yang
berisiko terjadi pengumpulan bolus makanan di rongga mulut dan risiko terjadi
aspirasi.

Fase Faringeal.
Pada fase ini, dapat terjadi disfungsi palatum mole dan faring superior
yang menyebabkan makanan atau cairan refluks ke nasofaring. Dapat juga terjadi
berkurangnya elevasi laring dan faring sehingga meningkatkan risiko aspirasi.
Gangguan lain adalah terjadi kelemahan otot konstriktor faring yang
menyebabkan pengumpulan bolus di valekula dan sinus piriformis yang berisiko
12

terjadi aspirasi, atau dapat juga terjadi gangguan pada otot krikofaring yang akan
mengganggu koordinasi proses menelan.

Fase Esofagus.
Kelainan yang mungkin terjadi pada fase ini adalah kelainan dinding
esofagus atau kelemahan peristaltik esofagus.

4. Pemeriksaan penunjang untuk disfagia
Disfagia dapat didiagnosa melalui beberapa pemeriksaan fungsi menelan
baik secara invasif maupun non invasif. Pemeriksaan invasif sebaiknya dilakukan
hanya pada pasien yang dicurigai mengalami gangguan menelan. Berikut ini
beberapa pemeriksaan tersebut:
2

a) Videofluoroscopy Swallowing Study (VFSS)
Tes yang paling sering digunakan adalah Videofluoroscopy Swallowing Study
(VFSS), yang juga dikenal dengan istilah Modified Barium Swallow (MBS).
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan penunjang baku emas untuk
mendiagnosa disfagia.
b) Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES)
FEES merupakan teknik pemeriksaan visualisasi langsung struktur nasofaring,
laringofaring, dan hipofaring. Selama pemeriksaan pasien diberikan berbagai
macam konsistensi makanan dan dilakukan evaluasi terhadap adanya residu,
kebocoran makanan ke faring sebelum menelan (preswallowing leakage),
penetrasi serta aspirasi.
c) Transnasal Esophagoscopy, sesuai untuk kasus divertikula esophagus atau
tumor.
d) Ultrasonography, untuk mengevaluasi gerak jaringan lunak selama fase oral
dan faringeal.
e) Electromyography, lebih sering digunakan untuk penelitian mengevaluasi
fungsi mioelektrik.


13

D. Disfagia Pada Pasien Stroke
Disfagia didefinisikan sebagai kesulitan menelan dan merupakan
komplikasi umu pada stroke. Tingkat insiden disfagia dilaporkan mencapai 29-
67% pada stroke akut. Kejadian disfagia pada stroke dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas dan komplikasi penyakit lain seperti malnutrisi, dehidrasi,
aspirasi serrta perawatan yang lama di rumah sakit.
8

Disfagia terjadi pada 55% penderita stroke akut, sebagaimana telah
dibuktikan dengan videofluoroscopic swallow study (VSS), pada penderita
tersebut sebanyak 40%. Sebanyak 7% penderita stroke terjadi disfagia 6 bulan
setelah onset stroke, dan 19% dari penderita stroke yang disfagia tersebut
dilakukan pemasangan gastrostomy tube. Hal ini menunjukkan bahwa disfagia
umum terjadi pada penderita setelah mengalami stroke, sehingga hal ini
meningkatkan morbiditas dan dapat menetap pada beberapa pasien.
8
Akibat stroke, sel neuron mengalami nekrose atau kematian jaringan,
sehingga mengalami gangguan fungsi. Gangguan fungsi yang terjadi tergantung
pada besarnya lesi dan lokasi lesi. Pada stroke fase akut, pasien dapat mengalami
gangguan menelan atau disfagia. Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan
dan atau makanan yang disebabkan karena adanya gangguan pada proses
menelan.
8

Disfagia pada pasien stroke dapat disebabkan oleh edema otak,
menurunnya tingkat kesadaran, ataupun akibat proses diaschisis, yang biasanya
bersifat sementara. Tetapi bila lesi terjadi di daerah batang otak, kemungkinan
pasien akan mengalami disfagia yang menetap. Lesi pada hemisfer kiri
menyebabkan menurunnya aktifitas motorik di oral dan apraxia, sedangkan lesi di
hemisfer kanan berhubungan dengan terlambatnya refleks menelan, bolus tertahan
di faring, sehingga dapat menyebabkan aspirasi.
8

Selama fase akut tidak ada hubungannya antara kejadian aspirasi atau
disfagia dengan lokasi stroke dan letak lesi. Stroke akut pada batang otak
kemungkinan dapat menyebabkan disfagia dengan atau defisit neurologik yang
lain. Hampir 62,5 pasien stroke batang otak mengalami aspirasi, terutama lesi
pada medulla atau pons. Risiko aspirasi akan meningkat bila mengenai bilateral,
14

dan biasanya berupa aspirasi yang tersembunyi. Parese saraf kranial X sampai XII
dismobilitas dan asimetri faring, laring tidak menutup sempurna, terkumpulnya
bolus di vallecula, dan tidak sempurnanya rileksasi atau spasme dari
cricopharingeal.
8

Manifestasi klinis gangguan proses menelan pada stroke tergantung letak
lesi yang terjadi. letak lesi dapat terjadi pada kortikal kanan dan kiri, subkortikal,
dan batang otak. Lesi yang terjadi menimbulkan gangguan pada fase-fase dalam
menelan, dapat dilihat pada tabel 1.
Tipe stroke Orofaringeal Lain-lain
Kortikal
Kiri



Kanan



Subkortikal
(Ganglia Basalis)


Batang Otak
Medula

Pons


Apraksia menelan
Gangguan pada
fase oral

Gangguan pada
fase faringeal

Gangguan pada
fase oral
Gangguan pada
fase faringeal


Reflex menelan
lambat


Disfungsi pada fase
faringeal

Dis/afasia
Disartria
Hemi-inatensi
Atensi menurun









Kekakuan pada
otot faring

Tabel 1. Hubungan disfagia dengan stroke
8
E. Rehabilitasi Disfagia
Proses menelan merupakan kegiatan yang memerlukan koordinasi sejumlah
otot dan saraf kranial. Oleh karenanya meskipun para klinikus berusaha melihat
otot apa yang terganggu, namun tetap saja harus dipahami bahwa proses menelan
merupakan suatu kegiatan yang membutuhkan kerjasama berbagai otot sehingga
dapat berlangsung dengan baik.
8

15

Sangat mengherankan bahwa meskipun gangguan proses menelan banyak
terjadi pada penderita stroke, parkinson dan cerebral palsy namun penelitian yang
memuat bukti klinis yang terkait dengan penatalaksanaan gangguan menelan
masih sedikit jumlahnya.
8

Ada sejumlah cara latihan atau manuver yang berguna untuk melatih fungsi
motorik otot-otot yang bertugas dalam proses menelan dan seringkali para
klinikus menambahkan juga sejumlah cara-cara kompensasi dalam menangani
penderita dengan kasus disfagia. Bahkan sesungguhnya gabungan yang seimbang
antara kedua cara tersebut, pelatihan fungsi motorik dan kompensasi, akan
meningkatkan fungsi menelan penderita disfagia.
8


Latihan / terapi otot atau kelompok
otot
Terapi gabungan (meliputi latihan
dan cara kompensasi)
Latihan motorik oral Modifikasi diet dan latihan
Manuver Masako Stimulasi suhu + menelan supraglotik +
latihan mendorong bolus Latihan angkat kepala
Manuver Mendelsohn Modifikasi diet + latihan + konseling
Manuver menelan paksa Modifikasi diet + latihan motorik oral +
teknik menelan + penempatan posisi
Tabel 2. Bermacam terapi disfagia
8

1. Rehabilitasi Disfagia Berdasarkan Evidence-Based Practice
Evidence-based practice didefinisikan sebagai penggunaan cara-cara
yang telah dibuktikan secara klinis secara sadar, jelas dan bijaksana dalam
merawat setiap penderita. Secara sederhana dapat dikatakan, para dokter harus
menggunakan teknik perawatan yang telah terbukti baik sebelumnya. Bukti ini
harus berdasarkan jumlah partisipan yang besar, metode penelitian yang dirancang
dengan baik, dikendalikan dengan baik, dan dianalisis secara ilmiah.
8

Penanganan disfagia masih merupakan suatu hal yang baru dan oleh
karenanya saat ini masih merupakan masa pengumpulan bukti-bukti klinis dalam
bidang penanganan disfagia.
8
16

Banyak klinikus yang berpendapat bahwa latihan motorik oral akan
meningkatkan kekuatan motorik oral dan oleh karenanya akan memperbaiki
kekuatan mulut dalam berbicara dan menelan. Latihan motorik oral tersebut
biasanya meliputi pendorongan lidah ke depan, samping dan ke atas. Jadi bila bila
seorang penderita ingin memperbaiki kemampuan lidahnya untuk mendorong ke
depan, maka penderita harus melatih lidahnya dengan cara mendorong ke depan.
Namun dalam proses menelan tidak ada kegiatan lidah yang semacam itu. Bukti-
bukti klinis yang menunjang latihan motorik oral seperti ini belum mencukupi.
Karenanya latihan motorik oral seperti ini belum dapat direkomendasikan sebagai
penanganan disfagia.
8

Adapun hal yang dapat dilakukan ialah melatih penderita untuk menelan
secara benar dengan mempertimbangkan proses-proses fungsional yang terjadi
pada fase oral, faringeal, respirasi, atau memindahkan bolus dari rongga mulut
atau faring.
8

2. Rehabilitasi Fase Oral
Yang termasuk dalam tujuan rehabilitasi fase oral ialah :
Membuka mulut untuk menerima bolus makanan ;
Mengambil bolus makanan dari sendok atau garpu ;
Menutup bibir untuk mempertahankan agar bolus makanan/cairan tetap di
dalam mulut ;
Latihan mengunyah ;
Latihan mendorong bolus untuk selanjutnya ditelan; dan
Membersihkan rongga mulut setelah bolus makanan yang utama telah ditelan

3.Rehabilitasi Fase Faringeal
Yang termasuk dalam tujuan rehabilitasi fase faringeal ialah :
Menutup palatum molle sehingga tidak terjadi regurgitasi saat atau setelah
menelan ;
Mencegah penyimpangan hyolaringeal dengan manuver :
o manuver Mendelsohn
17

o mengangkat kepala (head lift)
o melatih suara falsetto
Melatih kontraksi faring secara efektif untuk memipihkan bolus, dengan cara :
o latihan Masako
o manuver menelan paksa
Melatih pembukaan sfingter esofagus atas, dengan cara :
o manuver Mendelsohn
Menutup vestibulum laring
Melatih koordinasi menelan dan respirasi :
o menelan supraglottik
o menelan super-supraglottik

4.Stimulasi Listrik
Penggunaan stimulasi listrik untuk penanganan disfagia merupakan
terobosan baru dan menarik. Penggunaannya yang lebih sering pada ekstremitas
atas dan abwah dikarenakan otot-otot daerah tersebut yang lebih besar sehingga
lebih mudah diisolasi bila dibandingkan dengan otot-otot daerah leher.
8,9,10

Stimulasi listrik ialah penggunaan listrik bervoltase rendah untuk
menstimulasi otot sehingga menyebabkan serabut otot berkontraksi. Respon
neuromuskular yang terjadi dipengaruhi oleh : (a) karakteristik aliran listrik, (b)
apakah stimulasi yang diberikan bersifat kontinyu atau intermiten, (c) penempatan
elektroda, (d) lamanya sesi yang diberikan kepada pasien (dosis), (e) diberikan
saat otot beristirahat atau diberikan dengan manuver otot tertentu, (f) keteraturan
pemberian terapi. Namun dari semua parameter ini belum ada satupun yang
diteliti secara seksama.
8,9,10

Ada hasil penelitian menyatakan bahwa stimulasi listrik dengan frekuensi
yang tinggi akan menghasilkan kontraksi yang kuat, namun hal ini dapat cepat
menimbulkan kelelahan. Sebaliknya, stimulasi listrik dengan frekuensi yang
rendah akan menghasilkan kontraksi yang lebih lemah, namun hal ini mnegurangi
terjadinya cedera otot.
8,9,10

18

Hanya terdapat sedikit data penelitian sebelumnya yang membahas
mengenai stimulasi listrik yang adekuat untuk penganan disfagia. Ada dugaan
yang menyatakan bahwa stimulasi listrik (disebut juga dengan Functional
Neuromotor Stimulation FNS) sangat sesuai untuk gangguan motorik yang
diakibatkan susunan sistem saraf pusat yang terganggu namun sistem
neuromuskular yang masih utuh.
8,9,10






















19

DAFTAR PUSTAKA

1. Centers for Disease Control and Prevention. Stroke Facts. USA: CDC;
2013

2. Crary MA, Mann C, Groher ME. Initial Psychometric Assessment of a
Functional Oral Intake Scale for Dysphagia in Stroke Patients. Arch Phys
Med Rehabil, 2005; 86 : 1516-20.

3. Marik PE, Kaplan D. Aspiration Pneumonia and Dysphagia in the Elderly.
Chest, 2003; 124 : 328-36.

4. Soepardi EA. Disfagia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta: FKUI. 2007. h. 271-302..

5. McCullough GH, Martino R. Clinical Evaluation of Patients with
Dysphagia: Importance of History Taking and Physical Exam. Springer
Science+Business Media. 2013; 11-30

6. Lumbantubing SM. Saraf Otak. Dalam Neurologi Klinik Pemeriksaan
Fisik dan Mental. Cetakan ke-15, 2012. Jakarta : FKUI

7. Cichero JAY, Murdoch BE. Dysphagia : Foundation, Theory and Practice.
Chichester : John Wiley and Sons, 2006 : 112-25, 237-41, 343-88, 544-66.

8. Wijting Y. Neuromuscular Electrical Stimulation in the Treatment of
Dysphagia : A Summary of the Evidence. St. Paul : Empi Recovery
Sciences, 2009 : 1-21.

20

9. Permisirivanich W, Tipchatyotin S, Wongchai M, et al. Comparing the
Effects of Rehabilitation Swallowing Therapy vs Neuromuscular Electrical
Stimulation Therapy among Stroke Patients with Persistent Pharyngeal
Dysphagia : A Randomized Controlled Study. J Med Assoc Thai, 2009;
92(2) : 259-65.

You might also like