You are on page 1of 11

A.

AKHLAK SOSIAL ISLAM


1. Pengertian Akhlak
Di dalam Al-Quran terdapat kata ihsan yang berarti berbuat kebijakan atau kebaikan.
Yaitu di dalam QS. An-Nahl : 90, dan QS. Ar-Rahman : 60 yang berhubungan dengan akhlak.
Kata akhlaq berasal dari kata khilqun, yang mengandung segi-segi persesuaian kata khaliq dan
makhluq. Dari sinilah asal perumusan ilmu akhlak yang merupakan koleksi ugeran yang
memungkinkan timbulnya hubungan yang baik antara makhluk dan Khalik serta antara makhluk
dengan makhluk lainnya.
Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang dapat melahirkan
suatu perbuatan yang mudah dilakukan, tanpa banyak pertimbangan atau pemikiran. Maka jika
sifat itu melahirkan suatu perbuatan atau tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan
norma agama, dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakala ia melahirkan perbuatan yang
jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk.
Akhlak dalam bahasa Indonesia lebih mendekati dengan arti budi pekerti. Yang
penerapannya melalui tingkah laku yang mungkin positif dan negative.
Hadist tentang akhlak :
Jadi, akhlak social islami adalah suatu perilaku atau suatu perangai yang baik dalam
pandangan Islam. Baik akhlak kepada Allah SWT. juga akhlak kepada manusia.

B. 8 AKHLAK SOSIAL ISLAMI
1. Saling Menyayangi
Sebagaimana syair yang mengatakan, mawaddatuhu taduumu likulli haulin, wa hal
kullun mawaddatuhu taduumu, kasih sayangnya (manusia) selalu kekal untuk segala hal yang
menakutkan, dan apakah setiap orang itu kasih sayangnya selalu kekal.
Makna kasih sayang tidaklah berujung, sedangkan rasa kasih sayang adalah sebuah fitrah
yang mesti direalisasikan terhadap sesama sepanjang kehidupan di dunia ini ada, tentunya dalam
koridor-koridor Islam. Ini berarti bahwa Islam tidak mengenal waktu, jarak, dan tempat akan
sebuah kasih sayang baik terhadap teman, sahabat, kerabat, dan keluarganya sendiri.
Rasulullah saw. bersabda, Man laa yarhaminnaasa laa yarhamhullaah Barang siapa
tidak menyayangi manusia, Allah tidak akan menyayanginya. (H.R. Turmudzi). Dalam hadis
tersebut kasih sayang seorang Muslim tidaklah terhadap saudara se-Muslim saja, tapi untuk
semua umat manusia. Rasulullah saw. bersabda, Sekali-kali tidaklah kalian beriman sebelum
kalian mengasihi. Wahai Rasulullah, Semua kami pengasih, jawab mereka. Berkata
Rasulullah, Kasih sayang itu tidak terbatas pada kasih sayang salah seorang di antara kalian
kepada sahabatnya (mukmin), tetapi bersifat umum (untuk seluruh umat manusia). (H.R. Ath-
Thabrani). Bahkan, bukan hanya kepada manusia saja ajaran Islam yang tinggi ini telah
mengajarkan bagaimana kasih sayang terhadap hewan dan tumbuhan yang harus direalisasikan.
Abu Bakar Shiddiq r.a. pernah berpesan kepada pasukan Usamah bin Zaid, Janganlah kalian
bunuh perempuan, orang tua, dan anak-anak kecil. Jangan pula kalian kebiri pohon-pohon
kurma, dan janganlah kalian tebang pepohonan yang berbuah. Jika kalian menjumpai orang-
orang yang tidak berdaya, biarkanlah mereka, jangan kalian ganggu. Sebuah nasihat ini walau
dalam keadaan untuk perang, ajaran Islam tetap memancarkan kasih sayangnya terhadap
manusia, hewan, dan tumbuhan. Sebuah kisah lain yang menarik ketika Amr bin Ash
menaklukkan kota Mesir, saat itu datanglah seekor burung merpati di atas kemahnya.
- Cinta kepada Allah
Di antara manusia banyak yang cinta dan mencintai Allah, tapi lebih banyak yang
mencintai dunia. Mencintai Allah adalah fardu bagi kaum Muslimin dan Muslimat yang bukan
sekadar dikata saja. Dan jika kita benar-benar mencintai Allah secara kesungguhan hati, maka
proses rasa kasih sayang untuk makhluk ciptaan-Nya akan terbentuk dalam hati kita. Selain
itu, jati diri kita sebagai seorang Muslim akan tampak lebih kokoh serta mampu menjalani
syariat-syariat Islam yang diridai dan di berkahi oleh Allah SWT. Cinta kepada Allah adalah hal
yang utama, sebagai jalan untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat dengan melaksanakan
perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya. Cinta kepada Allah hendaklah melebihi cinta
kepada segala yang maujud yang selain Allah. Mencintai Allah berarti juga mencintai Rasul-
Nya, yakni mengikuti segala petunjuk Rasul dengan sepenuh-penuhnya. Firman Allah SWT,
Katakanlah (hai Muhammad), Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Q.S. Ali Imran [3]:31). Ketahuilah, kehidupan akhirat adalah kehidupan yang lebih
baik dan kekal.
2. Beramal Shaleh
Dari hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah r.a. dan sababul wurud-nya ini, kita
dapat menarik arahan bahwa Islam menghendaki umatnya menjadi manusia produktif dengan
amal saleh. Umat ini diliputi permasalahan yang amat kompleks. Dari mulai korupsi yang
semakin menggila, kemaksiatan yang semakin demonstratif, pengangguran yang semakin
membengkak, dan belum lagi problem-problem yang dicurahkan oleh pihak asing ke dalam
negeri kita. Ini semua menuntut penyelesaian yang serius dan penanganan yang penuh kesabaran.
Allah telah menurunkan Islam dan mengariskannya sebagai agama kerja (dinul amal). Setiap
bagian ajaran Islam mengarah pada kerja dan aplikasi nyata. Dan hanya pada saat Islam benar-
benar dilaksanakan itulah Islam benar-benar menjadi rahmatan lil alamin. Karena hanya dengan
cara dilaksanakan itulah Islam menjadi solusi bagi berbagai permasalahan manusia. Oleh karena
itu, segala perdebatan, diskusi yang tidak membuahkan amal atau meningkatkan produktivitas,
dan tidak pula meningkatkan keimanan adalah tidak sesuai dengan ruh Islam. Dan karenanya ia
merupakan sesuatu yang tercela. Betapa banyak problematika yang melilit umat Islam. Ada
baiknya kita menyimak apa yang dipesankan oleh salah seorang ulama Mesir, Ustadz Hasan al-
Banna, Setiap masalah yang tidak menjadi pijakan amal, maka membincangkannya adalah
merupakan sikap takalluf (memaksa-maksakan), yang -secara syari- kita dilarang
melakukannya. Di antaranya adalah: memperbanyak perbincangan detil-detil hukum yang tidak
secara ril terjadi; mendalami ayat-ayat Al Quran yang belum terjangkau ilmu pengetahuan;
membanding-bandingkan keutamaan para sahabat -semoga Allah meridoinya- dengan segala
perbedaan pendapat yang terjadi di antara mereka. Masing-masing mereka memperoleh
keutamaannya sebagai sahabat dan memperoleh pahala niatnya.
Ini semakin menegaskan pentingnya kita menjaga diri dari keterjebakan dalam hal-hal
yang tidak produktif bahkan menambahkan persoalan baru terhadap persoalan lama yang belum
juga terpecahkan.
3. Saling Menghormati
Ihtiram artinya saling menghargai atau saling hormat menghormati kepada sesama
manusia. Saling harga menghargai adalah satu sikap yang harus dimiliki oleh setiap muslim
sebagai wujud dari Akhlaqul mahmudah. Islam sangat menekankan pada dua dimensi nilai yang
harus selalu diwujudkan yaitu akhlaq yang terpuji dan aqidah atau keimanan yang benar, dua-
duanya harus seiring sejalan.Aqidah yang benar akan membuahkan akhlaq yang baik. Akhlaq
yang baik harus berakar pada aqidah yang benar.
Salah satu sifat yang mesti diwujuddkan dalam kehidupan sehari-hari ialah saling
menghargai kepada sesama manusia dengan berlaku sopan, tawadhu, tasamuh, muruah
(menjaga harga diri), pemaaf, menepati janji, berlaku adil dan lain sebagainya. Perhatikan sabda
Rasulullah :
Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia (HR .Ahmad dan
Baihaqi)
Dalam pergaulan sehari-hari kita dituntut untuk menampakkan akhlaq yang mulia dalam
tutur kata dan perilaku dan bahkan menjadi syarat kesempurnaan Iman seorang mukmin,
Rasulullah bersabda:
Orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah mereka yang paling bagus
akhlaqnya. Dan orang-orang yang paling baik diantara kamu ialah mereka yang paling baik
terhadap istrinya. (HR. Tirmidzi ).
Orang pandai mengatakan : Al-Islam mahjubun bil muslimin artinya bahwa Islam itu
terhijab oleh ( perilaku ) kaum muslimin.

Banyak kaum muslimin yang kurang perhatian terhadap perilakunya, terutama dalam pergaulan
saling hormat menghormati kepada sesamanya, sehingga timbul kesan terhadap citra baik Islam
seolah-olah Islam tidak mengatur sopan santun.
Harga menghargai ditengah pergaulan hidup, setiap muslim punya tanggung jawab moral
untuk mempertahankan dan mewujudkan citra baik Islam dengan menampakkan tutur kata, sikap
dan tingkah laku, cara berpakaian, cara bergaul, lebih bagus daripada orang lain.
Ihtiram menjadi hal yang sangat essensi ditengah-tengah pergaulan antar sesama lebih-
lebih dalam tata pegaulan antar sesama muslim.
Ihtiram Dalam Pergaulan
- Kepada kedua orang tua
Allah berfirman :
Dan ( Allah ) Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapak-mu dengan sebaik-baiknya, jika salah seorang
diantara keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan AH dan janganlah kamu membentak
dan ucapkanlah kepada mereka dengan perkataan yang mulia. (QS. Al-Isra : 23 ).
Ayat ini menunjukan bahwa orang yang paling berhak mendapatkan rasa hormat adalah orang
tua, dosa besar bila rasa hormat ini diabaikan.
- Kepada sesama.
Firman Allah :
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia ( karena sombong ) dan janganlah
kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi membanggakan diri. (QS Luqman : 18 ).
Sombong ditandai dengan dua sifat yang menonjol : bathrul haq wa ghantun nas, menolak haq (
kebenaran ) dan menghina manusia. Kedzaliman dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi
seseorang besumber pada rasa angkuh, tidak menghormati orang lain. Allah melarang perbuatan
mengabaikan Ihtiram, karena pebuatan itu akan melahirkan pelanggaran yang serius. Rasulullah
shalallahu alaihi wa sallam bersabda : Barang siapa yang tidak belas kasihan kepada yang
lebih kecil dan tidak menghargai kehormatan yang lebih tua maka ia bukan dari golongan kami.
( HR. Bukhari dari Ibnu Umar ra ).
Jadi jelas kesombongan, angkuh, tidak sayang kepada yang kecil ( lemah ) dan tidak menghargai
kehormatan yang lebih tua ( besar ), bukan watak orang-orang beriman.
- Hormat kepada yang lebih tua.
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda : Tidaklah seorang muda menghormati pada
orang tua karena tuanya ( usianya ), melainkan Allah akan membalas dengan penghormatan
orang yang menghormatinya pula dia karena usiaya kelak. ( HR. Tirmidzi dari Anas ra )
Hadits ini memerintahkan kepada kita agar berlaku tawadhu dan ihtiram ( menghargai ) kepada
orang tua atau yang dituakan.
4. Baik kepada tetangga hormat kepada tamu.
Dalam merealisir Ihtiram dalam pergaulan juga meliputi tetangga dan tamu, Rasulullah
bersabda : Barang siapa iman kepada Allah dan hari akihirat, maka hendaklah ia berbuat baik
kepada tetangganya dan barang sipa beriman kepada Allah dan hari akhirat maka hendaklah ia
menghormati tamunya. ( HR. Asy-Syaukhani / Bukhari-Muslim ).
Ini juga merupakan dua aplikasi wujud kebenaran iman yang benar, dengan kata lain
bahwa setiap seorang mukmin punya tanggung jawab untuk :
Bersikap dan berperilaku baik terhadap tetangga, sikap Ihtiram ( saling menghormati )
menimbulkan pergaulan yang sehat dan kehidupan yang tentram.
Sebaliknya berbuat atau berperangai buruk terhadap tetangga akan memperburuk pula
terhadap pergaulan di masyarakat.
Berlaku Ihtiram terhadap tamu artinya sebagai tuan rumah harus menghargai dan
menghormati tamu siapa pun orangnya. Dan sebagai tamu pun harus menghormati tuan rumah
dengan berlaku sopan.
4. Berlaku Adil
Adil atau keadilan adalah sebuah kata yang tidak asing lagi bagi kita semua.
Imam al-Mawardi (salah seorang ulama pengikut madzhab Imam asy-Syafii) berkata, dalam
kitab beliau yang berjudul Adab ad-Dunya wa ad-Diin, Sesungguhnya di antara perkara yang
dapat membuat baik keadaan dunia ini adalah keadilan yang menyeluruh dan mencakup semua
sisi kehidupan. Keadilan akan mengajak manusia untuk berbuat baik terhadap sesama,
membangkitkan semangat untuk melakukan ketaatan kepada Allah Taala. Dengan keadilan,
dunia akan dipenuhi dengan kemakmuran, harta benda akan berkembang dan bertambah banyak,
penguasa akan merasa aman dan pemerintahannya akan berumur panjang. Tidak ada sesuatu
yang lebih cepat menghancurkan dunia dan merusak serta mengotori hati-hati manusia daripada
kezhaliman yang merupakan lawan dari keadilan.
Adil adalah memutuskan perkara sesuai dengan ketentuan Allah Taala dalam al-Quran
dan ketentuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam as-Sunnah, bukan hanya sekedar
bergantung kepada akal manusia semata. Dengan pengertian ini dapat kita katakan bahwa hukum
Allah memberikan kepada anak laki-laki sebanyak dua bagian anak perempuan dalam masalah
pembagian harta warisan adalah hukum yang adil. Begitu pula hukum Allah membolehkan
poligami dan mengharamkan poliandri dalam masalah pernikahan adalah hukum yang adil.
Adil juga didefinisikan sebagai sikap pertengahan antara meremehkan dan berlebih-
lebihan dalam suatu perkara.
Adil merupakan salah satu sifat dari sifat Allah Taala, sebagaimana adil juga merupakan
salah satu sifat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dalam sebuah hadits yang shahih,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda, Maka siapakah yang dapat berbuat
adil jika Allah dan rasulNya (dianggap) tidak berbuat adil? (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Seorang muslim memandang keadilan secara umum adalah termasuk kewajiban yang
paling utama dan pasti, sebab Allah Taala memerintahkan setiap muslim untuk berlaku adil di
dalam firmanNya, Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat. (QS. an-Nahl: 90)
Allah Taala mengabarkan bahwa Dia mencintai orang-orang yang senantiasa berbuat
adil dalam firmanNya, Dan berlaku adillah; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
berlaku adil. (QS. al-Hujurat: 9)
Allah Taala memerintahkan kita untuk berbuat adil di dalam perkataan dan di dalam
menetapkan hukum. Allah Taala berfirman, Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu
berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu) (QS. al-Anam: 152)
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. (QS.an-Nisa: 58)
Oleh karena itu, seorang muslim yang baik akan selalu berusaha untuk dapat berbuat adil
dalam perkataan maupun dalam perkara hukum. Ia akan senantiasa berbuat adil dalam segala
urusannya sampai keadilan menjadi akhlak yang tidak terpisahkan darinya. Ia akan menjauhi
segala macam bentuk ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kezhaliman dan penyelewengan. Ia
menjadi orang yang adil yang tidak condong kepada hawa nafsu, syahwat dan fitnah dunia.
Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan ridha dan kecintaan Allah Taala serta kemuliaan
dan kenikmatan dariNya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda,
Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah disediakan bagi mereka mimbar-mimbar dari
cahaya di sisi kanan (Allah) Yang Maha Pemurah, Maha Agung lagi Maha Tinggi dan kedua
tanganNya adalah kanan-. Mereka adalah orang yang adil dalam menetapkan hukum, adil
terhadap keluarga dan adil dalam kekuasaan. (HR. Muslim [1827])
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda, Tujuh
golongan yang akan dinaungi oleh Allah dalam naunganNya pada (hari kiamat), hari yang tidak
ada naungan kecuali naunganNya: imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada
Allah, (HR. al-Al-Bukhari [660])
Abu Hurairah radhiallahu anhu meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam, bahwa beliau pernah bersabda, Pernah ada seorang lelaki yang membeli
sebidang tanah dari seseorang. Kemudian sang pembeli menemukan dalam tanah tersebut sebuah
bejana berisi emas. Ia pun berkata kepada sang penjual tanah, Ambillah emasmu ini dariku
karena sesungguhnya aku hanya membeli tanah darimu dan tidak membeli emas ini! Sang
penjual berkata, Sesungguhnya yang aku jual kepadamu adalah tanah dan apa yang ada di
dalamnya. Kedua orang itu pun pergi menemui seorang hakim untuk memutuskan perselisihann
yang terjadi di antara mereka. Sang hakim bertanya kepada keduanya, Apakah kalian berdua
memiliki anak? Salah seorang dari keduanya menjawab, Saya memiliki seorang anak laki-
laki. Adapun yang lainnya menjawab, Saya memiliki seorang anak perempuan. Sang hakim
pun berkata, Kalau begitu, nikahkanlah anak-anak kalian! Kemudian manfaatkanlah emas ini
untuk memenuhi kebutuhan kalian berdua dan bersedekahlah darinya! (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
5. Menjaga Persaudaraan
Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-namaNya, kamu
saling meminta, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. (QS. An Nisa: 1)
Seorang mukmin terhadap mukmin (lainnya) bagaikan satu bangunan, satu sama lain
saling menguatkan. (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan Islam adalah salah satu aspek yang vital dan
sangat ditekankan di dalam ajaran agama Islam. Begitu banyak anjuran dan perintah yang
menyerukan untuk mengeratkan ikatan persaudaraan antar sesama umat Islam, dan banyak pula
larangan untuk memutuskan tali persaudaraan di dalam Islam. Semua itu telah disampaikan di
dalam ajaran agama Islam, baik melalui firman Allah swt di dalam Al Quran maupun melalui
sabda Rasulullah saw di dalam Al Hadits.
Rasulullah saw sendiri yang merupakan seorang manusia pilihan telah menunjukkan
bagaimana seharusnya umat Islam senantiasa menjaga hubungan persaudaraannya. Melalui
sabdanya, beliau telah begitu banyak mengingatkan kepada umatnya untuk senantiasa menjaga
keutuhan persaudaraanya di dalam Islam, karena Islam adalah agama yang mengharamkan
umatnya untuk memutuskan tali persaudaraan atau silaturahmi, terutama dengan saudara yang
berada dalam satu naungan agama Islam.
Dari Abdullah bin Abi Aufa ra. berkata, ketika sore hari pada hari Arafah, pada waktu
kami duduk mengelilingi Rasulullah saw, tiba-tiba beliau bersabda, Jika di majelis ini ada orang
yang memutuskan silaturahmi, silahkan berdiri, jangan duduk bersama kami. Dan ketika itu,
diantara yang hadir hanya ada satu yang berdiri, dan itupun duduk di kejauhan. Kemudian lelaki
itu pergi dalam waktu yang tidak lama, setelah itu ia pun datang dan duduk kembali.
Apa yang telah terjadi dalam riwayat tersebut di atas tentunya sangat sesuai sekali dengan
firman Allah swt berikut:
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara
kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (QS. Al
Hujuraat: 10)
Mempererat persaudaraan Islam juga merupakan salah satu bentuk penegakan power
Islam dalam kehidupan sehari-hari. Karena umat Islam yang satu dengan yang lain itu ibarat
sebuah bangunan yang saling melengkapi dan saling menguatkan. Jika ada kekurangan dari
saudaranya, maka sudah menjadi kewajibannyalah untuk senantiasa melengkapi atau
menjaganya, bukan justru membuang atau memutuskannya. Umat muslim yang satu dengan
yang lain ibarat satu tubuh yang jika salah satu anggota badannya mengalami sakit, maka seluruh
tubuh akan merasakannya pula. Di sinilah kekuatan Islam akan terbentuk melalui sebuah
hubungan persaudaraan yang kuat.
Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling
berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit maka seluruh tubuh
turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam. (HR. Muslim)
Rasulullah juga pernah bersabda, Tidak ada satu kebaikan pun yang pahalanya lebih
cepat diperoleh daripada silaturahmi, dan tidak ada satu dosapun yang adzabnya lebih cepat
diperoleh di dunia, disamping akan diperoleh di akherat, melebihi kezaliman dan memutuskan
tali silaturahmi. Dalam sebuah riwayat lain, dari Anas ra, ia berkata bahwa Rasullah saw
bersabda, Barangsiapa yang suka dilapangkan rezekinya dan dilamakan bekas telapak kakinya
(dipanjangkan umurnya), hendaknya ia menyambung tali silaturahmi. (HR. Mutafaq alaih)
Dalam riwayat lain, Rasulullah saw pernah ditanya oleh seorang sahabat, Wahai
Rasulullah kabarkanlah kepadaku amal yang dapat memasukkan aku ke surga. Rasulullah
menjawab; Engkau menyembah Allah, jangan menyekutukan-Nya dengan segala sesuatu,
engkau dirikan shalat, tunaikan zakat dan engkau menyambung silaturahmi. (HR. Bukhari).
Dalil-dalil di atas telah menjelaskan betapa pentingnya arti dari sebuah persaudaraan
Islam. Demikian penting dan vitalnya fungsi memperkuat persaudaraan Islam, hingga Rasulullah
saw pun tidak mau mengakui orang yang tidak memiliki kepedualian terhadap urusan saudaranya
sebagai umatnya, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya yang
artinya:
Dari Hudzaifah Bin Yaman ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, Siapa yang tidak
ihtimam (peduli) terhadap urusan umat Islam, maka bukan termasuk golongan mereka.. (HR.
At Tabrani)
6. Berani Membela Kebenaran
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar. (QS. Al Ahzab: 70).
Menyuarakan kebenaran bagi sebagian orang merupakan hal yang sulit. Bagaimana tidak,
di tengah masyarakat yang amburadul seperti ini, menyuarakan kebenaran adalah sama halnya
dengan mengenggam bara api. Digenggam tangan terbakar, dilepas api menjalar. Sangat
dilematis. Tapi itulah yang harus kita suarakan. Menyuruh seseorang berbuat baik lebih mudah
dilakukan ketimbang melarang seseorang berbuat jahat. Sebutan aneh, kerap dilekatkan terhadap
orang-orang yang berusaha menyuarakan kebenaran.
Kondisi masyarakat yang serba bebas dalam berbuat dan berprilaku, memang menjadi
tantangan tersendiri bagi kita untuk menguji keimanan. Amar maruf nahyi munkar harus
senantiasa ditegakkan. Dan ini membutuhkan keberanian kita dalam menyuarakan kebenaran.
Kerusakan masyarakat telah nampak ketika individu-individunya tidak lagi mempedulikan
perkara halal atau haram dalam perbuatannya. Yang ada dalam benaknya adalah menyenangkan
atau tidak, merugikan atau menguntungkan. Sama sekali telah mengesampingkan aspek hukum.
Hal ini diperparah pula dengan sikap sebagian tokoh intelektual yang notabene mengerti hukum
yang cenderung diam menyaksikan kerusakan yang tengah berlangsung di masyarakatnya.
Malah ada juga yang ternyata semakin memperburuk suasana dengan melontarkan penyataan
yang membingungkan umat.
Semboyan Qulil haqqa walau kaana muron. (Katakan kebenaran itu meski terasa
pahit), nampaknya perlu diupgrade lagi sehingga kita merasa berani menyampaikan kebenaran.
Meski risiko yang bakal dihadapi adalah kepahitan dan kesulitan hidup. Dan saat ini justeru
waktu yang tepat untuk menyampaikan kebenaran, di tengah masyarakat yang amburadul.
Menyuarakan tak dibatasi oleh ruang dan waktu, di manapun dan kapan pun. Oleh siapa saja, tak
peduli apakah ia pejabat, rakyat, orang kaya, kaum miskin, ulama, termasuk kita semua sebagai
seorang muslim yang terbebani kewajiban melakukan amar maruf nahyi munkar. Dari Abi Said
Al-Khudri Radhiallahu anhu telah berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda:
Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya
dengan tangannya; bila ia tidak mampu, maka dengan lidahnya, dan kalau tidak mampu maka
dengan hatinya (menolak kemunkaran tersebut), dan yang demikian itu adalah selemah-
lemahnya iman. (H.R. Muslim)
Rasulullah SAW., menyatakan: Penghulu para syuhada adalah hamzah, serta orang yang
berdiri di hadapan seorang penguasa yang dzalim, lalu memerintahkannya (berbuat maruf) dan
mencegahnya (berbuat munkar). Lalu penguasa itu membunuhnya. (HR. Hakim dari Jabir)
Kebenaran harus senantiasa eksis di bumi ini, meski untuk itu kita harus mengorbankan
segalanya yang kita miliki termasuk harta dan nyawa. Allah memberikan pujian bagi orang yang
melakukannya, seperti dalam hadits di atas, juga dengan firman-Nya: Mereka adalah orang-
orang yang beruntung. (QS. Ali Imron: 104). Kalian adalah sebaik-baik umat. (QS. Ali
Imron: 110).
7. Tolong Menolong
Allah SWT berfirman di dalam Al QuranDan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya. (Al Maidah:
2). Makna umum ayat ini berdasarkan redaksinya tolong menolonglah kalian bahwa Allah swt
memerintahkan semua hamba-Nya agar senantiasa tolong menolong dalam melakukan kebaikan-
kebaikan yang termasuk kategori Al-Birr dan mencegah dari terjadinya kemungkaran sebagai
realisasi dari takwa. Sebaliknya Allah swt melarang mendukung segala jenis perbuatan batil
yang melahirkan dosa dan permusuhan. Dua hadits untuk memperkuat dan menjelaskan ayat
ini, yaitu:
Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang berbunyi, Seorang mukmin
yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas perlakuan mereka adalah lebih baik dan besar
pahalanya daripada mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas perilaku
mereka (Imam Ahmad).
Kedua, hadits yang menyebutkan tentang perintah menolong siapapun, baik yang
terzhalimi maupun yang menzhalimi. Rasulullah saw bersabda, Tolonglah saudaramu yang
menzhalimi dan yang terzhalimi. Maka para sahabat bertanya, Menolong yang terzhalimi
memang kami lakukan, tapi bagaimana menolong orang yang berbuat zhalim?. Rasulullah
menjawab, Mencegahnya dari terus menerus melakukan kezhaliman itu berarti engkau telah
menolongnya. (Bukhari dan Ahmad).
- Tolong menolong implikasi dari ukhuwah islamiyah
Secara harfiyah ukhuwah memiliki arti persamaan, yang dalam bahasa Indonesia sering
diartikan dengan persaudaraan. Hal ini karena orang-orang yang bersaudara biasanya memiliki
persamaan-persamaan, baik persamaan secara fisik seperti kemiripan wajah karena berasal dari
rahim ibu yang sama, atau persamaan sifat.
Dalam konteks keimanan yang sudah dimiliki, orang-orang yang beriman memiliki sifat-
sifat yang sama untuk terikat pada nilai-nilai yang datang dari Allah SWT. Karena itu, bila
seseorang sudah mengaku beriman tapi tidak ada bukti persaudaraannya, maka kita perlu
mempertanyakan apakah ia masih punya iman atau tidak. Hal ini karena antara iman dengan
ukhuwah merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, Allah SWT berfirman, Sesungguhnya
mukmin itu bersaudara. (Q.S. Al-Hujuraat:10).
Ukhuwah Islamiyah bukanlah kalimat yang hanya manis di lidah atau sekadar menjadi
khayalan tanpa bukti. Karena itu, ukhuwah Islamiyah harus diimplementasikan atau dibuktikan
dalam kehidupan nyata. Implementasi ukhuwah dapat kita ukur menurut syarat dan adabnya.
Syarat dalam ukhuwah Islamiyah adalah iman atau aqidah. Ini berarti, ada nilai-nilai
iman yang harus dibuktikan dalam kehidupan nyata dalam konteks ukhuwah. Implementasi
ukhuwah menurut syaratnya yang salah satunya adalah Kaum Muslimin harus saling tolong-
menolong dalam kebaikan dan taqwa, yakni segala yang bisa membuat kemaslahatan dan
kebaikan umat.
8. Musyawarah
Kata ( ) Syr terambil dari kata ( - - ) menjadi ( )
Syr. Kata Syr bermakna mengambi dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan
menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.Dalam Lisanul Arab berarti memetik
dari serbuknya dan wadahnya. Kata ini terambil dari kalimat ( ) saya mengeluarkan
madu dari wadahnya.
Berarti mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah
upaya meraih madu itu dimanapun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapapun yang
dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa yang menyampaikannya. Musyawarah dapat berarti
mengatakan atau mengajukan sesuatu.
Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan
dengan makna dasarnya. Sedangkan menurut istilah fiqh adalah meminta pendapat orang lain
atau umat mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan dengan perundingan
atau tukar pikiran.
Ayat terkait musyawarah :
Artinya: Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka.
Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah
membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imran: 159)

You might also like