You are on page 1of 100

POLA PEMBERIAN SUSU FORMULA DAN KONSUMSI ZAT GIZI

ANAK USIA DI BAWAH DUA TAHUN (BADUTA)


PADA KELUARGA IBU BEKERJA DAN TIDAK BEKERJA








Djuwita Andini
















PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
RINGKASAN
DJUWITA ANDINI. Pola Pemberian Susu Formula dan Konsumsi Zat Gizi Anak di bawah
Dua Tahun (Baduta) pada Keluarga Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja. Dibimbing oleh ALI
KHOMSAN dan KATRIN ROOSITA.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pola pemberian susu
formula dan konsumsi zat gizi anak usia di bawah dua tahun (baduta) pada keluarga ibu
bekerja dan ibu tidak bekerja di Kota Bogor. Tujuan khususnya yaitu 1). Membandingkan
karakteristik keluarga dan anak baduta pada kelompok ibu bekerja dan kelompok ibu tidak
bekerja; 2). Membandingkan pengetahuan gizi ibu pada kedua kelompok; 3). Mempelajari
pola pemberian ASI, susu formula, dan MPASI pada kedua kelompok; 4). Mengetahui
kontribusi zat gizi dari konsumsi ASI, susu formula dan makanan terhadap tingkat konsumsi
zat gizi pada anak baduta dari kedua kelompok; dan 5). Menganalisis hubungan karakteristik
keluarga, karakteristik anak, dna pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian ASI dan susu
formula.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan di
Kelurahan Bantarjati dan Kelurahan Tegal Gundil, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor.
Pemilihan lokasi Kecamatan dan Kelurahan ditentukan secara purposive. Pemilihan RW pada
kedua kelurahan tersebut dilakukan secara random. Waktu penelitian dari bulan Juni sampai
Agustus 2005.
Responden penelitian adalah ibu yang memiliki anak berumur 13-23 bulan yang
memberikan susu formula dan bersedia diwawancarai. Contoh penelitian adalah anak baduta
yang dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan status pekerjaan ibu yaitu kelompok ibu
bekerja dan ibu tidak bekerja. Pengambilan contoh dilakukan secara purposive. Jumlah
contoh dari masing-masing kelurahan adalah 15 orang dari keluarga ibu bekerja dan 15 orang
dari keluarga ibu tidak bekerja, sehingga jumlah contoh keseluruhan adalah 60 orang.
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan observasi langsung. Data yang
diperoleh dari hasil penelitian dikategorikan dan diolah menggunakan tabulasi silang dan
dianalisis secara deskriptif dan inferensia dengan Microsoft Excel dan SPSS 10.0 for
Windows. Uji statistik yang digunakan adalah uji beda t, uji beda Mann Whitney, dan uji
korelasi Rank Spearman.
Data konsumsi pangan yang diperoleh dikonversikan dari ukuran rumah tangga ke
satuan gram dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) (Hardinsyah
& Briawan, 1994). Kemudian dihitung kandungan Energi dan zat gizinya dengan
menggunakan Microsoft Excel dengan program Food Processor. Kontribusi konsumsi energi
dan zat gizi ASI, susu formula dan makanan terhadap konsumsi zat gizi dan kecukupan zat
gizi diperoleh berdasarkan perbandingan antara jumlah zat gizi yang dikonsumsi dari ASI,
susu formula dan makanan dengan pangan total dan kecukupan gizi.
Berdasarkan hasil penelitian, pada kelompok ibu tidak bekerja sebesar 53,3% contoh
merupakan anak pertama, 40% contoh merupakan anak ke-2 atau ke-3. Pada kelompok ibu
bekerja sebesar 23,3% contoh merupakan anak pertama, 73,3% contoh merupakan anak ke-2
atau ke-3. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan urutan anak antara kedua
kelompok (p<0,05). Sebesar 90% contoh di kedua kelompok dilahirkan dengan bantuan
dokter/bidan, tidak ada perbedaan penolong kelahiran contoh pada kedua kelompok.
Umur responden ibu bekerja adalah 30-39 tahun (70%), dan responden ibu tidak
bekerja berumur 20-29 tahun (60%), terdapat perbedaan umur ibu pada kedua kelompok
(p<0,01). Sebesar 66,7% responden ibu bekerja dan 43,3% responden ibu tidak bekerja
merupakan lulusan perguruan tinggi, tidak terdapat perbedaan tingkat pendidikan ibu pada
kedua kelompok. Tingkat pengetahuan gizi 53,3% responden ibu tidak bekerja dan 76,7%
responden ibu bekerja termasuk kategori baik, terdapat perbedaan tingkat pengetahuan gizi
ibu pada kedua kelompok (p<0,05). Keluarga contoh baik kelompok ibu tidak bekerja
(96,7%) dan kelompok ibu bekerja (96,7%) sudah berada di atas batas kemiskinan penduduk
perkotaan di Jawa Barat (Rp 135.598,00/kapita/bulan). Hasil uji beda menunjukkan tingkat
pendapatan keluarga contoh tidak berbeda. Sebesar 76,7% keluarga ibu tidak bekerja dan
80% keluarga ibu bekerja merupakan keluarga kecil (4 orang), tidak terdapat perbedaan
besar keluarga pada kedua kelompok contoh.
Proporsi terbesar contoh kelompok ibu tidak bekerja (90%) dan ibu bekerja (80%)
mendapat kolostrum. Sebanyak 76,7% contoh kelompok ibu tidak bekerja dan 50% contoh
kelompok ibu bekerja mendapat minuman pralaktal, terdapat perbedaan praktek pemberian
minuman pralaktal antara kedua kelompok contoh (p<0,05). Lebih dari separuh contoh di
kedua kelompok sudah tidak memperoleh ASI lagi. Pola pemberian ASI kelompok ibu tidak
bekerja berada pada kategori sedang (63,3%), sedangkan kelompok ibu bekerja berada pada
kategori baik (63,3%). Ada perbedaan pola pemberian ASI antara kedua kelompok contoh
(p<0,05).
Proporsi terbesar contoh ibu tidak bekerja (36,7%) dan contoh ibu bekerja (40%)
mendapat susu formula pada usia kurang dari satu bulan. Jika dibandingkan dengan aturan
pada kemasan susu formula, pengenceran dan frekuensi pemberian susu formula kepada
contoh di kelompok ibu tidak bekerja (66,7% dan 63,3%) dan kelompok ibu bekerja (63,3%
dan 66,7%) adalah tidak tepat. Cara membersihkan botol yang dilakukan oleh responden ibu
tidak bekerja (80%) dan responden ibu bekerja (83,3%) adalah dengan merebus botol susu.
Pola pemberian susu formula pada kelompok ibu tidak bekerja (60%) dan kelompok ibu
bekerja (56,7%) termasuk kategori sedang. Tidak ada perbedaan usia pemberian susu
formula, ketepatan pengenceran, ketepatan frekuensi pemberian, cara membersihkan botol,
dan kategori pola pemberian susu formula antara kedua kelompok.
Sebesar 80% contoh kelompok ibu tidak bekerja dan 83,3% contoh kelompok ibu
bekerja mendapat MPASI pada umur kurang dari enam bulan. Jenis MPASI yang pertama
diberikan responden ibu tidak bekerja (46,7%) dan responden ibu bekerja (40%) adalah bubur
bayi instan. Pola pemberian MPASI kelompok ibu tidak bekerja (56,7%) dan kelompok ibu
bekerja (66,7%) berada pada kategori sedang. Tidak terdapat perbedaan usia pemberian
MPASI, jenis MPASI pertama, dan kategori pola pemberian MPASI antara kedua kelompok
contoh.
Konsumsi total energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi di kedua
kelompok baduta contoh sudah memenuhi angka kecukupan yang dianjurkan dan sebagian
besar baduta contoh termasuk kategori cukup (>70% AKG). Berdasarkan uji beda Mann
Whitney tidak ada perbedaan kategori tingkat kecukupan energi pada kedua kelompok. Pada
kedua kelompok contoh, rata-rata konsumsi energi dan vitamin A dari makanan lebih besar
daripada konsumsi dari ASI dan susu formula. Rata-rata konsumsi protein, vitamin C,
kalsium, dan zat besi dari susu formula lebih besar daripada konsumsi ASI dan makanan.
Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan konsumsi zat gizi (energi, protein,
vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi) total, konsumsi zat gizi dari ASI, susu formula
dan makanan pada kedua kelompok contoh. Kontribusi energi, protein, dan vitamin A dari
makanan terhadap konsumsi dan kecukupan lebih besar daripada kontribusi ASI dan susu
formula. Tetapi kontribusi vitamin C, kalsium, dan zat besi dari susu formula terhadap
konsumsi dan kecukupan lebih besar daripada ASI dan makanan. Kontribusi zat gizi dari
ASI, susu formula, dan makanan terhadap konsumsi total dan kecukupan tidak ada
perbedaan menurut uji beda t pada kedua kelompok.
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pola Pemberian Susu Formula dan
Konsumsi Zat Gizi Anak Usia di bawah Dua Tahun (Baduta) pada Keluarga Ibu
Bekerja dan Tidak Bekerja adalah karya saya sendiri di bawah arahan dosen
pembimbing Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS dan Katrin Roosita, SP., M.Si belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.


Bogor, Februari 2006

Djuwita Andini
NRP A54101039





















RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 17 September 1983. Penulis adalah
anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Muhammad Junus dan Alma Riani.
Pendidikan di Sekolah Dasar (SD) ditempuh dari tahun 1989 sampai 1995 di
SD Al-Mukhlisin Jakarta. Kemudian penulis melanjutkan sekolah ke SLTP Negeri 21
Semarang dan tamat pada tahun 1998. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan ke
SMU Negeri 4 Semarang dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis
diterima sebagai mahasiswa Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama masa perkuliahan penulis pernah menjadi pengurus Himpunan
Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (HIMAGITA) dan Forum Keluarga Mushola
GMSK (FKMG) periode tahun 2002/2003 dan 2003/2004. Penulis pernah menjadi
asisten mata kuliah Gizi dan Kesehatan, Sistem Pangan dan Gizi, dan Manajemen
Sumberdaya Keluarga. Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata
kuliah Pendidikan Agama Islam. Penulis juga aktif dalam mengikuti perlombaan
karya tulis. Pada tahun 2004 penulis dan tim mendapat Juara 1 dalam Lomba Karya
Tulis Mahasiswa (LKTM) Bidang Pendidikan Tingkat IPB dan finalis LKTM Bidang
Pendidikan Tingkat Wilayah B.

















UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan
skripsi berjudul Pola Pemberian Susu Formula dan Konsumsi Zat Gizi Anak
Usia di bawah Dua Tahun (Baduta) pada Keluarga Ibu Bekerja dan Ibu Tidak
Bekerja. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak
baik moril maupun materiil. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS dan Katrin Roosita, SP., MSi sebagai dosen
pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan arahan
selama penulisan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS sebagai dosen penguji dan Ir. Eddy S. Mudjajanto, MS
sebagai dosen pemandu seminar yang telah memberikan saran dan masukan bagi
penulis.
3. Anfamedhiarifda dan Tria Anggita sebagai pembahas seminar, telah banyak
memberikan masukan untuk skripsi penulis.
4. Papa dan Mama tercinta atas doa dan kasih sayangnya; abang, adik dan nenekku
tersayang atas dukungannya selama ini.
5. Keluarga kecilku selama di Bogor yang telah mengisi hari-hariku dengan cahaya
keimanan.
6. Kecamatan Bogor Utara, Kelurahan Bantarjati dan Tegal Gundil, Puskesmas
Tegal Gundil, dan para kader posyandu atas izin dan bantuan yang diberikan
selama pengumpulan data.
7. Ibu Megawati Simanjuntak, SP yang telah membantu pengolahan data.
8. Seluruh dosen dan pegawai di Departemen GMSK yang telah membantu, dan
membimbing penulis selama menjadi mahasiswa di Departemen GMSK.
9. Teman-temanku tersayang, Dedet, Wulan, Vidya, Ruri, Ema, Tias, Tutut, Rian
(Alm), Ratnasari, Indria, Vijay, Gamasakers 38 lainnya dan Alih Jenjang 40 atas
persahabatan, kebersamaan, bantuan dan semangat selama kuliah dan dalam
pembuatan skripsi serta seminar penulis. Semoga Allah memperkuat ukhuwah
diantara kita.
10. Ria Mariana Mustofa dan Khairunisa, S. P. (Mba Nisa) yang telah menemani,
mendukung dan menyemangati penulis pada detik-detik seminar dan sidang.
11. Teman-teman seperjuangan di jurusan, fakultas, PAI, TPI, dan 4saik atas
persaudaraan, kerjasama, bantuan, semangat dan pengertian selama ini. Semoga
Allah mempertemukan kita kembali di surga-Nya.
12. Teman-teman di Pondok Adinda Balio (Dwi, Mba Neno, Mba Desy, Mba Elmi,
Mba Siwi, Hani, Vidya, Rosita, Sari, Santi, Nurul, dan Selly) atas persahabatan,
bantuan, dan pengertian selama ini.
13. Teman-teman GMSK 34-41, MUB 37-41, teman-teman yang telah hadir pada
seminar penulis, dan semua teman-teman mahasiswa IPB yang telah membantu
penulis selama ini.

Penulis sadari skripsi ini masih terdapat kekurangan, namun penulis sangat
berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya. Amin.


Bogor, Februari 2006


Djuwita Andini

















POLA PEMBERIAN SUSU FORMULA DAN KONSUMSI ZAT GIZI
ANAK USIA DI BAWAH DUA TAHUN (BADUTA)
PADA KELUARGA IBU BEKERJA DAN TIDAK BEKERJA






Skripsi




Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor






Djuwita Andini
A54101039







PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
J udul : POLA PEMBERIAN SUSU FORMULA DAN KONSUMSI ZAT
GIZI ANAK USIA DI BAWAH DUA TAHUN (BADUTA)
PADA KELUARGA IBU BEKERJ A DAN IBU TIDAK BEKERJ A
Nama : Djuwita Andini
NRP : A54101039


Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II



Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS Katrin Roosita, SP., M.Si
NIP. 131 404 218 NIP. 132 232 457


Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian





Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr
NIP. 130 422 698




Tanggal Lulus :
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR........................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xiii
PENDAHULUAN................................................................................................ 1
Latar Belakang .......................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ...................................................................................... 3
Kegunaan Penelitian ................................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................... 4
Anak Baduta.................................................................................................... 4
Makanan Anak Baduta.................................................................................... 4
Air Susu Ibu (ASI) .................................................................................... 5
Minuman Pralaktal .................................................................................... 6
Susu Formula ............................................................................................ 7
Makanan Pendamping ASI (MPASI)........................................................ 11
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian Susu Formula........................ 12
Karakteristik Ibu ....................................................................................... 12
Karakteristik Keluarga .............................................................................. 14
Karakteristik Anak .................................................................................... 15
Akses Informasi Ibu.................................................................................. 15
Pengetahuan Gizi Ibu ............................................................................... 16
KERANGKA PEMIKIRAN .............................................................................. 17
METODE PENELITIAN................................................................................... 19
Desain, Tempat dan Waktu............................................................................. 19
Cara Pemilihan Contoh ................................................................................... 19
Jenis dan Cara Pengumpulan Data.................................................................. 19
Pengolahan dan Analisis Data......................................................................... 20
Definisi Operasional ....................................................................................... 25
HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................... 27
KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 77
LAMPIRAN......................................................................................................... 82
x
DAFTAR TABEL

No. Uraian Halaman

1. Komposisi Kolostrum, ASI, dan Susu Formula............................................. 6
2. Penggolongan Susu Bayi (infant formula) .................................................... 9
3. Standar Komposisi Susu Bayi ....................................................................... 9
4. Pola Makanan Balita menurut Umur (bulan)................................................. 12
5. Kategori dari Variabel Karakteristik Keluarga.............................................. 21
6. Kategori dari Variabel Karakteristik Anak Baduta........................................ 21
7. Sebaran Orang Tua Contoh menurut Umur................................................... 28
8. Sebaran Orang Tua Contoh menurut Tingkat Pendidikan ............................ 29
9. Sebaran Contoh menurut Pekerjaan Utama Ayah.......................................... 30
10. Sebaran Contoh menurut Pekerjaan Ibu......................................................... 31
11. Sebaran Contoh menurut Tingkat Pendapatan Keluarga............................... 31
12. Sebaran Pendapatan Keluarga Contoh menurut Batas Kemiskinan.............. 32
13. Sebaran Contoh menurut Besar Keluarga...................................................... 32
14. Sebaran Contoh menurut Umur dan J enis Kelamin....................................... 33
15. Sebaran Contoh menurut J arak Kelahiran dan Urutan Anak......................... 34
16. Sebaran Contoh menurut Riwayat Kelahiran................................................. 35
17. Sebaran Contoh menurut Akses Informasi Ibu.............................................. 36
18. Sebaran Contoh menurut Sumber Informasi Gizi Dan Kesehatan Anak....... 37
19. Sebaran Contoh menurut Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu............................... 38
20. Sebaran Contoh menurut Pemberian Minuman Pralaktal.............................. 39
21. Sebaran Contoh menurut Pemberian Kolostrum............................................ 40
22. Sebaran Contoh menurut Berdasarkan Waktu Pemberian ASI...................... 41
23. Sebaran Contoh menurut Cara Pemberian ASI.............................................. 41
24. Sebaran Contoh menurut Pemberian ASI Saat Ini......................................... 42
25. Sebaran Contoh menurut Lama dan Frekuensi Menyusui ............................. 43
26. Sebaran Contoh menurut Penggunaan Pompa Payudara............................... 43
27. Sebaran Contoh menurut Pemberian ASI Saat Anak Sakit........................... 44
xi
No. Uraian Halaman

28. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian ASI ............................... 44
29. Sebaran Contoh menurut Waktu Pemberian Susu Formula........................... 45
30. Sebaran Contoh menurut Sumber Informasi Susu Formula.......................... 46
31. Sebaran Contoh menurut Ketepatan Frekuensi Pemberian Susu Formula.... 47
32. Sebaran Contoh menurut Penggunaan Sendok Takar.................................... 47
33. Sebaran Contoh menurut Ketepatan Pengenceran......................................... 48
34. Sebaran Contoh menurut Cara Membersihkan Botol Susu............................ 48
35. Sebaran Contoh menurut Pemberian Sisa Air Susu Formula........................ 50
36. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian Susu Formula............... 50
37. Sebaran Contoh menurut Umur Pemberian MPASI ...................................... 51
38. Sebaran Contoh menurut J enis MPASI Pertama........................................... 52
39. Sebaran Contoh menurut Kategori J enis MPASI Pertama............................ 53
40. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian MPASI ......................... 53
41. Sebaran Contoh menurut Praktek Pemberian Makanan
Saat Anak sulit Makan................................................................................... 54
42. Sebaran Contoh menurut Kategori Tingkat Kecukupan................................ 58
43. Sebaran Contoh menurut Tingkat Kecukupan Zat Gizi dan Kontribusi
terhadap Kecukupan....................................................................................... 59
44. Sebaran Contoh menurut Konsumsi Pangan dan Kontribusi Zat Gizi
terhadap Konsumsi......................................................................................... 60
45. Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Pola Pemberian ASI .................. 63
46. Hubungan Karakteristik Anak dengan Pola Pemberian ASI ........................ 66
47. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian ASI .................... 67
48. Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Pola Pemberian Susu Formula... 71
49. Hubungan Karakteristik Anak dengan Pola Pemberian Susu Formula......... 72
50. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian Susu Formula..... 73




xii
DAFTAR GAMBAR
No. Uraian Halaman

1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Pemberian ASI, Susu
Formula, dan MPASI serta Kontribusi terhadap Tingkat Konsumsi Zat Gizi
Anak Baduta.................................................................................................... 18

























xiii
DAFTAR LAMPIRAN
No. Uraian Halaman

1. Hasil Mann Whitney Test karakteristik keluarga, karakteristik contoh,
tingkat pengetahuan gizi ibu, kategori akses informasi, dan kategori
pola pemberian ASI, susu formula, dan MPASI ............................................. 82

2. Hasil Independent Sample t Test pola pemberian ASI, susu formula,
dan Makanan Pendamping ASI (MPASI)....................................................... 83

3. Hasil Independent Sample t Test konsumsi pangan anak baduta................... 84

4. Hasil Independent Sample t Test kecukupan zat gizi anak baduta................. 85

5. Hasil korelasi Rank Spearman antara karakteristik keluarga, karakteristik
anak, pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian ASI dan susu formula.... 86

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keluarga merupakan institusi pertama yang sangat berperan dalam
mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Undang-undang (UU) No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa orang tua mempunyai
tanggung jawab dan kewajiban untuk memberikan hak tumbuh kembang bagi anak-
anaknya. Anak-anak merupakan aset bagi masa depan bangsa, karena mereka
merupakan bibit generasi yang akan melanjutkan pembangunan. Oleh karena itu pada
masa pertumbuhannya anak harus dipersiapkan dengan baik agar dihasilkan
sumberdaya manusia yang berpotensi dan berkualitas.
Masa janin (pre-natal) sampai dengan usia remaja merupakan periode yang
sangat menentukan kualitas SDM. Anak usia di bawah lima tahun (balita) merupakan
periode yang paling kritis bagi pertumbuhan dan perkembangan ditinjau dari aspek
gizi, kesehatan, dan psikologi. Kekurangan gizi pada periode kritis tersebut terutama
pada masa bayi sampai umur dua tahun dapat mengakibatkan terganggunya
perkembangan mental dan kemampuan motorik anak. Kekurangan energi dan protein
dalam periode kritis ini dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan fisik dan
kecerdasan anak (Syarief, 1997).
Bayi memerlukan makanan yang cukup dengan zat gizi yang baik untuk
menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Air Susu Ibu (ASI) merupakan
makanan yang baik untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama dan tetap berguna
sampai berumur dua tahun. ASI mengandung semua zat gizi untuk membangun dan
menyediakan energi dalam susunan yang diperlukan bayi. Selain itu ASI juga
mengandung zat kekebalan yang dibutuhkan bayi untuk menjaga kesehatan tubuhnya
agar tidak terganggu oleh berbagai penyakit termasuk penyakit infeksi. Dengan
menerima ASI bayi dapat berinteraksi dengan ibunya, sehingga mendukung
perkembangan psikologisnya.



2
Kesadaran masyarakat untuk memberikan ASI ekslusif pada bayi masih
rendah. Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003,
bayi yang diberi ASI sampai empat bulan sebanyak 55,1 persen dan bayi yang diberi
ASI sampai enam bulan sebanyak 39,5 persen. Pemberian ASI eksklusif sampai
empat bulan sebanyak 52 persen (Anonymous, 2004).
Susu formula merupakan salah satu Pengganti Air Susu Ibu (PASI) disebut
demikian karena pada prosesnya susu formula diolah dan zat gizinya didekatkan
dengan kandungan zat gizi ASI (Muchtadi, 2002). Dewasa ini puluhan macam susu
formula beredar di pasaran. Menurut Berg (1986) faktor lain yang mempengaruhi
merosotnya kegiatan menyusui adalah tingkat pendidikan, ekonomi, pengetahuan,
struktur keluarga dan peranan ibu yang berubah serta sikap komersialisme pengusaha
susu formula.
Anak-anak balita di perkotaan rata-rata memperoleh ASI selama hampir 21,2
bulan. Namun jika dibarengi dengan pemberian makanan tambahan, lama pemberian
ASI menurun menjadi 16,6 bulan (BPS, 1999). Menurunnya lama menyusui anak
pada ibu-ibu di perkotaan menyebabkan waktu penyapihan yang lebih dini.
Penyapihan yang lebih dini itu dapat berakibat negatif terhadap status gizi anak
apabila makanan anak yang disapih itu tidak diperhatikan. Hal ini berkaitan dengan
makin menurunnya jumlah air susu ibu dan tidak diimbangi dengan makin
bertambahnya makanan pendamping air susu ibu. Menurut Suhardjo (1989)
penyapihan dini terjadi antara lain karena ibu harus meninggalkan rumah untuk
bekerja mencari nafkah atau karena aspek sosial budaya tertentu.
Ibu memegang peranan penting dalam menyediakan makanan bagi seluruh
anggota keluarga. Pemberian makan (feeding) pada anak usia dini melibatkan
interaksi antara ibu atau pengasuh dengan anak yang bersangkutan. Ibu yang bekerja
di luar rumah memiliki waktu yang lebih sedikit untuk mengasuh anak dibanding ibu
yang tidak bekerja. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk mengetahui pola
pemberian susu formula dan konsumsi zat gizi anak usia di bawah dua tahun (baduta)
pada keluarga ibu bekerja dan ibu tidak bekerja di kota Bogor.



3
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pola
pemberian susu formula dan konsumsi zat gizi anak baduta pada keluarga ibu bekerja
dan ibu tidak bekerja di Kota Bogor.
Tujuan Khusus
1. Membandingkan karakteristik keluarga dan anak baduta pada kelompok ibu
bekerja dan kelompok ibu tidak bekerja.
2. Membandingkan akses sumber informasi dan pengetahuan gizi ibu pada kedua
kelompok.
3. Mempelajari pola pemberian ASI pada kedua kelompok.
4. Mempelajari pola pemberian susu formula pada kedua kelompok.
5. Mempelajari pola pemberian makanan pendamping ASI pada kedua kelompok.
6. Mengetahui kontribusi zat gizi dari konsumsi ASI, susu formula dan makanan
terhadap tingkat konsumsi zat gizi anak baduta pada kedua kelompok.
7. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan
pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian ASI dan susu formula.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini menghasilkan informasi tentang pola pemberian susu formula
dan konsumsi zat gizi anak baduta pada keluarga ibu bekerja dan ibu tidak bekerja di
Kota Bogor. Informasi tersebut diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah
dan pihak terkait (stakeholder) lainnya bagi peningkatan gizi anak khususnya anak
baduta. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran konsumen
untuk memperhatikan penggunaan susu formula secara tepat.
TINJAUAN PUSTAKA

Anak Baduta
Anak di bawah dua tahun (baduta) merupakan tahap pertumbuhan dan
perkembangan yang paling pesat dari semua siklus kehidupan manusia. Pada masa ini
anak mengalami peningkatan berat badan dan tinggi badan yang cepat dari keadaan
semasa lahir. Selain itu usia baduta merupakan saat yang menentukan kecerdasan
anak di masa mendatang. Pertumbuhan otak dimulai sejak masa janin dan pada usia
dua tahun mencapai sekitar 90-95 persen tumbuh kembang otak (Hardinsyah &
Martianto, 1992).
Usia baduta merupakan tahap pertumbuhan dan perkembangan yang paling
rawan terhadap berbagai kekurangan zat gizi dan gangguan penyakit. Oleh karena itu
dibanding tahap perkembangan lainnya, kecukupan gizi anak baduta per kilogram
berat badan lebih tinggi. Kekurangan konsumsi pangan dan gizi pada masa ini dapat
mengakibatkan berbagai kemungkinan penyakit akibat gizi kurang. Kekurangan
energi dan protein dalam waktu yang lama mengakibatkan pertumbuhan anak
terhambat seperti berat badan dan tinggi badan yang rendah (Hardinsyah &
Martianto, 1992).
Makanan Anak Baduta
Air susu ibu (ASI) merupakan makanan utama yang harus diberikan pada bayi
sejak lahir sampai berumur dua tahun. Pemberian ASI secara eksklusif (tanpa
makanan/minuman yang lain) sangat dibutuhkan oleh bayi sampai berumur enam
bulan. Setelah enam bulan dimana produksi ASI menurun dan tidak mencukupi
kebutuhan gizi bayi, merupakan saat pemberian makanan tambahan tetapi pemberian
ASI tetap dilakukan. Pemerintah telah menetapkan aturan pemberian makanan pada
bayi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor
450/Menkes/SK/IV/2004 tentang pemberian ASI eksklusif, dan produk Pengganti Air
Susu Ibu (PASI) dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) nomor
237/Menkes/SK/IV/1997 (Anonymous, 2004).



5
Air Susu Ibu (ASI)
ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi. ASI mengandung semua zat gizi
dalam susunan dan jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi selama
enam bulan (Roesli, 2004). Menurut Asad (2002) jika dibandingkan dengan susu
lainnya, ASI memiliki beberapa keunggulan seperti : (1) Tidak memberatkan fungsi
saluran pencernaan dan ginjal; (2) Mengandung beberapa zat antibodi, sehingga
mencegah terjadinya infeksi; (3) Mengandung laktoferin untuk mengikat zat besi; (4)
Tidak mengandung beta laktoglobulin yang dapat menyebabkan alergi; (5) Ekonomis
dan praktis, tersedia setiap waktu pada suhu yang ideal, dalam keadaan segar dan
bebas dari kuman; (6) Berfungsi menjarangkan kehamilan.
Pemberian ASI dapat menumbuhkan kasih sayang dan ikatan emosional
antara ibu dan bayinya, yang akan sangat mempengaruhi tumbuh kembang dan
kecerdasan anak di kemudian hari (Sulistijani & Herlianty, 2003). Selain itu dengan
menyusui dapat mengurangi resiko terkena kanker payudara, memperpanjang masa
tidak subur setelah melahirkan (Muchtadi, 2002).
Keuntungan yang lainnya adalah pemberian ASI dapat meningkatkan
pertambahan tinggi badan anak-anak. Penambahan tinggi badan secara nyata lebih
besar pada anak-anak yang mendapat ASI lebih lama dibandingkan anak-anak yang
disapih lebih dini (Simondon et al., 2001). Eckhardt et al. (2001) juga menyatakan
bahwa pemberian ASI secara penuh selama minimal empat bulan pertama dapat
meningkatkan pertumbuhan fisik bayi.
Praktek pemberian ASI. Sebaiknya ASI diberikan segera setelah bayi lahir,
umumnya 30 menit setelah lahir (Sulistijani & Herlianty, 2003). Depkes RI (1996)
pun menyatakan pemberian ASI yang baik yaitu diberikan secara tidak terjadwal
sesuai dengan keinginan bayi dan disusui dengan kedua payudara secara bergantian
tiap kali menyusui. Tetapi akan lebih baik lagi jika bayi disusui secara terjadwal
sehingga bayi akan terbiasa untuk makan secara teratur. Anak sebaiknya disusui
dengan kedua payudara karena payudara yang dilupakan bisa berhenti
menghasilkan ASI, dan menimbulkan pembengkakan payudara.


6
Kolostrum. Kolostrum adalah ASI yang agak kental berwarna kekuning-
kuningan yang keluar pada minggu pertama setelah melahirkan. Kolostrum
mengandung lebih banyak protein (terdapat sekitar 10% protein dalam kolostrum dan
hanya sekitar 1% dalam air susu putih), lebih banyak mengandung imunoglobulin A
(Ig A), laktoferin dan sel-sel darah putih yang sangat penting untuk pertahanan tubuh
bayi terhadap serangan penyakit (infeksi). Kolostrum lebih sedikit mengandung
lemak dan laktosa; lebih banyak mengandung karoten dan vitamin A serta mineral
natrium (Na) dan seng (Zn) (Muchtadi, 2002). Perbandingan antara komposisi ASI,
kolostrum dan susu formula dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kolostrum, ASI dan Susu Sapi
Susu
Zat Gizi
Kolostrum (1-5 hari)
100 g ASI (100 g) Susu Sapi (100 g)
Energi (kkal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (g)
Fosfor (g)
Besi (g)
Vitamin A (SI)
Thiamin (mg)
Riboflavin (mg)
Niacin (mg)
Asam askorbat (mg)
58
2.7
2.9
5.3
31
14
0.09
296
0.015
0.029
0.075
4.4
77
1.1
4.0
9.5
33
14
0.1
240
0.01
0.04
0.2
5
65
3.5
3.5
4.9
118
93
-
140
0.03
0.17
0.1
1
Sumber : Winarno (1995)
Minuman Pralaktal
Minuman pralaktal adalah jenis minuman yang diberikan kepada bayi baru
lahir sebelum ASI keluar, seperti air kelapa, air tajin, air teh, dan madu. Hal ini sering
mengganggu keberhasilan menyusui secara eksklusif (Depkes, 2000). Selain itu
sebagian besar rumah sakit memberikan makanan pralaktal berupa susu formula, susu
sapi, atau air gula.
Roesli (2001) menyebutkan kerugian pemberian makanan pralaktal bagi bayi
dan ibu adalah sebagai berikut : (1) Bayi tidak mau lagi menghisap dari payudara
ibunya karena cairan lain telah menghentikan rasa laparnya. Hal ini menyebabkan
payudara ibu tidak distimulasi untuk mengeluarkan ASI dengan baik. J ika ASI tidak


7
dikeluarkan dengan baik, maka ASI akan keluar lebih lama dan akan memungkinkan
ibu menderita mastitis; (2) Bayi dapat mengalami diare, karena cairan tersebut
mungkin tercemar; (3) Bayi kemungkinan menderita alergi karena pernah diberi susu
formula atau susu sapi; (4) Bayi mengalami kebingungan puting bila makanan
pralaktal diberikan dengan botol susu; (5) Ibu akan lebih sering mengalami kesukaran
menyusui dan cenderung lebih cepat berhenti menyusui.
Pemberian Minuman Pralaktal. Umumnya ibu memberian minuman pralaktal
kepada bayinya sebagai pengganti ASI karena ASI belum keluar, payudara bengkak
sehingga tidak bisa menyusui, puting luka, dan ASI kurang. Roesli (2001)
menyatakan bahwa pemberian makanan pralaktal dengan anjuran bidan adalah hal
yang sering dikemukakan dan menjadi kebiasaan di sebagian besar rumah sakit.
Petugas kesehatan biasanya takut bayi akan lapar atau kekurangan air dalam beberapa
hari karena ASI dianggap masih sedikit. Padahal pemberian makanan pralaktal akan
membuat bayi tidak mau menghisap dari payudara ibunya karena bayi sudah
kenyang. Hruschka et al. (2003) menambahkan bahwa pemberian makanan pralaktal
ini dapat menyebabkan penundaan permulaan menyusui, dan meningkatkan resiko
penghentian ASI secara total.
Susu Formula
Ruang lingkup produk Pengganti Air Susu Ibu (PASI) dalam Keputusan
Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No.237/Menkes/SK/IV/1997 adalah makanan yang
dipasarkan atau dinyatakan sebagai makanan bayi dan digunakan sebagai pengganti
ASI baik secara keseluruhan maupun sebagian. Produknya meliputi susu formula
bayi, susu formula lanjutan dan makanan pendamping ASI yang diberikan dengan
menggunakan botol atau dot (Depkes, 1997). Menurut Soekarto (2005), istilah PASI
saat ini sudah tidak digunakan lagi dan diganti dengan istilah susu formula. Definisi
susu formula bayi menurut Depkes (1997) adalah produk makanan yang formulanya
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi dari lahir sampai usia antara 4 dan
6 bulan sesuai dengan karakteristik fisiknya. Sedangkan susu formula lanjutan adalah
produk makanan yang formulanya dimaksudkan untuk bayi setelah berumur 6 bulan.


8
Muchtadi (2002) menyatakan susu formula adalah susu bayi yang berasal dari
susu sapi yang telah diformulasikan sedemikian rupa sehingga komposisinya
mendekati ASI. Susu formula dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu susu formula
adaptasi, susu formula awal, dan susu formula lanjutan.
Susu formula adaptasi (adapted formula), adapted berarti disesuaikan dengan
keadaan fisiologis bayi. Komposisinya sangat mendekati ASI sehingga cocok untuk
digunakan untuk bayi baru lahir sampai berumur 4 bulan. Contohnya adalah Vitalac,
Nutrilon, Nan, Bebelac, Dumex sb, dan Enfamil. Susu formula awal (Complete
starting formula), memiliki susunan zat gizi yang lengkap dan dapat diberikan
sebagai formula permulaan. Kadar protein dan mineral susu formula ini lebih tinggi
dari susu formula adaptasi. Rasio antar fraksi-fraksi proteinnya tidak disesuaikan
dengan rasio yang terdapat dalam ASI. Cara pembuatan complete starting formula
lebih mudah daripada adapted formula, maka harganya lebih murah. Biasanya bayi
diberi adapted formula sampai berumur tiga bulan, kemudian dilanjutkan dengan
susu formula ini. Contohnya adalah SGM 1, Lactogen 1, dan New Camelpo. Susu
formula lanjutan (follow-up formula), diberikan bagi bayi berumur 6 bulan ke atas.
Kandungan protein dan mineralnya lebih tinggi daripada susu formula sebelumnya.
Rasio fraksi proteinnya tidak mengikuti rasio yang terdapat dalam ASI. Contohnya
adalah Lactogen 2, SGM 2, Chilmil, Promil dan Nutrima.
Produsen susu bayi juga membuat susu formula khusus (special formula atau
formula diit) untuk diberikan pada bayi (anak kecil) dengan kelainan metabolisme
tertentu. Produk susu ini tidak dianjurkan untuk diberikan pada bayi sehat, sebab
susunan zat gizinya justru menjauhi susunan yang terdapat pada ASI. Penggolongan
susu bayi berdasarkan kondisi bayi, waktu pemberian, keadaan protein, dan
berdasarkan rasa, dapat dilihat pada Tabel 2.







9
Tabel 2. Penggolongan Susu Bayi (infant formula)
Pengggolongan Contoh
1. Berdasarkan kondisi bayi :
a. Keadaan normal
b. Keadaan khusus
1). Diare
2). Prematur
3). Alergi protein susu
2. Berdasarkan waktu pemberian :
a. Susu formula awal
b. Susu formula lanjutan
3. Berdasarkan keadaan protein :
a. Casein predominant
b. Whey adapted
4. Berdasarkan rasa :
a. Mendekati rasa ASI
b. Manis

Nan, Lactogen, SGM, Nutrilon, S-26

LLM, Almiron, Bebelac FL
Enfalac, Nenatal
Nutri-soya, Prosobec

Lactogen 1, SGM 1, Morinaga, S-26, Nutrilon
Lactogen 2, SGM 2, Chilmil, Promil, Nutrima

Lactogen, SGM, Lactona, Camelpo
Vitalac, Nan, Nutrilon, Enfamil, S-26

Lactogen 1, Nan, Vitalac, S-26, Nutrilon
Lactogen 2, SGM
Sumber : Muchtadi (2002)
Menurut Muchtadi (2002), untuk menjamin mutu gizi susu bayi, ditetapkan
standar mutu untuk masing-masing jenis susu bayi. Pada Tabel 3 disajikan standar
komposisi susu bayi (bubuk) yang berisi persyaratan minimum atau maksimum untuk
masing-masing komponen zat gizi, yang terkandung dalam susu bayi menurut Codex
Alimentarius dan ESPGAN.
Tabel 3. Standar Komposisi Susu Bayi (untuk setiap 100 Kkal)
Komponen
Infant Formula
(a)
Adapted Infant
Formula (b)
Follow-up Infant
Formula (c)
Energi
Protein, min
Lemak
Asam linoleat
Karbohidrat
Vitamin
Vit A
Vit D
Vit E, min.
Vit K1, min.
Vit C, min.
Vit B1, min.
Vit B2, min.
Nikotinamid, min.
Vit B6, min.
Asam folat, min.

1.8 g
3.3-6.0 g
300 mg



250 IU-500 IU
40 IU-80 IU
0.7 IU
4 ug
8 mg
40 ug
60 ug
250 ug
35 ug
4 ug
64-72 Kcal/100 ml
1.8-2.8 g
4.0-6.0 g

8-12 g

Komposisi vitamin
sama dengan Infant
Formula







60-85 Kcal/100 ml
3.05-5.5 g
3.0-6.0 g
300 mg
8-12 g

75-150 ug
1-2 ug
0.5 mg

Vitamin larut air tidak
dispesifikasi


10
Tabel 3. (Lanjutan)
Komponen
Infant Formula
(a)
Adapted Infant
Formula (b)
Follow-up Infant
Formula (c)
Vitamin
As. Pantotenat, min.
Vit B12, min.
Biotin, min.
Choline, min.
Mineral
Natrium (Na)
Kalium (K)
Chlorida (Cl)
Kalsium (Ca), min.
Fosfor (P), min.
Magnesium (Mg), min.
Besi (Fe), min.
Iod (I), min.
Tembaga (Cu), min.
Seng (Zn), min.
Mangan (Mn), min.

300 ug
0.15 ug
1.5 ug
7 mg

20 mg-60 mg
80 mg-200 mg
55 mg-150 mg
50 mg
25 mg
6 mg
0.15 mg
5 ug
60 ug
0.5 ug
5 ug






1.76 mEq/L
(Total Na, K dan Cl,
max. 50 mEq/L)
60 mg
30 mg
6 mg
0.1-0.2 mg
5 ug
30 ug
0.3 ug
5 ug






1.0-3.7 mEq/L
2.0-5.2 mEq/L
1.7-4.3 mEq/L
90 mg
60 mg
6 mg
1.0-2.0 mg
5 ug

0.5 ug
Sumber : (a) Codex Stan. 72-1981 (FAO/WHO) dalam Muchtadi (2002)
(b) ESPGAN Committee on Nutrition (1977) dalam Muchtadi (2002)
(c) ESPGAN Committee on Nutrition (1981) dalam Muchtadi (2002)

Pemberian Susu Formula. Pemberian PASI kepada bayi hanya diperbolehkan
apabila ibu tidak bisa memberikan ASI karena keadaan tertentu yaitu ibu meninggal,
ibu sakit keras atau indikasi medis (Depkes, 1985). Menurut Sulistijani dan Herlianty
(2003), pemberian PASI dapat dimengerti jika disebabkan oleh masalah pada pihak
ibu seperti : ibu menderita infeksi, luka puting (mastitis); ibu mengalami gangguan
jiwa atau epilepsi; ibu sedang menjalani terapi obat yang tidak aman bagi bayi.
Biasanya susu formula diberikan sebagai makanan tambahan dan sebagai
pengganti ASI (PASI). Susu formula sebagai makanan tambahan karena anak
menangis terus atau karena ibu merasa ASInya kurang, sedangkan susu formula
sebagai pengganti ASI (PASI) karena ASI tidak keluar atau anaknya tidak mau ASI,
karena sudah disapih, karena ditinggal bekerja, karena anjuran dari para paramedis
atau karena diberi susu formula oleh bidan (Fitrisia, 2002).
Pemberian susu formula harus dilakukan dengan tepat. Masalah kesehatan
dapat timbul apabila orang tua tidak membaca petunjuk yang tertulis pada kemasan,
misalnya agar susu kaleng lebih irit. Bila susu diberikan dalam keadan encer, maka


11
bayi akan mengalami kekurangan gizi, namun bila pemberian berlebihan maka akan
menyebabkan obesitas serta beban bagi kerja ginjal dan pencernaan (Depkes, 1994).
Botol susu bayi dan dot botol dapat mudah terkontaminasi. Botol sebaiknya
terbuat dari gelas (bukan plastik) dan bertanda mililiter yang jelas. Dot botol harus
tahan terhadap proses pendidihan. Semua peralatan makan/minum bayi setelah dicuci,
disterilisasi dengan cara pendidihan selama 5-10 menit. Kemudian ditiriskan,
dikeringkan dan disimpan dalam keadaan tertutup. J ika cara pendidihan tidak
mungkin dilakukan, maka peralatan dapat dicuci dengan air panas lalu dibilas dengan
air minum (air matang yang telah dingin) atau larutan garam (Muchtadi, 2002).
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan pada bayi yang
telah berusia 6 bulan atau lebih karena ASI tidak lagi memenuhi kebutuhan gizi bayi.
Pemberian makanan pendamping dilakukan secara berangsur untuk mengembangkan
kemampuan bayi mengunyah dan menelan serta menerima bermacam-macam
makanan dengan berbagai tekstur dan rasa (Sulistijani & Herlianty, 2003). Perbedaan
waktu pemberian MP-ASI tidak mempengaruhi pertumbuhan bayi baik berat badan
maupun tinggi badan (WHO, 2002). Namun menurut Baker et al. (2004), pemberian
MP-ASI secara dini (kurang dari 4 bulan) dapat meningkatkan berat badan bayi.
Pemberian MP-ASI. Pemberian MP-ASI yang terlalu dini (<6 bulan) akan
berdampak pada terganggunya sistem metabolisme atau pencernaan karena bayi
belum siap mencerna makanan selain ASI dan asupan gizi yang diberikan tidak sesuai
dengan kebutuhannya. Sebaliknya, penundaan pemberian makanan dapat
menghambat pertumbuhan jika energi dan gizi yang dihasilkan oleh ASI tidak
mencukupi lagi kebutuhannya (Pudjiadi, 2000).
Pemberian makanan pendamping harus bertahap dan bervariasi, mulai dari
bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat,
makanan lembek dan akhirnya makanan padat (Sulistijani & Herlianty, 2003). Pola
makanan balita menurut Depkes (2000) ada pada Tabel 4.



12
Tabel 4. Pola Makanan Balita Menurut Umur (bulan)
Umur
(bulan)
ASI
Makanan
Lumat Halus
Makanan
Lumat
Makanan
Lunak
Makanan
Padat
0-4
4-6
6-9
9-12
12-24
Keterangan :
Makanan lumat halus adalah makanan yang dihancurkan terbuat dari tepung dan
tampak homogen. Misalnya adalah bubur susu, bubur sumsum, biskuit ditambah
air panas, pepaya saring, pisang saring, dll.
Makanan lumat adalah makanan yang dihancurkan atau disaring tampak kurang
merata. Misalnya adalah pepaya dihaluskan dengan sendok, pisang dikerik
dengan sendok, nasi tim saring, bubur kacang ijo saring, kentang pure.
Makanan lunak adalah makanan yang dimasak dengan banyak air dan tampak
berair. Misalnya adalah bubur nasi, bubur ayam, bubur kacang ijo, bubur manado.
Makanan padat adalah makanan lunak yang tidak nampak berair, seperti lontong,
nasi tim, kentang rebus, biskuit.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian Susu Formula
Karakteristik Ibu
Pendidikan dan pengetahuan ibu. Tingkat pendidikan ibu sangat berpengaruh
terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih
tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya
dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan khususnya tingkat pendidikan ibu
mempengaruhi derajat kesehatan (Atmarita & Fallah, 2004).
Faktor pendidikan ibu mempengaruhi pengasuhan gizi anak baik dalam
penyediaan pangan yang cukup secara kuantitas maupun kualitasnya, juga perubahan
sikap dan perilaku hidup sehat. Salah satu pengasuhan gizi anak adalah pemberian
ASI pada anak balita. Hasil kajian Susenas 1995 dan 2003, secara nasional pemberian


13
ASI terutama pada bayi di bawah satu tahun menurun dari 46,5% tahun 1995 menjadi
31,1% pada tahun 2003. Berdasarkan lamanya pemberian ASI saja sampai usia 6
bulan relatif masih rendah dan tidak ada peningkatan dari tahun 1995 ke tahun 2003
yaitu sekitar 15-17% (Atmarita & Fallah, 2004).
Pendidikan ibu di samping modal utama dalam perekonomian rumah tangga
juga berperan dalam penyusunan pola makan untuk keluarga. Pendidikan ibu juga
berpengaruh terhadap pemberian ASI. Menurut Syarief dan Husaini (2000) dalam
Fitrisia (2002), proporsi pemberian ASI pada ibu yang berpendidikan tinggi lebih
rendah dibandingkan yang berpendidikan rendah.
Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari jenis pendidikan yang dialami
atau lamanya mengikuti pendidikan formal atau non formal. Pada umumnya tingkat
pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya. Pendidikan akan
menentukan besar kecilnya penggunaan pendapatan keluarga untuk pengadaan
pangan sehari-hari (Sayogyo et al., 1994). Bhandari et al. (2000) menambahkan
bahwa pendidikan ibu yang rendah merupakan penghalang utama praktek pengasuhan
anak yang baik. Pengasuhan yang dimaksud adalah pemberian makanan pada anak,
perilaku perawatan kesehatan anak, dan perilaku higienitas.
Status pekerjaan ibu. Peningkatan partisipasi wanita dalam memasuki
lapangan kerja di luar rumah dari waktu ke waktu semakin meningkat. Berdasarkan
data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), laju peningkatan partisipasi pekerja
wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Tenaga kerja wanita meningkat dari 1,8 persen
per tahun sebelum krisis ekonomi menjadi 4,2 persen pada tahun 1997-1998
(Martianto & Ariani, 2004).
Masuknya wanita dalam dunia kerja akan mengubah peran ibu dalam
mengasuh anak. Turut sertanya ibu bekerja untuk mencari nafkah khususnya ibu yang
masih menyusui anaknya menyebabkan bayi tidak dapat menyusui dengan baik dan
teratur. Maka susu sapi atau susu formula merupakan satu-satunya jalan keluar dalam
pemberian makanan bagi bayi yang ditinggalkan di rumah. Dalam penelitian Enoch
dan Djumadias (1998) dalam Fitrisia (2002), alasan penyapihan terutama karena ibu
bekerja atau sibuk di luar rumah sebesar 21,6%.


14
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh RSCM, ibu yang bekerja dapat
berpengaruh terhadap produksi ASI. Meskipun pada ibu telah diajarkan cara
mempertahankan produksi ASI dengan cara memompa ASI pada saat di tempat kerja
serta dengan menyusui bayi lebih sering pada malam hari, ternyata jumlah ibu yang
ASInya masih cukup sampai bayi berumur 6 bulan lebih sedikit jika dibandingkan ibu
yang tidak bekerja. Kondisi ini diduga akibat beban fisik ibu karena pekerjaan
sehingga tidak dapat mempertahankan produksi ASI (Suradi, 1986).
Karakteristik Keluarga
Besar keluarga. Besar keluarga mempengaruhi ketersediaan pangan dalam
keluarga. Semakin besar jumlah keluarga yang tidak ditunjang oleh tingkat
pendapatan yang baik maka pangan bagi setiap anak akan berkurang. Anak yang
tumbuh dalam keluarga yang kurang mampu sangat rawan terhadap masalah gizi
kurang. Anak paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan
(Suhardjo, 1989). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Latief, Atmarita, Minarto,
J ahari dan Tilden (2002) bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga, maka
semakin berkurang kontribusi energi, protein dan lemak terhadap total konsumsi
pangan.
Faktor besar keluarga juga diduga erat kaitannya dengan perhatian ibu dalam
pengasuhan anak. J umlah anak yang lebih sedikit akan memungkinkan ibu
memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup dalam mengasuh anaknya.
Menurut Sukarni (1989), jika jarak anak pertama dengan yang kedua kurang dari dua
tahun, perhatian dan waktu ibu terhadap pengasuhan kepada anak yang pertama akan
berkurang setelah kedatangan anak berikutnya, padahal anak tersebut masih
memerlukan perawatan khusus.
Pendapatan keluarga. Hal ini akan mempengaruhi pola pengeluaran dalam
rumah tangga terutama untuk konsumsi pangan anggota rumah tangga, yaitu bayi dan
anak balita (Roedjito, 1987). Pada golongan pendapatan tinggi terdapat
kecenderungan peningkatan penggunaan PASI dan memulai pemberian makanan
pendamping yang lebih awal. Faktor pendapatan keluarga sangat menentukan pola


15
menyusui beralih dari ASI ke susu buatan (Haryono, 1977 ; Bantje & Yambi, 1983
dalam Fitrisia, 2002). Semakin meningkatnya pendapatan dan kekayaan terdapat
kecenderungan pangan yang dikonsumsi lebih beragam dan lebih banyak (Arimond
& Ruel, 2004).
Semakin bertambahnya pendapatan keluarga, pembelian susu formula
semakin menunjukkan peningkatan yang cukup besar dan menyusui anak mengalami
penurunan yang sangat cepat. Contoh ini dapat dilihat dari 60% ibu di Gujarat yang
memiliki penghasilan rendah menyusui anaknya hingga berumur 6 bulan. Persentase
ini menurun dengan tajam ketika pendapatan meningkat dan hanya 8% saja dari ibu
yang pendapatannya tinggi menyusui anaknya (Berg, 1986).
Karakteristik Anak
Urutan anak. Menurut Hurlock (2000), anak yang lahir pertama cenderung
lebih diperhatikan oleh orang tua dibandingkan anak yang lahir kemudian. Hal ini
diduga dapat mempengaruhi pola pemberian makan yang dilakukan oleh ibu kepada
anak.
Akses Informasi Ibu
Menurut Madanijah (2003), pengetahuan ibu selain dipengaruhi oleh
pendidikan ibu, pendidikan ayah dan keadaan sosial ekonomi keluarga (pendapatan
keluarga), juga dipengaruhi oleh akses terhadap informasi. Engle, Manon, dan Hadad
(1997), menyatakan bahwa perolehan informasi bisa didapat dari membaca surat
kabar, mendengarkan radio, menonton televisi, dan kemudian memahami informasi
tersebut. Tucker dan Sanjur (1988) dalam Engle, Manon, dan Hadad (1997),
menyatakan bahwa pengetahuan ibu tentang zat gizi tertentu, frekuensi membaca,
juga berhubungan positif dengan asupan makanan dan status antropomentri.
Menurut Satoto (1990), kurangnya kesempatan belajar atau untuk
mengembangkan diri dari para ibu merupakan unsur yang menghambat ibu dalam
melaksanakan pengasuhan anak semaksimal mungkin. Kesempatan tersebut mungkin
memang benar-benar tidak tersedia (karena ketersediaan dana yang minim), atau
sebaliknya justru ada dan tersedia tetapi para ibu karena kesibukannya (selaku pencari


16
nafkah ataupun karena terlalu banyak anak) tidak ada waktu untuk menggunakan
kesempatan yang tersedia ini untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
mengasuh anak.
Pengetahuan Gizi dan Kesehatan
Menurut Harper, Deaton dan Driskel (1986), terdapat kecenderungan
pengaruh pengetahuan gizi ibu terhadap tingkat konsumsi pangan anak dan keluarga.
Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi ibu, maka tingkat konsumsi pangan anak dan
keluarga akan semakin baik. Tingkat pengetahuan gizi ibu yang baik akan
mempermudah pelaksanaan tanggung jawab seorang ibu yaitu berupa pemilihan jenis
pangan yang mengandung zat gizi yang baik untuk keluarganya.
Pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan dapat diperoleh dari media massa,
dokter/bidan, keluarga atau teman. Selain itu perlu dilakukan penyuluhan gizi dan
kesehatan anak secara rutin. Albernaz et al. (2003) menyatakan bahwa konsultasi
tatap muka yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih adalah cara yang
efektif untuk mengurangi waktu pengenalan MP-ASI secara dini dan meningkatkan
durasi/lama menyusui.

KERANGKA PEMIKIRAN
Anak usia di bawah dua tahun (baduta) termasuk kelompok usia yang rawan
karena merupakan masa pertumbuhan yang cepat dan menentukan kualitas manusia
pada usia remaja dan dewasa. Asupan gizi melalui makanan sangat mempengaruhi
pertumbuhan sel otak yang berlangsung sejak masa janin sampai mencapai
klimaksnya pada usia di bawah dua tahun.
Konsumsi pangan anak baduta dipengaruhi oleh karakteristik keluarga dan
karakteristik anak. Selain itu juga dipengaruhi oleh sumber informasi gizi dan
kesehatan, dan pengetahuan gizi ibu. Karakteristik keluarga meliputi umur, tingkat
pendidikan, dan pekerjaan orangtua; besar keluarga, dan pendapatan keluarga.
Pendapatan keluarga menentukan kualitas dan kuantitas makanan anak. Tingkat
pengetahuan orangtua khususnya ibu dapat mempengaruhi pengetahuan dan sikap
dalam menentukan makanan yang dikonsumsi oleh anak. Besar keluarga juga akan
mempengaruhi distribusi makanan dalam keluarga. Sedangkan yang termasuk faktor
anak adalah umur, jenis kelamin, urutan anak dan riwayat kelahiran.
Konsumsi pangan anak baduta meliputi ASI, susu formula, dan makanan.
J umlah dan jenis konsumsi pangan tersebut akan memberikan kontribusi terhadap
tingkat konsumsi zat gizi anak baduta. Alur keterkaitan faktor-faktor di atas
dijabarkan dalam kerangka pemikiran pada Gambar 1.


18



Keterangan :
: Hubungan yang diteliti : Variabel yang diteliti



Gambar 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Pemberian ASI, Susu Formula
dan MPASI serta Kontribusi terhadap Tingkat Konsumsi Zat Gizi
Anak Baduta
Karakteristik Keluarga
Umur orangtua
Pendidikan orangtua
Pekerjaan orangtua
Besar keluarga
Pendapatan keluarga
Karakteristik Anak
Umur
J enis Kelamin
Urutan Anak
Riwayat kelahiran
Pengetahuan gizi ibu
Akses sumber informasi
gizi dan kesehatan
Konsumsi zat gizi anak
baduta
Pola pemberian
susu formula
Pola
pemberian ASI
Pola pemberian
MPASI
METODE
Desain, Tempat dan Waktu
Desain penelitian ini adalah cross sectional study dengan membandingkan dua
kelompok anak baduta dengan status pekerjaan ibu yang berbeda. Penelitian
dilakukan di dua tempat yaitu Kelurahan Bantarjati dan Kelurahan Tegal Gundil,
Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan kecamatan
ditentukan secara purposive berdasarkan data dari Dinas Keluarga Berencana Kota
Bogor tahun 2004 bahwa Kecamatan Bogor Utara memiliki jumlah ibu bekerja paling
banyak. Pemilihan kelurahan dilakukan secara purposive berdasarkan data dari Dinas
Kesehatan Kota Bogor bahwa Kelurahan Bantarjati dan Tegal Gundil memiliki
estimasi jumlah balita terbanyak pada tahun 2005. Untuk memenuhi kebutuhan
jumlah responden didapatkan sebanyak 5 RW dari 17 RW yang terpilih secara
random pada Kelurahan Tegal Gundil dan sebanyak 8 RW dari 16 RW di Kelurahan
Bantarjati. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni sampai Agustus 2005.
Cara Pemilihan Contoh
Responden penelitian adalah ibu yang memiliki anak berumur 13-23 bulan
yang memberikan susu formula dan bersedia diwawancarai. Sedangkan contoh
penelitian ini adalah anak baduta tersebut. Contoh kemudian dibagi menjadi dua
kelompok berdasarkan status pekerjaan ibu yaitu kelompok ibu bekerja dan ibu tidak
bekerja. Pengambilan contoh dilakukan secara purposive dengan kriteria berumur 13-
23 bulan, rutin mengkonsumsi susu formula dan sehat. Data contoh diperoleh dari
data balita sasaran MOPPING UP Polio 2005. Jumlah contoh dari masing-masing
Kelurahan adalah 15 orang dari keluarga ibu bekerja dan 15 orang dari keluarga ibu
tidak bekerja, sehingga jumlah contoh keseluruhan adalah 60 orang.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data primer melalui wawancara menggunakan kuesioner dan
observasi langsung. Data sekunder diperoleh dari posyandu setempat berupa data


20
penimbangan berat badan balita, serta data keadaan keadaan umum lokasi penelitian
dan data demografi penduduk dari Kantor Kelurahan setempat. Data primer yang
dikumpulkan dalam penelitian ini adalah :
1. Karakteristik keluarga meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan
besar keluarga.
2. Karakteristik anak baduta meliputi umur, jenis kelamin, urutan anak, jarak
kelahiran dan riwayat kelahiran.
3. Akses sumber informasi gizi dan kesehatan.
4. Pengetahuan gizi ibu meliputi pengetahuan tentang ASI, susu formula dan MP-
ASI yang diperoleh dengan cara memberikan 10 pertanyaan.
5. Pola pemberian ASI yaitu waktu pemberian ASI pertama, pemberian kolostrum,
frekuensi dan lama pemberian ASI, cara pemberian ASI, penggunaan pompa
payudara, dan pemberian minuman pralaktal.
6. Pola pemberian susu formula yaitu waktu pemberian susu formula pertama, cara
pembuatan susu formula, ketepatan pengenceran, ketepatan frekuensi pemberian
dan sterilisasi botol susu.
7. Pola pemberian MP-ASI yaitu waktu pemberian MPASI pertama dan jenis
MPASI pertama.
8. Data konsumsi pangan anak baduta yang didapatkan dengan metode recall 1x24
jam.
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan menggunakan
program komputer Microsoft Excel dan SPSS 10.0 for Windows. Proses pengolahan
meliputi editing, coding, entry dan analisis. Data dianalisis secara statistik deskriptif
dan inferensia. Data karakteristik keluarga dikategorikan sebagaimana terlihat pada
Tabel 5. Data karakteristik anak baduta dikategorikan seperti pada Tabel 6.






21
Tabel 5. Kategori dari Variabel Karakteristik Keluarga
No Variabel Kategori
1 Umur orangtua 1. <20 tahun
2. 20-29 tahun
3. 30-39 tahun
4. 40 tahun
2 Tingkat pendidikan orangtua 1. tidak tamat SD : <6 tahun
2. tamat SD : 6 tahun
3. tamat SLTP : 9 tahun
4. tamat SMU : 12 tahun
5. perguruan tinggi : >12 tahun
3 Pekerjaan orangtua 1. buruh
2. pedagang
3. PNS/ABRI
4. pegawai swasta
5. pekerjaan lainnya/dll
4 Pendapatan keluarga 1. < Rp 150.000
2. Rp 150.000-Rp 449.999
3. Rp 450.000-Rp 749.999
4. Rp 750.000-Rp 999.999
5. > Rp 1.000.000
5 Besar keluarga 1. kecil : 4 orang
2. sedang : 5-6 orang
3. besar : 7 orang (BKKBN, 1998).

Tabel 6. Kategori dari Variabel Karakteristik Anak Baduta
No Variabel Kategori
1. Umur 1. 13-18 bulan
2. 19-23 bulan
2. Jenis kelamin 1. Laki-laki
2. Perempuan
3. Urutan anak 1. Anak pertama
2. Anak kedua dan ketiga
3. Anak kempat dan seterusnya
4. Jarak kelahiran 1. <2 tahun
2. 2 tahun
3. hamil pertama
5. Riwayat kelahiran anak
Umur kelahiran

cukup bulan (9 bulan)
tidak cukup bulan (< 9 bln)
Tempat persalinan Rumah sendiri
Klinik bersalin / bidan / puskesmas
Rumah sakit
Penolong persalinan Anggota keluarga sendiri/orang biasa lainya
Dukun bayi/paraji
Bidan/dokter
Jenis persalinan anak Lahir normal/biasa
Dioperasi
Divakum


22
Akses Informasi Gizi dan Kesehatan
Akses informasi ibu merupakan jumlah sumber informasi tentang gizi dan
kesehatan anak yang diperoleh ibu. Sumber informasi yang dimaksud meliputi media
massa (TV, radio, majalah/tabloid, surat kabar), tenaga kesehatan (dokter atau bidan),
keluarga (orangtua, mertua, saudara), teman (tetangga, rekan kerja), dan kader
posyandu. Nilai skor 1 diberikan jika ibu mendapat informasi dan skor 0 jika tidak
mendapat informasi dari masing-masing sumber informasi tersebut. Akses informasi
ibu dibagi dalam tiga kategori, yaitu kurang (0-2 info), sedang (3-4 info), dan baik (5-
6 info). Pembagian kategori berdasarkan interval kelas (Slamet, 1993).



Keterangan :
IK : Interval Kelas
Smaks : Skor Maksimum
Smin : Skor Minimum
JK : Jumlah Kategori
Pengetahuan Gizi Ibu
Data pengetahuan gizi ibu tentang ASI, susu formula dan MP-ASI dilakukan
dengan cara memberikan skor pada 10 pertanyaan, skor 1 jika jawaban benar dan
skor 0 jika jawaban salah. Jumlah skor dihitung lalu dibagi total skor kemudian dikali
100%, hasilnya dikelompokkan menjadi tiga yaitu : baik (>80% jawaban benar),
sedang (60-80% jawaban benar), kurang (<60% jawaban benar) (Khomsan, 2000).
Pola Pemberian ASI
Pola pemberian ASI meliputi pemberian kolostrum, waktu pertama kali
menyusui, cara menyusui, praktek menyusui saat ini dan pemberian makanan
pralaktal. Pengukuran pola pemberian ASI berdasarkan penilaian terhadap tujuh
pertanyaan dengan total skor 7-28. Pola pemberian ASI dibagi dalam tiga kategori,
yaitu kurang (7-14), sedang (15-21), dan baik (22-28). Pembagian kategori
berdasarkan interval kelas (Slamet, 1993).
IK = (Smaks-Smin)
JK


23
Pola Pemberian Susu Formula
Pola pemberian susu formula meliputi waktu pertama pemberian susu
formula, ketepatan frekuensi pemberian, penggunaan sendok takar, ketepatan
pengenceran, cara membersihkan botol susu, dan pemberian susu yang bersisa.
Pengukuran pola pemberian susu formula berdasarkan penilaian terhadap enam
pertanyaan dengan total skor 6-24. Pola pemberian susu formula dibagi dalam tiga
kategori, yaitu kurang (6-12), sedang (13-18), dan baik (19-24). Pembagian kategori
berdasarkan interval kelas (Slamet, 1993).
Pola Pemberian MP-ASI
Pola pemberian MPASI meliputi waktu pertama pemberian MPASI dan jenis
MPASI. Pengukuran pola pemberian MPASI berdasarkan penilaian terhadap dua
pertanyaan dengan total skor 2-8. Pola pemberian MPASI dibagi dalam tiga kategori,
yaitu kurang (2-4), sedang (5-6), dan baik (7-8). Pembagian kategori berdasarkan
interval kelas (Slamet, 1993).
Data Konsumsi Pangan Anak Baduta
Data konsumsi pangan anak usia 13-23 bulan diperoleh dengan recall 1x24
jam, data yang terkumpul diolah dengan menggunakan Food Processor kemudian
diterjemahkan ke dalam bentuk tingkat konsumsi zat gizi (energi, protein, vitamin A,
vitamin C, dan kalsium). Tingkat konsumsi zat gizi dihitung dengan membandingkan
konsumsi aktual dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata yang dianjurkan
menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII. Tingkat konsumsi
zat gizi digolongkan dalam dua kategori (Latief et al., 2000), yaitu kurang (<70%
AKG) dan cukup (70% AKG).


Jumlah ASI yang dikonsumsi anak baduta didekati dari nilai rata-rata
konsumsi ASI anak baduta per hari yang dipublikasikan oleh WHO (2000). Rata-rata
konsumsi ASI bagi anak baduta (12-23 bulan) adalah 549 g/hari. Konsumsi energi,
protein, vitamin A, vitamin C, dan kalsium dari ASI juga menggunakan estimasi dari
Tingkat konsumsi zat gizi = Konsumsi aktual x 100%
AKG yang dianjurkan


24
WHO (2000). Konsumsi susu formula dihitung dengan cara menanyakan takaran
bubuk susu dan volume pengenceran yang dilakukan oleh responden. Jumlah takaran
bubuk susu dikonversi ke dalam gram, kemudian dihitung kandungan zat gizinya
berdasarkan informasi nilai gizi pada kemasan susu formula.
Kontribusi zat gizi dari konsumsi ASI, susu formula dan makanan (selain ASI
dan susu formula) terhadap konsumsi pangan diperoleh berdasarkan perbandingan
antara jumlah zat gizi yang dikonsumsi dari ASI, susu formula dan makanan dengan
konsumsi pangan total. Sedangkan kontribusi zat gizi dari konsumsi ASI, susu
formula dan makanan (selain ASI dan susu formula) terhadap kecukupan zat gizi
diperoleh berdasarkan perbandingan antara jumlah zat gizi yang dikonsumsi dari ASI,
susu formula dan makanan dengan kecukupan gizi.

Analisis statistik inferensia yang dilakukan adalah uji beda t dan Mann
Whitney untuk mengetahui perbedaan variabel penelitian antara keluarga ibu bekerja
dan tidak bekerja. Variabel karakteristik keluarga, karakteristik baduta contoh,
kategori akses informasi gizi dan kesehatan ibu, tingkat pengetahuan gizi ibu,
kategori pola pemberian ASI, susu formula, dan MPASI serta tingkat konsumsi zat
gizi digunakan uji beda Mann Whitney. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan
variabel pola pemberian ASI, susu formula, dan MPASI; kontribusi zat gizi dari
konsumsi ASI, susu formula dan makanan terhadap konsumsi pangan total dan
tingkat konsumsi zat gizi anak baduta digunakan uji beda t. Uji korelasi Rank
Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel karakteristik
keluarga, karakteristik anak, dan pengetahuan gizi ibu terhadap pola pemberian ASI
dan susu formula.



Kontribusi = Konsumsi zat gizi dari ASI/susu formula/makanan x 100%
Konsumsi pangan total


25
Definisi Operasional
Akses sumber informasi gizi dan kesehatan adalah jumlah sumber informasi
tentang gizi dan kesehatan anak yang diperoleh ibu, meliputi media massa
(TV, radio, majalah/tabloid, surat kabar), tenaga kesehatan (dokter atau
bidan), keluarga (orangtua, mertua, saudara), teman (tetangga, rekan kerja),
dan kader posyandu.

Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari keluarga inti (ayah,
ibu, dan anak) dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama dan
menjadi tanggungan kepala keluarga.

Contoh adalah anak usia di bawah dua tahun (baduta) yang berusia 13-23 bulan yang
mengkonsumsi susu formula secara rutin dan sehat.

Konsumsi pangan baduta adalah jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi anak
baduta yang diukur dengan metode recall selama 1x24 jam.

Konsumsi zat gizi adalah konsumsi pangan yang kemudian dikonversi ke dalam
kandungan zat gizi dengan menggunakan DKBM yang meliputi energi,
protein, vitamin A, vitamin C, kalsium dan zat besi.

Pendapatan keluarga adalah jumlah pendapatan anggota keluarga dalam satu bulan
terakhir dan dibagi dengan seluruh tanggungan keluarga. Pendapatan diukur
dalam pendapatan per kapita (Rp/kap/bln).

Pendidikan orang tua adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh ayah
dan ibu contoh

Pengetahuan gizi ibu adalah tingkat pengetahuan ibu tentang pola pemberian dan
konsumsi ASI, susu formula, dan MPASI yang diketahui dari kemampuan
menjawab 10 pertanyaan yang berkaitan dengan ASI, susu formula, dan
MPASI.

Pola pemberian ASI adalah praktek-praktek pemberian ASI yang diterapkan oleh
ibu kepada anak, meliputi pemberian minuman pralaktal, pemberian
kolostrum, waktu pemberian ASI pertama, cara menyusui serta praktek
menyusui saat ini.

Pola pemberian susu formula adalah praktek pemberian susu formula yang
dilakukan oleh ibu kepada anak, meliputi : waktu pemberian susu formula
pertama, alasan pemberian susu formula, sumber informasi tentang susu
formula, frekuensi pemberian susu formula, penggunaan sendok takar dan
ketepatan takaran, cara membersihkan botol susu dan pemberian susu formula
yang bersisa.


26
Pola pemberian MPASI adalah praktek pemberian MPASI yang diterapkan
responden kepada contoh, meliputi waktu pemberian MPASI dan jenis
MPASI pertama.

Susu formula adalah susu formula lanjutan (follow up) yang diberikan kepada anak
berumur di atas enam bulan sampai 3 tahun.

Riwayat kelahiran adalah riwayat proses kelahiran contoh meliputi umur kelahiran,
tempat persalinan, penolong persalinan, dan jenis persalinan.

Responden adalah ibu bekerja dan tidak bekerja yang memiliki anak baduta (12-3
bulan) yang memberikan susu formula.

Tingkat konsumsi zat gizi adalah perbandingan antara zat gizi yang dikonsumsi
dengan angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan per orang per hari dikalikan
100%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kelurahan Tegal Gundil
Letak Geografis. Kelurahan Tegal Gundil terletak di ketinggian 251-300 m di
atas permukaan laut. Luas wilayahnya 198 ha, terbentang dari utara ke selatan
menyusuri tepian Sungai Ciparigi di barat dan Sungai Cibuluh di timur. Batas
wilayah Kelurahan Tegal Gundil sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Cibuluh,
sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Tegal Lega, sebelah barat berbatasan
dengan Kelurahan Bantarjati, dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Tanah
Baru. Seluruh wilayah terbagi ke dalam 17 RW dan 86 RT. Pemanfaatan seluruh
wilayah terbagi atas : perumahan dan pekarangan (169 ha), ladang tegalan (18,6 ha),
perkantoran (2,5 ha), tanah pemakaman (3,46 ha), dan lain-lain (3,94 ha).
Penduduk dan Mata Pencaharian. Seluruh penduduk di Kelurahan Tegal Gudil
berjumlah 24.156 jiwa, terdiri atas pria 12.09 jiwa dan wanita 12.147 jiwa. Jumlah
balita usia 0-4 tahun sebanyak 1.856 jiwa. Ditinjau dari mata pencaharian, penduduk
Tegal Gundil lebih banyak yang bekerja di sektor swasta dengan rincian sebagai
berikut : 1) buruh/swasta : 1572 orang, 2) PNS : 770 orang, 3) pedagang : 293 orang,
4) dokter : 30 orang, 5) tukang ojek : 200 orang, 6) becak : 5 orang, 7) TNI/POLRI :
212 orang, 8) pengusaha : 121 orang, 9) BUMN/BUMD : 109 orang. Ditinjau dari
latar belakang pendidikan penduduk relatif tinggi, hal ini terlihat dari gambaran latar
belakang pendidikan adalah sebagai berikut : 1) tidak tamat SD : 299 KK, 2) tamat
SD-SLTP : 1.138 KK, 3) tamat SLTA ke atas : 4.989 KK.
Kelurahan Bantarjati
Letak Geografis. Kelurahan Bantarjati yang mempunyai luas 170 ha
merupakan dataran rendah dengan ketinggian dari permukaan laut 300 m.
Kelurahan Bantarjati berbatasan dengan kelurahan Cibuluh di sebelah utara,
Kelurahan Tegal Gundil di sebelah timur, Kelurahan Babakan di sebelah selatan dan
di sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Tanah Sareal.
28
Penduduk dan Mata Pencaharian. Kelurahan Bantarjati terdiri dari 16 RW dan
73 RT dengan jumlah kepala keluarga sebesar 4.494 KK dan jumlah penduduk
sebanyak 19.137 jiwa. Jumlah balita umur 0-12 bulan sebesar 312 jiwa, yang berumur
13 bulan-4 tahun sebesar 537 jiwa. Mata pencaharian penduduk Kelurahan Bantarjati
sebagaian besar di sektor jasa 98%, industri 1,4%, dan pertanian 0,6%.
Karakteristik Keluarga
Umur Orangtua
Menurut Pudjiadi (2000), umur bagi seorang ibu merupakan faktor yang turut
menentukan dalam produksi ASI. Ibu yang berumur antara 19-23 tahun umumnya
menghasilkan ASI yang lebih banyak dibandingkan ibu yang berumur tiga puluhan.
Sebaran contoh menurut umur orangtua disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Sebaran Orang Tua Contoh menurut Umur
Ayah Ibu
Ibu Tidak
Bekerja
(n=30)
Ibu Bekerja
(n=30)
Ibu Tidak
Bekerja
(n=30)
Ibu Bekerja
(n=30)
Umur (tahun)
n % n % n % n %
p
< 20 th
20-29 th
30-39 th
40 th
-
11
15
4
-
36,7
50,0
13,3
-
4
21
5
-
13,3
70,0
16,7
-
18
12
-
-
60,0
40,0
-
-
8
21
1
-
26,7
70,0
3,3
0,089
a)

0,004
b)**

a) ayah; b) ibu
**
Nyata pada taraf kepercayaan 99%

Tabel 7 menunjukkan bahwa proporsi terbanyak umur ayah pada kedua
kelompok berada pada umur 30-39 tahun. Rata-rata umur ayah pada kelompok ibu
tidak bekerja adalah 33 tahun dan rata-rata umur ayah kelompok ibu bekerja adalah
36 tahun. Hasil analisis statistik uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa usia
ayah pada kedua kelompok tidak berbeda. Sebanyak 70% responden ibu bekerja
berumur 30-39 tahun, sedangkan 60% responden ibu tidak bekerja berumur 20-29
tahun. Rata-rata umur responden ibu tidak bekerja adalah 28 tahun dan responden ibu
bekerja adalah 32 tahun. Usia ibu pada kedua kelompok berbeda nyata (p<0,01).

29
Pendidikan Ayah dan Ibu
Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat berdasarkan lamanya atau jenis
pendidikan yang dialami baik formal maupun informal. Menurut Suhardjo (1996),
tingkat pendidikan seseorang umumnya dapat mempengaruhi sikap dan perilakunya
dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat pendidikan terutama pendidikan ibu
berpengaruh terhadap kualitas tumbuh kembang anak. Di samping itu menurut
Khomsan (2002) ibu yang memiliki pendidikan tinggi akan lebih respon dalam
mencari informasi untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam
pengasuhan anak.
Berdasarkan Tabel 8, dapat dilihat bahwa ayah dan ibu pada kedua kelompok
contoh mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi. Lebih dari separuh ayah (60%)
dan ibu (66,7%) pada kelompok ibu bekerja merupakan lulusan perguruan tinggi.
Sementara pada kelompok ibu tidak bekerja, pendidikan ayah (43,3%) dan ibu
(46,7%) adalah lulusan SMU. Rata-rata lama pendidikan ayah dan ibu pada kelompok
ibu tidak bekerja adalah 13 tahun, sedangkan pada kelompok ibu bekerja rata-rata
lama pendidikan ayah dan ibu adalah 14 tahun. Hasil analisis statistik uji beda Mann
Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pendidikan ayah dan
ibu pada kedua kelompok.
Tabel 8. Sebaran Orang Tua Contoh menurut Tingkat Pendidikan
Ayah Ibu
Ibu Tidak
Bekerja
(n=30)
Ibu Bekerja
(n=30)
Ibu Tidak
Bekerja
(n=30)
Ibu Bekerja
(n=30)
Tingkat
Pendidikan
n % n % n % n %
p
- Tidak tamat SD
- Tamat SD
- Tamat SLTP
- Tamat SMU
- Perguruan Tinggi
-
2
3
13
12
-
6,7
10,0
43,3
40,0
-
-
4
8
18
-
-
13,3
26,7
60,0
-
2
1
14
13
-
6,7
3,3
46,7
43,3
1
1
1
7
20
3,3
3,3
3,3
23,3
66,7
0,153
a)

0,120
b)

a) ayah; b) ibu



30
Pekerjaan Ayah dan Ibu
Jenis pekerjaan ayah dan ibu menentukan jumlah pendapatan yang diterima
keluarga. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan
kuantitas makanan. Kurangnya pendapatan akan berakibat buruk pada jumlah dan
jenis pangan yang dibeli untuk konsumsi pangan keluarga yang pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status gizi (Berg, 1986).
Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa sebagian besar ayah bekerja sebagai
pegawai swasta, PNS/TNI/POLRI, pedagang, dan buruh. Jenis pekerjaan ayah yang
paling banyak adalah sebagai pegawai swasta, yaitu sebesar 56,7% pada kelompok
ibu tidak bekerja dan 46,7% pada kelompok ibu bekerja. Selain itu terdapat 13,3%
ayah kelompok ibu tidak bekerja dan 20% ayah kelompok ibu bekerja yang bekerja
pada sektor jasa informal sebagai wiraswasta, pemain orgen/piano, sopir angkot, dan
tukang becak. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan
antara jenis pekerjaan ayah baduta contoh pada kedua kelompok.
Tabel 9. Sebaran Contoh menurut Pekerjaan Utama Ayah
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)
Jenis Pekerjaan Ayah
n % n %
Buruh
Pedagang
PNS/TNI/POLRI
Pegawai swasta
Jasa
2
2
5
17
4
6,6
6,6
16,7
56,7
13,3
2
1
7
14
6
6,6
3,3
23,3
46,7
20,0
p=0,511

Pekerjaan ibu dalam membantu mencari nafkah terutama pekerjaan yang
mengharuskan ibu keluar rumah dengan jam kerja tertentu mengakibatkan proses
menyusui tidak teratur. Hal ini merupakan alasan penggantian ASI dengan susu
formula (Winarno, 1995). Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu bekerja
sebagai pegawai swasta, PNS/TNI/POLRI, dan buruh. Sebesar 23,3% ibu bekerja
sebagai pegawai swasta. Selain itu sebesar 6,7% ibu bekerja di sektor jasa formal
sebagai dokter gigi dan guru di sekolah swasta, dan jasa informal sebagai penyapu
jalan.

31
Tabel 10. Sebaran Contoh menurut Pekerjaan Ibu (n=30)
Jenis Pekerjaan Ibu n %
Buruh
PNS/TNI/POLRI
Pegawai swasta
Jasa
4
8
14
4
6,7
13,3
23,3
6,7

Tingkat Pendapatan Keluarga
Besarnya pendapatan per kapita per bulan keluarga mempengaruhi daya beli
keluarga terhadap pangan yang berkualitas. Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui
bahwa pendapatan keluarga per kapita per bulan kelompok ibu tidak bekerja berkisar
antara Rp 50.000,00-Rp 1.333.333,00 dengan rata-rata Rp 416.771,00. Pendapatan
per kapita per bulan keluarga kelompok ibu bekerja berkisar antara Rp 187.500,00-Rp
1.666.667,00 dengan rata-rata Rp 768.472,00. Pendapatan perkapita per bulan
keluarga ibu bekerja lebih besar daripada keluarga ibu tidak bekerja. Hasil uji beda t
menunjukkan bahwa pendapatan keluarga per kapita per bulan antara kedua
kelompok ini berbeda nyata (p<0,01).
Tabel 11. Sebaran Contoh menurut Tingkat Pendapatan Keluarga
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) p
Tingkat Pendapatan
Keluarga (Rp/kap/bln)
n % n %
< Rp 150.000
Rp 150.000-Rp 449.999
Rp 450.000-Rp 749.999
Rp 750.000-Rp 999.999
Rp 1.000.000
1
18
9
-
2
3,3
60,0
30,0
-
6,7
-
5
8
9
8
-
16,7
26,7
30,0
26,7
0,000**
** Nyata pada taraf kepercayaan 99%
Batas kemiskinan penduduk perkotaan di Jawa Barat (BPS, 2003) yaitu
sebesar Rp 135.598,00 (perkapita/bulan). Jika dibandingkan dengan batas kemiskinan
tersebut maka sebagian besar (96,7% pada kedua kelompok contoh) pendapatan
keluarga contoh berada di atas batas kemiskinan (Tabel 12). Secara statistik, uji beda
Mann Whitney menunjukkan tingkat pendapatan keluarga contoh dari kedua
kelompok tidak ada perbedaan.
32
Tabel 12. Sebaran Pendapatan Keluarga Contoh menurut Batas Kemiskinan
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) p
Tingkat Pendapatan
(Rp/kap/bln)
n % n %
Tinggi ( Rp 135.598)
Rendah (< Rp 135.598)
29
1
96,7
3,3
29
1
96,7
3,3
1,000

Besar Keluarga
Faktor besar keluarga diduga erat kaitannya dengan perhatian ibu dalam
pengasuhan anak. Jumlah anak yang lebih sedikit akan memungkinkan ibu
memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup dalam mengasuh anaknya.
Berdasarkan Tabel 13, sebesar 76,7% keluarga ibu tidak bekerja dan 80% keluarga
ibu bekerja termasuk dalam keluarga kecil (4 orang) karena memiliki jumlah anak
1-2 orang. Uji beda Mann Whitney menyimpulkan tidak terdapat perbedaan besar
keluarga baduta contoh dari kedua kelompok. Menurut Latief, Atmarita, Miniarto,
Jahari dan Tilden (2000), besar keluarga atau banyaknya jumlah anggota keluarga
berkaitan dengan masalah pangan dan gizi. Semakin besar jumlah anggota keluarga,
maka semakin berkurang peluang tercukupinya energi, protein dan lemak.
Tabel 13. Sebaran Contoh menurut Besar Keluarga
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) p
Besar Keluarga
n % n %
Kecil ( 4 orang)
Sedang (5-6 orang)
Besar ( 7 orang)
23
6
1
76,7
20
3,3
24
6
-
80
20
-
0,710

Karakteristik Anak Baduta
Umur dan Jenis Kelamin
Anak di bawah dua tahun (baduta) merupakan tahap pertumbuhan dan
perkembangan yang paling pesat dari semua siklus kehidupan manusia. Pada masa ini
terjadi peningkatan berat badan dan tinggi badan serta pertumbuhan otak telah
mencapai 90-95 persen (Hardinsyah & Martianto, 1992). Pada Tabel 14 diketahui
33
bahwa sebesar 56,7% contoh pada kelompok ibu tidak bekerja berumur 18-23 bulan.
Pada kelompok ibu bekerja sebesar 70% contoh berumur 12-17 tahun.
Jenis kelamin contoh pada kedua kelompok sebagian besar adalah perempuan,
yaitu 60% pada kelompok ibu tidak bekerja dan 50% pada kelompok ibu bekerja.
Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan usia baduta
contoh pada kedua kelompok (p<0,05). Jumlah contoh kelompok ibu bekerja yang
berumur 12-17 bulan lebih banyak daripada contoh ibu tidak bekerja. Namun jenis
kelamin baduta contoh pada kedua kelompok tidak berbeda. Distribusi contoh
menurut umur dan jenis kelamin ditampilkan pada Tabel 14.
Tabel 14. Sebaran Contoh menurut Umur dan Jenis Kelamin
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Karakteristik
Contoh n % n %
p
Umur (bulan)
12-17
18-23

13
17

43,3
56,7

21
9

70
30
0,039*
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan

12
18

40
60

15
15

50
50
0,440
* Nyata pada taraf kepercayaan 95%

Jarak dan Urutan Kelahiran
Salah satu faktor yang mempengaruhi pemberian ASI adalah adanya
kehamilan ibu. Jumlah dan jarak kelahiran antar anak yang terlalu dekat
mengakibatkan berkurangnya kesempatan ibu menyusui bayi untuk waktu yang lebih
lama. Kehamilan juga mengakibatkan berkurangnya jumlah ASI yang diproduksi
bahkan mungkin terhenti sama sekali (Sajogyo et al., 1994). Sebaran contoh menurut
jarak kelahiran dan urutan anak secara rinci dapat dilihat pada Tabel 15.
Pada kelompok ibu tidak bekerja sebesar 36,7% contoh memiliki jarak
kelahiran 2 tahun dari anak sebelumnya dan hanya 10% contoh berjarak <2 tahun.
Sebesar 53,3% contoh dari kelompok ibu tidak bekerja merupakan anak pertama,
sebesar 40% contoh merupakan anak ke-2 atau ke-3 .
34
Pada kelompok ibu bekerja jarak kelahiran 66,7% contoh adalah 2 tahun.
Sebesar 23,3% contoh merupakan anak pertama, dan sebesar 73,3% contoh
merupakan anak ke-2 atau ke-3. Uji statistik menyimpulkan bahwa jarak kelahiran
dan urutan anak baduta contoh berbeda antara kelompok ibu tidak bekerja dengan
kelompok ibu bekerja (p<0,05). Jumlah contoh kelompok ibu tidak bekerja yang
merupakan anak pertama lebih banyak daripada contoh kelompok ibu bekerja.
Tabel 15. Sebaran Contoh menurut Jarak Kelahiran dan Urutan Anak
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)
Karakteristik Contoh
n % n %
p
Jarak kelahiran
< 2 th
2 th
anak pertama

3
10
16

10
36,7
53,3

3
20
7

10
66,7
23,3
0,045*
Urutan anak
Anak pertama
Anak ke-2 atau ke-3
Anak ke-4 dst

16
12
2

53,3
40
6,7

7
22
1

23,3
73,3
3,3
0,044*
* Nyata pada taraf kepercayaan 95%

Menurut Hurlock (2000), anak yang lahir pertama cenderung lebih
diperhatikan oleh orangtua dibandingkan anak yang lahir kemudian. Hal ini diduga
dapat mempengaruhi pola pemberian makanan yang dilakukan oleh ibu kepada anak.
Menurut Sukarni (1989), jika jarak anak pertama dengan yang kedua kurang dari dua
tahun, perhatian dan waktu ibu terhadap pengasuhan kepada anak yang pertama akan
berkurang setelah kedatangan anak berikutnya, padahal anak pertama tersebut masih
memerlukan perawatan khusus.
Riwayat Kelahiran
Riwayat kelahiran terutama jika melahirkan melalui operasi dapat
menyebabkan tertundanya pemberian ASI. Hal ini menurut Welford (2001) karena
adanya luka jahitan sehingga perut terasa perih, serta lebih lemas jika dibandingkan
dengan melahirkan secara normal. Berdasarkan Tabel 16 riwayat kelahiran contoh
pada kedua kelompok sebagian besar secara normal yaitu 73,3% pada ibu tidak
bekerja dan 63,3% pada ibu bekerja. Terdapat sebesar 23,3% contoh dari ibu tidak
35
bekerja dan 33,3% contoh dari ibu bekerja yang dilahirkan melalui operasi. Hasil uji
beda Mann Whitney menyimpulkan tidak terdapat perbedaan jenis persalinan baduta
contoh dari kedua kelompok.
Menurut Fikawati dan Safiq (2003), penolong kelahiran sangat berperan
dalam menentukan keberhasilan menyusui. Jika penolong kelahiran segera
memberikan bayi kepada ibu maka interaksi ibu dan anak akan segera terjadi, dengan
demikian ibu akan percaya diri untuk segera menyusui dan tidak perlu memberi
minuman/makanan pralaktal. Penolong kelahiran bayi pada kedua kelompok
umumnya adalah bidan atau dokter dan hanya sebagian kecil yang melahirkan dengan
bantuan paraji (Tabel 16). Hasil uji beda Mann Whitney menyimpulkan tidak terdapat
perbedaan penolong kelahiran dan tempat kelahiran baduta contoh dari kedua
kelompok.
Tabel 16. Sebaran Contoh menurut Riwayat Kelahiran
Ibu Tidak Bekerja
(n=30)
Ibu Bekerja
(n=30) Riwayat Kelahiran Contoh
n % n %
p
Jenis persalinan
Dioperasi/cesar
Divakum
Normal/Spontan

7
1
22

23,3
3,3
73,3

10
1
19

33,3
3,3
63,3
0,397
Penolong persalinan
Keluarga/orang biasa lainnya
Dukun bayi/paraji
Bidan/dokter

-
3
27

-
10
90

-
3
27

-
10
90
1,000
Tempat anak dilahirkan
Rumah sendiri
Klinik bersalin/bidan/puskesmas
Rumah sakit

3
14
13

10
46,7
43,3

4
11
15

13,3
36,7
50
0,763

Sumber Informasi Gizi dan Kesehatan
Akses informasi yang dipaparkan dalam penelitian ini adalah jumlah sumber
informasi gizi dan kesehatan anak yang diperoleh melalui media massa, tenaga
kesehatan (dokter atau bidan), keluarga, teman (tetangga, rekan kerja), dan kader
posyandu. Engel, Manon dan Hadad (1997) menyatakan bahwa perolehan informasi
36
bisa didapat dari membaca surat kabar, mendengarkan radio, menonton televisi, dan
kemudian memahami informasi tersebut.
Pada Tabel 17 akses informasi ibu tentang gizi dan kesehatan anak memiliki
proporsi terbesar pada kategori sedang (50% responden ibu tidak bekerja dan 58,3%
responden ibu bekerja). Masih terdapat responden yang berada di kategori kurang, hal
ini diduga karena ibu menerima informasi hanya dari sumber yang menurutnya dapat
dipercaya seperti dokter/bidan dan orangtua. Berdasarkan uji beda Mann Whitney,
tidak terdapat perbedaan akses informasi ibu pada kedua kelompok.
Tabel 17. Sebaran Contoh menurut Akses Informasi Ibu
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Kategori Akses
Informasi Ibu n % n %
p
Baik (5-6 sumber info)
Sedang (3-4 sumber info)
Kurang (0-2 sumber info)
8
15
7
26,7
50,0
23,3
7
20
3
25,0
58,3
16,7
0,587

Tabel 18 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dari kedua kelompok
memperoleh informasi gizi dan kesehatan anak melalui dokter atau bidan. Sebesar
73,3% responden ibu tidak bekerja dan 83,3% responden ibu bekerja memperoleh
informasi gizi dan kesehatan anak dari keluarga. Hal ini mungkin dikarenakan
sebagian besar responden relatif masih muda dan contoh merupakan anak pertama
atau kedua, sehingga pengalaman dalam mengasuh masih kurang. Bagi para ibu
bekerja, rekan kerja yang lebih tua atau yang dianggap lebih berpengalaman dalam
mengasuh anak juga turut membantu dalam perolehan informasi gizi dan kesehatan
anak.
Media massa juga berperan dalam memperluas wawasan ibu, terutama
televisi, majalah dan tabloid tentang anak dan keluarga. Responden memperoleh
informasi dari majalah atau tabloid anak dan keluarga dengan cara berlangganan,
pinjam atau beli tapi tidak rutin. Responden yang menonton acara televisi mengenai
ibu, anak, dan keluarga masih sedikit, justru iklanlah yang menambah wawasan ibu
terutama iklan susu formula. Sebagian besar responden ibu tidak bekerja mengikuti
37
kegiatan di posyandu secara rutin, berbeda dengan ibu bekerja yang tidak dapat
menghadiri kegiatan posyandu.
Tabel 18. Sebaran Contoh menurut Sumber Informasi Gizi dan Kesehatan Anak
Ibu Tidak Bekerja Ibu Bekerja
Sumber Informasi Gizi dan Kesehatan
n % n %
Dokter / bidan
Keluarga (ibu, mertua, saudara)
Teman (teman, tetangga, rekan kerja)
Media massa (cetak/elektronik)
Kader posyandu
Seminar/talk show
30
22
16
22
18
-
100
73,3
53,3
73,3
60
-
28
25
24
25
8
5
93,3
83,3
80,0
83,3
26,7
16,7

Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu
Pengetahuan ibu tentang pemberian makanan pada anak baduta merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi seorang ibu dalam praktek pemberian ASI, susu
formula dan MPASI yang benar. Ketidaktahuan dan ketidakpahaman tentang gizi
merupakan salah satu alasan tidak terpenuhinya kebutuhan gizi anak. Sebaran contoh
menurut tingkat pengetahuan gizi ibu dapat dilihat pada Tabel 19.
Sebanyak 53,3% responden ibu tidak bekerja dan 76,7% responden ibu
bekerja mempunyai tingkat pengetahuan gizi yang baik. Meskipun demikian terdapat
6,7% ibu dari kelompok ibu tidak bekerja yang berada pada kategori kurang.
Pertanyaan yang dijawab salah oleh responden adalah pengertian ASI eksklusif, usia
anak diperkenalkan MPASI, usia anak diberikan makanan seperti orang dewasa,
frekuensi pemberian ASI, waktu pemberian ASI setelah melahirkan, dan manfaat
kolostrum. Hasil analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan tingkat pengetahuan gizi ibu antara kelompok ibu tidak
bekerja dengan kelompok ibu bekerja (p<0,05). Jumlah ibu bekerja yang berada pada
kategori baik lebih banyak daripada ibu tidak bekerja.
Menurut Madanijah (2003), pengetahuan ibu selain dipengaruhi oleh
pendidikan ibu, pendidikan ayah, dan pendapatan keluarga, juga dipengaruhi oleh
akses terhadap informasi. Semakin tinggi pendidikan ibu akan meningkatkan
wawasan ibu termasuk tentang gizi dan kesehatan anak. Umumnya, ibu dan ayah
38
yang berpendidikan tinggi memungkinkan memperoleh pendapatan yang tinggi,
sehingga memperbanyak jumlah media yang dibaca atau didengar dan frekuensi yang
lebih sering yang pada akhirnya akan meningkatkan wawasan dan pengetahuan ibu.
Tabel 19. Sebaran Contoh menurut Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Tingkat Pengetahuan
Gizi Ibu n % n %
p
Baik
Sedang
Kurang
16
12
2
53,3
40
6,7
23
7
-
76,7
23,3
-
0,047*
* Nyata pada taraf kepercayaan 95%
Pola Pemberian ASI
Pola pemberian ASI adalah praktek-praktek pemberian ASI yang diterapkan
oleh ibu kepada anak yang berkaitan dengan cara dan situasi pemberian ASI. Pola
pemberian ASI yang diteliti meliputi pemberian minuman pralaktal, pemberian
kolostrum, waktu pemberian ASI pertama, cara menyusui serta praktek menyusui saat
ini.
Pemberian Minuman Pralaktal
Kebiasaan memberi minuman pralaktal pada bayi baru lahir merupakan
kebiasaan salah karena tidak mendorong ibu untuk memproduksi ASI. Menurut
Azwar (2003), kebiasaan ini merupakan pemicu kurang berhasilnya pemberian ASI
eksklusif.
Tabel 20 menunjukkan sebanyak 76,7% contoh pada kelompok ibu tidak
bekerja dan 50% contoh pada ibu bekerja mendapat minuman pralaktal setelah
dilahirkan. Uji beda t menunjukkan terdapat perbedaan praktek pemberian minuman
pralaktal antara kedua kelompok (p<0,05). Jumlah contoh kelompok ibu tidak bekerja
yang mendapatkan minuman pralaktal lebih banyak daripada contoh kelompok ibu
bekerja.
Penyebab terbanyak pemberian minuman pralaktal ini adalah diberikan oleh
tenaga kesehatan yang menolong kelahiran contoh dan biasanya ibu mendapat paket
susu formula dari tenaga kesehatan. Pemberian susu formula sebagai minuman
39
pralaktal dapat dimengerti jika proses persalinan dengan cara operasi karena ibu
masih merasa sakit dan belum bisa bangun dari tempat tidur (Welford, 2001). Akan
tetapi jika proses persalinan secara normal maka pemberian susu formula sebagai
minuman pralaktal telah melanggar Kepmenkes No.237/Menkes/SK/IV/1997 tentang
aturan pemasaran susu formula.
Tabel 20. Sebaran Contoh menurut Pemberian Minuman Pralaktal
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)
Pemberian minuman pralaktal
n % n %
Diberikan
Tidak diberikan
23
7
76,7
23,3
15
15
50
50
Nilai p 0,0032*
Jenis Minuman Pralaktal
- Susu formula
- Madu
- Pisang
- Air putih

20
1
1
1

87,1
4,3
4,3
4,3

15
-
-
-

100
-
-
-
Alasan pemberian
- Diberikan oleh tenaga kesehatan
- Ibu khawatir bayi kurang minum
- Ibu belum pulih dari persalinan
- Mengikuti saran orangtua/paraji

18
2
1
2

78,3
8,7
4,3
8,7

13
-
2
-

86,7
-
13,3
-
* Nyata pada taraf kepercayaan 95%
Menurut Roesli (2001) pemberian minuman pralaktal dengan anjuran
bidan/dokter adalah hal yang sering ditemukan dan menjadi kebiasaan di sebagian
besar rumah sakit. Petugas kesehatan biasanya takut bayi kekurangan cairan dalam
beberapa hari setelah lahir karena ASI dianggap masih sedikit. Justru sebaliknya,
pemberian makanan pralaktal akan membuat bayi tidak mau mengisap dari payudara
ibunya karena bayi sudah kenyang.
Menurut Fikawati dan Safiq (2003), faktor luar misalnya nasihat dari tenaga
kesehatan, orangtua, mertua dan tetangga memiliki pengaruh yang kuat dalam
pemberian makanan pralaktal. Sebesar 8,7% contoh pada kelompok ibu tidak bekerja
mendapat madu setelah dilahirkan. Pemberian ini dianjurkan oleh orangtua responden
dan paraji.

40
Pemberian Kolostrum
Manfaat kolostrum bagi kekebalan tubuh bayi memang tidak diragukan lagi,
tetapi sosialisasi di masyarakat masih belum optimal. Meskipun sebagian besar
responden memberikan kolostrum kepada contoh, masih ada 10% contoh dari ibu
tidak bekerja dan 20% contoh dari ibu bekerja yang tidak diberikan kolostrum (Tabel
21). Responden yang tidak memberikan kolostrum beralasan karena cairan kolostrum
dapat menyebabkan penyakit bagi bayi, ada pula yang memberikan kolostrum ke
wajah bayi agar bayi terhindar dari koreng, dan kolostrum sengaja dibuang untuk
membersihkan ASI agar ASI tidak basi.
Responden yang memberikan kolostrum pun tidak semuanya benar-benar
mengetahui manfaat kolostrum. Sebesar 74,1% responden ibu tidak bekerja dan
83,3% responden bekerja memberikan kolostrum untuk kekebalan tubuh contoh.
Namun ada 25,9% responden ibu tidak bekerja yang memberikan kolostrum karena
mengikuti anjuran bidan/dokter, orangtua, dan maraji dan 16,7% responden ibu
bekerja yang memberikan kolostrum karena bagus untuk bayi. Hasil uji beda t
menunjukkan tidak terdapat perbedaan praktek pemberian kolostrum kepada baduta
contoh dari kedua kelompok.
Tabel 21. Sebaran Contoh menurut Pemberian Kolostrum
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)
Pemberian Kolostrum
n % n %
p
Diberikan
Tidak diberikan
27
3
90
10
24
6
80
20
0,286

Waktu Pemberian ASI Pertama
Menyusui segera setelah melahirkan dalam waktu kurang dari 30 menit
merupakan salah satu cara untuk mencegah pemberian minuman/makanan pralaktal.
Interaksi segera antara ibu dan bayi berkaitan erat dengan kesuksesan menyusui
berikutnya (Fikawati & Safiq, 2003). Di samping itu menurut Depkes (1996) daya
isap bayi pada saat itu merupakan yang paling kuat untuk merangsang produksi ASI.
Berdasarkan Tabel 22 waktu tercepat contoh mulai disusui oleh ibunya adalah
kurang dari 30 menit (6,7% contoh dari ibu tidak bekerja dan 30% contoh dari ibu
41
bekerja). Waktu terlama adalah lebih dari 24 jam yaitu 36,7% contoh dari ibu tidak
bekerja dan 30% contoh dari ibu bekerja, karena contoh dilahirkan melalui operasi
atau ASI baru keluar setelah satu hari pasca kelahiran. Sebagian besar contoh pada
kedua kelompok, disusui pertama kali pada waktu 1-24 jam setelah dilahirkan. Hasil
uji beda t menunjukkan waktu pemberian ASI pertama kepada baduta contoh tidak
berbeda antara kedua kelompok.
Tabel 22. Sebaran Contoh menurut Waktu Pemberian ASI
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)
Waktu Pemberian ASI
n % n %
p
30 menit
1 jam
1-24 jam
> 24 jam
2
6
11
11
6,7
20,0
36,7
36,7
9
1
11
9
30,0
3,3
36,7
30,0
0,194

Cara Menyusui
Cara menyusui yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi penggunaan
kedua payudara, frekuensi dan lama menyusui. Pada Tabel 23 dapat diketahui bahwa
70% contoh pada ibu tidak bekerja dan 83,3% contoh pada ibu bekerja disusui
dengan kedua payudara secara bergantian. Uji beda t menunjukkan bahwa cara
contoh disusui tidak berbeda antara kedua kelompok. Menurut Roesli (2001) bahwa
anak sebaiknya disusui dengan kedua payudara karena payudara yang dilupakan
bisa berhenti menghasilkan ASI, dan menimbulkan pembengkakan payudara.
Sedangkan responden yang menyusui hanya dengan satu payudara beralasan bahwa
ada bisul di salah satu puting, puting tidak keluar, ASI sedikit, responden lebih suka
menyusui pada satu posisi saja, dan contoh hanya mau disusui pada satu payudara.
Tabel 23. Sebaran Contoh menurut Cara Pemberian ASI
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Penggunaan kedua
payudara n % n %
p
Keduanya digunakan
Hanya sebelah
21
9
70
30
25
5
83,3
16,7
0,229

42
Tabel 24 menunjukkan bahwa 63,3% contoh pada kelompok ibu tidak bekerja
dan 56,7% contoh pada kelompok ibu bekerja sudah tidak mendapatkan ASI lagi.
Padahal menurut Krisnatuti dan Yenrina (2002), ASI tetap harus diberikan kepada
anak paling tidak sampai usia 24 bulan walaupun anak telah menerima makanan
pendamping ASI. Alasan yang dikemukakan oleh responden bermacam-macam di
antaranya ibu sudah hamil lagi, anak bingung puting sehingga lebih memilih susu
formula, ibu bekerja, ASI sudah tidak keluar, ibu sakit dan menjalani operasi
sehingga ASI dihentikan. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan praktek pemberian ASI saat ini oleh ibu di kedua kelompok kepada baduta
contoh.
Tabel 24. Sebaran Contoh menurut Pemberian ASI Saat Ini
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)
Pemberian ASI saat ini
n % n %
p
Masih diberikan
Tidak diberikan
11
19
36,7
63,3
13
17
43,3
56,7
0,605

Dari 36,7% responden ibu tidak bekerja dan 43,3% responden ibu bekerja
yang masih memberikan ASI sampai saat penelitian, frekuensi pemberian ASI sehari
sebagian besar responden di kedua kelompok adalah kurang dari 8 kali per hari
(Tabel 25). Hal ini disebabkan karena anak mendapat susu formula dan MPASI
sehingga ASI sudah bukan menjadi makanan utama. Proporsi terbanyak lama setiap
kali menyusui pada responden ibu tidak bekerja adalah lebih dari 30 menit (45,5%),
sedangkan pada responden ibu bekerja memiliki proporsi yang sama (38,5%) pada
waktu kurang dari 15 menit dan lebih dari 30 menit. Bagi responden yang bekerja,
kesempatan menyusui ketika pulang dari kerja yaitu malam hari sampai esok pagi
sebelum berangkat kerja. Biasanya responden baik yang bekarja maupun yang tidak
waktu menyusui paling lama adalah ketika menyusui pada saat anak akan tidur
malam sampai anak terlelap.
Sebesar 63,3% responden ibu tidak bekerja yang sudah tidak memberikan ASI
lagi mempunyai riwayat menyusui dengan frekuensi dalam sehari adalah lebih dari 8
kali (68,4%) dan proporsi lama pemberian ASI terbanyak adalah 15-30 menit
43
(42,1%). Sebesar 56,7% responden ibu bekerja mempunyai riwayat menyusui dengan
frekuensi kurang dari 8 kali sehari (58,8%) dan proporsi lama pemberian ASI
terbanyak 15 menit sampai lebih dari 30 menit (35,3%)
Tabel 25. Sebaran Contoh menurut Lama dan Frekuensi Menyusui
Ibu Tidak Bekerja (n=11) Ibu Bekerja (n=13)
Pemberian ASI
n % n %
Lama menyusui sekarang
<15 menit
15-30 menit
>30 menit

2
4
5

18,2
36,4
45,4

5
3
5

38,5
23,0
38,5
Frekuensi menyusui sekarang
<8 kali/hari
8 kali/hari

6
5

54,5
45,5

10
3

76,9
23,1

Tabel 26 menunjukkan bahwa sebanyak 50% responden ibu tidak bekerja dan
60% responden ibu bekerja pernah menggunakan pompa payudara. Pompa ini
digunakan oleh responden untuk memasukkan ASI ke dalam botol, merangsang ASI
untuk keluar karena ASI sedikit, membuang ASI karena payudara ibu terasa
penuh/bengkak, ada pula yang disebabkan karena puting ibu terluka.
Tabel 26. Sebaran Contoh menurut Penggunaan Pompa Payudara
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)
Penggunaan pompa payudara
n % n %
Pernah
Tidak pernah
15
15
50
50
18
12
60
40

Tabel 27 menggambarkan praktek pemberian ASI saat contoh sedang sakit
dan jika menolak diberikan ASI. Sebesar 96,7% contoh di kedua kelompok tetap
diberikan ASI ketika contoh sedang sakit. Sebanyak 46,7% responden ibu tidak
bekerja dan 33,3% responden ibu bekerja menyatakan memberikan susu formula jika
contoh menolak diberikan ASI. Seharusnya ibu tetap memberikan ASI di lain waktu
karena ASI merupakan makanan terbaik bagi anak daripada susu formula. Uji beda t
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok mengenai
praktek pemberian ASI ketika baduta contoh sedang sakit dan ketika menolak
diberikan ASI.
44
Tabel 27. Sebaran Contoh menurut Pemberian ASI saat Anak Sakit
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)
Pemberian ASI
n % n %
p
Jika anak sakit
- Tetap diberi ASI
- Tidak diberi ASI

29
1

96,7
3,3

29
1

96,7
3,3
1,000
Jika anak menolak ASI
- Tetap diberi ASI
- Diberikan susu formula

16
14

53,3
46,7

20
10

66,7
33,3
0,300

Berdasarkan Tabel 28, pola pemberian ASI 33,3% responden tidak bekerja
dan 63,3% responden bekerja termasuk kategori baik. Hasil uji beda Mann Whitney
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pola pemberian ASI antara kelompok ibu
tidak bekerja dengan kelompok ibu bekerja (p<0,05). Hal ini diduga karena tingkat
pengetahuan gizi ibu juga berbeda.
Tabel 28. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian ASI
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Kategori Pola
Pemberian ASI n % n %
p
Baik (skor 22-28)
Sedang (skor 15-21)
Kurang (skor 7-14)
10
19
1
33,3
63,3
3,3
19
9
2
63,3
30,0
6,7
0,044*
* Nyata pada taraf kepercayaan 95%
Pola pemberian ASI yang baik adalah apabila ibu memberikan ASI pertama
segera setelah melahirkan sehingga mencegah pemberian minuman pralaktal, ibu
memberikan kolostrum, menyusui dengan kedua payudara, dan anak masih
mendapatkan ASI sampai berusia 24 bulan. Pola pemberian ASI pada kategori sedang
dan kurang berarti tidak memenuhi salah satu atau lebih dari indikator di atas.
Pola Pemberian Susu Formula
Pola pemberian susu formula adalah pemberian susu formula yang dilakukan
oleh ibu kepada anak, meliputi usia contoh saat diberikan susu formula, alasan
pemberian susu formula, sumber informasi tentang susu formula, frekuensi
pemberian susu formula, penggunaan sendok takar dan ketepatan takaran, cara
membersihkan botol susu dan pemberian air susu formula yang bersisa. Menurut
45
Winarno (1995), ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberian
susu formula yaitu : peralatan makanan yang digunakan, cara pembersihan alat, serta
cara pemberian susu formula.
Waktu Pemberian Susu Formula Pertama
Berdasarkan Tabel 29 sebanyak 36,7% contoh dari ibu tidak bekerja dan 40%
contoh dari ibu bekerja diberikan susu formula saat contoh berumur kurang dari 1
bulan. Susu formula dapat diberikan kepada bayi, setelah berumur sekurang-
kurangnya 4 bulan atau apabila memungkinkan 6 bulan (Krisnatuti & Yenrina, 2002).
Pemberian susu formula sejak dini merupakan penyebab kegagalan pemberian ASI
eksklusif. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan waktu pemberian
susu formula antara kedua kelompok.
Tabel 29. Sebaran Contoh menurut Waktu Pemberian Susu Formula Pertama
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Usia anak diberi susu
formula pertama n % n %
p
<1 bulan
1-3 bulan
4-6 bulan
>6 bulan
11
2
8
9
36,7
6,7
26,6
30,0
12
10
4
4
40,0
33,4
13,3
13,3
0,104

Alasan Pemberian Susu Formula
Alasan responden ibu tidak bekerja memberikan susu formula adalah agar
anak sehat, pintar dan bertambah berat badannya (23,3%), ASI sedikit/kurang
sehingga anak masih lapar (16,7%), anak menolak ASI (13,3%), dan ibu sakit (6,7%).
Sedangkan responden ibu bekerja beralasan karena ibu bekerja (50%), ASI
sedikit/kurang sehingga anak masih lapar (20%), membiasakan anak minum susu jika
ibu mulai bekerja (10%), anak bingung puting dan rewel (6,7%), ibu sakit (3,3%), ibu
hamil lagi (3,3%).
Pemberian susu formula kepada bayi hanya diperbolehkan apabila ibu tidak
bisa memberikan ASI karena keadaan tertentu yaitu ibu meninggal, ibu sakit keras
atau indikasi medis (Depkes, 1985); ibu menderita infeksi, luka puting (mastitis), ibu
mengalami gangguan jiwa atau epilepsi (Sulistijani & Herlianty, 2003).
46
Sumber Informasi Susu Formula
Tabel 30 menerangkan bahwa sumber informasi yang paling banyak
mendorong responden untuk menggunakan jenis susu formula tertentu adalah dari
keluarga (56,7% responden tidak bekerja dan 53,3% responden bekerja). Selain itu
kemasan produk susu formula turut mempengaruhi responden dalam menggunakan
susu formula. Bagi ibu bekerja, rekan kerja turut membantu dalam memilih jenis susu
formula. Dari penelusuran informasi lebih lanjut, sebagian besar responden yang
melahirkan di tempat pelayanan kesehatan mengatakan bahwa mereka mendapatkan
bingkisan susu formula bayi dari pihak yang membantu persalinan tersebut.
Responden merasa sayang jika susu formula tersebut tidak diberikan kepada contoh.
Tabel 30. Sebaran Contoh menurut Sumber Informasi Susu Formula
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)
Sumber info susu formula
n % n %
Keluarga
Dokter/bidan
Teman/rekan kerja
Media massa
17
8
-
5
56,7
26,7
-
16,6
16
8
3
3
53,3
26,7
10
10

Frekuensi Pemberian Susu Formula
Frekuensi pemberian susu formula saat ini pada kedua kelompok contoh
adalah kurang dari 8 kali per hari (73,3%) dan lebih dari 8 kali sehari (26,7%).
Padahal menurut informasi aturan penyajian susu formula yang tertera di kemasan,
susu formula hanya diberikan sebanyak 2-3 atau 3-4 kali per hari. Berdasarkan
perbandingan praktek pemberian dengan aturan di kemasan susu formula, sebesar
63,3% responden ibu tidak bekerja dan 66,7% responden ibu bekerja tidak tepat
dalam frekuensi pemberian susu formula kepada contoh. Menurut Depkes RI (1994)
bila pemberian berlebihan maka akan menyebabkan obesitas serta beban kerja ginjal
dan pencernaan. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan ketepatan
frekuensi pemberian susu formula antara kedua kelompok.


47
Tabel 31. Sebaran Contoh menurut Ketepatan Frekuensi Pemberian Susu Formula
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Ketepatan Frekuensi
pemberian susu formula n % n %
p
Tepat (2-4x perhari)
Tidak Tepat (>4x perhari)
11
19
36,7
63,3
10
20
33,3
66,7
1,000

Cara Penyajian Susu Formula
Dalam pembuatan susu fomula sebaiknya menggunakan sendok takar yang
tersedia di dalam kemasan untuk menghindari pemberian bubuk susu berlebih atau
malah kurang. Tabel 32 menjelaskan bahwa sebanyak 73,3% responden ibu tidak
bekerja dan 100% responden ibu bekerja menggunakan sendok takar. Hasil uji beda t
menunjukkan bahwa ada perbedaan penggunaan sendok takar susu formula antara
kedua kelompok (p<0,01). Jumlah responden ibu bekerja yang menggunakan sendok
takar lebih banyak daripada responden ibu tidak bekerja.
Tabel 32. Sebaran Contoh menurut Penggunaan Sendok Takar
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Penggunaan sendok
takar n % n %
p
Ya
Tidak
22
8
73,3
26,7
30
-
100
-
0,002**
** Nyata pada taraf kepercayaan 99%

Responden yang tidak menggunakan sedok takar dikarenakan tidak terdapat
sendok takar di dalam kemasan susu formula sehingga mereka menggunakan sendok
teh atau sendok makan sebagai pengganti sendok takar. Dari penelusuran informasi
lebih lanjut ada responden yang menggunakan sendok takar dari merek susu
sebelumnya. Dari 14 merek susu formula yang digunakan responden, hanya 4 merek
yang tidak menyertakan sendok takar di dalam kemasannya.
Selain frekuensi pemberian, ketepatan dalam menakar banyaknya bubuk susu
dan volume air yang diberikan responden juga penting untuk diteliti. Dari Tabel 33
dapat diketahui bahwa 66,7% responden ibu tidak bekerja dan 63,3% responden ibu
bekerja tidak mengikuti aturan penyajian di kemasan produk susu secara tepat
sehingga mengencerkan dengan tidak tepat. Sebesar 56,7% responden ibu tidak
bekerja dan 53,4% responden ibu bekerja memberikan takaran bubuk susu sebanyak
48
4 sendok. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan ketepatan
pengenceran susu formula antara kedua kelompok.
Pemberian susu formula jika terlalu kental dapat menimbulkan diare, tetapi
jika terlalu encer kurang mengandung zat gizi yang diperlukan. Oleh karena itu dalam
pemberian susu formula sebaiknya mengikuti aturan takaran yang ada pada kemasan,
agar dapat mencampur susu dalam takaran yang tepat (Arisman, 2002). Menurut
Krisnatuti dan Yenrina (2002), untuk memilih produk susu formula harus
diperhatikan beberapa hal, antara lain kandungan zat gizi, komponen-komponen yang
terkandung di dalamnya, metode pengolahan yang tertera dalam label, dan
diperhatikan pula masa kadaluwarsanya sehingga aman untuk dikonsumsi oleh bayi.
Tabel 33. Sebaran Contoh menurut Ketepatan Pengenceran
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Ketepatan
Pengenceran n % n %
p
Tepat
Tidak tepat
10
20
33,3
66,7
11
19
36,7
63,3
0,791

Cara Membersihkan Alat
Salah satu hal yang penting diperhatikan dalam memberikan susu formula
adalah cara membersihkan botol susu karena botol dan dot susu mudah
terkontaminasi kuman. Tabel 34 menjelaskan bahwa sebanyak 80% responden tidak
bekerja dan 83,3% responden bekerja merebus botol dan dot susu walaupun tidak
setiap kali memberikan susu. Hal ini disebabkan jumlah botol yang dimiliki tidak
banyak sehingga setelah dicuci hanya dikocok-kocok dengan air panas atau direndam
air panas. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan praktek
perebusan botol susu pada kedua kelompok.
Tabel 34. Sebaran Contoh menurut Cara Membersihkan Botol Susu
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)
Merebus botol
n % n %
p
Direbus
Tidak
24
6
80
20
25
5
83,3
16,7
0,744

49
Menurut Muchtadi (2002), semua alat makan/minum sebaiknya segera dicuci
setelah digunakan, menggunakan air dingin dan sabun atau deterjen dengan memakai
sikat botol. Setelah itu disterilisasi dengan air mendidih selama 5-10 menit, tiriskan
dan keringkan. Kemudian disimpan dalam keadaan tertutup sampai saatnya
digunakan. Proses sterilisasi ini dilakukan sedikitnya satu atau dua kali sehari.
Apabila sterilisasi ini tidak mungkin dilakukan, alat makan/minum dapat dicuci
menggunakan air panas lalu dibilas dengan air matang yang telah dingin atau larutan
garam. Setelah ditiriskan dan dikeringkan, peralatan ditaruh dalam keadaan tertutup.
Tetapi tetap usahakan untuk melakukan pendidihan minimal sekali dalam sehari.
Peran serta ayah dalam memberikan susu formula turut meringankan beban
ibu dan mempererat ikatan emosional dengan anak. Sebanyak 96,7% ayah pada ibu
tidka bekerja dan 86,7% ayah pada ibu bekerja terbiasa membuatkan susu
formula/susu botol pada contoh. Pemberian susu oleh ayah ini biasanya dilakukan
pada malam hari saat anak merasa haus.
Pemberian Sisa Air Susu Formula
Terkadang anak tidak segera menghabiskan susu formula. Responden yang
memberikan sisa air susu formula sebanyak 53,3% ibu tidak bekerja dan 43,3%
responden bekerja (Tabel 35). Mereka memberikan sisa air susu dengan tenggang
waktu yang menurut responden masih bisa diberikan yaitu jika masih kurang dari 2-3
jam. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pemberian sisa air susu
formula antara kedua kelompok.
Menurut Muchtadi (2002), air susu formula yang tersisa hanya dapat tahan
selama 1-2 jam dalam keadaan tertutup pada suhu ruang, kecuali bila disimpan dalam
lemari es. Sedangkan menurut Arisman (2002) sisa air susu yang tidak disimpan di
dalam lemari es seharusnya tidak digunakan lagi (bila disimpan di lemari es masih
bisa digunakan paling lama 4 jam). Responden yang langsung membuang sisa air
susu khawatir jika sisa air diberikan dapat menyebabkan anak sakit karena susu sudah
basi atau sudah tidak bagus lagi untuk diminum, ada pula yang beralasan karena anak
yang sudah tidak mau lagi karena susu sudah dingin.
50
Tabel 35. Sebaran Contoh menurut Pemberian Sisa Air Susu Formula
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Pemberian sisa air
susu formula n % n %
p
Diberikan
Tidak diberikan
16
14
53,3
46,7
13
17
43,3
56,7
0,087

Tabel 36 menyajikan kategori pola pemberian susu formula. Sebagian besar
responden (60% responden tidak bekerja dan 56,7% responden bekerja) termasuk
kategori sedang dan tidak ada responden yang masuk dalam kategori kurang. Hasil uji
beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pola pemberian susu
formula pada kedua kelompok.
Tabel 36. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian Susu Formula
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Kategori Pola
Pemberian Susu Formula n % n %
p
Baik (skor 19-24)
Sedang (skor 13-18)
Kurang (skor 6-12)
12
18
-
40
60
-
13
17
-
43,3
56,7
-
0,795

Pola pemberian susu formula yang baik adalah apabila susu formula diberikan
saat usia anak di atas 6 bulan, mengikuti aturan penyajian baik frekuensi maupun cara
pengenceran sesuai dengan yang ada di kemasan, merebus botol dan dot susu, dan
tidak memberikan sisa air susu setelah 3 jam. Pola pemberian ASI pada kategori
sedang dan kurang berarti tidak memenuhi salah satu atau lebih dari indikator di atas.
Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI)
Pola pemberian MPASI adalah praktek pemberian MPASI yang diterapkan
responden kepada contoh yang berkaitan dengan cara dan situasi pemberian MPASI.
Pola pemberian MPASI yang diteliti meliputi waktu pemberian MPASI pertama dan
jenis MPASI pertama.
Waktu Pemberian MPASI Pertama
Berdasarkan Tabel 37 diketahui sebanyak 80% contoh kelompok ibu tidak
bekerja dan 83,3% contoh kelompok ibu bekerja sudah diberikan MP-ASI sejak
51
berumur kurang dari 6 bulan. Uji beda t menunjukkan tidak ada perbedaan umur
contoh pada pemberian MPASI pertama pada kelompok ibu tidak bekerja dengan
kelompok ibu bekerja.
Orang yang berperan dalam pemberian MP-ASI lebih dini umumnya (36%)
adalah tenaga kesehatan (bidan/dokter). Sedangkan sisanya karena pengaruh media
massa dan membaca informasi pada kemasan produk MPASI (24%), mengikuti saran
orangtua (20%), membaca dari buku dan Kartu Menuju Sehat (KMS) (20%). Menurut
Masoara (2001) hal tersebut terjadi karena adanya kekhawatiran ibu dalam beberapa
hari setelah melahirkan merasa ASI tidak mencukupi sehingga mereka memberikan
MP-ASI lebih dini. Sebaran sampel berdasarkan umur bayi mulai diberi MP-ASI
dapat dilihat pada Tabel 37.
Tabel 37. Sebaran Contoh menurut Umur Pemberian MPASI Pertama
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Umur anak
diberi MPASI n % n %
p
<6 bulan
6 bulan
24
6
80
20
25
5
83,3
16,7
0,785

Alasan pemberian MP-ASI lebih cepat karena menurut responden sudah
waktunya MPASI diberikan (51%). Alasan yang lainnya adalah : anak menangis terus
karena lapar (32,6%), untuk memperkenalkan/membiasakan anak untuk makan
(14,3%), dan agar berat badan anak meningkat (2%). Berbagai alasan ini
menunjukkan ketidaktahuan ibu tentang pemberian makanan yang tepat kepada bayi.
Pemberian MPASI yang terlalu dini (<6 bulan) akan berdampak pada
terganggunya sistem metabolisme atau pencernaan karena bayi belum siap mencerna
makanan selain ASI dan asupan gizi yang diberikan tidak sesuai dengan
kebutuhannya. Sebaliknya, penundaan pemberian makanan dapat menghambat
pertumbuhan jika energi dan zat gizi yang dihasilkan oleh ASI tidak mencukupi lagi
kebutuhannya (Pudjiadi, 2000).


52
Jenis MPASI
Pemberian makanan pendamping harus bertahap dan bervariasi, mulai dari
bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat,
makanan lembek dan akhirnya makanan padat (Sulistijani & Herlianty, 2003).
Menurut Depkes (2000), makanan bayi berumur 4-6 bulan adalah makanan lumat
halus seperti bubur susu, bubur sumsum, biskuit ditambah air panas, pepaya saring,
pisang saring, dll.
Tabel 38 menunjukkan bahwa MP-ASI yang banyak diberikan adalah bubur
bayi komersial dan biskuit bayi (46,7% contoh kelompok ibu tidak bekerja dan 40%
contoh kelompok ibu bekerja). Jenis makanan ini diberikan kepada bayi mungkin
karena pembuatannya praktis dan bisa cepat diberikan. Selain itu promosi bubur bayi
dan biskuit bayi komersial sangat gencar di masyarakat.
Tabel 38. Sebaran Contoh menurut Jenis MPASI Pertama
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)
Jenis MPASI pertama
n % n %
Bubur bayi komersial
Biskuit bayi komersial
Pisang dilumatkan
Sari buah
Bubur nasi saring
14
10
5
1
-
46,7
33,3
16,7
3,3
-
12
10
5
1
2
40
33,4
16,6
3,3
6,7

Tabel 39 menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan jenis MPASI pertama
pada kedua kelompok contoh berdasarkan uji beda Mann Whitney. Walaupun saat ini
makanan bayi komersial banyak dijumpai di pasaran, sebaiknya ibu menyiapkan
sendiri MPASI dengan menggunakan bahan pangan lokal. Menurut Krisnantuti dan
Yenrina (2002), MPASI menggunakan bahan pangan lokal memiliki beberapa
keuntungan yaitu harga yang murah dan mudah didapat, kandungan zat gizi yang
lengkap, serta bentuk dan rasanya lebih bervariasi.



53
Tabel 39. Sebaran Contoh menurut Kategori Jenis MPASI Pertama
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Kategori Jenis
MPASI pertama n % n %
p
Instan/komersial
Alami/buatan sendiri
24
6
80,0
20,0
22
8
73,3
26,7
0.545

Tabel 40 menyajikan kategori pola pemberian MPASI. Sebagian besar
responden (56,7% responden tidak bekerja dan 66,7% responden bekerja) termasuk
kategori sedang. Hal ini diduga disebabkan karena sebagian besar responden
memiliki akses informasi gizi dan kesehatan anak yang cukup baik dan tingkat
pengetahuan gizi yang baik. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan pola pemberian susu formula pada kedua kelompok.
Tabel 40. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian MPASI Pertama
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) Kategori Pola
Pemberian MPASI
n % n %
p
Baik (skor 7-8)
Sedang (skor 5-6)
Kurang (skor 2-4)
8
17
5
26,7
56,7
16,7
5
20
5
16,7
66,7
16,7
0,522

Kesulitan Makan pada Anak
Pola makanan anak usia 13-23 bulan adalah makanan padat seperti orang
dewasa. Ada kalanya anak sulit makan atau memilih makanan tertentu saja sehingga
ibu khawatir asupan gizi anak berkurang. Sebanyak 56,7% responden tidak bekerja
dan 40% responden bekerja memberikan ASI atau susu formula saat anak sulit
makan. Kelemahan dari pemberian ini adalah anak sudah terlanjur kenyang meminum
susu formula sehingga nafsu makannya berkurang. Padahal kebutuhan zat gizi tidak
bisa dipenuhi hanya dari susu formula. Sebesar 33,3% responden tidak bekerja dan
43,3% responden bekerja memilih memberikan makanan jajanan jika anak susah
makan. Makanan jajanan yang biasanya diberikan adalah biskuit, coklat, bakso, roti,
lontong isi, dan kue.


54
Tabel 41. Sebaran Contoh menurut Praktek Pemberian Makanan
Saat Anak Sulit Makan
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)
Jika anak susah makan
n % n %
Dibiarkan
Dikasih ASI atau susu
Dikasih makanan jajanan
Lainnya
1
17
10
2
3,3
56,7
33,3
106,7
2
12
13
3
6,7
40
43,3
10

Konsumsi Pangan Anak Baduta
Konsumsi Energi
Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total energi contoh
sebesar 1250,7 kkal/hari. Rata-rata konsumsi energi dari ASI sebesar 98,8 kkal/hari
atau menyumbang 9,8%; dari susu formula sebesar 516,7 kkal/hari, menyumbang
37,5%; dari makanan sebesar 636,2 kkal/hari, menyumbang 52,8%. Rata-rata tingkat
konsumsi energi contoh sebesar 141,9%. Kontribusi energi dari ASI terhadap tingkat
konsumsi adalah 7,9%, susu formula sebesar 41,0% dan makanan sebesar 51,1%.
Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total energi contoh sebesar
1358,1 kkal/hari. Rata-rata konsumsi energi dari ASI sebesar 93,9 kkal/hari,
menyumbang 8,4%; dari susu formula sebesar 583,1 kkal/hari, menyumbang 40,2%;
dari makanan sebesar 681,1 kkal/hari, menyumbang 51,4%. Rata-rata tingkat
konsumsi energi contoh sebesar 152,6%. Kontribusi energi dari ASI terhadap tingkat
konsumsi adalah sebesar 7,4%, susu formula sebesar 41,6% dan makanan sebesar
51,0%.
Konsumsi Protein
Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total protein contoh
sebesar 44,5 g/hari. Rata-rata konsumsi protein dari ASI sebesar 1,7 g/hari atau
menyumbang 5,9%; dari susu formula sebesar 21,5 g/hari atau menyumbang 45,1%;
dari makanan sebesar 21,3 g/hari atau menyumbang 49,1%. Rata-rata tingkat
konsumsi protein contoh sebesar 202,7%. Kontribusi protein dari ASI terhadap
55
tingkat konsumsi adalah sebesar 3,7%, dari susu formula sebesar 48,0% dan dari
makanan sebesar 48,3%.
Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total protein contoh sebesar
47,1 g/hari. Rata-rata konsumsi protein dari ASI sebesar 1,6 g/hari atau menyumbang
5,4%; dari susu formula sebesar 23,3 g/hari atau menyumbang 45,4%; dari makanan
sebesar 22,2 g/hari atau menyumbang 49,2%. Rata-rata tingkat konsumsi protein
contoh sebesar 210,9%. Kontribusi protein dari ASI terhadap tingkat konsumsi
adalah sebesar 3,6%, dari susu formula sebesar 48,4% dan dari makanan sebesar
48,0%.
Konsumsi Vitamin A
Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total vitamin A contoh
sebesar 839,3 RE/hari. Rata-rata konsumsi vitamin A dari ASI sebesar 105,4 RE/hari
atau menyumbang 17,3%; dari susu formula sebesar 210,8 RE/hari atau menyumbang
22,5%; dari makanan sebesar 523,2 RE/hari atau menyumbang 60,2%. Rata-rata
tingkat konsumsi vitamin A contoh sebesar 249,8%. Kontribusi vitamin A dari ASI
terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 12,1%, dari susu formula sebesar 23,5%
dan dari makanan sebesar 64,4%.
Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total vitamin A contoh sebesar
976,4 RE/hari. Rata-rata konsumsi vitamin A dari ASI sebesar 101,1 RE/hari atau
menyumbang 14,7%; dari susu formula sebesar 251,5 RE/hari atau menyumbang
27,9%; dari makanan sebesar 623,8 RE/hari atau menyumbang 57,4%. Rata-rata
tingkat konsumsi vitamin A contoh sebesar 287,3%. Kontribusi vitamin A dari ASI
terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 10,5%, dari susu formula sebesar 23,2%
dan dari makanan sebesar 64,4%.
Konsumsi Vitamin C
Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total vitamin C contoh
sebesar 97,2 mg/hari. Rata-rata konsumsi vitamin C dari ASI sebesar 4,06 mg/hari
atau menyumbang 7,5%; dari susu formula sebesar 57,3 mg/hari atau menyumbang
61,2%; dari makanan sebesar 35,9 mg/hari atau menyumbang 31,3%. Rata-rata
tingkat konsumsi vitamin C contoh sebesar 220,6%. Kontribusi vitamin C dari ASI
56
terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 4,2%, dari susu formula sebesar 59,5% dan
dari makanan sebesar 36,3%.
Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total vitamin C contoh sebesar
87,5 mg /hari. Rata-rata konsumsi vitamin C dari ASI sebesar 3,9 mg/hari atau
menyumbang 6,6%; dari susu formula sebesar 65,5 mg/hari atau menyumbang
66,0%; dari makanan sebesar 18,2 mg/hari atau menyumbang 27,4%. Rata-rata
tingkat konsumsi vitamin C contoh sebesar 195,2%. Kontribusi vitamin C dari ASI
terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 4,8%, dari susu formula sebesar 72,6% dan
dari makanan sebesar 22,6%.
Konsumsi Kalsium
Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total kalsium contoh
sebesar 888,80 mg/hari. Rata-rata konsumsi kalsium dari ASI sebesar 53,13 mg/hari
atau menyumbang 13,8%; dari susu formula sebesar 626,7 mg/hari atau menyumbang
46,9%; dari makanan sebesar 209,0 mg/hari atau menyumbang 39,3%. Rata-rata
tingkat konsumsi kalsium contoh sebesar 201,4%. Kontribusi kalsium dari ASI
terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 6,0%, dari susu formula sebesar 69,7% dan
dari makanan sebesar 24,3%.
Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total kalsium contoh sebesar
929,7 mg /hari. Rata-rata konsumsi kalsium dari ASI sebesar 51,0 mg/hari atau
menyumbang 9,9%; dari susu formula sebesar 742,9 mg/hari atau menyumbang
62,5%; dari makanan sebesar 135,8 mg/hari atau menyumbang 27,6%. Rata-rata
tingkat konsumsi kalsium contoh sebesar 199,9%. Kontribusi kalsium dari ASI
terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 6,1%, dari susu formula sebesar 77,8% dan
dari makanan sebesar 16,1%.
Konsumsi Zat Besi
Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total zat besi contoh
sebesar 13,6 mg/hari. Rata-rata konsumsi zat besi dari ASI sebesar 0 mg/hari, dari
susu formula sebesar 9,03 mg/hari atau menyumbang 62,9%; dari makanan sebesar
4,6 mg/hari atau menyumbang 37,1%. Rata-rata tingkat konsumsi zat besi contoh
57
sebesar 223,6%. Kontribusi zat besi dari ASI terhadap tingkat konsumsi adalah
sebesar 0%, dari susu formula sebesar 66,1% dan dari makanan sebesar 33,9%.
Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total zat besi contoh sebesar
14,05 mg /hari. Rata-rata konsumsi zat besi dari ASI sebesar 0 mg/hari, dari susu
formula sebesar 9,94 mg/hari atau menyumbang 62,6%; dari makanan sebesar 4,1
mg/hari atau menyumbang 37,4%. Rata-rata tingkat konsumsi zat besi contoh sebesar
222,4%. Kontribusi zat besi dari ASI terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 0%,
dari susu formula sebesar 69,2% dan dari makanan sebesar 30,8%.
Konsumsi total energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi
pada kedua kelompok contoh sudah memenuhi angka kecukupan yang dianjurkan dan
sebagian besar contoh termasuk kategori cukup. Berdasarkan uji beda Mann Whitney
tidak ada perbedaan kategori tingkat kecukupan energi pada kedua kelompok (Tabel
42).
Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan konsumsi total,
konsumsi ASI, susu formula dan makanan pada seluruh zat gizi (protein, vitamin A,
vitamin C, kalsium, dan zat besi) di kedua kelompok contoh (Tabel 44). Demikian
pula untuk kontribusi energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi dari
ASI, susu formula, dan makanan terhadap konsumsi total dan tingkat konsumsi tidak
ada perbedaan menurut uji beda t pada kedua kelompok contoh (Tabel 43 dan 44).
Contoh pada kelompok ibu tidak bekerja memiliki kontribusi terbesar
terhadap tingkat konsumsi energi, protein, dan vitamin A yang berasal dari makanan.
Kontribusi terbesar terhadap tingkat konsumsi vitamin C, kalsium, dan zat besi
berasal dari susu formula. Sedangkan contoh pada kelompok ibu bekerja memiliki
kontribusi terbesar terhadap tingkat konsumsi energi dan vitamin A yang berasal dari
makanan. Kontribusi terbesar terhadap tingkat konsumsi protein, vitamin C, kalsium,
dan zat besi berasal dari konsumsi susu formula.




58
Tabel 42. Sebaran Contoh menurut Kategori Tingkat Konsumsi
*)

Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)
Tingkat Konsumsi
n % n %
p
Energi
- Kurang (<70% AKG)
- Cukup (70% AKG)

2
28

6,7
93,3

-
30

-
100
0,154
Protein
- Kurang (<70% AKG)
- Cukup (70% AKG)

1
29

3,3
96,7

1
29

3,3
96,7
1,000
Vitamin A
- Kurang (<70% AKG)
- Cukup (70% AKG)

7
23

23,3
76,7

3
27

10
90
0,169
Vitamin C
- Kurang (<70% AKG)
- Cukup (70% AKG)

-
30

-
100

-
30

-
100
1,000
Kalsium
- Kurang (<70% AKG)
- Cukup (70% AKG)

9
21

30
70

5
25

16,7
83,3
0,226
Zat Besi
- Kurang (<70% AKG)
- Cukup (70% AKG)

1
29

3,3
96,7

1
29

3,3
96,7
1,000

Tabel 43. Sebaran Contoh menurut Tingkat Konsumsi Zat Gizi dan
Kontribusi terhadap Tingkat Konsumsi
Kontribusi terhadap Tingkat Konsumsi (%)
Responden
Tingkat Konsumsi
(%) ASI
*)
Susu Formula Makanan
Energi
- Ibu tidak bekerja
- Ibu bekerja
- Uji beda t
141,9
152,6
p=0,326

7,9
7,4
p=0,991

41,0
41,6
p=0,596

51,1
51,0
p=0,341
Protein
- Ibu tidak bekerja
- Ibu bekerja
- Uji beda t
202,7
210,9
p=0,680

3,7
3,6
p=0,991

48,0
48,4
p=0,773

48,3
48,0
p=0,617
Vitamin A
- Ibu tidak bekerja
- Ibu bekerja
- Uji beda t
249,8
287,3
p=0,707

12,1
10,5
p=0,991

23,5
23,2
p=0,727

64,4
66,3
p=0,766
Vitamin C
- Ibu tidak bekerja
- Ibu bekerja
- Uji beda t
220,6
195,2
p=0,589

4,2
4,8
p=0,991

59,5
72,6
p=0,780

36,3
22,6
p=0,280
Kalsium
- Ibu tidak bekerja
- Ibu bekerja
- Uji beda t

201,4
199,9
p=0,971

6,0
6,1
p=0,991

69,7
77,8
p=0,707

24,3
16,1
p=0,138
Zat Besi
- Ibu tidak bekerja
- Ibu bekerja
- Uji beda t
223,6
222,4
p=0,974

0,00
0,00
-
**)


66,1
69,2
p=0,852

33,9
30,8
p=0,691
*)
Konsumsi ASI dihitung berdasarkan estimasi WHO (2000), dengan kandungan energi=69
kkal/100mL, protein=10,5 g/L, vitamin A=500 g RE/L, vitamin C=40 mg/L, kalsium=280 mg/L,
zat besi=0,30 mg/L.
**)
Uji beda t pada konstribusi ASI tidak ada karena nilai standar deviasinya adalah 0 (nol).
59























60
Hubungan Berbagai Variabel dengan Pola Pemberian ASI dan Susu Formula
Karakteristik Keluarga dengan Pola Pemberian ASI
Umur Ibu. Pada Tabel 45 dapat dilihat responden ibu tidak bekerja yang
memiliki pola pemberian ASI yang baik berada pada rentang umur 20-29 tahun
(16,7%) dan 30-39 tahun (16,7%). Sedangkan pada responden ibu bekerja pada
rentang umur 20-29 tahun (16,7%) dan 30-39 tahun (46,7%). Pada keluarga ibu tidak
bekerja, hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif yang tidak nyata antara umur ibu dengan pola pemberian ASI. Hal ini berarti
ada kecenderungan semakin bertambah umur ibu yang tidak bekerja maka semakin
baik pula pola pemberian ASI yang dilakukan. Sedangkan pada keluarga ibu bekerja
terdapat hubungan negatif yang tidak nyata antara umur ibu dengan pola pemberian
ASI. Jadi terdapat kecenderungan semakin bertambah umur ibu yang bekerja maka
pola pemberian ASI yang dilakukan menjadi kurang.
Menurut Pudjiadi (2000), umur bagi seorang ibu merupakan faktor yang turut
menentukan dalam produksi ASI. Ibu yang berumur antara 19-23 tahun umumnya
menghasilkan ASI yang lebih banyak dibandingkan ibu yang berumur tiga puluhan.
Pendidikan Ibu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi terbanyak
responden ibu tidak bekerja yang memiliki pola pemberian ASI yang baik
berpendidikan tamat SMU (23,3%) dan hanya 6,7% yang berpendidikan lulusan
perguruan tinggi. Sedangkan pada kelompok ibu bekerja proporsi terbanyak yang
memiliki pola pemberian ASI yang baik merupakan lulusan perguruan tinggi
(40,0%). Uji Rank Spearman pada Tabel 43 menjelaskan bahwa adanya hubungan
negatif yang tidak nyata antara pendidikan ibu dengan pola pemberian ASI pada
kedua kelompok contoh. Dapat dikatakan terdapat kecenderungan semakin tinggi
pendidikan ibu yang tidak bekerja maupun yang bekerja maka pola pemberian ASI
yang dilakukan semakin kurang.
Pendapatan Keluarga. Berdasarkan Tabel 45 terlihat bahwa proporsi terbesar
pendapatan keluarga responden ibu tidak bekerja yang memiliki pola pemberian ASI
yang baik berada pada kategori Rp 150.000-Rp 449.999 sebanyak 20,0% dan hanya
61
3,3% yang berpendapatan Rp 1.000.000. Proporsi terbesar pendapatan keluarga
responden ibu bekerja yang memiliki pola pemberian ASI yang baik berada pada
kategori Rp 750.000-Rp 999.999 sebanyak 20,0% dan pada kategori Rp 1.000.000
sebanyak 16,7%. Pada keluarga ibu tidak bekerja, hasil uji korelasi Rank Spearman
menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang tidak nyata antara pendapatan
keluarga dengan pola pemberian ASI. Dengan kata lain ada kecenderungan pada ibu
tidak bekerja, semakin tinggi pendapatan keluarga maka pola pemberian ASI semakin
kurang. Sedangkan pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang tidak
nyata antara pendapatan keluarga dengan pola pemberian ASI. Hal ini berarti pada
ibu yang bekerja terdapat kecenderungan semakin tinggi pendapatan maka semakin
baik pola pemberian ASI.
Besar Keluarga. Proporsi terbesar responden ibu tidak bekerja yang memiliki
pola pemberian ASI yang baik berada pada kategori keluarga kecil (26,7%) dan
hanya 6,7% yang merupakan keluarga sedang. Proporsi terbesar responden ibu
bekerja yang memiliki pola pemberian ASI yang baik merupakan keluarga kecil
(46,7%) dan hanya 16,7% yang merupakan keluarga sedang. Pada keluarga ibu tidak
bekerja, hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif yang tidak nyata antara besar keluarga dengan pola pemberian ASI.
Sedangkan pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang nyata antara
besar keluarga dengan pola pemberian ASI (p<0,05). Hal ini berarti semakin kecil
keluarga tersebut diikuti dengan semakin baik pola pemberian ASInya. Hasil ini tidak
sesuai dengan teori dimana jumlah anak yang lebih sedikit akan memungkinkan ibu
memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup dalam mengasuh anaknya
(Sukarni, 1989).




62























63
Karakteristik Anak dengan Pola Pemberian ASI
Urutan Anak. Pada Tabel 46 terlihat bahwa proporsi terbesar contoh dari
kelompok ibu tidak bekerja (20,0%) dan kelompok ibu bekerja (50,0%) yang
mendapat pola pemberian ASI yang baik merupakan anak ke-2 atau ke-3. Terdapat
hubungan positif yang tidak nyata antara urutan contoh pada keluarga ibu tidak
bekerja dengan pola pemberian ASI. Pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan
positif yang nyata antara urutan anak dengan pola pemberian susu formula (p<0,05).
Hal ini berarti semakin awal urutan anak maka semakin baik pola pemberian ASI.
Menurut Hurlock (2000), anak yang lahir pertama cenderung lebih diperhatikan oleh
orang tua dibandingkan anak yang lahir kemudian.
Jarak Kelahiran. Hasil penelitian menunjukkan contoh yang memiliki jarak
kelahiran lebih dari dua tahun dengan anak sebelumnya mendapat pola pemberian
ASI yang baik, yaitu sebanyak 23,3% dari kelompok ibu tidak bekerja dan 46,7% dari
kelompok ibu bekerja. Terdapat hubungan positif yang nyata antara jarak kelahiran
contoh keluarga ibu tidak bekerja dengan pola pemberian ASI (p<0,05). Pada
keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara jarak kelahiran
contoh dengan pola pemberian ASI. Hal ini berarti semakin jauh jarak kelahiran anak
maka semakin baik pola pemberian ASI yang dilakukan. Menurut Sajogyo et al.
(1994), jarak kelahiran antar anak yang tidak berdekatan akan meningkatkan
kesempatan ibu untuk menyusui bayinya dalam waktu yang lebih lama.
Tempat Kelahiran. Contoh dari kelompok ibu tidak bekerja yang dilahirkan di
tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinim bersalin, puskesmas, dan bidan)
sebesar 26,7% yang mendapatkan pola pemberian ASI yang baik, tetapi terdapat
3,3% yang berada pada kategori kurang. Contoh dari kelompok ibu bekerja yang
dilahirkan di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, puskesmas,
dan bidan) sebesar 53,3% yang mendapatkan pola pemberian ASI yang baik, tetapi
terdapat 6,6% yang berada pada kategori kurang. Hasil uji Rank Spearman
menunjukkan adanya hubungan negatif yang tidak nyata antara tempat kelahiran
dengan pola pemberian ASI pada kedua kelompok contoh. Hal ini menunjukkan
64
adanya kecenderungan tidak selamanya tempat kelahiran di tempat pelayanan
kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, puskesmas, dan bidan) menjamin anak
mendapatkan pola pemberian ASI yang baik.
Penolong Persalinan. Jumlah contoh dari kelompok ibu tidak bekerja yang
dilahirkan dengan bantuan dokter atau bidan yang mendapatkan pola pemberian ASI
yang baik (26,7%) lebih sedikit dari contoh yang berada pada kategori sedang
(60,0%). Sebaliknya, jumlah contoh pada kelompok ibu bekerja yang dilahirkan
dengan bantuan dokter atau bidan yang mendapatkan pola pemberian ASI yang baik
(56,7%) lebih banyak dari contoh yang berada pada kategori sedang (26,7%). Pada
keluarga ibu tidak bekerja terdapat hubungan negatif yang tidak nyata antara
penolong persalinan dengan pola pemberian ASI. Sedangkan pada keluarga ibu
bekerja terdapat hubungan positif yang tidak nyata. Hal ini menunjukkan adanya
kecenderungan tidak selamanya penolong kelahiran dari tenaga kesehatan (dokter
atau bidan) menjamin anak mendapatkan pola pemberian ASI yang baik.
Jenis Persalinan. Jumlah contoh dari kelompok ibu tidak bekerja yang
dilahirkan secara normal yang mendapatkan pola pemberian ASI yang baik (30,0%)
lebih sedikit dari contoh yang berada pada kategori sedang (40,0%). Sebaliknya,
jumlah contoh pada kelompok ibu bekerja yang dilahirkan secara normal yang
mendapatkan pola pemberian ASI yang baik (50,0%) lebih banyak dari contoh yang
berada pada kategori sedang (10,0%). Berdasarkan uji Rank Spearman, terdapat
hubungan positif yang tidak nyata antara jenis persalinan dengan pola pemberian
ASI. Pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang nyata antara jenis
persalinan dengan pola pemberian ASI (p<0,01). Hal ini berarti jenis persalinan
secara normal mendukung pola pemberian ASI yang baik.




65























66
Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian ASI
Tabel 47 menunjukkan bahwa sebesar 13,3% responden ibu tidak bekerja
yang memiliki pola pemberian ASI yang baik, memiliki pengetahuan gizi yang baik
pula. Namun jumlah ini lebih sedikit dari responden yang berpengetahuan gizi sedang
(16,7%) dan terdapat 3,3% responden yang berpengetahuan gizi kurang. Sedangkan
responden ibu bekerja yang memiliki pengetahuan gizi yang baik, sebesar 46,7%
memiliki pola pemberian ASI pada kategori baik, sebesar 26,7% pada kategori
sedang, dan 3,3% pada kategori kurang. Terdapat hubungan negatif yang tidak nyata
antara pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian ASI pada kedua kelompok
contoh. Hal ini diduga walaupun pengetahuan gizi ibu sudah baik belum tentu
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Tabel 47. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian ASI
Pola Pemberian ASI
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)
Baik Sedang Kurang Baik Sedang Kurang

Pengetahuan
Gizi Ibu

n % n % n % n % n % n %
Baik
Sedang
Kurang
4
5
1
13,3
16,7
3,3
12
6
1
40,0
20,0
3,3
-
1
-
-
3,3
-
14
5
-
46,7
16,7
-
8
1
-
26,7
3,3
-
1
1
-
3,3
3,3
Nilai Korelasi r=-0.137 p=0.470 r=-0.078 p=0.682

Karakteristik Keluarga dengan Pola Pemberian Susu Formula
Umur Ibu. Pada Tabel 48 dapat dilihat responden ibu tidak bekerja yang
memiliki pola pemberian susu formula yang baik berada pada rentang umur 20-29
tahun (16,7%) dan 30-39 tahun (23,3%). Sedangkan pada responden ibu bekerja pada
rentang umur 20-29 tahun (6,7%) dan 30-39 tahun (36,7%). Pada keluarga ibu tidak
bekerja, hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif yang nyata antara umur ibu dengan pola pemberian susu formula (p<0,05).
Pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara umur ibu
dengan pola pemberian susu formula. Hal ini berarti semakin bertambah umur ibu
maka semakin baik pula pola pemberian susu formula yang dilakukan.
67
Pendidikan Ibu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi terbanyak
responden ibu tidak bekerja yang memiliki pola pemberian susu formula yang baik
berpendidikan tamat SMU (20,0%) dan lulusan perguruan tinggi (20,0%). Sedangkan
pada kelompok ibu bekerja proporsi terbanyak yang memiliki pola pemberian susu
formula yang baik merupakan lulusan perguruan tinggi (36,7%). Uji Rank Spearman
menjelaskan bahwa adanya hubungan positif yang tidak nyata antara pendidikan ibu
dengan pola pemberian susu formula pada kedua kelompok contoh. Dapat dikatakan
terdapat kecenderungan semakin tinggi pendidikan ibu yang tidak bekerja maupun
yang bekerja maka pola pemberian susu formula yang dilakukan semakin baik. Hal
ini diduga tingkat pendidikan ibu yang baik diikuti dengan pengetahuan mengenai
pola pemberian susu formula.
Pendapatan Keluarga. Berdasarkan Tabel 48 terlihat bahwa proporsi terbesar
pendapatan keluarga responden ibu tidak bekerja yang memiliki pola pemberian susu
formula yang baik berada pada kategori Rp 150.000-Rp 449.999 sebanyak 20,0%,
pada kategori Rp 450.000-Rp 749.999 sebesar 16,7% dan hanya 3,3% yang
berpendapatan Rp 1.000.000. Proporsi terbesar pendapatan keluarga responden ibu
bekerja yang memiliki pola pemberian susu formula yang baik berada pada kategori
Rp 1.000.000 sebanyak 20,0%. Pada keluarga ibu tidak bekerja, hasil uji korelasi
Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang tidak nyata
antara pendapatan keluarga dengan pola pemberian susu formula. Dengan kata lain
ada kecenderungan pada ibu tidak bekerja, semakin tinggi pendapatan keluarga maka
pola pemberian susu formula semakin baik. Sedangkan pada keluarga ibu bekerja
terdapat hubungan positif yang nyata antara pendapatan keluarga dengan pola
pemberian susu formula (p<0,05). Hal ini berarti pada ibu yang bekerja semakin
tinggi pendapatan maka semakin baik pola pemberian susu formula.
Besar Keluarga. Proporsi terbesar responden ibu tidak bekerja yang memiliki
pola pemberian susu formula yang baik berada pada kategori keluarga kecil (30,0%),
sebesar 6,7% merupakan keluarga sedang, dan 3,3% merupakan keluarga besar.
Proporsi terbesar responden ibu bekerja yang memiliki pola pemberian susu formula
68
yang baik merupakan keluarga kecil (30,0%) dan hanya 13,3% yang merupakan
keluarga sedang. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif yang tidak nyata antara besar keluarga dengan pola pemberian susu
formula pada kedua kelompok contoh. Hal ini berarti terdapat kecenderungan
semakin kecil keluarga tersebut semakin baik pola pemberian susu formula nya.
Karakteristik Anak dengan Pola Pemberian Susu Formula
Urutan Anak. Pada Tabel 49 terlihat bahwa proporsi terbesar contoh dari
kelompok ibu tidak bekerja (20,0%) dan kelompok ibu bekerja (36,7%) yang
mendapat pola pemberian susu formula yang baik merupakan anak ke-2 atau ke-3.
Terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara urutan contoh pada kelompok ibu
tidak bekerja dan kelompok ibu bekerja dengan pola pemberian susu formula. Hal ini
berarti semakin awal urutan anak maka semakin baik pola pemberian susu formula.
Menuru Hurlock (2000), anak yang lahir pertama cenderung lebih diperhatikan oleh
orang tua dibandingkan anak yang lahir kemudian.
Jarak Kelahiran. Hasil penelitian menunjukkan contoh yang memiliki jarak
kelahiran lebih dari dua tahun dengan anak sebelumnya mendapat pola pemberian
susu formula yang baik, yaitu sebanyak 20,0% dari kelompok ibu tidak bekerja dan
36,7% dari kelompok ibu bekerja. Terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara
jarak kelahiran contoh keluarga ibu tidak bekerja dan kelompok ibu bekerja dengan
pola pemberian susu formula. Hal ini berarti semakin jauh jarak kelahiran anak maka
semakin baik pola pemberian susu formula yang dilakukan.
Tempat Kelahiran. Contoh dari kelompok ibu tidka bekerja yang dilahirkan di
tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, puskesmas, dan bidan)
sebesar 40,0% yang mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik, dan tidak
ada contoh yang berada pada kategori kurang. Contoh dari kelompok ibu bekerja
yang dilahirkan di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin,
puskesmas, dan bidan) sebesar 36,6% yang mendapatkan pola pemberian susu
formula yang baik, dan terdapat 6,7% yang dilahirkan di rumah sendiri. Hasil uji
Rank Spearman menunjukkan adanya hubungan positif yang tidak nyata antara
69
tempat kelahiran dengan pola pemberian susu formula pada kedua kelompok contoh.
Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan tempat kelahiran di tempat pelayanan
kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, puskesmas, dan bidan) mendorong anak
mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik.
Penolong Persalinan. Proporsi terbesar contoh dari kelompok ibu tidak
bekerja yang dilahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan (dokter atau bidan) yang
mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik sebesar 40,0%. Contoh yang
dilahirkan dengan bantuan paraji berada pada kategori sedang (10,0%). Jumlah
contoh pada kelompok ibu bekerja yang dilahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan
(dokter atau bidan) yang mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik
sebesar 36,7%, jumlah yang berada pada kategori sedang lebih banyak yaitu sebesar
53,3%. Terdapat 6,7% contoh yang dilahirkan dengan bantuan paraji yang memiliki
pola pemberian susu formula yang baik. Pada keluarga ibu tidak bekerja terdapat
hubungan positif yang tidak nyata antara penolong persalinan dengan pola pemberian
susu formula. Sedangkan pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan negatif yang
tidak nyata. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan tidak hanya penolong
kelahiran dari tenaga kesehatan yang mendorong anak mendapatkan pola pemberian
susu formula yang baik.
Jenis Persalinan. Jumlah contoh dari kelompok ibu tidak bekerja yang
dilahirkan secara normal yang mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik
lebih sedikit (30,0%) dari contoh yang berada pada kategori sedang (43,3%).
Demikian pula pada kelompok ibu bekerja, contoh yang dilahirkan secara normal
yang mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik lebih sedikit (26,7%) dari
contoh yang berada pada kategori sedang (36,7%). Selain itu terdapat 6,7% contoh
kelompok ibu tidak bekerja dan 16,7% contoh dari kelompok ibu bekerja yang
dilahirkan dengan operasi cesar, juga mendapatkan pola pemberian susu formula
yang baik. Berdasarkan uji Rank Spearman, terdapat hubungan negatif yang tidak
nyata antara jenis persalinan dengan pola pemberian susu formula pada kedua
kelompok contoh. Hal ini berarti tidak hanya jenis persalinan secara normal yang
mendukung pola pemberian susu formula yang baik.
70























71























72
Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian Susu Formula
Tabel 50 menunjukkan bahwa sebesar 23,3% responden ibu tidak bekerja
yang memiliki pengetahuan gizi yang baik, memiliki pola pemberian susu formula
pada kategori baik. Namun jumlah ini lebih sedikit dari responden yang berada pada
kategori sedang (30,0%). Sedangkan responden ibu bekerja yang memiliki
pengetahuan gizi yang baik, sebesar 40,0% memiliki pola pemberian susu formula
pada kategori baik, sebesar 36,7% pada kategori sedang. Terdapat hubungan positif
yang tidak nyata antara pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian susu formula.
Hal ini berarti ada kecenderungan semakin baik pengetahuan gizi ibu maka pola
pemberian susu formula menjadi semakin baik.
Tabel 50. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian Susu Formula
Pola Pemberian Susu Formula
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)
Baik Sedang Kurang Baik Sedang Kurang

Pengetahuan
Gizi Ibu

n % n % n % n % n % n %
Baik
Sedang
Kurang
7
5
-
23,3
16,7
-
9
7
2
30,0
23,3
6,7
-
-
-
-
-
-
12
1
-
40,0
3,3
-
11
6
-
36,7
20,0
-
-
-
-
-
-
-
Nilai Korelasi r=0.203 p=0.282 r=0.343 p=0.063













KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar contoh pada kelompok ibu tidak
bekerja dan sebagian kecil contoh pada kelompok ibu bekerja merupakan anak
pertama. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan urutan anak dan
jarak kelahiran antara kedua kelompok contoh (p<0,05). Tidak ada perbedaan
penolong kelahiran, jenis persalinan, dan tempat kelahiran antara kedua kelompok
contoh. Hal ini disebabkan hampir seluruh contoh dilahirkan di tempat pelayanan
kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, bidan, puskesmas) yang proses kelahirannya
dibantu oleh dokter atau bidan, dengan persalinan secara normal/spontan.
Sebagian besar responden ibu bekerja dan sebagian kecil responden ibu tidak
bekerja berumur 30-39 tahun. Rata-rata umur responden ibu tidak bekerja adalah 28
tahun dan responden ibu bekerja adalah 32 tahun, terdapat perbedaan umur ibu pada
kedua kelompok (p<0,01). Tingkat pendidikan lebih dari separuh responden ibu
bekerja dan hampir separuh responden ibu tidak bekerja adalah lulusan perguruan
tinggi. Rata-rata lama pendidikan ibu pada kelompok ibu tidak bekerja adalah 13
tahun, sedangkan pada kelompok ibu adalah 14 tahun. Tidak terdapat perbedaan
tingkat pendidikan ibu pada kedua kelompok contoh. Tingkat pengetahuan gizi
separuh responden ibu tidak bekerja dan sebagian besar responden ibu bekerja
termasuk kategori baik, terdapat perbedaan tingkat pengetahuan gizi ibu pada kedua
kelompok (p<0,05). Rata-rata pendapatan keluarga kelompok ibu bekerja
(Rp/kap/bln) adalah Rp 768.472,00 sedangkan pada kelompok ibu tidak bekerja
adalah Rp 416.771,00. Hasil uji beda menunjukkan ada perbedaan yang signifikan
rata-rata pendapatan keluarga antara kedua kelompok contoh (p<0,01). Tidak terdapat
perbedaan besar keluarga pada kedua kelompok contoh karena sebagian besar
keluarga responden merupakan keluarga kecil (4 orang).
Faktor yang berhubungan dengan pemberian susu formula pada kelompok ibu
bekerja adalah pendapatan keluarga, pada kelompok ibu tidak bekerja adalah umur
ibu. Faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI pada kelompok ibu bekerja
74
adalah besar keluarga, urutan anak, dan jenis persalinan. Sedangkan pada kelompok
ibu tidak bekerja adalah jarak kelahiran.
Pola pemberian ASI kelompok ibu bekerja nyata lebih baik daripada
kelompok ibu tidak bekerja (p<0,05). Namun, tidak terdapat perbedaan pola
pemberian susu formula antara kelompok ibu tidak bekerja dengan ibu bekerja Pola
pemberian MPASI pada kedua kelompok contoh berada pada kategori sedang
sehingga tidak terdapat perbedaan pola pemberian MPASI antara kedua kelompok
contoh.
Konsumsi total energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi di
kedua kelompok baduta contoh sudah memenuhi angka kecukupan yang dianjurkan
dan sebagian besar baduta contoh termasuk kategori cukup. Berdasarkan uji beda
Mann Whitney tidak ada perbedaan kategori tingkat konsumsi energi pada kedua
kelompok. Pada kedua kelompok contoh, rata-rata konsumsi energi dan vitamin A
dari makanan lebih besar daripada konsumsi dari ASI dan susu formula. Rata-rata
konsumsi protein, vitamin C, kalsium, dan zat besi dari susu formula lebih besar
daripada konsumsi ASI dan makanan. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan konsumsi zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat
besi) total, konsumsi zat gizi dari ASI, susu formula dan makanan pada kedua
kelompok contoh. Kontribusi energi, protein, dan vitamin A dari makanan terhadap
konsumsi dan tingkat konsumsi lebih besar daripada kontribusi ASI dan susu
formula. Tetapi kontribusi vitamin C, kalsium, dan zat besi dari susu formula
terhadap konsumsi dan tingkat konsumsi lebih besar daripada ASI dan makanan.
Kontribusi zat gizi dari ASI, susu formula, dan makanan terhadap konsumsi total dan
kecukupan tidak ada perbedaan menurut uji beda t pada kedua kelompok.




75
Saran
1. Perlu diadakan kampanye gerakan sadar ASI kepada masyarakat agar konsumsi
ASI oleh bayi dan anak baduta semakin bertambah.
2. Perlu dilakukan pelatihan tatalaksana pemberian ASI kepada tenaga kesehatan
(dokter dan bidan) dan kader posyandu agar mendukung para ibu untuk menyusui
secara optimal.
3. Perlu dilakukan penyuluhan tentang pemberian susu formula yang baik kepada
masyarakat agar tidak menghambat praktek pemberian ASI.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai : (1) pola pemberian susu
formula anak baduta di wilayah kota dan desa, (2) riil konsumsi ASI (bukan
berdasarkan estimasi) selanjutnya dianalisis kontribusi dari ASI, susu formula,
dan makanan terhadap zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium,
dan zat besi).
DAFTAR PUSTAKA
Albernaz, E., C.G. Victoria, H. Haisma, A. Wright, & W.A. Coward. 2003. Lactation
counselling increases breast-feeding duration but not breast milk intake as
measured by isotopic methods. J ournal of Nutrition, 133, 205-209.

Anonymous. 2004. Sumberdaya manusia mendatang tergantung ASI eksklusif. 12
Oktober.http://www.republika.co.id/.

Arimond, M. & M.T. Ruel. 2004. Dietary diversity is asociated with child nutritional
status : evidence from 11 demographic and health surveys. American Society
for Nutrition Sciences. http://www.nutrition.org

Asad, S. 2002. Gizi-Kesehatan Ibu dan Anak. Direktorat J enderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional, J akarta.

Arisman. 2002. Gizi dalam Daur Kehidupan. Direktorat J enderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional, J akarta.

Atmarita & T.S. Fallah. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat.
Dalam Prosiding WNPG VIII. LIPI, J akarta.

Azwar, A. 2003. Pelaksanaan Pemberian ASI Eksklusif di Indonesia. Warta
Kesehatan Masyarakat, Ed.6, J uni, hlm.1-3.

_________. 2004. Aspek Kesehatan dan Gizi dalam Ketahanan Pangan. Dalam
Prosiding WNPG VIII. LIPI, J akarta.

Baker, J .L., K.F. Michaelsen, K.M. Rasmussen, & T.I.A. Sorensen. 2004. Maternal
prepregnant body mass index, duration of breastfeeding, and timing of
complementary food introduction are associated with infant weight gain.
American Society for Clinical Nutrition. http://www.ajcn.org

Berg, A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional (Z.D.Noer, penerjemah).
Rajawali, J akarta.

Besar, D. S. 2001. Ibu Menyusui dan Bekerja. Makalah disajikan dalam seminar
Telaah Mutakhir Tentang ASI, Bali, 19 Oktober.

Bhandari, N., S. Mazumder, R. Bahl, J . Martines. R.E. Black, & M.K. Bhan. 2000.
An educational intervention to promote appropriate complementary feeding
practices and physical growth in infants and young children in rural Haryana,
India. American Society for Nutrition Sciences. http://www.nutrition.org.

BPS. 1999. Indikator Sosial Wanita Indonesia. Biro Pusat Statistik, J akarta.


77
BPS. 2003. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, J akarta.

Depkes. 1985. Buku Pedoman Penggunaan Pengganti Air Susu Ibu, J akarta.

______. 1994. Hasil Pentaloka ASI Eksklusif. Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial RI, J akarta.
______. 1996. Panduan 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Direktorat Bina Gizi
Masyarakat, J akarta.

______. 1997. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 237/Menkes/SK/IV/1997.
Departemen Kesehatan RI, J akarta.

______. 2000. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). Departemen Kesehatan
dan Kesejahteraan Sosial, Direktorat J enderal Kesehatan Masyarakat,
Direktorat Gizi Masyarakat, J akarta.

Eckhardt, C.L., J . Rivera, L.S. Adair, & R. Martorell. 2001. Full breast-feeding for at
least four months has differential effects on growth before and after six
months of age among children in a Mexican community. American Society
for Nutritional Sciences. http://www.nutrition.org

Engle, P.L., P. Menon, L. Hadad. 1997. Care and Nutrition : Concepts and
Measurement. International Food Policy Research Institute, Washington D.C.

Fikawati, S. & A. Syafiq. 2003. Hubungan antara Menyusui Segera (Immediate
Breastfeeding) dan Pemberian ASI Eksklusif sampai dengan 4 Bulan. J urnal
Kedokteran Trisakti, 22 (2), 47-53.

Fitrisia, D.W. 2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ibu dalam Pemberian Susu
Formula pada Bayi Umur 0-12 Bulan. Skripsi Sarjana. J urusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.

Hardinsyah, & D. Martianto. 1992. Gizi Terapan. Depdikbud, Dikti, PAU Pangan dan
Gizi, IPB, Bogor.

Harper, B.J . Deaton & Y.A. Driskel. 1986. Gizi dan Pertanian (Suhardjo,
penerjemah). UI Press, J akarta.

Hruschka, D. J ., D.W. Sellen, A.D. Stein & R. Martorell. 2003. Delayed onset of
lactation and risk of ending full breast-feeding early in rural Guatemala.
American Society for Nutritional Sciences. http://www.nutrition.org

Hurlock, E.B. 2000. Perkembangan Anak (J ilid 2). Erlangga, J akarta.



78
J oint FAO/WHO Food Standards Programme. Codex Alimentarius Commissio. 1994.
Codex Alimentarius Volume Four. Foods for Special Dietary Uses (Including
Foods for Infant and Children). FAO-WHO, Rome.

Latief, D., Atmarita, Minarto, A.B. J ahari & R. Tilden. 2000. Konsumsi Pangan
Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Selama krisis Ekonomi. Dalam
Prosiding WNPG VII. LIPI, J akarta.

Karmini, M., Briawan, D. 2004. Acuan Label Gizi. Dalam Prosiding WNPG VIII.
LIPI, J akarta.

Khomsan, A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. J urusan Gizi Masyarakat
dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

__________. 2002. Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. J urusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.

__________. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Gramedia
Widiasarana Indonesia, J akarta.

Krisnatuti, D & Yenrina, R. 2002. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Puspa
Swara, J akarta.

Madanijah, S. 2003. Model Pendidikan KELUARGA-SEHAT bagi Ibu serta
Dampaknya terhadap Perilaku Ibu, Lingkungan Pembelajaran, Konsumsi
Pangan dan Status Gizi Anak Usia Dini. Disertasi Doktor IPB, Bogor.

Martianto, D. & M. Ariani. 2004. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi
Pangan Masyarakat dalam Dekade Terakhir. Dalam Prosiding WNPG VIII.
LIPI, J akarta.

Masoara. 2001. Sindrom ASI Kurang. Makalah disajikan dalam Seminar telaah
Mutakhir Tentang ASI, Bali, 19 Oktober 2001.

Muchtadi, D. 2002. Gizi Untuk Bayi : ASI, Susu Formula dan Makanan Tambahan.
Pustaka Sinar Harapan, J akarta.

Pudjiadi, S. 2000. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Fakultas Kedokteran, Universitas
Indonesia, J akarta.

Roesli, U. 2001. Bayi Sehat Berkat ASI Eksklusif. Elex Media Komputindo, J akarta.

Roesli, U. 2004. Mengenal ASI Eksklusif. Trubus Agriwidya, J akarta.



79
Satoto. 1990. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Disertasi Doktor, Undip,
Semarang.

Sayogyo, Goenardi, S. Rusli, S. S. Harjadi, M. Khumaidi. 1994. Menuju Gizi Baik
yang Merata di Pedesaan dan di Kota. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.

Soekarto, P. 2005. J alan panjang menyukseskan program asi eksklusif 6 bulan.
Majalah Warta Konsumen, Ed. Februari, hlm. 10-14.

Simondon, K.B., F. Simondon, R. Costes, V. Delaunay & A. Diallo. 2001. Breast-
feeding is associated with improved growth in length, but not weight, in rural
Senegalese toddlers. American J ournal of Clinical Nutrition,73, 959-967.
http://www.ajcn.org.

Slamet. 1993. Analisis Kuantitatif untuk Data Sosial. Dabara Publisher, Solo.

Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Pusat Antar Universitas. IPB, Bogor.

_______. 1996. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Kerjasama Bumi Aksara dan PAU
Pangan dan Gizi, IPB. Bogor.

Sulistijani, D.A. & Herlianty, M.P. 2003. Menjaga kesehatan Bayi dan Balita. Puspa
Swara, J akarta.

Sukarni, M. 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. PAU Pangan dan Gizi, IPB,
Bogor.

Supariasa, I.D.N., B. Bakri, & I. Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, J akarta.

Suradi, R. 1986. Peranan Lingkungan untuk Menunjang Keberhasilan Laktasi. Dalam
Gizi Ibu dan Bayi : Peningkatan Mutu (Samsudin & Tjokronegoro, A. Ed.)
FKUI, J akarta.

Syarief, H. 1997. Membangun Sumberdaya Manusia Berkualitas. Orasi ilmiah Guru
Besar Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian,
IPB, Bogor.

Welford, H. 2001. Ibu dan Anak (D. A. Pitaloka, penerjemah). Dalam D.
Pangemanan (Ed.). Menyusui Bayi Anda, Dian Rakyat, J akarta.

WHO. 2002. Complementary Feeding of Young Children in Developing Countries.
New York.



80
WHO. 2002. Growth of healthy infants and the timing, type, and frequency of
complementary foods. American J ournal of Clinical Nutrition.
http://www.ajcn.org.

Winarno, F. G. 1995. Gizi dan Makanan pada Bayi dan Anak. Departemen
Pendidikan dan kebudayaan, Direktorat J enderal Perguruan Tinggi, PAU
Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.













































82
Lampiran 1. Hasil Mann Whitney Test karakteristik keluarga, karakteristik contoh,
tingkat pengetahuan gizi ibu, kategori akses informasi, dan kategori pola
pemberian ASI, susu formula, dan MPASI


Karakteristik Keluarga
No. Variabel penelitian p
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Usia ayah
Usia ibu
Pendidikan ayah
Pendidikan ibu
Pekerjaan ayah
Pendapatan keluarga (batas kemiskinan)
Besar keluarga
0.089
0.004**
0.153
0.120
0.511
1.000
0.710

Karakteristik Anak Baduta
No. Variabel penelitian p
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Usia contoh
J enis kelamin
Urutan anak
J arak lahir
Tempat lahir
Penolong kelahiran
J enis persalinan
0.039*
0.440
0.044*
0.045*
0.763
1.000
0.397

No. Variabel penelitian p
1.
2.
3.
4.
5.
Kategori pola pemberian ASI
Kategori pola pemberian susu formula
Kategori pola pemberian MPASI
Kategori akses informasi
Tingkat pengetahuan gizi ibu
0.044*
0.795
0,522
0.587
0.047*

Keterangan :
* Nyata pada taraf kepercayaan 95%










83
Lampiran 2. Hasil Independent Sample t Test pola pemberian ASI, susu formula, dan
Makanan Pendamping ASI (MPASI)



No. Variabel penelitian p
1. Tingkat pendapatan keluarga (Rp/kap/bln) 0,000**

Pola Pemberian ASI
No. Variabel penelitian p
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pemberian kolostrum
Umur bayi waktu pertama kali ibu menyusui
Penggunaan kedua payudara
Tindakan ibu jika anak menolak ASI
Pemberian ASI jika anak sedang sakit
Pemberian ASI saat ini
Pemberian makanan pralaktal
0.286
0.194
0.229
0.300
1.000
0.605
0.032*

Pola Pemberian Susu Formula
No. Variabel penelitian p
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Usia anak saat diberi susu formula
Ketepatan frekuensi pemberian susu formula
Penggunaan sendok takar
Ketepatan pengenceran
Perebusan botol
Pemberian susu yang bersisa
0.104
1.000
0.028*
0.791
0.744
0.087

Pola Pemberian MPASI
No. Variabel penelitian p
1.
2.
Usia anak saat diberi MPASI
J enis MPASI pertama
0.785
0.744

Keterangan :
* Nyata pada taraf kepercayaan 95%
** Nyata pada taraf kepercayaan 99%









84
Lampiran 3. Hasil Independent Sample t Test konsumsi pangan anak baduta

Variabel Penelitian p
Konsumsi total energi
Konsumsi total protein
Konsumsi total vitamin A
Konsumsi total vitamin C
Konsumsi total kalsium
Konsumsi total zat besi
Rata-rata konsumsi energi ASI
Rata-rata konsumsi protein ASI
Rata-rata konsumsi vitamin A ASI
Rata-rata konsumsi vitamin C ASI
Rata-rata konsumsi kalsium ASI
Rata-rata konsumsi zat besi ASI
Kontribusi energi ASI terhadap konsumsi total energi
Kontribusi protein ASI terhadap konsumsi total protein
Kontribusi vit. A ASI terhadap konsumsi total vit. A
Kontribusi vit. C ASI terhadap konsumsi total vit. C
Kontribusi kalsium ASI terhadap konsumsi total kalsium
Rata-rata konsumsi energi susu formula
Rata-rata konsumsi protein susu formula
Rata-rata konsumsi vitamin A susu formula
Rata-rata konsumsi vitamin C susu formula
Rata-rata konsumsi kalsium susu formula
Rata-rata konsumsi zat besi susu formula
Kontribusi energi susu formula terhadap konsumsi total energi
Kontribusi protein susu formula terhadap konsumsi total protein
Kontribusi vit. A susu formula terhadap konsumsi total vit. A
Kontribusi vit. C susu formula terhadap konsumsi total vit. C
Kontribusi kalsium susu formula terhadap konsumsi total kalsium
Kontribusi zat besi susu formula terhadap konsumsi total zat besi
Rata-rata konsumsi energi susu formula
Rata-rata konsumsi protein susu formula
Rata-rata konsumsi vitamin A susu formula
Rata-rata konsumsi vitamin C susu formula
Rata-rata konsumsi kalsium susu formula
Rata-rata konsumsi zat besi susu formula
Kontribusi energi susu formula terhadap konsumsi total energi
Kontribusi protein susu formula terhadap konsumsi total protein
Kontribusi vit. A susu formula terhadap konsumsi total vit. A
Kontribusi vit. C susu formula terhadap konsumsi total vit. C
Kontribusi kalsium susu formula terhadap konsumsi total kalsium
Kontribusi zat besi susu formula terhadap konsumsi total zat besi
0.316
0.579
0.642
0.652
0.629
0.864
0.910
0.910
0.910
0.910
0.910
0.910
0.710
0.843
0.686
0.732
0.454
0.505
0.657
0.642
0.630
0.552
0.673
0.569
0.939
0.486
0.522
0.103
0.961
0.429
0.736
0.731
0.244
0.111
0.647
0.703
0.978
0.734
0.537
0.172
0.961
85
Lampiran 4 . Hasil Independent Sample t Test kecukupan zat gizi anak baduta


Variabel Penelitian p
Tingkat kecukupan energi
Tingkat kecukupan protein
Tingkat kecukupanvitamin A
Tingkat kecukupanvitamin C
Tingkat kecukupan kalsium
Tingkat kecukupan zat besi
Kategori tingkat kecukupan energi
Kategori tingkat kecukupan protein
Kategori tingkat kecukupan vitamin A
Kategori tingkat kecukupan vitamin C
Kategori tingkat kecukupan kalsium
Kategori tingkat keceukupan zat besi
Kontribusi energi ASI terhadap kecukupan
Kontribusi protein ASI terhadap kecukupan
Kontribusi vitamin A ASI terhadap kecukupan
Kontribusi vitamin C ASI terhadap kecukupan
Kontribusi kalsium ASI terhadap kecukupan
Kontribusi energi susu formula terhadap kecukupan
Kontribusi protein susu formula terhadap kecukupan
Kontribusi vitamin A susu formula terhadap kecukupan
Kontribusi vitamin C susu formula terhadap kecukupan
Kontribusi kalsium susu formula terhadap kecukupan
Kontribusi zat besi susu formula terhadap kecukupan
Kontribusi energi makanan terhadap kecukupan
Kontribusi protein makanan terhadap kecukupan
Kontribusi vitamin A makanan terhadap kecukupan
Kontribusi vitamin C makanan terhadap kecukupan
Kontribusi kalsium makanan terhadap kecukupan
Kontribusi zat besi makanan terhadap kecukupan
0.326
0.680
0.707
0.589
0.971
0.974
0.154
1.000
0.169
1.000
0.226
1.000
0.991
0.991
0.991
0.991
0.991
0.596
0.773
0.727
0.780
0.707
0.852
0.341
0.617
0.766
0.280
0.138
0.691











86
Lampiran 5. Hasil korelasi Rank Spearman antara karakteristik keluarga, karakteristik
anak, pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian ASI dan susu formula


Pola pemberian ASI Pola pemberian susu formula
Variabel Penelitian
r p r p
Kelompok ibu tidak bekerja
- umur ibu
- pendidikan ibu
- pendapatan keluarga
- besar keluarga
- urutan anak
- jarak kelahiran
- tempat kelahiran
- penolong kelahiran
- jenis persalinan
- pengetahuan gizi ibu

Kelompok ibu bekerja
- umur ibu
- pendidikan ibu
- pendapatan keluarga
- besar keluarga
- urutan anak
- jarak kelahiran
- tempat kelahiran
- penolong kelahiran
- jenis persalinan
- pengetahuan gizi ibu

0.179
-0.130
-0.143
0.173
0.246
0.414*
-0.211
-0.357
0.084
-0.137


-0.158
-0.179
0.059
0.362*
0.366*
0.097
-0.251
0.097
0.517**
-0.078

0.344
0.493
0.452
0.361
0.191
0.023
0.264
0.052
0.660
0.470


0.406
0.345
0.758
0.049
0.046
0.611
0.182
0.610
0.003
0.682

0.365*
0.194
0.158
0.199
0.267
0.207
0.242
0.239
-0.072
0.203


0.092
0.340
0.462**
0.304
0.295
0.298
0.147
-0.104
-0.073
0.343

0.048
0.305
0.405
0.292
0.154
0.273
0.198
0.203
0.249
0.282


0.132
0.066
0.010
0.102
0.114
0.110
0.439
0.585
0.702
0.063


Keterangan :
* Nyata pada taraf kepercayaan 95%
** Nyata pada taraf kepercayaan 99%

You might also like