You are on page 1of 24

Sex Education Untuk Anak Kita

Sex sering jadi tabu di masyarakat kita. Tapi perilaku sex yang
tidak baik, begitu meraja lela.
Remaja atau kaum muda adalah kalangan yang berada pada zona transisi. Penuh semangat,
penuh keingin tahuan dan penasaran. Tak kalah, sex pun menjadi bahan kepenasaran bagi
mereka.
Pendidikan sex (sex education) sangat penting bagi anak. Karena kalau bukan kita sebagai
orang tua yang memberikannya, maka anak kita akan mencari dari tempat lain, media lain. Entah
itu temannya, televisi, dsb. Dan bisa jadi pemahaman anak kita kurang tepat, atau katakanlah
jauh dari syariat Islam. Kalau begitu, kita sebagai orang tua bisa kena getahnya.
Pendidikan sex sedikit berbeda dengan kesehatan reproduksi. Kami lebih memilih istilah
pendidikan sex daripada istilah kesehatan reproduksi.
Berikut ini adalah file presentasi yang sering digunakan pada saat menyampaikan materi di
hadapan para remaja atau para mahasiswa di beberapa sekolah/kampus. Berisi berbagai
pemikiran yang didapatkan dari berbagai referensi. Juga berita-berita yang mungkin membuat
kita tercengang, foto-foto yang membuat kita tersentuh, serta ayat dan hadits yang erat kaitannya
dengan pendidikan sex.
Supaya bisa lebih menyebar manfaatnya, kami sekalian share aja ke semuanya. Silakan
download. File ini juga hasil kompilasi dari beragai sumber, jadi banyak orang yang ikut
berkontribusi di dalamnya.
Download : Sex Education Presentation
http://parentingislami.wordpress.com/2008/09/18/sex-education/
CHILD ABUSE
http://nursecerdas.wordpress.com/2009/02/16/child-abuse/

Posted on Februari 16, 2009 by nursecerdas
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini banyak diberitakan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tua atau
pengasuh terhadap anaknya. Dari yang memukul anak, menyiram anak dengan air panas, hingga
membakar anak. Ada juga berita ayah melakukan hubungan sexual dengan anak, atau kakek
dengan anak atau kakak dengan adik, bahkan sampai hamil. Banyak alasan yang dikemukakan
oleh orang tua maupun pengasuh, antara lain kesal karena anak tidak bisa diberi tahu, anak rewel
terus, kesal pada suami, kesal pada majikan, dsb. Itu adalah fenomena child abuse yang terjadi di
sekitar kita.
Perawat, terkadang merupakan orang yang pertama mengenali adanya child abuse di
masayarakat. Perawat maternitas, perawat anak dan perawat keluarga hendaknya mengamati
adanya tanda tanda family abuse sehingga dapat mempersiapkan untuk menangani hal tersebut
secara objektif. Hal ini penting agar korban kekerasan menjadi aman dan agar fungsi keluarga
dapat berjalan dengan baik.

PENGERTIAN
Abuse1 didefinisikan sebagai tindakan mencederai oleh seseorang terhadap orang lain. Child
abuse dapat menimbulkan akibat yang panjang, seorang anak yang pernah mengalami kekerasan,
dapat menjadi orang tua yang memperlakukan anaknya dengan cara yang sama.

MACAM CHILD ABUSE
4 bentuk child abuse , yaitu: 2,3
Emotional Abuse- Perlakuan yang dilakukan oleh orang tua seperti menolak anak,
meneror, mengabaikan anak, atau mengisolasi anak. Hal tersebut akan membuat anak
merasa dirinya tidak dicintai, atau merasa buruk atau tidak bernilai. Hal ini akan
menyebabkan kerusakan mental fisik, sosial, mental dan emosional anak.
Indikator fisik kelainan bicara, gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan.
Indikator perilaku kelainan keiasaan (menghisap, mengigit, atau memukul-mukul)
Physical Abuse Cedera yang dialami oleh seorang anak bukan karena kecelakaan atau
tindakan yang dapat menyebabkan cedera serius pada anak, atau dapat juga diartikan
sebagai tindakan yang dilakukan oleh pengasuh sehingga mencederai anak. Biasanya
berupa luka memar, luka bakar atau cedera di kepala atau lengan.
Gambar 1. Memar Abnormal

Gambar 2. Luka Bakar
Gambar 3. Trauma
Gigitan

Indikator fisik luka memar, gigitan manusia, patah tulang, rambut yang tercabut, cakaran
Indikator perilaku waspada saat bertemu degan orang dewasa, berperilaku ekstrem seerti
agresif atau menyendiri, takut pada orang tua, takut untuk pulang ke rumah, menipu, berbohong,
mencuri.
Neglect Kegagalan orang tua untuk memberikan kebutuhan yang sesuai bagi anak,
seperti tidak memberikan rumah yang aman, makanan, pakaian, pengobatan, atau
meninggalkan anak sendirian atau dengan seseorang yang tidak dapat merawatnya .
Gambar 4. Neglect

Indikator fisik kelaparan, kebersihan diri yang rendah, selalu mengantuk, kurangnya perhatian,
masalah kesehatan yang tidak ditangani.
Indikator kebiasaan - Meminta atau mencuri makanan, sering tidur, kurangnya perhatian pada
masalah kesehatan, masalah kesehatan yang tidak ditangani, pakaian yang kurang memadai
(pada musim dingin), ditinggalkan.
Sexual AbuseTermasuk menggunakan anak untuk tindakan sexual, mengambil gambar
pornografi anak-anak, atau aktifitas sexual lainnya kepada anak.
Gambar 5. Cedera Pada Genetalia Laki laki

Gambar 6. Cedera Pada Genetalia Perempuan

Indikator fisik kesulitan untuk berjalan atau duduk, adanya noda atau darah di baju dalam,
nyeri atau gatal di area genital, memar atau perdarahan di area genital/ rektal, berpenyakit
kelamin.
Indikator kebiasaan pengetahuan tentang seksual atau sentuhan seksual yang tidak sesuai
dengan usia, perubahan pada penampilan, kurang bergaul dengan teman sebaya, tidak mau
berpartisipasi dalam kegiatan fisik, berperilaku permisif/ berperilaku yang menggairahkan,
penurunan keinginan untuk sekolah, gangguan tidur, perilaku regressif (misal: ngompol)

FAKTOR RESIKO
Menurut Helfer dan Kempe dalam Pillitery ada 3 faktor yang menyebabkan child abuse4 , yaitu
1. Orang tua memiliki potensi untuk melukai anak-anak. Orang tua yang memiliki kelainan
mental, atau kurang kontrol diri daripada orang lain, atau orang tua tidak memahami tumbuh
kembang anak, sehingga mereka memiliki harapan yang tidak sesuai dengan keadaan anak.
Dapat juga orang tua terisolasi dari keluarga yang lain, bisa isolasi sosial atau karena letak rumah
yang saling berjauhan dari rumah lain, sehingga tidak ada orang lain yang dapat memberikan
support kepadanya.
2. Menurut pandangan orang tua anak terlihat berbeda dari anak lain. Hal ini dapat terjadi pada
anak yang tidak diinginkan atau anak yang tidak direncanakan, anak yang cacat, hiperaktif,
cengeng, anak dari orang lain yang tidak disukai, misalnya anak mantan suami/istri, anak tiri,
serta anak dengan berat lahir rendah(BBLR). Pada anak BBLR saat bayi dilahirkan, mereka
harus berpisah untuk beberapa lama, padahal pada beberapa hari inilah normal bonding akan
terjalin.
3. Adanya kejadian khusus : Stress. Stressor yang terjadi bisa jadi tidak terlalu berpengaruh jika
hal tersebut terjadi pada orang lain. Kejadian yag sering terjadi misalnya adanya tagihan,
kehilangan pekerjaan, adanya anak yang sakit, adanya tagihan, dll. Kejadian tersebut akan
membawa pengaruh yang lebih besar bila tidak ada orang lain yang menguatkan dirinya di
sekitarnya Karena stress dapat terjadi pada siapa saja, baik yang mempunyai tingkat sosial
ekonomi yag tinggi maupun rendah, maka child abuse dapat terjadi pada semua tingkatan.

Menurut Rusel dan Margolin, wanita lebih banyak melakukan kekerasan pada anak, karena
wanita merupakan pemberi perawatan anak yang utama. Sedangkan laki-laki lebih banyak
melakukan sex abuse, ayah tiri mempunyai kemungkinan 5 sampai 8 kali lebih besar untuk
melakukannya daripada ayah kandung (Smith dan Maurer)
AKIBAT CHILD ABUSE
Anak yangmengalami kekerasan/ penganiayaan akan berakibat panjang. Mereka akan
mengalamigangguan belajar, retardasi mental, gangguan perkembangan temasuk perkembangan
bahasa, bicara, motorik halusnya. Dalam penelitian juga diperoleh bahwa IQ anak yang
mengalami kekerasan/penganiayaan akan rendah daripada yang tidak. Mereka juga mengalami
gangguan dalam konsep diri dan hubungan sosial. Teman-teman menganggap mereka sebagai
anak yang suka menyendiri atau pembuat onar. Hal ini akan berlanjut hingga dewasa, dalam
memilih pasangan hidup.
PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan pada anak
dan di rumah tangga. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan melakukan pendidikan
kesehatan tentang child abuse dan mengidentifikasi resiko terjadinya child abuse.
Hal yang dapat dilakukan oleh perawat adalah dengan memberikan pendidikan kepada keluarga
tentang pertumbuhan dan perkembangan anak, serta cara menghadapi stress saat menjadi orang
tua. Browne mengemukakan, setidaknya skrening melibatkan 3 orang perawat yang akan datang
pada 9 bulan pertama kehidupan. Pada kunjungan pertama dilakukan pengkajian atas adanya
faktor yang berhubungan dengan abuse dan neglect, Pada kunjungan selanjutnya perawat
mengexplorasi persepsi orang tua tentang tentang anak dan stressor si keluarga. Pada kunjungan
ke tiga perawat melihat kembali tentang kebiasaan bayi dan pengasuhannya. Mengamati
pertumbuhan dan perkembangannya, dan membantu orang tua untuk mengenali perkembangan
yang sesuai dengan usia anak. Orang tua yang beresiko menjadi abusive parents akan memiliki
perkiraan yang tidak realistik tentang pertumbuhan dan perkembangan anak, misalnya bayi
berusia 6 bulan dianggap harus didisiplinkan karena tidak dapat mengikuti toilet training. (Smith
and Maurer, 1995) 5
Selain hal di atas, perawat juga hendaknya mengamati hubungan antara orang tua dengan anak.
Salah satu indikator kunci adalah kurangnya bonding antara ibu dan anak. . Bila bonding lemah,
maka perawat dapat meningkatkan pegasuhan dan kepercayaan diri orang tua sebagai pengasuh
anak.
PROSES KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Perawat seringkali menjadi orang yang pertamakali menemui adanya tanda adanya kekerasan
pada anak (lihat indicator fisik dn kebiasaan pada macam-macam child abuse di atas). Saat abuse
terjadi, penting bagi perawat untuk mendapatkan seluruh gambarannya, bicaralah dahulu dengan
orang tua tanpa disertai anak, kemudian menginterview anak. 6
1. Identifikasi orang tua yang memiliki anak yang ditempatkan di rumah orang lain atau
saudaranya untuk beberapa waktu.
2. Identifikasi adanya riwayat abuse pada orang tua di masa lalu, depresi, atau masalah psikiatrik.
3. Identifikasi situasi krisis yang dapat menimbulkan abuse
4. Identifikasi bayi atau anak yang memerlukan perawatan dengan ketergantungan tinggi (seperti
prematur, bayi berat lahir rendah, intoleransi makanan, ketidakmampuan perkembangan,
hiperaktif, dan gangguan kurang perhatian)
5. Monitor reaksi orang tua observasi adanya rasa jijik, takut atau kecewa dengan jenis kelamin
anak yang dilahirkan.
6. Kaji pengetahuan orang tua tentang kebutuhan dasar anak dan perawatan anak.
7. Kaji respon psikologis pada trauma
8. Kaji keadekuatan dan adanya support system
9. Situasi Keluarga

B. Diagnosa Keperawatan
Contoh diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan: 7,8
1. Resiko gangguan dalam proses menjadi orang tua (Parenting, risk for impaired)
2. Gangguan dalam prosen menjadi orang tua (Parenting, impaired)
3. Post Trauma Syndrome
4. Pain related to burn on hand
5. Risk for injury related to previous abuse
6. Inefective family coping as manifested by child abuse to alcohol by father
C. Intervensi 9


DAFTAR PUSTAKA
1. Pilliteri, Adele, Child Health Nursing: Care of the Child and family, vol. 2, Lippincott,
Philadelphia, p. 1060
2. Pilliteri, Adele, Child Health Nursing: Care of the Child and family, vol. 2, Lippincott,
Philadelphia, p. 1060
3. http//www.uen.org
4. Pilliteri, Adele, Child Health Nursing: Care of the Child and family, vol. 2, Lippincott,
Philadelphia, p. 1062
5. Smith, Claudia M., Maurer, Frances A., (1995), Community health nursing: theory and
practice, WB Saunders Company, Philadelphia
6. Pilliteri, Adele, Child Health Nursing: Care of the Child and family, vol. 2, Lippincott,
Philadelphia
7. Pilliteri, Adele, Child Health Nursing: Care of the Child and family, vol. 2, Lippincott,
Philadelphia
8. Wilkinson, Judith M, (2005) Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with NIC
Interventions and NOC Outcomes, 8th ed., Person Prentice Hall, Upper Saddle River
9. Wilkinson, Judith M, (2005) Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with NIC
Interventions and NOC Outcomes, 8th ed., Person Prentice Hall, Upper Saddle River
Share this:
StumbleUpon
Digg
Reddit
Faktor Budaya di Balik Kasus "Child Abuse"


Oleh Bagong Suyanto

HASIL identifikasi yang dilakukan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa
Timur
(2000), menemukan, dalam tiga tahun terakhir paling tidak telah terjadi
300
lebih kasus child abuse. Yang mengherankan, justru sebagian besar
pelakunya
adalah orangtua korban. Jadi, keluarga dapat menjadi tempat paling
berbahaya
bagi kelangsungan hidup, perkembangan, dan perlindungan anak.

Secara konseptual, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat
didefinisikan
sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya
dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap
kesejahteraan anak, yang semua itu diindikasikan dengan kerugian dan
ancaman
terhadap kesehatan serta kesejahteraan anak.

Untuk sebagian tindak kekerasan terhadap anak, memang dipicu oleh ciri
kepribadian orangtua yang emosional, dan tekanan kebutuhan hidup yang
menjejas, seperti kemiskinan atau PHK. Tetapi, selama ini harus diakui,
sebagian kasus child abuse sebetulnya dapat dilacak dari faktor budaya
dalam
masyarakat yang kurang menguntungkan. Meski belum ada rincian mengenai
budaya mana saja yang merugikan anak, tetapi sejumlah studi telah
membuktikan, di sekitar kita masih banyak dijumpai praktik-praktik
budaya
yang merugikan anak baik secara fisik maupun emosional. Misalnya, dalam
praktik pengasuhan anak, pembiasaan bekerja sejak kecil kepada anak,
dan
banyak praktik lain yang merugikan anak, yang "berlindung" atas nama
adat-budaya.

Penelitian Mustain (1997) misalnya, tentang tindak kekerasan dalam
keluarga
di Surabaya, membuktikan, masih banyak praktik kekerasan terhadap
perempuan
dan anak. Dikemukakan Mustain, yang paling sering menjadi sasaran
kemarahan
dan kejengkelan orangtua (baca: ayah) adalah anak-anak. Jika sang ayah
sedang marah, tidak jarang anak ditendang dan ditempeleng. Yang menarik
hampir tidak ada reaksi berarti dari orang lain (tetangga) terhadap
perlakuan kasar dan keras itu. Para tetangga menilai, persoalan
kekerasan
terhadap anak yang dilakukan orangtuanya adalah urusan intern mereka.
Itu
juga dilakukan dalam rangka "mendidik" anak-anaknya yang dinilai
membandel
dan membangkang.

Selain temuan Mustain, studi Heddy Shri Ahimsa-Putra dan kawan-kawan
(1999)
juga mensinyalir pengaruh faktor budaya terhadap kecenderungan
terjadinya
tindak kekerasan yang dialami anak-anak. Menurut Ahimsa-Putra dan
kawan-kawan, di berbagai masyarakat, umumnya ada hubungan yang secara
natural asimetris antara anak dan orang dewasa, merupakan landasan bagi
hubungan asimetris secara kultural antara kedua kategori itu. Dalam hal
ini,
anak dalam posisi yang lebih lemah dan karena itu juga lebih rendah.
Orang
dewasa secara sadar maupun tidak, telah menciptakan ketidakseimbangan
kultural ini dalam hubungan mereka dengan anak yang sifatnya
menguntungkan
orang dewasa, dan mereka menanamkan hal ini pada diri anak. Akhirnya
anak
menerima hubungan asimetris ini sebagai hal biasa dan ini merupakan
akar
dari berbagai tindak kekerasan orang dewasa kepada anak.

Kendala

Secara teoretis, kasus-kasus child abuse sebetulnya sedikit-banyak
dapat
dikurangi bila masyarakat bersedia bersikap proaktif, dan selalu
berusaha
secara dini mencegah kemungkinan terjadinya perlakuan salah pada anak.
Masalahnya, adakah masyarakat cukup pengetahuan dan kesadaran untuk
mengambil peran lebih aktif demi kesejahteraan anak-anak, bukan saja
anak
sendiri tetapi juga anak-anak lain yang ada di sekitarnya?

Paling-tidak ada tiga faktor yang menjadi kendala bagi masyarakat
mengambil
peran aktif dalam mencegah terjadinya child abuse. Pertama, seperti
dikatakan Irwanto (2000), masyarakat umumnya masih kurang memiliki
pengetahuan tentang apa yang dimaksud dengan tindak kekerasan pada anak
yang
dikategorikan abuse atau maltreatment, dan bilamana kasus itu terjadi.
Bahkan, yang memprihatinkan, tidak jarang kasus-kasus child abuse
dibungkus
dengan dalih demi kepatuhan dan bagian proses pendidikan anak. Seorang
warga
masyarakat yang mendengar ada seorang anak menangis karena dipukul
bapaknya,
misalnya, ia tidak mustahil akan berdiam diri karena menganggap apa
yang
dilakukan bapak itu adalah suatu tindakan yang semestinya. Demikian
pula,
jika ada orang yang melihat keluarga yang mempekerjakan anak-anaknya di
usia
dini-di bawah 13 tahun-dalam kegiatan produktif. Melatih anak bekerja
sejak
dini, dianggap oleh kebanyakan masyarakat di pedesaan sebagai bagian
dari
proses pembelajaran untuk mandiri sekaligus bentuk perwujudan dari
konsep
berbakti kepada orangtua.

Kedua, karena di berbagai masyarakat, tolok ukur yang dijadikan patokan
untuk menentukan tindakan mana dikategorikan keras dan melanggar hak
anak,
dan tindakan mana yang ditoleransi bahkan dianjurkan, umumnya tidak
selalu
sama. Upaya untuk mendefinisikan tindak kekerasan terhadap anak-anak
dalam
banyak hal berkait secara signifikan dengan ketentuan-ketentuan
normatif
(normatice pattern) suatu keluarga dan masyarakat (Clinnard and Meier,
1985).

Artinya, sebuah tindakan yang dikategorikan child abuse dalam
masyarakat
tertentu boleh jadi pada masyarakat yang lain dianggap sebagai hal yang
lazim, bahkan suatu keharusan untuk tujuan-tujuan yang secara budaya
dibenarkan. Pada masyarakat tertentu, tindak kekerasan terhadap anak
acap
bisa diterima sebagai upaya mendapatkan kepatuhan anak. Tolok ukur
kebaikan
suatu keluarga, acap juga ditunjukkan dari kepatuhan anak kepada
orangtuanya. Nilai keluarga yang berkembang dalam masyarakat adalah
bila
anak-anaknya patuh kepada orangtua. Anak yang nakal, apalagi
membangkang
dalam banyak hal, dipandang sebagai cerminan citra buruk orangtua
(keluarga). Untuk mencegahnya, beberapa orangtua tidak segan-segan
melakukan
tindak kekerasan.

Ketiga, ada kesan, masyarakat umumnya lebih senang hidup dalam mitos
yang
menyatakan, keluarga adalah institusi yang harmonis, dan niscaya tidak
ada
satu pun orangtua di dunia tega berbuat jahat kepada anak-anaknya.
Padahal,
berbagai berita yang diekspose surat kabar dan banyak studi telah
membuktikan, mitos itu tidak selalu benar.

Upaya penanganan

Kendati hingga kini masih banyak kalangan menganggap perlakuan kasar
dan
keras kepada anak-anak sebagai masalah intern keluarga bahkan mungkin
dianggap sebagai bagian proses pendidikan anak. Tetapi, dengan
menyadari
bahwa jumlah anak-anak yang menjadi korban dari tindak kekerasan dan
perlakuan salah ini makin meluas dari hari ke hari, maka tak
terhindarkan
lagi, kita semua harus segera mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan
untuk mencegah agar masalah ini tidak melebar dan melahirkan korban-
korban
baru yang menyengsarakan masa depan anak-anak. Beberapa hal yang
direkomendasi dan dinilai perlu dilakukan untuk mengeliminasi, mencegah
dan
menangani kasus child abuse adalah:

Pertama, mengingat di masyarakat faktor budaya dan tradisi sering
menempatkan anak sebagai masalah domestik, bahkan acapkali mendukung
kemungkinan terjadinya pelanggaran hak dan perlakuan salah pada anak-
anak,
maka langkah pertama yang dibutuhkan adalah melakukan counter-culture.
Yakni, mencoba menarik keluar isu tentang child abuse dari wilayah
privat ke
wilayah publik dengan harapan dapat membuka kesempatan dan kemungkinan
bagi
lingkungan sosial di sekitar untuk melakukan kontrol, baik secara
preventif
maupun kuratif terhadap kasus child abuse.

Kedua, untuk menumbuhkan minat, perhatian dan empati seluruh masyarakat
terhadap permasalahan tindak kekerasan yang dialami anak-anak, langkah
yang
dibutuhkan adalah bagaimana menyadarkan kepada masyarakat bahwa masalah
ini
tidak cukup hanya disikapi dengan sekadar berbelas kasihan kepada anak
yang
menjadi korban atau mengutuk keras-keras perlakuan orang-orang yang
tega
menganiaya anak. Yang benar-benar dibutuhkan saat ini, tak pelak adalah
kesediaan kita semua untuk mengambil langkah-langkah konkret mencegah
agar
anak-anak yang menjadi korban tidak makin bertambah, atau paling-tidak
bersedia melaporkan kasus child abuse yang terjadi di sekitar kita
kepada
lembaga-lembaga yang memiliki otoritas menangani soal ini, baik itu
aparat
kepolisian maupun lembaga-lembaga sosial di masyarakat yang memiliki
komitmen untuk memberikan perlindungan sosial kepada anak-anak,
khususnya
anak yang menjadi korban perlakuan salah masyarakat, termasuk korban
perlakuan salah dari orangtua kandung sekali pun.

Ketiga, salah satu kesulitan untuk mendeteksi dan menangani kasus child
abuse adalah karena ruang kejadian kasus ini umumnya di wilayah privat:
di
lingkungan intern keluarga korban yang acapkali dipandang masyarakat
tabu
untuk dicampuri oleh orang atau pihak lain, terlebih yang bukan berasal
dari
sanak-kerabat. Untuk dapat menerobos celah-celah wilayah privat ini,
karena
itu upaya monitoring dan penanganan kasus child abuse seyogianya
memanfaatkan dan meminta dukungan lembaga-lembaga atau pihak tertentu
yang
fungsional dan eksis di lingkungan lokal, seperti ibu-ibu anggota PKK,
kelompok Dasa Wisma, pengurus RT/RW, dan lain-lain yang betul-betul
mengenal
dan "dekat" dengan kehidupan sehari-hari keluarga di lingkungannya.
Pada
tahap awal sudah barang tentu pendekatan yang digunakan bukan
pendekatan
legal-formal yang secara gegabah menempatkan pelaku child abuse sebagai
tersangka dan harus diproses secara hukum. Pemecahan menurut hukum
adat,
kebiasaan setempat yang melibatkan tokoh masyarakat atau ulama lokal
barangkali akan menjadi solusi yang lebih bijak dalam penanganan kasus
child
abuse di masyarakat. Tentu saja, untuk kasus child abuse yang
terkategori
berat, proses penyelesaian persoalan secara hukum tak terhindarkan.



BAGONG SUYANTO Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Airlangga, Peneliti Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur




http://www.mail-archive.com/keluarga-
sejahtera@yahoogroups.com/msg00019.html


Pentingnya Sex Education ( Pendidikan Seks)

Di Indonesia, ternyata banyak orang yang tidak ingin benar-benar membicarakan seks.
Tetapi ketika mereka muda dan tumbuh dan masalah ini muncul pada keluarga mereka, semua
orang menjadi tegang. Apa yang harus dikatakan dan kapan?
Sex education/pendidikan seks sebenarnya berarti pendidikan seksualitas yaitu suatu
pendidikan mengenai seksualitas dalam arti luas. Seksualitas meliputi berbagai aspek yang
berkaitan dengan seks, yaitu aspek biologik, orientasi, nilai sosiokultur dan moral, serta perilaku.
Sesuai dengan kelompok usia berdasarkan perkembangan hidup manusia, maka
pendidikan sex dapat dibagi menjadi pendidikan seks untuk anak prasekolah dan sekolah,
pendidikan seks untuk remaja, untuk dewasa pranikah serta menikah.
Sex education untuk anak-anak bertujuan agar anak mengerti identitas dirinya dan
terlindung dari masalah seksual yang dapat berakibat buruk bagi anak. Pendidikan seks untuk
anak pra sekolah lebih bersifat pemberian informasi berdasarkan komunikasi yang benar antara
orangtua dan anak.
Sex education untuk remaja bertujuan melindungi remaja dari berbagai akibat buruk
karena persepsi dan perilaku seksual yang keliru. Sementara pendidikan sex untuk dewasa
bertujuan agar dapat membina kehidupan sexual yang harmonis sebagai pasangan suami istri.
Pendidikan seksual selain menerangkan tentang aspek-aspek anatomis dan biologis juga
menerangkan tentang aspek-aspek psikologis dan moral. Pendidikan seksual yang benar harus
memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia. Juga nilai-nilai kultur dan agama diikutsertakan
sehingga akan merupakan pendidikan akhlak dan moral juga.
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa.
Bagaimana bentuk sex education yang seharusnya diinformasikan kepada remaja?
Remaja harus mempelajari pola-pola perilaku seksual yang diakui oleh lingkungan serta nilai-
nilai sosial sebagai pegangan dalam memilih teman hidup. Remaja juga harus belajar
mengekspresikan CINTA pada lawan jenisnya, dan belajar memainkan peran sesuai jenis
kelamin, sebagaimana yang diakui oleh lingkungan. Dibawah ini diterangkan satu persatu
mengenai tugas-tugas tersebut:
1. Memperoleh pengetahuan mengenai seks dan juga peran sebagai pria atau wanita dewasa yang
diakui oleh lingkungan masyarakat sekitarnya. Pengetahuan ini penting sekali artinya, sebelum
remaja mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dalam berinteraksi secara dewasa dengan
lawan jenisnya. Dengan pengetahuan itu, ia akan mampu memahami kewajiban dan tanggung
jawab yang harus dipikulnya sama baiknya dengan kesenangan dan kepuasan yang ia dapatkan.
Dengan pengetahuan itu pula, ia akan lebih mampu memainkan peran sesuai jenis kelamin yang
diakui oleh lingkungan masyarakat.
2. Mengembangkan sikap terhadap sex Tugas perkembangan yang kedua dalam masa transisi
seksual ini adalah mengembangkan sikap yang positif terhadap seksualitas.
Sikap-sikap yang positif terhadap masalah seksualitas ini menyangkut perasaan remaja terhadap
anggota kelompok lawan jenis, perasaan remaja terhadap peran perempuan atau laki-laki sesuai
jenis kelamin, dan perasaan terhadap masalah-masalah seks itu sendiri. Semua perasaan ini
menyangkut norma-norma yang diakui oleh lingkungan sosial dimana remaja itu menetap. Sikap
yang positif terhadap masalah seksual akan mengarahkan remaja pada penyesuaian dalam
heteroseksualitas yang lebih mudah dan lebih baik. Sekali saja suatu sikap terbentuk, sikap
positif atau negatif, maka sikap itu cenderung akan menetap seumur hidupnya.
3. Belajar bertingkah laku dalam hubungan heteroseksual menurut cara yang diakui oleh
lingkungan masyarakat.
Belajar bertingkah laku sesuai apa yang diakui oleh lingkungan sosial dalam hal relasi
heteroseksual merupakan tugas perkembangan ketiga dalam masa transisi menuju seksualitas
dewasa. Pengalaman bergaul dengan lawan jenis akan banyak membantu remaja dalam usahanya
menguasai tugas perkembangan ini.
4. Menetapkan nilai-nilai dalam memilih pasangan hidup.
Tugas keempat yang harus dikuasai remaja dalam menjalani masa transisi menuju kehidupan
seksualitas dewasa adalah menetapkan nilai-nilai yang akan menjamin suatu pengambilan
keputusan yang bijaksana dalam memilih pasangan hidupnya.
5. Belajar untuk mengekspresikan cinta Tugas penting kelima adalah belajar menyatakan
perasaan dan emosi yang terbangkit oleh orang yang dicintainya, sesuai dengan norma-norma
yang berlaku.
Pada masa transisi menuju kedewasaan, pada umumnya remaja harus belajar untuk menjadi lebih
outer boundsebagai ganti dari sifat self bound yang merupakan ciri kekanak-kanakan. Remaja
harus belajar menunjukkan afeksinya dan memperlihatkan rasa sayangnya serta menerima hal itu
dari orang lain, khususnya lawan jenisnya. Dengan dimilikinya dorongan dorongan seksual pada
remaja, membuat remaja tertarik pada lawan jenis kelamin dan mulai mencoba mengekspresikan
dorongan-dorongan tersebut. Disini remaja mulai mengenal arti cinta dan berusaha untuk
mengekspresikan cinta tersebut. Dalam mengekspresikan cinta ini terdapat berbagai macam cara
yang dilakukan remaja, baik yang bersifat nonfisikal maupun fisikal.
6. Belajar untuk memainkan peran sesuai dengan jenis kelamin Belajar untuk memainkan peran
sesuai dengan jenis kelamin merupakan tugas keenam dalam mencapai heteroseksualitas yang
matang.
Tugas ini merupakan tugas yang paling sulit dan penuh tantangan, terutama bagi remaja
putri.
Seks edukasi yang komprehensive dapat mengurangi kehamilan pada remaja tanpa
meningkatkan jumlah hubungan seksual ataupun Peyakit Menular Seksual.
Bagaimana orangtua tetap berbicara tentang seks sampai anak dewasa? Orangtua pada
tahap ini harus ingat bahwa anak-anak benar-benar membutuhkan dan menginginkan Anda.
Remaja bukan anak dewasa yang berbadan kecil. Mereka masih membutuhkan orang dewasa
sebagai sumber dan pembimbing.
Penjabaran tujuan pendidikan seksual dengan lebih lengkap sebagai berikut :
Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik, mental dan proses
kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual pada remaja.
Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan perkembangan dan
penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggungjawab) Membentuk sikap dan memberikan
pengertian terhadap seks dalam semua manifestasi yang bervariasi
Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia dapat membawa kepuasan
pada kedua individu dan kehidupan keluarga.
Memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral yang esensial untuk
memberikan dasar yang rasional dalam membuat keputusan berhubungan dengan perilaku
seksual.
Memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan seksual agar individu
dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat mengganggu kesehatan fisik dan
mentalnya.
Untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang tidak rasional dan
eksplorasi seks yang berlebihan.
Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu melakukan aktivitas
seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai peran, misalnya sebagai istri atau suami, orang
tua, anggota masyarakat. Jadi tujuan pendidikan seksual adalah untuk membentuk suatu sikap
emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak dan remaja ke arah hidup
dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya. Hal ini dimaksudkan
agar mereka tidak menganggap seks itu suatu yang menjijikan dan kotor. Tetapi lebih sebagai
bawaan manusia, yang merupakan anugrah Tuhan dan berfungsi penting untuk kelanggengan
kehidupan manusia, dan supaya anak-anak itu bisa belajar menghargai kemampuan seksualnya
dan hanya menyalurkan dorongan tersebut untuk tujuan tertentu (yang baik) dan pada waktu
yang tertentu saja. Dalam memberikan pendidikan seks pada anak jangan ditunggu sampai anak
bertanya mengenai seks. Sebaiknya pendidikan seks diberikan dengan terencana, sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan anak. Sebaiknya pada saat anak menjelang remaja dimana proses
kematangan baik fisik, maupun mentalnya mulai timbul dan berkembang kearah kedewasaan.
Beberapa hal penting dalam memberikan pendidikan seksual, seperti yang diuraikan oleh
Singgih D. Gunarsa (1995) berikut ini, mungkin patut anda perhatikan:
Cara menyampaikannya harus wajar dan sederhana, jangan terlihat ragu-ragu atau malu.
Isi uraian yang disampaikan harus obyektif, namun jangan menerangkan yang tidak-
tidak, seolah-olah bertujuan agar anak tidak akan bertanya lagi, boleh mempergunakan contoh
atau simbol seperti misalnya : proses pembuahan pada tumbuh-tumbuhan, sejauh diperhatikan
bahwa uraiannya tetap rasional.
Dangkal atau mendalamnya isi uraiannya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan
dengan tahap perkembangan anak. Terhadap anak umur 9 atau 10 tahun t belum perlu
menerangkan secara lengkap mengenai perilaku atau tindakan dalam hubungan kelamin, karena
perkembangan dari seluruh aspek kepribadiannya memang belum mencapai tahap kematangan
untuk dapat menyerap uraian yang mendalam mengenai masalah tersebut.
Pendidikan seksual harus diberikan secara pribadi, karena luas sempitnya pengetahuan
dengan cepat lambatnya tahap-tahap perkembangan tidak sama buat setiap anak. Dengan
pendekatan pribadi maka cara dan isi uraian dapat disesuaikan dengan keadaan khusus anak.
Pada akhirnya perlu diperhatikan bahwa usahakan melaksanakan pendidikan seksual
perlu diulang-ulang (repetitif) selain itu juga perlu untuk mengetahui seberapa jauh sesuatu
pengertian baru dapat diserap oleh anak, juga perlu untuk mengingatkan dan memperkuat
(reinforcement) apa yang telah diketahui agar benar-benar menjadi bagian dari pengetahuannya.
http://www.canboyz.co.cc/2010/06/pentingnya-sex-education-pendidikan.htm
Mengapa Perlu Pendidikan Seks?
Anak-anak dan remaja rentan terhadap informasi yang salah mengenai seks. Jika tidak
mendapatkan pendidikan seks yang sepatutnya, mereka akan termakan mitos-mitos tentang seks
yang tidak benar. Informasi tentang seks sebaiknya didapatkan langsung dari orang tua yang
memiliki perhatian khusus terhadap anak-anak mereka.
Hasil survey Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa
lebih dari 60 persen remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks pranikah. Angka yang
memprihatinkan di negeri yang cukup menjunjung tinggi nilai moral sehubungan seks. Mengapa
mereka bisa melakukan hubungan seks pranikah? Penyebabnya karena kurangnya pendidikan
seks kepada anak dan remaja. Kapan pendidikan seks bisa mulai dilakukan?

Kapan Pendidikan Seks Dimulai?
Kapan pendidikan seks bisa mulai diberikan kepada anak? Beberapa orang tua sering menjawab
pertanyaan seks dengan jawaban singkat: "Tunggu kamu besar!". Sebenarnya waktu terbaik
memberikan pendidikan seks adalah sejak dini! Pendidikan seks dimulai bahkan sejak anak
masih balita.
Jika Anda menunda memberikan pendidikan seks pada saat anak Anda mulai memasuki usia
remaja, maka itu sudah terlambat. Karena di zaman di mana informasi mudah didapat dari
Internet dan teman sebaya, maka saat anak usia remaja mereka telah mengetahui lebih banyak
tentang seks dan kemungkinan besar dari sudut pandang yang salah.

Bagaimana Pendidikan Seks Diberikan?
Bagaimana cara terbaik memberikan pendidikan seks kepada anak-anak Anda? Berikut ini
beberapa tahapan umur dan cara memberikan pendidikan seks sesuai dengan tingkat usia anak
Anda.
Balita (1-5 tahun)
Pada usia ini, Anda bisa mulai menanamkan pendidikan seks. Caranya cukup mudah, yaitu
dengan mulai memperkenalkan kepada si kecil organ-organ seks miliknya secara singkat. Tidak
perlu memberi penjelasan detail karena rentang waktu atensi anak biasanya pendek.

Misalnya saat memandikan si kecil, Anda bisa memberitahu berbagai organ tubuh anak, seperti
rambut, kepala, tangan, kaki, perut, dan jangan lupa penis dan vagina atau vulva. Lalu
terangkan perbedaan alat kelamin dari lawan jenisnya, misalnya jika si kecil memiliki adik yang
berlawanan jenis.

Selain itu, tandaskan juga bahwa alat kelamin tersebut tidak boleh dipertontonkan dengan
sembarangan, dan terangkan juga jika ada yang menyentuhnya tanpa diketahui orang tua, maka
si kecil harus berteriak keras-keras dan melapor kepada orang tuanya. Dengan demikian, anak-
anak Anda bisa dilindungi terhadap maraknya kasus kekerasan seksual dan pelecehan seksual
terhadap anak.
Usia 3-10 tahun
Pada usia ini, anak biasanya mulai aktif bertanya tentang seks. Misalnya anak akan bertanya dari
mana ia berasal. Atau pertanyaan yang umum seperti bagaimana asal-usul bayi. Jawaban-
jawaban yang sederhana dan terus terang biasanya efektif.

Contoh #1: "Bayi berasal dari mana?" Anda bisa menjawab dari perut ibu. Atau Anda bisa
tunjukkan seorang ibu yang sedang hamil dan menunjukkan lokasi bayi di perut ibu tersebut.

Contoh #2: "Bagaimana bayi keluar dari perut Ibu?" Anda bisa menjawab bayi keluar dari
lubang vagina atau vulva supaya bisa keluar dari perut ibu.

Contoh #3: "Mengapa bayi bisa ada di perut?" Anda bisa menjawab bahwa bayi di perut ibu
karena ada benih yang diberikan oleh ayah kepada ibu. Caranya adalah ayah memasukkan benih
tersebut menggunakan penis dan melalui vagina dari ibu. Itu yang dinamakan hubungan seks,
dan itu hanya boleh dilakukan oleh pria dan wanita yang telah menikah.
Usia Menjelang Remaja
Saat anak semakin berkembang, mulai saatnya Anda menerangkan mengenai haid, mimpi
basah, dan juga perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada seorang remaja. Anda bisa
terangkan bahwa si gadis kecil akan mengalami perubahan bentuk payudara, atau terangkan
akan adanya tumbuh bulu-bulu di sekitar alat kelaminnya.
Usia Remaja
Pada saat ini, seorang remaja akan mengalami banyak perubahan secara seksual. Anda perlu
lebih intensif menanamkan nilai moral yang baik kepadanya. Berikan penjelasan mengenai
kerugian seks bebas seperti penyakit yang ditularkan dan akibat-akibat secara emosi.
Menurut penelitian, pendidikan seks sejak dini akan menghindari kehamilan di luar pernikahan
saat anak-anak bertumbuh menjadi remaja dan saat dewasa kelak. Tidak perlu tabu
membicarakan seks dalam keluarga. Karena anak Anda perlu mendapatkan informasi yang tepat
dari orang tuanya, bukan dari orang lain tentang seks.
Karena rasa ingin tahu yang besar, jika anak tidak dibekali pendidikan seks, maka anak tersebut
akan mencari jawaban dari orang lain, dan akan lebih menakutkan jika informasi seks didapatkan
dari teman sebaya atau Internet yang informasinya bisa jadi salah. Karena itu, lindungi anak-
anak Anda sejak dini dengan membekali mereka pendidikan mengenai seks dengan cara yang
tepat.
SMS IKLAN:
Terapi kesehatan skrg smudah bersms,DENGAN PENYEMBUHAN JARAK JAUH REIKI info klik
http://www.sukses-area.blogspot.com/p/terapi-kesehatan.html
Tanggal: 06/12/2010 | Jam: 12:04 | Pengirim: 628562533317 | Cara Kirim
http://kumpulan.info/keluarga/anak/40-anak/258-pendidikan-seks-anak.html
Tentang Pendidikan Seks
Februari 13, 2008 pada 10:22 am (Tak Berkategori)
Tags: keluarga
Minggu, 16-12-2007 | 04:00:00-tribunkaltim.co.id
- Pendidikan seksual selain menerangkan tentang aspek-aspek anatomis dan biologis juga menerangkan
tentang aspek-aspek psikologis dan moral.
- Pendidikan seksual yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia. Juga nilai-
nilai kultur dan agama diikutsertakan sehingga akan merupakan pendidikan akhlak dan moral
juga.
Tujuan pendidikan seks :
- Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik, mental dan proses
kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual pada remaja.
- Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan perkembangan dan penyesuaian
seksual (peran, tuntutan dan tanggungjawab)
- Membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap seks dalam semua manifestasi yang
bervariasi
- Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia dapat membawa kepuasan pada
kedua individu dan kehidupan keluarga.
- Memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral yang esensial untuk memberikan
dasar yang rasional dalam membuat keputusan berhubungan dengan perilaku seksual.
- Memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan seksual agar individu dapat
menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat mengganggu kesehatan fisik dan mentalnya.
- Untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang tidak rasional dan eksplorasi
seks yang berlebihan.
- Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu melakukan aktivitas seksual
secara efektif dan kreatif dalam berbagai peran, misalnya sebagai istri atau suami, orangtua,
anggota masyarakat.
Kiat:
- Dalam membicarakan masalah seksual adalah yang sifatnya sangat pribadi dan membutuhkan
suasana yang akrab, terbuka dari hati ke hati antara orangtua dan anak. Hal ini akan lebih mudah
diciptakan antara ibu dengan anak perempuannya atau bapak dengan anak laki-lakinya, sekalipun
tidak ditutup kemungkinan dapat terwujud bila dilakukan antara ibu dengan anak laki-lakinya
atau bapak dengan anak perempuannya.
- Usahakan jangan sampai muncul keluhan seperti tidak tahu harus mulai dari mana, kekakuan,
kebingungan dan kehabisan bahan pembicaraan.
- Cara menyampaikannya harus wajar dan sederhana, jangan terlihat ragu-ragu atau malu.
- Isi uraian yang disampaikan harus objektif, namun jangan menerangkan yang tidak-tidak,
seolah-olah bertujuan agar anak tidak akan bertanya lagi.
- Dangkal atau mendalamnya isi uraiannya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan dengan
tahap perkembangan anak. Terhadap anak umur 9 atau 10 tahun belum perlu menerangkan
secara lengkap mengenai perilaku atau tindakan dalam hubungan kelamin, karena perkembangan
dari seluruh aspek kepribadiannya memang belum mencapai tahap kematangan untuk dapat
menyerap uraian yang mendalam mengenai masalah tersebut.
- Pendidikan seksual harus diberikan secara pribadi, karena luas sempitnya pengetahuan dengan
cepat lambatnya tahap-tahap perkembangan tidak sama buat setiap anak. Dengan pendekatan
pribadi maka cara dan isi uraian dapat disesuaikan dengan keadaan khusus anak.
- Usahakan melaksanakan pendidikan seksual perlu diulang-ulang (repetitif) selain itu juga perlu
untuk mengetahui seberapa jauh sesuatu pengertian baru dapat diserap oleh anak, juga perlu
untuk mengingatkan dan memperkuat (reinforcement) apa yang telah diketahui agar benar-benar
menjadi bagian dari pengetahuannya. (e-psikologi/cpk)
Waspada !
Berbagai perilaku seksual pada remaja yang belum saatnya untuk melakukan hubungan seksual
secara wajar antara lain dikenal sebagai :
- Masturbasi atau onani yaitu suatu kebiasaan buruk berupa manipulasi terhadap alat genital
dalam rangka menyalurkan hasrat seksual untuk pemenuhan kenikmatan yang seringkali
menimbulkan goncangan pribadi dan emosi.
- Berpacaran dengan berbagai perilaku seksual yang ringan seperti sentuhan, pegangan tangan
sampai pada ciuman dan sentuhan-sentuhan seks yang pada dasarnya adalah keinginan untuk
menikmati dan memuaskan dorongan seksual.
- Berbagai kegiatan yang mengarah pada pemuasan dorongan seksual yang pada dasarnya
menunjukan tidak berhasilnya seseorang dalam mengendalikannya atau kegagalan untuk
mengalihkan dorongan tersebut ke kegiatan lain yang sebenarnya masih dapat dikerjakan. (e-
psikologi/cpk)
http://klipingut.wordpress.com/2008/02/13/tentang-pendidikan-seks/
Kebanyakan orang tua selalu menunda-nunda untuk membicarakan tentang seks dengan anak
remaja mereka. Dan ketika orang tua mulai membicarakannya dengan anak remaja mereka,
sering sudah terlambat. Menurut penelitian, sebagian remaja sudah pernah berhubungan seks
pada saat orang tua mereka mencoba untuk membicarakan seks dengan mereka. Memang
penelitian tersebut dilakukan di Amerika Serikat, tapi remaja-remaja di Indonesia juga
mempunyai perilaku yang sangat memprihatinkan.

Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of the American Academy of Pediatrics, 114 keluarga
yang diwawancarai pada masalah-masalah mulai dari perubahan tubuh pada masa pubertas
sampai dengan kondom dan kehamilan. Dalam satu sesi, peneliti menanyakan kepada para
remaja dan orang tua mereka secara terpisah, tentang kapan topik ini dibahas oleh mereka.
Kemudian hasilnya dibandingkan dengan jawaban para remaja tentang aktivitas seks pertama
mereka.

Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata, remaja telah berhubungan seks sebelum orang tua
mereka mulai mendiskusikannya dengan mereka. Menurut salah satu peneliti, Dr. Mark
Schuster, kepala pediatri umum di Children's Hospital Boston, hasil penelitian ini seharusnya
mendorong orang tua untuk berbicara dengan anak remaja mereka tentang pendidikan seks lebih
awal. Dengan harapan perilaku seks bebas pada remaja bisa dikendalikan.

Di Indonesia sendiri penelitian tentang Perilaku Seks Bebas Remaja Perkotaan pernah dilakukan
dengan hasil bahwa ketika informasi yang diterima remaja bukan informasi yang transparan
maka kecenderungan untuk melakukan seks bebas makin tinggi karena ketidak-tahuannya akan
informasi seks yang baik dan benar. Makin beragamnya sumber-sumber informasi seks tidak
menjamin bahwa kecenderungan perilaku seks remaja akan menurun.

Berdasar hasil penelitian tersebut di atas, maka pemecahan masalah yang relevan adalah
keterbukaan dan transparansi dalam proses pendidikan seks. Bukan saja pendidikan seks yang
disampaikan melalui sekolah, media massa, saluran komunikasi publik dan lain-lain, tetapi yang
paling penting pendidikan seks dari orang tua. Karena orang tua dan keluarga merupakan agen
sosialisasi yang paling utama sebelum remaja melakukan sosialisasi dengan institusi lainnya.
http://abidinblog.blogspot.com/2009/12/pendidikan-seks-remaja-dan-orangtua.html

You might also like