You are on page 1of 9

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR PSIKO-SOCIAL PADA DEPRESI DAN

RESIKO BUNUH DIRI PADA PASIEN YANG MENDERITA SKIZOFRENIA


Katarina Dokic Pjescic, Milutin M.Nenadovic, Miroslav JasovicGasic, Goran Trajkovic, Mirjan Kostic, & Radmila Ristic-Dimitrijevic
Fakultas kedokteran, Universtias Pristina, presiding di Kosovska
Mitrovica, Serbia
Klinisi Gangguan mental, Dr Laza Lazarevic, Belgrade, Serbia
Akademi ilmu kesehatn, Komunitas kesehatan serbian, Belgrade, Serbia
Fakultas kedokteran , Institut statistik kesehatan dan informasi, Universitas
Belgrade, Serbia
Institut statistik kesehatan dan informasi, Universitas Pristina, presiding di
Kosovska Mitrovica, Serbia
Diterima : 15.4.2014
Revisi : 25.7.2014

Disahkan : 4.8.2014

RINGKASAN
Latar belakang: Tujuan penelitian ini adalah menyelidiki pengaruh faktorfaktor psikososial tertentu pemahaman, psikoedukasi, dukungan keluarga dan
sosial, kesepian dan pengasingan sosial pada kemunculan depresi dan resiko
bunuh diri pada skizofrenia.
Subyek dan metode: Ini adalah penelitian cross-sectional yang terdiri atas
pasien rawat inap yang menderita skizofrenia dalam fase remisi awal. Penilaian
depresi dan resiko bunuh diri dilakukan dengan menggunakan wawancara
psikiatris

semi

terstruktur

yang

memuat

faktor-faktor

yang

dipelajari

(pemahaman, psikoedukasi, dukungan keluarga dan sosial, kesepian dan


pengasingan sosial). Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) dan Calgary
Depression Scale for Schizophrenia (CDSS). Berdasarkan penilaian, sampel
dibagi menjadi dua kelompok: Kelompok pasien dengan depresi dan resiko bunuh
diri pada skizofrenia (N=53) dan Kelompok kontrol (N=159) yang terdiri dari
pasien dengan skizofrenia tanpa depresi dan resiko bunuh diri.

Hasil: Dalam Kelompok pasien penderita depresi dan resiko bunuh diri,
dibandingkan dengan Kelompok kontrol, terdapat frekuensi pemahaman dalam
status mental yang secara signifikan lebih tinggi (2=32.736, p<0.001), jumlah
pasien tanpa psikoedukasi (2=10.039, p=0.002), kurangnya dukungan keluarga
(2=6.103, p=0.047), kesepian (2=6.239, p=0.012) dan pengasingan sosial
(2=47.218, p<0.001). Dengan menggunakan model regresi logistic multi-varian,
pemahaman, kurangnya psikoedukasi dan pengasingan sosial (p<0.05)
diidentifikasi sebagai prediktor depresi dan resiko bunuh diri pada skizofrenia.
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor psikososial
yang dipelajari pemahaman akan status mental, kurangnya psikoedukasi, juga
pengasingan sosial dapat menjadi prediktor kemunculan depresi dan resiko
bunuh diri pada skizofrenia.
Kata kunci: faktor psikososial depresi pada skizofrenia resiko bunuh diri
skizofrenia
PENDAHULUAN
Konsep modern mengenai skizofrenia memuat model lima dimensi yang
memiliki tiga kelompok gejala, yaitu dimensi: 1) gejala positif, 2) gejala negatif,
3) gejala kognitif, 4) agresivitas/impulsivitas, dan 5) depresi/kecemasan
(Paunovi, 2004). Menurut model ini, depresi pada skizofrenia bisa dianggap
sebagai bagian integral dari gangguan itu sendiri, atau salah satu dimensinya. Di
sisi lain, depresi pada skizofrenia juga bisa dilihat sebagai reaksi pada gangguna
yang uncul pada pasien dengan pemahaman yang lebih baik pada status mental
dan internalisasi stigma (Jaovic-Gai, 1997). Kemunculan depresi pada
skizofrenia juga menimbulkan resiko bunuh diri. Kira-kira 25% pasien dengan

skizofrenia melakukan setidaknya satu usaha bunuh diri dalam hidupnya,


sementara 9-13% melakukan bunuh diri (Shrivastava dkk. 2010).
Konsep pemahaman kognitif diperkenalkan untuk menggambarkan
kapasitas mental pasien psikotis untuk menjauhkan diri dari pengalaman psikotis
mereka (Riggs dkk, 2012). Kesepian dan pengasingan sosial pada pasien penderita
gangguan skizofrenia adalah tanda-tanda prognosis yang buruk. Penemuan
beberapa penelitian mendukung fakta bahwa bersama dengan kemajuan
kepatuhan farmakoterapi yang lebih baik dan sosialisasi ulang, perawatan integral
depresi dan resiko bunuh diri pada skizofrenia adalah wajib (Avgustin 2009,
Valencia dkk. 2013, Hode 2013, Lysaker dkk. 2013).
Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi pengaruh faktor-faktor
psikososial tertentu pemahaman, psikoedukasi, dukungan keluarga dan sosial,
kesepian dan pengasingan sosial pada kemunculan depresi dan resiko bunuh diri
pada skizofrenia.
SUBYEK DAN METODE
Ini adalah penelitian cross-sectional. Sampel terdiri atas pasien laki-laki dan
perempuan penderita skizofrenia (F20), didiagnosis dengan kriteria klasifikais
ICD-10 (WHO 1992). Pasien berada pada fase remisi awal, dirawat untuk
mendapatkan perawatan psikiatris di Klinik Gangguan Mental Dr Laza
Lazarevi di Belgrade, selama tahun 2013. Penelitian ini disetujui oleh Komite
Etika Klinik dimana ini dijalankan, da semua pasien menandatangi surat
persetujuan. Untuk secara obyektif menilai tingkat keparahan sebenarnya dari
gangguan ini, digunakan Clinical Global Impression Scale Severity Subscale
SGI-S (Guy 2001). Dalam penelitian ini, skor acuan adalah 3 atau lebihi rendah (3
agak terganggun, 2 batas gangguan mental, 1 normal, atau tidak terganggu

sama sekali). Rentang usia subyek penelitian adalah 18-60 tahun. Kriteria eksklusi
penelitian adalah komorbiditas dengan 1) gangguan neurologis, dan 2) penyakit
somatik berat.
Positive and Negative Syndrome Scale PANSS (Kay dkk. 1989)
digunakan untuk secara obyektif menilai keparahan dan struktur tampilan
skizofrenia, Nilai acuan dalam penelitian ini adlaha dari 4 ringan, hingga 7
ekstrim, untuk item-item beirkut ini: G3 perasaan bersalah, G6 depresi, dan
G16 penghindaran sosial aktif (penilaian gejala depresi pada skizofrenia); item
G12 kurangnya penilaian dan pemahaman (nilai acuan dari 1 tidak ada, hingga
5 berat menengah) digunakan untuk menilai pemahaman status mental.
Calgary Depression Scale for Schizophrenia CDSS adalah instrumen yang
juga digunakan dalam penelitian ini. Skala ini khusus unutk depresi pada
skizofrenia (Addington dkk. 1994). Skor pada skala ini yang sebesar 6 poin atau
lebih mengacu pada depresi klinis berat pada skizofrenia. Berdasarkan pada hasil
skala CDSS untuk penilaian depresi dan resiko bunuh diri pada pasien skizofrenia,
sampel dibagi menjaid dua kelompok: Kelompok pasien dengan depresi dan
resiko bunuh diri pada skizofrenia (skor CDSS 6 poin atau lebih), N=53, dan
Kelompok kontrol pasien dengan diagnosis skizofrenia tanpa depresi dan resiko
bunuh diri (skor CDSS kurang dari 6 poin), N=159. Resiko bunuh diri
diperkirakan berdasarka 8 item CDSS (Resko bunuh diri ringan gagasan bunuh
diri; resiko bunuh diri menengah gagasan bunuh diri dengan rencana tanpa usaha;
resiko bunuh diri jelas usaha bunuh diri). Seelah itu, kedua kelompok pasien
melakukan wawancara semi-terstruktur yang meneliti faktor psikososial:

pemahaman, psikoedukasi, dukungan keluarga dan sosial, kesepian dan


pengasingan sosial.
Analisis Statistik
Statistik deskriptif, termasuk angka dan persentase variabel kategoris
digunakan untuk menggambarkan sampel penelitian. Hubungan univariat antara
depresi dan resiko bunuh diri dalam variabel dependen dievaluasi menggunakan
uji chi- square Pearson. Model regresi logistic multivariate digunakan utnuk
menentukan prediktor depresi dan resiko bunuh diri sebagai variabel dependen,
dengan pemahaman, psikoedukasi, dukungan keluarga, dukungan sosial, kesepian
dan pengasingan sosial sebagai variabel independen. Analisis statistik dilakukan
menggunakan SPSS untuk Windows, versi 21. Dalam semua analisis, tingkat
signifikansi ditetapkan pada 0.05.
HASIL
Dalam kelompok pasien penderita depresid an resiko bunuh diri pada
skizofrenia, dibandingkan dengan Kelompok kontrol, jumlah pasien dengan
pemahaman status mental memiliki frekuensi yang secara signifikan lebih tinggi
(2=31.736, p<0,001). Total pemahaman status mental terdeteksi pada 66% dari
Kelompok pasien penderita depresi dan resiko bunuh diri pada skizofrenia,
sementara pada Kelompok kontrol yang ditemukan hanya 25%.
Jumlah pasien yang menjalani psikoedukasi secara signifikan lebih rendah
pada Kelompok pasien penderita depresi dan resiko bunuh diri pada skizofrenia
daripada pada Kelompok kontrol (2=10.039, p=0.002). Pada Kelompok pasien
dengan depresi dan resiko bunuh diri pada skizofrenia, 79% pasien tidak
menjalani psikoedukasi.
Kurangnya dukungan keluarga secara signifikan lebih tinggi pada
Kelompok pasien penderita depresi dan resiko bunuh diri pada skizofrenia

daripada pada Kelompok kontrol (2=13.359, p=0.001). Kurangnya dukungan


keluarga ditemukan pada 62% Kelompok pasien penderita depresi dan resiko
bunuh diri pada skizofrenia dan 36% Kelompok kontrol.
Kurangnya dukungan sosial juga secara signifikan lebih tinggi pada
Kelompok pasien penderita depresi dan resiko bunuh diri pada skizofrenia
daripada pada Kelompok kontrol (2=6.103, p=0.047). Kurangnya dukungan
sosial terdepteksi pada 85% pasien dari Kelompok pasien penderita depresi dan
resiko bunuh diri pada skizofrenia.
Kesepian secara signifikan lebih sering ditemukan pada Kelompok pasien
penderita depresi dan resiko bunuh diri pada skizofrenia daripada pada Kelompok
kontrol (2=6.239, p=0.012). Kesepian ada pada 23% Kelompok pasien penderita
depresi dan resiko bunuh diri pada skizofrenia dan 9% Kelompok kontrol.
Pada Kelompok pasien penderita depresi dan resiko bunuh diri pada
skizofrenia, pengasingan sosial secara signifikan lebih banyak ditemukan daripada
di Kelompok kontrol (2=47.218, p<0.001). Pengasingan sosial terdeteksi pada
77% Kelompok pasien penderita depresi dan resiko bunuh diri pada skizofrenia
dan 25% Kelompok kontrol.
Penemuan penelitian ini, berdasarkan regresi logistic multivarian,
menunjukkan bahwa pemahaman, kurangnya psikoedukasi, pengasingan sosial
(p<0.05) adalah prediktor depresi dan resiko bunuh diri (Tabel 1, Tabel 2).
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien penderita depresi dan resiko
bunuh diri pada skizofrenia memiliki pemahaman yang lebih baik akan status
mental mereka daripada pasien dari Kelompok kontrol. Penelitian ini sesuai
dengan hasil penelitain-penelitian terbaru, dimana pemahaman yang lebih baik
mengenai gangguan dilihat sebagai faktor resiko kejadian depresi pada

skizofrenia. Perkiraan negatif gangguan ini dan konsekuensi psikopatologisnya,


seperti merasa tidak berharga dan depresi, juga dikaitkan dengan peningkatan
resiko bunuh diri (Acosta dkk. 2013). Pemahaman yang lebih baik mungkin hanya
diinginkan jika terjadi selama proses psikoterapi hanya jika ada dukungan
profesional dan psikoedukasi pasien dan keluarganya (Aqhababion dkk. 2011,
Riggs dkk. 2012). Dalam konteks tersebut, hasil penelitian juga mengimplikasikan
bahwa, dibandingkan dengan kelompok kontrol, Kelompok pasien yang menderita
depresi dan resiko bunuh diri pada schizophrenia memiliki jumlah pasien yang
menjalani psikoedukasi yang secara signifikan lebih rendah.
Kelompok pasien yang menderita depresi dan resiko bunuh diri pada
skizofrenia memiliki lebih sedikit dukugna keluarga, dibandingkan dengan
Kelompok kontrol. Penting untuk mendidik keluarga pasien mengenai ekspresi
emosi, kesatuan keluarga, locus of control eksternal, dan sosialisasi keluarga
dengan gaya keluarga yang lebih demokratis. Untuk mengajari bagaimana
memahami peran perawat pasien penderita depresi pada skizofrenia adalah tugas
yang lebih sulit. Hal yang terpenting adalah menemukan keseimbangan antara
rasa cinta dan tanggung jawab. Penting bahwa anggota keluarga menerima
perbedaan pasien, kebutuhannya, juga ketidakpastian mengenai perkembangan
penyakit; dan semua itu adalah proses psikologis yang memerlukan bantuan ahli
(Dadi dkk. 2013, Navidan dkk. 2012).
Berdasarkan hasil penelitian, kesepian lebih banyak ditemukan pada
Kelompok pasien yang menderita depresi dan resiko bunuh diri pada skizofrenia.
Kesepian dapat menyebabkan depresi dan resiko bunuh diri jika pasien merasa
kesepian, hidup sendiir, tidak memiliki keluarga atau ditolak oleh keluarga. Rasa

kesepian

mengurangi

harga

diri,

meningkatkan

kecemasan

sosial

dan

mempengaruhi kejadian hidup yang menekan dan meningkatkan rasa tidak


berharga. Yang paling menarik adalah hubungan rasa tidak berharga dan resiko
bunuh diri (Suttajit & Piakanta 2011).
Menurut hasil penelitian yang diperoleh, kekurangan dukungan sosial lebih
sering ditemukan pada Kelompok pasien yang menderita depresi dan resiko bunuh
diri pada skizofrenia daripada Kelompok kontrol. Kekurangan dukungan sosial
berdasarkan pada pengamatan obyektif pada hubungan sosial pasien dan perasaan
tidak puas subyektifnya pada dukungan sosial. Hasil-hasil ini mengkonfirmasi
pentingnya intervensi psikososial yang bertujuan untuk memberikan dukungan
bagi pasien yang kesepian; tapi dukungan sosial juga diperlukan untuk pasien
yang memiliki keluarga untuk mengatasi demoralisasi dan stigmatisasi (Avgustin
2009)
Penemuan penelitian ini menunjukkan bahwa pengasingan sosial secara
signifikan lebih banyak ditemukan pada pasien dengan depresi dan resiko bunuh
diri pada skizofrenia daripada Kelompok kontrol. Hasil ini juga bia diinterpretasi
oleh fenomenologi skizofrenia dan depresi sendiri. Pasien yang didiagnosis
dengan depresi pada skizofrenia merasa ditolak oleh masyarakat mereka dan
kebutuhan mereka tidak terpenuhi; ini menimbulkan pengasingan sosial lebih
lanjut dan terciptanya siklus antara persepsi mereka akan dunia di sekitar mereka
dan bidang perilaku. Stigmatisasi juga adalah penyebab signifikan dari
pengasingan sosial pasien-pasien ini. Dengan menunjukkan kebutuhan sosial
pasien dan keluarganya, program destigmatisasi yang membawa pasien kembali
ke lingkungan sosial juga harus mencakup perkembangan jaringan sosial yang

baik, bersama dengan dukungan sosial, untuk menjadi dukungan bagi


destigmatisasi. Dukungan dari keluarga dan masyarakat yang besar memiliki
peran besar karena kepatuhan terhadap terapi juga bergantung pada hal tersebut.
Ini berarti bawha farmakoterapi, intervensi psikososial dan rehabilitasi diperlukan
untuk perawatan yang modern dan komprehensif (Charpenter dkk. 2009,
Krevbuhol dkk. 2010).
Ada beberapa batasan yang perlu disebutkan. Pasien yang ikut dalam
penelitian ini masuk dan dirawat di rumah sakit rujukan tersier saja. Mereka
berada pada fase remisi awal dan tampaknya menderita gangguan yang lebih berat
daripada pasien rawat jalan. Ini mungkin membuat penemuan kami kurang bisa
digeneralisir untuk setting lain dan pada populasi keseluruhan subyek yang
menderita skizofrenia. Terakhir, pasien penderita depresi dan tanpa resiko bunuh
diri tidak dimasukkan dalam penelitian.
KESIMPULAN
Faktor-faktor psikososial, seperti pemahaman status mental, kurangnya
psikoedukasi, juga pengasingan sosial, tampaknya merupakan prediktor terjadinya
depresi dan resiko bunuh diri pada skizofrenia. Penting untuk menjelaskan bahwa
perawatan pasien penderita skizofrenia yang memiliki depresi klinis signifikan
dan resiko bunuh diri harus bersifat integral yang mengimplikasikan pilihan
farmakoterapi, psikoterapi dan intervensi sosial yang cermat.

You might also like