You are on page 1of 111

Asalkan Ada Abang...

eramuslim - Hmmm… kupandangi Al Quran bersampul kuning keemasan itu. Warnanya tak
pudar walaupun telah sepuluh tahun ia tinggal di rak buku ruang tamuku. Lembarannya tak cacat
sedikitpun walau sering kubaca. Dan satu kali dalam satu tahun aku memandangi takjub maharku
itu seperti ini...
Suamiku baru saja pulang kerja. Dia tampak lelah. Kusiapkan air hangat untuknya sore
ini. Makanan dan minuman kesukaannya telah kuhidangkan di meja makan lebih awal. Sprei
tempat tidur telah kuganti. Kordin telah kucuci dan kupasang lagi. Seluruh bagian rumah telah
kubersihkan.
”Kok senyum aja sih dari tadi?” suamiku menegurku. Aku hanya bisa tertawa kecil. ”Nggak pa
pa. Pingin sedekah aja. He he...” Suamiku membalas seyumanku dan pergi mandi.
Saat ditutup, kuamati pintu kamar mandi itu... dan sekeliling rumah ini. Rumah kontrakan
penuh kenangan. Sebentar lagi rumah ini akan menjadi milik kami karena pemilik sebenarnya
akan pindah ke luar kota dan menjualnya pada kami. Suamiku pun bekerja lembur akhir-akhir ini
untuk melunasinya.
Malam ini aku dan suamiku menikmati makan malam sebelum isya. Kebetulan anak-anak
sedang liburan di rumah neneknya. Rumah jadi terasa sepi. Terdengar suara motor berderu
melewati rumah kami sekali waktu. Terdengar pula suara televisi tetangga sebelah rumah dan
sesekali tawa mereka.
Dari seberang meja makan kupandangi suamiku itu. Baju koko telah dipakainya. Dia
telah siap untuk berangkat ke masjid. Wajahnya tak berubah, masih seperti itu... kalem. Hanya
jenggotnya saja yang kian lebat. Hmmm... dia masih dengan pendiriannya. Subhanallah...Pulang
suamiku dari masjid, aku baru saja selesai mencuci piring.
”Abang baru inget. Sepuluh tahun lalu abang nikahin kamu ya, dek? Pantes dari tadi
seyum aja.
Ngerayain yang kayak gitu2 nggak level kan, dek?! Nah, mendingan pijetin abang nih,
abang capek banget hari ini.”Ha ha ha... masih. Dari dulu emang manja bapak ini.
Tapi tidak saat dia datang ke rumahku sepuluh tahun lalu. Aku hanya bisa mendengar
percakapan hangat itu dari balik pintu kamarku. Ayahku meragukannya. Yaaah, aku rasa adalah
hal yang wajar bila setiap orang tua ingin anaknya hidup berkecukupan. Dan yaaah, memang
untuk hidup di jaman sekarang, pekerjaan suamiku yang tidak tetap mungkin tidak bisa
mencukupi hidup kami nanti. Maklumlah, baru lulus kuliah. Tapi suamiku percaya, insya Allah,
Allah akan memudahkannya.
Sempat kututup telingaku saat suara ayahku mendominasi percakapan hari itu. Aku
hampir saja menangis. Aku tak mau ta’arufku sia-sia. Dan untuk tidak menjadi isteri seorang
yang shalih seperti dia adalah suatu kerugian bagiku. Namun tak lama ibuku datang ke kamarku
dengan terseyum dan menanyakan jawabanku. Rupanya aku menutup telingaku terlalu lama
hingga aku tak menyadari bahwa saat itu suamiku tengah memberi pengertian pada ayahku dan
akhirnya meyakinkan beliau.
Seminggu pertama aku dan suamiku tinggal di rumah orang tuaku. Karena rumah yang
dikontrak suamiku baru bisa dipergunakan setelah seminggu itu, ya rumah ini. Selama seminggu
itu dia sibuk sekali. Entah apa saja yang dikerjakannya. Dan setelah minggu itu berlalu, ada rasa
khawatir di wajahnya saat ia mengatakan padaku, ”Dek, di rumah itu... nggak ada apa-apanya.”Ia
menatapku sendu.
Sebenarnya aku dan suamiku berasal dari keluarga yang cukup berada. Hanya saja
mungkin itu masalah harga diri bagi kaum lelaki, aku juga tidak begitu mengerti.
Di tengah kekhawatirannya itu ku katakan padanya, ”Abang... asalkan ada ember biar
adek bisa nyuciin baju abang, asal ada paku dan tali biar adek bisa ngejemur, asal ada api biar
adek bisa masak buat abang, asal ada alas buat kita tidur, asal ada kain buat nutup jendela, asal
ada sapu biar rumah kita tetap bersih, asal cukup air, asal bisa beli bayam dan tempe, dan selang
sehari kita shaum... insya Allah, itu bukan masalah bagi adek.”
Ia tersenyum, masih dengan tatapan yang sendu itu. Hhh... aku jadi sedih. Sejak ta’aruf
dulu, dia telah mengatakan segala kemungkinan hidup kita nanti. Dan aku telah menyatakan
kesiapanku... insya Allah, aku sanggup menghadapi apapun... bersamanya...
Esok harinya kamipun pindah. Selama seminggu itu aku memang tak diizinkannya untuk
melihat kontrakan itu. Dan saat aku sampai di sana... Subhanallah, ruang tamu mungil dengan
perabotan terbuat dari rotan yang cukup untuk diduduki empat orang saja. Rak buku yang biasa
kulihat di rumahku menjadi penghalang ruang tamu dengan ruang makan. Rak buku itu memang
dibuatkan khusus oleh ayahku untukku. Beliau tahu hobiku membaca buku. Wah, pantas saja aku
tak melihat rak itu di rumah akhir-akhir ini.
Aku melihat-lihat seluruh rumah itu. Ruang makan yang sederhana hanya tersedia dua
bangku di situ dengan meja kecil yang cukup untuk makan kita berdua saja. Di kamar tidur
ternyata telah ada sebuah tempat tidur, lemari baju dan meja hias. Di sebelah kamar itu ada ruang
kosong, untuk kamar anak-anak kelak. Di dapur telah ada peralatan masak hadiah dari ibuku dan
ibu mertuaku. Di bagian belakang rumah itu ada kamar mandi. Di luarnya telah ada sapu ijuk dan
sapu lidi plus tempat sampah. Di tempat mencuci telah ada ember dan gayung.
Semua jendela telah berkordin.
Belum sempat aku mengomentari rumah itu, suamiku berkata, ”Dek, abang lupa beli tali
sama paku buat jemuran.”Hi hi hi. Aku tertawa cekikikan. ”Adek kira rumahnya bener-bener
kosong nggak ada apa-apanya.””Yaaah... maksud abang gak ada apa-apanya dibandingin rumah
adek.”Hi hi hi... abang.
Dulu yang kupinta pada Allah adalah hanya seorang suami seperti abang, yang sholih,
yang mau usaha, yang optimis, tawakal. Jadi di manapun kita tinggal, seperti apapun keadaanya,
sekurang apapun fasilitasnya, asalkan
ada abang... hidupku udah lengkap.
Karena Nama adalah Harapan

eramuslim - Beberapa hari lalu saya menerima email dari seorang teman. Isinya tentang seorang
ayah di Amerika yang memutuskan untuk menambahkan 2.0, kode yang biasa dipakai dalam
produk software, di belakang nama anaknya yang baru lahir. Unik, menunjukkan bagaimana
dunia komputer sudah semakin dalam memasuki kehidupan mereka.
Banyak cerita di balik proses kreatif orang tua memberi nama anaknya. Pemberian nama
dengan kode software tadi hanya salah satunya. Orang tua lainnya mungkin punya cara sendiri
untuk memberi nama anaknya. Ada yang bolak balik membuka buku berisi berbagai nama-nama
indah, ada yang bertanya pada orang yang dianggap mengerti, ada yang memberi nama
berdasarkan nama tokoh yang dikaguminya, bahkan ada juga yang memberi nama sesuai dengan
kejadian alam yang terjadi ketika sang anak lahir.
Seorang yang saya kenal, menjelang kelahiran anaknya berniat membeli koran yang terbit
dengan bonus pengumuman nama-nama peserta yang lulus UMPTN. Yang dilihat tentu saja
bukan siapa yang masuk, karena seingat saya tidak ada anggota keluarganya yang mengikuti
UMPTN ketika itu. Alasannya adalah, beliau ingin melihat nama-nama peserta yang masuk, siapa
tahu ada nama yang cocok dan sesuai dengan kata hatinya.
Cara yang paling umum dilakukan berkait dengan pemberian nama adalah dengan
menelusuri daftar nama-nama indah beserta artinya. Sumbernya bisa dari buku-buku atau dari
situs di internet. Menarik juga menjelajahi dunia nama-nama anak ini. Banyak nama yang
sebelumnya saya tidak tahu artinya, jadi lebih mengerti maknanya setelah melihat daftar itu.
Menurut salah seorang ulama, pemberian nama yang baik adalah salah satu kewajiban
orang tua. Dan diantara nama-nama yang baik yang layak diberikan adalah nama Muhammad.
Sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, dari Jabir ra dari Nabi saw
beliau bersabda: namailah dengan namaku dan janganlah engkau menggunakan kunyahku.
Islam memandang ada keterkaitan antara sebuah nama dengan orang yang menyandang
nama itu. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw: Aslam semoga Allah menyelamatkannya
dan Ghifar semoga Allah mengampuninya (H.R Bukhari dan Muslim). Ibnu Al Qoyim berkata,
barangsiapa yang memperhatikan sunah, ia akan mendapatkan bahwa makna-makna yang
terkandung dalam nama berkaitan dengannya sehingga seolah-olah makna-makna tersebut
diambil darinya dan seolah-olah nama-nama tersebut diambil dari makna-maknanya.
Berkait dengan arti nama, seorang penyair Inggris berkata, apalah arti sebuah nama.
Seorang teman pernah mengomentari ini dengan mengatakan, memangnya ada ya orang yang
mau dipanggil ember? Komentar yang sederhana, tapi benar adanya. Umumnya orang akan
merasa lebih nyaman bila dipanggil dengan panggilan yang baik.
Bagi para orang tua, tugas yang mereka emban tidak berhenti hingga memberi nama yang
berarti baik saja. Tapi tugas selanjutnya yang juga perlu diperhatikan berkait dengan nama adalah
mendidik anak-anak mereka sesuai dengan namanya. Jika tidak, bisa jadi nama yang
disandangnya akan menjadi sumber ejekan teman-temannya. Seorang anak yang diberi nama
yang berarti pemberani, misalnya, tentu akan lebih baik bila dididik supaya anaknya tidak
menjadi cengeng dan penakut.
Hal yang perlu diperhatikan orang tua ketika memberi nama selain makna yang
terkandung di dalamnya adalah kesesuaian nama dengan jenis kelamin anak. Adalah suatu hal
yang tidak boleh dilakukan bila orang tua mengetahui bahwa nama tersebut adalah nama seorang
wanita kemudian diberikan pada seorang laki-laki, atau sebaliknya. Hal ini terkait dengan
tasyabbuh (menyerupai) laki-laki dengan wanita atau sebaliknya, karena Rasulullah telah
melaknat orang yang berbuat seperti itu. Secara umum, pemberian nama sesuai jenis kelamin juga
menghindarkan anak dari peluang diejek teman-temannya kelak dan mempermudah pendataan.
Memberi nama, bisa jadi sebuah proses yang sulit-sulit gampang bagi para orang tua.
Nama adalah harapan orang tua. Sebuah harapan agar kelak anak-anaknya dapat mewujudkan
apa-apa yang menjadi cita-cita mereka. Bagi orang tua yang saat ini sedang menanti kelahiran
anaknya, dan sedang berusaha mencari nama terbaik untuk sang anak, mudah-mudahan Allah
SWT memberi petunjuk dan memberi kemudahan dalam proses menemukan nama terbaik.
Mama Tidak Masak

eramuslim - “Mama ga masak, Sa.” Glek, lambungku kecewa. Getar-getar nestapanya kian
memilukan. Lapar...lapaar, erangnya berkali-kali. Merintih, sakit. Sehabis pulang kerja malam
ini, aku tahu hanya satu itu saja permintaannya. Tiada lain. Tapi, itupun tak terpenuhi. Aduuh,
gimana sih Mama? Aku harus makan apa malam ini?!“Mama masak mi aja, ya?”
Risalah langit terngiang-ngiang. Pekak telinga, hati. Tentang dosa durhaka pada orang
tua. Malin Kundang. Akhirnya, mau cemberut, ditahan sekuat mungkin. Muka didatarkan, haram
ditekuk. Bayangan tentang makan enak, sayur hijau berkuah, dan lauk yang menggiurkan,
terpaksa kusingkirkan. Itu sudah tak mungkin lagi malam ini, kecuali soal nasi. Banyak pulennya
di magic jar, yang umurnya sudah bertahun-tahun itu. Menyerah, aku mengangguk. Mama mulai
memasak.
Malam larut terus. Aku terus menunggu dan menunggu. Makanan yang dijanjikan Mama
belum juga matang. Lama sekali. Satu detik, lapar ratusan menit. Dua detik, lapar ribuan menit.
Aku mulai mengeluh. Ah, betapa sering hal seperti ini terjadi. Pulang kantor, lauk-pauk tak
tersedia. Padahal aku selalu mendambakan masakan hangat yang ramah menyapa amarah
perutku. Lahap, mengenyangkan.
Seringkali begitu. Walau sebelum pulang terkadang aku jajan bakso atau es campur
favoritku di Pulo Gadung, tetap saja masakan berat buatan Mama is the best. Yang lain kalah,
deh!
Memang, Mama tak lagi seideal dulu. Masakannya sering tersita waktu untuk berdagang
kelontong dan bekerja membersihkan rumah. Mencuci piring, baju, lantai. Menjemur, menyapu,
berdagang. Menimbang minyak, gula, telor. Untuk dijual. Berbelanja ke pasar untuk keperluan
warung dan anak-anaknya. Sesekali beliau juga harus kerepotan mengatasi banjir yang tak segan
memasuki rumah bila hujan deras basahi bumi. Dan untuk mengganti semua itu, Mama hanya
sempat tidur siang. Itupun cuma sebentar. Semua dilakukannya sendirian sepanjang hari. Habis
mau bagaimana lagi? Tiga anaknya (termasuk aku) sudah bekerja semua. Pagi sudah pergi kerja,
kembali menjelang senja (bahkan malam).
Kalau dulu, ketika dua dari tiga anaknya menganggur, beliau masih bisa terbantu.
Kini..perutku kian lapar. Rintihannya, ratapannya, dan keluh kesahnya yang berkepanjangan
adalah buah dari pohon rutinitas Mama yang padat. Sangat padat, hingga aku mesti menahan
lapar, walau bukan sedang berpuasa.Tapi kalau ingat semua jasanya...“Sa, ini mie-nya sudah
matang. Pake nasi makannya, biar kenyang.” Beliau tersenyum. Jilbab putih mirip kepunyaan
Sulis (Hadad Alwi) itu masih lekat di kepalanya. Badannya letih, tapi tetap sempat memasakkan
sepiring mie goreng instant untuk perut si bungsu yang lapar.
“Terima kasih, ya, Ma.” aku tak tahu harus berkata apalagi. Terlalu kagum. Terlalu haru.
Keterikatan Hati Ini

eramuslim - Seorang hamba yang dhoif, merasakan cintanya yang amat sangat pada kekasih
hatinya, belahan hatinya dan tempat ia berbagi rasa. Kekasih hati yang sangat ia cintai
Demikian besar cinta dan keterikatan hati tersebut, ia pelihara dan sirami karena cinta
Allah semata. Berdua sudah demikian lama merasakan nikmatnya rasa sakinah mawaddah
warahmah dalam sebuah biduk rumah tangga.
Sering kali mereka dipisahkan oleh jarak dan waktu dan berkali kali itu juga rasa
kesepian rindu dan kangen yang wajar timbul dari hati manusia yang dhoif. Demikian besar arti
satu sama lain sehingga ketiadaan yang satu membuat yang lain merasakan ada rongga dan
lubang di dalam hati mereka, ada sesuatu yang hilang. Hati yang meronta dan menjerit karena
rindu sang kekasih. Yang makin menyadarkan besarnya arti masing masing
Terhenyak sejenak dalam sebuah malam senyap dan sunyi, teringat sebuah paragraf di
sebuah buku Memoar Hasan Al Banna yang mengisahkan kisah seorang syaikh bernama syaikh
Syalbi
***
Sudah menjadi kebiasaan kami -- dalam rangka memperingati maulid nabi--setiap malam
sejak tanggal 1 hingga 12 rabiul awwal secara berombongan dan bergiliran selalu mengunjungi
rumah salah seorang ikhwan. Malam itu tibalah giliran rumah syaikh Syalbi ar rijal yang menjadi
jadwal kunjungan.
Kami pun berangkat seperti biasanya setelah isya. Kami berangkat secara berombongan
dengan penuh kegembiraan. Saya melihat rumah syaikh Syalbi sangat terang, bersih dan rapi.
Dihidangkanlah serbat, kopi dan qirjah seperti biasanya. Kami duduk dan meminta nasehat
nasehat syaikh syalbi.
Ketika kami hendak pergi, ia berkata dengan senyum yang lembut, "Datanglah kalian
besok pagi pagi sekali agar kita bisa menguburkan Ruhiyah bersama sama." Ruhiyah adalah putri
beliau satu satunya. Allah mengaruniakan Ruhiyah kepadanya kurang lebih setelah sebelas tahun
dari usia pernikahannya. Ia sangat mencintainya sehingga hampir tidak pernah meninggalkannya
sekalipun sedang sibuk bekerja. Ruhiyah kemudian tumbuh menjadi seorang gadis. Ia
menamainya Ruhiyah karena putrinya ini menempati kedudukan 'ruh' pada dirinya. Tentu kami
terperanjat," Kapan ia meninggal?" tanya kami spontan. "Tadi menjelang magrib." jawabnya
tenang.
"Kenapa syaikh tidak memberitahukan kami semenjak tadi, sehingga kami dapat
mengajak kawan yang lain untuk kemari bersama sama?
Ia menjawab, "Apa yang telah terjadi meringakan kesedihanku. Pemakaman telah
berubah menjadi peristiwa yang membahagiakan. Apakah kalian masih menginginkan nikmat
Allah yang lebih besar lagi daripada nikmat ini?" Pembicaraan akhirnya berubah menjadi seperti
pelajaran tasawuf yang disampaikan oleh syaikh Syalbi.
Beliau mengemukakan bahwa kematian putrinya itu adalah kecemburuan Allah kepada
hatinya. Memang sesungguhnya. Allah merasa cemburu kepada para hambaNya yang sholih
apabila sampai terikat dengan selainNya atau apabila ia berpaling kepada selainNya. Beliau
mengambil buku dalil dengan kisah Ibrahim AS. Hati Ibrahim terikat dengan Ismail, sehingga
akhirnya Allah SWT memerintahkannya untuk menyembelih putranya, Ismail.
Ketika hati Nabi Ya'qub terikat dengan Yusuf Alalh swt pun membuat Yusuf hilang dari
sisinya sekian tahun. Oleh karena itu jangan sampai hati seorang hamba itu terikat dengan selain
Allah swt. Kalau tidak demikian maka sebenarnya ia adalah pendusta dalam hal pengakuan
kecintaannya......[dikutip dari Memoar Hasan Al Banna, halaman 80-81]

****
Keterikatan...yah keterikatan hati ini.
Ya Allah sudahkah kutempatkan ia pada tempatnya yang semestinya??
Engkaulah yang menguasai hati hati ini ya Allah.
Tempatkanlah dia pada tempat yang semestinya.
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-
binatang ternak dan sawah ladang. Itulah esenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah tempat
kembali yang baik (syurga)."
Menjadi yang Kedua...

eramuslim - Mintalah fatwa dari hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tentram jiwa padanya
dan tentram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa dan ragu-ragu
dalam hati, walaupun orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan membenarkannya. (HR.
Ahmad)
Semoga Allah menjernihkan hati-hati kita dalam mengambil setiap keputusan hidup.
Hadits Rasulullah diatas terngiang terus ditelingaku. Saat itu telah tiba. Saat untuk mengambil
keputusan besar dalam hidupku. Menjadi istri kedua dari seorang yang terkenal karena kesolehan
dan kebaikannya kepada hamba Allah. Sebagai seorang gadis, sulit memang bagi orangtuaku
untuk ‘mengangguk lega’ dengan penerimaanku menjadi istri kedua. Polemik jiwa yang sama
pun mulai menghampiriku. Keraguan mulai menyeruak dalam diriku. Sms yang baru saja
kuterima untuk taaruf membuatku semakin bertanya dalam diri. Inikah ketentuan Allah untukku ?
Aku memang menerima taadud -biasa dikenal poligami- sebagai salah satu syariat Islam.
Ketika aku bersyahadat kembali di tahun 1999 aku mencoba mengaplikasikan Qur’an dan Hadits
dalam kehidupanku-walau belum mampu seluruhnya-. Dimulai dengan berjilbab dan mulai
mentadaburri al-Qur’an. Kini aku dihadapkan pada keputusan yang mungkin akan mengubah
kehidupanku. Dengan satu niat mengharapkan keridhaan dan rahmat Allah sms itupun kujawab.
Aku setuju untuk melangkah lebih jauh untuk taaruf.
Perlahan kubuka kembali terjemah al-Qur’an dihadapanku. “Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-
budak yang kamu miliki. Yang demikian adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS.
An Nissa : 3)
Selepas isya telepon berdering. Dengan menarik nafas dan melafalkan basmallah
kuangkat telepon seraya mengucap salam. Suara yang tak asing terdengar. Hati-hati sekali ia
membuka percakapan.
Pertanyaan seputar motivasi dan harapannya tentang taadud membuka percakapan kami.
Alasan yang sungguh mulia, ia ingin berdakwah bersama dan melindungiku dari pengaruh masa
laluku sebagai seorang misionaris. Bersandar pada Al-Qur’an surat An Nissa ayat 129-yang
masih lekat ditanganku- kubacakan harapanku, “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku
adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah
kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Tersentak aku memang pada awalnya. There’s nothing wrong with his family, everything
is allright. Hanya alasan yang mulia itu. Istri dan ketiga anaknya akan datang ke Jakarta
pertengahan tahun ini. Semoga dapat mengobati kerinduannya pada keluarganya yang selama ini
jauh. Alasan itu menjatuhkanku pada keraguan untuk melangkah lebih jauh. Aku tidak ingin
menyakiti perasaan keluarganya dan tidak ingin mereka tersakiti karena teror yang mungkin
datang dari masa laluku. Aku tidak ingin merasakan kehilangan yang sama seperti kehilangan ibu
dan calon suamiku karena teror akibat masa laluku.
Saatnya untuk kembali berkonsultasi dengan Allah. Dalam sujudku yang panjang. Dalam
keheningan malam. Dengan izinMu, Ya Allah izinkan hamba meminta fatwa dari hati ini. Begitu
baik referensi tentang dirinya, kharisma yang mewarnai perkataan dan sikapnya. Dengan segala
pertimbangan, berat rasanya aku untuk mengatakan iya. Ku ingin sendiri dulu. Itu keputusan yang
akhirnya kuambil.
Sebelum ia beranjak pergi menemui istrinya, kami berbicara tentang keputusanku. Ada
rasa lega menelisik sanubari karena aku sudah mampu mengambil keputusan sendiri. Aku
semakin dewasa pikirku dalam hati. Ini jawaban do’aku tempo hari. Aku ingin dewasa dan lebih
bijak memandang hidup pintaku suatu hari. Selama ini aku selalu mendengarkan sekelilingku
walau rasa ragu di hati itu seakan mengajakku untuk berpikir sejenak tentang keputusanku. Hidup
ini memang muara tarbiyah dengan mutiara hikmah bertebaran diantaranya. Saatnya untuk mulai
mendulang mutiara hikmah dalam hidup dan melihat pelajaran berharga dalam setiap peristiwa.
Dalam keheningan hati kumenerima sms :
Jazakillah semoga ini keputusan terbaik sesuai kehendak Allah,
Dan semoga ukhti diberikan yang terbaik oleh Allah ,
Dan semoga hal ini tidak menyebabkan rasa tidak enak dari ukhti. Insyaa Allah biasa aja
Alhamdulillah…..proses ini berakhir dengan baik dan penerimaan yang baik. Tentram
terasa di hati, fatwa hati dengan bimbingan Allah memunculkan satu keyakinan. Insya Allah ini
keputusan yang tepat. Semoga Allah tetap menghimpunkan kami sebagai saudara yang saling
mencintai karena Allah diatas mimbar cahaya-Nya di yaumil akhir.
Belajar Malu Dari Fathimah dan Hussain
(Membaca vs TV)

eramuslim - "Iiihhh... malu..." Fathimah menjerit kecil sambil menutupi matanya. Begitu pula
Hussain, sang adik langsung ikut berucap,"Matiin aja Om, tipinya...". Saya dan istri tak urung
menjadi salah tingkah dibuatnya. Memang siang itu, kebetulan di salah satu acara infotainment
TV swasta sedang diulas beberapa selebriti yang akan menghabiskan waktunya di acara
penghujung tahun 2003, salah satunya adalah Ibu Inul Daratista yang --maaf-- dengan goyang
ngebor sporadisnya nyaris mendominasi layar TV 21 inch saya.
Dan secara tak sengaja, dua bocah balita itu sedang konsentrasi melihat acara-acara yang ada
sambil sesekali mengganti channel, tapi siapa nyana, mata dua anak itu tertumbuk pada acara
yang memang secara fithrah merupakan tontonan aneh bagi mereka, maka tak ayal terlontarlah
respon seperti itu...
Langsung saja saya rebut remote control TV yang sedang Hussain pegang, dan saya tekan tombol
OFF tanpa babibu lagi."Fiuuuh..., aman", batin saya. Tapi tak berhenti sampai disitu, Fathimah
masih saja menutupi kedua matanya dengan tangannya, masih sambil bergumam,"Iiiih... malu, ih
maluuu..." Lho...?!?!
***
Sudahkah anak-anak kita merespon begitu cepat setiap tontonan yang mereka saksikan di
layar TV...? Sudahkah kita merasa aman kalau dengan membiarkan anak-anak kita duduk manis
berlama-lama di depan TV dibanding berkotor-kotor dengan teman-temannya di halaman...?
Sudahkah kita mempunyai anak-anak yang responsif dan reaktif dengan tontonannya seperti
layaknya Fathimah dan Hussain...?
Saya disini bukan ingin mengajak berdebat kusir masalah klasik mengenai apakah TV
memang layak untuk anak-anak kita ataukah tidak. Saya yakin kita semua akan berpolemik
panjang mengenai itu semua. Tapi yang membuat saya tergelitik adalah kemampuan kita
(baca:orang tua) untuk memberikan pengaruh (influence) kepada anak-anak kita terhadap semua
yang diberikan TV sehingga anak-anak kita akan mampu dengan sendirinya mempunyai daya
kekebalan (immunne) terhadap acara-acara nyeleneh yang tidak patut ditonton oleh mereka.
Saya iseng-iseng menemukan artikel di internet mengenai korelasi negatif TV dan anak-
anak ini, yang merupakan tulisan dari Dr. Ellen Abell (Extension Family and Child Development
Specialist, Alabama Cooperative Extension System, U.S.A), dia kurang lebih mengatakan seperti
ini,"The visual nature
of television or other media stimuli do not develop the part of the brain responsible for language.
Children who watch too much television and do not read enough may have trouble paying
attention and listening to comprehend language. It's important that parents take time reading out
loud to their children and help them develop their own reading and comprehension skills. I
suggest that parents make plans with theirchildren for weekly television viewing. Select shows
that you will allow children to watch instead of leaving the television on all the time".
Nah, disini kita kembali diusik untuk jujur pada diri kita sendiri, apakah kita sudah
menempatkan TV sebagai satu-satunya hiburan rohani yang menyegarkan? Apakah kita tidak
bisa menemukan alternatif hiburan selain apa yang disuguhkan TV kepada kita? Apakah semua
informasi akan out of date dari ingatan kita manakala TV tidak menghiasi pandangan kita setiap
hari?
Kembali kita harus menghadapi hal yang retoris, dilematis bahkan ironis. Dari artikel
yang saya kutip diatas, Dr. Ellen sudah memberikan alternatif (bahkan bukan sekedar alternatif,
tapi bisa menjadi solusi), yaitu hidupkan budaya membaca!
Membaca bisa memberikan kesan visual dan imajinatif tak kalah hebat dengan TV
(tentunya buku yang dibaca haruslah menarik dan atraktif menurut usia dan pola fikir anak),
apalagi ditambah dengan bantuan orang tua yang bisa memberikan atmosfir yang hidup untuk
suasana baca tersebut. Banyak anak malas membaca karena kurangnya motivasi dari orang tua
terhadap mereka, bukan karena memang mereka tidak bergairah membaca.
Dan mungkin yang kedua adalah, jangan sungkan dan bosan untuk selalu menanamkan
kepada anak apa-apa yang haq dan yang bathil baik secara teoritis maupun aplikatif. Yang ingin
saya utarakan adalah, sering kita menasehati anak tanpa kita berusaha untuk menjadi teladan yang
baik (uswah hasanah) bagi mereka. Walhasil, mereka akan gamang dalam menentukan sikap.
Praktisnya, tingkah laku anak bisa jadi adalah cerminan (mir'ah) dari pola didik yang diterapkan
orang tuanya kepadanya.
***
Saya bersyukur Allah SWT menasihati saya dengan sikap reaktif Fathimah dan Hussain
terhadap hal-hal miring yang terpampang jelas di depan mereka. Betapa saya banyak bersikap
acuh tak acuh ketika melihat tayangan yang seyogyanya sudah tidak pantas dikonsumsi lagi
(bahkan untuk dewasa, apalagi untuk anak seusia mereka?!?!).
Sambil memangku Hussain, saya melihat geli ke arah istri saya yang sedang "ditodong"
oleh Fathimah untuk membacakan sebuah novel anak setebal 100-an halaman, dan Fathimah
tampak tekun mendengarkan, seperti yang tak bosan menunggu selesai sampai dengan halaman
terakhir. Alhamdulillah TV dari tadi sudah dimatikan...
Ketika Kami Bertengkar...

eramuslim - Adalah biasa terjadi perbedaan pendapat diantara sesama manusia, termasuk pada
sesama anggota keluarga. Dengan perbedaan itu tentu kita tak ingin suasana sebuah keluarga ini
menjadi dingin, apalagi berantakan, terlebih lagi bila di dalam keluarga itu ada anak-anak.
Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara masing-masing pihak dalam
menyelesaikan perbedaan pendapat tersebut. Ada sebuah kisah tentang seorang guru wanita yang
hingga kini masih lekat dalam ingatan penulis, padahal ketika cerita itu beliau sampaikan adalah
sekitar awal th ’80-an.
Mungkin juga karena beliau saat itu sudah cukup uzur usianya (saat itu sekitar 50th),
sehingga cukup bijak dalam mengahadapi permasalahan dalam keluarga. Semoga cerita ini bisa
kita ambil hikmahnya.
Suatu hari saya dan suami bertengkar, karena ada perbedaan pendapat . Untungnya kami
berdua sedikit banyak masih punya iman Islam yang baik (insya’ Allah) , sehingga pertengkaran
itu tak sampai menimbulkan situasi yang emosional ...teriak-teriak…..saling bentak.....banting
barang-barang....apalagi main tangan...Kami masih bisa mengendalikan emosi.... Namun…
malamnya kami tidak tidur sekamar.
Saat sendiri di kamar itulah, tiba-tiba terpikir sebuah inisiatif untuk saling meng
ingatkan...dan inisiatif itu saya tuangkan dalam sebuah surat…kemudian aku bungkus dengan
indah….dan saya selipkan ke bawah pintu kamar suami
Isinya....
Assalamu 'alaikum wr.wb
(Ingat Say, salamku ini benar-benar sebuah doa, bukan salam basa-basi). Sungguh aku tak
mampu menipu hati kecil ini,
bahwa sesungguhnya aku sangat menyayangimu..
Say, sungguh kebenaran itu datangnya hanya dari Allah.
bukan dari manusia (kecuali nabi saw kita tercinta)
Bukankah kita sangat sadar bahwa kebenaran manusia itu amat relatif... Menurut kita benar
menurut orang lain belum tentu... Hari ini benar, besok belom tentu …
Menurut kita berdua benar, menurut orang banyak belum tentu …
Maka.....
Mulai hari ini aku tak mau lagi membohongi hati kecil ini....
bahwa aku akan tetap menyayangimu.....dan..
bila ada suatu masalah aku akan senantiasa introspeksi terlebih dulu... ‘Apakah ada langkahku
yang melanggar kebenaran Allah (agama). bila ada, maka dengan ikhlas ...insya' Allah aku akan
minta maaf terlebih dulu....’
Say, sungguh aku juga berharap seperti itu juga ada padamu...
Di Jalan Mana Anda Menikah?

Kupeluk ia dengan sepenuh-penuh rindu


Namun terobatikah rindu setelah itu?
Kukecup bibirnya demi melepaskan tuntutan gejolak hati
Namun ia semakin menjadi-jadi
Sepertinya kegelisahan jiwa tak bisa terobati
Kecuali jika kedua nyawa ini bertemu (dalam ikatan suci)
"Ibnu Ar Rumi"
Yang terpenting dari setiap perbuatan ialah niatnya, "Bahwasanya semua amal itu
tergantung niatnya, dan bahwasanya apa yang diperoleh oleh seseorang adalah sesuai dengan apa
yang diniatkannya..." (HR. Bukhari dan Muslim). Kalau niat anda bukan untuk beribadah kepada
Allah dan untuk menegakkan syari'at Islam berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah,
berhentilah membaca dan temukan dahulu niat yang tulus ikhlas tersebut !!!
"Tidaklah Rasulullah saw dihadapkan pada pilihan antara dua hal, kecuali beliau
mengambil yang lebih mudah, asalkan bukan dosa" (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw bersabda kepada 'Ukaf bin Wada'ah Al Hilali, " Apakah engkau telah
beristri wahai 'Ukaf ?" Ia menjawab, "belum", Rasul saw bersabda , " tidakkah engkau
mempunyai budak perempuan ?" Jawabnya "Tidak". Sabda beliau, "bukankah engkau sehat lagi
berkemampuan?" Jawab 'Ukaf, " Ya, Alhamdulillah ". Maka beliau bersabda: " Kalau begitu
engkau termasuk teman setan. Karena engkau mungkin termasuk pendeta Nasrani, lantaran itu
berarti engkau termasuk dalam golongan mereka
Atau mungkin engkau termasuk golongan kami, lantaran itu hendaknya engkau berbuat
seperti yang menjadi kebiasaan kami, karena kebiasaan kami adalah beristri. Orang yang paling
durhaka di antara kalian ialah yang membujang, dan orang mati yang paling hina diantara kamu
ialah kematian bujangan . Sungguh celaka kamu wahai 'Ukaf. Oleh karena itu menikahlah
!"...(HR. Ibnu Atsir dan Ibnu Hajar)
" Barang siapa telah mempunyai kemampuan untuk menikah kemudian ia tidak menikah
maka dia bukan termasuk umatku"(HR. Thabrani dan Baihaqi)
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata" Para ulama membagi orang dalam perkawinan menjadi
beberapa macam. Pertama orang yang sudah berkeinginan untuk menikah dan mampu membiayai
kehidupan serta merasa khawatir terhadap dirinya (akan terjerumus ke dalam perbuatan tercela
jika tidak menikah), maka orang ini dianjurkan (disunnahkan) untuk menikah menurut semua
ulama, dan dari madzhab Hambali dalam salah satu riwayat menambahkan bahwa dia wajib
menikah".
"Dan nikahkanlah orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak
nikah di antara hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
memampukan mereka dengan karuniaNya, dan Allah Maha Luas pemberianNya lagi Maha
Mengetahui" (An Nur: 32)
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia;
dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan
kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa" (Al
An'am: 153)
Jika ingin mendapat pasangan yang baik, jadikan diri baik terlebih dahulu. Jika ingin
mendapatkan istri yang salehah, jadikan diri anda saleh terlebih dahulu, dan sebaliknya.
Bagaimana anda menuntut istri anda sekualitas Fatimah, sedangkan anda sendiri tidak sekapasitas
Ali ? Bagaimana mungkin anda berharap istri anda setabah Sarah dan Hajar, sedangkan anda
tidak sekokoh Ibrahim as ?
"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah
untuk wanita yang kaji (pula). Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan
laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)" (An Nur: 26)
Persiapan-persiapanya :
Jika anda laki-laki, ada kesiapan dalam diri anda untuk bertindak sebagai qawam dalam
RT, berfungsi sebagai bapak bagi anak-anak yang akan lahir nantinya, bisa menanggung segala
beban-beban yang disebabkan oleh karena posisi anda sebagai suami dan bapak, mampu
memberikan kepuasan optimal kepada istrinya dalam hak istimta' ."Dan kalian wajib memberikan
nafkah kepada mereka (istri-istri) dan memberi pakaian secara ma'ruf" (HR Muslim), mampu
menyandang status sosial yang tadinya lajang dia masih menjadi bagian dari keluarga orang
tuanya, setelah menikah mereka mulai dihitung sebagai keluarga tersendiri, dan masih banyak
yang lainnya.
Jika anda perempuan, ada kesiapan untuk membuka ruang baru bagi intervensi seorang
mitra bernama suami, kesiapan untuk mengurangi sebagian otoritas atas dirinya sendiri lantaran
tunduk pada prinsip syura dan ketaatan pada suami, kesiapan untuk hamil, melahirkan dan
menyusui. Siap menanggung beban-beban baru yang muncul akibat hadirnya anak, dan masih
banyak yang lainnya.
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan sesuatu. Dan berbuat baiklah
terhadap orang tua, kerabat-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat
dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan dirinya (An Nisa: 36)
Yaa Allah, sesungguhnya hambaMu ini memohon kepadaMu dengan IlmuMu pilihan
yang paling tepat, hambamu ini memohon kekuatan kepadaMu dengan ke Maha KekuasaanMu,
hambaMu memohon KaruniaMu yang besar. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa, sedangkan
hambaMu ini tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedangkan hambaMu ini tidak mengetahui,
dan Engkau yang mengetahui perkara yang Ghaib
Yaa Allah, apabila Engkau mengetahui apabila perkara ini baik bagi agama hamba-
hambaMu, dan baik akibatnya bagi diri hamba-hambaMu ini di dunia maupun di akhirat, maka
tetapkanlah dan mudahkanlah. Sesungguhnya apabila Engkau mengetahui bahwa perkara ini
buruk bagi agama hamba-hambaMu, dan buruk akibatnya bagi hamba-hambaMu ini di dunia
maupun di akhirat, maka jauhkanlah perkara ini dari hamba-hambaMu dan jauhkanlah diri
hamba-hambaMu ini darinya. Tetapkanlah kebaikan untuk hamba-hambaMu dimanapun hamba-
hambaMu ini berada, dan jadikanlah hamba-hambaMu ini ridha menerimanya... (HR. Bukhari)
Untuk para muslim dan muslimah yang belum berkeluarga. Ingat ! Menikah itu sunnah
Rasulullah, jika engkau miskin Allah akan memampukanmu dengan karuniaNya.
Bu, Suaramu adalah Cinta

Hanya ingin..kunyanyikan
senandung dari hatiku untuk Mama
Hanya sebuah lagu sederhana
Lagu cintaku, untuk Mama
Lagu anak-anak, kenny
Kemarin, bertemu ibu lagi. Duh senangnya bisa memandang wajah syahdu itu. Alangkah
bahagia tak terkira menuntaskan kerinduan menikmati binar matanya. Ia merengkuh saya, hangat
dan erat. Salam yang saya sampaikan ketika membuka pintu, tak berjawab. Ibu hanya
mengangguk dengan senyuman mengembang karena senang.
“Ibu, apa kabar???” kalimat pertama yang selalu saya singgahkan kepadanya setiap kali
pulang. Ibu tak juga bersuara, ia malah sibuk meneliti tas saya, adakah bacaan yang saya bawa
untuknya. Majalah tarbawi baru, segera saja beralih ke tangannya. Sejenak ia ke mushola,
mengambil kacamata dari atas Al-qur’an yang tengah terbuka. Ia kembali ke samping saya dan
kemudian tenggelam dalam samudera aksara. Setengah termenung, saya memandangnya. Dih
Ibu, emang enak dicuekin.
Saya faham, mengapa Ibu menjadi pendiam dan tak banyak bersuara. Rupanya batuk
yang diderita selama beberapa hari ini, merampas suaranya untuk bertutur. Saya sampai tak tega
mendengar parau tak terdengarnya ketika ia meminta saya menjadi imam shalat maghrib dan isya.
Seraknya yang parah terdengar seperti desis aneh, mungkin Ibu juga tak suka mendengarnya.
Makanya ia memilih memberi kode menangkupkan kedua tangan dan menempelkannya di pipi
kiri sebagai isyarat hendak menjumpai peraduan.
Akhirnya dua hari bersamanya, saya tak dapat mengobrol dengannya, kecuali satu arah.
Ibu sungguh-sungguh diam.
Selalu ada yang berubah ketika pulang dan menjumpainya. Ibu tak sebugar dulu, tentu
saja karena ia dilahap renta usia. Tangannya sekarang gemetar untuk saat-saat tertentu. Tubuhnya
kian kerontang karena nafsu makan yang seringkali menurun. Lingkaran-lingkaran putih itu
terlihat jelas di manik kedua matanya yang katanya sulit terpejam ketika malam menjelang.
Belum lagi kerut merut yang mengukir wajah ayunya. Jika berjalan, langkahnya tak seperkasa
dulu, hingga saya harus berlari-lari mensejajarinya. Dan sekarang, saya mendapatinya tanpa
suara. Rabbi.. Engkau sebaik-baik pemberi kesehatan.
Suara Ibu bagus. Ia bercerita, ketika saya sudah mampu berbicara, ia paling suka
mengajari saya menyanyi. Ia mengajak saya bergembira dengan menyanyi. Ia menyemangati saya
juga lewat alunan suara merdunya. Waktu duduk di bangku SD kelas satu, saya terkena liver
hingga sebulan tidak masuk kelas, rapor saya jeblok. Di teras depan rumah, ketika melihat saya
bersedih, suaranya begitu dekat di telinga. Ia merengkuh saya dan bernyanyi:
Jangan putus asa
Itulah semboyan kita
Maju terus maju
Jangan goncang atau bimbang
Kukuhkan hatimu, capailah niatmu
Kerahkan semua tenaga
Jangan goncang atau bimbang
Saya tidak akan pernah lupa senandung-senandung itu, berharap bisa meneruskannya
untuk anak-anak saya kelak. Ada lagu yang paling saya suka :
Jika aku sudah besar nanti
Ku pergi dengan ibu
Ibu boleh pilih sendiri, kemana yang dituju
Jika Ibu pilih Jogya, Bandung dan Semarang
Aku yang beli karcisnya
Karcis kapal terbang
Tak sengaja pada waktu berkumpul setelah lebaran idul fitri kemarin, saya mengajak
teteh-teteh dan Ibu ‘konser’ bersama. Hampir bersepuluh kami menyanyi, mendendangkan
sebuah lagu yang menjadi favorit kami sewaktu masih kecil dulu. Denting dawai gitar yang saya
petik menambah kesan ‘indah’ itu :
Di matamu mama ada bintang
Gemerlapan bila ku pandang
Di matamu mama ada kasih sayang
Yang selalu bersinar tak pernah pudar
Di matamu mama ada kasih sayang
Yang selalu bersinar terang
Entah mengapa, Ibu tak ikut menyanyi. Ia malah sibuk memperhatikan kami satu persatu
dan berkata hampir tak terdengar “Ehm, jangan bikin Ibu sedih atuh”.
Ah Ibu, rindu kudengar senandung cinta itu lagi. Suaramu adalah cinta, karena setiap
tuturmu selalu saja bermakna. Seingat saya, ia tidak pernah marah dengan kata-kata yang kasar
terhadap anak-anaknya, sejengkel apapun perasaanya. Suaranya paling terdengar tajam. Suatu
saat Ibu memperingatkan kakak saya yang telah memarahi anaknya tanpa ampun. “Geulis, kata-
kata seorang ibu adalah bertuah, berhati-hatilah. Ucapan seorang ibu adalah doa, jadi ucapkanlah
yang baik-baik”.
Ah, Ibu, sungguh tidak nyaman ketika suaramu tak terdengar memenuhi udara, meski
sosokmu begitu dekat. Bu, saya tak bisa menikmati dengan sempurna keindahan kebersamaan
kemarin, meski tak berkurang eratnya rengkuhanmu, meski engkau masih melabuhkan tanganmu
untuk membangunkan diri yang ditelan lelap. Sungguh, saya merasa sendiri kemarin meski
kehadiranmu nyata, karena mungkin sapamu terbatas, kata-kata bijak itu tak lagi ada dan kau tak
lagi bercerita tentang apapun.
Ah, bu, setelah sembuh, saya pasti mendengar lagi suara itu, sapamu, tuturmu, kata-kata
bijakmu bahkan mungkin senandung cinta ketika kita ‘konser’ bersama.
Ah, bu segalanya tentangmu adalah cinta, meski itu hanya suara.
Dan saya tak bisa membayangkan, jika suara mu menghilang untuk seterusnya, karena
sebuah takdir yang pasti kedatangannya.
Allahu Rabbii, anugerahkan untuk ummi kesehatan yang barakah.
Arigato Gozaimasu

eramuslim - Di mobil, perjalanan ketika suamiku baru menjemput aku di eki (stasiun) setelah
tiba dari perjalanan ke luar kota. “Mas,... tadi abang (panggilan untuk putra sulung kami) jadi
latihan karate khan ?”, tanyaku. “Jadi koog, tau ngga dek, tadi abang waktu mas bangunin tidur
siang bilang apa ?”. “Masa’ abang baru aja melek langsung bilang gini, “Abi, okoshitekurete
arigatou nee”. (Abi udah bangunin abang makasih yaa…). “Anak itu emang udah nihonjin (orang
Jepang) banget kog perasaan”, komentar suamiku lebih lanjut. Aku hanya tersenyum, sambil
membayangkan si abang. “Iiyaa bener juga, masa’ cuman perkara dibangunin dari tidur siang aja
begitu melek masih sempet-sempetnya inget untuk bilang arigatou (terimakasih), kataku dalam
hati.
Aku lantas teringat kejadian beberapa hari yang lalu sepulang dari kampus membawa sisa
camilanku yang tidak habis kumakan di lab. Abang menyambutku sambil bertanya, “Ummi, kore
tabete ii ?” (Ummi, ini boleh abang makan ?). Ketika melihatku mengangguk si abang lantas
berkata “Ummi, arigatou nee… oishii mono katte kurete, arigatou” . (Ummi, makasih yaa udah
beliin abang makanan enak). Deeg,… aku tersenyum kecut sambil melihat camilan yang mungkin
sudah tidak sampai sepertiga lagi isinya. “Duuh,… kesindir anak kecil niih”, gumamku. Padahal
camilan itu bukanlah makanan yang mewah atau enak sekali, dan kurasa cukup sering aku
membelikan anak-anak panganan kecil semacam itu. Tapi entah mengapa, apresiasi yang
diberikan seakan-akan melebihi apa yang diterimanya. Hhmm…khas nihonjin (orang Jepang).
Memang begitulah salah satu budaya yang baik dari orang Jepang, lidah mereka terasa
ringan untuk mengucapkan terima kasih. Jangankan untuk hal-hal yang besar, untuk hal-hal
sepele saja orang Jepang mudah sekali memberikan apresiasi.
Contoh yang sering dijumpai adalah bila kita masuk ke sebuah toko, walaupun kita tidak
membeli sesuatu, katakanlah hanya sekedar window shopping, saat kita keluar dari toko, pelayan
akan langsung memasang senyum dan mengucapkan arigatou gozaimasu (terima kasih) sambil
sedikit membungkukkan badannya. Bagi orang Jepang kata-kata “Terima kasih” lazim diucapkan
sampai tiga kali. Pertama, disaat mereka menerima barang atau bantuan jasa. Kedua, selang
beberapa hari kemudian biasanya orang Jepang akan telfon untuk mengucapkan terima kasih atau
pada kasus terhadap orang yang dihormati, biasanya mereka akan mengirimkan kartu pos tertulis
ucapan terima kasih. Ketiga, saat jumpa kembali, mereka akan spontan mengatakan “Senjitsu
domo arigatou” (Terima kasih yaa untuk kejadian waktu itu).
Duh indahnya,… bila menerima perlakuan baik, mereka akan benar-benar mengingat dan
menghargai. Belum lagi kebiasaan mereka berbalas hadiah, bila kita memberikan sesuatu hadiah,
jangan heran bila selang beberapa hari mereka akan mengirimkan hadiah balasan sebagai
ungkapan terima kasih.
Coba mari kita buka lembaran hadist, sebenarnya Rasulullah SAW manusia agung yang
dirahmati Allah, 14 abad yang lampau telah mengajarkan kita untuk berlaku serupa. Sebagaimana
tertera dalam sebuah hadist yang bersumber dari Hadath Asy’as ra. Rasulullah SAW bersabda :
“Orang-orang yang paling banyak bersyukur kepada Allah ialah orang-orang yang paling banyak
bersyukur/berterima kasih pada orang-orang “. (Al-Mu’jam Al Kabir Lit-Tabrani). Lantas
mengapa kadang kita masih saja sulit untuk mengapresiasikan kebaikan orang-orang di sekeliling
kita ?.
Saya teringat keluhan seorang kawan muslimah beberapa waktu yang lalu, “Bu Na, suami
saya tuh kalau ke orang lain perasaan gampang banget deh bilang ‘Jazakumulloh khoiron
katsiroo” (Semoga Allah membalas kebaikanmu dengan lebih baik dan banyak). Tapi, misalnya
kalo saya abis masak besar untuk menjamu temen-temen suami, trus nyuci setumpuk piring kotor,
atau ngebuatin suami teh manis, hhmm… boro-boro ada ucapan singkat ‘terima kasih’, suami
bisa noleh sambil senyum aja sudah bagus banget, eeh,…yang ada suami terus aja asyik melototin
monitor”. “Eeeh, bukannya saya ngga ikhlas lho yaa… tapi khan seneng aja kalo suami tuh
menghargai pekerjaan kita, jadi semangat gitu mau ngapa-ngapain”, tutur kawan tersebut.
Sebenarnya ini bukanlah yang pertama kali saya mendengar curhat yang senada. Memang
benar juga, kadang saya amati, para bapak acapkali memandang apa yang sudah dikerjakan isteri
adalah kewajiban yang sudah sepatutkan dikerjakan.
Padahal, sebenarnya tidak sedikit hal-hal yang dikerjakan isteri itu adalah justru
merupakan kewajiban suami. Hanya karena rasa sayang terhadap suami, atau niatan beramal
dengan harapan mendapat pahala yang lebih dari Allah, maka tugas-tugas suami lantas diambil
alih, dan bila sudah keterusan, lama-kelamaan suami menganggap itu adalah sudah kewajiban
isteri. Sehingga yang dulu awalnya hati selalu bersyukur, ucapan terima kasih senantiasa terucap
tatkala isteri membantu meringankan tugas, lambat laun akan terlena, maka hilanglah sudah
ucapan-ucapanterima kasih dan do’a “jazakillah khoir” itu.
Coba anda ingat, kapankah terkahir kali anda mengucapkan kata-kata mesra ungkapan
terima kasih penuh do’a pada isteri anda ?. Bila anda sudah lupa, tunggu apa lagi ? alihkan
sejenak pandangan anda dari layar monitor ini. Lantas segeralah buzz atau telfon isteri anda, dan
katakanlah… insyallah sepulang anda kerja, isteri anda akan menyambut dengan mesra dan
penuh kehangatan.
Menyatukan Langkah di Rumah Allah

eramuslim“Wahai Tuhan kami, karuniakan kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat, dan peliharalah kami dari siksa api neraka.”
Hatiku menjerit mengikuti putaran tawaf mengelilingi Ka’bah, serentak bersatunya hati
para tamu Allah, di rukun yamani sebuah sudut dimana orang menjeritkan hatinya, memohon
kebaikan dunia dan akhirat.
Rasanya tak sanggup aku menengadahkan wajah, malu rasanya hati yang berlumpur dosa
ini, kini seakan berada di hapadapan-Mu dan harus mengakui bahwa aku sering menjauh darimu,
walau aku rasakan kehangatan-Mu, kasih sayang-Mu, selalu Engkau berikan ke setiap
kehidupanku.
Tujuh putaran telah selesai, dengan erat mas Budi menggenggam tanganku dan berjalan
ke arah tempat yang sejajar antara hajar aswad dan pintu ka’bah, yang biasa disebut multajam.
Semua orang berlomba menginginkan tempat itu, kami sengaja mengambil tempat di dalam
Masjidil Haram, agar tidak terlalu berdesakan dan tidak mengganggu orang yang melaksanakan
tawaf.
“Tindri maaf kan aku.” Kata-kata mas Budi terputus-putus dengan meraih tanganku. Aku
menatapnya dan terlihat mata mas Budi basah dan agak memerah.
“Bukan mas yang harus minta maaf, tapi aku yang seharusnya minta maaf, selama ini aku
bukan istri yang baik, dan sering mengecewakanmu.” Dengan isakan tangisku akupun
menggenggam tangan mas Budi.
Aku merasa saat ini seperti sepuluh tahun yang lalu, hati bersatu seiring sejalan
mengawali sebuah keluarga, mas Budi yang selalu bergegas pulang meninggalkan semua
pekerjaan kantornya begitu teng jam berbunyi pukul 05.00 sore. Aku dan anakku menanti di
halaman rumah dengan keadaan segar setelah mandi sore hari. Anakku berlari menghampiri
motor honda bebek yang biasa dipakai mas Budi.
“Duh….. anak ayah sudah cantik dan wangi.” Dengan senyum aku pun menyambutnya.“
Minum apa mas?”“Apa aja deh” dengan sebuah kecupan di keningku yang selalu menentramkan.
Prestasi mas Budi semakin memuncak, jabatan sebagai kepala cabang sebuah bank asing
ternama pun ia raih dengan cepat. Aku sangat bangga dengannya, walau kadang tidak bisa
merasakan lagi suatu sore yang indah, yang saling bercengkrama dengan sikecil. Setahun berlalu,
dua tahun berlalu dan seterusnya, akupun sudah tidak ingin menanti kapan dan jam berapa mas
Budi pulang. Apalagi setelah aku di terima sebagai sekretaris sebuah perusahaan minyak asing
yang terkemuka di Indonesia.
Sebuah moto waktu adalah uang sudah tergambarkan dalam kehidupam kami. Kami
merasa bangga dengan prestasi yang kita peroleh, rumah yang megah, dan mobil mewah masing-
masing kita miliki dengan jerih payah masing-masing pula. Kebersamaan yang kita miliki sudah
menjadi tidak penting lagi, karena kerap kali kita memiliki kesibukan yang berbeda. Rumah
hanyalah sebuah penginapan yang pagi hari ditinggalkan dan malam hari sekedar numpang tidur
dan merebah.
“Kok baru pulang mas?” Aku sambil melirik jam yang menunjuk angka 10.00 malam.
“Iya ada rapat dengan investor dari Inggris.”
“Aku panaskan ya makanannya, karena bi Aroh sudah tidur.”
Dengan menguap nahan ngantuk dan lelah, karena aku pun baru pulang jam 07.00 setelah
seharian disibukan dengan rapat pimpinan yang harus kuatur.
“Aku sudah makan kok” Sambil membuka dasi yang melingkar di leher bajunya.
Sebuah kejadian seperti itu bukan hanya satu dan dua kali, tapi sering kali, sehingga aku
merasa tidak perlu lagi menawari makan malam atau bertanya kenapa terlambat, karena sudah
sama-sama tahu dengan kesibukan dan alasan seperti itu. Lagi pula aku juga capek dan tinggal
sedikit tenaga yang tersisa untuk menemani anakku belajar.
Hal seperti ini yang menjadi alasan aku sering menolak permintaan mas Budi di tempat
tidur, juga sebaliknya kita kadang memiliki keinginan yang berbeda waktunya. Hal ini yang
membuat kita kadang saling tidak menyapa, atau bahkan saling bertengkar.
Pulang kantor aku bergegas menuju stasiun gambir menjemput ibu dari Surabaya, yang
kangen katanya karena kami memang jarang pulang kecuali lebaran.
“Apa kabar bu.” Akupun memeluk ibuku dengan rasa kangen.
“Ibu baik- baik saja kok.”
Terlihat wajah ibu begitu redup, menenangkan walau kelihatan agak cape setelah
perjalanan jauh. Ibu tinggal di rumah lumayan lama, dan ibu pun melihat semua kebiasaan kami
yang ibu bilang bukan sebuah keluarga lagi.
Namun sore ini aku dan mas Budi juga pulang agak siang, karena permintaan ibu, kami
ngumpul di ruang tengah sambil menikmati pisang hangat, dan nonton teve.
“Tindri, nak Budi, ibu akan sampaikan amanat Ayahmu sebelum beliau meninggal, pergilah haji
kalian kan sudah mampu.”
Aku dan mas Budi terdiam sesaat, kami bingung karena tidak mudah untuk ngatur
waktunya yang harus bersamaan cuti. Tapi aku sangat mencintai ayah, sehingga berusaha
menbujuk mas Budi, walau niat awal hanya ingin membahagiakan orang tua, dan menutupi
ketidak bersamaan lagi di keluarga.
Kini kita berada di rumah Allah, kita merasa amat kecil dan tidak memiliki apa-apa,
rumah megah, mobil mewah yang kami tinggalkan ternyata tidak membuat hati kita bersatu, dan
malah menjauh, dan tidak saling memiliki, namun disini dengan mas Budi yang mengenakan dua
helai kain ihram, ia merasa bahwa yang ia miliki yaitu istri dan anak amatlah berharga. Juga aku
setiap langkah sa’i dari safa menuju marwah merenungkan bagaimana bisa aku seperti siti Hajar
berlari mencari setetes air untuk melindungi anaknya Ismail dengan kepasrahan dan tawakal
tanpa berteman suami tercintanya. Sedang aku menghabiskan waktuku berlari mengejar kepuasan
duniawi dan tega meninggalkan anak dan menomor duakan suami.
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami dari istri kami dan keturunan kami yang
menyejukan hati kami, jadikanlah kami pemuka bagi orang-orang yang bertaqwa.” Terdengar
suara mas Budi lirih dengan menengadahkan kedua tangannya. Aku meng amin kan dengan
penuh tekad, dan mohon hanya kepada Allah.
“Ya Allah ampunilah kami, rahmatilah kami, jadikan aku istri yang dapat menyejukan
hati suami, dan pelindung untuk anakku.”
Kurang lebih dua minggu kita berada di tanah suci, menjadi tamu Allah. Semakin terasa
mas Budi yang lama menjauh dari hatiku kini kembali, bersama menyatukan tekad. Membina
keluarga yang seimbang antara dunia dan akhirat.
Hari itupun kami berkemas siap untuk pulang ke tanah air, dengan hati yang berat rasa
nya meninggalkan rumah Allah yang suci. Seakan tangan melambai dan membisik “berilah aku
kesempatan agar aku dapat kembali ke rumah-Mu yang suci ini.” Amin.***
Aku, Ayah Paruh Waktu

eramuslim - Malam baru saja mengulas senyum. Dingin menyengat menyelimuti. Jemariku
masih menari diatas tuts keyboard komputer. Memilih huruf demi huruf menjadi sebuah
rangkaian kata. Sebagai hasil dari kolaborasi emosi dan rasioku.
Sesekali aku menguap. Selembar kantuk menyapa. Menundukan kelopak mata. Aku
terpulas di atas bangku dibawah tatapan screen komputer yang tetap menyala menyedot energi
listrik. Kepala terdongak ditopang sandaran kursi. Kedua tanganku terkulai di atas meja. Namun,
pikiranku melayang jauh ke rumah.
“Bang, bangun subuh.” Suaraku pelan mengelus lembut wajang Si abang, anakku yang sulung.
“Emang udah jam berapa bi,” tanyanya sembari melek sebentar, berbalik dan merem lagi.
“Setengah lima bang,” kataku meraih kedua ketiaknya. Tanpa menunggu wajahnya segar
sempurna, Aku menggendongnya ke kamar mandi.
“Sudah bangun, ayo, nanti Pak Adnan jemput, kamu sudah siap.” Tanganku menurunkannya.
Ketika guyuran air pada sendok pertama membasahi rambutnya, kelopak matanya membesar
meneropongku dalam dalam. “Lho abi, koq ada di rumah?”
“Ini khan hari selasa, abi bukannya di kantor?” tanyanya lagi tanpa menunggu jawaban
pertanyaan pertama.
“Bi, udah sana pergi ke kantor, nanti abi diomelin bos abi lagi,” tambahnya nyerocos membuatku
terperangah. Ia menolak dan menepis gayung. “Prakkk…!” gayung jatuh. Akupun siuman.
“Astaghfirullah...” Aku merunduk. Setangkup oksigen kuhirup, mengisi ruang paru-paru untuk
segera mengirim darah ke otak. Aku menggeliat.
Suasana kantor sudah senyap. Tinggal Imbang dan Joko yang sedang berjibaku dengan
tata letak, lay out mediaku. Kembali,lintasan-lintasan ingatan mimpi singkat barusan coba aku
review. Kedua telapak tanganku ku usap ke wajah, merenggangkan sejumlah otot yang semula
tegang. Beberapa kali, leherku kurenggut sekadar menyegarkan.
“Lho abi koq ada di rumah.” Kalimat si abang terngiang-ngiang di genderang telingaku.
Selanjutnya setelah itu, perasaan bersalah memeluki. Ada yang terasa nyeri di dadaku. Entah apa.
Membuatku kepalaku jatuh tertunduk diatas meja disebelah keyboard. Terbayang kemudian
wajah si abang dan si ade, dua putraku.
“Maafkan abi nak,” aku berdesah. Tenggorokan serasa pepat mengingat mereka berdua
yang begitu mengharapkanku. Sementara aku, selalu pergi pagi pulang malam. Bahkan, kalau
sudah deadline seperti hari ini, aku harus menginap di kantor dan meninggalkan mereka berdua.
Bertiga dengan uminya.
Ada segumpal keprihatinan yang mengganjal pembuluh darahku di otak. Semestinya tidak begini.
Akulah yang mestinya mendidik dan menemani mereka tumbuh. Bukan ibu Ani, pembantuku,
seorang istri tukang becak.
Akulah yang semestinya membangunkan mereka untuk shalat subuh berjamaah. Akulah
yang semestinya mengajak mereka ke masjid untuk shalat Jumat. Akulah yang selayaknya
membawa mereka ke sawah bukannya membiarkan mereka menghabiskan waktunya di depan
televisi. Akulah yang semestinya yang mengajarkan mereka alif ba ta dan a b c d. Akulah
orangnya yang harus mengajarkan mereka mengenal Tuhannya. Akulah orangnya yang mestinya
menjelaskan segala fenomena dunia ini. Akulah orangnya yang harus membawa mereka ke sawah
dan ke sungai untuk kukenalkan kepada alam sekitar. Kepada capung, belalang dan lumpur
sawah.
Akulah yang semestinya menjemput dan mengantar si abang ke sekolah. Bukannya, Pak
Adnan, tukang ojek yang setiap hari membawa si abang ke sekolahnya. Akulah orangnya yang
sewajarnya ada di depan rumah ketika ia pulang sekolah dan berteriak, “abi…abi…” Akulah
orangnya yang harus menjelaskan kepada si abang saat ia mengirim surat cinta kepada teman
wanitanya. Padahal , ia baru kelas satu SD.
Akulah yang semestinya berada di sampingnya ketika ia mengganggu adiknya. Akulah
yang semestinya mengantarnya ke dokter saat ia panas.
Tapi, sayang. Aku tidak ada disana. Waktuku habis dimakan rapat, mengkoordinasi anak
buah, membuat tulisan, mengedit dan memantau pekerjaan teman-teman redaktur. Aku sibuk
dengan pekerjaanku sendiri dan meninggalkan darah dagingku sendiri tumbuh dan berkembang.
Aku selalu berkilah untuk menghibur diri sendiri bahwa apa yang ku lakukan demi pengabdianku
kepada umat. Lalu, apakah kedua anakku juga bukan umat.
Aku bagaikan ayah paruh waktu yang datang dan pergi seharian. Seribu kalimat sayang
dan segumpal materi yang kuberikan ternyata tak mampu menggantikan kehadiranku. Dan, waktu
yang terhempas, tak mungkin lagi bisa aku ulangi. Tak bisa aku ganti dengan apapun.
“Abang,adik,… maafin abi ya nak. Abi tak mampu memberikan yang kamu harapkan.
Abi tak kuasa untuk menghadapi kondisi ini nak. Abi punya tanggungjawab yang abi harus pikul.
Abi sayang kamu.”
Tak terasa, tanganku yang kutelungkupkan dibawah wajah basah. Genangannya ternyata masih
ada di kelopak mataku. Saat kutegakan badan, beberapa cc air mata menganak sungai.
Tenggorokan kembali sarat oleh penyesalan dan rasa bersalah. “Robbana Ya Allah, ampunilah
dosa-dosaku yang lalai mengurus amanah yang engkau berikan. Lindungilah kedua anakku.
Jadikanlah, mereka penolong agama-Mu seperti engkau jadikan Musa dan Harun.”
Aku menarik nafas. Disela saratnya tenggorokan, aku teringat kamu Nda, istriku sayang.
Dipundak lemahmu semua beban ini kuberatkan. Kamulah satu-satunya yang bisa aku harapkan
merawat dan menumbuhkembangkan dua pangeranku menjadi manusia.
Seperti kata penyair Kahlil Gibran, anak bagai busur panah yang meluncur deras menuju
takdirnya. Anak kita pun akan berlari menuju alunan takdir hidupnya. Dan, disela-sela
ketidakmampuanku, aku masih berharap busur panahku bisa melesat manis dalam aliran
Tuhannya. Tentu, ia melangkah dengan panduan tanganmu, istriku.
Ananda Faiz Tercinta; Catatan Kecil dari Orang Tua
Biasa

Belum lama ini, melalui sebuah mailing list, seseorang mengirimkan 'puisi' untuk Faiz.
Isinya kurang lebih meminta Faiz untuk menulis sebagaimana anak lainnya. Ia menyarankan Faiz
menulis tentang gunung, awan serta pemandangan lainnya, tentang nenek, kakek, tentang es krim,
pesawat, mobil, dan semacamnya. Itu saja. Menurut si pengirim, 'biarlah urusan politik diurus
oleh Pak De Hamzah Haz, Pak De Amin Rais, Bu De Megawati dan Om Kwik Kian Gie". Lebih
jauh ia meminta Faiz untuk tidak berpuisi, melainkan bermain sepuas-puasnya sebagaimana anak
lain seusia Faiz.
Apakah komentar Faiz tentang hal ini? Dia tersenyum. "Lagi-lagi orang dewasa yang
tidak demokratis," ujarnya sambil ngeloyor pergi bermain bersama teman-temannya. "Yang nulis
seperti itu kan sudah banyak. Aku juga sering menulis hal itu, juga tentang kucingku waktu aku
kecil."
Kami sendiri terbahak manakala membaca tulisan tersebut. Tanpa disuruhpun Faiz
dengan senang hati bermain sepeda, basket, sepak bola, gundu, berenang, bahkan kadang-kadang
computer games. Dan di luar puisinya yang beredar di internet, sebenarnya Faiz memiliki banyak
puisi lain-tentang dunia anak bawah 10 tahun yang disebut-sebut itu.
Sejumlah orang menduga Faiz kutu buku dan sangat serius. Tidak. Sejauh ini, ia bahkan
lebih suka bermain ketimbang membaca atau menonton televisi. Ia juga humoris dan sangat
menikmati masa kanak-kanaknya.
Tapi Faiz gemar bertanya. Rasa ingin tahunya besar. Pada usia empat tahun, ia bertanya
tentang bagaimana bentuk angin, mengapa Allah tidak terlihat, mengapa mata kita berkedip dan
banyak lagi. Ia pun suka bermain peran dan bercerita. Entah mengapa, hampir semua peran dan
ceritanya mengenai orang-orang 'kecil' di negeri ini.
"Bunda, sekarang pura-puranya aku jadi tukang koran ya!" Atau: "Bunda, sekarang aku
jadi anak tukang jual kue ya!" Dan: "Aku sedang jadi supir angkot yang kecapekan!"
Ia sering bercerita tentang temannya. Kadang teman yang sebenarnya, dan kadang
tentang teman imajinernya. Ketika kami bertanya tentang Mimis--anak seumurnya yang
diceritakannnya sebagai korban kerusuhan 1998-- Faiz tertawa "Bunda, bunda. Itu kan cuma
teman khayalanku saja!"
Ia juga mengeluarkan kalimat-kalimat yang tak terduga. "Aku mencintai Bunda seperti
aku mencintai surga." Lalu: "Aku ingin Allah mencium ayah bunda dalam tamanNya terindah
nanti." Atau: "Bunda, apakah cinta selalu menyediakan airmata?" Kami sering menyediakan
waktu panjang untuk sekadar ngobrol dan merekam apa yang diucapkan Faiz sejak ia kecil.
Kelak, setelah Faiz duduk di TK, kami menyemangatinya bahwa apa yang ia ucapkan
sangat puitis dan bila ditulis akan menjelma puisi yang sangat indah.
Pada usia enam tahun, Faiz menjadi montir kecil yang menolong Bundanya
mengembalikan file yang tak sengaja terhapus di komputer kami. Ia juga yang mengajari Oma-
nya menggunakan fasilitas sms. Ia mengajari om dan tantenya menggunakan kamera digital, PDA
dan handycam. Dia masih sering bicara soal cinta dan gemar meledek ayahnya. "Cintaku pada
Bunda sebesar Amerika Serikat," katanya suatu ketika. "Kalau cinta Faiz pada ayah?" tanya kami.
"Sebesar Timor-timur," jawabnya sambil tergelak-gelak. Pada tahun 2001 itu, Timor-timur
sedang jadi berita karena dalam proses lepas dari Indonesia.
Saya jadi ingat kecemasan John Naisbitt dalam bukunya 'High Tech, High Touch' tentang
orang-orang tua yang kehilangan kendali atas anak-anaknya karena anak-anak mereka lebih fasih
dalam teknologi. Saya bersyukur Faiz sejauh ini masih terkendali.
Ketika Faiz memenangkan lomba menulis surat pada presiden, mulai muncul pertanyaan,
"Bagaimana caranya mendidik anak supaya menjadi seperti Faiz? Apa yang diajarkan pada
Faiz?" Pertanyaan seperti ini belakangan semakin sering kami terima, seiring dengan beredarnya
puisi-puisi Faiz di berbagai mailing list di internet. Puisi-puisi ini beredar tidak sengaja karena
semula kami edarkan guna kalangan terbatas untuk memperoleh umpan balik dan endorsement
dalam rangka penerbitan buku Faiz oleh Mizan.
Sesungguhnya kamilah yang banyak belajar dari Faiz. Anak ini punya empati besar pada
sekitar. Suatu hari ketika kami mengajaknya pergi naik angkutan kota 02 jurusan Cililitan, angkot
tersebut berhenti di lampu merah Garuda-Taman Mini. Di sana banyak anak jalanan mengemis
dan mengamen. Faiz mencolek bundanya dengan mata basah dan berkata, "Bunda, alasan apa
yang menyebabkan kita tidak menaruh mereka semua di rumah kita?" Dan: "Kalau jadi presiden,
aku sih akan sering datang melihat mereka."
Begitu juga bila ada tukang nasi goreng lewat di tengah malam---dan kebetulan Faiz
belum tidur-Faiz akan bertanya, "Bunda, alasan apa yang menyebabkan kita tidak membeli nasi
goreng malam ini?" Ketika bundanya berkata, "Nak, ini sudah malam, kita sudah mau tidur. Kita
pun sudah makan." Mendengar jawaban itu, Faiz membalikkan badan dan menitikkan airmata.
"Apa salahnya sih menolong orang?"
Tanpa kami ingatkan, sepertiga uangnya dari hasil lomba atau dari manapun, selalu
disumbangkan bagi mereka yang tak mampu. Ketika kami ajak untuk syukuran HUT-nya di Panti
Balita, Cipayung, Faiz berkata:
"Tidak usah deh. Aku usul kirim makanan enak aja buat mereka. Kan kasihan mereka
ulangtahunnya nggak pernah dirayakan, masak aku merayakan di sana?"
Kami mendidik Faiz dengan cara yang biasa, sebagaimana cara jutaan orang tua lainnya
di Indonesia. Kami membiasakan diri berdialog dengan Faiz, menyajikan pilihan-pilihan yang
tersedia baginya, berdiskusi tentang bagaimana ia dapat memilih, menjawab pertanyaan-
pertanyaannya dan seterusnya. Sahabat kami, Santi Soekanto, pernah menasihati kami, jauh
sebelum Faiz lahir, agar tidak memperlakukan anak dengan cara yang kekanak-kanakan.
Kami bersyukur karena Faiz mudah diajak dialog. Tapi kami lebih bersyukur karena Faiz
bukan tipe 'pak turut.' Ia selalu bertanya mengapa begini, mengapa begitu sebelum melakukan
sesuatu. Kadang kala memang melelahkan-sampai-sampai sering kami harus mencari referensi
tentang hal yang ia tanyakan. Tapi Faiz terlatih untuk melakukan segala sesuatu dengan alasan.
Kami mendidik Faiz dengan cara biasa. Karena itu kami miris manakala gelombang
pujian berdatangan dari mana-mana, "Faiz anak luar biasa."
Kami khawatir pujian berlebihan ini mengecilkan room for error (ruang kesalahan) bagi
Faiz. Dalam batas-batas tertentu, Faiz masih butuh belajar dari kesalahan-kesalahan yang ia
lakukan.
Kami juga khawatir pujian berlebihan ini membuat orang-orang tua lainnya terhalang
untuk memberi kesempatan yang sebesar-besarnya bagi anak mereka masing-masing. Padahal
kami yakin jika anak-anak punya kesempatan yang besar untuk mengembangkan dirinya sendiri,
niscaya kita akan menyaksikan lebih banyak harapan yang tumbuh bagi Indonesia yang lebih
baik.
Dan Faiz? Justru karena ia memiliki kepolosan kanak-kanak dan jiwa yang bersih, kami
yakin suara dalam puisinya adalah perasaan dan harapan yang sesungguhnya. Bukan dusta
sebagaimana yang dikira oleh seseorang di bawah ini:
From:ikra@sbcglobal.net
Sent: 11 Januari 2004 20:40 To:islamliberal@yahoogroups.com
Subject: Re: ~JIL~ Sajak Anak 8 Tahun Menjelang Pemilu
Karena ini ditulis oleh penyair kanak-kanak, maka komentar saya Yah... bual macem apa pulalah
ini!
Puisi itu bukan tempat untuk membual, Nak Faiz
===
Kami tak akan pernah memaksa Faiz untuk melakukan sesuatu, namun akan terus
mendorong Faiz untuk berkarya dalam lapangan apapun yang ia suka.
Kami tak ingin meremehkan kemampuan anak kami atau jutaan anak Indonesia lainnya.
Mereka cerdas dan mempunyai potensi yang luar biasa. Tinggal apakah kita mau memperhatikan,
mendorong dan memberikan ruang bagi mereka.
Kami bangga pada Faiz. Kami sayang padanya dan akan terus bekerja keras mendidik
serta mengembangkannya agar ia dapat tumbuh sebagaimana yang Allah Ta'ala kehendaki
baginya.
Anugrah Terindah dari Sebuah Kesabaran

eramuslim - Pagi ini kubaca email pertama dengan penuh gembira dan haru sekaligus.
Subhanallah!Allahu Akbar! Janji Allah itu memang nyata bagi orang-orang yang senantiasa sabar dan
bertakwa. Email itu berjudul: The twins are coming !!!!Sebuah berita kelahiran, yang mungkin akan
jadi biasa-biasa saja bila itu tidak ditunggu setelah 13 tahun menanti datangnya sang buah hati
tercinta.
Secara pribadi saya tidak cukup kenal dengan Ustadz Joban, Imam Masjid Olympia, Seattle,
USA, ayahanda dua bayi kembar seorang calon mujahid dan mujahidah. Meski untuk beberapa
kesempatan yang lalu sehubungan dengan amanahku di koordinator Imsa-sister beberapa kali sempat
bersilaturahmi kepada beliau.Seorang ustad asal Indonesia yang dikenal di Amerika dan Canada sini
sebagai salah seorang ustadz yang sepak terjang aktivitasnya salah satunya sebagai pembimbing
kerohanian di penjara-penjara US negara bagian Washington.Namun cerita beliau yang belum
dikaruniai buah hati setelah 13 tahun pernikahannya, cukup sering kudengar dari teman-teman disini.
Sehingga nampak begitu menakjubkan bagiku karunia yang Ustadz Joban dan istri terima dari Allah,
setelah sekian lama masa penantian. Pada akhirnya Allah memberikan anugrahnya kepada hambanya
yang sholeh dan sholihat itu dengan kedatangan sang twins,putra dan putri, setelah 13 tahun
pernikahan. Subhanallah. Allah tidak hanya memberikan satu, tetapi dua, dan sepasang pula,
sempurna!
Begitulah bila Allah berkehendak, sebuah kesabaran dan ketakwaan dari hamba-hambaNya
itu berbuah balasan Allah dengan sebuah balasan yang sungguh tak terhingga, pun ketika masih di
dunia.Apalah lagi nanti di akherat, janji Allah itu pasti akan terbalas dengan yang lebih berlipat-lipat
juga kepada para hambaNya yang juga senantiasa teguh dalam kesabaran dan
ketakwaannya..Membaca dan kemudian merenungi anugrah itu ,tiba-tiba seperti terbayang di depanku
gambaran "cerita" Allah tentang Nabiyullah Zakariya dalam Kitabullah Al-Qur'an..Yang Allah uji
dengan ketidak adaan buah hati hingga masa udzurnya, dan istrinya yang dinyatakan mandul. Namun
berkat kegigihan beliau bermunajat kepada Allah dengan penuh roja' (harap) dan khouf (takut),dan
senantiasa menyegerakan perbuatan baik, Allah menganugrahi pula buah hati yang tiada dinyana-
nyana akan kehadirannya, Nabiyullah Yahya.
Sebuah pelajaran yang berharga tentunya buat para saudara-saudariku yang telah lama
mendambakan kehadiran buah hati, bahwa tiada pernah ada kata menyerah! Kalaulah Allah
berkehendak, semuanya mungkin terjadi. Allah Maha Mengetahui kesiapan hamba-hambaNya.
Tetaplah berbaik sangka kepada Allah, bahwa apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi.Teruslah
bermunajat dalam roja' (harap) dan khouf (takut) kepada Allah sebagaimana Nabiyullah Zakariya,
insya Allah buah hati yang didamba akan melengkapi kebahagiaan keluarga.Dan senantiasalah
bersabar dalam ketakwaan,usaha diiringi do'a.Sang Robbul Izzati insya Allah akan menerima.
Agar Dia Selalu Cinta

eramuslim - “Sayang, I love you!” Hari ini entah sudah untuk yang keberapa kalinya suamiku
membisikan kata itu dengan lembut tidak saja langsung bibirnya menempel di telingaku, tetapi
juga melalui SMS ketika dia sudah di kantor. Biasanya akupun langsung membalasnya, I love
you too, mas. Terima kasih telah menjadi suamiku.”
Aku menyadari, aku memiliki bebrapa kelebihan, tetapi sesungguhnya kekuranganku
jauh melebih kelebihan yang aku punya. Aku bukan perempuan yang cantik jelita seperti ratu
balqis, bukan pula wanita kaya raya seperti ummahatul mu’minin Khadijah. Walaupun tidak buta,
tetapi pemahamanku terhadap Islampun masih perlu perbaikan.Tak banyak yang istimewa yang
aku punya, makanya aku sangat bersyukur sekali Allah menghadirkan seseorang yang Allah
halalkan tidak saja hatinya tetapi juga fisiknya padaku. Walaupun aku hanyalah perempuan biasa,
Allah memberiku seorang laki-laki yang sholeh, baik, rendah hati dan amat sangat sayang
padaku.
Ibuku pernah berpesan, ada empat perkara yang harus kita perhatikan agar tercipta syurga
dunia dalam rumah tangga. Sebagai seorang istri kita memang dituntut untuk memaksimalkan
kemamapuan agar indah dipandang mata, sejuk dilihat, tenang ditinggal, membangkitkan gairah,
dan menumbuhkan ketaatan suami kepada Allah. Disamping menjadi ibu yang baik dalam
mendidik anak-anak kita.
Pertama, mampu memberikan kepuasan di tempat tidur. Tempat tidur adalah ruang yang
paling privacy antara kita dan suami. Disanalah biasanya suami mengurai keletihan setelah
bekerja seharian. Tempat tidur juga merupakan tempat dimana biasanya suami istri menunaikan
hajat seksualnya. Untuk itu istri di tuntut untuk menata tempat tidur dengan baik, bersih dan
harum. Istri perlu memahami kebutuhan seksual suami, memenuhi ajakan bersetubuh dengan
segera, memberikan kepuasan maksimal dalam bersetubuh, jika perlu tidak ada salahnya istri
menawarkan diri.
Kedua, menciptakan keindahan di dalam rumah, menatanya dengan penuh artistik, serta
menjaga harta yang ada di dalamnya. Rumah yang besar belum tentu menciptakan ketenangan
dan kedamaian. Perabotan yang banyak lagi mahal tidak juga bisa membuktikan penghuninya
adalah pasangan yang berbahagia. Keindahan di sini adalah keindahan yang terpancar dari tangan
lembut dan keikhlasan penatanya, yaitu istri yang sholehah, qonaah, tawadhu, dan rendah hati.
Ketiga, mendidik dan menjaga anak-anak. Anak-anak adalah amanah, anak-anak adalah
investasi, anak-anak merupakan hiburan bagi kita. Anak-anak yang bersih, sehat, cerdas adalah
dambaan orang tuanya. Menjadikan anak-anak kita sholeh, cerdas, sehat dan bersih membuktikan
keberhasilan kita mendidik mereka. Suami akan bekerja lebih giat untuk mencari nafkah jika
melihat anak-anak dalam kondisi seperti ini.
Keempat, saling memaafkan. Suami istri berasal dari dua keluarga yang berbeda,
kebiasaan yang berbeda, adat-istiadat yang berbeda, sifat yang berbeda. Keduanya bukanlah
makhluk yang sempurna yang tak pernah salah. Keduanya sama-sama memiliki kekurangan.
Meminta maaf terlebih dahulu jika memiliki salah dan segera memaafkan suami serta tidak
mengungkit-ungkit lagi kesalahan yang pernah ada akan menautkan lagi kemesraan kita berdua.
Seorang suami tidak akan memikirkan perempuan lain jika istri mampu menampilkan
semua ini dihadapanya. Memberikan kebahagiaan lahir batin, menciptakan suasana segar, serta
istri yang menentramkan jiwa. Tak akan pula ada percekcokan, sakit hati atau penyesalan telah
mengikat janji berdua dihadapan Allah aza wajalla. Yang ada adalah ungapan sayang, kata-kata
mesra, cinta yang selalu berbunga, mudah-mudahan berkah Allah selalu melingkupinya.
Aku Ingin...

eramuslim - Kupandangi wajah anakku Zahra yang berusia 6 tahun. Ah dia memang putih dan
cantik. Dia tidur dengan pulasnya malam ini. Kubelai rambutnya dan kucium pipinya lembut.
Aku senang memandangi putriku. Aku senang mendengar suaranya. Aku senang melihatnya
berlari. Tanpa sadar mataku menatap foto dirinya yang terpanjang di sisi tempat tidurnya. Foto
ketika dirinya belum lagi satu tahun, sedang tengkurap dengan kepala tegak. Foto itu memang
sengaja kupasang untuk mengenang masa-masa bayi putriku, Zahra.
Kerinduanku pada bayilah yang akhirnya membuat aku memasang foto bayi Zahra..
Rindu untuk menggendong, memeluk seorang bayi. Seorang bayi adalah penyejuk mata orang
tuanya menurutku. Ya, aku ingin mempunyai anak lagi.
Suatu hari aku pergi berkumpul dengan teman-temanku. Diantaranya ada temanku Fitri
yang mempunyai 4 orang anak, semuanya perempuan dan temanku yang lain, Ira, mempunyai 2
orang anak, semuanya laki-laki. Kami mengobrol bersama. Fitri ingin punya anak laki-laki dan
Ira ingin punya anak perempuan. Tapi akhirnya kami tersadar, diantara kami ada yang belum
dikaruniai anak di dalam sekian tahun pernikahan mereka. Ternyata masih ada yang berada di
bawah diri kita.
Begitulah manusia, selalu penuh dengan keinginan-keinginan terhadap perhiasan
kehidupan dunia. Keinginan-keinginan itu jika selalu diperturutkan, hanya akan memuaskan diri
kita sesaat saja sebelum akhirnya muncul keinginan-keinginan baru yang lain. Keinginan-
keinginan itu baru akan hilang seiring dengan menghilangnya kita dari dunia ini.
Seorang istri sudah memasakkan ikan goreng kesukaan suami tercinta, sang suami masih
minta dibuatkan sambal pedas sebagai teman makan ikan goreng.
Seorang istri sudah dibelikan tas cantik oleh suami tercinta, begitu melihat tas kawannya
yang tampak serasi betul dengan baju kawannya itu, maka sang istri pun menuntut pada sang
suami minta dibelikan tas yang seperti punya kawannya itu.
Seorang anak sudah dibelikan kue kesukaannya, setelah melihat roti yang terpajang di
supermarket, jadi ingin roti itu.
Seorang ibu di rumahnya sudah punya persediaan sayur mayur dan lauk pauk di rumah,
setelah melihat-lihat buku masak, jadi kepingin makan asinan yang bahan bakunya sama sekali
tidak ada di rumah.
Seorang dosen belum lama membeli laptop terbaru, begitu melihat temannya punya
laptop dengan model yang lebih baru lagi, sang dosen langsung ingin membeli juga laptop
dengan model yang sama atau bahkan yang lebih canggih.
"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang
kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi
harapan." (QS. Al Kahfi : 46)
Ada kisah tentang seorang muslim kaya di Madinah bernama Hafash bin Ali Aash yang
berkunjung ke rumah Khalifah Umar. Saat makan siang tiba, dihidangkanlah daging kering yang
tebal dan keras. Hafash terkejut melihat makanan Khalifah Umar. Dengan sopan ia mohon pamit
untuk makan siang di rumahnya saja. Di rumah Hafash, pelayan-pelayannya selalu menghidang
makanan-makanan terbaik yang lezat-lezat. Lalu apa jawaban Khalifah Umar setelah melihat
keengganan Hafash memakan makanan yang terhidang di rumah Khalifah Umar?
Beliau berkata, "Semua kesenangan-kesenangan dunia itu aku tinggalkan untuk
menghadapi hari dimana aku tidak memerlukan itu semua, yaitu hari ketika aku harus menghadap
Allah. Aku mengetahui firman Allah, "Ketahuilah sesungguhnya kehidupan di dunia adalah
permainan dan hiburan. Berbangga-bangga antara kamu yang berlomba banyak harta dan anak.
Seperti hujan membuat tanaman-tanaman yang mengagumkan petani. Kemudian, tanaman itu
kering dan kamu lihat warnanya kuning dan akhirnya layu. Di akhirat ada azab yang keras, ada
pula ampunan dari Allah serta keridlaan-Nya. Kehidupan di dunia hanyalah kesenangan yang
menipu." (QS Al Hadiid : 20)
Wallahu`alam
Tunggu Aku Ibu...

eramuslim - Seorang ibu, bangun sekitar jam 3 malam. Dengan mata masih berat untuk dibuka
dan badan yang sudah tidak sekuat dulu ketika dia masih muda, kini mulai ngilu karena rematik.
Kadang, kehidupan malamnya dimulai dengan. Kadang juga tidak, bila dia pikir telah terlambat
bangun. Dalam tahajjudnya, tak ada doa lain yang keluar dari mulutnya melainkan keberhasilan
anak-anaknya dan hutang suaminya yang segera lunas.
Ia lalu memasak air, memasak nasi uduk, goreng pisang, dan segala sesuatu yang akan
dijual bersama suaminya di warung kecil yang dia kontrak tepat dua tahun yang lalu. Ketika
adzan shubuh terdengar, hampir semua persiapan jualan hampir dia selesaikan. Memasukkan
pempek yang gak terasa ikan sama sekali itu ke dalam kresek, dan terakhir menutup tempat nasi,
menyimpan dengan rapih di atas meja makan yang mulai tua.
Ia lalu membangunkan suaminya yang harus sudah berangkat lebih dahulu ke pasar
setelah mandi dan sholat shubuh. Sang suami yang terlihat lelah tidak hanya karena berjualan tapi
juga oleh beban hidup yang harus ia tanggung. Selesai membangunkan suaminya, ia segera ke
kamar mandi untuk mencuci pakaian suami dan seorang anaknya yang tersisa dirumah. Tiga
orang anaknya yang lain, ia izinkan pergi merantau. "Biar nggak bodoh," katanya.
Selesai mencuci dia menimba air sumur rumah yang kedalamannya cuma 2 meter tapi
kekuatannya yang sudah lemah sering membuatnya lelah. Habis mencuci dia mandi dan bergegas
untuk segera pergi ke pasar menyusul suaminya. Tanpa lupa membangunkan putri bungsunya ia
pergi kepasar untuk menyusul suaminya yang lebih dulu untuk mengatur makanan dagangannya.
Ia pergi melangkah kepasar yang jaraknya 500meter dari rumahnya, dengan berjalan kaki.
Sampai dipasar mulai ia dan suaminya melayani pembeli satu persatu yang mulai jadi
pelanggannya.tak terasa waktu beranjak menjelang dzuhur sang ibu mulai beranjak pulang, tapi
tidak segera kerumah melainkan mampir ketoko membeli gula merah, terigu, telor, dan semua
persiapan untuk jualan esok hari. Dan dengan barang bawaannya dia pulang tepat jam 1 dibawah
terik matahari, ia berjalan kaki menuju rumahnya.
Kupikir dia akan merebahkan tubuhnya di sofa rumahnya yang mulai tua tetapi
tidak.diletakkan barang bawaannya menuju kamar mandi untuk berwudlu setelah itu, ia sholat. Ia
melirik sebentar tempat tidur, tapi ada yang menghalanginya. Yah dia harus mengerjakan bahan -
bahan jualannya untuk esok hari. Tepat pukul empat sore dengan cantiknya ia mulai duduk
didepan rumah, atau di depan tv atau di tempat tidur untuk sekedar meluruskan pinggangnya.
Jika maghrib telah selesai ingin sekali ia diurut oleh ketiga anaknya yang lain yang dia
cintai. Tapi sayang mereka berada jauh di tempat lain. Siapa yang dapat mengira kalau penjual
makanan dikedai yang kecil di pojok pasar itu memiliki 3 orang anak yang semuanya anak
kuliahan. Itulah kebanggaannya yang sering dia lontarkan kepadaku anaknya. Ketika liburan
kemarin kulewati hari-hari bersamanya. Di kamarku sering kuurut badannya sambil bercerita
panjang tentang duka, suka, dan harapannya.
Ibu.... sungguh jika sering keluar omelanmu itu bukanlah seberapa dibanding dengan
beban hidup yang kau alami... Rambutmu yang sudah mulai putih… Kulitmu yang menghitam
diterpa panas kota kecil ini.Tanganmu dan jarimu yang kasar dan bengkak karena terlalu sering
kena air .. Sungguh aku ingin membelainya. Setelah sholat isya' kau masuk kamar untuk
beristirahat sejenak menuju esok dengan pekerjaan rutin yang menunggumu..
Ya Robb sampai kapan dia akan seperti itu.. Bundaku.. aku yang hanya mampu menarik
nafas sedih..mengenang kuliahku yang belum lulus juga .. tunggulah bu..aku akan datang dan
mengatakan "Bu aku wisuda…".
Aku Yakin, Aku Tidak Sendiri

eramuslim - Sungguh. Hingga saat ini aku belum bisa menerjemahkan rasa hatiku sendiri. Sejak
pertama kali suamiku mengatakan niatnya untuk melanjutkan studi ke negeri jiran setahun lalu,
hingga sore ini, di mana besok suamiku harus berangkat, aku masih merasa asing dengan
perasaanku.
Bahagia! Beberapa orang mengatakan aku harus demikian. Karena kesempatan ini adalah
karunia yang tidak dapat dinikmati oleh semua orang.
Sedih? Itu yang ada di lubuk kalbuku, saat kulihat putra kami yang belum juga genap dua
tahun harus tumbuh berkembang tanpa ayah di sisinya, untuk sementara waktu.
Ah… biarlah semuanya mengalir seperti air. Biarlah semuanya diatur oleh Dzat Yang
Maha Mengetahui kesudahan hamba-Nya. Biarlah!
Memang hanya itu yang selama ini mengakhiri perenunganku, tentang hidup kami setelah
suamiku berangkat. “Sabar ya, Sayang. Toh nanti kamu pun akan menyusul. Berdoalah semoga
Allah segera mengumpulkan kita kembali dalam keadaan yang lebih berbahagia…” demikian
kata-kata yang selalu diucapkan oleh suamiku, untuk menenangkanku. Aku pun paham, bahwa
dia juga terhibur dengan kata-kata itu. Dan, akhirnya, hanya senyum yang menyudahi
pembicaraan kami. Senyum penuh harapan, akan tercapainya cita-cita.
***
Allah memang mempunyai cara tersendiri untuk menata kehidupan hamba-Nya. Aku
merasa amat bersyukur. Enam bulan lalu, perusahaan tempat suamiku bekerja merumahkan
seluruh karyawannya. Saat itu, kami sendiri merasa gundah, terlebih berita di media menyebutkan
bahwa ini adalah awal dari PHK.
Ah… padahal sebelumnya kami sama sekali tak pernah membayangkannya. Memang,
kadang niatan untuk mencari nafkah di tempat lain muncul, tapi itu hanya suatu wacana, bukan
sebuah keseriusan. Dan, tatkala musibah itu datang, kami pun khawatir.
Doa pun mengalir tiada henti, memohon kemurahan rizki-Nya. Memohon ketenangan
batin, mengharap situasi segera berubah. Alhamdulillah, dua pekan setelah itu, berita gembira
datang. Setelah empat kali mengirimkan pengajuan beasiswa, Allah pun menjawabnya. Seorang
professor salah satu perguruan tinggi negeri di Malaysia, mengijinkannya mengerjakan sebuah
proyek, sembari mengambil pendidikan master. Subhannallah.. Alhamdulillah, pertolongan Allah
memang begitu dekat buat semua hamba-hamba-Nya.
Hal yang dulu sempat menjadi masalah tak terpecahkan dalam setiap percakapan kami,
akhirnya berubah menjadi sebuah anugerah yang tak ternilai. Jika dulu, aku sangat menentang
keinginannya untuk melanjutkan studi karena kami harus berpisah, malah akhirnya aku menjadi
pendukung utamanya. Subhannallah… Allah memang Maha membolak-balik hati hamba-Nya.
***
Sore ini, kembali aku merenung. Setelah dukungan demi dukungan kukerahkan padanya
untuk persiapan keberangkatannya, aku tercenung. Apa yang nanti akan terjadi saat kami
berpisah? Bagaimana aku bisa meng-handle semua pekerjaan rumah tangga yang dulu kami
kerjakan berdua, bahkan bertiga dengan pengasuh anakku? Kepada siapa aku harus
menumpahkan segala uneg-uneg setelah lebih dari delapan jam aku bekerja di kantor? Bagaimana
aku harus menjelaskan kepada bocah kami, jika nanti dia merengek menanyakan ayahnya?
Beribu pertanyaan bermunculan di benakku. Namun tak satu pun yang terjawab.
Semuanya bak misteri. Hingga adzan maghrib berkumandang, aku masih belum menemukan
jawabannya.
Kuambil air wudhu dan kutunaikan sholat. Aku berencana untuk menumpahkan segala rasaku
pada Sang Khalik, usai sholat nanti.
Dan air mataku pun tak bisa kutahan lagi saat kata demi kata terurai, tertuju kepada-Nya.
Aku memang masih bisa menahan emosi dan air mataku di depan suamiku. Karena aku tak ingin
semangatnya jatuh kembali setelah beribu dukungan kuberikan kepadanya. Aku percaya akan
tujuannya, menuntut ilmu untuk berusaha mengubah nasib kami.
Doakan ayah dapat ilmu yang manfaat ya, Ma, begitu kalimat yang selalu diucapkannya
jika kami berbincang tentang rencana itu.
Namun, apakah aku mampu menyembunyikan segala kesedihan dan kekhawatiran hati
ini kepada-Nya? Kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui hal yang nyata dan yang ghaib? Tidak!
Tentu tidak. Aku tidak dapat berbohong kepada-Nya.
Sekarang aku mulai memahami, bahwa hatiku memang sedih. Aku memang khawatir…
aku memang takut.
Namun semua kesedihan, kekhawatiran dan ketakutan yang kurasakan harusnya tidak
boleh terjadi. Aku harus pasrah.. harus tawakal. Karena rencana itu tidak akan terjadi kecuali atas
kehandak-Nya. Bukankah sebelumnya aku selalu berdoa meminta keputusan yang terbaik? Jika
kemudian Allah menganugerahkan hal ini padanya, tentunya ini juga terjadi atas kehendak-Nya.
Aku harus tegar. Aku harus ikhlas. Aku harus tetap menjalankan kehidupanku dengan
sebaik-baiknya. Aku masih harus terus mendidik buah hati kami, walau tanpa ayah
disampingnya. Apa pun yang terjadi, air mataku tak boleh menetes di depan putraku.
Aku yakin aku tidak sendiri. Ada Allah.. Dzat Yang Maha Pemurah… Dzat yang tak
pernah kering kasih sayang-Nya… Dzat Yang Maha Welas Asih…Dzat Yang Maha Perkasa.
Kepada-Nya lah aku harus mengadukan setiap hal yang kuhadapi. Saat masalah datang. Saat
kelelahan mendera jiwa dan raga. Saat beragam pernik kehidupan harus kulintasi.
Aku teringat petikan nasyid yang dikumandangkan Raihan:
Selangkah ku kepada-Mu.
Seribu langkah kau padaku…
Selama kita berusaha mendekat kepada-Nya, insya Allah Dia juga akan mendekat pada
kita, seribu kali.
Doa. Hanya melalui doa-doa panjanglah aku akan mengharap rahmat-Nya. Agar cita-cita
mulia yang kami impikan, bisa menajdi sebuah kenyataan.
Wuaaahh.....
Wuaaah.....!!!
eramuslim - Rembulan masih bercanda dengan burung malam, enggan pulang ke peraduan.
Suasana kampus pun semakin sepi, hanya tembok-tembok bisu menemani. Capek, tapi syukur
banget, gak nyangka kerjaan kelar juga! Haus dan lapar, membuat ingin segera pulang.
Membayangkan makanan lezat buatan istri tercinta, kaki pun semakin cepat melangkah.
"Assalaamu alaikum...," seraya membuka pintu. Tak ada san, gelap, lampu-lampu telah
dimatikan. Aaah... istri sudah lelap, sambil tangan memeluk kedua buah hati tercinta dengan bias
penat di wajah. Mau mandi takut reumatik, karena sekarang udah masuk musim dingin, brrr... Ya
udah dilap basah aja deh, kemudian baju yang rapi jali kalo ke lab, diganti dengan baju
kebesaran, sarung butut dan kaos buluk.
"Ummi...!!!" teriakan membuatnya kaget dan terbangun,
lalu tergopoh-gopoh menghampiri. "Gimana sih, kok masak cuma segini! Lagian kok asin banget,
masaknya sambil tidur ya!"
"Yang benar dong kalo masak, kan saya capek, mesti elajar, ngumpulin jurnal, buat masakan
yang benar gak isa ya?"
Yaa... langsung deh, mendung berarak di telaga matanya.
Rasa kesal dan jengkel semakin membludak. Tak lupa sindiran, "Katanya dulu sering ikutan
kursus masak, kursus ini kursus itu, mestinya tau dong cara melayani suami!"
Wah benar, tak lama hujan air mata pun tumpah.
"Cengeng banget sih, katanya mau jadi istri sholehah,
istri sholehah kan mesti patuh sama suami! Ya udah... sana buatin Indomie!" sembari duduk di
depan TV.
Buyar rasanya nasehat yang pernah didengar tentang akhlak junjungan Rasulullah SAW kepada
istri-istrinya. "Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya," demikian pesan
Rasulullah Sallallaahu Alayhi Wasallam.
Tapi beliau kan Rasul, berkata dalam hati, beda dong!
*****
Fuih... kerjaan emang gak pernah abis-abis, selesai yang satu, yang lain menyusul. "Kalo
gak gini kamu gak bakal selesai, di Jepang sistem belajarnya memang seperti ini," kata sensei.
Dalam hati cuma ngedumel, "Wah, ngerjain banget nih!" Lalu sibuk lagi, gak pernah berhenti,
selalu dikejar deadline jurnal yang menatap angkuh di depan meja elajar.
Suntuk baca jurnal, baca koran online dulu aah... nyantai bentar. Eh, ada email masuk,
balas dong, teman lama rupanya. Wah dibalas lagi, "Chatting aja yuk," langsung dibalas, "Ayo,
siapa takut!"
Lalu cekikikan depan komputer, mengenang masa-masa uliah dulu. Lho, kerjaan dari
sensei gimana? Ntar SKS lagi, orang Jepang aja sering lembur sampai pagi, membenarkan dalam
hati.
Kring... dering telepon, kaget, karena tadi khusyu' depan komputer. "Udah malam bang, kok
belum pulang?" tanya istri. "Iya nih, tuh sensei nyuruh itu ini, datanya salah-lah, eksperimennya
gak benar-lah, padahal udah capek-capek ngerjain dari tadi, gak tau maunya apa sih?" disambung
bla... bla... bla..., seribu satu alasan penyucian diri.
"Pulang aja dulu, ntar bisa sambung besok lagi," bujuk istri, perhatian banget sama suami.
"Malam ini masakannya ditanggung enak lho, spesial buat abang tersayang," sambung istri
kembali.
"Iya deh, ntar abang kerjain di rumah saja," luluh dengan kasih sayang istri, seraya jari mengirim
pesan di layar komputer, "Besok ya chatting lagi.""Gini nih, istri abang tersayang, masakannya
enak banget," memuji masakan istri yang udah ludas, tak ada sisa. "Eh, kok dipuji, malah mesem-
mesem sih?" tanya sang suami heran. "Iya, saya juga belum makan. Tadi niatnya mau barengan,
tapi lihat abang kaya'nya lapar banget, ya udah makan aja duluan, lagian dipikir kan pasti ada
sisanya."
Gedubrag!!! "Kamu sih, gak bilang-bilang!!! Mestinya kasih tau, jadinya gak diabisin, jadi istri
jangan cuma diam doang!!!"
Duuh... yaa Allah, salah lagi.
*****
"Abi...," teriak si sulung, keluar menyambut dan minta digendong. Anak, kadang jadi
pelepas lelah. Capek karena sepekan keluar kota, rasanya langsung hilang, terhapus karena
kerinduan kepada darah daging tercinta.
Duuh... bau apaan nih, "Belum mandi ya?" sambil mencium lagi sang buah hati. "Belum.
Malah dari pagi, pe-de aja lagi."
Wah, nih ummi-nya gimana sih, punya anak kok gak diperhatiin! Jengkel muncul
kembali.
"Abi, orang Jepang kok gak bau ya, padahal mereka kan jarang mandi?" iseng, tanya
buah hati. "Iya kali'," acuh tak acuh menjawab.
Namanya juga anak kecil, pingin tau segala hal, "Kok abi gak tau sih? Kan katanya
sekolah tinggi." Yee... nih anak, emang abi-nya ngurusin orang Jepang yang jarang mandi.
"Iya, kan mereka sibuk sekali, jadinya mungkin jarang mandi, lagian siapa bilang gak bau," jawab
seenaknya. "Persis abi dong, kan abi mandinya juga cuma pagi," lugu, buah hati berujar. "Bandel
ya!" seraya tangan menjewer. "Ummi...!!!"teriaknya berlari sambil nangis.
"Assalaamu alaykum...," astaghfirullah... nih rumah pa kapal pecah? Pakaian yang udah kering
tapi belum disetrika menggunung disana-sini, mainan berserakan, belum lagi cucian kotor, wow...
berember-ember. Istighfar...
istighfar... sambil mengurut dada.
"Waalaykumussalam... afwan ya, belum sempat diberesi,"
seraya menggendong si kecil yang baru setahun lalu lahir, dan tangan satunya lagi membujuk si
sulung yang masih menangis. Lalu kembali dengan kesibukannya, masak buat kekasih hati yang
baru pulang presentasi.
"Istri sholehah itu mestinya bisa mengatur rumah tangga. Pintar membagi waktu, kapan harus
masak, kapan nyetrika, nyuci, beresin rumah, biar gak berantakan seperti tadi. Nyambut
kedatangan suami juga kan mestinya bisa lebih rapi, masa' sih nyambut suami penampilannya
kucel banget, dandan dong, jadinya suami merasa dihargai, betah dirumah, kalo gak... siapa tahu
tuh suami ntar kawin lagi, bla... bla... bla...," ceramah sang suami kepada istri, saat buah hati telah
dibuai mimpi.
Gak lama, meledaklah tangis sang istri, kali ini terdengar lebih pilu.
"Ah... wanita, gampang sekali menangis," berkata dalam hati. Ngurus dua anak aja kok sulit sih,
gimana ntar mau ikin Rasul bangga nih kelak di akhirat nanti?
*****
Baru saja dengan anak-anak tiba kembali di rumah, setelah menghantar ummi-nya ke
rumah sakit, kelelahan, harus bedrest kata dokter.
Masih teringat pesan sang istri, "Jagain anak-anak ya, afwan... disuruh dokter istirahat 3
hari di rumah sakit, badan lemes banget rasanya, nanti kalau mau makan, simpanan abon dan
rendang masih ada di lemari, lalu kalo...," belum sempat istri menyelesaikan perkataannya, udah
disela, "Udah... gak apa-apa kok, insya Allah suasana akan aman dan terkendali." Wuih... pe-de
abis selaku suami, semua masalah gampang diatasi, maklum laki-laki, berat di gengsi.
Wuaaah.....!!!
Perasaan, baru saja anak tertua asyik main dengan mainannya, kok bisa langsung nangis?
"Abi.....!!! Mau pipis," teriaknya. Kaget, ide baru untuk membuat jurnal jadi buyar,
"Pipis sendiri gak bisa ya?" balas teriak, biar gak kalah wibawa dengan anak. "Temenin dong,
wuaaah.....!!!" jeritnya lagi.
Waduh, anak-anak kok gak ngerti ya, sambil tergopoh-gopoh mendatangi. "Abi kan lagi
sibuk, lain kali pipis sendiri!" gak upa mulut juga mengomel.
Belum juga sampai di toilet, "Abi..., udah pipis nih," sambil menunjuk celana dan lantai yang
udah basah. Wuaaah.....!!!
Kali ini gantian berteriak, sambil gak lupa tangan ikut menjewer. Nih, rasain!!!
Kaget dengan teriakan, yang bungsu mendadak bangun, "Cup... cup... sayang, kaget ya?"
sambil digendong.
Ke dapur, buatin susu botol, duuh... air panasnya abis, harus masak air dulu nih.
Sementara tangis kedua buah hati semakin nyaring, wuaaah.....!!!
Alhamdulillah, lega...
Kedua buah hati tersayang udah kalem, yang bungsu kembali tidur sambil tangannya
memegang botol susu. Hm... abangnya pun tampak pulas disampingnya. Istirahat dulu aaah...,
menghela nafas sambil meregangkan otot, jemari tangan diremas sampai bunyi plitak-plituk,
kepala diputar kiri-kanan, tak lupa badan juga diplintir, alhamdulillah, suasana aman dan
terkendali.
Kerja lagi, sambil mendengarkan nasyid yang diputar dari Winamp. Lagu Teman Sejati-
nya Brothers yang kembali dipopulerkan Snada mengalun, "....Selama ini kumencari-cari teman
yang sejati / Buat menemani perjuangan suci / Bersyukur kini pada-Mu Ilahi / Teman yang dicari
selama ini / Telah kutemui..."
Aaah...
Tiba-tiba terkenang saat dulu sebelum menikah. Sulitnya mencari teman sejati, belum
lagi disindir sana-sini. "Sini deh dicariin, mau gak?" Iih, emangnya yang mau nikah situ! Sebel!!!
Pake nyariin lagi, emang gue kagak laku!!! Biar gini-gini kuliahnya di Jepang boo...!!! Masa
depan terjamin, nilai jual tinggi. Wuih... keren.
Emang, kadang seruntun pertanyaan silih berganti menelusup di hati, siap gak ya? Kan
masih kuliah, ntar anak orang mau dikasih makan apa? Tapi, pernikahan begitu indah terdengar,
ehm...
Namun, benar juga sebuah kata-kata bijak, 'Jika berani menyelam ke dasar laut mengapa
terus bermain di ubangan, kalau siap berperang mengapa cuma bermimpi menjadi pahlawan?'
Bismillah..., niat untuk ibadah, maju tak gentar buat melamar.
Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar, kalaupun ada pernik-pernik pertengkaran,
emangnya ada yang anteng-anteng saja? Rezeki selalu saja ada, emang selalu benar janjinya
Allah.
Duuh... kala sepi begini, kok jadi kangen banget ya sama istri, adakah engkau pun
memikirkan diriku, duhai kekasih hati?
Gleg! Mendadak jadi sentimentil.
Wuaaah.....!!!
Kaget lagi, lamunan amblas. Ya Allah..., lama-lama jantungan juga nih.
"Abi.....!!!" teriak anak tertua. Duh... anak laki-laki kok jadi cengeng gini? Mungkin karena beda
umur ama adiknya jauh sih. Gak lama bunyi gedebag-gedebug, wah... berantem.
Rupanya kaki si kecil gak sengaja nendang abangnya waktu tidur, gak terima, abangnya balas
juga.
Pusying... pusying...!!!
Ya udah, biar adil dua-duanya dicubit, "Nih rasain!!!" sambil nyubitnya pakai seni, diplintir.
Wuaaah.....!!!
Bukannya diam, tambah kencang menangis, malah saling sahut-sahutan. Yaa Allah... kok
jadi begini? Gak tahan juga, akhirnya juga ikutan teriak dan lebih kencang,
Wuaaah......................!!!!!
"Abi... Abi..., bangun dong, ditungguin nih sholat subuhnya! Kok ngigau teriak-teriak sih," buah
hati membangunkan, seraya tangan kecilnya menggoyang-goyang tubuh abi-nya.
Yaa Allah... alhamdulillah, cuma mimpi.
Bergegas ambil wudhu, segar rasanya bangun di subuh hari, jiwa pun jernih laksana
seorang sufi. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Asyhadu allaa ilaaha illallaah, wa Asyhadu anna
Muhammadar rasuulullah... senang rasanya saat mendengar si sulung melantunkan iqomat.
Kebahagiaan pun selalu berbunga-bunga, saat setiap selesai sholat buah hati selalu
mencium tangan, dan tentu saja ciuman tangan dari seorang istri, tanda kepatuhan kepada suami.
Tiada yang diharapkan, keridhoan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan ganjaran surga karena
baktinya kepada suami tercinta.
Sebagai suami yang baik, ciuman mesra di kening istri tak lupa sebagai balasan, muah...
seraya berbisik perlahan, "Maafkan abang ya, selama ini udah bersikap gak adil, terlalu banyak
meminta, ingin semuanya sempurna, tetapi diri sendiri ternyata..." hanya air mata yang menetes
haru.
Tampak semburat merah di wajahnya dan mata yang berkaca-kaca, bahagia. Memang,
dibalik kelembutan mereka, istri-istri kita adalah manusia perkasa. Kesabaran mereka begitu
indah, dan kepatuhannya tiada sirna ditelan usia.
Sebagai suami kadang kita tidak pernah mau mengerti, apa yang kita lihat harus selalu
bersih, apa yang dicium haruslah wangi, segala rasa hanyalah kelezatan, yang didengar pun
haruslah kemerduan. Padahal hitam dan putih, khilaf dan salah pastilah ada, karena mereka pun
hanyalah manusia.Aaah... aku semakin cinta.
"Abang...," terdengar suaranya manja, namun selalu saja dirindukan. Sambil senyum-senyum,
"Ada kejutan nih, sepertinya hamil lagi, dari 3 hari yang lalu muntah-muntah melulu, ntar siang
beliin mangga muda ya."
Wuaaah.....!!!
Kita Cerai Saja....

eramuslim - Saat aku dilamar suamiku, aku merasa bahwa akulah wanita yang paling beruntung
di muka bumi ini. Bayangkan dari sekian juta wanita di dunia ini, aku yang dia pilih untuk jadi
isterinya. Kalau aku persempit, dari sekian banyak wanita di negara ini, di propinsi ini, di kota
ini, di rumah ibuku yang anak perempuannya 3, aku yang paling bungsu yang dipilih untuk jadi
isterinya! Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.
Aku berusaha keras menjadi isteri yang baik, patuh pada suami, menjaga kehormatanku
sebagai isterinya, menjadi ibu yang baik, membesarkan anak-anakku menjadi sholih dan sholihah.
Aku memanfaatkan pernikahanku sebagai ladang amalku, sebagai tiket ke surga.
Walaupun begitu... hidup seperti halnya makanan penuh dengan bumbu. Ada bumbu
yang manis, yang pahit, yang pedas, dan lain-lain. Aku juga menghadapi yang namanya
ketidakcocokan atau selisih paham dengan suamiku,
baik itu tidak sepaham, kurang sepaham, agak sepaham, hampir sepaham, atau apapunlah
itu. Tapi aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku mencoba berpikiran terbuka, mengakui
kebenaran bila suamiku memang benar dan mengakui kesalahan bila aku memang salah. Aku
mencoba bertuturkata lembut menegur kesalahan suamiku dan membantunya memperbaikinya
agar ia merubah sikapnya. It’s all about compromising.
Namun apalah daya... pada akhirnya, terucap pula kata itu dari bibir suamiku ”kita cerai
saja!”… hanya karena sebuah masalah kecil yang tanpa sengaja menjadi besar.
Saat itu seperti kudengar suara petir menggelegar di kepalaku. Arsy pun berguncang
untuk ke sekian kalinya. Dan hatiku hancur berkeping-keping. Aku menjadi wanita paling pilu
sedunia.
Tak ada yang kupikirkan selain... yah kita memang harus berpisah!
Kuingat kembali pertengkaran-pertengkaran kami sebelumnya... Kita memang sudah
nggak cocok!
Kupikirkan kesalahan-kesalahan apa yang telah aku lakukan namun lebih sering
mengingat kesalahan-kesalahan suamiku.
Aku menangis sejadi-jadinya hingga dadaku sesak dan airmataku kering. Hari itu menjadi
hari paling menyedihkan dalam hidupku.
Tak kulihat suamiku di sampingku keesokan paginya. Entah kemana ia. Tanpa sadar aku,
layaknya aktris berakting di sinetron-sinetron, memandangi foto-foto kami dulu dengan berlinang
airmata. Ngiris hati ini. Andai saja ada lagu Goodbye dari Air Supply yang mengiringiku, tentu
semuanya menjadi
scene yang sempurna.
Sekilas kenangan lama bermunculan di benakku. Aku teringat pertama kali aku bertemu
suamiku, teringat apa yang aku rasakan saat ia melamarku. Aku tersenyum kecil hingga akhirnya
tertawa saat mengingat malam pertamaku. Ha ha ha.
Anak-anakku datang saat melihat ibu mereka ini tertawa, memelukku tanpa tahu apa
yang sedang terjadi. Mereka masih kecil-kecil. Kupandangi mereka satu per satu.... Mereka mirip
ayahnya. Aku jadi teringat saat pertama kali kukatakan padanya bahwa ia akan menjadi ayah.
Hhmmm...
Ku lalui hari-hari penuh kekhawatiran bersamanya, menunggu kelahiran buah cinta kami.
Dengan penuh kasih sayang, suamiku memegang tanganku, mencoba menenangkanku saat sang
khalifah baru lahir, walaupun kutahu ia hampir saja pingsan. Keningku diciumnya saat semuanya
berakhir walaupun wajahku penuh keringat saat itu. Saat kubuka mataku, di sampingku ia duduk
menggendong bayi mungil itu. Bersamanya, kubeli tiket ke surga...
”Mi, abi mana?” suara anakku mengejutkan lamunanku. Tak sanggup kumenjawabnya.
Hampir saja aku menangis lagi. Tiba-tiba kulihat sesosok bayangan dari balik dinding. Suamiku
datang. Rupanya tadi malam ia tidur di masjid. Ia melihatku bersama anak-anakku. Mereka
berhamburan menyambut ayahnya, memeluk lututnya karena mereka belum cukup tinggi
menggapai bahu ayahnya itu. Ia membawakan makanan untuk mereka.
Saat anak-anak sibuk dengan makanan itu, ia menghampiriku. Aku mencoba untuk biasa
dan kuajak ia melihat foto-foto lama kami. Bernostalgia. Aku tertawa bersamanya. Mengingat
yang telah lewat.
Sesekali ia memandangku lembut. Aku tahu ia sedang berfikir. Namun aku khawatir ia
sedang meyakinkan hatinya untuk benar-benar menceraikan aku dan mengatur kata-kata agar aku
dapat menerima keputusannya.
Saat ia diam dan memandangku dalam-dalam, kukatakan padanya bahwa aku
merindukannya sejak tadi malam. Ia tersenyum dan mengatakan bahwa ia pun merasakan hal
yang sama.
Hatiku lega. Kututup album foto itu dan kukatakan padanya bahwa selain dari semua
kekuranganku tentu ada kelebihanku, selain dari semua yang tidak disukainya tentu ada yang
disukainya, selain dari semua ketidakcocokan kita tentu ada bagian yang cocok. ”Bila tidak, apa
alasan Abang mau menikahi Dinda dulu? Dan .. bagaimana mungkin kita bisa bertahan selama
ini?”
Ia mencium keningku. Kurasakan air mata mengalir hangat di pipiku. Tapi bukan air
mataku...
”Allah memang hanya menciptakan Dinda buat Abang... Maafin Abang ya...”
Kuusap air mata dari pipinya dan ia membaringkan kepalanya di pangkuanku...
”Maafin Dinda juga ya, Bang...”
Entah apa yang membuatnya berubah pikiran. Aku tak ingin menanyakannya.
Hanya dengan berada di sisiku pagi itu, aku rasa aku tahu jawabannya...
Qonaahnya Sang Istri

eramuslim - Melihat Faris tidur, Dwi bergegas memberesi semua baju-baju kotor yang
tertumpuk di pojok kamar mandi. Karena sedikit tergesa baju daster yang dikenakannya terkait
sebuah paku yang menyembul di antara pintu kamar mandi. Syukur tidak robek, hanya jahitan
pinggirnya yang terlepas.
Kalau melihat dasternya yang mulai kelihatan buram warnanya, dengan jahitan tangan
disana-sini, terkadang ada rasa keluh dihatinya. Tadi lagi-lagi sedikit tepinya robek,dan dijahit.
Dua daster penggantinya semuanya masih kotor, barusan satu kena muntah Faris, bayinya. Dan
yang satu lagi memang baru dipakai kemaren sore. Keduanya nasibnya sama, memprihatinkan.
Dia meringis kecut, memang usia ketiganya sama dengan lama dia hijrah ke Surabaya,
saat awal akan kuliah dulu.Mama membawakan 3 daster manis-manis, waktu itu.
Sekarang, dia masih tetap pakai, karena belum ada adik baru bagi baju harian ini.
Gaji suaminya yang dosen baru gak cukup untuk dia sisihkan buat beli baju.Selalu saja,kumpulan
uang yang dia sisihkan untuk niat beli baju gak kesampaian.3 Bulan kemaren Faris kehabisan
susu,sementara gaji suaminya sebagiannya digunakan untuk bayar kontrakkan rumah mungilnya
sekarang,.Dan bulan ini mesthinya uang yang dia kumpul cukup untuk memenuhi keinginannya
itu, tapi kemaren sore terpaksa dipakai buat obat Faris yang sudah 3 hari ini gak enak badan,
panas dan muntah terus.
Sambil terus mengis iair di bak-bak cucian,pikirannya melayang ke masa gadisnya
dulu.Berasal dari keluarga berada ,tentu saja semua yang dia inginkan terpenuhi.Baju seperti yang
dia pakai sekarang ini mungkin mama sudah pakai buat lap dapur,atau buat kain pel.Tapi
sekarang kehidupan awal rumah tangganya yang memang mulai dari nol,mengharuskan dia
benar-benar pandai mengatur uang.gaji suaminya.Tapi memang inilah konsekwensi dari
pilihannya.
Dia ingat benar pesan ustadzahnya,jadi istri memang harus pandai pandai mengatur uang
belanja.Pandai memprioritaskan mana yang dibutuhkan terlebih dulu. Butuh,bukan
ingin.Kebutuhan memiliki prioritas yang bertingkat-tungkat.jauh setelah itu barulah
keinginan.Itupun juga harus dipilah lagi keinginan yang bagaimana. Selalu qonaah terhadap
pemberian suami., berapapun itu besarnya.Anggap bahwa apa yang ada di genggamanmu itu
cukup,dan jangan pernah berpikir tidak cukup.Terima dengan ikhlas, dan jangan banyak
mengeluh.Selama kita senantiasa mampu mensyukuri “pembagian” dari Allah itu, niscaya Allah
akan senantiasa menambah rezekiNya pada kita.dan pesan itu melekat benar dalam hatinya.
Ketika datangnya pinangan Iman kepadanya,memang mama dan papah terlihat ragu.
Bagaimana tidak, Iman yang dikenalnya sebagai kakak kelasnya yang aktifis masjid kampus
memang baru saja bekerja sebagai dosen, belum ada setahun,dan baru saja selesai pra jabatan.
Dia sendiri masih menyelesaikan tugas akhirnya sehingga jelas sudah didepan kedua orang
tuanya kehidupan bagaimana yang akan dilalui olehnya bila bersuamikan Iman. Tapi hatinya
tetap teguh, rezeki itu datangnya dari Allah. Pernikahan itu akan banyak membukakan pintu
rezeki pada kita, bahkan dari tempat yang kita tidak terpikir sebelumnya. Itu juga pesan sang
ustadzah ketika dia mengutarakan keberatan orang tuanya.
Dan memang benar, dengan tekad bulat menjalankan sunnah Rasullullah, akhirnya kedua
orang tuanya melepas kepergiannya. Menyerahkannya pada Iman,laki-laki yang sekarang
menjadi suaminya.Soal rezeki memang turun naik.Tetapi sampai saat ini alhamdullillah dapurnya
selalu mengepul. Meski dosen baru, ajakan mengerjakan proyek sering datang, sehingga mereka
bisa kumpulkan uang itu untuk membayar kontrakkan rumah dan terkadang SPPnya. Membayar
biaya persalinan buah hati pertama mereka dan sedikit simpanan,yang terkadang terpaksa terpakai
juga kalau ada kebutuhan mendesak yang lain.
Belum sempat memang dia membeli sepotong tambahan bajupun sejak pernikahannya
yang kali ini sudah menginjak bulan yang ke 16.Tak apa, toh membeli baju sampai saat ini masih
termasuk katagori keinginan bagi dia,bukan kebutuhan.Dia pikir dengan mengumpulkan sedikit
demi sedikit sisa belanja mungkin suatu hari juga akan bisa juga mendapatkan sepotong baju.
Baju-baju yang dia punya dari zaman gadisnya beberapa masih cukup pantas untuk
dipakai.Hanya beberapa yang nampak sudah kelihatan cukup tua. Dasternyalah yang karena
paling sering dipakai yang sering membuatnya tergoda mendapat yang baru lagi. Apalagi kalau
pas datang ke rumah beberapa teman yang sudah mapan, dan melihat mereka mengenakan
pakaian yang cukup lumayan, kadang godaan mulai menggoyahkan.
Lamunannya melayang mendengar ketukkan keras pintu depan. Khawatir tidur Faris
terbangun dengan berjingkat-jingkat dia intip sosok di depan pintu yang di kenal betul.Mbak
Irah,penjual rongsokkan yang sebulan sekali datang kerumahnya,siap membeli barang bekas apa
saja.Kadang kertas-kertas,kadang botol-botol bekas kecap, minyak, atau sirup, atau botol-botol
obat. Lumayan,meski tidak banyak, paling tidak bisa buat tambahan belanja. Rasanya sudah lebih
dari dua bulan mbak Irah tidak mampir ke rumahnya.
“Masuk mbak,” Dwi mempersilahkan Mbak Irah yang perutnya kelihatan makin
membuncit.Anak yang ketiga katanya,subhanallah.Dengan kondisi perut 8 bulanan begitu masih
juga dia mengangkat barang-barang rongsokkan berjalan kaki dari Keputih sampai
KenjeranMeski terkadang kelihatan dia bersama dengan suaminya yang membawa sepeda pancal
dan gerobak kecilnya.
“Sebentar mbak yah,kok lama gak kelihatan..”kata Dwi sambil berjalan masuk
mengambil botol dan kertas yang dia kumpulkan. Lumayan banyak karena lebih dari dua bulan.
“Iya mbak, saya libur di rumah dulu sementar.”kata mbak Irah, matanya nampak sendu.
“Sakit ya mbak,” tanya Dwi sambil berjongkok,menata botol dan kertas-kertasnya.
Mereka hanya duduk pada selembar karpet sederhana.Belum ada Sofa di rumahnya.
“Nggak mbak, suami saya barusan meninggal, “jawab mbak Irah datar. Dwi sedikit terkejut.
“Inna lillahi wa inna lillahi roojiun,”spontan ucapan Dwi.
“Dua hari setelah kami mampir kesini dua bulanan yang lalu, suami saya tertabrak truk.Bawaanya
terlalu berat waktu itu, jadi oleng pas ada bemo melintas cepat di sampingnya. Sayangnya
jatuhnya ke samping,di jalan. Bersamaan dengan itu ada truk yang melintas dan menabraknya.
Cukup parah, sehingga hanya sehari di rumah sakit Gusti Allah memanggilnya,” cerita mbak Irah
mengalir tanpa diminta.
Yang mendapat cerita hanya tertegun, matanya berkaca-kaca. “Masya Allah,semoga
Allah melapangkan kubur suami mbak Irah. Mbak Irah yang sabar ya menerima ujian Allah ini,.
Insha Allah semua ada hikmahnya.”
Dwi menatap iba wanita di depannya.Ya Allah berat benar cobaan wanita ini,sebulan lagi
mau melahirkan anak ketiganya, ditinggal mati suaminya pula.Masha Allah.
“Iya Mbak, insha Allah.saya ikhlas kok,begitupun anak-anak.Mereka tahu kalau ayahnya
dipanggil Gusti Allah.Karena Gusti Allah sayang sama ayah mereka,’katanya sambil
tersenyum.Senyuman yang nampak tulus dan ikhlas.
Wanita itu diam.Sebentar kemudian wajahnya menatap Dwi.Sedikit ragu dia berucap:
“Mbak, kalau Mbak memiliki pakaian yang sudah tak terpakai, bolehkah buat saya.Atau mungkin
dari teman Mbak yang lain.Semua pakaian saya sudah seperti ini." Wanita malang itu
menunjukkan bajunya yang sudah banyak tembelan disana sini.
“Itu kalau ada loh Mbak,’katanya lagi.
Mata Dwi menggenang,lamunannya barusan sekilas teringat lagi.Wanita itu lebih butuh
dari aku,hatinya berkata.
“Insha Allah Mbak,saya coba carikan nanti. Seminggu lagi datang ya. Saya coba
tanyakan teman-teman juga,” janji Dwi.“Ini delapan ratus perak Mbak,,’kata Irah menyerahkan
uang hitungan botol-botol dan kertas dari Dwi.“Ambil saja Mbak, kali ini buat anak-anak
sampeyan saja.”Dwi menolak uang yang disodorkan Mbak Irah.“Tidak mbak, ini kan uang
penjualan barang-barang ini.Saya tak mau.Ini hak Mbak Dwi,”tolak Irah pula dan meletakkan
uang receh delapan ratus itu ke box buku di depannya.
“Iya deh , alhamdullillah terima kasih,”jawab Dwi akhirnya, dan memungut uang itu.
”Saya terima,tapi tolong simpankan uang ini buat anak-anak sampeyan ya.Mungkin butuh buat
beli susu mereka.” Dwi menggenggamkan recehan uang itu ke tangan Irah. Mata wanita malang
itu berkaca-kaca. “Terima kasih banyak Mbak.Semoga Gusti Allah membalas kebaikkan
mbak,”kata Irah sambil berdiri dan memohon diri. “Amin.”
Ditutupnya pintu kembali,dan menjawab salam Irah yang berlalu menjauh.
Terdengar suara tangis Faris yang terbangun.
Diangkatnya bayinya dan berbisik di telinga si kecil,
“Kita masih lebih beruntung nak daripada keluarga mbak Irah.Ummi harus lebih banyak qonaah
dan belajar dari mereka-mereka itu,” Ujarnya lirih sambil mendekap buah hatinya.
Anakku, Bantu Bunda Menjalankan Ibadah Ramadhan

eramuslim - Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.. (Al Baqarah : 183)
Anakku,
Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah dan maghfirah. Bulan diturunkannya Al
Quran sebagai petunjuk bagi manusia. Pada bulan ini nafas-nafas menjadi tasbih, tidur adalah
ibadah, amal-amal diterima dan doa-doa diijabah. Bulan yang oleh Rasulullah dalam khutbah
beliau menyambut Ramadhan disebut sebagai bulan yang paling mulia di sisi Allah SWT.
Anakku,
Meskipun bunda beroleh keringanan untuk tidak menjalankan ibadah puasa di bulan ini
karena mengandungmu, tapi bunda memutuskan untuk tetap menjalankan ibadah puasa. Selama
tiga bulan mengandungmu, alhamdulillah tidak ada keluhan yang berarti. Insya Allah bunda dapat
menjalankan aktivitas seperti biasa. Itu menjadi salah satu alasan kenapa Bunda memutuskan
untuk berpuasa.
Anakku,
Dari beragam informasi yang bunda kumpulkan tentang puasa bagi ibu hamil, bunda
mengetahui banyak hal. Menurut seorang dokter ahli kandungan, pada dasarnya ibu hamil atau
yang sedang menyusui bisa saja berpuasa jika mereka sanggup. Artinya, jika mereka tidak
merasakan lemas yang berlebihan mereka dapat menjalankan ibadah puasa. Bahkan sebuah
penelitian epidemiologis yang dilakukan di Inggris terhadap 13350 bayi Islam yang dilahirkan di
Inggris menyimpulkan bahwa puasa Ramadhan tidak memberikan dampak pada penurunan berat
bayi yang baru lahir.
Anakku,
Menjalani puasa saat hamil tentu saja memerlukan kiat-kiat tertentu. Puasa sesungguhnya
bukan benar-benar dihentikannya asupan bagi tubuh, tetapi hanya terdapat perubahan waktu.
Karena itu, yang terpenting, asupan kalori yang dibutuhkan saat kehamilan dapat terpenuhi. Dan
bunda berusaha memenuhi kebutuhan kalori itu dengan memperhatikan makanan yang masuk
saat berbuka puasa dan sahur.
Anakku,
Ibadah puasa tanpa diragukan lagi memberikan banyak manfaat ditinjau dari berbagai
sisi. Banyak ahli kesehatan yang meneliti tentang manfaat puasa, dan menemukan bahwa puasa
memberi banyak manfaat mulai dari kesehatan pencernaan, meningkatkan fungsi organ
reproduksi, meremajakan sel tubuh, dan bahkan untuk kecerdasan otak. Selain kesehatan fisik,
puasa juga memberikan manfaat bagi kesehatan batin. Puasa dapat membangkitkan kekuatan hati,
ketakwaan hati, juga ketundukan kepada Allah SWT semata.
Anakku,
Menjalankan ibadah puasa berarti seseorang berusaha mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Bunda pun begitu, dan berharap dengan upaya mendekatkan diri pada Sang Maha Pencipta
ini dapat memberikan ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa yang juga membantu bunda
menjalankan kehamilan dengan sebaik-baiknya. Dengan puasa ini bunda berharap bukan hanya
diri bunda sendiri yang dididik menjadi pribadi muslim yang mampu menahan diri dari godaan
hawa nafsu tetapi juga mendidikmu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT sejak dini.
Anakku,
Bantu bunda menjalankan ibadah ramadhan. Bukan hanya berpuasa, tapi juga ibadah-
ibadah lain seperti tilawah Al Qur’an, shalat tarawih, bersilaturahmi dengan saudara-saudara
sesama muslim, dan ibadah-ibadah sunnah lainnya. Mudah-mudahan bunda dapat menjalankan
ibadah ramadhan kali ini dengan sebaik-baiknya.
Anakku, tidak lupa bunda memanjatkan doa: Rabbana hablanaa min azwaajinaa wa
dzurriyyaatinaa qurrata a’yuniwwaj’alnaa lil muttaqiina imaamaa. Amiin ya robbal ‘alamiin.
Makna Sebulir Perhatian

eramuslim - Tumbuhnya rasa cinta relatif mudah. Yang sulit adalah merawat agar cinta dan
kasih sayang kita terus membara. Itulah yang terjadi dalam perjalanan rumah tangga. Biduk kapal
yang diawali dengan cinta terkadang harus kandas akibat cinta dan kasih sayang antara suami istri
menguap. Entah kemana.
Sepotong pengalaman diceritakan Aldi, sebut saja begitu :
Malam sudah sangat larut. Sayup-sayup desing kendaraan masih tetap terdengar. Namun
tetap saja sepi memeluk sekujur rumah itu. Aldi beranjak dari pembaringan. Ia memutuskan
untuk membasuh wajahnya dan tahajud. Pria yang sehari-hari menaiki Timor ini berpikir mudah-
mudahan qiyamulalilnya malam ini bisa membuat dirinya lebih tenang.
Ternyata benar. Basuhan air wudlu dan bertemunya kening dengan sajadah membikin
hati dan perasaanya lebih tenang. “Alhamdulillah, setelah tahajud ada ketenangan. Bak segayung
air menyirami tanah yang tandus,” ceritanya kepada FIKRI. Padahal, jangka masa tiga setengah
jam sebelumnya, hati dan pikirannya sarat gelisah dan gundah gulana. Matanya pun kering
mengusir kantuk.
Betapa tidak, malam itu ia bertengkar keras dengan Lena, istrinya. Lena protes dengan
tingkah suaminya yang, dianggapnya, sudah tidak memperhatikannya lagi. Sebagai seorang
manager dari sebuah perusahaan baru, Aldi terbilang super sibuk. Pergi pagi pulang larut malam.
Dan, kalaupun pulang, energinya sudah habis tak terkuras. Sebentar saja bersih-bersih, ganti baju,
tak berapa lama kemudian ketemu bantal, ia langsung lenyap. Tidur. “Malam itu, Lena
menyiramkan segelas air ke wajahku. Praktis, amarahku muntah kepadanya. Aku bentak dia, eh,
dia malah bicara keras. Selanjutnya, bisa ditebak. Kami bertengkar hebat,” paparnya penuh rasa
sesal.
“Ketegangan demi ketegangan dalam sebuah rumah tangga, sebenarnya, hal yang lazim,”
komentar KH Madrais Hajar, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Bekasi. “Yang
terpenting adalah bagaimana kedua pasangan baik suami maupun istri menyikapi ini secara
positif dan rasional. Jangan emosional,” tambahnya.
Selain itu hendaknya ada satu pihak yang mengalah ketika pertengkaran terjadi. “Cobalah
sang suami bersabar sedikit menanggapi istri yang sedang marah-marah. Atau, sebaliknya.
Anggap saja sedang main sinetron dan jangan diambil hati,” saran Madrais.
Hal ini dibenarkan Aldi. Malam kejadian itu, mungkin karena saking lelahnya, ia
emosional dan meladeni istrinya. “Saya mengaku salah, malam itu saya langsung bentak dia
tanpa bertanya dulu. Bisa saja, perilakunya itu hanya reaksi dari tindakan saya sendiri,” imbuh
Aldi.
Pun begitu, Madrais tidak menyarankan untuk membiarkan sang istri atau sang suami
marah-marah begitu saja. Bukan berarti dicuekin. Apalagi, asik saja menonton TV. Itu malah
membuat sang pasangan sakit hati. “Jangan banyak bicara, lakukan saja. Cobalah dekap erat istri
atau suami anda. Buatlah ia tenang dan nyaman berada dipelukan anda. Baru setelah tenang
dikomunikasikan dan cari jalan keluar. Jangan pernah bosan membuat kesepakatan baru yang
penting keduanya senang sama senang.”
Kerjasama dalam Keluarga
Dalam pandangan Herlini Amran MA, pemerhati masalah-masalah wanita, sesudah
pernikahan berlangsung, kehidupan berumah tangga pun harus dijalani dengan sebaik-baiknya
meskipun tantangan dan godaan menjalani kehidupan rumah tangga sangat banyak.
Di sebuah kesempatan Diskusi Panel bertajuk, “Membangun Keluarga Islami” , Herlini
mengajukan lima syarat agar yang kita cita-citakan bersama seperti memperkokoh Rasa Cinta dan
Kasih Sayang, Saling Hormat Menghormati, Saling Menutupi Kekurangan, Kerjasama dalam
Keluarga dan memfungsikan keluarga lebih berkehutanan.
Cinta, menurut Herlini merupakan perekat dalam kekokohan kehidupan rumah tangga,
bila rasa cinta suami istri hilang, maka kehancuran rumah tangga sangat sulit dihindari. Oleh
karena itu suasana cinta mencintai harus saling ditumbuhsuburkan atau diperkokoh, tidak hanya
pada masa-masa awal kehidupan rumahtangga, tapi juga pada masa-masa selanjutnya hingga
suami isteri mencapai masa tua dan menemui kematian.
Rasulullah SAW sebagai seorang suami berhasil membagi dan menumbuh-suburkan rasa
cinta kepada semua isterinya sehingga isteri yang satu mengatakan dialah yang paling dicintai
oleh Rasul, begitu juga dengan isteri yang lainnya.
Dalam konteks merawat dan menyuburkan kembali cinta suami istri inilah perlu variasi
dan teknik khusus. Coba sesekali buat kejutan. Bangun lebih awal, lalu buatkan teh manis di
campur segenggam cinta dan kasih sayang. Bangunkan sang istri untuk shalat subuh dan berikan
Teh manis bikinan sang kekasih. Dijamin, ia akan bangun dengan girang bukan alang kepalang.
Atau, pulang tidak seperti biasanya. Berikan sang istri kejutan dengan kehadiran anda
lebih awal. Kalau perlu komunikasikan kepada atasan anda soal ini. Yakinlah, bila boss anda
seorang yang bijaksana, ia akan mengerti dan memberikan izinnya untuk pulang lebih awal.
Sembari pulang jangan lupa beli coklat atau makanan kesukaan sang istri. Tiak mesti terlalu
mahal yang penting tulus. Perhatian kecil yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu
menumbuhkan rasa cinta.
Kala Pernikahan Dilelang...

eramuslim - Nama Amih, umur 25 tahun, status janda.... Mata saya langsung terfokus pada kata-
kata "janda" di fotokopian KTP yang saya baca. Refleks saya berujar sedikit keras "Umur 25
tahun, sudah janda?" Temen disebelah meja saya langsung meledek. "Memangnya kamu Din,
umur mau 26 status masih single.... dia masih mending, punya rekor menikah sekali, walaupun
gagal... "
"Eitsss... jangan salah, emangnya nikah itu bisa asal-asalan apa? Mending status single lah
daripada nikah tanpa adanya komitmen yang baik antar dua belah pihak!" cerocos saya sedikit
sewot, teman saya malah tertawa-tawa meledek... dasar !!
Saya tambah penasaran ingin segera bertemu dengan orangnya, ingin ngobrol sekalian
interogasi, bukannya ingin mengorek privacy orang, hanya sekedar ingin tahu saja, ngga salah
kan?
Hari Senin tanggal 25 Agustus 2003 dia mulai masuk kerja, Perusahaan tempat saya
bekerja memang sedang merekrut office girl baru Kebetulan meja saya berdekatan dengan meja
HRD, jadi iseng-iseng saya baca KTP dan daftar Riwayat hidupnya, dia lulusan SMP, dan tinggal
di kampung disekitar kawasan industri tempat saya bekerja. Perusahaan memang sengaja
merekrut orang-orang kampung sebagai cleaning service dan office girl, karena memang ada
kesepakatan antara pihak kampung dengan pengelola kawasan industri agar memprioritaskan
orang-orang kampung sekitar kawasan sebagai tenaga kerja. Dulunya kawasan industri ini
lahannya adalah milik orang-orang kampung yang kena gusuran karena akan didirikannya
kawasan ini delapan tahun yang lalu.
Akhirnya tibalah hari Senin itu, saat makan siang sengaja saya duduk dekat
dengannya...sedikit SKSD ( Sok kenal Sok dekat ). Sssst... saya terlalu penasaran ingin tahu
kisahnya. Setelah pembicaraan yang agak lama akhirnya pembicaraan kami terfokus juga ke hal
yang satu itu.
"Dulu sebelum kerja, disini, pernah kerja dimana?" tanya saya sedikit penasaran.
"Dulu saya jualan gorengan bu deket rumah, cuman karena anak saya udah mulai SD jadi saya
nyari kerja yang gajinya lumayan buat biayain anak. Untungnya saya keterima kerja di sini,"
jawabnya lugu.
"Oooo, Amih udah punya anak, umur berapa tahun?" tanya saya lagi. Wah sudah mulai ngena
pada apa yang mau saya tanyakan nih.
"Umur tujuh tahun bu, anak satu-satunya, saya nikah umur 17 tahun bu, trus pisah sama suami
pas saya lagi hamil 3 bulan, abisnya suami saya suka main judi , minum dan sering gak pulang,
saya gak tahan lagi bu. Jadi saya pulang kerumah orangtua saya," tanpa saya tanya lebih lanjut
cerita itu meluncur sendiri dari bibirnya.
" Berarti sekarang kamu udah cerai?"
" Ngga cerai bu, cuman pisah aja, sampe sekarang ngga ada surat cerai, tapi dia udah kawin lagi
sama perempuan kampung sebelah, dia gak pernah kasih biaya dan gak mau liat anaknya, sampe
sekarang anak saya gak tau wajah bapaknya," ceritanya panjang lebar. "Memangnya dulu kamu
kenal dia berapa lama sebelum mutusin buat nikah?" "Saya pacaran 2 tahun bu, dulu sih dia baik
banget, gak ada keliatan suka main judi pokoknya baik banget deh bu, maka nya saya mau aja
waktu dia ngajak kawin. Lagian di kampung saya umur 17 tahun itu dah pada nikah bu, orang tua
saya juga nyaranin buat nikah aja, lumayan juga biar ngeringanin biaya orangtua," ujarnya polos.
Dada saya sedikit sesak mendengar penuturannya, lagi-lagi saya harus mendengar
penuturan perempuan-perempuan polos dan lugu yang gagal dalam pernikahannya. Saya jadi
teringat 6 bulan yang lalu, saat itu khadimat dirumah berhenti bekerja karena ingin istirahat
dikarenakan sakit. Sedikit kesulitan juga mencari penggantinya, karena pembantu jaman sekarang
harus benar-benar orang yang dapat dipercaya, kebetulan pembantu di rumah kakak saya bilang
kalau dia punya kakak perempuan di kampungnya yang sekarang nganggur dan ingin bekerja,
maka jadilah kami buat kesepakatan untuk bertemu kakaknya dan melakukan sedikit wawancara.
Saat datang kerumah, dia ditemani ibunya dan adiknya yang masih balita. Setelah
ngobrol perihal pekerjaan yang akan ditugaskan, sedikit bercanda saya lontarkan pertanyaan,
"Kok kakak beradik beda banget wajahnya, biasanya suka ada mirip-miripnya." Tanpa diduga si
ibu nya calon khadimat kami itu menjawab, "Anak- anak saya, ketiga-tiga nya beda bapak, saya
nikah empat kali, dari suami pertama sih gak dapet anak, dan tiga anak ini dari suami kedua,
ketiga dan keempat, jadi gak ada yang sama bapaknya..." tutur si ibu dengan wajah lugunya,
padahal umur si ibu itu sekarang baru 31 tahun. Tapi rekor menikahnya sudah empat kali...
Astagfirullah... Saya dan ibu saya sampai terbengong-bengong mendengarnya.
"Yah namanya dikampung, kalau umur lima belas dan udah lulus SD yaa tinggal nunggu
dikawiniin, nerusin sekolah juga gak ada biaya, trus daripada dibilang perawan tua jadi ya kawin
aja., trus kalo ngga cocok, berantem terus ,jadi ya cerai trus kawin lagi ma yang lain..."tuturnya
dengan amat ringan. Saya yang terkaget-kaget... semudah itukah??
Haruskah pernikahan dijelang dengan pemikiran yang teramat "polos" seperti itu?
Haruskah nantinya anak - anak lagi yang akan menjadi korban sehingga mereka akhirnya tidak
terbiayai sekolahnya dan harus menerima nasibnya sebagai pembantu rumah tangga diusia 13
ataupun diam dikampung untuk kemudian mengikuti jejak ibunya. Dinikahkan di usia muda belia
tanpa pemahaman yang baik tentang segala hal menyangkut pernikahan? Mending kalau pas lagi
mujur bertemu dengan laki-laki yang punya tanggung jawab, kalau sebaliknya? Haruskah mata
rantai itu terus menerus berputar dan tidak pernah terputus sehingga kesengsaraan terus menerus
berlangsung?
Haruskah pernikahan dijelang karena kita takut dibilang "ngga laku" , "Perawan tua", dan
lain sebagainya ? Sehingga karena ketakutan - ketakutan semacam itu membuat kita jadi asal
pilih, asal nikah biar ngga ada lagi orang yang meledek? Tentu tidak...!!! Tapi memang tidak
semua orang punya pilihan untuk mempertahankan keinginan - keinginan pribadinya, untuk
menentang keinginan - keinginan orang disekitarnya terutama orangtua, terutama dikampung -
kampung yang memang latar belakang pendidikan dan pemahaman tentang konsep pernikahan
amat minim, sehingga benar-benar terdesak dalam posisi menerima apa adanya.
Haruskah pernikahan dijelang hanya untuk memuaskan hasrat biologis, lalu setelah bosan
maka ditinggalkan begitu saja seperti habis manis sepah dibuang? Haruskah pernikahan dijelang
untuk saling menyakiti dan menunjukkan siapa yang lebih berkuasa dalam rumah tangga?
Haruskah pernikahan dijelang demi prestise semata dengan pesta yang teramat meriah
sementara pernikahannya hanya seumur jagung dan tanpa makna?
Sudah jadi tradisi sebuah pernikahan dikampung - kampung yang dirayakan dengan amat
meriah, orkes dangdut semalam suntuk yang memekakan telinga, layar tancap, pesta 3 hari 3
malam. Ada juga yang sampai 7 hari 7 malam dan yang lebih mengejutkan lagi, keluarga-
keluarga yang ekonominya pas-pasan pun saat menikahkan anak gadisnya seolah tidak mau kalah
meriah, entah darimana uangnya. Mereka lebih memilih menikahkan anak-anaknya yang masih
usia sekolah dengan meriah dibanding harus mengeluarkan biaya untuk sekolah anak-anaknya.
Alasannya katanya supaya beban tanggungjawab biaya terlepas, padahal kenyataan yang ada
malah sebaliknya, anak - anak gadis mereka banyak yang cerai dan kembali pulang ke rumah
orang tuanya dengan membawa anak.
Bukankah itu namanya malah bukan memperingan biaya tapi malah menambah biaya dan
beban bagi orangtua nya? Itu juga terjadi dikampung jauh di belakang komplek perumahan saya,
karena pembantu kami dulu berasal dari sana, jadi saya sering mendengar ceritanya dari beliau.
Haruskah pernikahan dijelang tanpa persiapan, pemahaman agama, komitmen dan
konsep yang jelas tentang segala hal dalam rumah tangga?
Haruskah pernikahan dijelang tanpa melibatkan Allah dalam setiap doa kita untuk
mendapatkan jodoh yang terbaik menurut pandangan Allah? Karena yang terbaik menurut kita
belum tentu terbaik dalam pandangan Allah.
Tentu saja jawaban dari semua pertanyaan itu adalah. TIDAK....
Pernikahan dijelang TIDAK untuk saling menyakiti, TIDAK untuk saling menonjolkan
diri siapa yang lebih berkuasa dan siapa yang tidak, pernikahan dijelang bukan untuk unjuk
kekuasaan, bukan untuk kenikmatan sesaat..dan masih banyak lagi.
"Keberhasilan Perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan
hak pihak lain. Tentu saja hal tersebut banyak, antara lain adalah bahwa suami bagaikan
pemerintah, dan dalam kedudukannya seperti itu, dia berkewajiban untuk memperhatikan hak dan
kepentingan rakyatnya ( istrinya ). Istri pun berkewajiban untuk mendengar dan mengikutinya,
tetapi disisi lain perempuan mempunyai hak terhadap suaminya untuk mencari yang terbaik
ketika melakukan diskusi."
Selain itu pula, Abdul Halim Abu Syuqqah dalam bukunya "Kebebasan Wanita"
mendeskripsikan keadaan laki-laki dan perempuan dalam perkawinan dengan amat indahnya:
"Laki-laki adalah benteng keamanan yang dapat dipercaya, yang penuh dengan rasa cinta dan
kasih saying, yaitu tempat si wanita ( istri ) mencari ketenangan dan ketentraman. Dan wanita
adalah lahan subur yang sejuk dan rindang, yang penuh dengan rasa cinta dan kasih sayang, yaitu
tempat si laki-laki ( suami ) mencari ketenangan dan ketentraman.
Sesungguhnya kebesaran laki-laki tampak dalam persahabatannya dengan wanita ( istri )
yang saleh, hingga ia berhasil dalam kerja nya, dan berjuang keras untuk menjunjung tinggi
bangsanya dan membangun umatnya.
Dan kebesaran wanita hanya muncul dan bersinar dalam persahabatannya dengan suami
yang saleh, sehingga ia menjadi matahari yang menyinari, merpati yang mengepakkan sayap,
bunga yang harum semerbak, dan tempat tinggal yang menyenangkan."
Para wanita, termasuk saya tentunya, siapkah menjadi matahari yang menyinari..merpati
yang mengepakkan sayap, bunga yang harum semerbak dan tempat tinggal yang menyenangkan
nanti disaat pernikahan itu tiba di depan mata?
Para lelaki...siapkah menjadi benteng keamanan yang dapat dipercaya ? Dan bisa menjadi
sahabat tempat berdiskusi segala hal dengan istri...?
Semua tergantung kita...yang akan menjalaninya.. jawabannya... cukup dihati saja...
Semoga tidak ada lagi yang terdzalimi..
Bayangkanlah, Bila....

eramuslim - "Bu, kenapa sih kok bapak kerjanya di pasar, temen-temen Aa bapak nya kerja nya
dikantor, katanya enak bu, kalo dikantor itu bersih, ada komputer terus ada buku-buku, ntar kalau
Aa maen ke kantor bapak, Aa bisa maen komputer..." Itu pertanyaan polos dari keponakan saya
yang baru berumur 5 tahun dan masih duduk di bangku TK.
Mungkin karena faktor teman- temannya di sekolah yang sering bercerita tentang ayah-
ayah mereka yang kebanyakan memang pegawai kantoran dan bercerita tentang segala
"keistimewaan" bekerja di kantor sehingga muncul pertanyaan tersebut. Tentu saja sang ibu
keponakan saya itu berusaha dengan "bahasa yang dapat dimengerti anak-anak" menjelaskan
dengan lugas tentang apa itu pekerjaan.
Yang pasti dari sejak kecil, anak-anak memang harus ditanamkan bahwa pekerjaan itu
cakupannya luas dan amat luas seluas samudera kalau memang kita bisa mencari, menggali dan
mewujudkan walaupun dengan perjuangan yang amat panjang.. apapun bentuk pekerjaan itu,
asalkan halal. Dan tentu saja bagi orang-orang yang beruntung mempunyai pendidikan yang
tinggi dan pekerjaan yang bagus bukan berarti harus berbesar kepala seolah tidak membutuhkan
lagi orang - orang disekelilingnya, terutama orang - orang yang karena pendidikannya terbatas
dan hanya berkesempatan untuk menjadi pedagang asongan, pembantu rumah tangga dan lain
sebagainya.
Karena semua pekerjaan adalah mata rantai yang tak terputus seperti simbiosis
mutualisma yang saling menguntungkan satu sama lain tanpa harus korupsi, tanpa harus sikut
sana sikut sini. Dan pekerjaan itu bukan terbatas hanya dikantor saja. Kalau semua orang bekerja
dikantor, kita dapat bayangkan betapa sulit ruang gerak kita. Bukan begitu?
Bayangkanlah bila para penumpang bis, angkot dan sebagainya yang akan kelimpungan
tujuh keliling bila para supir "ngambek" tidak mau menyupir.
Bayangkanlah bila orang-orang di dalam mobil yang kehausan tapi dia tidak menemukan
satupun pedagang asongan yang menjual minuman karena semua pedagang asongan "ngambek"
untuk berdagang. Dan saya pernah merasakan tersiksanya kehausan setelah berpeluh keringat
mengejar bis sementara pedagang asongan tak kunjung muncul. Ketika itu saya hanya bisa
membayangkan betapa indahnya meminum seteguk air yang ditawarkan pedagang asongan andai
saja mereka muncul dihadapan saya saat itu.
Bayangkanlah bila murid2 ketinggalan banyak pelajaran karena guru mereka "bosan"
mengajar.
Bayangkanlah bila para kontraktor perencana gedung yang "hilang" tender karena buruh2
bangunan "enggan" bekerja.
Bayangkanlah bila para karyawan digedung-gedung perkantoran yang kelaparan saat
makan siang.. karena pedagang-pedagang makanan disekitar kantor mereka "mogok" jualan.
Bayangkanlah bila ibu-ibu dirumah yang harus "berpeluh keringat " mengerjakan
pekerjaan rumah tangga yang tiada habis-habisnya karena para khadimat mereka "pulang
kampung" dan tidak mau lagi bekerja.
Bayangkanlah bila kantor-kantor, mall-mall ataupun perusahaan-perusahaan yang
gedungnya kotor tak terurus karena para petugas cleaning service nya "tidak mau" lagi bekerja.
Ternyata...kita butuh mereka...para supir, pedagang asongan, pedagang makanan, para
pembantu rumah tangga dan lain sebagainya. Mereka amat berjasa bagi kita walaupun kadang
keberadaan mereka tidak kita hargai.
Keramahan dan penghargaan terhadap orang - orang kecil dan hal - hal kecil amat sangat
dibutuhkan, apapun status dan pekerjaan orang tersebut.
Seperti raut muka ceria anak anak ditempat saya mengajar tiap sabtu dan Minggu yang
dengan semangatnya menceritakan pekerjaan ayah mereka yang hanya seorang pemulung dimata
orang lain. Tetapi dimata mereka ayah mereka lah pahlawan dikeluarga, yang dengan tegarnya
menghadapi tantangan hidup, walaupun hanya bisa memberi tempat tinggal sebuah petakan
ukuran 3x4 m dengan harga sewa Rp. 70.000 ribu perbulan.
Dan tidak ada salahnya kita bergaul dengan mereka, untuk mengingatkan agar selalu
bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan.
Dan anak-anak yang beruntung karena keluarga mereka berkecukupan pun harus tahu
dan diajarkan bahwa disekitar mereka masih banyak anak-anak yang kurang beruntung. Indahnya
bila hidup ini saling mengasihi dan menghargai.
Satu hal lagi dari sekian banyak PR yang harus kita bayangkan, yaitu...
Bayangkanlah bila para istri "berhenti total" untuk mengurus anak-anak, suami dan
rumah tangga nya karena terlalu jenuh dengan rutinitas seputar dapur, sumur dan kasur.
Mengenai hal satu ini ada satu pertanyaan dari salah seorang teman saya, "Lalu kami ini para
lelaki harus bagaimana? Membiarkan para istri bekerja dikantor dan anak-anak serta keluarga
terbengkalai?"
Ups...tentu saja tidak. At least memberi ruang gerak bagi para istri untuk maju bersama.
Intinya maju bersama dalam artian dalam rumah tangga. Kalau suami maju dan berkembang, dia
juga harus berfikir dan bertindak untuk membuat istrinya maju juga. Sehingga proses
pembelajaran di rumah tangga terus menerus berlangsung, long life learning, sehingga istri bisa
mengaktualisasikan diri.
Sehingga konteks rumah tangga itu bukan berarti "memperbantukan" istri ibarat
pembantu yang harus stay tune 24 jam sehari dengan tanpa adanya proses pembelajaran buat si
istri. Menjadi ibu rumah tangga secara full pun tidak masalah apalagi bila dibarengi dengan
kegiatan - kegiatan yang manfaat di sekitar lingkungannya. Menjadi ibu bekerja pun juga tidak
masalah asalkan balance antara keluarga dan pekerjaan. Karena yang terpenting dalam keluarga
adalah kualitas komunikasi yang intens bukan kuantitasnya, dan saling berbagi tugas dengan
suami dalam mengurus rumah tangga.
Dan bagi para ibu, tentu saja bekerja bukan hanya dikantor saja, nanti kalau semua ibu -
ibu bekerja dikantor, lalu siapa nanti yang akan sabar mengajar anak - anak TK, SD, SMP, SMU
sampaiUniversitas? Siapa yang akan memeriksa ibu - ibu hamil jika saja tidak ada dokter
kandungan perempuan? Siapa yang akan berjualan masakan untuk disantap para karyawan?Dan
tentu saja masih banyak lagi profesi - profesi lainnya bagi para ibu yang bekerja.
Saya masih ingat dulu saat SD, dibuku Teks Pelajaran Bahasa Indonesia sering terdapat
contoh - contoh kalimat seperti :
"Ibu pergi ke pasar, bapak pergi kekantor..", kalau boleh merevisi nya sih... rasa-rasanya tidak
ada salahnya kalau konteks kalimat itu ditambahkan lagi menjadi :
"Ibu pergi mengajar, bapak pergi kekantor"
Atau konteks itu bisa berubah total secara situasional dan kondisional..:
"Pada hari Minggu ... ayah pergi ke pasar, ibu istirahat di rumah..."
Asik kan? Bila saling berbagi tugas apalagi dimulai di Ramadhan yang penuh berkah ini...
Bayangkan dan wujudkan...
Where We Will Go Mam?

eramuslim - Seringkali dalam keseharian ini, aku temukan banyak sekali hikmah dari kejadian-
kejadian yang sengaja atau tak sengaja kualami.Baik itu ketika berada bersama keluarga di
rumah, tingkah dan sikap anak-anak atau suami, terlebih setiap keluar rumah. Selalu ada yang
membuatku merenung, terkadang kemudian terucap rasa syukur, kadang terucap kekagumanku
atas Kekuasaan Yang Esa, atau terkadang malah membuatku banyak-banyak beristigfar.
Kuingat benar sebuah firman Allah yang selalu memotivasiku untuk memetik setiap
hikmah dari apa yang aku alami sehari-hari.
"Allah menganugerahkan al-hikmah, kepada siapa yang Dia Kehendaki. Dan barang
siapa yang dianugerahi al- Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.
Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran." (QS. Al Baqarah
[2]:269)
Pagi ini sambil jalan ke tempat pemberhentian bus, Safa, buah hatiku yang ketiga yang
masih berusia 3 tahun ,tak henti-hentinya menanyakan "Where will go Mam?" dan aku hanya
menjawab singkat "Go to bank"
Dia lalu ngoceh macem-macem yang kadang membikin aku tertawa.Sambil
menggandeng tanganku dan berlari-lari kecil ,dia tanya lagi padaku.."Where we will go Mam..?"
Dan kujawab lagi "We will go to bank." Dan dia hanya menjawab dengan nada lucu "Oh" Lalu
dia tanya lagi.."We take a bus Mam? " Kujawab "Yup!"
Dia ngoceh lagi dan sesekali berlari kecil mendahuluiku.. melompat-lompat dan seperti
biasa aku akan teriak-teriak padanya "Be careful...!!",yang paling-paling hanya dijawabnya
dengan meringis kecil, menunjukkan gigi-gigi depannya yang gigis.
Praktis hanya dua blok jalan ke tempat pemberhentian bus, tapi pertanyaan dia mau
kemana dan naik bus, kalau kuhitung berulang sampil 4-5 kali.Meski sudah dijawab, nampaknya
dia masih juga meyakinkan mau kemana.Ataukah karena jawabku yang hanya "cekak aos" kata
orang Jawa,membuat dia tak yakin dengan apa yang dia telah dengar.
Biasanya kalau di rumah, baik dia ataupun kakak-kakaknya bila bertanya sesuatu
memang gak bakalan puas sekali dan hanya satu jawaban.Pertanyaannya bakalan berkembang
why,and why,and why.
Sampai terkadang aku harus mencari trik memutar balik gantian ber-why, saking sudah
gak punya jawaban yang memadai buat mereka.
Jadi ingat seorang teman ummahat yang pernah bilang,katanya, pertanyaan anak-anak
kadang bikin perut mules.Saking besarnya keinginan mereka untuk memuaskan rasa penasaran
dan keingintahuan mereka.
Itu mengapa seringkali ibu bilang padaku,sabar kalau anak bertanya. Jawab sepuas
mereka. Karena siapa tahu itu bakalan terjadi pada dirimu pada usia tuamu nanti.Terus bertanya
dan mengulang,bukan karena ingin tahu ,tetapi karena pikun. Itu selalu nasehat kecil ibu
ditelepon, setiap kali aku bercerita soal anak-anak. Itu juga yang seringkali menyadarkanku setiap
kali kesabaranku teruji oleh ulah mereka.
Nampaknya hari ini yang Maha Hikmah ingin memberikan pelajaran padaku.Barusan
mendapat tempat duduk ,kudengar percakapan seseorang di samping belakang tempat dudukku
yang aku taksir dari suaranya percakapan seseorang yang sudah sepuh,dan seorang wanita
separoh baya.
Semula aku gak tertarik dan gak surprise mendengarkannya karena yang kudengar hanya
pertanyaan seorang tua " Where we will go down?" Dan suara wanita lain menjawabnya," We
will go down to Scotia Square'.(Scotia square adalah nama sebuah mall di downtown
Halifax).Dan si wanita tua nampaknya bertanya lagi "What we will do?" Si wanita kedua tadi
menjawab lagi ," I need go to bank"
Begitu saja tanya jawab pertama mereka yang sempat aku dengar. Lalu aku gak begitu
memperhatikan lagi apa pembicaraan mereka, karena Safa di sebelahku juga mulai nanya-nanya
ini itu dan itu ini.Sampai Safa terdiam kena teguran manis seorang wanita di depannya.
Diam..malu..dan lalu membuang matanya ke cendela,menunjuk-nunjuk sebagian pohon besar
yang masih tumbang berserakkan di sebagian taman bekas badai hurricane juan awal bulan
Oktober lalu.
Telingaku tiba-tiba menangkap kembali pembicaraan menarik dari tempat yang
sama.Menarik,karena pertanyaannya agak-agak aneh menurutku.Kudengar si wanita tua
menanyakan tentang "subway".Nampaknya dia barusan membaca nama salah satu restorant cepat
saji itu ketika bus barusan berhenti menurunkan penumpang tepat di depan subway.
Tadi kubilang agak aneh,karena kupikir mana mungkin bule disini gak kenal subway.. Eh
ternyata dugaanku keliru..
Nampaknya si wanita tua begitu tertarik dan ingin tahu apa yang dijual di subway,dan
yang ditanyapun berusaha menjawab dengan seksama dan nampak begitu sabar menjelaskan.
Sampai disini kudengar suara-suara gemerisik orang di depan,belakang dan
sebelahku.Wanita di depanku yang sedari tadi sibuk membolak -balik novelnyapun tersenyum
sambil melirik ke arah suara.Dan tersenyum kembali kearahku.Aku ikut-ikut
tersenyum.Kupikir,namanya juga orang tua,mungkin dia memang benar-benar tak tahu,atau
belum pernah mencoba, dan sebagainya.Sampai akhirnya kudengar suara wanita yang diajak
bicara bilang:"We will go to subway, after finish go to bank." Aku dengar lagi pertanyaan dengan
nada kekanakkan dari si wanita tua. "Do you will pay for me?"Dan lawan bicaranya yang kedua
menjawab." Yup, of course."
Banyak orang bilang, ketika orang telah menjadi tua, maka ucapan dan tingkah lakunya
akan kembali lagi seperti kanak-kanak.Dalam hatiku tiba-tiba terlintas pengharapan,semoga kelak
ketika aku tua,aku tak kembali sebagaimana kanak-kanak lagi!
Lalu kudengar lagi si wanita tua bertanya persis dengan pertanyan pertama yang aku
dengar tadi,"Where we will go down?"
Dan dijawab lagi oleh teman bicaranya,We will go down to Scotia Square.Kupikir pasti
dia lupa kemana mereka akan pergi karena sudah pikun.Benar saja,ternyata itu berulang sampai
beberapa kali dan dijawab dengan tetap sabar oleh yang ditanya.Kupikir sabar benar yang
ditanya,dan gak terlihat sedikitpun nada kejengkelan di suaranya.Tetap sama nadanya
sebagaimana ketika menjawab pertanyaan pertama. Subhanallah.
Jadi ingat ketika terkadang aku kehilangan kontrol kesabaran kalau anak-anakku mulai
menanyakan hal yang sama berulang-ulang. Astagfirullah.
Karena berulang-ulang sama, dan orang-orang di depanku selalu melirik kearah
mereka,akupun penasaran pingin mengintip sejenak siapa sebenarnya yang sedang bicara.
Dengan sedikit berpura-pura merapikan dudukku aku melihat ke belakang sekilas. Dan
benar dugaanku, memang yang sedang berbicara adalah seorang wanita tua yang kutaksir
mungkin sudah berumur lebih dari 80 atau mungkin malah sudah 90 tahuan, seperti kebanyakkan
wanita tua disini dengan gurat wajah seperti itu. Dan wanita di sebelahnya mungkin anaknya, atau
siapa, yang usianya mungkin saja sekitar 50-an.Si wanita 50th an tadi sempat melihat ke arahku
dan tersenyum, mungkin dia tahu ulahku barusan sekedar mencuri pandang.
Aku jadi senyum-senyum sendiri. Dalam hatiku lagi-lagi terbetik kekaguman yang luar
biasa. Subhanallah, betapa sabarnya "si anak"(mungkin), menjawab pertanyaan ibunya yang terus
berulang-ulang dan sama. Jauh sekali mungkin dengan sifatku yang terkadang tak sabaran
menghadapi pertanyaan anak-anakku.
Hatiku tiba-tiba ciut, dipenuhi rasa khawatir, bagaimana jika kelak aku mendapatkan
perlakuan yang sama tidak sabarannya dari anak-anakku, sebagaimana perlakuanku sekarang ini
kepada mereka. Astagfirullah.
Tiba-tiba kejadian ini menyontakkan kesadaranku,menguatkan azamku untuk lebih
bersabar menghadapi para buah hatiku. Kalau saja kesabaran itu tidak aku tanamkan pada diriku
mengahadapi ulah dan ucapan mereka sekarang ini, manalah mungkin aku berharap, aku akan
mendapatkan perlakuan manis juga di masa tuaku.
Sepanjang perjalanan terus kubergumam dalam hatiku,"Ya Allah ajari aku untuk selalu
sabar dan lembut pada permata-permata hatiku."
Saat kutuntun si kecil menuruni tangga bus yang telah membawa kami ke tempat
tujuan,lamat-lamat kudengar lagi pertanyaan,"Where we will go down?"
Missed Calls

eramuslim - Sekali lagi hp-ku berbunyi. Itu pasti dari suamiku. Pada awalnya aku merasa kesal.
Karena dia selalu mematikannya sebelum sempat aku menjawab. Tahu nggak sih dia kalo aku
kangen. Setiap aku lagi sibuk dengan si kecil atau lagi masak di dapur, pasti dia menelpon dan...
mematikannya lagi. Selalu begitu. Padahal kan aku capek lari-lari ngambil hp yang kutinggal di
kamar, lagi dicharge.
Pesannya sebelum berangkat aku nggak boleh nelpon dia, ”nanti roaming, mahal”. Iya
sih, aku nggak mungkin sebentar kalo ngomong sama dia, apalagi kalo lagi kangen. Aku bilang
pake telpon rumah aja, katanya, ”inlok murah kan jam 8 ke atas." Loh emangnya ngga tau apa dia
kalo paling-paling jam segitu aku paling lagi capek. "Apa kamu tega bangunin aku yang lagi
istirahat?” Dia jawab, "Ya enggak lah, apalagi aku nggak ada – biasanya kan aku yang mijetin."
Mau sms? Tapi katanya, ”Aku bakalan sibuk, sayang... takut nggak sempat baca dan
bales”. Emang! Dia paling males bales sms. Kemarin aja karena aku kangen banget iseng-iseng
aku sms dia, "aku kangen nih honey". Dan dia cuma nulis, "sama". Udah?! Cuma empat huruf
itu?! Nggak ada titik nggak ada koma?! Aku bales aja lagi, ”rugi tau bayar 300 rupiah cuma buat
ngirim 4 huruf doang!!” Eee dia bales, ”ooooooooooyyyyyyyyyyaaaaaaaaaa?????”. Huh, benci
deh... tapi rindu...
Hari ini aku mogok ah. Nggak akan aku hampiri hp-ku walaupun berbunyi, kalau perlu
aku bikin silent. Nggak akan aku cek siapa yang nelfon.
Pokoknya aku kesel. Dan bener. Hp-ku menunjukkan adanya telfon masuk kemudian
mati. Sekali lagi ada yang masuk kemudian mati lagi. Dan begitu seterusnya hingga dari pagi tadi
sampai malam ini aku lihat di layar hp-ku ”20 missed calls”. Dalam hati aku nggak mau cek ah
siapa yang nelfon. Good night, aku mau tidur.
Besoknya dia pulang. Dari terakhir aku lihat hp-ku sampe pagi ini, missed call-nya
nambah jadi 30. Dan benar, semuanya dari suamiku. Udah 4 hari, aku kangen berat nih. Tapi aku
mau sok cool. Namun apa daya… wajahnya yang ganteng dan tampak ceria bertemu denganku
membuat aku luluh. ”Terima missed call-ku nggak?” katanya. Langsung aku jadi inget dan kesel.
”Niat nelfon gak sih?”. Suamiku mengetahui gelagatku yang mulai mau ngambek. Tapi... dasar
suamiku! Bijaksana! Dan romantis! ”Sini sayang, aku kasih tau sesuatu” katanya.
Aku duduk di sebelahnya dengan cemberut namun ia malah merangkulku. Dia bertanya
berapa kali dia missed call aku. Aku jawab dengan ketus lebih dari 20 sehari, total 4 hari 100
missed calls. Tapi dia malah tersenyum dan menyandarkan kepalaku di bahunya.
”Kamu tau nggak, sayang? Sebenernya aku pingin lebih dari 100 kali sehari missed call kamu.”
Aku jadi bingung dibuatnya. Udah tau aku kesel dengan semua missed call-nya, lebih
dari 20 lagi sehari, malah mo nambah jadi 100. ”Maksud kamu apa missed call missed call aku?”
kataku sebel tapi bingung.
“Yaaa… aku cuma pingin kamu tau, kalo aku masih bisa mencet hp, berarti aku masih
hidup dan sehat. Dan... supaya kamu tau... kalo aku kangen juga sama kamu...”
Hi hi hi akhirnya dia ngomong juga.”Kalo kangen tuh nelfon.” sahutku tetap sok cool tapi
hepi. ”Ya itu aku nelfon. Missed call lagi.” katanya santai.
Aku pikir-pikir, kok aku jadi nggak nyambung ya apa yang dia bicarain. Tapi dari pada
dibilang telmi alias telat mikir aku suruh aja dia ruang makan, sudah aku sediakan hidangan
untuknya.
Saat aku sedang di dapur membuat minuman, tiba-tiba hp-ku berbunyi di kantong
dasterku. Aku menoleh dan melihat suamiku sedang tersenyum. Aku cek layar hp-ku. 1 missed
call, Suamiku yang Ganteng. Aku baca sekali lagi... missed call. Dan aku baru mengerti. Aku
missed call balik dia. Dan dia tersenyum.
Missed call... bukan panggilan tak terjawab… tetapi telefon kerinduan...
100 missed calls... berarti... kerinduannya untukku... 100 kali lipat…
Isteriku Tetap Yang Paling Cantik

eramuslim - Pukul 4.05, alert di hpku membangunkan. Ia ikut bangun. Padahal, aku tahu
baru pukul 23.30, ia bisa tidur setelah berjibaku dengan kerjanya, kerja rumah tangga, urusan dua
anakku, dan mengurusi aku sebagai suami. Belum lagi, pukul 01.15 terbangun untuk sebuah
interupsi.
Ups, rupanya ia lupa menyetrika baju kantorku. Aku mandi, shalat lail dan shalat subuh.
ia selesai pula menyelesaikan itu. Plus, satu stel pakaian kerjaku telah siap.
Aku siap berangkat. Ah, ada yang tertinggal rupanya. AKu lupa memandangi wajahnya
pagi ini. "Nda, kamu cantik sekali hari ini," kataku memuji.
Ia tersenyum. "Bang tebak sudah berapa lama kita menikah?" Aku tergagap sebentar.
Melongo. Lho, koq nanya itu. hatiku membatin. Aku berhenti sebentar dan menghitung sudah
berapa lama kami bersama. Karena, perasaanku baru kemarin aku datang ke rumahnya bersama
ust. Bambang untuk meminangnya."Lho, baru kemarin aku datang untuk meminta kamu jadi
istriku dan aku nyatakan ‘aku terima nikahnya Herlinda Novita Rahayu binti Didi Sugardhi’
dengan mas kawin sebagaimana tersebut tunai." Kataku cuek sembari mengaduk kopi hangat rasa
cinta dan perhatian darinya.
Ia tertawa. Wuih, manis sekali. Mungkin, bila kopi yang aku sruput tak perlu gula.
Cukuplah pandangi wajahnya. "Kita sudah delapan tahun Bang." Katanya memberikan tas
kerjaku.
"Aku berangkat yah, assalamualaikum," kataku bergeming dari kalimat terakhir yang ia ajukan.
Aku buru-buru. "Hati-hati yah dijalan." Sejatinya, aku ingin ngobrol terus. sayang, KRL tak bisa
menunggu dan pukul 7.00 aku harus sudah stand by di ruang studio sebuah stasiun radio di
Jakarta.
Aku di jalan bersama sejumlah perasaan. Ada sesuatu yang hilang. Mungkin benar kata
Dewa, separuh nafasku hilang saat kau tidak bersamaku. kembali wajahnya menguntit seperti
hantu. Hm, cantiknya istriku. Sayang, waktu tidak berpihak kepadaku untuk lebih lama
menikmatinya.
Sekilas, menyelinap dedaunan kehidupan delapan tahun lalu. Ketika tarbiyah menyentuh
dan menanamkan ke hati sebuah tekad untuk menyempurnakan Dien. Bahwa Allah akan
memberikan pertolongan. Bahwa rezeki akan datang walau tak selembar pun kerja kugeluti saat
itu. Bahwa tak masalah menerapkan prinsip 3K (Kuliah, Kerja, Kawin).
Sungguh, kala itu kupikir hanya wanita bodoh saja yang mau menerimaku, seorang jejaka
tanpa harapan dan masa depan. Tanpa kerja dan orang tua mapan. Tanpa selembar modal ijazah
sarjana yang saat itu sedang kukejar. Tanpa dukungan dari keluarga besar untuk menanggung
biaya-biaya operasional.
Dan, ternyata benar. Kuliahnya dan kuliahku bernasib serupa. Berantakan. Waktuku
habis tersita untuk mengais lembar demi lembar rezeki yang halal. Sementara ia harus merelakan
kuliahnya di sebuah perguruan tinggi negeri untuk si Abang, anakku.
Kehidupan harus terus berjalan. Kutarik segepok udara untuk mengisi paru-paruku.
Kurasakan syukur mendalam. Walau tanpa kerja dan orang tua mapan, ‘kapal’ku terus berlabuh.
Bahkan, kini sudah mengarung lebih stabil dibanding dua dan tiga tahun pertama.
Ternyata, memang benar Allah akan menjamin rezeki seorang yang menikah. Allah akan
memberikan rezeki dari arah yang tidak terduga. Walaupun tetap semua janji itu muncul dengan
sunatullah, kerja keras. Kerja keras itu terasa nikmat dengan doa dan dampingan seorang wanita
yang rela dan ikhlas menjadi istriku.
Namun, aku tahu wajah cantik istri ku mungkin akan memudar dengan segala kesibukan,
mempersiapkan makanan untuk si Abang dan Ade yang mau berangkat sekolah, mempersiapkan
tugas-tugas untuk pekerjaanya, belum lagi mengurusi tetek bengek rumah tangga. Kelelahan
seolah menggeser kecantikan dan kesegarannya. Untunglah, saat aku pulang, ia bisa
mengembalikan semua keceriaan itu dengan seulas senyum yang menyelinap dibalik penat dan
kelelahan.
Istriku cantik sekali pagi ini. Maafkan aku tak bisa menemanimu. Namun, doa dan ridhaku selalu
bersamamu.
Sayangku,kumohon dekat di sini
temani jasadku yang belum mati
Aku melayang
(dewa)
Nak

eramuslim - Nak, mentari baru telah terbit, 12 Oktober 2003 sepuluh tahun sudah usiamu. Ayah
dan Ibu bersyukur dapat mengantarmu hingga hari ini. Semoga Alloh SWT senantiasa berkenan
membimbing Ayah dan Ibu dalam mendidikmu, hingga Ayah dan Ibu tak salah langkah.
Tak seperti hari-hari ulang tahunmu yang lalu, yang pada saat itu Ayah dan Ibu hanya
memberi tahumu bahwa hari itu hari lahirmu, dan mengajakmu untuk bersyukur kepada-Nya atas
nikmat yang telah dilimpahkan kepada kita. Hari itu ….. Ayah dan Ibu telah menyiapkan sebuah
bingkisan istimewa untukmu, berupa seperangkat alat sholat. Ayah dan Ibu tak bermaksud
mengajarkan kepadamu merayakan hari ulang tahun dengan memberikan bingkisan itu, karena
Rasululloh-pun tak pernah mengajarkannya kepada kita.
Ayah dan Ibu memberikan bingkisan tersebut tak lain kecuali untuk berwasiat kepadamu,
bahwa pada usiamu yang telah sepuluh tahun Rasululloh telah berpesan kepada Ayah dan Ibu
tentang dirimu. Beliau membolehkan Ayah dan Ibu memukulmu bila kau tak sholat sejak usia itu.
Itu artinya, usia sepuluh tahun bukanlah usia main-main lagi. Usia sepuluh tahun akan menjadi
tonggak ketaatanmu untuk menjalankan segala perintah-Nya, sehingga ketika kau tak mau
menjalankan perintah-Nya kau boleh diberi hukuman.
Nak, Ayah dan Ibu tak ingin sekalipun memukulmu. Karenanya…..ingat-ingatlah di
hatimu yang paling dalam, bahwa sholat adalah salah satu kewajiban yang harus kau jalankan.
Sholat pula yang menjadi pembeda antara seorang muslim dan orang yang kafir. Sholat pulalah
yang akan dapat menjadi penolongmu. Sholat pulalah amal yang akan dihisab pertama kali di
yaumil akhir nanti. Sholatlah yang akan dijadikan penentu baik buruknya amal perbuatan kita.
Maka dari itu, kau harus berusaha sekuat tenaga untuk dapat memelihara sholatmu dalam kondisi
apapun dan dimanapun.
Ayah dan Ibu bangga padamu, bahwa diusiamu yang masih demikian belia kau telah
mampu memelihara sholatmu yang lima waktu walau kini kita hidup di negri orang dan dalam
lingkungan yang sangat tidak mendukung.
Ada rasa syukur tersendiri dalam hati Ayah dan Ibu, ketika di musim panas yang baru
lalu, kau mau kami bangunkan jam tiga dini hari untuk menjalankan sholat fajar, walau kadang
kau tertidur di sujud terakhirmu, karena tidurmu masih belum cukup. Ayah dan Ibu berharap,
kebiasaamu bangun subuh dapat terpelihara, dan meningkat kepada bangun sebelum subuh untuk
belajar sholat malam. Hingga dirimu terpelihara oleh-Nya.
Nak, maafkan Ayah dan Ibu, karena hingga kini Ayah dan Ibu belum mampu
memberikan yang terbaik untukmu. Maafkan pula perlakuan Ayah dan Ibu yang kadang
membuatmu sakit hati. Ayah dan Ibu hanya ingin menjadikanmu anak yang sholihah, yang
berbakti kepada orang tua, taat kepada Alloh, dapat membedakan yang haq dan yang bathil, dan
mampu melaksanakan segala kebaikan.
Masih banyak memang cita-cita yang belum berhasil Ayah dan Ibu laksanakan, namun
Ayah dan Ibu optimis. Waktu kedepan masih panjang dan luas, harapanpun terhampar didepan
mata. Semoga langkah kita selalu dalam bimbingan-Nya. Aamiin. (Ummu Shofi).
Cinta Tak Berujung

eramuslim - Sore ini seperti biasa aku pulang naik angkot. Tidak terlalu jauh memang, tapi
kemacetan seringkali membuat aku harus lebih banyak menghirup sesaknya udara polusi. Dan di
sinilah, aku seringkali mengingat kisah kami, aku dan bayiku.
***
Saat itu, ketika setiap hari ibu membawamu ke kantor, saat itu pula tumbuh rasa sesal di
hati ibu. Mungkin sebuah penyesalan yang wajar bagi seorang bunda. Karena ibu sudah
memaksamu untuk keluar rumah, menikmati hiruk pikuknya dunia. Idealnya, di usiamu yang
masih rentan itu, ibu menungguimu di rumah. Di kamar yang bersih dan sejuk, tanpa polusi,
tanpa kericuhan, tanpa keramaian dan tanpa hal-hal yang membuat ibu sendiri pusing. Padahal
ibu sudah dewasa, anakku. Bagaimana denganmu, yang masih berusia dua bulan.
Namun ibu lalui semuanya dengan senyum. Bersama dukungan ayahmu dan iringan tawa
riangmu. Hati ibu pun semakin menguat tatkala melihat keluarga yang kurang beruntung. Yang
tinggal di pinggir-pinggir jalan. Juga di terminal tempat angkot kita berhenti untuk berganti
angkot berikutnya. Ibu melihat betapa anak-anak itu juga bisa tumbuh dewasa, walaupun dengan
segala keterbatasan fasilitas orang tuanya. Dari wajah-wajah mereka yang ceria, mereka juga
tampak sehat. Allah memang Maha Adil, sayang. Ibu sangat percaya itu.
Ibu yakin, hal yang terbaik untukmu saat itu adalah dekat dan mendapatkan air susu
ibumu. Dan, satu-satunya jalan untuk mewujudkannya, hanya dengan membawamu kemanapun
ibu pergi. Aneh! Beberapa orang yang ibu temui di jalan menganggapnya demikian. Pun dengan
rekan-rekan sekerja ibu. Apalagi saat ibu memilih menghampirimu daripada menghadiri
undangan meeting, saat kau menangis kehausan. Beberapa rekan mengatakan bahwa ibu bisa di-
PHK karena itu.
Tapi ibu tidak takut, sayang. Yang lebih ibu khawatirkan adalah jika ibu tidak bisa
memberikan hak yang seharusnya kau terima. Rizki yang diberikan oleh Dzat Yang Maha Welas
Asih melalui ibumu yaitu air susu. Karena ibu sangat berharap, bisa menggenapkan kewajiban
ibu hingga dua tahun usiamu.
Untuk itu, maafkan ibu jika terpaksa mengurungmu dalam sesaknya polusi di angkot yang kita
naiki. Sungguh, kami tak pernah menghendakinya, sayang.
Hanya doa yang ibu panjatkan tiap saat agar rasa sesal ini sedikit berkurang. Bermohon kekuatan
dan kesehatan untukmu. Mohon agar kau bisa tumbuh sehat dan kuat. Bisa tumbuh dan
berkembang dengan sempurna untuk menjadi generasi yang lebih baik daripada kami.
Ya Tuhanku Allah Yang Maha Waspada…
Allah Yang Tak Pernah Lengah…
Dzat Yang Maha Pemurah…
Berikan perlindungan untuk putra-putri kami…
Awasi dia selalu… Jaga fitrahnya Ya Robb Jadikan mereka putra-putri yang sholeh dan sholehah
Jangan timpakan hukuman pada mereka akibat dosa dan kesalahan kami, Tuhanku…
Ampuni kami Ya Allah,
Berilah kami kekuatan untuk menjadi orang tua yang adil buat mereka,
aamiiin.
***
Aku tahu…dan teramat sadar, bahwa aliran kata-kata bermakna doa yang selalu
kuhadirkan buat buah hatiku, bukanlah apa-apa dibandingkan dengan pengorbanan ibu bapakku.
Aku hanya ingin memulainya saat ini. Untuk menjadi bunda yang baik baginya… untuk menjadi
madrasah yang berkualitas buatnya.
Dengarlah doaku Ya Robbi, dan kabulkan keinginanku.
Tanganmu, Ibu...

Ibumu adalah
Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan
(Emha Ainun Najib)
Siang sudah sampai pada pertengahan. Dan Ibu begitu anggun menjumpai saya di depan
pintu. Gegas saya rengkuh punggung tangannya, menciumnya lama. Ternyata rindu padanya
tidak bertepuk sebelah tangan. Ibu juga mendaratkan kecupan sayang di ubun-ubun ini, lama.
“Alhamdulillah, kamu sudah pulang” itu ucapannya kemudian. Begitu masuk ke dalam rumah,
saya mendapati ruangan yang sungguh bersih. Sudah lama tidak pulang.
Ba’da Ashar,
“Nak, tolong angkatin panci, airnya sudah mendidih”. Gegas saya angkat pancinya dan
dahipun berkerut, panci kecil itu diisi setengahnya. “Ah mungkin hanya untuk membuat beberapa
gelas teh saja” pikir saya
“Eh, tolongin bawa ember ini ke depan, Ibu mau menyiram”. Sebuah ember putih ukuran
sedang telah terisi air, juga setengahnya. Saya memindahkannya ke halaman depan dengan
mudahnya. Saya pandangi bunga-bunga peliharaan Ibu. Subur dan terawat. Dari dulu Ibu suka
sekali menanam bunga.
“Nak, Ibu baru saja mencuci sarung, peras dulu, abis itu jemur di pagar yah” pinta Ibu.
“Eh, bantuin Ibu potongin daging ayam” sekilas saya memandang Ibu yang tengah bersusah
payah memasak. Tumben Ibu begitu banyak meminta bantuan, biasanya beliau anteng dan
cekatan dalam segala hal.
Sesosok wanita muda, sedang menyapu ketika saya masuk rumah sepulang dari ziarah.
“Neng..” itu sapanya, kepalanya mengangguk ke arah saya. “Bu, siapa itu…?” tanya saya. “Oh itu
yang bantu-bantu Ibu sekarang” pendeknya. Dan saya semakin termangu, dari dulu Ibu paling
tidak suka mengeluarkan uang untuk mengupah orang lain dalam pekerjaan rumah tangga.
Pantesan rumah terlihat lebih bersih dari biasanya.
Dan, semua pertanyaan itu seakan terjawab ketika saya menemaninya tilawah selepas
maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk yang terbuat dari kertas koran yang dipilin
kecil, menelusuri tiap huruf al-qur’an. Dan mata ini memandang lekat pada jemarinya. Keriput,
urat-uratnya menonjol jelas, bukan itu yang membuat saya tertegun. Tangan itu terus bergetar.
Saya berpaling, menyembunyikan bening kristal yang tiba-tiba muncul di kelopak mata.
Mungkinkah segala bantuan yang ia minta sejak saya pulang, karena tangannya tak lagi paripurna
melakukan banyak hal?
“Dingin” bisik saya, sambil beringsut membenamkan kepala di pangkuannya. Ibu masih
terus tilawah, sedang tangan kirinya membelai kepala saya. Saya memeluknya, merengkuh
banyak kehangatan yang dilimpahkannya tak berhingga.
Adzan isya berkumandang,
Ibu berdiri di samping saya, bersiap menjadi imam. Tak lama suaranya memenuhi udara
mushala kecil rumah. Seperti biasa surat cinta yang dibacanya selalu itu, Ad-Dhuha dan At-
Thariq.
Usai shalat, saya menunggunya membaca wirid, dan seperti tadi saya pandangi lagi
tangannya yang terus bergetar. “Duh Allah, sayangi Mamah” spontan saya memohon. “Neng…”
suara ibu membuyarkan lamunan itu, kini tangannya terangsur di depan saya, kebiasaan saat
selesai shalat, saya rengkuh tangan berkah itu dan menciumnya.
“Tangan ibu kenapa?” tanya saya pelan. Sebelum menjawab, ibu tersenyum maniss
sekali.
“Penyakit orang tua” “Sekarang tangan ibu hanya mampu melakukan yang ringan-ringan saja, irit
tenaga” tambahnya.
Udara semakin dingin. Bintang-bintang di langit kian gemerlap berlatarkan langit biru tak
berpenyangga. Saya memandangnya dari teras depan rumah. Ada bulan yang sudah memerak
sejak tadi. Malam perlahan beranjak jauh. Dalam hening itu, saya membayangkan senyuman
manis Ibu sehabis shalat isya tadi. Apa maksudnya? Dan mengapakah, saya seperti melayang.
Telah banyak hal yang dipersembahkan tangannya untuk saya. Tangan yang tak pernah mencubit,
sejengkel apapun perasaannya menghadapi kenakalan saya. Tangan yang selalu berangsur ke
kepala dan membetulkan letak jilbab ketika saya tergesa pergi sekolah. Tangan yang selalu dan
selalu mengelus lembut ketika saya mencari kekuatan di pangkuannya saat hati saya bergemuruh.
Tangan yang menengadah ketika memohon kepada Allah untuk setiap ujian yang saya jalani.
Tangan yang pernah membuat bunga dari pita-pita berwarna dan menyimpannya di meja belajar
saya ketika saya masih kecil yang katanya biar saya lebih semangat belajar.
Sewaktu saya baru memasuki bangku kuliah dan harus tinggal jauh darinya, suratnya
selalu saja datang. Tulisan tangannya kadang membuat saya mengerutkan dahi, pasalnya
beberapa huruf terlihat sama, huruf n dan m nya mirip sekali. Ibu paling suka menulis surat
dengan tulisan sambung. Dalam suratnya, selalu Ibu menyisipkan puisi yang diciptakannya
sendiri. Ada sebuah puisinya yang saya sukai. Ibu memang suka menyanjung :
Kau adalah gemerlap bintang di langit malam
Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana,
Bukan!, kau lebih dari itu,
Kau adalah benderang matahari di tiap waktu,
Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah Sinopsis semesta
Itu saja.
Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan Tuhan. Itu yang saya baca dari sebuah buku.
Jika saya renungkan, memang demikian. Tangan seorang ibunda adalah perwujudan banyak hal :
Kasih sayang, kesabaran, cinta, ketulusan…. Pernahkah ia pamrih setelah tangannya menyajikan
masakan di meja makan untuk sarapan? Pernahkan Ia meminta upah dari tengadah jemari ketika
mendoakan anaknya agar diberi Allah banyak kemudahan dalam menapaki hidup? Pernahkah Ia
menagih uang atas jerih payah tangannya membereskan tempat tidur kita? Pernahkah ia
mengungkap balasan atas semua persembahan tangannya?..Pernahkah..?
Ketika akan meninggalkannya untuk kembali, saya masih merajuknya “Bu, ikutlah ke
jakarta, biar dekat dengan anak-anak”. “Ah, Allah lebih perkasa di banding kalian, Dia menjaga
Ibu dengan baik di sini. Kamu yang seharusnya sering datang, Ibu akan lebih senang”
Jawabannya ringan. Tak ada air mata seperti saat-saat dulu melepas saya pergi. Ibu tampak lebih
pasrah, menyerahkan semua kepada kehendak Allah. Sebelum pergi, saya merengkuh kembali
punggung tangannya, selagi sempat , saya reguk seluruh keikhlasan yang pernah
dipersembahkannya untuk saya. Selagi sisa waktu yang saya punya masih ada, tangannya saya
ciumi sepenuh takzim. Saya takut, sungguh takut, tak dapati lagi kesempatan meraih tangannya,
meletakannya di kening.
***
Bagaimana dengan kalian para sahabat? Engkau sangat tahu, lewat tangannya kau ada,
duduk di depan komputer dan membaca tulisan saya ini. Engkau sangat tahu, lewat tangannya
kau bisa menjadi seseorang yang menjadi kebanggaan. Engkau sangat tahu, dibanding siapapun
juga. Maka, usah kau tunggu hingga tangannya gemetar, untuk mengajaknya bahagia. Inilah
saatnya, inilah masanya…
Harmoniskan Keluarga dengan Joke

eramuslim - Marilah berkaca. Cobalah putar kembali ‘film’ satu hari kita kemarin.
Inventarisirlah beberapa momen yang bisa memuat perasaan Anda senang dan memicu tawa.
Tawa dalam semua definisi seperti cuma tersenyum simpul, tertawa pelan, atau tertawa keras dan
terbahak-bahak.
Contohnya mungkin antara lain Anda mendengarkan musik, membaca, menyaksikan film
komedi, melihat tayangan-tayangan komedi televisi, bertemu dan berbicara dengan seseorang
yang punya sense of humor bagus, mendengar celetukan seseorang, mengingat masa-masa ‘lucu
dan lugu’ kala SMA dan lain sebagainya. Setiap individu pasti memiliki ragam dan kekhasan
sendiri. Buktikanlah, betapa momen-momen itu mampu mendongkrak hormon bahagia dan
menyejukan semua rasa. Ujung-ujungnya suasana positif ini dapat memproduksi energi kreatif
untuk berkarya. Atau, paling tidak bisa memberikan yang terbaik untuk lingkungan. Sebab,
kebahagiaan hanya dapat diberikan oleh orang yang bahagia.
Begitulah fungsi humor dalam proses kimiawi dan psikologis tubuh kita. “Humor kecil
sehari-hari seperti vitamin ampuh untuk membangun dan mempertahankan kemampuan Anda
secara positif menanggapi tugas-tugas keayahbundaan dan tantangan hidup lainnya,” tulis
Maurice J. Elias Ph. D dkk dalam bukunya Emotionally intelligent Parenting: How to Rise a Self-
Disiplined, Responsible, Socially Skilled Child.
Sayangnya, Maurice mencatat betapa banyak orangtua yang ‘lupa’ terhadap khasiat dari
humor dalam peningkatan hubungan dengan pasangan maupun dengan anak-anak. Katanya,
“Perhatikan berapa banyak waktu yang Anda pakai untuk melakukan hal ini dalam sehari atau
seminggu. Barangkali Anda akan menemukan bahwa waktu yang Anda habiskan untuk itu lebih
sedikit daripada yang Anda kira.”
Apa yang disinyalir Maurice dibenarkan Deny Setiawan(32), eksekutif sebuah
perusahaan asing. Dalam kesehariannya, tak cuma kurang namun ia memang cenderung
menyepelekan soal ini. “Waktu saya memang terlalu sempit untuk sekadar bersenda gurau. Jadi,
bukan sekadar kurang tapi lebih dari itu, saya memang tak pernah meniatkan meluangkan waktu
hanya untuk itu. Bagi saya, itu tidak profesional. Just wasted my time,” akunya jujur.
Humor Mendongkrak Keharmonisan
Seusai memberikan ceramah dalam pengajian di sebuah perkantoran, ust. Ferry Nur,
Koordinator Gerakan Anti Zionis (GAZA), memberikan pernyataan yang cukup‘menyengat’
kepada salah seorang anggota pengajian yang berniat menikah, “Ente kalau menikah tidak boleh
dengan orang sekampung.” Sontak jamaah yang lain pun bereaksi. Mereka berpikir, orang
sekaliber Ust Ferry tentu bicara berdasarkan argumen syar’i. “Lho, masak sih seperti itu,” ujar
salah seorang jamaah. Dengan sigap ustad muda energik yang telah dianugerahi 9 orang anak ini
segera memberikan penjelasan. “Memang benar, menikah dengan ‘orang sekampung’ itu terlalu
banyak. Nggak dibenarkan syariah,” tukasnya sembari menebar senyum. Jamaah pun kontan
tertawa.
Pengalaman Adam Hermawan (29) beda lagi. Bagi Ayah tiga anak yang tinggal di Depok
ini, humor juga dijadikan alat atau media untuk mencairkan suasana dan menyegarkan kondisi
keharmonisan rumah tangga. Caranya bisa bermacam-macam. “Paling tidak, sepulang kerja saya
membawa oleh-oleh, bisa berupa kejadian lucu di kantor atau cerita-cerita,” katanya.
Adam lumayan unik. Pasalnya, ia menyengajakan diri mencari sesuatu yang bisa
membuat istri dan anaknya tertawa, minimal, kalau yang dibawa pulang tidak lucu, bisa membuat
tersenyum. Sampai-sampai, ia menyisakan waktu dalam kesibukan kerjanya untuk browsing
(berselancar di dunia maya) mencari cerita-cerita unik dan lucu. Ujarnya, “Ini saya lakukan
sengaja. Karena saya merasakan manfaat yang cukup besar.”
Menyisipkan humor dalam hubungan dengan pasangan dan k-anak, menurut Maurice,
dimaksudkan untuk menjaga gar kita tetap dalam kerangka berpikir optimis. “Cobalah melakukan
hal-hal yang bisa membawa Anda ke dalam suasana humor setiap hari, meskipun hanya sebentar.
Kalau tidak bisa setiap hari, coba sesering yang bisa Anda lakukan,” pesannya dalam buku yang
telah dialih bahasakan berjudul Cara-cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ.
Ia menyarankan untuk mencatat tiga kejadian hari ini yang membuat Anda merasa
senang. Bisa saja hal-hal kecil: sinar matahari, melihat seekor kupu-kupu, mendapatkan pujian,
menjadi tim pemenang dan lain sebagainya. Manfaat lain dari cara ini, memungkinkan setiap
orang untuk saling berbagi dan meninjau ulang.
Saat seseorang sedang seih, inilah tempat untuk mencari hiburan. Ini berarti juga, kita
bisa menebarkan kebahagiaan ke lingkungan kita, bukan cuma keluhan, kritikan dan penderitaan
kita.
About Love, Episode: Cinta Abadi

eramuslim – “Ma, itu apa, yang kelap-kelip di atas “? telunjukku mengarah ke langit.
“Itu namanya bintang nak, salah satu ciptaan Allah yang menakjubkan,” terang Mama dengan
sempurna sekaligus bijak.
Kutahu, usiaku dua tahun lebih sedikit waktu itu. Usia yang selalu ingin tahu segala hal
dan mengejar seribu jawaban dari siapapun terhadap hal yang baru kulihat. Dan Mama, dialah
yang paling sabar menerangkan semua tanya itu, meski tak pernah kupuas, tapi aku cukup yakin
saat itu, bahwa Mama segala tahu.
Sejak malam itu, aku selalu berdiri di belakang rumah menengadah ke langit
memandangi jutaan bintang yang berkelap-kelip, dan setiap saat itu pula Mama setia
menemaniku. Aku ingat, mama cukup kerepotan mencari jawaban ketika aku bertanya, apakah
bintang-bintang itu juga punya nama. Dengan cerdik, Mama menjelaskan bahwa bintang-bintang
itu sama dengan kita, manusia. Kalau manusia punya nama, berarti bintang pun memiliki nama.
“Yang disebelah sana, namanya siapa ma”?
Keningnya berkerut, otaknya berputar mencari jawaban. Hingga akhirnya, “ooh, yang itu
mama tahu, ia adalah bintang mama, karena namanya sama persis dengan nama anak mama ini”?
dekapannya begitu hangat, tak ada yang bisa melakukan semua itu kecuali mama. Waktu itu yang
kutahu, mama sekedar menjalankan kewajibannya sebagai orang tua untuk menemani dan
membahagiakanku.
Keesokkan harinya, setiap malam tiba. Mama sudah tahu, sebelum waktu tidurku tiba,
aku selalu mengajaknya memandangi langit. Karena kini aku semakin senang, sejak mama
mengatakan bahwa bintang yang pernah kutunjuk itu adalah aku. Tapi, hari ini mama membuatku
kecewa, karena mama tak bisa menemaniku. Mama sakit, begitu kata Papa.
Aku menangis, sebab malam itu aku berniat tidak hanya minta mama menemaniku
seperti malam-malam sebelumnya. Tapi aku ingin mama mengambilkanku bintang-bintang itu
dan membawanya ke rumah. Aku ingin mereka menjadi temanku bermain hingga aku tak perlu
bersedih setiap ketika larut mama mengajakku masuk.
Tapi Mama tetap tak bisa membantuku. Jangankan untuk mengambilkanku bintang-
bintang, sekedar duduk bersama di belakang rumah, merasai sentuhan angin yang lembut, dan
menyapa kedamaian malam, serta tersenyum membalas lambaian sang bulan pun, mama tak kuat.
Hingga malam berakhir, aku masih kecewa. Malam itu bahkan aku tak mau makan, hingga mama
yang sedang sakitpun harus memaksakan diri tetap menyenandungkan nyanyian cinta pengantar
tidur. Untuk yang ini pun yang aku tahu, adalah juga kewajiban orangtua, menyanyikan lagu
pengantar tidur.
Esok harinya aku demam. Karena semalaman tidak mau makan setelah beberapa jam di
belakang rumah “bermain-main” dengan bintang-bintang. Meski sedikit cemas, mama tak pernah
panik. Sentuhan hangat mama, membaluri ramuan khusus ke seluruh tubuh kecil ini. Dua hari
sudah, tak kunjung sembuh demamku. Padahal mama sudah membawaku ke dokter.
Mama semakin panik. Panasku meninggi dan sering mengigau. Tetapi justru disaat
mengigau itulah mama tahu obat terbaik untuk menyembuhkanku. (sampai disini, aku masih
beranggapan, mencarikan obat, menyembuhkan anak, adalah sekedar kewajiban orangtua) ?
Aku tidak tahu apa yang mama perbuat. Setelah terlelap beberapa jam, aku terbangun,
dan aku terkejut, hampir tak percaya apa yang kutatap di langit-langit kamarku. Bintang-bintang ?
mama membuatkanku bintang-bintang dari kertas berwarna metalik, banyak sekali, puluhan,
entah, mungkin ratusan. Sebagiannya digantung sebagian lagi dibiarkan berserakan di tempat
tidur dan lantai kamar. Kuciumi mama karena telah membawakan bintang-bintang dari langit itu
ke rumah. Dan mama benar, kulihat di masing-masing bintang itu ada namanya, salah satunya,
ada bintang yang paling bagus dan paling besar, diberinya namaku.
***
Anak mama yang dulu kerap memandangi bintang itu, kini sudah dewasa. Sudah hidup
mandiri. Tapi aku tetap anak mama. Kemarin, kutelepon mama mengabariku bahwa aku sedang
tidak sehat dan tidak masuk kantor. Beberapa jam kemudian, diantar papa dan salah seorang
adikku, mama datang. Aku memang tetap bintangnya mama, dibiarkannya kepalaku bersandar
dipeluknya, kurasakan kembali kehangatan itu. hingga aku tertidur.
Sore, mama hendak pulang. Sebenarnya aku ingin sekali menahannya untuk tinggal
beberapa hari, tapi adikku berbisik, “Waktu abang telepon, mama sebenarnya sedang sakit “?
Ada setitik air disudut mata ini. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Kini, sekali lagi
kusadari. Semua yang dilakukan mama untukku, bukanlah kewajiban. Itulah yang disebut cinta,
cinta abadi. Cinta yang takkan pernah bisa aku membalasnya. Dan mama adalah bintang
sesungguhnya bagiku.
About Love, Episode: Sedetik Saja

eramuslim – “Hari ini aku jatuh cinta”.


Ya, hanya satu kalimat singkat itu yang hendak aku teriakkan keras-keras, agar semua orang tahu
bahwa aku sedang jatuh cinta. Kalau perlu para malaikat diatas sana pun ikut tersenyum
mendengar teriakan-teriakan cinta dariku ini. Tak mengapa orang akan terheran mengernyitkan
dahinya mempertanyakan perihal jatuh cintaku ini. Bahkan baru saja teman sebelah meja di
kantorku mengatakan aku sedang gila, masak sudah punya suami jatuh cinta lagi ?
Ha ha, aku tertawa kecil. Biarlah orang menganggap aku gila, bukankah cinta dan gila
hampir tidak ada bedanya? Tak peduli orang berkata apa, karena jatuh cintaku ini bukan dengan
pria lain, melainkan dengan suamiku sendiri. Pasti Anda bertanya, kenapa baru sekarang jatuh
cinta? Apakah sebelumnya tidak pernah jatuh cinta?
Empat tahun usia pernikahan memang masih dibilang seumur jagung, belum terlalu
banyak kegetiran yang membenalui kasih sayang sepasang suami istri. Masih seruas jemari
kelingking ukuran pahit bersamaan dengan manisnya perjalanan cinta. Tapi harus diakui, segala
rutinitas keseharian seringkali menyita waktu-waktu bersama yang mau tidak mau terpaksa
dikorbankan. Belum lagi extra time yang tercuri untuk aktifitas sosial diluar kerja harian,
membuat kami kehilangan kesempatan untuk mencurahkan cinta. Bahkan untuk sekedar sarapan
pagi bersama sebelum masing-masing antara kami berangkat ke kantor sesaat ayam baru saja
bersuara, hanya karena takut terjebak kemacetan kota yang tidak akan pernah bisa dihindari.
Tetapi, hari ini aku jatuh cinta (lagi) ?
Salah jika Anda menebak, bahwa kemesraan malam tadi yang membuai kami dalam
kehangatan hingga pagi hari yang telah membuatku begitu bahagia semenjak pagi tadi. Tentu saja
Anda juga terlalu mengira-ngira menganggap serbuan ungkapan cinta suamiku yang bertubi-tubi
yang menjadikan diri ini teramat bergairah sepanjang hari ini. Perlu anda tahu, semua wanita
tahu, kata cinta bukan segalanya dan takkan pernah berarti apapun tanpa sedikitpun sentuhan.
Tapi, ini bukan pula soal sentuhan ? Dan bisa dipastikan bukan karena semalam sebelum
semuanya berlangsung begitu mesra dan mempesonakan, kami pergi ke sebuah tempat makan
romantis untuk merayakan hari jadiku, termasuk sebuah kotak hadiah yang belum sempat kubuka
sampai hari ini karena terlalu sayang untuk merusak bungkus pink berhias bunga Rose diatasnya
yang dirangkai dengan pita berwarna putih.
Ternyata, aku tak memerlukan jutaaan ungkapan cinta untuk bisa sesenang hari ini. Tak
juga harus menyita waktu suamiku berjam-jam untuk menemaniku dan memberikan
kehangatannya disatu malam tertentu. Bahkan materi. Tak sepeserpun yang harus dikeluarkannya
untuk bisa menciptakan kegairahan cinta seperti saat ini. Ia hanya perlu sedetik. Ya, hanya
sedetik saja ?
Dan itu tercipta ketika, entah secara sadar atau tidak dia kembali menyapaku penuh
lembut, “yang ti “? (Panggilan 'sayang' yang disingkat, diimbuhi potongan namaku).
Anginpun berhembus mesra menyentuh kulit halus telingaku. Seketika sekujur tubuh ini seperti
baru saja tertimpa kesejukan padang ilalang nan menghijau.
Namaku Titi, semua orang mulai dari Papa, Mama dan teman-teman selalu memanggilku
Titi. Tapi sejak pertama kali kami bertemu, saat menjelang kami menikah, dan setahun pertama
menikah, lelaki romantis itu selalu memanggilku, “yang ti” Dan malam tadi dia kembali
menyebutkan panggilan kesayangan itu setelah hampir dua tahun tak pernah terngiang di
telingaku.
“yang ti “?.
Ah, rasanya baru saja kemarin kami melewati malam pertama.
About Love, Episode: Energi Kecupan

eramuslim - Hari belum dimulai. Jarum pendek pada jam dinding mengarah ke angka 2. Masih
terlalu gelap. Tiba-tiba aku terbelalak kaget. Istriku, Ryan, tengah menahan rasa sakit di perutnya.
Geriginya saling beradu, sesekali gigi atasnya menangkap bibir bawah untuk mencoba
menghilangkan sakit yang takkan pernah aku mengerti kadarnya. Sementara aku menyiapkan
mobil, kudengar erangan Ryan semakin keras, si kecil di dalam perutnya mungkin sudah tak
sabar hendak melihat dunia. Nakalnya aku, masih sempatnya sedikit nyengir karena senang akan
segera menjadi seorang ayah. Terbayang tak lama lagi akan terdengar suara mungil memanggil,
“Ayah…”
Kupacu mobilku secepat mungkin. Masih 2 kilometer lagi rumah sakit bersalin tempat
biasa istriku memeriksakan kandungannya setiap bulan. Semakin cepat roda berputar semakin
cemas perasaanku, terlebih melihat istriku yang mulai melemah. Tak lagi terdengar erangan dari
mulutnya, yang ada hanya desahan buangan nafas dengan sedikit tersengal. Kuyakinkan dia untuk
sedikit bersabar, “Tinggal dua kelok lagi dik…”
Sesaat sebelum turun, diluar halaman depan rumah sakit, kubopong Ryan menuju ruang
tengah rumah sakit. Beberapa detik sebelum para suster menyodorkan tempat tidur beroda untuk
istriku, sempat Ryan membisikkan sesuatu …. Tak terasa sebulir air mata mengalir dari sudut
mataku …
Bagaimana mungkin, disaat kritis dan tengah menahan sakit yang teramat seperti itu ia
masih sempat memikirkan kebahagiaan suaminya jika Tuhan berkehendak lain atas sebuah ajal.
Memang yang kutahu, saat-saat seperti ini adalah saat mempertaruhkan hidup dan mati bagi
seorang ibu. Tapi bagaimana mungkin Ryan masih bisa membagi ruang dalam pikirannya
untukku disaat genting seperti saat ini.
Detik demi detik, menit pun berlalu. Tapi masih saja terngiang kata-kata istriku, “Mas
harus menikah lagi, jika Allah menghendaki ajalku berakhir hari ini…”.
Hhhhhh … kuhela nafasku panjang. Aku mengutuk-ngutuk diri ini sendirian. Sementara
di dalam sana istriku tengah berjuang antara hidup dan mati demi memberikan kebahagiaan
berupa sesosok malaikat kecil yang sebentar lagi hadir bersama dalam kehidupan kami, tapi aku
masih saja berdiri di sini, di ruang tunggu ditemani tembok putih yang membisu.
Kududuk sejenak, tak sengaja pikiranku melayang. Terbayang wajah istriku yang cantik.
2 tahun menikah, tak terasa sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah. Berarti juga, bukan
hanya satu kecupan yang akan menyemangatiku sebelum berangkat kerja, tapi akan ada lagi satu
kecupan dari bibir mungil malaikat kecilku. Kecupan… ya, satu kecupan di pagi hari yang
memberikan energi luar biasa setiap kali memulai hari dengan rutinitas kantor. Dan satu kecupan
hangat menyambutku di depan pintu sepulang bekerja, yang membasuh semua peluh, yang
menghilangkan segala letih dan kepenatan. Kecupan …
Sedetik kemudian …
Aku berlari, membuka pintu ruang persalinan, kulihat istriku masih terus berusaha
mengatur nafasnya. Tak percaya aku seberani ini, padahal sebelumnya sudah kuyakini aku takkan
sanggup menemaninya bersalin. Aku tak kuasa melihat istriku menderita, bahkan sudah
terbayang dalam benakku sejak bulan-bulan terakhir menjelang persalinan ini, sesuatu yang
terpahit yang aku tak ingin terjadi pada istriku, termasuk anakku.
Tetapi di menjelang pagi ini,
Kudekati Ryan, kugenggam tangannya erat. Kurasakan jemarinya seperti baru saja
menemukan pegangan kuat setelah sebelumnya menggapai-gapai hampir terlelap dalam lautan
peluh. Dan sesaat kemudian, kecupan hangat dariku mendarat di keningnya, menyingkirkan
semua peluhnya. Mataku terpejam sementara bibirku terus bertengger di kening basahnya.
Terlintas energi dahsyat yang selama ini dialirkan oleh Ryan sebelum aku berangkat kerja. Kali
ini aku berharap, energi itu bisa diperolehnya dari hangat bibirku di keningnya …
Akhirnya, diiringi segurat do'a …
Sebuah tangis yang kurindu sekian bulan lamanya terdengar. Yang pasti, kulihat juga
senyum Ryan menyambut kehadiran malaikat kecil kami itu. Terima kasih Allah. Kupercaya,
Engkau turut andil sewaktu energi kecupan itu kualiri kepadanya. Karena juga, aku masih ingin
selalu mendapatkan energi itu esok hari, bukan cuma dari satu kecupan, ditambah kecupan
mungil itu.
Sorga di Bawah Telapak Kaki Ibu…

eramuslim - “Ibu… Ibu… mau ke Ibu… “ suara tangisan itu terdengar sangat menyedihkan. Di
keheningan tengah malam, di saat orang lain tertidur pulas, ada seorang anak yang gelisah, tidak
bisa tidur. Ketika dia terbangun, orang yang sangat dicintainya tidak berada di sampingnya
seperti biasa. Karena keterbatasan ekonomi, Ibu yang single parent itu mengambil keputusan
untuk menitipkan puterinya di panti asuhan.
Masih terngiang bujukan si Ibu kepada anaknya, “Karena Ibu sayang sama kamu nak, Ibu
titipkan kamu di sini, kan kamu bilang kamu ingin sekolah ? Ibu ga punya uang. Kamu harus
sabar ya nak…atau kamu mau kita seperti dulu lagi ? Jualan sambil hujan-hujanan atau kepanasan
dan kalau “cape” tidur di pinggir jalan ?” Percakapan antara ibu dan anak tersebut pastilah asing
di telinga kita yang punya sejuta nikmat. Sekolah tinggal sekolah, sarapan tinggal makan atau
kemana-mana diantar oleh supir. Ah, semoga kita termasuk orang-orang yang bersyukur.
Kembali kepada si anak. Hatinya yang belum dirasuki oleh “hingar bingar” dunia telah
terpatri begitu kuat dengan hati si ibu. Teringat pula saya pada seorang Ibu yang “sadis” kepada
anaknya. Hampir setiap hari si anak dipukul dengan bermacam-macam benda. Tapi hati yang
“virgin” tadi tidak mau tahu, Ibu tetaplah orang yang paling dicintainya. Ketika sang Ibu pergi,
tangisan yang dilantunkannya juga sama dengan tangisan anak yatim di atas yang hidup dengan
belaian Ibu penuh cinta. Wahai Ibu! Waktu akan cepat sekali berlalu, anakpun dengan cepat
bertambah usia. Hatinya tidak lagi “terkekang” oleh cinta seorang Ibu. Banyak “tawaran” cinta di
luar rumah yang akan didapatnya. Seorang anak akan mulai menerjemahkan cinta sesuai dengan
kebutuhannya. Bila cinta ibu kalah bersaing, tidak akan cukup air mata untuk mengembalikannya
ke dalam pelukan.
Saya teringat kisah nyata yang ditulis oleh seorang Ibu (sebagai ibrah). Karena karir, si
Ibu lalai memperhatikan anaknya yang beranjak dewasa. Si Mbok, pembantu yang setia dengan
cinta polosnya telah mengisi seluruh ruang batin puterinya, hingga tiap lembar diary sang puteri
hanya bercerita tentang si mbok, tidak selembarpun tersisa untuk menulis kenangan bersama sang
Ibu. Ketika si mbok harus menghadap Rabb-Nya, si anak tidak siap, overdosis! (cinta “putaw”
mengalahkan cinta Ibu). Puterinya itupun “pergi’ dalam kerinduan terhadap cinta si mbok,
sementara sang ayah stroke karena tidak bisa menerima kenyataan. Innaalillaahi. Ada juga ibu
yang baru merasa kehilangan ketika seorang anak sudah tidak bisa dipisahkan dengan kekasihnya
yang beda agama hingga “kawin lari” pun menjadi pilihan. Kebersamaan dengan seorang Ibu
tidak meninggalkan kesan apa-apa. Na’uzubillahi min zalik.
Dan mungkin banyak kisah ratapan anak-anak lainnya yang begitu rindu dibelai oleh jari
jemari ibu. Wallaahu a’lam.
Betapa berat amanah yang dipikul oleh seorang Ibu hingga Allah pun bersedia
“meletakkan” sorga-Nya di bawah telapak kaki Ibu. Kisah kepahlawan seorang Ibu pun menjadi
perhatian penting dalam tapak sejarah, seperti Al-Khansa yang sanggup memotivasi dan
menghantarkan putra-putranya mati syahid atau Siti Asiah isteri Fir’aun yang menerjemahkan
kasih sayangnya dengan membawa putra-putranya “ikut” bersama menemui Khalik demi
mempertahankan keimanannya. Saya optimis! Masih banyak ibu-ibu di jaman sekarang yang
tidak rela mengurangi kehormatan sorga di bawah telapak kakinya. Wallaahu a’lam.
Hati-hati Terintip Si Buyung dan Si Upik!

eramuslim - “Hati-hati jika anda ingin melakukan aktivitas spesial dengan isteri anda!” Itu
nasehat seorang ustadz dalam pengajian di suatu majelis taklim. Mereka yang hadir umumnya
pasangan suami isteri (pasutri) muda, yang saat itu sedang menyimak materi tentang masalah-
masalah keluarga. Sang Ustadz sengaja menyoroti masalah itu, lantaran menurutnya, masih
banyak para pasutri yang kurang hati-hati ketika hendak bermesraan dengan pasangannya di
rumah. Sehingga disadari atau tidak, tak jarang adegan “orang dewasa” mereka, terintip oleh
anak-anak mereka yang sudah memiliki nalar cukup baik.
Urusan bermesra-mesraan dengan istri atau suami kita di dalam rumah, memang bukan
sesuatu yang terlarang. Bahkan Islam memandang hal itu sebagai ibadah yang bernilai tinggi di
sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya saja persoalannya, kapan “ibadah spesial” itu dilakukan. Artinya
apakah tempat dan waktunya cukup aman dari pendengaran dan penglihatan anggota keluarga
kita yang lain, terutama si buyung atau si upik yang usianya sudah mencapai usia 10 tahun?
Islam mengingatkan para pasutri untuk berhati-hati memperlihatkan atau mengisyaratkan,
baik lewat visual maupun ucapan yang berkonotasi pada aktivitas seksual, walaupun di dalam
rumah. Bila anak-anak di bawah umur tanpa sengaja melihat atau mendengar adegan atau suara
“aneh” dari kamar orangtua mereka, tentu akan menimbulkan fantasi macam-macam dalam benak
mereka. Ini tentunya beresiko. Bukan hanya anak-anak kemungkinan bisa tumbuh lebih “matang”
dari usia yang sebenarnya. Tapi yang dikhawatirkan adalah, anak-anak itu akan mencoba-coba
mengikuti atau bertingkah laku seperti apa yang ada dalam fantasinya.
Karena itulah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam (SAW) mengajarkan kita untuk
memprotek anak-anak dari kemungkinan berbuat tidak senonoh lantaran terstimulan oleh
penampilan kita, gambar, atau film-film berkonotasi seks. Nabi SAW dalam sebuah haditsnya
mengingatkan;
”Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan sholat di kala mereka berumur tujuh tahun,
dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya di kala mereka berumur 10 tahun. Dan
pisahkanlah tempat tidurnya." (h.r Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad hasan shahih atau
hasan).
Pada hadits lain Rasulullah saw bersabda;
”Pukullah anak-anak karena meninggalkan shalat pada usia tujuh tahun. Pisahkanlah
tempat tidurnya pada usia sembilan tahun. Dan kawinkanlah pada usia 17 tahun jika
memungkinkan.”
Memisah tidur anak-anak yang telah berusia 9-10 tahun sebagaimana diperintah hadist di
atas, itu penting. Hal ini menegaskan, betapa Islam mengisolir seketat-ketatnya anak-anak dari
rangsangan atau fantasi-fantasi seksual. Baik itu yang diperlihatkan melalui media, maupun
perilaku orangtua mereka sendiri.
Peringatan Nabi saw tersebut, harus dijaga kuat. Sebab pelanggaran terhadap ketentuan
tersebut, akan sangat beresiko. Penyimpangan perilaku seksual bisa terjadi pada diri anak. Bentuk
penyimpangan itu bisa secara nyata, misalnya dorongan untuk melakukan hubungan seksual
dengan teman bermain, binatang, atau boneka. Bisa dalam bentuk perilaku-perilaku agresif, misal
berkelahi atau menunjukkan keberanian meminum minuman keras di hadapan lawan jenisnya.
Kasus yang pernah terjadi di Surabaya beberapa tahun lalu, yakni seorang anak usia
belasan tahun yang memperkosa ibu kandungnya, bisa dipahami melalui hadits ini. Demikian
juga kejahatan-kejahatan seksual atau perbuatan asusila oleh remaja yang marak akhir-akhir ini,
kiranya bisa menjadi parameter, sejauh mana kepedulian orangtua terhadap peringatan Nabi yang
ma’shum itu.
Usia 9 atau 10 tahun merupakan titik usia yang rawan. Seorang perempuan bisa mencapai
‘aqil baligh pada usia ini dengan ditandai adanya menarche. Sementara pada anak laki-laki, jika
kita menengok pada literatur, dua tahun berikutnya dia akan mengalami ihtilam (mimpi basah).
Tetapi, untuk masa sekarang, tampaknya seorang anak laki-laki tak perlu menunggu usia 11 atau
12 tahun untuk menjadi muhtalim (orang yang mengalami mimpi indah).
Pada masa ini, bayangan-bayangan seksual mulai kuat-kuatnya mengganggu pikiran
anak. Dalam diri mereka tumbuh dorongan yang meluap-luap untuk menyukai lawan jenisnya
dan cenderung akan bersikap mesra terhadap temannya. Di saat yang sama, lantaran dorongan
untuk mengalami kemesraan, ada jurang-jurang yang dapat menyimpangkan dorongan primitif
mereka. Sehingga mereka menyukai sesama jenis misalnya. Itulah, kenapa Nabi mulia melarang
anak tidur dalam satu sarung dengan sesama jenisnya.
Inilah masa anak-anak sedang bersemangat. Kemana semangat itu mengarah, sangat
tergantung dari apa yang hadir di dalam benaknya. Apakah yang masuk ke dalam pikirannya
berupa ajaran-ajaran suci Ilahi, atau justru iklan-iklan, filem, serta hiburan-hiburan cabul lainnya.
Termasuk dalam hal ini adalah lagu-lagu berisi syair berkonotasi cabul.
Para orangtua perlu merenungkan hal ini, ketika kian maraknya “kenakalan” anak-anak.
Termasuk juga kejahatan-kejahatan seksual yang mereka lakukan. Barangkali salah satu faktor
penyebabnya adalah, karena kelalaian kita. Karena kita tidak memperhatikan lingkungan mereka
di rumah, apalagi di luar. Sehingga anak-anak tumbuh berkembang sesuai dengan fantasi-fantasi
liar yang mengepung pikirannya. Na’udzu billah min dzalik. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla
melindungi kita dan anak-anak kita dari mata dan perbuatan jahat kaum pendosa.
Bunda, Buai Kami Dengan Cerita!

Di matamu mama ada bintang,


gemerlapan bila ku pandang
Di matamu mama ada kasih sayang
Yang selalu bersinar
tak pernah pudar
(sebuah lagu sewaktu saya masih kecil)
Aku akan mendengar bahasa jiwamu,
seperti pantai mendengarkan kisah gelombang
(Kahlil Gibran)
eramuslim - Anak adalah anugerah. Itulah mengapa seorang lelaki tegap tak mampu berkata-
kata, ketika sesosok bayi mungil diangsurkan pertama kali. Label ayah kemudian disandangnya,
bangga. Juga proses melahirkan yang teramat berat dialami sang ibu, pupus ketika memandang
geliat syahdu si kecil meski dengan kedua mata yang masih menutup karena belum perkasa
melihat benderang cahaya. Menjadi seorang bunda, adalah sebuah kebahagiaan.
Tetapi anak juga adalah amanah. Lahir ke dunia, anak ibarat sehelai kertas polos.
Terserah Ayah dan ibunya yang akan mengisi setiap lengangnya dengan apa. Namun yang pasti,
kewajiban mereka adalah mengukir jiwa sang anak untuk terus dalam fitrahnya. Adalah
kewajiban Orang tua untuk membentuk mereka menjadi manusia shaleh, cendikia, dan bertaqwa.
Dan mewujudkan itu semua, saya tahu tidaklah mudah. Tetapi, sesulit apapun berusahalah untuk
menjaga amanah indah itu, karena ketika anak kita shaleh, do'anya tidak akan dapat dihargakan
dengan segala benda termahal yang pernah ada di dunia.
Menghujamkan aqidah kepada anak, tidak semudah menanam pepohonan. Mengenalkan
Allah sang pencipta kepada si kecil, bukan perkara biasa saja. Apalagi mengajarkan mereka
dengan nilai-nilai islam. Tetapi saat masih kecillah, 'benih-benih' itu seharusnya disemaikan agar
mampu menjadi filter ampuh baginya kelak. Memang pada usia dini, membangun sebuah
pondasi, bisa dikatakan lebih mudah ketimbang memancangkannya di usia dewasa. Itu sudah
dibuktikan oleh para ahli. Saya hanya menuliskannya saja. Nah, ketika sang buah hati sudah
mengenal kosa kata, saat pendengarannya mampu memaknai apa yang kita ucap. Bersiaplah
untuk melakukan yang satu ini. Bercerita!
Saya tahu bercerita tidak hanya bisa dilakukan oleh ibu tapi juga ayah. Tapi, mungkin
karena pengalaman saya selama ini cenderung menyaksikan para ibu yang melakukan kegiatan
bercerita, maka saya mengkhususkannya untuk para ibunda. Biar lebih bisa mengalir, tentu saja.
Cerita, ternyata efektif membuat anak ingin tahu seperti apa kisah-kisah pesona di zaman
terbaik para nabi. Dengan kisah yang dituturkan, sungguh kita bisa memasukkan banyak nilai
yang akan mereka serap. Tanpa mereka merasa terbebani, tertekan apalagi menggurui, karena
cerita bagi mereka adalah hal yang mengasyikkan. Dan yang paling penting, lewat aktivitas ini,
ibunda dapat memasukkan banyak kegembiraan ke dalam hati si kecil.
Bercerita adalah sebuah seni, seni yang menyandarkan kepada kekuatan kata-kata yang
nantinya terangkai menjadi sebuah kisah yang berpelangi, tidak monoton. Dan yang harus
diperhatikan dalam bercerita selain ceritanya juga teknik menyampaikannya. Suara, ekspresi dan
juga situasi. Bahkan mungkin alat peraga seperti gambar, boneka atau benda lainnya dibutuhkan
untuk menjadikan cerita sebagai keasyikan bagi si anak. Hingga tujuan bercerita seperti
memberikan informasi, mengembangkan daya imajinasi, meluaskan wawasan, memperkenalkan
sebuah nilai, mengalirkan kasih sayang atau bahkan mata air ilmu dengan mudah dapat
diwujudkan.
Saya jadi terkenang dengan masa kecil. Beruntung mempunyai ibu yang koleksi ceritanya
banyak, cerita yang didapatinya dari Nenek. Setiap menjelang tidur, adalah saat yang dinanti.
Karena kami anak-anaknya bahkan anak tetangga akan menyimak ceritanya yang suatu waktu
bisa bersambung. Pernah giliran kisah seribu satu malam yang diceritakan, ibu hampir kewalahan
membuat kami tertidur, karena kami tidak rela beliau menyelesaikannya esok malam, kami
seperti raja Syahriar dan Doniazade yang penasaran kelanjutan kisahnya. Lewat cerita ibu, kami
tahu kalau Qabil dan Habil pernah berseteru.
Saya tahu Ismail itu putra nabi Ibrahim juga dari kisah yang dituturkan ibu. Kadang ibu
membuat kami terpingkal dengan kekonyolan Abu Nawas yang selalu memperdaya sang raja.
Bukan itu saja kami pernah menangis bersama, karena ibu begitu dramatis mengisahkan Umar
yang mengubur hidup-hidup putrinya semasa jahiliyah. Saya sampai tidak mau makan, bahkan
terjatuh di sawah ketika pulang sekolah karena terus membayangkan putri kecil itu. Tapi Ibu
memang hebat, malam berikutnya kami diajaknya kepada penyesalan Umar, keberaniannya
membela Nabi, betapa besar pengorbanannya ketika menjadi pemimpin dan keadilan Umar yang
tiada banding, membuat kami lupa kepada kebencian yang pernah tumbuh.
Saya tak akan pernah lupa binar matanya ketika bercerita. Sungguh saya akan terus
mengingat ekspresi penuh cinta ketika beliau bercerita, meski seharian lelah mengasuh sembilan
orang anak tanpa ada yang membantu. Saya juga pasti terkenang ketika ibu melompat seperti
kodok, erangan kesakitannya seperti saat buaya tertimpa pohon, ketika tangannya menggapai-
gapai hingga kami semua menepi ke dinding triplek karena takut penculik anak nakal, tertawa
menyeramkan ala nenek sihir, bahkan ibu bisa begitu berwibawa memerankan Dewi Sartika.
Suatu saat ibu sakit gigi, dan kami semua seperti melewati malam yang tak berujung tanpa
ceritanya.
Kami dihantarkan ke alam mimpi dengan mudah meski harus tidur berdesakan, karena
tidak ada lagi kamar. Ibu membuat malam-malam kami berwarna dengan kisah kura-kura dan
monyet yang mencuri cabai petani, atau cerita legenda batu menangis, kisah durhaka malin
kundang, Putri Cinderella yang baik hati, putri rambut merah yang disekap nenek sihir, ketabahan
Nabi Ayyub, kerakusan Qarun, kisah budak buncir yang hitam legam namun baik hati. Sungguh
masih banyak kisah yang saya simpan dari ibu yang mudah-mudahan kelak bisa juga saya
sampaikan kepada anak-anak saya.
Akhirnya, kepada para ibunda, perkenankan saya mewakili anak-anak mu untuk bertutur:
Ibunda, tataplah bening manik-manik mata milik kami. Pandangi wajah-wajah yang
belum terkontaminasi ini dengan penuh cinta. Hadirkan renda senyuman tulus itu, hingga kami
menganggapmu sebagai pelangi selepas hujan, atau purnama penuh dilangit malam. Ibunda,
remah waktu yang ada, sulaplah menjadi masa penuh kasih sayang dengan membuai kami lewat
kisah-kisah bermakna. Dari rangkaian kata-kata, sepuh hati kami dengan pesona akhlak nabi al-
Musthafa. Ajaklah kami menyelami keberanian para mujahid demi tegaknya izzah Islam, lewat
kisah teladan kepahlawanan.
Ibunda, jangan biarkan kami mengenyangkan hari dengan komik-komik Jepang yang
bergambar vulgar. Tolonglah kami menapaki hidup dengan tidak memamah waktu di depan
mesin play station atau televisi. Duhai ibunda, sayangi kami dengan menjadi seorang sahabat
sejati. Jangan hempaskan kami di sebuah zaman yang sungguh butuh penunjuk. Bekali kami
bunda, dengan agama. Buatlah hati kami selalu tertambat dengan keindahan Islam. Jangan
biarkan kami terserak dengan mencipta jarak. Sungguh bunda, saat kami tertatih melangkah, kami
membutuhkanmu sebagai pengarah. Bukankah kami rentan untuk tersandung? Bunda, yang kami
tahu engkau adalah madrasah pertama kami.
Ibunda, tak sabar kami menantimu, membuai kami dengan cerita, menghantar kami
menuju lelap. Dan kami akan memandang wajah rembulan bunda. Kami pasti menemukan
gemerlap bintang di mata bunda, dan kami akan selalu menjumpai tatapan kesayanganmu.
Silahkan bunda, buai kami dengan cerita....
Belajar Dari Totto Chan Dan Dulce Maria

eramuslim - Bagaimana perasaan kita saat menghadapi anak-anak yang tak pernah bisa diam,
suka berantem, ribut terus dan cerewet? Pastilah sebagian besar kita merasa jengkel, sebel dan
juga marah. Kepala serasa pecah dibuatnya. Demikian juga yang terjadi dengan anak-anak asuhan
saya di taman baca. Ketika mereka sedang berkumpul, membaca hanyalah salah satu kegiatan
yang mereka lakukan. Selebihnya adalah kreatifitas jahil khas anak-anak. Memanjat pagar,
memanjat tiang, berlari-larian keluar-masuk halaman, berantem, menyembunyikan sandal teman-
temannya, mencoret-coret, memukuli buku dan bangku dan tembok, juga ngobrol dengan
teriakan-teriakan.
Hal tersebut sering membuat penghuni rumah lainnya sebal karena merasa terganggu.
Pernah salah satu dari mereka berkomentar, “Saya suka anak-anak, tapi yang masih bayi, yang
lucu dan bisa diajak main. Kalau anak-anak yang suka main kesini, minta ampun deh”. Bahkan
diantara anak-anak sendiri banyak yang suka komentar, “Kak, kalau di sekolah si Ari ngelakuin
gitu tadi pasti udah dijewer sama Bu Guru. Kok, Kakak tahan aja sih?”
Anak yang baik adalah anak yang pinter, sopan, manis dan tidak banyak tingkah.
Menurut semua perkataan orang dewasa, tidak suka berbuat yang aneh-aneh dan tak suka bikin
ribut. Barangkali begitu pendapat orang dewasa tentang anak-anak, dan memang demikianlah
yang diidamkan oleh orang-orang dewasa terhadap anak-anaknya dan anak-anak di sekeliling
mereka. Padahal kalau kita mengingat kembali masa kecil kita dulu, bisa jadi kita pun sejahil dan
senakal mereka, bahkan mungkin lebih jahil dan lebih nakal. Coba kita ingat, betapa
menyenangkannya bermain lumpur, mandi di kali, memanjat pohon dan sejuta kenakalan kecil
kita lainnya yang kita perbuat sewaktu kecil.
Sayangnya memori kita terbatas hingga sebagian besarnya kita telah lupa. Dan akhirnya kita
menuntut anak-anak bersikap seperti orang dewasa dan memenuhi segala keinginan kita.
****
Anak-anak, betapa pun adalah tetap anak-anak. Mereka memiliki energi lebih dan
memiliki imajinasi serta kreatifitas yang kadang luar biasa dan di luar yang dipikirkan orang
dewasa. Mereka memiliki cara pandang yang berbeda dengan orang dewasa. Pemahaman inilah
yang membuat saya berusaha untuk menyikapi tingkah anak-anak dengan berempati terhadap
cara pandang dan perasaan anak-anak.
Suka nonton aksi Dulce Maria di telenovela Carita De Angel? Saya bisa menebak, kita
semua tidak pernah marah atau jengkel terhadap perilaku Dulce Maria. Di mata kita dia adalah
anak yang cerdik, kreatif dan penuh kasih sayang serta suka menolong. Tentu saja, karena kita
berada di luar arena, dan kita mengetahui jalan ceritanya serta apa saja yang dipikirkan oleh
Dulce Maria.
Nah, saya memanfaatkan tontonan tersebut untuk belajar cara menghadapi anak bandel
dan jahil, alih-alih sekedar menikmati jalannya cerita dan kelucuan si pipi tembem. Saya berusaha
keluar dari peran saya sebagai seseorang yang berhadapan dan terlibat langsung dengan anak
‘jahil’. Saya berimajinasi sedang menonton kenakalan tersebut seperti halnya kenakalan Dulce
Maria, sehingga saya berusaha menyelami pikiran dan perasaan kemudian berempati terhadap si
anak. Dengan demikian kita tidak langsung marah dulu, tapi berusaha ‘mengerti’, bisa jadi, si
pembuat onar tengah membuat lelucon atau kreatifitas atau punya maksud-maksud baik.
Kedua, saya belajar dari Kepala Sekolah Tomoe, tempat Totto Chan, si gadis kecil di tepi
jendela, belajar. Totto Chan, anak kelas satu SD, yang karena keaktifannya tidak bisa disiplin,
sering mengganggu teman hingga akhirnya dikeluarkan dari sekolah, bisa ‘takluk’ di hadapan Pak
Kobayashi, sang kepala sekolah. Pak Kobayashi mendengarkan Totto Chan bercerita dengan
empatik hingga empat jam. Pak Kobayashi tidak marah ketika menemukan Totto sedang
menguras isi WC untuk mencari barangnya yang hilang. Beliau hanya meminta Totto
mengembalikan lagi seperti semula setelah Totto menyelesaikan urusannya. Pak Kobayashi selalu
bilang bahwa sesungguhnya Totto adalah anak baik, sehingga Totto percaya dan berusaha
menjadi anak baik meskipun pernah dikeluarkan dari sekolah.
Semoga, dengan belajar dari mereka, saya, kita, bisa menjadi teman bagi anak-anak kita dan
semua anak di sekeliling kita. Dengan begitu, mereka akan menaruh kepercayaan, hormat dan
berusaha menjadi baik tanpa paksaan, sekaligus energi dan kreatifitas mereka tetap tersalurkan.
Mendayunglah Kalian Hingga ke Tepian...

Dimanapun engkau,
Dan dalam keadaan apapun,
Berusahalah dengan sungguh-sungguh
Tuk menjadi seorang pencinta

Tatkala cinta benar-benar tiba


Dan menyelimutimu
Maka selamanya kau akan menjadi seorang pencinta.
(Kearifan cinta, Jalaluddin Rumi)

eramuslim - Ketika melihat pasangan yang baru menikah, saya suka tersenyum. Bukan apa-apa,
saya hanya ikut merasakan kebahagiaan yang berbinar spontan dari wajah-wajah syahdu mereka.
Tangan yang saling berkaitan ketika berjalan, tatapan-tatapan penuh makna, bahkan sirat
keengganan saat hendak berpisah. Seorang sahabat yang tadinya mahal tersenyum, setelah
menikah senyumnya selalu saja mengembang. Ketika saya tanyakan mengapa, singkat dia berujar
"Menikahlah! Nanti juga tahu sendiri". Aih...
Menikah adalah sunnah terbaik dari sunnah yang baik itu yang saya baca dalam sebuah
buku pernikahan. Jadi ketika seseorang menikah, sungguh ia telah menjalankan sebuah sunnah
yang di sukai Nabi. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa Allah hanya menyebut nabi-nabi yang
menikah dalam kitab-Nya. Hal ini menunjukkan betapa Allah menunjukkan keutamaan
pernikahan. Dalam firmannya, "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya,
dan Dia menjadikan rasa kasih sayang diantaramu. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kalian yang berfikir." (QS. Ar-Rum: 21).
Menikah itu Subhanallah indah, kata Almarhum ayah saya dan hanya bisa dirasakan oleh
yang sudah menjalaninya. Ketika sudah menikah, semuanya menjadi begitu jelas, alur ibadah
suami dan istri. Beliau mengibaratkan ketika seseorang baru menikah dunia menjadi terang
benderang, saat itu kicauan burung terdengar begitu merdu. Sepoi angin dimaknai begitu dalam,
makanan yang terhidang selalu saja disantap lezat. Mendung di langit bukan masalah besar.
Seolah dunia milik mereka saja, mengapa? karena semuanya dinikmati berdua. Hidup seperti
seolah baru dimulai, sejarah keluarga baru saja disusun.

Namun sayang tambahnya, semua itu lambat laun menguap ke angkasa membumbung
atau raib ditelan dalamnya bumi. Entahlah saat itu cinta mereka berpendar ke mana. Seiring detik
yang berloncatan, seolah cinta mereka juga. Banyak dari pasangan yang akhirnya tidak sampai ke
tujuan, tak terhitung pasangan yang terburai kehilangan pegangan, selanjutnya perahu mereka
karam sebelum sempat berlabuh di tepian. Bercerai, sebuah amalan yang diperbolehkan tapi
sangat dibenci Allah.
Ketika Allah menjalinkan perasaan cinta diantara suami istri, sungguh itu adalah
anugerah bertubi yang harus disyukuri. Karena cinta istri kepada suami berbuah ketaatan untuk
selalu menjaga kehormatan diri dan keluarga. Dan cinta suami kepada istri menetaskan keinginan
melindungi dan membimbingnya sepenuh hati. Lanjutnya kemudian.
Saya jadi ingat, saat itu seorang istri memarahi suaminya habis-habisan, saya yang berada
di sana merasa iba melihat sang suami yang terdiam. Padahal ia baru saja pulang kantor, peluh
masih membasah, kesegaran pada saat pergi sama sekali tidak nampak, kelelahan begitu lekat di
wajah.
Hanya karena masalah kecil, emosi istri meledak begitu hebat. Saya kira akan terjadi
"perang" hingga bermaksud mengajak anak-anak main di belakang. Tapi ternyata di luar dugaan,
suami malah mendaratkan sun sayang penuh mesra di kening sang istri. Istrinya yang sedang
berapi-api pun padam, senyum malu-malunya mengembang kemudian dan merdu suaranya
bertutur "Maafkan Mama ya Pa..". Gegas ia raih tangan suami dan mendekatkannya juga ke
kening, rutinitasnya setiap kali suaminya datang.
Jauh setelah kejadian itu, saya bertanya pada sang suami kenapa ia berbuat demikian.
"Saya mencintainya, karena ia istri yang dianugerahkan Allah, karena ia ibu dari anak-anak. Yah
karena saya mencintainya" demikian jawabannya.
Ibn Qayyim Al-Jauziah seorang ulama besar, menyebutkan bahwa cinta mempunyai
tanda-tanda. Pertama, ketika mereka saling mencintai maka sekali saja mereka tidak akan pernah
saling mengkhianati, Mereka akan saling setia senantiasa, memberikan semua komitmen mereka.
Kedua, ketika seseorang mencintai, maka dia akan mengutamakan yang dicintainya, seorang istri
akan mengutamakan suami dalam keluarga, dan seorang suami tentu saja akan mengutamakan
istri dalam hal perlindungan dan nafkahnya. Mereka akan sama-sama saling mengutamakan, tidak
ada yang merasa superior. Ketiga, ketika mereka saling mencintai maka sedetikpun mereka tidak
akan mau berpisah, lubuk hatinya selalu saling terpaut. Meskipun secara fisik berjauhan, hati
mereka seolah selalu tersambung. Ada do'a istrinya agar suami selamat dalam perjalanan dan
memperoleh sukses dalam pekerjaan. Ada tengadah jemari istri kepada Allahi supaya suami
selalu dalam perlindunganNya, tidak tergelincir. Juga ada ingatan suami yang sedang
membanting tulang meraup nafkah halal kepada istri tercinta, sedang apakah gerangan Istrinya,
lebih semangatlah ia.
Saudaraku, ketika segala sesuatunya berjalan begitu rumit dalam sebuah rumah tangga,
saat-saat cinta tidak lagi menggunung dan menghilang seiring persoalan yang datang silih
berganti. Perkenankan saya mengingatkan lagi sebuah hadist nabi. Ada baiknya para istri dan
suami menyelami bulir-bulir nasehat berharga dari Nabi Muhammad. Salah satu wasiat
Rasulullah yang diucapkannya pada saat-saat terakhir kehidupannya dalam peristiwa haji wada':
"Barang siapa -diantara para suami- bersabar atas perilaku buruk dari istrinya, maka Allah
akan memberinya pahala seperti yang Allah berikan kepada Ayyub atas kesabarannya
menanggung penderitaan. Dan barang siapa -diantara para istri- bersabar atas perilaku buruk
suaminya, maka Allah akan memberinya pahala seperti yang Allah berikan kepada Asiah, istri
fir'aun" (HR Nasa-iy dan Ibnu Majah ).
Kepada saudaraku yang baru saja menggenapkan setengah dien, Tak ada salahnya juga
untuk saudaraku yang sudah lama mencicipi asam garamnya pernikahan, Patrikan firman Allah
dalam ingatan : "...Mereka (para istri) adalah pakaian bagi kalian (para suami) dan kalian
adalah pakaian bagi mereka..." (QS. Al-Baqarah:187)
Torehkan hadist ini dalam benak : "Sesungguhnya ketika seorang suami memperhatikan
istrinya dan begitu pula dengan istrinya, maka Allah memperhatikan mereka dengan penuh
rahmat, manakala suaminya merengkuh telapak tangan istrinya dengan mesra, berguguranlah
dosa-dosa suami istri itu dari sela jemarinya" (Diriwayatkan Maisarah bin Ali dari Ar-Rafi' dari
Abu Sa'id Alkhudzri r.a)
Kepada sahabat yang baru saja membingkai sebuah keluarga, Kepada para pasutri yang
usia rumah tangganya tidak lagi seumur jagung, Ingatlah ketika suami mengharapkan istri
berperilaku seperti Khadijah istri Nabi, maka suami juga harus meniru perlakukan Nabi
Muhammad kepada para Istrinya. Begitu juga sebaliknya.
Perempuan yang paling mempesona adalah istri yang shalehah, istri yang ketika suami
memandangnya pasti menyejukkan mata, ketika suaminya menuntunnya kepada kebaikan maka
dengan sepenuh hati dia akan mentaatinya, jua tatkala suami pergi maka dia akan amanah
menjaga harta dan kehormatannya. Istri yang tidak silau dengan gemerlap dunia melainkan istri
yang selalu bergegas merengkuh setiap kemilau ridha suami.
Lelaki yang berpredikat lelaki terbaik adalah suami yang memuliakan istrinya. Suami
yang selalu dan selalu mengukirkan senyuman di wajah istrinya. Suami yang menjadi qawwam
istrinya. Suami yang begitu tangguh mencarikan nafkah halal untuk keluarga. Suami yang tak
lelah berlemah lembut mengingatkan kesalahan istrinya. Suami yang menjadi seorang nahkoda
kapal keluarga, mengarungi samudera agar selamat menuju tepian hakiki "Surga". Dia memegang
teguh firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka..." (QS. At-Tahrim: 6)
Akhirnya, semuanya mudah-mudah tetap berjalan dengan semestinya. Semua berlaku
sama seperti permulaan. Tidak kurang, tidak juga berlebihan. Meski riak-riak gelombang
mengombang-ambing perahu yang sedang dikayuh, atau karang begitu gigih berdiri menghalangi
biduk untuk sampai ketepian. Karakter suami istri demikian, Insya Allah dapat melaluinya
dengan hasil baik. Sehingga setiap butir hari yang bergulir akan tetap indah, fajar di ufuk selalu
saja tampak merekah. Keduanya menghiasi masa dengan kesyukuran, keduanya berbahtera
dengan bekal cinta. Sama seperti syair yang digaungkan Gibran,
Bangun di fajar subuh dengan hati seringan awan
Mensyukuri hari baru penuh sinar kecintaan
Istirahat di terik siang merenungkan puncak getaran cinta
Pulang di kala senja dengan syukur penuh di rongga dada
Kemudian terlena dengan doa bagi yang tercinta dalam sanubari
Dan sebuah nyanyian kesyukuran tersungging di bibir senyuman
Semoga Allah selalu menghimpunkan kalian (yang saling mencintai karena Allah dalam
ikatan halal pernikahan) dalam kebaikan. Mudah-mudahan Allah yang maha lembut
melimpahkan kepada kalian bening saripati cinta, cinta yang menghangati nafas keluarga, cinta
yang menyelamatkan. Semoga Allah memampukan kalian membingkai keluarga sakinah,
mawaddah, warrahmah. Semoga Allah mematrikan helai keikhlasan di setiap gerak dalam
keluarga. Jua Allah yang maha menetapkan, mengekalkan ikatan pernikahan tidak hanya di dunia
yang serba fana tapi sampai ke sana, the real world "Akhirat". Mudah-mudahan kalian selamat
mendayung sampai ketepian. Allahumma Aamiin.
Barakallahu, untuk para pengantin muda. Mudah-mudahan saya mampu mengikuti tapak
kalian yang begitu berani mengambil sebuah keputusan besar, yang begitu nyata menandakan
ketaqwaan kepada Allah serta ketaatan kepada sunnah Rasul Pilihan. Mudah-mudahan jika giliran
saya tiba, tak perlu lagi saya bertanya mengapa teman saya menjadi begitu murah senyum.
Karena mungkin saya sudah mampu menemukan jawabannya sendiri.
Poligami Dari Berbagai Sisi

eramuslim - "Dan jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak (perempuan)
yatim maka kawinlah dengan perempuan yang menyenangkan hatimu dua dan tiga dan empat.
Jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil, maka kawinilah seorang saja, atau ambillah budak
perempuan kamu. Demikian ini agar kamu lebih dekat agar tidak melanggar yang benar." (QS.
4:3).
Sebab Turunnya Ayat
Bukhari, Abu Daud, Nasa'i dan Tirmizi dari Urwah bin Zubair, bahwa ia bertanya kepada
Aisyah, istri Nabi Saw tentang ayat-ayat tersebut lalu jawabnya: "Wahai anak saudara
perempuanku, yatim disini maksudnya adalah anak perempuan yatim yang ada dibawah asuhan
walinya punya harta kekayaan bercampur dengan harta kekayaannya, dan hartanya serta
kecantikannya membuat pengasuh anak yatim ini senang padanya lalu ia ingin menjadikan
perempuan yatim ini sebagai istrinya, tapi tidak mau memberi mas kawin kepadanya dengan adil,
yaitu memberikan mas kawin yang sama dengan mas kawin yang diberikan kepada perempuan
lain. Maka pengasuh anak yatim seperti ini dilarang mengawini mereka kecuali mau berlaku adil.
Jika tidak dapat berlaku adil, mereka disuruh kawin dengan perempuan lain yang disenanginya.
(Sabiq, Sayyid, 1978:166).
Tentang Adil
Allah Ta'ala MEMBOLEHKAN poligami dengan batasan sampai 4 orang istri saja dan
MEWAJIBKAN berlaku adil kepada mereka dalam urusan makan, tempat tinggal, pakaian, atau
segala sesuatu yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang kaya atau miskin dari
asal keturunan tinggi maupun rendah.
Bila suami khawatir berbuat zalim dan tidak dapat memenuhi semua hak-hak mereka,
maka diharamkan berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhinya hanya tiga orang istri, maka
haram beristri empat. Jika ia hanya sanggup beristri dua, maka haram baginya mempunyai tiga
istri. Demikian seterusnya. (Sabiq, Sayyid, 1978:171)
Dari Abu Hurairah Nabi Saw bersabda: "Barang siapa punya dua istri lalu memberatkan
salah satunya, maka ia akan datang di hari kiamat dengan bahunya miring". (HR. Abu Daud,
Tirmizi, Nasa'i dan Ibnu Majah)
Firman Allah: "Dan tidaklah kamu sanggup berlaku adil kepada istri-istrimu sekalipun
kamu sangat menghendakinya. Karena itu janganlah kamu miring semiring-miringnya kepada
salah seorang istrimu, sedangkan yang lain kau biarkan ibarat barang tergantung." (QS 4:129)
Muhammad bin Sirrin berkata: Saya telah menanyakan soal ayat ini kepada Ubaidah.
Jawabnya: Yaitu dalam cinta dan bersetubuh. (Sabiq, Sayyid, 1978:173).
Aisyah berkata: Rasulullah selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil. Dan
beliau pernah berdoa: "Ya Allah, Ini bagianku yang dapat kukerjakan. Karena itu janganlah
Engkau mencelaku tentang apa yang Engkau kuasai sedang aku tidak menguasainya." Kata Abu
Daud: Yang dimaksud dengan Engkau kuasai tetapi aku tidak kuasai yaitu "hati". (HR. Abu
Daud, Tirmizi, Nasa'i dan Ibnu Majah)
Hak Perempuan
Islam juga memberikan perempuan atau walinya untuk mensyaratkan kepada suaminya
agar dia tidak dimadu. Jika syarat yang diberikan oleh istri ini dilakukan ketika ijab qabul maka
syarat ini sah dan mengikat, sehingga ia berhak membatalkan perkawinannya jika syarat ini tidak
dipenuhi suaminya. Namun hak membatalkan perkawinan ini hilang jika ia rela akan pelanggaran
suaminya. Demikian pendapat Imam Ahmad dan dikuatkan Ibnu Taimiyah dan Ibul Qayyim.
(Sabiq, Sayyid, 1978:175)
Fakta-fakta yang patut dipertimbangkan:
1. Ketimpangan jumlah antara perempuan dan laki-laki
Di AS jumlah perempuan 8x lebih banyak dari laki-laki. Di Guinea ada 122
perempuan untuk 100 laki-laki. Setelah PD II, di Jerman jumlah perempuan adalah 7,3
juta lebih banyak dari laki-laki (3,3 jutanya adalah janda). Banyak dari perempuan-
perempuan itu yang membutuhkan laki-laki bukan hanya sebagai pendamping tapi juga
sebagai pemberi nafkah keluarga. Pasukan Sekutu (AS-Inggris) banyak yang memberikan
perempuan-perempuan itu rokok, cokelat dan roti sebagai imbalan dari hubungan intim
yang diberikan. Seorang anak berumur 10 tahun pada saat mendengar adanya pemberian
semacam itu berharap ibunya bisa mendapatkan laki-laki diantara pasukan sekutu itu
supaya mereka tidak kelaparan lagi (Frevert, 1998:263-264).
Di AS ada krisis gender pada masyarakat kulit hitam. 1 dari 20 pria kulit hitam
meninggal dunia sebelum berumur 21 tahun. Bagi yang berumur 20-35, penyebab
kematian utama adalah pembunuhan. (Hare dan Here, 1989:25). Disamping itu banyak
laki-laki kulit hitam yang tidak punya pekerjaan, dipenjara atau kecanduan obat (Harrre
dan Here, 1989:26). Akibatnya 1 dari 4 perempuan kulit hitam, pada umur 40 tidak
pernah menikah, dan pada perempuan kulit putih terdapat 1 dari 10 perempuan tidak
pernah menikah pada usia yang sama (Kilbridge, 1994:94). Banyak perempuan kulit
hitam menjadi single mother sebelum usia 20 th. Akibat ketimpangan dalam man-
sharing, perempuan-perempuan ini banyak yang kemudian menjalin hubungan selingkuh
dengan laki-laki yang sudah menikah (Kilbridge, 1994:95).
Jadi, sebetulnya mana yang lebih baik menjadi istri kedua (ketiga atau keempat)
yang sah dimata manusia dan Allah, atau "prostitusi terselubung" seperti yang dilakukan
pasukan Sekutu (yang sebetulnya di masyarakat kita juga mulai 'membudaya'?)

2. Praktek poligami
Sejak zaman dahulu pria ber-poligami. Para nabi juga, contohnya nabi Ibrahim.
Para Raja, contoh terdekat raja-raja di Jawa. Jadi sebetulnya poligami itu bukan hal yang
aneh, tapi memang tidak semua laki-laki mampu untuk poligami.
Banyak perempuan muda Afrika, baik Islam maupun Kristen, lebih suka dinikahi
laki-laki yang sudah menikah karena telah terbukti dapat bertanggung jawab. Sebuah
penelitian terhadap perempuan berumur 15-59 tahun, yang dilakukan di kota terbesar
kedua di Nigeria menunjukkan bahwa 60% perempuan akan senang kalau suami mereka
beristri lagi. Hanya 23% yang mengungkapkan tidak suka ide poligami. Penelitian di
Kenya menyatakan 76% perempuan melihat poligami itu positif. Penelitian di pedesaan
Kenya menunjukkan 25 dari 27 perempuan menganggap poligami lebih baik dari
monogamy. Perempuan-perempuan itu menganggap poligami dapat menguntungkan jika
istri-istri itu bekerjasama satu sama lain (Kilbridge 1994:108-109).
3. Setuju pada poligami
Dr. M. Yusuf Musa berkata: Saya mengikuti Konferensi Pemuda Internasional di
Munich, Jerman Barat, 1948 dan membahas persoalan ketidakseimbangan jumlah
perempuan dan laki-laki. Usulan poligami pada awalnya tidak disetujui. Namun setelah
dikaji lebih mendalam, peserta sependapat bahwa poigami adalah solusi. Akhirnya
poligami dimasukkan sebagai salah satu rekomendasi pesrta konferensi. Tahun 1949 saya
mendengar nahwa penduduk kota Bonn ibukota Jerman Barat menuntut agar dalam
undang-undang negara dituangkan ketentuan yang membolehkan poligami. (Sabiq,
1978:191)
Pada diskusi panel di Temple University, Philadelphia, 27 Januari 1993,
dibicarakan tentang man-sharing/satu laki-laki untuk beberapa wanita (Kilbridge,
1994:95-99). Sebagian pembicara menganjurkan poligami sebagai pemecahan masalah.
Tahun 1987, sebuah polling yang dilakukan koran mahasiswa Universitas
California di Berkeley menanyakan para mahasiswa apakah setuju jika laki-laki
diperbolehkan secara hukum untuk memiliki lebih dari 1 istri untuk mengatasi
keterbatasan jumlah calon pengantin laki-laki di California. Hampir seluruh mahasiswa
yang mengikuti polling setuju. Salah seorang mahasiswa perempuan mengatakan bahwa
perkawinan poligami akan memenuhi kebutuhan emosi dan fisiknya di samping
memberikan kebebasan yang lebih besar daripada perkawinan monogamy (Lang,
1994:172). Argumen yang sama dikemukakan perempuan Mormon fundamentalis yang
menjalani poligami di AS. Mereka yakin poligami cara yang ideal bagi perempuan untuk
memiliki karir dan anak-anak karena istri-istri itu dapat saling membantu dalam
mengurus anak-anak (Kilbridge, 1994:72-73).
Poligami dalam Islam adalah persoalan kesepakatan bersama. Tidak seorang pun
yang dapat memaksa perempuan untuk menikah dengan orang yang sudah menikah.
Seorang istri juga berhak untuk membuat persyaratan bahwa suaminya tidak boleh
memiliki perempuan lain sebagai istri kedua (Sabiq, 1994:187-188).
Ada hal yang patut kita cermati dari kata-kata Billy Graham, seorang penginjil
Kristen: "Ajaran Kristen tidak kompromi pada persoalan poligami. Islam telah
mengijinkan poligami sebagai jalan keluar untuk mengatasi penyakit-penyakit
masyarakat dan telah membolehkan dengan sewajarnya pada naluri manusia, tetapi dalam
kerangka hukum yang diatur ketat. Negara-negara Kristen mempromosikan monogami
besar-besaran, tapi kenyataannya mereka sebetulnya poligami. Setiap orang tahu
permainan 'wanita simpanan' dalam masyarakat Barat. Islam merupakan agama yang
sangat jujur dan memperbolehkan muslim untuk menikahi perempuan lain jika dia
terpaksa, tapi Islam melarang dengan ketat semua bentuk percintaan terselubung untuk
menyelamatkan integritas moral masyarakat". (Doi, 1994:76).
Kalau nonmuslim saja bisa melihat ke-tawadzun-an dalam masalah poligami ini,
kenapa kita masih ribut? Bukankah ini bukti luarbiasanya dan sempurnanya Islam? Islam
MEMBOLEHKAN poligami, dalam beberapa kasus diatas bahkan bisa jadi SOLUSI.
Hukum menikah ada beberapa, bisa jadi WAJIB, MUBAH, MAKRUH, bahkan
HARAM. Dilihat kasus per kasus. Poligami juga, tergantung setiap keluarga yang
menjalaninya.
4. Hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan
a. Adakalanya istri mandul atau menderita sakit yang tak ada harapan sembuh,
padahal suami ingin mempunyai anak. Dengan keadaan seperti ini apakah lebih
baik suaminya dibiarkan menderita karena kondisi istrinya dan ditimpakan
seluruh penderitaan tadi kepada suaminya seorang, atau dipandang lebih baik
istrinya diceraikan saja dan menderita dengan perceraian itu, padahal ia masih
menginginkan hidup berdampingan dengan suaminya? Ataukah lebih baik
poligami sebagai suatu alternatif yang cukup win-win solution?
b. Kesanggupan laki-laki untuk berketurunan lebih besar dari perempuan.
Kesanggupan perempuan untuk mempuanyai anak berakhir sekitar usia 45-50
tahun, sedang laki-laki sampai dengan lebih dari 60 tahun.
c. Ada segolongan laki-laki yang mempunyai dorongan seksual sangat besar
sehingga tidak puas dengan seorang istri saja. Maka itu poligami bisa menjadi
alternatif pemecahan.
d. Terhindar dari lahirnya anak-anak di luar pernikahan. Menteri Kesehatan,
Pendidikan dan Sosial Amerika Serikat mencatat biaya yang ditanggung
pembayar pajak untuk anak-anak tidak sah adalah US $ 210 juta di tahun 1959
untuk sekitar 205 ribu anak. (Sabiq, Sayyid 1978:185-186)
Sebagai penegasan dan kesimpulan semoga kita sepakat bahwa: Merupakan
karunia dan rahmat Allah yang menjadikan poligami bukan wajib dan bukan
sunnat, tapi DIBOLEHKAN dan dibatasi hingga empat saja. (Sabiq, Sayyid
1978:179). Selain hak suami untuk beristri sampai empat, istri juga berhak saat
ijab qobul meminta untuk tidak dimadu. Subhanallah, betapa luar biasa adilnya
Allah dalam mengatur masalah ini.
Dengan paparan ini, harapan kecil saya adalah adalah:
1. Yang sekaum dengan saya jangan langsung alergi ketika berbicara poligami atau berkata
"Tidaaaaakkkkkkkkkk!!!" kepada suami saat suami mengutarakan keinginannya untuk
poligami.
2. Bagi kaum Adam, tolong jangan mengatakan ini sunnah Nabi, dengan demikian harus
diikuti, seperti sunnah-sunnah Nabi yang lain. Tolong jangan mengikuti hawa nafsu dan
berlindung dibalik ayat.
3. Tidak perlu berbeda pendapat tentang poligami, karena ini adalah hak masing-masing
pasangan, yang kondisinya bisa berbeda-beda. Bisa jadi bagi seseorang poligami adalah
suatu solusi, dan bagi orang yang lain adalah petaka.

You might also like