Professional Documents
Culture Documents
SKENARIO 1
PENCABUTAN GIGI RAHANG ATAS
Kelompok 3
Ketua
(1112012039)
Sekretaris
(1112012024)
Anggota
: Arman Adrian
(1112012006)
Mazaya haekal
Risa Sasmita
Widhazwari Yuzmal Pratiwi
Merina Ekarachmi M
(1112012018)
(1112012030)
(1112012038)
(1112012040)
FAKULTAS KEDOKTERAN
PRODI KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS YARSI
1
2014
DAFTAR ISI
Daftar isi . i
Mencari kata-kata sulit... ii
Pertanyaan ... iii
Hipotesis .... v
Skenario 1 ...... vi
Sasaran belajar ..... vii
LI.1 Memahami & menjelaskan anatomi persarafan gigi 26 .. 1
LI.2 Memahami & menjelaskan anestesi lokal pada gigi 26 ... 2
LO.2.1 Memahami & menjelaskan definisi anestesi lokal .. 2
LO.2.2 Memahami & menjelaskan indikasi dan kontraindikasi anestesi lokal pada gigi 26
. 2
LO.2.3 Memahami & menjelaskan teknik anestesi lokal pada gigi 26 ... 3
LO.2.4 Memahami & menjelaskan instrument anestesi lokal pada gigi 26 4
LO.2.5 Memahami & menjelaskan cara anestesi lokal pada gigi 26 11
LO.2.6 Memahami & menjelaskan komplikasi anestesi lokal pada gigi 26 . 12
LI.3 Memahami & menjelaskan pencabutan gigi 26 .. 18
LO.3.1 Memahami & menjelaskan definisi pencabutan gigi . 18
LO.3.2 Memahami & menjelaskan indikasi & kontraindikasi pencabutan gigi 26.... 19
LO.3.3 Memahami & menjelaskan teknik pencabutan gigi 26 .. 23
LO.3.4 Memahami & menjelaskan instrument pencabutan gigi 26 ... 25
LO.3.5 Memahami & menjelaskan cara pencabutan gigi 26 . 29
LO.3.6 Memahami & menjelaskan komplikasi pencabutan gigi 26 .. 30
LO.3.7 Memahami & menjelaskan pasca pencabutan gigi 26 ... 37
Daftar Pustaka....... 39
KATA-KATA SULIT
1.
Karies profunda
2.
Cabut gigi
PERTANYAAN
1.
Mengapa semua pemeriksaan vitalitas pada pasien negatif?
2.
Apa dampak dari pencabutan gigi 26?
3.
Indikasi dan kontraindikasi pencabutan gigi?
4.
Instrumen apa saja yang digunakan pada pencabutan gigi 26?
5.
Teknik anestesi apa yang dilakukan pada pencabutan gigi 26?
JAWABAN
1.
Semua pemeriksaan vitalitas pada pasien negatif disebabkan karena karies profunda pada
gigi 26 sudah mengenai pulpa dan mengakibatkan nekrosis.
2. Dampak dari pencabutan gigi 26:
Mengakibatkan gigi 27 bergeser ke arah mesial,
Gigi 36 ekstruksi
3. Indikasi pencabutan gigi:
Gigi impaksi,
Gigi karies yang sangat besar atau nekrosis,
Supernumerary teeth,
Gigi dengan kista dan tumor,
Keperluan prosthodonti,
Keperluan orthodonti,
Akar gigi yang patah > 1/3 akar,
Gigi yang berada pada garis fraktur.
Kontraindikasi pencabutan gigi:
Infeksi peradangan akut lokal,
Penyakit tumor ganas,
Penderita penyakit jantung, hipertensi, dan diabetes mellitus tidak terkontrol,
Penderita trombositopenia, leukemia, hemofilia, dan kaheksi,
Gigi pada area yang pernah mengalami radiasi,
Hyperthyroidsm,
Kehamilan.
4.
Kaca mulut
5.
Teknik anestesi yang dilakukan pada pencabutan gigi 26 adalah teknik infiltrasi pada:
n. Alveolaris superior media, untuk akar mesial
n. Alveolaris superior posterior, untuk akar distal
n. Palatinus mayus, untuk akar palatal.
HIPOTESIS
Pasien 35 tahun
Gigi 26 karies
profunda
Tes vitalitas
negatif (-)
Diagnosis: nekrosis pulpa
Pencabutan
Pencabutan dilakukan pada gigi 26 karies profunda dengan tes vitalitas negatif (-).
SKENARIO 1
Pencabutan gigi rahang atas
Seorang perempuan berusia 35 tahun datang ke Poli Bedah Mulut Rumah sakit Gigi dan
Mulut YARSI dengan keluhan gigi geraham pertama rahang atas kiri berlubang. Pada
pemeriksaan gigi 26 karies profunda, sondasi tidak sakit, perkusi dan tekanan tidak sakit. Pasien
ingin giginya dicabut.
SASARAN BELAJAR
LI.1 Memahami & menjelaskan anatomi persarafan gigi 26
LI.2 Memahami & menjelaskan anestesi lokal pada gigi 26
LO.2.1 Memahami & menjelaskan definisi anestesi lokal
LO.2.2 Memahami & menjelaskan indikasi dan kontraindikasi anestesi lokal pada gigi 26
LO.2.3 Memahami & menjelaskan teknik anestesi lokal pada gigi 26
LO.2.4 Memahami & menjelaskan instrument anestesi lokal pada gigi 26
LO.2.5 Memahami & menjelaskan cara anestesi lokal pada gigi 26
LO.2.6 Memahami & menjelaskan komplikasi anestesi lokal pada gigi 26
LI.3 Memahami & menjelaskan pencabutan gigi 26
LO.3.1 Memahami & menjelaskan definisi pencabutan gigi
LO.3.2 Memahami & menjelaskan indikasi dan kontraindikasi pencabutan gigi 26
LO.3.3 Memahami & menjelaskan teknik pencabutan gigi 26
LO.3.4 Memahami & menjelaskan instrument pencabutan gigi 26
LO.3.5 Memahami & menjelaskan cara pencabutan gigi 26
LO.3.6 Memahami & menjelaskan komplikasi pencabutan gigi 26
LO.3.7 Memahami & menjelaskan pasca pencabuta
10
3.
Keadaan lingkungan periodontal yang tidak memungkinkan pemberian anestesi lokal yang
sempurna,
4. Anak-anak di bawah umur yang tidak mengenal dan tidak mengerti akibat anestesi,
5. Pada penderita yang lemah saraf dan penakut,
6. Pasien yang tidak dapat membuka mulut dengan lebar, misalnya pada keadaan trismus,
fraktur tulang rahang, ankilosis temporomandibula, dll
7. Pasien yang alergi terhadap bahan anestesi lokal,
8. Pasien dengan penyakit sistemik yang tidak terkontrol (misal diabetes tidak terkontrol)
9. Pasien yang tidak kooperatif,
10. Kurangnya kerjasama atau tidak adanya persetujuan dari pihak penderita,
11. Efek merugikan dari berbagai anas anestesi lokal modern terhadap kehamilan belum
terbukti. Tetapi diperkirakan vasokonstriktor relypressin mempunyai efek toksik ringan,
sehingga dapat mengganggu sirkulasi fetus dan mempercepat kelahiran. Umumnya anastesi
pada ibu hamil cukup aman asalkan diberikan dengan hati-hati. Namun sebaiknya dibatasai
perawatan yang hanya diperlukan saja, operasi dan restorasi ditunda setelah persalinan
(Sumawinata, N, 2013).
LO.2.3 Memahami & menjelaskan teknik anestesi lokal pada gigi 26
Teknik anestesi lokal
Terdapat beberapa teknik anestesi lokal untuk memperoleh anestesia jaringan pulpa.
Walton dan reader (2001) membagi tekhnik anestesi menjadi dua golongan yakni teknik
konvesiaonal dan teknik tambahan. Yang dimaksud dengan teknik konvensional adalah teknik
yang biasa dipergunakan seperti teknik blok atau teknik anestesia konduksi, dan teknik infiltrasi,
dengan beberapa variasinya seperi teknik Gowgate, dan akinosis, sedangkan teknik tambahan,
biasanya digunakan jika hasil teknik konvensional tidak memuaskan adalah teknik penyuntikan
ligament periodontium, teknik intrapulpa, atau teknik intraoseus (Sumawinata, N, 2013).
1.
tidak menusuk terlalu dalam, atau didahului dengan anestesi konduksi palatal bagi insisif sentral
dan lateral (Sumawinata, N, 2013).
Jumlah anestetik yang dibutuhkan untuk anestesi infiltrasi kaninus dan insisif, baik bukal
maupun palatal, biasanya tidak banyak. Untuk infiltrasi bukal, cukup seperempat katrid untuk
setiap gigi, sementara untuk infiltrasi palatal, cukup seperdelapan katrid setiap gigi. Adakalanya
diperlukan injeksi pada papilla interdental, misalnya pada kasus periodontium atau implant.
Namun, ini biasanya menyakitkan, sehingga sebaiknya menunggu efek infiltrasi palatinanya
bekerja sebelum menyuntik papila interdental. Anestesi infiltasi sisi bukal molar atas dilakukan
dari depan dengan menyudut. Rahang atas berpermukaan datar sampai cembung, jarum
hendaknya disuntikan tepat diatas dan dorsal dari apeks. Untuk molar pertama, adakalanya harus
menyuntik di belakang crest dan sedikit lebih tinggi karena tebalnya tulang kortikal sehingga
menyukarkan difusi obat. Untuk sisi palatal, anestesi nervus palatinus mayus diperoleh degan
infiltrasi sedangkan untuk molar dua dan molar tiga dengan anastesi blok regional (Sumawinata,
N, 2013).
Semprit anestesi
Semprit anestesi atau selanjutnya disebut semprit adalah alat, besama-sama dengan katrid
dan jarum anestesi, yang digunkana untuk menyuntikan obat anestesi (Sumawinata, N, 2013).
13
ADA (American dental association) telah menetapkan beberapa kriteria yang harus
dipenuhi oleh semprit anastesi. Kriteria tersebut: (Sumawinata, N, 2013).
a. Tahan lama dan tidak mudah rusak jika disterilkan berulang-ulang. Untuk semprit sekali
pakai (disposable), harus di pakai dalam satu wadah yang steril.
b. Cocok dengan berbagai jarum dan katrid dari bermacam-macam pabrik, dan harus tahan
pakai berulang-ulang.
c. Murah, ringan ,dan mudah digunakan.
d. Mudah diaspirasi dan dibuat sedemikian rupa sehingga jika ada darah yang teraspirasi akan
mudah dilihat di katrid.
Jet injector
Pada tahun 1947, figge dan schere memperkenalkan pendekatan baru dalam penyuntikan
parental yakni penyuntikan unit-jarum atau jet injection. Dalam dunia kedokteran gigi, jetinjection diperkenalkan oleh margetis dkk. Ditahun 1958, semprit ini berdasarkan prinsip
bahwa liquid yang didesakan pada lubang kecil, disebut jet, pada tekanan tinggi dapat
berpenetrasi pada kulit atau membran mukosa yang utuh.
Semprit disposable
Menggunakan jarum Luer-Lok dan tidak memiliki aspirating tip. Aspirasi dapat dilakukan
dengan menarik pendorong/penyedot dari semprit, dan karena tidak ada cincin jempol,
kadang-kadang aspirasi memerlukan dua tangan. Berbuhung tidak memakai katrid, larutan
anestetik lokal disedot dengan memasukan jarum kedalam vial atau katrid obat. Keuntungan
semprit ini adalah tetap steril sampai dibuka dari kemasan.
15
Gambar 4. Alat-alat untuk penyuntikan anestetik lokal: (A, B) semprit yang banyak dipakai, (C)
semprit intraligamen berbentuk pistol, dan (D) semprit intraligamen cyto ject.
(Sumawinata, N, 2013)
2.
Jarum suntik
Anatomi jarum
Jarum merupkan sarana masuknya obat dari katrid kejaringan tubuh sasaran. Jarum suntik
bisa terbuat dari baja tahan karat, palatinum, aloi platinum-iridium, atau aloi rutheniumplatinum. Kebanyakan terbuat dari baja tahan karat dan bersifat disposable (sekali pakai).
Bagian-bagian dari suatu jarum suntik pada umumnya adalah bevel, shaft, hub, dan ujung yang
berhubungan dengan katrid (Sumawinata, N, 2013).
Diameter lumen jarum (gauge)
Faktor-faktor yang dipertimbangkan ketika memiliki jarum adalah diameter lumen jarum
(gauge) dan panjang jarumnya. Makin kecil nomer gauge makin besar diameter lumennya
(Sumawinata, N, 2013).
Panjang
Selama ini tersedia dua ukuran jarum pendek dan panjang. Terdapat juga jarum sangat
pendek (ultrashort) yang bisanya dengan gauge 30. Panjang rata-rata jarum ukuran pendek
16
adalah 20mm(diukur dari hub ke ujung berbevel) sedangkan panjang rata-rata yang panjang
adalah 32mm (Sumawinata, N, 2013).
Katrid
Katrid dalam anestesi kedokteran gigi adalah suatu silinder yang secara tradisional dibuat
dari kaca yang berisi larutan anestesi. Kini, terdapat pula katrid yang terbuat dari polipropilen.
Isinya biasanya 1,8ml sampai 2,2ml, bergantung pada pabrik pembuatannya. Katrid bisa juga
disebut carpule. komponen katrid adalah tabung kaca silinder, stopper, tutup alumunium dan
diafragma (Sumawinata, N, 2013).
3.
Nama
larutan
Xylocain
Xylotox
Lidothesin
Nurocain
Lignostab A
Pensacain
Scandonest
Lignostab N
Xylotox
Para-amino
Benzoate
hydrochloride
Xylidide
Kekuatan
agen (%)
Vasokonstriktor
Konsentrasi
vasokonstrik
tor
1: 50000
1: 80000
Adrenalin
1: 80000
1: 100000
1: 100 000
Noradrenalin
1: 80000
17
Prilokain
Mepivakain
Xylotox PlaIn
Citanest 30
Citanest
Citanest Plain
Carbocain
Plain
Carbocain
4
Varian
toluene 3
dari xylidide
3
4
Varian acyl dari 3
xylidide
2
Adrenalin
Felypressin
Nil
Nil
1300000
0,03 i.u/ml
-
Adrenalin
1: 80000
a. Lidokain
Lidokain dapat menimbulkan anestesi lebih cepat dari pada prokain dan dapat tersebar
dengan cepat diseluruh jaringan, menghasilkan anestesi yang lebih dalam dengan durasi yang
cukup lama. Berbeda dengan prokain, lidokain tidak atau hanya sedikit menimbulkan
vasodilatasi dan karena itu hanya membutuhkan sedikit vasokonstriktor. Penambahan
vasokonstriktor pada larutan lidokain 2% akan dapat menambah durasi anastesi pulpa dari 5-10
menit menjadi 1-1,5 jam dan anestesi jaringan lunak dari 1-1,5 jam menjadi 3-4 jam. Jadi, obat
ini biasanya digunakan dalam kombinasi dengan adrenaline (1:80.000 atau 1:100.000) dan tiap
ml larutan lidokain 2% dengan adrenaline 1:80.000 mengandung: (Howe Geoffrey L, 1992)
Lidokain hidroklorid 20 mg
Sodium klorid 6 mg
Adrenaline hidroklorid 0,012 mg
Metil paraben 1 mg
Sodium metabisulfit 0,5mg
Dan sodium hidrosida untuk memodifikasi pH
Berbeda dengan prokain, lidokain selain digunakan untuk anestesi infiltrasi atau blok juga
dapat digunakan sebagai agen anestesi topikal. Untuk tujuan inilah lidokain baik dalam bentuk
agar viscous 2% atau salep 5% atau semprotan cair 10%. Walaupun lidokain 2 kali lebih toksik
dari pada prokain, bila digunakan dengan dosis yang tepat, tidak menimbulkan beberapa masalah
(Howe Geoffrey L, 1992).
Untuk lidokain dan mepivakain, dosis maksimal yang dianjurkan adalah 6-10 mg/kg. Tidak
lebih dari 500 mg (100 ml larutan 0,5% atau 50 ml larutan 1 %) (Eliastam, 1998).
Bila digunakan sebagai agen tunggal dosis total lidokain jangan lebih dari 200 mg
penambahan vasokonstriktor maka akan meningkatkan dosis total menjadi 350 mg serta
memperlambat absorpsi. Pada prkateknya, dosis ini sama dengan dosis dewasa 8-10 cartridge,
jauh melebihhi dosis yang biasa digunakan pada 1 kunjungan karna dosis atau cartridge sudah
cukup untuk anestesi infiltrasi atau regional (Howe Geoffrey L, 1992).
Bila lidokain dalam darah sudah mencapai tingkatan tertentu, berbeda dengan sebagian
besar agen anestesi lokal lainnya, lidokain cenderung menimbulkan tanda-tanda depresi sistem
saraf sentral, termasuk haus, sedasi, dan ataksia bukan tanda-tanda stimulasi sistem saraf sentral.
Namun kadang-kadang dapat terjadi tremor dan/atau konvulsi (Howe Geoffrey L, 1992).
Lidokain tidak mempunyai sifat allergenic terhadap agen anestesi lokal tipe ester, tetapi
sebaiknya tidak digunakan untuk pasien alergi terhadap agen anestesi lokal tipe amida atau alergi
paraben. Penggunaan lidokain juga merupakan kontraindikasi pada penderita penyakit hati yang
parah (Howe Geoffrey L, 1992).
18
b. Mepivacain (Karbokain)
Kecepatan timbulnya efek, durasi aksi potensi dan toksisitasnya mirip dengan lidokain.
Mepivacain tidak mempunyai sifat alergik terhadap agen anestesi lokal tipe ester (Howe
Geoffrey L, 1992).
Bahan ini dipasarkan sebagai garam hidroklorida dan dapat digunakan untuk anestesi
infiltrasi atau regional namun kurang efektif bila digunakan untuk anestesi topikal. Mepivacain
dapat menimbulkan vasokontriksi yang lebih ringan daripada lidokain tetapi biasanya
mepivacain digunakan dalam bentuk larutan dengan penambahan adrenalin 1 : 80.000. Dalam
bentuk seperti itu, dosis yang dipergunakan jaringan melebihi dosis maksimal 5 mg/kg berat
tubuh.Satu buah catridge biasanya sudah cukup untuk anestesi infiltrasi atau regional (Howe
Geoffrey L, 1992).
Mepivacain kadangkadang dipasarkan dalam bentuk larutan 3% tanpa penambahan
vasokonstriktor, untuk mendapat kedalaman dan durasi anestesi pada pasien tertentu dimana
pemakaian vasokonstriktor merupakan kontraindikasi. Larutan seperti ini dapat menimbulkan
anestesi pulpa yang berlangsung antara 20 40 menit dan anestesi jaringan lunak berdurasi 2 4
jam (Howe Geoffrey L, 1992).
Obat ini jangan digunakan pada pasien yang alergi terhadap anestesi lokal tipe amida, atau
pasien yang menderita penyakit hati yang parah. Mepivacain yang dipasarkan dengan nama
dagang Carbocaine biasanya tidak mengandung paraben dan karena itu, dapat digunakan pada
pasien yang alergi paraben (Howe Geoffrey L, 1992).
Toksisitas mepivacain setara dengan lidokain namun bila mepivacain dalam darah sudah
mencapai tingkatan tertentu, akan terjadi eksitasi sistem saraf sentral bukan depresi, dan eksitasi
ini dapat berakhir berupa konvulsi dan depresi respirasi (Howe Geoffrey L, 1992).
c. Prilokain
Walaupun merupakan derivate toluidine, agen anestesi lokal tipe amida ini pada dasarnya
mempunyai formula kimiawi dan farmakologi yang mirip dengan lidokain dan mepivacain
(Howe Geoffrey L, 1992).
Prilokain umumnya dipasarkan dalam bentuk garam hidroksida dengan nama dagang
Citanest dan dapat digunakan untuk mendapat anestesi infiltrasi dan regional. Namun prilokain
biasanya tidak dapat digunakan untuk mendapat efek anestesi topikal (Howe Geoffrey L, 1992).
Prilokain biasanya menimbulkan aksi yang lebih cepat daripada lidokain namun anestesi
yang ditimbulkannya tidaklah terlalu dalam. Prilokain juga kurang mempunyai efek vasodilator
bila dibanding dengan lidokain dan biasanya termetabolisme dengan lebih cepat. Obat ini kurang
toksik dibandingkan dengan lidokain tetapi dosis total yang dipergunakan sebaiknya tidak lebih
dari 400mg (Howe Geoffrey L, 1992).
Bahan ini jangan digunakan untuk bayi, penderita metahaemoglobinemia, penderita
penyakit hati, hipoksia, anemia, penyakit ginjal atau gagal jantung atau penderita kelainan lain
dimana masalah oksigenasi berdampak fatal, seperti pada wanita hamil. Prilokain juga jangan
dipergunakan pada pasien yang mempunyai riwayat alergi terhadap bahan anestesi tipe amida
atau alergi paraben (Howe Geoffrey L, 1992).
Penambahan felypressin (Octapressin) dengan konsentrasi 0,03 i.u/ml (= 1 : 200.000)
sebagai bahan vasokonstriktor akan dapat meningkatkan baik kedalaman maupun durasi anestesi.
Larutan anestesi yang mengandung felypressin akan sangat bermanfaat bagi pasien yang
menderita penyakit kardio-vaskular (Howe Geoffrey L, 1992).
19
d. Vasokonstriktor
Penambahan sejumlah kecil agen vasokonstriktor pada larutan anestesi local dapat
memberi keuntungan berikut ini: (Howe Geoffrey L, 1992)
1). Mengurangi efek toksik melalui efek penghambat absorpsi konstituen.
2). Membatasi bahan anestesi hanya pada daerah yang terlokalisir sehingga dapat meningkatkan
kedalaman dan durasi anestesi.
3). Menimbulkan daerah kerja yang kering (bebas bercak darah) untuk prosedur operasi.
4). Vasokonstriktor yang biasa dipergunakan adalah:
Adrenalin (epinephrine), suatu alkaloid sintetik yang hampir mirip dengan sekresi
medulla adrenalin alami.
Felypressin (Octapressin), suatu polipeptid sintetik yang mirip dengan sekresi glandula
pituitari posterior manusia. Felypressin mempunyai sifat vasokonstriktor yang lemah,
yang tampaknya dapat diperkuat dengan penambahan prilokain.
Baik kedalaman dan durasi anestesi dapat dimodifikasi karena penambahan
vasokonstriktor dalam larutan. Karena itu, beberapa pabrik membuat larutan lidokain yang
mengandung adrenalin atau nor-adrenalin dengan konsentrasi 1:50000, 1:80000 atau 1:100000.
Pada umumnya makin rendah konsentrasi vasokonstriktor, makin kecil kedalam durasi anastesi.
Felypressin ditambahkan pada larutan Citanest dengan konsentrasi 0,03 i.u/ml (= 1:20000)
(Howe Geoffrey L, 1992).
Nor-adrenalin (laevoarterenol, norephrine) suatu substansi sintetik yang mirip dengan
presoramina yang disekresi dalam tubuh manusia oleh neuron monoaminergik pada otak dan
pada pertautan adreno neural serta mio neural system saraf simpatetik yang digunakan
sebagai vasokonstriktor untuk larutan anestesi lokal.Namun, bahan ini dapat menimbulkan efek
samping berupa episode hipertensi yang parah dan kolaps (Howe Geoffrey L, 1992).
Adrenalin adalah bahan yang sering digunakan dan merupakan vasokonstriktor yang paling
efektif, namun reaksi alergi terhadap bahan ini juga tidak jarang terjadi (Howe Geoffrey L,
1992).
Larutan anestesi lokal yang mengandung adrenalin jangan digunakan bersama dengan
bahan anestesi umum yang mengandung hidrokarbon halogenasi atau siklopropan karena adanya
kemungkinan terjadinya fibrilasi ventikular. Felypressin dapat digunakan dengan aman pada
situasi ini walupun tidak menimbulkan vasokonstriksi pada daerah kerja dengan derajat yang
sama seperti adrenalin (Howe Geoffrey L, 1992).
Felypressin juga dapat digunakan pada pasien dengan tirotoksikosis dan pada mereka yang
menggunakan obat obat penghambat oksidasi monoamin atau obat trisiklid. Penggunaan
felypressin merupakan kontra pada wanita hamil karena memberikan efek oksitoksik.Penderita
penyakit jantung iskemia jangan diberikan suntikan dengan dosis lebih dari 8,8 ml 1 : 20000
sekali perawatan karena dapat terjadi vasokonstriksi koroner yang menyebabkan takikardia
(Howe Geoffrey L, 1992).
LO.2.5 Memahami & menjelaskan cara anestesi lokal pada gigi 26
Langkah-langkah anestesi gigi 2.6:
1. Persiapan pada pasien
Kebanyakan pasien memiliki rasa takut saat melihat jarum suntik. Dokter harus
memberikan ketenangan pada pasien dengan cara menunjukan sikap yang ramah dan empati
kepada pasien serta dokter harus meyakinkan bahwa tindakan yang akan dilakukan tidak akan
20
menimbulkan rasa sakit. Dokterharus menjelaskan masalah yang dialami pasien serta tindakan
yang akan dilakukan pada pasien. Posisi duduk pasen juga harus diperhatikan, pasien diposisikan
dalam keadaan nyaman adar operator dapat melihat dan dengan mudah menjangkau daerah yang
akan dianestesi. Untuk mencapai keberhasilan anestesi antara pasien dan dokter harus dalam
keadaan releks (Robinson, 2000).
2. Persiapan permukaan mukosa yang akan di anestesi (Robinson, 2000).
Dokter harus mengetahui permukaan mukosa mulut yang akan di anestesi.
Permukaan mukosa yang akan dianestesi harus dikeringkan dengan cotton pallet.
Permukaan mukosa dapat diolesi anestesi topikal untuk meredakan rasa nyeri saat jarum
masuk menembus mukosa.
Harus dimasukan kedalam mukosa secara perlahan dengan arah bevel jarum ke arah
tulang menyusuri periosteum.
Arah jarum terhadap mukosa dengan kemiringan 45 derajat.
Sebelum menginjeksi obat anestesi harus di aspirasi terlebih dahulu untuk memastikan
bahwa suntikan tidak masuk ke pembuluh darah.
Cairan dimasukan secara perlahan sebanyak 0,5-1 ml.
3. Menunggu reaksi anestesi
Setelah cairan anestesi disuntikan dokter harus menunggu reaksi cairan anestesi agar efek
yang didapat maksimal. Carian anestesi akan menyebar ke jaringan sekitar dan menyebar ke
saraf yang dituju. Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan reaksi anestesi yang optimal
selama 5 menit (Robinson, 2000).
4. Mengetes reaksi anestesi
LO.2.6 Memahami & menjelaskan komplikasi anestesi lokal pada gigi 26
Komplikasi lokal
1. Infeksi
Anastesi pada jaringan yang sedang infeksi dapat menyebabkan penyebaran infeksi ke
jaringan lain. Penyebab utama terjadinya infeksi biasanya terjadi karena adanya kontaminasi
jarum sebelum disuntikan, serta penanganan ddaerah anestesi yang kurang streril dan
penyimpanan alat yang kurang baik. Infeksi yang terjadi bisa juga berupa infeksi silang anatara
pasien, dokter dan perawat karena kelalaian seperti tertuuk jarum setelah dipakai pasien yang
mengidap penyakit hepatitis. Maka, sebaiknya jangan meninggalkan jarum dalam keadaan
terbuka (Sumawinata, N, 2003).
2.
21
setelah meninjau ulang teknik suntikan yang digunakan. Suntikan intraligamentall atau ligamen
periodontal sering dapat digunakan pada situasi seperti ini (Howe Geoffrey L, 1992).
Pada situasi infeksi akut biasanya gagal, pada lingkungan yang bersifat asam larutan anestesi
lokal cenderung tidak efektif karena agen anestesi yang bersifat alkaloid tidak dapat terdisosiasi
pada keadaan aktif, selain itu beresiko adanya penyebaran infeksi melebihi barier pertahanan
tubuh, kenaikan vaskularisasi jaringan yang meradang akut juga merupakan salah satu faktor
penyebab pada keadaan ini anestesi dapat diperoleh dengan teknik anestesi regional dimana
larutan anestesi didepositkan pada jaringan sehat yang letaknya jauh dari peradangan (Howe
Geoffrey L, 1992).
Penggunaan larutan yang kedaluwarsa juga menyebabkan kegagalan efek anestesi maka
dari itu dianjurkan untuk memastikan dengan benar sebelum penggunaan. Adapula individu yang
memeiliki reisitensi terhadap obat tertentu, kita dapat mengantisipasi dengan pemberian obat lain
yang komposisi kimianya berbeda (Howe Geoffrey L, 1992).
3.
Haematoma
Perdarahan setelah injeksi dalam keadaan normal terjadi sedikit sekali sehingga pasien
tidak menyadarinya. Namun, jika terjadi dalam jumlah banyak akan mengakibatkan
pembengkakan dan akan terjadi iritan untuk jaringan sehingga menimbulkan nyeri dan trismus.
Namun, haematoma makin lama akan menghilang secara perlahan (Sumawinata, N, 2003).
5.
Parestesia
Parastesi bisa terjadi selama beberapa jam lebih lama dari durasi biasanya terjadi bahkan
bisa sampai berhari hari atau berbulan bulan. Parastesia ini bisa terjadi karena disebabkan oleh
trauma pada syaraf akibat tertusuk oleh jarum, pasien akan merasakan adanya kejutan listrik
ketika syaraf mengalami trauma saat tertusuk jarum. Penyebab lainya parastesia dapat
disebabkan karena obat anastesi terkontaminasi dengan alkohol, hemoragi disekitar syaraf juga
dapat menyebabkan parastesia (Sumawinata, N, 2003).
6.
Kepucatan
Kepucatan daerah penyuntikan atau daerah lain dapat disebebkan oleh suntikan, umumnya
disebabkan oleh kombinasi meningkatnya ketegangan jaringan akibat deposisi cairan dan efek
lokal dari vasokonstriktor. Kepucatan pada daerah yang jauh dari daerah suntikan disebabkan
22
karena suntikan intravaskular atau terganggunya suplai pembuluh darah dari syaraf autonom
(Howe Geoffrey L, 1992).
Iskemia umumnya bersifat sementara, tindakan yang dilakukan adlaah menenangkan
pasien (Howe Geoffrey L, 1992).
8.
Trismus
Trismus adalah keadaan spasme yg berkepanjangan otot-otot rahang sehingga pasien sulit
untuk membuka mulutnya. Hal ini terjadi karena adanya trauma pada otot-otot atau pembuluh
darah dalam fosa infratemporalis. Penyebab lainya adalah karena pemakaian obat anestesi yang
bersifat toksik, hemoragi, infeksi setelah injeksi (Sumawinata, N, 2003).
9.
23
2.
Apabila ini terjadi, maka akan terjadi risiko yang serius. Infeksi yang dapat
ditransmisikan dari pasien ke pasien atau ke operator adalah herpes simpleks, hepatitis B
dan C (juga varian lain), human immunodeficiency virus dan penyakit Creutzfeldt-Jakob.
Reaksi terkait dengan anestetik lokal: (Sumawinata, N, 2003)
Toksisitas
Biasanya terjadi karena terserapnya anestetik lokal dalam jumlah besar ke dalam
pembuluh darah.
Alergi
Reaksi hipersensitivitas
Methemoglobinemia
Terdapatnya methemoglobin (metHb) di dalam darah. Komplikasi ini terbilang jarang.
Kontrasksi uterus
Semua anestetik lokal akan melewati plasenta. Bupivakain adalah anestetik lokal yang
paling toksik terhadap jantung dan merupakan kontraindikasi pada kehamilan.
3.
Interaksi obat
Ada beberapa obat untuk penyakit sistemik yang dapat berinteraksi dengan obat anestesi.
Seperti obat antidepresi dengan golongan trisiklik, bahwa efek nor-adrenalin akan meningkat
sebagai akibat penggunaan golongan trisiklik dan efek adrenalin semakin berkurang (Howe
Geoffrey L, 1992).
3.
Hepatitis serum
Agen penyebab penyakit yang serius ini adalah antigen yang berhubungan dengan hepatitis
B (GBaAG) yang juga disebut sebagai virus B dan antigen Australia. Beberapa individu
24
yang sehat biasanya sudah mempunyai antigen ini dalam darahnya sejak waktu yang lama.
Mungkin bahkan sejak lahir, tanpa menunjukkan tanda tanda klinis dari hepatitis serum.
Walaupun demikian, bila antigen ditularkan dari individu tersebut ke individu yang rentan maka
akan timbul manifestasi menyeluruh dari hepatitis serum. Pasien yang tertular penyakit sebagai
akibat perawatan yang dilakukan dokter gigi umumnya jarang ditemukan karena periode
inkubasinya adalah 160 hari. Pada saat ini, pasien sudah tidak menghubungkan penyakitnya
dengan perawatan gigi dan akan mencari kedokter umum. Pada praktek dokter gigi, resiko
penyebaran sangatlah besar terutama bila menggunakan syringe dan jarum yang kurang steril.
Resiko penularan penyakit yang cukup tinggi selama prosedur perawatan gigi adalah alasan
mengapa jarum hipodemik jangan pernah digunakan ulang pada pasien lainnya. Resiko
penularan penyakit selama penyuntikan gigi juga didiskusikan dalam Laporan The Expert Group
On Hepatitis In Dentistry (1971) yang menyatakan bahwa penggunaan catridge larutan yang
baru dan jarum disposable yang baru setiap pasien merupakan langkah tindakan rutin universal
(Howe Geoffrey L, 1992).
4.
Reaksi Sensitivitas
Reaksi terhadap penyuntikan larutan anestesi lokal yang sering terjadi daripada yang kita
bayangkan selama ini. Reaksi mempunyai derajat yang bervariasi dari pembengkakan oedematus
lokal dan urtikaria pada daerah suntikan sampai reaksi anapilatik yang berbahaya dan parah
yang terbukti fatal bila tidak cepat ditangani. Perlu diingat bahwa setiap kali larutan anestesi
lokal disuntikan semua konstituennya akan masuk ke aliran darah dan menimbulkan efek toksik
ringan, reaksi lokal lebih sering terjadi daripada sistemik dan biasanya dapat pulih kembali tanpa
perawatan aktif. Namun, bila reaksi tidak dapat pulih secara spontan, pemberian obat
antihistamin seperti tablet chlorphreniramine maleate (piriton) maksimal selama 3 hari (Howe
Geoffrey L, 1992).
Reaksi toksik karena dosis berlebihan dapat terlihat bila kada lidokain dalam plasma lebih
besar daripada 5 g/ml. Konsentrasi ini dapat dicapai pada perawatan gigi terutama bila
dilakukan penyuntikan intravaskular secara kurang tepat atau bila dilakukan pendepositan
sejumlah besar larutan anestesi lokal secara tepat (Howe Geoffrey L, 1992).
Tanda pertama dari respon sistem darah sentral biasanya berupa eksitasi seperti pusing,
gelisah, nausea, atau sakit kepala ringan diikuti dengan tremor dan denyut muskular terutama
pada wajah, tangan, dan kaki. Baru kemudian akan terjadi konvulsi dan biasanya reaksi seperti
ini hanya terjadi dalam waktu yang singkat dan jika tetap berlangsung dalam waktu lama makan
saluran pernapasan harus dipertahan dan konvulsi dikontrol dengan pemberian diazepame
intravena. Jarang sekali pasien yang nervus menjadi hiperventilasi dan terjadi tetani. Bila
tingkatan plasma meningkat sangat cepat, tahap stimulasi umumnya bersifat sementara dan efek
depresif umumnya lebih dominan. Pada situasi ini cenderung terjadi hilangnya kesadaran dan
depresi aktivitas respirasi atau vasomotor (Howe Geoffrey L, 1992).
Hipersensitivitas terhadap larutan anestesi lokal adalah suatu hal yang sangat jarang
ditemukan. Pasien ini umumnya memberikan reaksi berlebihan terhadap sejumlah kecil larutan
anestesi lokal dan mengalami anestesi lama walaupun dengan pemberian dosis yang standar
(Howe Geoffrey L, 1992).
5.
Reaksi Alergi
Reaksi alergi adalah reaksi yang ditimbulkan oleh antibodi yang terbentuk sebagai respon
terhadap kontak dengan agen atau obat dengan struktur yang sama, dimasa lalu. Reaksi alergi
25
pada dasarnya merupakan respon patologi dari jaringan yang sensitif terhadap substansi
substansi tertentu yang disebut sebagai alergen. Pasien yang terserang penyakit alergi seperti
asma bronkial sangat mudah mengalami reaksi hipersensitifitas terhadap obat-obat (Howe
Geoffrey L, 1992).
Respon alergi terhadap agen anestesi yang memppunyai ikatan amida sangat jarang terjadi,
prilokain yang sangat jarang menimbulkan reaksi alergi dibanding agen-agen anetesi lainnya dan
hanya ada beberapa kasus alergi akibat bahan pengawet yang terkandung dalam larutan anestesi
seperti methyl paraben. Namun sudah ditemukan adanya alergi terhadap agen-agen anestesi
dengan ikatan amida yang terdiri dari sakit dan pembengkakan lokal pada daerah penyuntikan,
nausea, lemas, pruritus, urtikaria, bronkospasme meningkatnya hipotensi, gangguan visualisasi
dan pembengkakan wajah bilateral yang biasanya mengenai jaringan periodontal (Howe
Geoffrey L, 1992).
Anafilaksis umumnya ditandai dengan turunnya tekanan darah mendadak, hilangnya
kesadaran, gangguan respirasi, oedema wajah dan laryngeal serta urtikaria. Perawatan untuk
kondisi tersebut terdiri dari penyuntikan hydrocortisone hemisuccinate sodium secara perlahan
dan intravena dengan dosis 100 mg dalam 2 ml larutan. Reaksi alergi yang lebih parah dapat
diredakan dengan suntikan intramuscular dari larutan adrenalin 0,1%, 1 ml (1 dalam 1000), yang
diulang setiap 5 menit sampai symptom mulai hilang atau sampai dosis maksimal 5 m.
pemberian dosis adrenalin yang besar tersebut selalu mempunyai resiko yang dapat
menimbulkan gagal jantung akut (Howe Geoffrey L, 1992).
Sifat reaksi sensitivitas yang sangat berbahaya inu menyebabkan perlu dilakukan
pemeriksaan yang cermat dan menyeluruh pada semua pasien yang akan mendapatkan
penyuntikan tersebut, tentang pengalaman obat-obat tertentu. Karena larutan anestesi harus
dikombinasi dengan protein tubuh agar dapat merangsang timbulnya reaksi atropik. Antibodi
spesifik yang terbentuk adalah tipe IgE yang terikat pada basophil didalam darah dan sel mast
didalam jaringan (Howe Geoffrey L, 1992).
6.
Gangguan Respiratori
Bila respirasi terhenti, otot skeletal akan menjadi pasif dan pupil akan terdilatasi lebar.
Pada keadaan ini pasien harus dibaringkan dan saluran pernafasan harus dibersihkan dari semua
peralatan, pesawat, atau benda asing dengan menggerakkan mandibular keatas dan kedepan
untuk meluruskan leher sebisa mungkin. Saluran udara kemudian dijaga dengan tindakan
angkat lejher-miringkan kepala letakkan bantalan di bawah leher pasien dan luruskan letak
kepala pasien dengan memberikan tekanan ke bawah pada dahi. Maka rahang harus diangkat
dengan memindahkan sandaran pada leher dan memegang rahang bawah dengan jari telunjuk
dan ibu jari dibawah sudut mandibular. Namun tindakan ini tidak dapat dilakukan pada pasien
yang sangat gemuk atau sangat muscular atau pada pasien konvulsi dengan keadaa otot-otot
tegang dan gigi geligi berkontak erat, untuk situasi ini perlu dipasang saluran udara nasofaring.
Lubang hidung pasien harus ditutup dengan ibu jari dan telunjuk operator dan harus dilakukan
resusitasi mulut ke mulut sampai dada berdenyut naik setiap 3-4 detik. Selama penanganan
tersebut, dokter gigi juga harus memeriksa denyut carotid dan puncak denyutan pada interval
yang teratur, karena terhentinya pernapasan akan cepat diikuti gagal jantung (Howe Geoffrey L,
1992).
26
Gambar 5. (A,B) meluruskan kepala untuk membersihkan saluran udara, (C) teknik respirasi
buatan.
(Howe Geoffrey L, 1992)
7.
Gagal Jantung
Tandan tanda gagal kardiovaskular umumnya bervariasi sebelum jantung berhenti
berdenyut. Kulit, terutama akan berwanna pucat dan berkeringat, pasien dengan menunjukkan
tanda-tanda awal harus di tidurkan telentang, dengan kepala miring kesalah satu sisi untuk
melawan efek postur semi-tegak dan mengurangi faktor gavitasional yang disebabkan karena
perbedaan tinggi antara jantung dan otak, kemudian pakaian yang ketat dilonggarkan, kaki
pasien harus dinaikkan untuk merangsang terjadinya aliran darah venosus ke jantung sehingga
dapat memperbaiki output krdiak. Bila tidak pulih, dapat dilakukan pemberian oksigen (Howe
Geoffrey L, 1992).
Resusitasi yang terlalu lama merupakan tindakan yang melelahkan dan tetap harus
dilakukan sampai warna wajah pasien normal kembali, sampai pupil berkontraksi dan denyut
jantung serta respirasi pulih kembali (Howe Geoffrey L, 1992).
8.
Hiperventilasi
Pernapasan yang dalam dan lama (abnormal) adalah merupakan manifestasi histeris dari
ketakutan dan dapat mengganggu kesadaran. Pasien seperti ini umumnya menunjukkan tandatanda hiperventilasi, pingsan dan pucat dan menunjukkan sensasi tingling pada ibu jari dan bibir.
Volume, ritme dan kecepatan denyutan umumnya normal. Bila tidak dirawat kondisi ini akan
diikuti dengan timbulnya tetani dengan karpopedal dan kejang rahang. Bila kondisi ini sudah
terdiagnosa, maka perawatan umumnya sederhana, pasien dapat dibuat agar menarik dan
menghembuskan napas dalam suatu kantung kertas sampai kondisi ini pulih kembali (Howe
Geoffrey L, 1992).
LI.3 Memahami & menjelaskan pencabutan gigi 26
LO.3.1 Memahami & menjelaskan definisi pencabutan gigi
Menurut Pedlar dan Frame, pencabutan gigi merupakan suatu prosedur bedah yang dapat
dilakukan dengan menggunakan tang, elevator, atau penekanan trans alveolar (Jonathan P, 2007).
Pencabutan gigi adalah pengangkatan gigi dari soketnya. Pencabutan gigi dapat dilakukan
dengan lokal anestesi jika gigi terlihat jelas dan tampak mudah dicabut (Mohamad L, 2006).
Pencabutan gigi merupakan suatu proses pengeluaran gigi dari alveolus, di mana pada gigi
tersebut sudah tidak dapat dilakukan perawatan lagi. Pencabutan gigi juga merupakan operasi
bedah yang melibatkan jaringan bergerak dan jaringan lunak dari rongga mulut, akses yang
27
dibatasi oleh bibir dan pipi, dan pencabutan selanjutnya dihubungkan/disatukan oleh gerakan
lidah dan rahang. Definisi pencabutan gigi yang ideal adalah pencabutan tanpa rasa sakit satu
gigi utuh atau akar gigi dengan trauma minimal terhadap jaringan pendukung gigi, sehingga
bekas pencabutan dapat sembuh dengan sempurna dan tidak terdapat masalah prostetik di masa
mendatang (Nina, 2010).
LO.3.2 Memahami & menjelaskan indikasi dan kontraindikasi pencabutan gigi 26
Indikasi Pencabutan Gigi
Gigi mungkin perlu di cabut untuk berbagai alasan, misalnya karena sakit gigi itu sendiri,
sakit pada gigi yang mempengaruhi jaringan di sekitarnya, atau letak gigi yang salah. Di bawah
ini adalah beberapa contoh indikasi dari pencabutan gigi: (Peterson J, 2003)
a. Karies yang parah
Alasan paling umum dan yang dapat diterima secara luas untuk pencabutan gigi adalah
karies yang tidak dapat dihilangkan. Sejauh ini gigi yang karies merupakan alasan yang tepat
bagi dokter gigi dan pasien untuk dilakukan tindakan pencabutan (Peterson J, 2003).
b. Nekrosis pulpa
Sebagai dasar pemikiran, yang ke-dua ini berkaitan erat dengan pencabutan gigi adalah
adanya nekrosis pulpa atau pulpa irreversibel yang tidak diindikasikan untuk perawatan
endodontik. Mungkin dikarenakan jumlah pasien yang menurun atau perawatan endodontik
saluran akar yang berliku-liku, kalsifikasi dan tidak dapat diobati dengan tekhnik endodontik
standar. Dengan kondisi ini, perawatan endodontik yang telah dilakukan ternyata gagal untuk
menghilangkan rasa sakit sehingga diindikasikan untuk pencabutan (Peterson J, 2003).
c. Penyakit periodontal yang parah
Alasan umum untuk pencabutan gigi adalah adanya penyakit periodontal yang parah. Jika
periodontitis dewasa yang parah telah ada selama beberapa waktu, maka akan nampak
kehilangan tulang yang berlebihan dan mobilitas gigi yang irreversibel. Dalam situasi seperti ini,
gigi yang mengalami mobilitas yang tinggi harus dicabut (Peterson J, 2003). Pada kasus gigi
goyang derajat 2 dan 3 (Howe Geoffrey L, 1992).
d. Alasan orthodontik
Pasien yang akan menjalani perawatan ortodonsi sering membutuhkan pencabutan gigi
untuk memberikan ruang untuk keselarasan gigi. Gigi yang paling sering diekstraksi adalah
premolar satu rahang atas dan bawah, tapi premolar ke-dua dan gigi insisivus juga kadangkadang memerlukan pencabutan dengan alasan yang sama (Peterson J, 2003).
e. Gigi yang mengalami malposisi
Gigi yang mengalami malposisi dapat diindikasikan untuk pencabutan dalam situasi yang
parah. Jika gigi mengalami trauma jaringan lunak dan tidak dapat ditangani oleh perawatan
ortodonsi, gigi tersebut harus diekstraksi. Contoh umum ini adalah molar ketiga rahang atas yang
keluar kearah bukal yang parah dan menyebabkan ulserasi dan trauma jaringan lunak di pipi.
Dalam situasi gigi yang mengalami malposisi ini dapat dipertimbangkan untuk dilakukan
pencabutan (Peterson J, 2003).
28
Terkadang pasien memerlukan pencabutan gigi untuk alasan estetik. Contoh kondisi seperti
ini adalah yang berwarna karena tetracycline atau fluorosis, atau mungkin malposisi yang
berlebihan sangat menonjol. Meskipun ada tekhnik lain seperti bonding yang dapat meringankan
masalah pewarnaan dan prosedur ortodonsi atau osteotomy dapat digunakan untuk memperbaiki
tonjolan yang parah, namun pasien lebih memilih untuk rekonstruksi ekstraksi dan prostetik
(Peterson J, 2003).
n. Ekonomis
Indikasi terakhir untuk pencabutan gigi adalah faktor ekonomi. Semua indikasi untuk
ekstraksi yang telah disebutkan diatas dapat menjadi kuat jika pasien tidak mau atau tidak
mampu secara finansial untuk mendukung keputusan dalam mempertahankan gigi tersebut.
Ketidakmampuan pasien untuk membayar prosedur tersebut memungkinkan untuk dilakukan
pencabutan gigi (Peterson J, 2003).
Kontraindikasi Pencabutan Gigi
Semua kontraindikasi baik lokal maupun sistemik dapat menjadi relative atau mutlak
(absolut) tergantung pada kondisi umum pasien. Ketika kontraindikasi itu mutlak, perawatan
ekstra perlu dilakukan sebelum pencabutan gigi untuk menghindari berbagai resiko yang dapat
terjadi pada pasien. Berikut ini akan dijelaskan beberapa kontraindikasi pencabutan gigi (Sanghai
S, Chatterjee P. 2009)
A. Kontraindikasi Relatif
1. Lokal
a. Penyakit periapikal terlokalisir
Jika pencabutan gigi telah dilakukan dan infeksi tersebar menyeluruh dan tersebar secara
sistemik, maka antibiotik harus diberikan sebelum pencabutan (Sanghai S, Chatterjee P. 2009).
b. Keberadaan infeksi oral
Infeksi oral seperti vincents angina, herpetic gingivostomatitis, harus dirawat terlebih
dahulu. Setelah itu, dapat dilakukan pencabutan (Sanghai S, Chatterjee P. 2009).
c. Perikoronitis akut
Perikoronitis harus dirawat terlebih dahulu, kemudian dicabut gigi yang terlibat. Jika tidak,
infeksi bakteri bisa turun ke daerah kepala bagian bawah dan leher (Sanghai S, Chatterjee P.
2009).
d. Penyakit ganas
Misalnya gigi yang berada di area tumor. Jika dicabut bisa menyebarkan sel dan dengan
demikian mempercepat proses metastatik (Sanghai S, Chatterjee P. 2009).
e. Pencabutan gigi pada pasien terapi radiasi
Pencabutan gigi pada rahang yang sebelumnya diiradiasi dapat menyebabkan
osteoradionekrosis dan karena itu harus dilakukan dengan tindakan pencegahan ekstra (Sanghai
S, Chatterjee P. 2009)
30
2. Sistemik
a. Diabetes
Pasien dengan penyakit diabetes tidak terkontrol cenderung lebih rentan mengalami infeksi
pada luka bekas pencabutan gigi dan dapat meluas ke jaringan sekitarnya (Bhalajhi SM, 2007).
b. Hipertensi
Pencabutan gigi dapat dilakukan pada pasien dengan hipertensi ringan (derajat 1) dan
hipertensi sedang (derajat 2), atau ketika tekanan sistolik kurang dari 200 mmHg dan tekanan
diastolik kurang dari 110 mmHg (Bhalajhi SM, 2007).
c. Penyakit jantung
Kondisi jantung yang paling sering menyulitkan pencabutan gigi adalah infark miokard,
angina pektoris, dan dekompensasi jantung (Bhalajhi SM, 2007).
d. Pasien terapi steroid
Pasien yang menjalani terapi steroid akan terhambat produksi hormone
adrenokortikotropinnya. Bahkan pada pasien yang sudah satu tahun berhenti terapi menunjukkan
sekresi adrenal tersebut tidak cukup untuk menahan stres pencabutan gigi (Bhalajhi SM, 2007).
e. Kehamilan
Faktor risiko tinggi yang timbul ketika merawat pasien hamil adalah menghindari
kecacatan genetik pada janin. Selain itu, perawatan ekstra harus dilakukan selama prosedur
radiografi dental dan pemberian obat (Bhalajhi SM, 2007).
f. Diskrasia darah
Anemia, penyakit perdarahan seperti hemofilia dan leukemia adalah diskrasia darah yang
menimbulkan banyak masalah selama pencabutan gigi. Komplikasi pendarahan yang berlebihan
pasca operasi harus ditangani dengan hati-hati (Bhalajhi SM, 2007).
g. Pasien terapi antikoagulan
Pasien terapi antikoagulan yang menjalani prosedur bedah mulut dapat mengalami
pendarahan yang berkepanjangan pasca operasi dan/atau kecelakaan tromboembolik yang fatal
(Bhalajhi SM, 2007).
h. Gondok beracun
Ekstraksi dapat memicu krisis tiroid. Gejalanya adalah setengah sadar, gelisah (yang tidak
terkendali bahkan dengan sedasi berat), sianosis dan delirium yang sangat cepat, dll. Pada
kondisi ini, tidak ada prosedur bedah yang dapat dilakukan dan pasien harus dirujuk ke dokter
(Bhalajhi SM, 2007).
i. Penyakit kuning
Komplikasi postoperative dari keadaan ini adalah pendarahan. Jika pencabutan gigi sangat
dibutuhkan, dosis vitamin K profilaksis harus diberikan sebelum operasi (Bhalajhi SM, 2007).
B. Kontraindikasi Mutlak
1. Lokal
31
32
2. Sistemik
a. Leukimia
b. Gagal ginjal
c. Sirosis hati
d. Gagal jantung (Sanghai S, Chatterjee P. 2009).
LO.3.3 Memahami & menjelaskan teknik pencabutan gigi 26
1.
Pencabutan intra alveolar adalah pencabutan gigi atau akar gigi dengan menggunakan tang
atau bein atau dengan kedua alat tersebut. Metode ini sering juga di sebut forceps extraction dan
merupakan metode yang biasa dilakukan pada sebagian besar kasus pencabutan gigi (Archer.
1975, Cawson R.A. 1984).
Dalam metode ini, blade atau instrument yaitu tang atau bein ditekan masuk ke dalam
ligamentum periodontal diantara akar gigi dengan dinding tulang alveolar. Bila akar telah
berpegang kuat oleh tang, dilakukan gerakan kearah buko-lingual atau buko-palatal dengan
maksud menggerakkan gigi dari socketnya. Gerakan rotasi kemudian dilakukan setelah dirasakan
gigi agak goyang. Tekanan dan gerakan yang dilakukan haruslah merata dan terkontrol sehingga
fraktur gigi dapat dihindari (Brown L.J. 1989, Carranza A.F. 1984).
Ekstraksi gigi 26
Untuk mengekspansi alveolus pada gigi molar diperlukan tekanan terkontrol yang besar.
Kunci keberhasilan pencabutan gigi-gigi molar adalah keterampilan menggunakan elevator
untuk luksasi dan ekspansi alveolus, sebelum menggunakan tang. Tekanan yang diperlukan
untuk mencabut molar biasanya lebih besar daripada gigi premolar (Pederson W. 1996).
Pencabutan gigi molar atas menggunakan tang #150, #53 atau #210, dipegang dengan
telapak tangan ke atas dan pinch grasp. Apabila ukuran mahkotanya cocok, lebih sering dipakai
53 daripada #150, karena adaptasi akar lebih baik dengan paruh anatomi. Tang #210 walaupun
ideal untuk pencabutan molar ketiga atas, dianggap universal dan dapat digunakan untuk
mencabut molar pertama dan kedua kanan dan kiri atas. Tekanan pencabutan utama adalah ke
arah bukal, yaitu arah pengeluaran gigi (Pederson W. 1996).
2.
Pada beberapa kasus terutama pada gigi impaksi, pencabutan dengan metode intra alveolar
sering kali mengalami kegagalan sehingga perlu dilakukan pencabutan dengan metode trans
alveolar. Metode pencabutan ini dilakukan dengan terlebih dahulu mengambil sebagian tulang
penyangga gigi. Metode ini juga sering disebut metode terbuka atau metode surgical yang
digunakan pada kasus-kasus:
1. Gigi tidak dapat dicabut dengan menggunakan metode intra alveolar
2. Gigi yang mengalami hypersementosis atau ankylosis
3. Gigi yang mengalami germinasi atau dilacerasi
33
4. Sisa akar yang tidak dapat dipegang dengan tang atau dikeluarkan dengan bein, terutama
sisa akar yang berhubungan dengan sinus maxillaris.
Perencanaan dalam setiap tahap dari metode trans alveolar harus dibuat secermat mungkin
untuk menghindari kemungkinan yang tidak diinginkan. Masing-masing kasus membutuhkan
perencanaan yang berbeda yang disesuaikan dengan keadaan dari setiap kasus.
Secara garis besarnya, komponen penting dalam perencanaan adalah bentuk flap
mukoperiostal, cara yang digunakan untuk mengeluarkan gigi atau akar gigi dari socketnya,
seberapa banyak pengambilan tulang yang diperlukan (Archer. 1975, Cawson R.A. 1984, Mac.
Gregor A.J. 1985).
Metode pencabutan trans-alveolar termasuk pembelahan gigi atau akar dari perlekatan
tulangnya. Terkadang disebut metode terbuka tau bedah. Seperti semua pencabutan gigi
bagaimanapun dilakukannya, tetap merupakan prosedur bedah, istilah yang lebih tepat dan
akurat adalah pencabutan transalveolar dan metode ini harus digunakanbila terdapat indikasi
(Howe Geoffrey L, 1999):
1. Adanya gigi yang menahan usaha pencabutan intra-alveolar bila diaplikasikan tekanan
yang sedang besarnya.
2. Sisa akar yang tidak bisa dipegang dengan tang atau dikeluarkan dengan elevator,
khususnya yang berdekatan dengan sinus maksilaris.
3. Adanya riwayat kesulitan atau kegagalan pencabutan gigi sebelumnya.
4. Gigi dengan restorasi yang luas, khususnya bila saluran akar telah dirawat atau pulpa
telah nonvital.
5. Gigi hipersementosis dan ankilosis.
6. Gigi dilaserasi atau geminasi.
7. Gigi dengan gambaran radiografi bentuk akar yang rumit, atau akar yang kurang
menguntungkan atau berlawanan dengan arah pencabutan.
8. Bila ingin dipasangkan geligi tiruan imediat atau beberapa saat setelah pencabutan.
Metode ini memungkinkan dilakukannya penghalusan tulang alveolar agar protesa dapat
dipasang.
Setelah memutuskan untuk melakukan metode transalveolar untuk mencabut gigi atau
akar gigi, jenis anastesi yang akan digunakan harus ditetapkan, dan rencana keseluruhan untuk
mengatasi kesulitan pencabutan tersebut termasuk cara mengatasi atau mncegah komplikasi yang
mungkin terjadi juga harus diperhitungkan. Komponen penting dalam perencanaan tersebut
adalah bentuk flap mukoperiosteal, metode yang digunakan untuk mencabut gigi atau akar gigi
dari soket dan pembuangan tulang yang diperlukan untuk mempermudah tindakan pencabutan
(Howe Geoffrey L, 1999).
3.
Flap Mukoperiostal
Flap dibuka agar daerah operasi jelas terlihat dan dapat dicapai oleh alat. Desain flap harus
memberikan lapang pandangan dan jalan masuk alat yang cukup.Dasar flap harus lebih lebar
dibanding bagian yang bebas dan harus memiliki pasokan darah yang tidak rusak. Penyembuhan
tidak dapat terjadi bila garis penjahitan ditempatkan tepat di atas bekuan darah yang merupakan
media sempurna bagi mikroorganisme penghambat penyembuhan luka. Untuk membantu proses
penyembuhan dapat dilakukan penempatan jaringan lunak tanpa tekanan pada akhir operasi, dan
34
bentuk insisi dibuat dengan pertimbangan bahwa garis jahitan didukung oleh tulang. Jangan
sampai pembuatan protesa terganggu akibat kerusakan sulkus bukal ketika flap dibuka (Howe
Geoffrey L, 1999).
Gambar 6. Flap mukoperiosteal maksila (A) Flap yang benar (B) Flap yang salah
Gambar 7. Flap mukoperiosteal mandibula (A) Flap yang benar (B) Flap yang salah
(Howe Geoffrey L, 1999)
Pencabutan gigi 26
Pencabutan gigi 26 dengan pembedahan biasanya berhasil baik apabila dilakukan
pemisahan akar pada trifurkasi. Pendekatan awal hanya memisahkan akar bukalnya saja,
kemudian diusahakan untuk mengungkit mahkota bersama akar lingual dengan menggunakan
tang. Jika ini belum berhasil/mahkotanya tidak ada, ketiga akarnya dipisahkan dengan
menggunakan elevator atau tang, atau keduanya diambil satu persatu. Tekanan elevator ke arah
apikal memungkinkan fragmen akar terdorong masuk ke dalam sinus (Pederson W. 1996).
Teknik-teknik pencabutan gigi erupsi dengan pembedahan (Pederson W. 1996):
1.
2.
3.
4.
Gambar 8. Elevator lurus didesain dengan pegangan berbentuk buah pir, tangkai, bilah
cembuh-cekung, dan ujung yang tajam. Konfigurasi dataran miring bilah meningkatkan
aksi pengungkitan.
(Pederson W. 1996)
36
Gambar 9. Cryer #30 dan #31 adalah desain elevator bengkok dan digunakan dengan rotasi.
(Pederson W. 1996)
Gambar 10. Elevator lurus yang lebih kecil #301 dan #345 mempunyai desain dasar
yang sama dan hanya berbeda dalam ukuran saja.
(Pederson W. 1996)
37
Gambar 11. Elevator Potts (A) diperlengkapi dengan pegangan crossbar dan ujung
membulat, sedangkan elevator Cryer (B) memiliki pegangan besar dengan ujung tajam.
Keduanya mempunyai desain bengkok.
(Pederson W. 1996).
b). Tang rahang atas
Banyak varian tang rahang atas, namun yang dapat digunakan untuk mengekstraksi gigi 26
ialah: (Pederson W. 1996)
#53: #53L dan #53R adalah tang untuk molar atas dengan paruh relatif lebar (6mm) dan
asimetri. Satu paruhnya mempunyai tonjolan ditengah untuk adaptasi terhadap trifurkasi
bukal, sedangkan paruh lainnya mempunyai kecekungan untuk mencengkram akar
lingual. Selain itu, juga memiliki pegangan bayonet yang dimaksudkan untuk
menghindari terjepitnya bibir bawah terhadap gigi insisivus (Gambar. 12).
Gambar 12. (A) Tang #53R mempunyai desain bayonet. Paruh bukal mempunyai tonjolan
atau ujung bagian tengah untuk dapat mencengkeram daerah bifurkasi lebih baik. (B)
Perhatikan kesimetrisan dari paruh tang #53R dan L.
(Pederson W. 1996).
38
#150: adalah tang serbaguna untuk rahang atas, dapat digunakan untuk sebagian besar
pencabutan gigi rahang atas. Paruhnya hampir paralel dengan pegangan. Paruhnya agak
sempit seperti #151 dan pada mulanya digunakan untuk gigi premolar (Gambar. 13). Tang
ini digunakan dari depan kanan dan kiri dengan pinch grasp. Tang Read yang digunakan
di Inggris Raya serupa dengan #150.
Gambar 13. Walaupun tang #150 (A) cocok untuk pencabutan kebanyakan gigi-gigi atas, tang
#1 (B) dengan pegangan yang panjang dimaksudkan terutama untuk pencabutan gigi kaninus
atas (posterior).
(Pederson W. 1996).
#210: tang ini mempunyai pegangan bayonet yang panjang dan paruh yang besar, pendek
dan simetris (5mm) (Gambar. 14). Tang ini didesain khusus untuk pencabutan Molar tiga,
namun dianggap universal dan dapat digunakan untuk molar satu dan dua.
Gambar 14. Tang #210 (A) dilengkapi dengan pegangan yang panjang serta berbentuk bayonet
dan paruh yang relatif lebar, yang ideal untuk pencabutan molar ketiga atas. Tang #222 (B)
mempunyai modifikasi serupa, yang cocok untuk pencabutan molar ketiga bawah.
(Pederson W. 1996)
LO.3.5 Memahami & menjelaskan cara pencabutan gigi 26
Pencabutan Molar
Untuk mengekspansi alveolus pada gigi molar diperlukan tekanan terkontrol yang besar.
Kunci keberhasilan pencabutan gigi-gigi molar adalah keterampilan menggunakan elevator
untuk luksasi dan ekspansi alveolus, sebelum menggunakan tang. Tekanan yang diperlukan
untuk mencabut molar biasanya lebih besar dari pada gigi premolar (Pederson W, 1996).
39
a.
40
Gambar 15. Posisi operator selama pencabutan; A. semua gigi kecuali gigi posterior
kanan bawah; B. gigi posterior kiri bawah; C. gigi posterior kanan bawah.
(Howe, Geoffrey L. 1999)
LO.3.6 Memahami & menjelaskan komplikasi pencabutan gigi 26
Respon pasien tertentu dianggap sebagai kelanjutan yang normal dari pembedahan, yaitu
perdarahan, rasa sakit, dan edema. Tetapi apabila berlebihan, perlu dipikirkan apakah termasuk
morbiditas yang biasa ataukah komplikasi. Komplikasi digolongkan menjadi intraoperatif, segera
sesudah operasi dan jauh sesudah operasi (Pederson W, 1996).
I.
Komplikasi Intraoperatif
1.
Perdarahan
Perdarahan mungkin merupakan komplikasi yang paling ditakuti. Pasien dengan penyakit
hati, misalnya seorang alkoholik yang menderita sirosis, pasien yang menerima terapi
antikoagulan, atau pasien yang minum aspirin dosis tinggi atau agen anti-radang lain yang
nonsteroid. Semua itu berrisikio mengalami perdarahan. Apabila riwayat kesehatan menunjukan
kecurigaan pada penyakit tertentu, sebaiknya menghubungi dokter yang merawat sebelumnya,
sebelum melakukan perawatan. Apabila pasien mengalami mekanisme beku darah yang
terganggu, perawatan adalah merupakan kerjasama antara dokter gigi dan dokter umum atau
spesialis penyakit dalam (Pederson W, 1996).
Pengetahuan mengenai anatomi merupakan jaminan terbaik untuk menghadapi kejadian
yang tidak diharapkan yaitu perdarahan pada arteri atau vena. Regio-regio risiko tinggi, adalah:
(Pederson W, 1996).
Palatum dengan a. palatina mayor,
Vestibulum bukal molar bawah dengan a. fasialis,
Margo anterior ramus mandibula yang merupakan jalur perjalanan dari a. buccalis dan regio
apikal molar ketiga yang terletak dekat dengan a. alveolaris inferior
Region mandibula anterior juga merupakan sumber perdarahan karena vaskularisasinya
sangat melimpah.
41
Fraktur
Fraktur bisa mngenai akar gigi, gigi tetangga atau gigi antagonis, restorasi, prosesus
alveolaris dan kadang-kadang mandibula. Semua fraktur yang dapat dihindarkan mempunyai
etiologi yang sama; yaitu tekanan yang berlebihan atau tidak terkontrol atau keduanya. Cara
terbaik untuk menghindari fraktur di samping tekanan terkontrol adalah dengan menggunakan
gambar radiografi sebelum melakukan pembedahan. Fraktur biasanya mudah terlihat, kecuali
untuk fraktur mandibula (Pederson W, 1996).
Macam-macam fraktur yang biasa terjadi pada komplikasi pencabutan gigi: (Pederson W,
1996)
1). Fraktur ujung akar dan frakmen
Ujung akar dan frakmen adalah sisa-sisa dari struktur yang normalnya berada di dalam
prosesus alveolaris. Karena itu benda tersebut bisa ditolerir dan jarang mengakibatkan adanya
reaksi benda asing atau infeksi. Apabila pengeluaran pada situasi ini memang diperlukan, maka
sebaiknya merujuk ke spesialis bedah. Apabila ujung akar atau frakmen dibiarkan tetap pada
tempatnya, maka sebaiknya dilakukan foto rontgen untuk control di masa mendatang dan pasien
diberitahu mengenai pertimbangan risiko/ manfaat yang mendasari keputusan tersebut (Pederson
W, 1996).
2). Fraktur gigi sebelahnya dan antagonis
Fraktur pada gigi atau restorasi di dekatnya, kebanyakan merupakan akibat terlalu kuatnya
tekanan yang dikenakan melalui elevator. Suatu elevator yang tertumpu pada gigi atau restorasi
di dekatnya bisa menggoyahkan gigi tersebut atau restorasi bisa lepas. Cedera pada gigi
antagonis biasanya akibat dari pencabutan eksplosif, yaitu gigi terungkit secara tidak sengaja dari
alveolus akibat tekanan berlebih kea rah oklusal atau sejajar. Perawatannya bersifat individual,
mulai dari replantasi gigi yang tercabut tidak sengaja, membuat restorasi sementara atau
menambal kembali mahkota prostetik atau inlay. Pencegahan didasarkan pada penggunaan pinch
grasp atau sling grasp dan tekanan terkontrol (Pederson W, 1996).
3). Fraktur prosesus alveolaris
Fraktur minor
Fraktur prosesus alveolaris yang ringan adalah terbawanya bagian tulang bukal/ fasial
maksila bersama akar pada waktu dilakukan pencabutan dengan tang. Hal tersebut disebabkan
oleh tekanan yang besar pada prosesus alveolaris yang getas dan tipis. Cara penanganannya
dengan menggunakan kikir tulang (bone file) untuk menghaluskan tepi-tepi tulang.
42
Mukoperiosteum di atasnya perlu dijahit bila sangat terpisah dengan tulangnya (Pederson W,
1996).
Fraktur mayor
Radiograf bisa membantu memperkirakan fraktur mayor pada prosesus alveolaris rahang
atas. Pada kasus alveolus molar atas mungkin fraktur total, kadang-kadang melibatkan seluruh
tuberositas dan dasar antral (Pederson W, 1996).
4). Fraktur mandibula
Fraktur pada mandibula paling sering terjadi pada pencabutan molar ketiga. Mandibula
cukup lemah di bagian ini, yang merupakan pertemuan badan dan prosesus alveolar yang berat
dengan ramus yang tipis. Kesalahan biasanya karena menggunakan elevator dengan kekuatan
yang berlebihan. Elevator yang diinsersikan pada bagian mesial molar ketiga baik yang erupsi
atau impaksi, dan ditekan dengan kekuatan yang besar kea rah distal atau disto-oklusal
menjadikan mandibula terancam fraktur (Pederson W, 1996).
Fraktur mandibula karena pencabutan gigi bisa menimbulkan masalah (merugikan
diagnosis tetapi menguntungkan penanganan) yaitu karena pergeseran frakmen biasanya minimal
dan hanya sedikit gangguan oklusi. Untuk menentukan adanya fraktur diperlukan gambar
radiografi ekstra oral panoramik. Apabila terdiagnosis adanya fraktur, pasien sebaiknya segera
diberitahu dan dirujuk. Perawatan biasanya terdiri atas imobilisasi mandibula dengan
menggunakan fiksasi maksilomandibular selama kurang lebih 5-6 minggu (Pederson W, 1996).
3.
Pergeseran
Seluruh gigi atau frakmen akar bisa masuk ke sinus maxillaris, fossa infra temporalis,
hidung, canalis mandibularis atau ruang submandibula. Bagian yang paling sering adalah sinus
maxillaris. Kejadian ini sering merupakan akibat dari usaha untuk mengambil frakmen/ ujung
akar gigi molar atau premolar kedua atas melalui alveolus dengan tekanan elevator yang
berlebihan kea rah superior. Pemeriksaan radiografi yang akurat dilakukan baik sebelum maupun
intraoperatif (Pederson W, 1996).
Adanya perdarahan hidung atau keluhan subyektif adanya udara keluar dari mulut atau
cairan kelar dari hidung, menguatkan kecurigaan tersebut. Sesudah menginformasikan kepada
pasien, region tersebut dijahit apabila diperlukan dan kepada pasien diberikan antibiotik
spektrum luas, dekongestan sistemik dan obat analgesik untuk persiapan rujukan. Pasien
diperingatkan untuk jangan bersin, batuk, dan menghembuskan hidung (Pederson W, 1996).
Gigi atau frakmen yang masuk ke dalam fossa infratemporalis jarang ditemukan.
Umumnya disebabkan oleh tekanan elevator kearah distal pada gigi molar ketiga atas impaksi
yang terletak pada level C. Jika tekanan mengakibatkan pergeseran kearah posterior-superior
lebih dari yang buko-oklusal, gigi dan frakmen cenderung terdorong ke fosa (Pederson W,
1996).
Pergeseran mandibula biasanya hanya melibatkan gigi molar, sedangkan canalis
mandibularis dan ruang submandibula adalah bagian yang sering mengalami pergeseran ini.
Penatalaksanaan pergeseran mandibula pasien diberitahu tentang keadaan yang ada dan dirujuk.
Pada kasus pergeseran ke dalam canalis alveolaris inferior, pengeluaran harus dilakukan segera
sedangkan pada kasus pergeseran ke dalam ruang submandibula, pembedahan biasanya ditunda
untuk memungkinkan terjadinya fibrosis dulu, sehingga terjadi imobilisasi frakmen akar.
Pendekatan kearah canalis adalah dengan flap mukoperiosteal bukal yang cukup besar dan
kemudian melalui alveolus atau dekortikasi lateral ke bukal. Dekortikasi memberikan jalan
43
masuk yang bagus dan memungkinkan dekompresi, atau memperbaiki saraf yang cedera. Ruang
submandibula biasanya dicapai dengan membuat flap envelope lingual yang cukup besar yang
direfleksikan dari servikal gigi (Pederson W, 1996).
4.
44
Oroantral fistula yang tidak segera ditangani, sehingga lubang yang terbentuk bertahan lebih
lama, maka traktus akan mengalami epitelisasi, daerah rongga mulut seringkali mengalami
proloferasi jaringan granulasi atau jaringan ikat dan jika berlanjut dapat menyebabkan terjadinya
infeksi dan dipercepat pada pencabutan gigi yang mengalami infeksi periapikal. Perawatan yang
tidak benar, menyebabkan infeksi dapat menyebar kea rah sinus melalui lubang oroantral
sehingga dapat menyebabkan terjadinya sinusitis maksilaris (Ulaen, 2011).
Oroantral fistula yang terjadi pada daerah yang tidak bergigi (kehilangan tuberositas
maksilaris) yang tidak sengaja setelah pencabutan dapat dilakukan dengan pengurangan
pada dinding bukal dan palatal agar terjadi adaptasi flap jaringan lunak bukal dan palatal.
Flap jaringan lunak dibentuk secara konservatif agar membentuk suatu garis kemudian flap
dijahit.
Jarinagn yang memebentuk lingkaran perifer dari fistula dieksisi dan sisa jaringan mukosa
palatal di de-epitelisasi untuk memberikan vaskularisasi yang baik pada daerah yang
mengalami kerusakan agar dapat memperlebar flap dan memudahkan penjahitan kemudian
dilakukan insisi divergen atau melebar melalui mukoperiosteum dibuat pada pembukaan
oroantral ke superior sampai pada mukobukal fold, dan insisi dari flap ini diangkat untuk
pembukaan alveolus lateral dibawahnya. Melalui insisi periosteal ini dilakukan pengurangan
ketebalan untuk memperpanjang dan mengendorkan flap dan dilakukan penjahitan.
Penggunaan antibiotik dan dekongestan diindikasikan setelah prosedur diatas untuk
mempertahankan kesehatan antrum dengan mencegah infeksi dan membeikan drainase
secara fisiologis.
Dapat diambil satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya oroantral
fistula adalah dengan pengambilan foto rontgen terlebih dahulu sebelum pencabutan gigi
dikerjakan, tindakan yang selalu berhati-hati dalam melakukan pencabutan, melakukan tes
tiup dan kumur setelah pencabutan untuk mendeteksi apakah terjadi kecelakaan terbukanya
antrum atau tidak, sehingga bila terjadi dapat segera diketahui dan dilakukan perawtan
dengan cepat dan benar serta komplikasi yang lebih parah dapat dihindari.
5.
Cedera saraf
Saraf yang sering cedera selama pencabutan dan pembedahan gigi adalah divisi ketiga dari
N. trigeminus. N. alveolaris inferior sangat dekat dengan regio apical gigi molar ketiga dan
kadang-kadang molar kedua. Meskipun putusnya saraf relatif jarang tetapi tekanan mungkin
terjadi selama pengeluaran gigi molar ketiga yang erupsi atau impaksi, ujung akar dan frakmen
akar atau keduanya. N. lingualis paling sering cedera selama pencabutan molar ketiga bawah
yang impaksi. Hal ini terjadi karena penyingkapan flap lingual, fraktur dataran lingual, atau
penembusan bur melalui korteks lingual pada waktu memecah gigi. N. lingualis menempel pada
aspek medial mandibula pada region molar. Pada beberapa kasus letaknya sangat tinggi, tepat di
46
inferior batas mukosa cekat. N. mentalis berhubungan erat dengan apeks gigi premolar sehingga
mudah diidentifikasi. Saraf mengeluarkancabang anterior ke bibir bawah, yang relative
superficial dan muidah terkena cedera. Cabang n. mentalis mudah terpotong selama pembuatan
flap atau mengalami cedera regangan akibat retraksi (Pederson W, 1996).
II.
1.
Rasa sakit
Rasa sakit pada awal pencabutan gigi, terutama seduah pembedahan untuk gigi erupsi
maupun impaksi dapat sangat menganggu. Untuk orang dewasa sebaiknya mulai meminum obat
pengontrol rasa sakit sesudah makan tetapi sebelum timbulnya rasa sakit. Pada 8 jam
pertamasetelah pembedahan (Pederson W, 1996).
3.
Edema
Edema merupakan kelanjutan normal dari setiap pencabutan dan pembedahan gigi, serta
merupakan reaksi normal dari jaringan terhadap cedera. Edema adalah reaksi individual, yaitu
trauma yang besarnya sama, tidak selalu mengakibatkan derajat pembengkakan yang sama baik
pada pasien yang sama atau berbagai pasien. Obat yang paling sering digunakan adalah jenis
steroid yang diberikan secara parenteral, oral atau topical sebagai pembalut alveolar.
Pembengkakan pasca bedah mengganggu estetik tetapi hanya sementara, biasanya pada
kebanyak pasien kurang lebih 7-20 hari (Pederson W, 1996).
4.
alergi yang akut terhadap antibiotik (penisilin adalah yang paling umum), dapat mematikan.
Reaksi alergi paling baik dicegah dengan jalan memeriksa riwayat pasien selengkapnya
(Pederson W, 1996).
III.
1.
Infeksi
Infeksi pasca bedah, abses atau selulitis bisa terjadi pada awal atau bersamaan dengan
edema. Diagnose banding ditentukan dengan adanya fakta bahwa infeksi biasanya diikuti oleh
peningkatan rasa sakit, lemas, dan demam. Apabila ada tanda-tanda tersebut, maka perlu
dilakukan tindakan untuk merawat infeksi, yaitu terapi antibiotic serta tindakan pembedahan dan
terapi pendukung (Pederson W, 1996).
Trismus yang persisten sesudah pencabutan gigi dengan pembedahan jarang terjadi, tetapi
merupakan komplikasi yang membingungkan. Peneybab yang sering adalah infeksi, yang
termanifestasi sebagai miositis kronis, yaitu radang dari otot-otot pengunyahan, terutama
masseter (Pederson W, 1996).
LO.3.7 Memahami & menjelaskan pasca pencabutan gigi 26
Menurut Laskin (1985) dan Peterson (1998), ada beberapa tindakan pasca operatif yang
harus dilakukan yaitu sebagai berikut: (Laskin DM, 1985).
a. Istirahat yang cukup, agar dapat membantu proses penyembuhan luka.
b. Pasien dianjurkan untuk tidak makan makanan yang keras terlebih dahulu, terutama pada
hari pertama pasca pencabutan gigi. Makanan juga tidak boleh terlalu panas. Dan baru boleh
48
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
makan beberapa jam setelah pencabutan gigi agar tidak mengganggu terbentuknya blood
clot. Dan jangan mengunyah pada sisi yang baru dicabut.
Banyak minum air untuk mencegah terjadinya dehidrasi.
Pasien harus selalu menjaga kebersihan mulutnya, gigi harus disikat secara rutin, kumurkumur dengan menggunakan saline solution (1/2 sendok teh garam yang dilarutkan dalam
satu gelas air hangat).
Untuk mengurangi rasa nyeri pasien boleh mengkonsumsi analgesik. Selain analgesik,
pengaplikasian dingin juga dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
Pasien tidak boleh merokok, karena dikhawatirkan terjadi dry socket.
Pasien diberi tahu agar tidak berkumur-kumur, karena akan menimbulkan tekanan sehingg
akan menggagalkan pembentukan pembuluh darah dan mengakibatkan perdarahan.
Pasein diharuskan menggigit tampon untuk mencegah perdarahan.
Diberikan obat-obatan berupa:
Antibiotik spektrum luas seperti cefadroxil, clindamisin, khusus untuk ibu hamil pada
trimester ke 2 dapat diberikan eritromisin.
Analgesik untuk menghilangkan rasa nyeri seperti mefinal, untuk pasien penderita maag
dapat diberikan mefinal dengan tambahan obat maag atau dapat diberikan ibuprofen yang
memiliki efek samping paling rendah.
49
Daftar pustaka
Archer, W.Harry. 1975. Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed. Philadelphia: Saunders Company
Bhalajhi SM. Textbook of oral and maxillofacial surgery. New Delhi: Elsevier. 2007
Brown L.J, Oliver R.C, Loe. H. Periodontal Disease in the US in 1981. Dalam: Journal of
Periodontology. Vol.60 No.7. 1989. American Academi of Periodontology
Eliastam, Michael. 1998. Penuntun kedaruratan medis Ed 5.Jakarta: EGC
Henry Gray (18211865). Anatomy of the Human Body. 1918.
Howe Geoffrey L. and Whitehead F. Ivor H. 1992. Anastesi Lokal Ed. 3. Jakarta: Hipokrates
Howe Geoffrey L. 1999. Pencabutan gigi geligi Ed.2. Jakarta: EGC
Jonathan Pedlar, John W Frame. Oral and maxillofacial surgery 2nd ed. Elseiver: Churchill
Livingstone. 2007
Laskin DM. 1985. Oral and Maxillofacial Surgery, vol 2. St. Louis: The CV Mosby Co.
Malamed, Stanley F. 2004. Handbook of Local Anasthesia 5th ed. St. Louis: Elsevier.
Mohamad Loekman. Teknik dasar pencabutan gigi, Jurnal Ilmiah dan Teknologi Kedokteran
Gigi; 2006
Nina. Thalasemia dan Ekstraksi Gigi. 2009. Available from: http://www.thalasemia-danekstraksi-gigi.html. Accessed: 29 Oktober 2010.
Peterson J. Larry. Oral and Maxillofacial Surgery. 4th ed, The C.V. Mosby Company, St. Louis.
2003
Pederson GW. 1996. Buku ajar praktis bedah mulut. Jakarta: EGC
Sanghai S, Chatterjee P. A concise textbook of oral and maxillofacial surgery. New Delhi: Jaypee
Publisher. 2009
Robinson PD, Pitt Ford TR, McDonald F. Local Anaesthesia in Dentistry. London: Wright. 2000
Sumawinata Narlan. Anastesi Lokal dalam Perawatan Konservasi Gigi. Jakarta: EGC. 2013
Stanley J. Nelson and Major M. Ash. Wheelers Dental Anatomy, Physiology, and Occlusion. 9th
Ed. Missouri: Saunders Elsevier
Ulaen H. 2011. Perdarahan dan perforasi sinus. Jakarta
50