You are on page 1of 50

WRAP UP

BLOK BEDAH MINOR

SKENARIO 1
PENCABUTAN GIGI RAHANG ATAS

Kelompok 3
Ketua

: Nunky Rainanda Mahmuddin

(1112012039)

Sekretaris

: Olva Atsarina Yuliyansih

(1112012024)

Anggota

: Arman Adrian

(1112012006)

Mazaya haekal
Risa Sasmita
Widhazwari Yuzmal Pratiwi
Merina Ekarachmi M

(1112012018)
(1112012030)
(1112012038)
(1112012040)

FAKULTAS KEDOKTERAN
PRODI KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS YARSI
1

2014

DAFTAR ISI
Daftar isi . i
Mencari kata-kata sulit... ii
Pertanyaan ... iii
Hipotesis .... v
Skenario 1 ...... vi
Sasaran belajar ..... vii
LI.1 Memahami & menjelaskan anatomi persarafan gigi 26 .. 1
LI.2 Memahami & menjelaskan anestesi lokal pada gigi 26 ... 2
LO.2.1 Memahami & menjelaskan definisi anestesi lokal .. 2
LO.2.2 Memahami & menjelaskan indikasi dan kontraindikasi anestesi lokal pada gigi 26
. 2
LO.2.3 Memahami & menjelaskan teknik anestesi lokal pada gigi 26 ... 3
LO.2.4 Memahami & menjelaskan instrument anestesi lokal pada gigi 26 4
LO.2.5 Memahami & menjelaskan cara anestesi lokal pada gigi 26 11
LO.2.6 Memahami & menjelaskan komplikasi anestesi lokal pada gigi 26 . 12
LI.3 Memahami & menjelaskan pencabutan gigi 26 .. 18
LO.3.1 Memahami & menjelaskan definisi pencabutan gigi . 18
LO.3.2 Memahami & menjelaskan indikasi & kontraindikasi pencabutan gigi 26.... 19
LO.3.3 Memahami & menjelaskan teknik pencabutan gigi 26 .. 23
LO.3.4 Memahami & menjelaskan instrument pencabutan gigi 26 ... 25
LO.3.5 Memahami & menjelaskan cara pencabutan gigi 26 . 29
LO.3.6 Memahami & menjelaskan komplikasi pencabutan gigi 26 .. 30
LO.3.7 Memahami & menjelaskan pasca pencabutan gigi 26 ... 37
Daftar Pustaka....... 39

KATA-KATA SULIT
1.

Karies profunda

: karies yang sudah hampir mengenai pulpa.

2.

Cabut gigi

: pengangkatan seluruh bagian gigi beserta jaringan pathologisnya.

PERTANYAAN
1.
Mengapa semua pemeriksaan vitalitas pada pasien negatif?
2.
Apa dampak dari pencabutan gigi 26?
3.
Indikasi dan kontraindikasi pencabutan gigi?
4.
Instrumen apa saja yang digunakan pada pencabutan gigi 26?
5.
Teknik anestesi apa yang dilakukan pada pencabutan gigi 26?
JAWABAN
1.
Semua pemeriksaan vitalitas pada pasien negatif disebabkan karena karies profunda pada
gigi 26 sudah mengenai pulpa dan mengakibatkan nekrosis.
2. Dampak dari pencabutan gigi 26:
Mengakibatkan gigi 27 bergeser ke arah mesial,
Gigi 36 ekstruksi
3. Indikasi pencabutan gigi:
Gigi impaksi,
Gigi karies yang sangat besar atau nekrosis,
Supernumerary teeth,
Gigi dengan kista dan tumor,
Keperluan prosthodonti,
Keperluan orthodonti,
Akar gigi yang patah > 1/3 akar,
Gigi yang berada pada garis fraktur.
Kontraindikasi pencabutan gigi:
Infeksi peradangan akut lokal,
Penyakit tumor ganas,
Penderita penyakit jantung, hipertensi, dan diabetes mellitus tidak terkontrol,
Penderita trombositopenia, leukemia, hemofilia, dan kaheksi,
Gigi pada area yang pernah mengalami radiasi,
Hyperthyroidsm,
Kehamilan.
4.

Instrumen yang digunakan untuk pencabutan gigi 26 adalah:


Masker
Handscoon
Syringe
Cairan anestesi
Larutan antiseptik
Cotton palate
Elevator lurus
Beak tang
5

Kaca mulut
5.

Teknik anestesi yang dilakukan pada pencabutan gigi 26 adalah teknik infiltrasi pada:
n. Alveolaris superior media, untuk akar mesial
n. Alveolaris superior posterior, untuk akar distal
n. Palatinus mayus, untuk akar palatal.

HIPOTESIS

Pasien 35 tahun
Gigi 26 karies
profunda
Tes vitalitas
negatif (-)
Diagnosis: nekrosis pulpa
Pencabutan

Pencabutan dilakukan pada gigi 26 karies profunda dengan tes vitalitas negatif (-).

SKENARIO 1
Pencabutan gigi rahang atas
Seorang perempuan berusia 35 tahun datang ke Poli Bedah Mulut Rumah sakit Gigi dan
Mulut YARSI dengan keluhan gigi geraham pertama rahang atas kiri berlubang. Pada
pemeriksaan gigi 26 karies profunda, sondasi tidak sakit, perkusi dan tekanan tidak sakit. Pasien
ingin giginya dicabut.

SASARAN BELAJAR
LI.1 Memahami & menjelaskan anatomi persarafan gigi 26
LI.2 Memahami & menjelaskan anestesi lokal pada gigi 26
LO.2.1 Memahami & menjelaskan definisi anestesi lokal
LO.2.2 Memahami & menjelaskan indikasi dan kontraindikasi anestesi lokal pada gigi 26
LO.2.3 Memahami & menjelaskan teknik anestesi lokal pada gigi 26
LO.2.4 Memahami & menjelaskan instrument anestesi lokal pada gigi 26
LO.2.5 Memahami & menjelaskan cara anestesi lokal pada gigi 26
LO.2.6 Memahami & menjelaskan komplikasi anestesi lokal pada gigi 26
LI.3 Memahami & menjelaskan pencabutan gigi 26
LO.3.1 Memahami & menjelaskan definisi pencabutan gigi
LO.3.2 Memahami & menjelaskan indikasi dan kontraindikasi pencabutan gigi 26
LO.3.3 Memahami & menjelaskan teknik pencabutan gigi 26
LO.3.4 Memahami & menjelaskan instrument pencabutan gigi 26
LO.3.5 Memahami & menjelaskan cara pencabutan gigi 26
LO.3.6 Memahami & menjelaskan komplikasi pencabutan gigi 26
LO.3.7 Memahami & menjelaskan pasca pencabuta

LI.1 Memahami & menjelaskan anatomi persarafan gigi 26


Sisi bukal region gigi molar dipersarafi oleh cabang-cabang nervus alveolaris superior
posterior, cabang dari nervus alveolaris superior. Sumbernya terletak diatas fossa
pterigopalatinus dan nervus ini berjalan sepanjang tuberositas maksila dan menurun kedaerah
ventral. Sensitivitas molar satu, dua dan tiga, mukosa, gingiva, periosteum, dan tulang diperoleh
dari saraf-saraf ini. Mukosa palatal dan akar palatal molar pertama atas dipersarafi oleh nervus
palatinus mayus yang juga berasal dari nervus trigeminus (nervus V) (Sumawinata, N, 2013).

Gambar 1. Anatomi persyarafan nervus trigeminus


(Stanley J, 2010)
Nervus Maksila
Cabang maksila nervus trigeminus mempersarafi gigi-gigi pada maksila, palatum, dan
gingiva di maksila. Selanjutnya cabang maksila nervus trigeminus ini akan bercabang lagi
menjadi nervus alveolaris superior. Nervus alveolaris superior ini kemudian akan bercabang lagi
menjadi tiga, yaitu nervus alveolaris superior anterior, nervus alveolaris superior medii, dan
nervus alveolaris superior posterior. Nervus alveolaris superior anterior mempersarafi gingiva
dan gigi anterior, nervus alveolaris superior medii mempersarafi gingiva dan gigi premolar serta
gigi molar I bagian mesial, nervus alveolaris superior posterior mempersarafi gingiva dan gigi
molar I bagian distal serta molar II dan molar III (Stanley J, 2010).
Nervus alveolaris superior posterior
Muncul dari cabang nervus tepat sebelum memasuki fissura infraorbitalis. Biasanya
berjumlah dua, tetapi kadang-kadang muncul sebagai cabang tunggal. Mereka masuk ke
tuberositas maxilla dan mengeluarkan cabang yang lebih kecil lagi menginervasi gingiva dan
membran mukosa pipi. Lalu masuk ke canalis alveolaris posterior pada permukaan infratemporal
maxilla dan melewati bagian belakang tulang, berhubungan dengan nervus alveolaris superior
medius danm engeluarkan cabang untukm enginervasi membran yang melapisi sinus maxillaris
dan tiga cabang pada setiap gigi molar. Cabang-cabang ini memasuki foramina apikal gigi
(Henry G, 1918).

10

Nervus alveolaris superior medius


Dipercabangkan dari nervus pada bagian posterior canalis infraorbitalis dan berjalan turun
dan ke anterior pada canalis pada dinding lateral sinus maxillaris untuk menginervasi dua gigi
premolar. Nervus ini membentuk plexus dentalis dengan cabang-cabang alveolaris posterior dan
anterior (Henry G, 1918).
Nervus nasopalatinus
Nervus ini keluar dari ganglion pterygopalatinum Dan berjalan melewati cavum nasi serta
membantu mensuplai cavum nasi. Nervus ini berjalan ke bawah dan ke depan sepanjang vomer
Dan keluar dari cavum nasi melalui foramen incisivum dan mensuplai gingiva sisi palatal
didepan caninus rahang atas (Henry G, 1918).
M.mylohyodeus dan venter anterior m. digastricus yang ikut membentuk dasar mulut di
inervasi n. mylohyodeus. Musculus yang ikut membentuk bibir dan pipi di inervasi oleh n.
fasialis (Henry G, 1918).
LI.2 Memahami & menjelaskan anestesi lokal pada gigi 26
LO.2.1 Memahami & menjelaskan definisi anestesi lokal
Istilah analgesia dan anestesi sering digunakan tidak tepat seolah kedua kata tersebut
merupakan sinonim. Analgesia adalah hilangnya rasa sakit tanpa kehilangan sensasi indra
lainnya (seperti terhadap temperature dan tekanan). Anestesi adalah kehilangan semua bentuk
kesadaran, dan sering disertai dengan hilangnya fungsi motorik (Malamed, 2004).
Anestesi atau analgesia yang dapat mempengaruhi hanya sebagian tubuh dikenal sebagai
anastesi atau analgesia lokal. Jika seluruh tubuh terpengaruh, istilah anastesi atau analgesi umum
dapat digunakan. Istilah anestesi lebih disukai daripada analgesia di dalam pencabutan gigi
(Malamed, 2004).
Anestesi lokal didefinisikan sebagai kehilangan sensasi/ rasa pada area tertentu yang
dibatasi oleh nervus tertentu pada tubuh akibat depresi eksitasi pada serabut saraf maupun akibat
inhibisi pada proses konduksi saraf perifer (Malamed, 2004).
LO.2.2 Memahami & menjelaskan indikasi dan kontraindikasi anestesi lokal pada gigi 26
Indikasi dari pemberian anestesi lokal meliputi: (Sumawinata, N, 2013)
Tindakan bedah yang dapat menimbulkan rasa sakit yang tidak tertahankan oleh pasien,
diantaranya yaitu ekstraksi gigi, apikoektomi, gingivektomi, gingivoplasti, bedah periodontal,
pulpektomi, pulpotomi, alveoplasti, bone grafting, implant, perawatan fraktur rahang,
reimplantasi gigi avulse, perikoronitis, kista, bedah pengangkatan tumor, bedah pengangkatan
odontoma dan juga penjahitan dan Flapping pada jaringan muko-periosteum.
Kontraindikasi dari pemberian anestesi lokal meliputi: (Sumawinata, N, 2013)
1. Adanya infeksi akut pada daerah operasi (karena dapat menyebabkan penyebaran infeksi
melalui rusaknya daya pertahanan alami dan jarang dapat menimbulkan efek anestesi),
2. Terdapat inflamasi pada daerah tempat penyuntikan,
11

3.

Keadaan lingkungan periodontal yang tidak memungkinkan pemberian anestesi lokal yang
sempurna,
4. Anak-anak di bawah umur yang tidak mengenal dan tidak mengerti akibat anestesi,
5. Pada penderita yang lemah saraf dan penakut,
6. Pasien yang tidak dapat membuka mulut dengan lebar, misalnya pada keadaan trismus,
fraktur tulang rahang, ankilosis temporomandibula, dll
7. Pasien yang alergi terhadap bahan anestesi lokal,
8. Pasien dengan penyakit sistemik yang tidak terkontrol (misal diabetes tidak terkontrol)
9. Pasien yang tidak kooperatif,
10. Kurangnya kerjasama atau tidak adanya persetujuan dari pihak penderita,
11. Efek merugikan dari berbagai anas anestesi lokal modern terhadap kehamilan belum
terbukti. Tetapi diperkirakan vasokonstriktor relypressin mempunyai efek toksik ringan,
sehingga dapat mengganggu sirkulasi fetus dan mempercepat kelahiran. Umumnya anastesi
pada ibu hamil cukup aman asalkan diberikan dengan hati-hati. Namun sebaiknya dibatasai
perawatan yang hanya diperlukan saja, operasi dan restorasi ditunda setelah persalinan
(Sumawinata, N, 2013).
LO.2.3 Memahami & menjelaskan teknik anestesi lokal pada gigi 26
Teknik anestesi lokal
Terdapat beberapa teknik anestesi lokal untuk memperoleh anestesia jaringan pulpa.
Walton dan reader (2001) membagi tekhnik anestesi menjadi dua golongan yakni teknik
konvesiaonal dan teknik tambahan. Yang dimaksud dengan teknik konvensional adalah teknik
yang biasa dipergunakan seperti teknik blok atau teknik anestesia konduksi, dan teknik infiltrasi,
dengan beberapa variasinya seperi teknik Gowgate, dan akinosis, sedangkan teknik tambahan,
biasanya digunakan jika hasil teknik konvensional tidak memuaskan adalah teknik penyuntikan
ligament periodontium, teknik intrapulpa, atau teknik intraoseus (Sumawinata, N, 2013).
1.

Teknik anestesi infiltrasi


Teknik anestesi infiltrasi adalah penyuntikan anestesi lokal ke dalam jaringan luak di
daerah apeks gigi. Menurut grossman (1978), metode infiltrasi mungkin merupakan metode
paling sederhana, paling aman, dan paling cepat menimbulkan anestesia jaringan pulpa.
Penyuntikan dilakukan seperti halnya untuk ektraksi gigi; jarum suntik ditusukan di mucobuccal
fold ditempat sedikit ke mesial dari gigi yang akan di anestesi dan menusuknya kearah apeks gigi
sampai terasa menyentuh tulang. Teknik ini biasanya dilakukan pada gigi anterior. Berikut ini
adalah contoh penganestesian gigi anterior atau secara infiltrasi (Sumawinata, N, 2013).
Anestesi infiltrasi bukal pada gigi anterior maksila biasanya dikerjakan dengan
mengangkat bibir dengan mengangkat bibir dengan lengan yang bebas, lalu perlahan-lahan jarum
ditusukan di daerah mukosa bucaal fold, persis diatas apeks gigi yang akan dirawat. Sempritnya
dengan demikian sejajar dengan sumbu longitudinal gigi. Jarum ditusuk kedalam sedalam 3-5
mm. Hindarilah kontak jarum dengan periosteum atau tulang, dan larutan anastetik hendaknya
disuntikan perlahan-lahan. Walapun tidak ada pembulu darah besar di daerah ini, tindakan
aspirasi tetap dianjurkan (Sumawinata, N, 2013).
Infiltrasi didaerah palatum dilakukan pada gingiva palatum gigi yang akan dirawat.
Penganastesian ini biasanya menimbulkan nyeri, jika jarum mengenai periosteum dan
penyuntikan terlalu cepat. Oleh karena itu, penusukan jarum hendaknya dibuat menyudut dan
12

tidak menusuk terlalu dalam, atau didahului dengan anestesi konduksi palatal bagi insisif sentral
dan lateral (Sumawinata, N, 2013).
Jumlah anestetik yang dibutuhkan untuk anestesi infiltrasi kaninus dan insisif, baik bukal
maupun palatal, biasanya tidak banyak. Untuk infiltrasi bukal, cukup seperempat katrid untuk
setiap gigi, sementara untuk infiltrasi palatal, cukup seperdelapan katrid setiap gigi. Adakalanya
diperlukan injeksi pada papilla interdental, misalnya pada kasus periodontium atau implant.
Namun, ini biasanya menyakitkan, sehingga sebaiknya menunggu efek infiltrasi palatinanya
bekerja sebelum menyuntik papila interdental. Anestesi infiltasi sisi bukal molar atas dilakukan
dari depan dengan menyudut. Rahang atas berpermukaan datar sampai cembung, jarum
hendaknya disuntikan tepat diatas dan dorsal dari apeks. Untuk molar pertama, adakalanya harus
menyuntik di belakang crest dan sedikit lebih tinggi karena tebalnya tulang kortikal sehingga
menyukarkan difusi obat. Untuk sisi palatal, anestesi nervus palatinus mayus diperoleh degan
infiltrasi sedangkan untuk molar dua dan molar tiga dengan anastesi blok regional (Sumawinata,
N, 2013).

Gambar 2. Contoh anestesi infiltrasi pada gigi P


(Sumawinata, N, 2013)
Pada gigi 2.6:
Anestesi dilakukan sebanyak 3 kali pada nervus alveolaris superior media, nervus
alveolaris superior posterior dan nervus palatinus majus. Setiap sisi disuntikan sebanyak 0,5 ml
(Robinson, 2000).
LO.2.4 Memahami & menjelaskan instrument anestesi lokal pada gigi 26
Armamentarium (peralatan)
Peralatan yang dibutuhkan untuk menyuntik obat anestesi lokal meliputi semprit anestesi
(syringe), jarum suntik dan katrid anestesi (cartridge) (Sumawinata, N, 2013).
1.

Semprit anestesi
Semprit anestesi atau selanjutnya disebut semprit adalah alat, besama-sama dengan katrid
dan jarum anestesi, yang digunkana untuk menyuntikan obat anestesi (Sumawinata, N, 2013).
13

ADA (American dental association) telah menetapkan beberapa kriteria yang harus
dipenuhi oleh semprit anastesi. Kriteria tersebut: (Sumawinata, N, 2013).
a. Tahan lama dan tidak mudah rusak jika disterilkan berulang-ulang. Untuk semprit sekali
pakai (disposable), harus di pakai dalam satu wadah yang steril.
b. Cocok dengan berbagai jarum dan katrid dari bermacam-macam pabrik, dan harus tahan
pakai berulang-ulang.
c. Murah, ringan ,dan mudah digunakan.
d. Mudah diaspirasi dan dibuat sedemikian rupa sehingga jika ada darah yang teraspirasi akan
mudah dilihat di katrid.

Gambar 3. Bagian-bagian semprit


(Sumawinata, N, 2013)
Bagian-bagian semprit
Semprit anestetik lokal biasanya terdiri atas adaptor jarum, tabung semprit (barrel), piston
dengan harpoon, tatakan jari (finger grip) dan cincin jempol (thumb ring) (Sumawinata, N,
2013).
Macam-macam semprit
Selama ini terdapat beberapa macam semperit. Golongan semprit yang dapat diaspirasikan
adalah: (Sumawinata, N, 2013)
Semprit non-disposible, dengan berbagai tipe yakni: (Sumawinata, N, 2013)
14

Breech-loading, metal, tipe katrid, dan bisa disapirasikan


Breach loading artinya semprit itu diisi katrid dari pinggir semprit. Jarumnya dipasang
dibarel pada adaptor jarum. Jarum ditekan kedalam barel dan akan menembus diaframa
katrid.

Breech-loading, plastic, tipe katrid, dan bisa diaspirasikan


Semprit ini terbuat dari plastik dan biasanya bisa disterilkan memakai autoklaf atau secara
kimia. Keuntungan jenis ini adalah tahan karat, tidak mahal, ringan, dan katridnya visible.
Namun plastiknya akan rusak jika sering di autoklafkan.

Breech-loading, metal, tipe katrid, mengaspirasi sendiri


Bahaya jika anestetik lokal masuk ke pembulu darah cukup besar. Oleh karena itu, tes
aspirasi sangat penting dilakukan sebelum penyuntikan dilaksananakan. Guna memudahkan
aspirasi, telah dikembangkan semprit yang bisa mengaspirasi. Semprit jenis ini
memanfaatkan keelastikan karet diagfragma katrid guna memperoleh tekanan negative yang
dbutuhkan untuk aspirasi.

Semprit dengan tekanan (pressure syringe)


Semperit jenis ini mulai muncul diakhir tahun 1970an. Semprit bermanfaat dalam
melakukan penyuntikan intraligamen (atau ligamen periodontium) dan penyuntikan
intrapulpa.

Jet injector
Pada tahun 1947, figge dan schere memperkenalkan pendekatan baru dalam penyuntikan
parental yakni penyuntikan unit-jarum atau jet injection. Dalam dunia kedokteran gigi, jetinjection diperkenalkan oleh margetis dkk. Ditahun 1958, semprit ini berdasarkan prinsip
bahwa liquid yang didesakan pada lubang kecil, disebut jet, pada tekanan tinggi dapat
berpenetrasi pada kulit atau membran mukosa yang utuh.

Semprit disposable
Menggunakan jarum Luer-Lok dan tidak memiliki aspirating tip. Aspirasi dapat dilakukan
dengan menarik pendorong/penyedot dari semprit, dan karena tidak ada cincin jempol,
kadang-kadang aspirasi memerlukan dua tangan. Berbuhung tidak memakai katrid, larutan
anestetik lokal disedot dengan memasukan jarum kedalam vial atau katrid obat. Keuntungan
semprit ini adalah tetap steril sampai dibuka dari kemasan.

Semprit aman (safety syringe)


Maksud dari pengembangan semprit ini adalah untuk meminimalkan risiko tertusuknya
anggota tubuh dari jarum yang terkontaminasi. Digunakan untuk sekali pakai, contoh yang
ada dipasaran : Ultra Safety Plus XL, Hypo Safety Syringe, dan shot Safety Syringe.

15

Gambar 4. Alat-alat untuk penyuntikan anestetik lokal: (A, B) semprit yang banyak dipakai, (C)
semprit intraligamen berbentuk pistol, dan (D) semprit intraligamen cyto ject.
(Sumawinata, N, 2013)
2.

Jarum suntik

Anatomi jarum
Jarum merupkan sarana masuknya obat dari katrid kejaringan tubuh sasaran. Jarum suntik
bisa terbuat dari baja tahan karat, palatinum, aloi platinum-iridium, atau aloi rutheniumplatinum. Kebanyakan terbuat dari baja tahan karat dan bersifat disposable (sekali pakai).
Bagian-bagian dari suatu jarum suntik pada umumnya adalah bevel, shaft, hub, dan ujung yang
berhubungan dengan katrid (Sumawinata, N, 2013).
Diameter lumen jarum (gauge)
Faktor-faktor yang dipertimbangkan ketika memiliki jarum adalah diameter lumen jarum
(gauge) dan panjang jarumnya. Makin kecil nomer gauge makin besar diameter lumennya
(Sumawinata, N, 2013).
Panjang
Selama ini tersedia dua ukuran jarum pendek dan panjang. Terdapat juga jarum sangat
pendek (ultrashort) yang bisanya dengan gauge 30. Panjang rata-rata jarum ukuran pendek

16

adalah 20mm(diukur dari hub ke ujung berbevel) sedangkan panjang rata-rata yang panjang
adalah 32mm (Sumawinata, N, 2013).
Katrid
Katrid dalam anestesi kedokteran gigi adalah suatu silinder yang secara tradisional dibuat
dari kaca yang berisi larutan anestesi. Kini, terdapat pula katrid yang terbuat dari polipropilen.
Isinya biasanya 1,8ml sampai 2,2ml, bergantung pada pabrik pembuatannya. Katrid bisa juga
disebut carpule. komponen katrid adalah tabung kaca silinder, stopper, tutup alumunium dan
diafragma (Sumawinata, N, 2013).
3.

Isi larutan anestetik


Larutan anestetik yang terkandung dalam satu katrid atau ampul biasanya memiliki
beberapa komponen yakni obat (anestetik), vasokonstriktor dan preservatifnya. Preservative, anti
jamur, natrium khlorida, dan aqua destilata/ larutan ringer (Sumawinata, N, 2013).
Obat anestetik yang terkandung dalam satu katrid biasanya tercantum dengan persen
kadarnya. Misalnya 2% adalah 2 gram dalam 100ml. jadi 2% lidokain sama dengan 2g/100m,
atau 2000ml/100ml, atau 20mg/ml. dengan demikian dalam satu katrid ( biasanya 1,8ml) akan
mengandung 20mg x 1,8 = 36 mg lidokain (Sumawinata, N, 2013).
Obat (anestetik) memiliki sifat yang sangat stabil, dapat di autoklafkan, dipanaskan, atau
didinginkan. namun, komponen lainnya, misalnya vasokontriktor , akan terpengaruh, dan tutup
katrid akan rusak jika dipanaskan (Sumawinata, N, 2013).
Satu anestetik lokal diperkirakan bisa tahan (self life) selama 18 bulan sampai 2 tahun
tanpa bahan preservative. Preservative dipercaya dapat memeperpanajang daya tahan anastetik.
Preservative yang banyak digunakan adalah metilparaben atau caprylhydrocuprienotoxin. Tetapi,
kebanyakan preservative dapat menimbulkan reaksi alergi, dan senyawa ini kini jarang digunkan.
Timol adakalanya ditambahkan dalam larutana anestetik sebagai bahan antijamur. Natrium
khlorida ditambahkan kedalam larutan guna meng-isotonis-kan larutan anestesi. Sedangkan akua
destilas ditambahkan kedalam larutan anestetik mencangkup volume yang dibutuhkan
(Sumawinata, N, 2013).
Nama agen anestesi

Nama
larutan

dagang Deskripsi kimiawi


dari agen anestesi

Agen dengan ikatan ester Novocain


prokain

Agen dengan ikatan


Amida
Lidokain

Xylocain
Xylotox
Lidothesin
Nurocain
Lignostab A
Pensacain
Scandonest
Lignostab N
Xylotox

Para-amino
Benzoate
hydrochloride
Xylidide

Kekuatan
agen (%)

Vasokonstriktor

Konsentrasi
vasokonstrik
tor

1: 50000
1: 80000
Adrenalin
1: 80000
1: 100000
1: 100 000
Noradrenalin
1: 80000
17

Prilokain
Mepivakain

Xylotox PlaIn
Citanest 30
Citanest
Citanest Plain
Carbocain
Plain
Carbocain

4
Varian
toluene 3
dari xylidide
3
4
Varian acyl dari 3
xylidide
2

Adrenalin
Felypressin
Nil
Nil

1300000
0,03 i.u/ml
-

Adrenalin

1: 80000

a. Lidokain
Lidokain dapat menimbulkan anestesi lebih cepat dari pada prokain dan dapat tersebar
dengan cepat diseluruh jaringan, menghasilkan anestesi yang lebih dalam dengan durasi yang
cukup lama. Berbeda dengan prokain, lidokain tidak atau hanya sedikit menimbulkan
vasodilatasi dan karena itu hanya membutuhkan sedikit vasokonstriktor. Penambahan
vasokonstriktor pada larutan lidokain 2% akan dapat menambah durasi anastesi pulpa dari 5-10
menit menjadi 1-1,5 jam dan anestesi jaringan lunak dari 1-1,5 jam menjadi 3-4 jam. Jadi, obat
ini biasanya digunakan dalam kombinasi dengan adrenaline (1:80.000 atau 1:100.000) dan tiap
ml larutan lidokain 2% dengan adrenaline 1:80.000 mengandung: (Howe Geoffrey L, 1992)
Lidokain hidroklorid 20 mg
Sodium klorid 6 mg
Adrenaline hidroklorid 0,012 mg
Metil paraben 1 mg
Sodium metabisulfit 0,5mg
Dan sodium hidrosida untuk memodifikasi pH
Berbeda dengan prokain, lidokain selain digunakan untuk anestesi infiltrasi atau blok juga
dapat digunakan sebagai agen anestesi topikal. Untuk tujuan inilah lidokain baik dalam bentuk
agar viscous 2% atau salep 5% atau semprotan cair 10%. Walaupun lidokain 2 kali lebih toksik
dari pada prokain, bila digunakan dengan dosis yang tepat, tidak menimbulkan beberapa masalah
(Howe Geoffrey L, 1992).
Untuk lidokain dan mepivakain, dosis maksimal yang dianjurkan adalah 6-10 mg/kg. Tidak
lebih dari 500 mg (100 ml larutan 0,5% atau 50 ml larutan 1 %) (Eliastam, 1998).
Bila digunakan sebagai agen tunggal dosis total lidokain jangan lebih dari 200 mg
penambahan vasokonstriktor maka akan meningkatkan dosis total menjadi 350 mg serta
memperlambat absorpsi. Pada prkateknya, dosis ini sama dengan dosis dewasa 8-10 cartridge,
jauh melebihhi dosis yang biasa digunakan pada 1 kunjungan karna dosis atau cartridge sudah
cukup untuk anestesi infiltrasi atau regional (Howe Geoffrey L, 1992).
Bila lidokain dalam darah sudah mencapai tingkatan tertentu, berbeda dengan sebagian
besar agen anestesi lokal lainnya, lidokain cenderung menimbulkan tanda-tanda depresi sistem
saraf sentral, termasuk haus, sedasi, dan ataksia bukan tanda-tanda stimulasi sistem saraf sentral.
Namun kadang-kadang dapat terjadi tremor dan/atau konvulsi (Howe Geoffrey L, 1992).
Lidokain tidak mempunyai sifat allergenic terhadap agen anestesi lokal tipe ester, tetapi
sebaiknya tidak digunakan untuk pasien alergi terhadap agen anestesi lokal tipe amida atau alergi
paraben. Penggunaan lidokain juga merupakan kontraindikasi pada penderita penyakit hati yang
parah (Howe Geoffrey L, 1992).

18

b. Mepivacain (Karbokain)
Kecepatan timbulnya efek, durasi aksi potensi dan toksisitasnya mirip dengan lidokain.
Mepivacain tidak mempunyai sifat alergik terhadap agen anestesi lokal tipe ester (Howe
Geoffrey L, 1992).
Bahan ini dipasarkan sebagai garam hidroklorida dan dapat digunakan untuk anestesi
infiltrasi atau regional namun kurang efektif bila digunakan untuk anestesi topikal. Mepivacain
dapat menimbulkan vasokontriksi yang lebih ringan daripada lidokain tetapi biasanya
mepivacain digunakan dalam bentuk larutan dengan penambahan adrenalin 1 : 80.000. Dalam
bentuk seperti itu, dosis yang dipergunakan jaringan melebihi dosis maksimal 5 mg/kg berat
tubuh.Satu buah catridge biasanya sudah cukup untuk anestesi infiltrasi atau regional (Howe
Geoffrey L, 1992).
Mepivacain kadangkadang dipasarkan dalam bentuk larutan 3% tanpa penambahan
vasokonstriktor, untuk mendapat kedalaman dan durasi anestesi pada pasien tertentu dimana
pemakaian vasokonstriktor merupakan kontraindikasi. Larutan seperti ini dapat menimbulkan
anestesi pulpa yang berlangsung antara 20 40 menit dan anestesi jaringan lunak berdurasi 2 4
jam (Howe Geoffrey L, 1992).
Obat ini jangan digunakan pada pasien yang alergi terhadap anestesi lokal tipe amida, atau
pasien yang menderita penyakit hati yang parah. Mepivacain yang dipasarkan dengan nama
dagang Carbocaine biasanya tidak mengandung paraben dan karena itu, dapat digunakan pada
pasien yang alergi paraben (Howe Geoffrey L, 1992).
Toksisitas mepivacain setara dengan lidokain namun bila mepivacain dalam darah sudah
mencapai tingkatan tertentu, akan terjadi eksitasi sistem saraf sentral bukan depresi, dan eksitasi
ini dapat berakhir berupa konvulsi dan depresi respirasi (Howe Geoffrey L, 1992).
c. Prilokain
Walaupun merupakan derivate toluidine, agen anestesi lokal tipe amida ini pada dasarnya
mempunyai formula kimiawi dan farmakologi yang mirip dengan lidokain dan mepivacain
(Howe Geoffrey L, 1992).
Prilokain umumnya dipasarkan dalam bentuk garam hidroksida dengan nama dagang
Citanest dan dapat digunakan untuk mendapat anestesi infiltrasi dan regional. Namun prilokain
biasanya tidak dapat digunakan untuk mendapat efek anestesi topikal (Howe Geoffrey L, 1992).
Prilokain biasanya menimbulkan aksi yang lebih cepat daripada lidokain namun anestesi
yang ditimbulkannya tidaklah terlalu dalam. Prilokain juga kurang mempunyai efek vasodilator
bila dibanding dengan lidokain dan biasanya termetabolisme dengan lebih cepat. Obat ini kurang
toksik dibandingkan dengan lidokain tetapi dosis total yang dipergunakan sebaiknya tidak lebih
dari 400mg (Howe Geoffrey L, 1992).
Bahan ini jangan digunakan untuk bayi, penderita metahaemoglobinemia, penderita
penyakit hati, hipoksia, anemia, penyakit ginjal atau gagal jantung atau penderita kelainan lain
dimana masalah oksigenasi berdampak fatal, seperti pada wanita hamil. Prilokain juga jangan
dipergunakan pada pasien yang mempunyai riwayat alergi terhadap bahan anestesi tipe amida
atau alergi paraben (Howe Geoffrey L, 1992).
Penambahan felypressin (Octapressin) dengan konsentrasi 0,03 i.u/ml (= 1 : 200.000)
sebagai bahan vasokonstriktor akan dapat meningkatkan baik kedalaman maupun durasi anestesi.
Larutan anestesi yang mengandung felypressin akan sangat bermanfaat bagi pasien yang
menderita penyakit kardio-vaskular (Howe Geoffrey L, 1992).

19

d. Vasokonstriktor
Penambahan sejumlah kecil agen vasokonstriktor pada larutan anestesi local dapat
memberi keuntungan berikut ini: (Howe Geoffrey L, 1992)
1). Mengurangi efek toksik melalui efek penghambat absorpsi konstituen.
2). Membatasi bahan anestesi hanya pada daerah yang terlokalisir sehingga dapat meningkatkan
kedalaman dan durasi anestesi.
3). Menimbulkan daerah kerja yang kering (bebas bercak darah) untuk prosedur operasi.
4). Vasokonstriktor yang biasa dipergunakan adalah:
Adrenalin (epinephrine), suatu alkaloid sintetik yang hampir mirip dengan sekresi
medulla adrenalin alami.
Felypressin (Octapressin), suatu polipeptid sintetik yang mirip dengan sekresi glandula
pituitari posterior manusia. Felypressin mempunyai sifat vasokonstriktor yang lemah,
yang tampaknya dapat diperkuat dengan penambahan prilokain.
Baik kedalaman dan durasi anestesi dapat dimodifikasi karena penambahan
vasokonstriktor dalam larutan. Karena itu, beberapa pabrik membuat larutan lidokain yang
mengandung adrenalin atau nor-adrenalin dengan konsentrasi 1:50000, 1:80000 atau 1:100000.
Pada umumnya makin rendah konsentrasi vasokonstriktor, makin kecil kedalam durasi anastesi.
Felypressin ditambahkan pada larutan Citanest dengan konsentrasi 0,03 i.u/ml (= 1:20000)
(Howe Geoffrey L, 1992).
Nor-adrenalin (laevoarterenol, norephrine) suatu substansi sintetik yang mirip dengan
presoramina yang disekresi dalam tubuh manusia oleh neuron monoaminergik pada otak dan
pada pertautan adreno neural serta mio neural system saraf simpatetik yang digunakan
sebagai vasokonstriktor untuk larutan anestesi lokal.Namun, bahan ini dapat menimbulkan efek
samping berupa episode hipertensi yang parah dan kolaps (Howe Geoffrey L, 1992).
Adrenalin adalah bahan yang sering digunakan dan merupakan vasokonstriktor yang paling
efektif, namun reaksi alergi terhadap bahan ini juga tidak jarang terjadi (Howe Geoffrey L,
1992).
Larutan anestesi lokal yang mengandung adrenalin jangan digunakan bersama dengan
bahan anestesi umum yang mengandung hidrokarbon halogenasi atau siklopropan karena adanya
kemungkinan terjadinya fibrilasi ventikular. Felypressin dapat digunakan dengan aman pada
situasi ini walupun tidak menimbulkan vasokonstriksi pada daerah kerja dengan derajat yang
sama seperti adrenalin (Howe Geoffrey L, 1992).
Felypressin juga dapat digunakan pada pasien dengan tirotoksikosis dan pada mereka yang
menggunakan obat obat penghambat oksidasi monoamin atau obat trisiklid. Penggunaan
felypressin merupakan kontra pada wanita hamil karena memberikan efek oksitoksik.Penderita
penyakit jantung iskemia jangan diberikan suntikan dengan dosis lebih dari 8,8 ml 1 : 20000
sekali perawatan karena dapat terjadi vasokonstriksi koroner yang menyebabkan takikardia
(Howe Geoffrey L, 1992).
LO.2.5 Memahami & menjelaskan cara anestesi lokal pada gigi 26
Langkah-langkah anestesi gigi 2.6:
1. Persiapan pada pasien
Kebanyakan pasien memiliki rasa takut saat melihat jarum suntik. Dokter harus
memberikan ketenangan pada pasien dengan cara menunjukan sikap yang ramah dan empati
kepada pasien serta dokter harus meyakinkan bahwa tindakan yang akan dilakukan tidak akan
20

menimbulkan rasa sakit. Dokterharus menjelaskan masalah yang dialami pasien serta tindakan
yang akan dilakukan pada pasien. Posisi duduk pasen juga harus diperhatikan, pasien diposisikan
dalam keadaan nyaman adar operator dapat melihat dan dengan mudah menjangkau daerah yang
akan dianestesi. Untuk mencapai keberhasilan anestesi antara pasien dan dokter harus dalam
keadaan releks (Robinson, 2000).
2. Persiapan permukaan mukosa yang akan di anestesi (Robinson, 2000).
Dokter harus mengetahui permukaan mukosa mulut yang akan di anestesi.
Permukaan mukosa yang akan dianestesi harus dikeringkan dengan cotton pallet.
Permukaan mukosa dapat diolesi anestesi topikal untuk meredakan rasa nyeri saat jarum
masuk menembus mukosa.
Harus dimasukan kedalam mukosa secara perlahan dengan arah bevel jarum ke arah
tulang menyusuri periosteum.
Arah jarum terhadap mukosa dengan kemiringan 45 derajat.
Sebelum menginjeksi obat anestesi harus di aspirasi terlebih dahulu untuk memastikan
bahwa suntikan tidak masuk ke pembuluh darah.
Cairan dimasukan secara perlahan sebanyak 0,5-1 ml.
3. Menunggu reaksi anestesi
Setelah cairan anestesi disuntikan dokter harus menunggu reaksi cairan anestesi agar efek
yang didapat maksimal. Carian anestesi akan menyebar ke jaringan sekitar dan menyebar ke
saraf yang dituju. Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan reaksi anestesi yang optimal
selama 5 menit (Robinson, 2000).
4. Mengetes reaksi anestesi
LO.2.6 Memahami & menjelaskan komplikasi anestesi lokal pada gigi 26
Komplikasi lokal
1. Infeksi
Anastesi pada jaringan yang sedang infeksi dapat menyebabkan penyebaran infeksi ke
jaringan lain. Penyebab utama terjadinya infeksi biasanya terjadi karena adanya kontaminasi
jarum sebelum disuntikan, serta penanganan ddaerah anestesi yang kurang streril dan
penyimpanan alat yang kurang baik. Infeksi yang terjadi bisa juga berupa infeksi silang anatara
pasien, dokter dan perawat karena kelalaian seperti tertuuk jarum setelah dipakai pasien yang
mengidap penyakit hepatitis. Maka, sebaiknya jangan meninggalkan jarum dalam keadaan
terbuka (Sumawinata, N, 2003).
2.

Kegagalan untuk mendapatkan efek anestesi


Kegagalan dapat bersifat sebagian atau menyeluruh, bisa juga hanya timbul efek analgesia
saja tidak menimbulkan efek anestesi yang diperlukan. Kegagalan anestesi biasanya dikarenakan
teknik yang salah, jumlah larutan anestesi lokal yang didepositkan didekat syaraf terlalu sedikit
atau menyebabkan larutan anestesi terdeposit dipembuluh darah. Pada kasus seperti ini biasanya
anestesi dapat diperoleh dengan mengulang suntikan setelah memeriksa landmark anatomi dan

21

setelah meninjau ulang teknik suntikan yang digunakan. Suntikan intraligamentall atau ligamen
periodontal sering dapat digunakan pada situasi seperti ini (Howe Geoffrey L, 1992).
Pada situasi infeksi akut biasanya gagal, pada lingkungan yang bersifat asam larutan anestesi
lokal cenderung tidak efektif karena agen anestesi yang bersifat alkaloid tidak dapat terdisosiasi
pada keadaan aktif, selain itu beresiko adanya penyebaran infeksi melebihi barier pertahanan
tubuh, kenaikan vaskularisasi jaringan yang meradang akut juga merupakan salah satu faktor
penyebab pada keadaan ini anestesi dapat diperoleh dengan teknik anestesi regional dimana
larutan anestesi didepositkan pada jaringan sehat yang letaknya jauh dari peradangan (Howe
Geoffrey L, 1992).
Penggunaan larutan yang kedaluwarsa juga menyebabkan kegagalan efek anestesi maka
dari itu dianjurkan untuk memastikan dengan benar sebelum penggunaan. Adapula individu yang
memeiliki reisitensi terhadap obat tertentu, kita dapat mengantisipasi dengan pemberian obat lain
yang komposisi kimianya berbeda (Howe Geoffrey L, 1992).
3.

Sakit selama suntikan


Biasanya disebabkan karena jarum yang tumpul, tajamnya jarum merupakan faktor
penting, dipastikan dokter gigi hanya menggunakan jarum disposable berkualitas. Jarum yang
tajam lebih mudah berpenetrasi ke dalam jaringan daripada jarum yang tumpul. Sakit dapat pula
timbul dari larutan nonisotonik atau larutan yang terkontaminasi. Pemberian suntikan blok pada
gigi inferior dapat menyebabkan neuralgia pain karena mengenai syaraf tersebut. Sakit yang lain
bisa juga disebebkan efek anestesi yang telah hilang (Howe Geoffrey L, 1992).
4.

Haematoma
Perdarahan setelah injeksi dalam keadaan normal terjadi sedikit sekali sehingga pasien
tidak menyadarinya. Namun, jika terjadi dalam jumlah banyak akan mengakibatkan
pembengkakan dan akan terjadi iritan untuk jaringan sehingga menimbulkan nyeri dan trismus.
Namun, haematoma makin lama akan menghilang secara perlahan (Sumawinata, N, 2003).
5.

Parestesia
Parastesi bisa terjadi selama beberapa jam lebih lama dari durasi biasanya terjadi bahkan
bisa sampai berhari hari atau berbulan bulan. Parastesia ini bisa terjadi karena disebabkan oleh
trauma pada syaraf akibat tertusuk oleh jarum, pasien akan merasakan adanya kejutan listrik
ketika syaraf mengalami trauma saat tertusuk jarum. Penyebab lainya parastesia dapat
disebabkan karena obat anastesi terkontaminasi dengan alkohol, hemoragi disekitar syaraf juga
dapat menyebabkan parastesia (Sumawinata, N, 2003).
6.

Paralisis nervus fasialis


Paralisis nervus fasialis terjadi karena injeksi dilakukan terlalu dekat dengan nervus
fasialis. Hal ini biasanya terjadi saat anestesi mandibular blok terlalu ke belakang memasuki
kapsul glandula parotis. Akibat parasilis nervus ini maka otot-otot ekspresi wajah tidak berfungsi
atau paralisis. Jika hal ini terjadi maka harus dilakukan anestesi ulang (Sumawinata, N, 2003).
7.

Kepucatan
Kepucatan daerah penyuntikan atau daerah lain dapat disebebkan oleh suntikan, umumnya
disebabkan oleh kombinasi meningkatnya ketegangan jaringan akibat deposisi cairan dan efek
lokal dari vasokonstriktor. Kepucatan pada daerah yang jauh dari daerah suntikan disebabkan
22

karena suntikan intravaskular atau terganggunya suplai pembuluh darah dari syaraf autonom
(Howe Geoffrey L, 1992).
Iskemia umumnya bersifat sementara, tindakan yang dilakukan adlaah menenangkan
pasien (Howe Geoffrey L, 1992).
8.

Trismus
Trismus adalah keadaan spasme yg berkepanjangan otot-otot rahang sehingga pasien sulit
untuk membuka mulutnya. Hal ini terjadi karena adanya trauma pada otot-otot atau pembuluh
darah dalam fosa infratemporalis. Penyebab lainya adalah karena pemakaian obat anestesi yang
bersifat toksik, hemoragi, infeksi setelah injeksi (Sumawinata, N, 2003).
9.

Gangguan sensasi yang berlangsung lama


Umumnya disebabkan oleh kerusakan syaraf, akibat trauma langsung dari bevel jarum atau
penyuntikan yang terkontaminasi substansi neurotoksik seperti alkohol. Perdarahan dan infeksi
juga dapat menyebabkan sensasi yang berlangsung lama (Howe Geoffrey L, 1992).
10. Patahnya jarum
Dahulu jarum hipodermik digunakan oleh dokter gigi direndam dalam larutan desinfektan
kimia, tindakan ini bukan hanya gagal memberi efek steril tapi menyebabkan korosi logam dan
menyebabkan jarum mudah patah. Jarum harus dijaga agar tetap lurus ketika diinsersikan ke
jaringan. Bila jarum tertahan dalam jaringan kita harus memberitahu dan mengkonsultasikan
kepada dokter bedah mulu (Howe Geoffrey L, 1992).
11. Trauma bibir
Pasien anak yang mendapatkan suntikan blok gigi inferior perlu diingatkan untuk tidak
menggitgigit bibir yang teranestesi yang dapat menimbulkan ulser dan nyeri, pasien dewasa juga
harus diingatkan tentang resiko kerusakan termis dari bibir akibat minuman panas atau merokok
(Howe Geoffrey L, 1992).
12. Gangguan visual
Diperkirakan bahwa keadaan ini disebabkan oleh kejang vaskular atau suntikan intra
arterial yang tidak disengaja. Beberapa suntikan maksilaris dapat menyebabkan larutan
terdeposit ke orbital sehingga menanestesi otot mata (Howe Geoffrey L, 1992).
Komplikasi sistemik
1.

Reaksi terkait dengan penyuntikan: (Sumawinata, N, 2003)


Masuknya anestetik ke pembuluh darah
Hal ini akan menyebabkan paralisis satu sisi nervus fasialis yang untungnya hanya
berlangsung beberapa jam saja.
Pingsan
Suatu reaksi psikomotor.
Infeksi silang

23

2.

Apabila ini terjadi, maka akan terjadi risiko yang serius. Infeksi yang dapat
ditransmisikan dari pasien ke pasien atau ke operator adalah herpes simpleks, hepatitis B
dan C (juga varian lain), human immunodeficiency virus dan penyakit Creutzfeldt-Jakob.
Reaksi terkait dengan anestetik lokal: (Sumawinata, N, 2003)
Toksisitas
Biasanya terjadi karena terserapnya anestetik lokal dalam jumlah besar ke dalam
pembuluh darah.
Alergi
Reaksi hipersensitivitas
Methemoglobinemia
Terdapatnya methemoglobin (metHb) di dalam darah. Komplikasi ini terbilang jarang.
Kontrasksi uterus
Semua anestetik lokal akan melewati plasenta. Bupivakain adalah anestetik lokal yang
paling toksik terhadap jantung dan merupakan kontraindikasi pada kehamilan.

3.

Reaksi terkait dengan vasokonstriktor


Efek membahayakan yang paling sering dijumpai adalah masuknya anestetik lokal
mengandung vasokonstriktor ke dalam pembuluh darah karena tersuntiknya pembuluh darah
secara tidak sengaja, yang akan meningkatkan curah jantung dan detak jantung (Sumawinata, N,
2003).
Komplikasi umum
1. Sinkop
Kolaps dapat terjadi tiba-tiba dan dapat disertai atau tidak disadari dengan hilangnya
kesadaran. Sebagian besar karena serangan vasovagal atau pingsan karena penurunan suplai
darah pada otak yang mendadak yang menimbulkan hipoksia serebral dan umumnya akan pulih
secara spontan. Pasien memiliki riwayat iskemia jantung atau hipertensi umumnya merupakan
kelompok beresiko tinggi, dimana mudah terjadi penurunan tekanan darah. Pasien sering
mengeluh trntsng rasa pusing , lemas dan nausea, dengan kulit yang pucat, dingin serta mudah
keringat (Howe Geoffrey L, 1992).
Pertolongan pertama harus segera diberikan dan pasien tidak boleh ditinggalkan. Prioritas
pertama adalah memulihkan dan mempertahankan saluran udara dan pernapasan, dan sirkulasi.
Bila pasien sudah sabar dapat diberikan minuman hangat bergula agar lebih tenang (Howe
Geoffrey L, 1992).
2.

Interaksi obat
Ada beberapa obat untuk penyakit sistemik yang dapat berinteraksi dengan obat anestesi.
Seperti obat antidepresi dengan golongan trisiklik, bahwa efek nor-adrenalin akan meningkat
sebagai akibat penggunaan golongan trisiklik dan efek adrenalin semakin berkurang (Howe
Geoffrey L, 1992).
3.

Hepatitis serum
Agen penyebab penyakit yang serius ini adalah antigen yang berhubungan dengan hepatitis
B (GBaAG) yang juga disebut sebagai virus B dan antigen Australia. Beberapa individu
24

yang sehat biasanya sudah mempunyai antigen ini dalam darahnya sejak waktu yang lama.
Mungkin bahkan sejak lahir, tanpa menunjukkan tanda tanda klinis dari hepatitis serum.
Walaupun demikian, bila antigen ditularkan dari individu tersebut ke individu yang rentan maka
akan timbul manifestasi menyeluruh dari hepatitis serum. Pasien yang tertular penyakit sebagai
akibat perawatan yang dilakukan dokter gigi umumnya jarang ditemukan karena periode
inkubasinya adalah 160 hari. Pada saat ini, pasien sudah tidak menghubungkan penyakitnya
dengan perawatan gigi dan akan mencari kedokter umum. Pada praktek dokter gigi, resiko
penyebaran sangatlah besar terutama bila menggunakan syringe dan jarum yang kurang steril.
Resiko penularan penyakit yang cukup tinggi selama prosedur perawatan gigi adalah alasan
mengapa jarum hipodemik jangan pernah digunakan ulang pada pasien lainnya. Resiko
penularan penyakit selama penyuntikan gigi juga didiskusikan dalam Laporan The Expert Group
On Hepatitis In Dentistry (1971) yang menyatakan bahwa penggunaan catridge larutan yang
baru dan jarum disposable yang baru setiap pasien merupakan langkah tindakan rutin universal
(Howe Geoffrey L, 1992).
4.

Reaksi Sensitivitas
Reaksi terhadap penyuntikan larutan anestesi lokal yang sering terjadi daripada yang kita
bayangkan selama ini. Reaksi mempunyai derajat yang bervariasi dari pembengkakan oedematus
lokal dan urtikaria pada daerah suntikan sampai reaksi anapilatik yang berbahaya dan parah
yang terbukti fatal bila tidak cepat ditangani. Perlu diingat bahwa setiap kali larutan anestesi
lokal disuntikan semua konstituennya akan masuk ke aliran darah dan menimbulkan efek toksik
ringan, reaksi lokal lebih sering terjadi daripada sistemik dan biasanya dapat pulih kembali tanpa
perawatan aktif. Namun, bila reaksi tidak dapat pulih secara spontan, pemberian obat
antihistamin seperti tablet chlorphreniramine maleate (piriton) maksimal selama 3 hari (Howe
Geoffrey L, 1992).
Reaksi toksik karena dosis berlebihan dapat terlihat bila kada lidokain dalam plasma lebih
besar daripada 5 g/ml. Konsentrasi ini dapat dicapai pada perawatan gigi terutama bila
dilakukan penyuntikan intravaskular secara kurang tepat atau bila dilakukan pendepositan
sejumlah besar larutan anestesi lokal secara tepat (Howe Geoffrey L, 1992).
Tanda pertama dari respon sistem darah sentral biasanya berupa eksitasi seperti pusing,
gelisah, nausea, atau sakit kepala ringan diikuti dengan tremor dan denyut muskular terutama
pada wajah, tangan, dan kaki. Baru kemudian akan terjadi konvulsi dan biasanya reaksi seperti
ini hanya terjadi dalam waktu yang singkat dan jika tetap berlangsung dalam waktu lama makan
saluran pernapasan harus dipertahan dan konvulsi dikontrol dengan pemberian diazepame
intravena. Jarang sekali pasien yang nervus menjadi hiperventilasi dan terjadi tetani. Bila
tingkatan plasma meningkat sangat cepat, tahap stimulasi umumnya bersifat sementara dan efek
depresif umumnya lebih dominan. Pada situasi ini cenderung terjadi hilangnya kesadaran dan
depresi aktivitas respirasi atau vasomotor (Howe Geoffrey L, 1992).
Hipersensitivitas terhadap larutan anestesi lokal adalah suatu hal yang sangat jarang
ditemukan. Pasien ini umumnya memberikan reaksi berlebihan terhadap sejumlah kecil larutan
anestesi lokal dan mengalami anestesi lama walaupun dengan pemberian dosis yang standar
(Howe Geoffrey L, 1992).
5.

Reaksi Alergi
Reaksi alergi adalah reaksi yang ditimbulkan oleh antibodi yang terbentuk sebagai respon
terhadap kontak dengan agen atau obat dengan struktur yang sama, dimasa lalu. Reaksi alergi
25

pada dasarnya merupakan respon patologi dari jaringan yang sensitif terhadap substansi
substansi tertentu yang disebut sebagai alergen. Pasien yang terserang penyakit alergi seperti
asma bronkial sangat mudah mengalami reaksi hipersensitifitas terhadap obat-obat (Howe
Geoffrey L, 1992).
Respon alergi terhadap agen anestesi yang memppunyai ikatan amida sangat jarang terjadi,
prilokain yang sangat jarang menimbulkan reaksi alergi dibanding agen-agen anetesi lainnya dan
hanya ada beberapa kasus alergi akibat bahan pengawet yang terkandung dalam larutan anestesi
seperti methyl paraben. Namun sudah ditemukan adanya alergi terhadap agen-agen anestesi
dengan ikatan amida yang terdiri dari sakit dan pembengkakan lokal pada daerah penyuntikan,
nausea, lemas, pruritus, urtikaria, bronkospasme meningkatnya hipotensi, gangguan visualisasi
dan pembengkakan wajah bilateral yang biasanya mengenai jaringan periodontal (Howe
Geoffrey L, 1992).
Anafilaksis umumnya ditandai dengan turunnya tekanan darah mendadak, hilangnya
kesadaran, gangguan respirasi, oedema wajah dan laryngeal serta urtikaria. Perawatan untuk
kondisi tersebut terdiri dari penyuntikan hydrocortisone hemisuccinate sodium secara perlahan
dan intravena dengan dosis 100 mg dalam 2 ml larutan. Reaksi alergi yang lebih parah dapat
diredakan dengan suntikan intramuscular dari larutan adrenalin 0,1%, 1 ml (1 dalam 1000), yang
diulang setiap 5 menit sampai symptom mulai hilang atau sampai dosis maksimal 5 m.
pemberian dosis adrenalin yang besar tersebut selalu mempunyai resiko yang dapat
menimbulkan gagal jantung akut (Howe Geoffrey L, 1992).
Sifat reaksi sensitivitas yang sangat berbahaya inu menyebabkan perlu dilakukan
pemeriksaan yang cermat dan menyeluruh pada semua pasien yang akan mendapatkan
penyuntikan tersebut, tentang pengalaman obat-obat tertentu. Karena larutan anestesi harus
dikombinasi dengan protein tubuh agar dapat merangsang timbulnya reaksi atropik. Antibodi
spesifik yang terbentuk adalah tipe IgE yang terikat pada basophil didalam darah dan sel mast
didalam jaringan (Howe Geoffrey L, 1992).
6.

Gangguan Respiratori
Bila respirasi terhenti, otot skeletal akan menjadi pasif dan pupil akan terdilatasi lebar.
Pada keadaan ini pasien harus dibaringkan dan saluran pernafasan harus dibersihkan dari semua
peralatan, pesawat, atau benda asing dengan menggerakkan mandibular keatas dan kedepan
untuk meluruskan leher sebisa mungkin. Saluran udara kemudian dijaga dengan tindakan
angkat lejher-miringkan kepala letakkan bantalan di bawah leher pasien dan luruskan letak
kepala pasien dengan memberikan tekanan ke bawah pada dahi. Maka rahang harus diangkat
dengan memindahkan sandaran pada leher dan memegang rahang bawah dengan jari telunjuk
dan ibu jari dibawah sudut mandibular. Namun tindakan ini tidak dapat dilakukan pada pasien
yang sangat gemuk atau sangat muscular atau pada pasien konvulsi dengan keadaa otot-otot
tegang dan gigi geligi berkontak erat, untuk situasi ini perlu dipasang saluran udara nasofaring.
Lubang hidung pasien harus ditutup dengan ibu jari dan telunjuk operator dan harus dilakukan
resusitasi mulut ke mulut sampai dada berdenyut naik setiap 3-4 detik. Selama penanganan
tersebut, dokter gigi juga harus memeriksa denyut carotid dan puncak denyutan pada interval
yang teratur, karena terhentinya pernapasan akan cepat diikuti gagal jantung (Howe Geoffrey L,
1992).

26

Gambar 5. (A,B) meluruskan kepala untuk membersihkan saluran udara, (C) teknik respirasi
buatan.
(Howe Geoffrey L, 1992)
7.

Gagal Jantung
Tandan tanda gagal kardiovaskular umumnya bervariasi sebelum jantung berhenti
berdenyut. Kulit, terutama akan berwanna pucat dan berkeringat, pasien dengan menunjukkan
tanda-tanda awal harus di tidurkan telentang, dengan kepala miring kesalah satu sisi untuk
melawan efek postur semi-tegak dan mengurangi faktor gavitasional yang disebabkan karena
perbedaan tinggi antara jantung dan otak, kemudian pakaian yang ketat dilonggarkan, kaki
pasien harus dinaikkan untuk merangsang terjadinya aliran darah venosus ke jantung sehingga
dapat memperbaiki output krdiak. Bila tidak pulih, dapat dilakukan pemberian oksigen (Howe
Geoffrey L, 1992).
Resusitasi yang terlalu lama merupakan tindakan yang melelahkan dan tetap harus
dilakukan sampai warna wajah pasien normal kembali, sampai pupil berkontraksi dan denyut
jantung serta respirasi pulih kembali (Howe Geoffrey L, 1992).
8.

Hiperventilasi
Pernapasan yang dalam dan lama (abnormal) adalah merupakan manifestasi histeris dari
ketakutan dan dapat mengganggu kesadaran. Pasien seperti ini umumnya menunjukkan tandatanda hiperventilasi, pingsan dan pucat dan menunjukkan sensasi tingling pada ibu jari dan bibir.
Volume, ritme dan kecepatan denyutan umumnya normal. Bila tidak dirawat kondisi ini akan
diikuti dengan timbulnya tetani dengan karpopedal dan kejang rahang. Bila kondisi ini sudah
terdiagnosa, maka perawatan umumnya sederhana, pasien dapat dibuat agar menarik dan
menghembuskan napas dalam suatu kantung kertas sampai kondisi ini pulih kembali (Howe
Geoffrey L, 1992).
LI.3 Memahami & menjelaskan pencabutan gigi 26
LO.3.1 Memahami & menjelaskan definisi pencabutan gigi
Menurut Pedlar dan Frame, pencabutan gigi merupakan suatu prosedur bedah yang dapat
dilakukan dengan menggunakan tang, elevator, atau penekanan trans alveolar (Jonathan P, 2007).
Pencabutan gigi adalah pengangkatan gigi dari soketnya. Pencabutan gigi dapat dilakukan
dengan lokal anestesi jika gigi terlihat jelas dan tampak mudah dicabut (Mohamad L, 2006).
Pencabutan gigi merupakan suatu proses pengeluaran gigi dari alveolus, di mana pada gigi
tersebut sudah tidak dapat dilakukan perawatan lagi. Pencabutan gigi juga merupakan operasi
bedah yang melibatkan jaringan bergerak dan jaringan lunak dari rongga mulut, akses yang
27

dibatasi oleh bibir dan pipi, dan pencabutan selanjutnya dihubungkan/disatukan oleh gerakan
lidah dan rahang. Definisi pencabutan gigi yang ideal adalah pencabutan tanpa rasa sakit satu
gigi utuh atau akar gigi dengan trauma minimal terhadap jaringan pendukung gigi, sehingga
bekas pencabutan dapat sembuh dengan sempurna dan tidak terdapat masalah prostetik di masa
mendatang (Nina, 2010).
LO.3.2 Memahami & menjelaskan indikasi dan kontraindikasi pencabutan gigi 26
Indikasi Pencabutan Gigi
Gigi mungkin perlu di cabut untuk berbagai alasan, misalnya karena sakit gigi itu sendiri,
sakit pada gigi yang mempengaruhi jaringan di sekitarnya, atau letak gigi yang salah. Di bawah
ini adalah beberapa contoh indikasi dari pencabutan gigi: (Peterson J, 2003)
a. Karies yang parah
Alasan paling umum dan yang dapat diterima secara luas untuk pencabutan gigi adalah
karies yang tidak dapat dihilangkan. Sejauh ini gigi yang karies merupakan alasan yang tepat
bagi dokter gigi dan pasien untuk dilakukan tindakan pencabutan (Peterson J, 2003).
b. Nekrosis pulpa
Sebagai dasar pemikiran, yang ke-dua ini berkaitan erat dengan pencabutan gigi adalah
adanya nekrosis pulpa atau pulpa irreversibel yang tidak diindikasikan untuk perawatan
endodontik. Mungkin dikarenakan jumlah pasien yang menurun atau perawatan endodontik
saluran akar yang berliku-liku, kalsifikasi dan tidak dapat diobati dengan tekhnik endodontik
standar. Dengan kondisi ini, perawatan endodontik yang telah dilakukan ternyata gagal untuk
menghilangkan rasa sakit sehingga diindikasikan untuk pencabutan (Peterson J, 2003).
c. Penyakit periodontal yang parah
Alasan umum untuk pencabutan gigi adalah adanya penyakit periodontal yang parah. Jika
periodontitis dewasa yang parah telah ada selama beberapa waktu, maka akan nampak
kehilangan tulang yang berlebihan dan mobilitas gigi yang irreversibel. Dalam situasi seperti ini,
gigi yang mengalami mobilitas yang tinggi harus dicabut (Peterson J, 2003). Pada kasus gigi
goyang derajat 2 dan 3 (Howe Geoffrey L, 1992).
d. Alasan orthodontik
Pasien yang akan menjalani perawatan ortodonsi sering membutuhkan pencabutan gigi
untuk memberikan ruang untuk keselarasan gigi. Gigi yang paling sering diekstraksi adalah
premolar satu rahang atas dan bawah, tapi premolar ke-dua dan gigi insisivus juga kadangkadang memerlukan pencabutan dengan alasan yang sama (Peterson J, 2003).
e. Gigi yang mengalami malposisi
Gigi yang mengalami malposisi dapat diindikasikan untuk pencabutan dalam situasi yang
parah. Jika gigi mengalami trauma jaringan lunak dan tidak dapat ditangani oleh perawatan
ortodonsi, gigi tersebut harus diekstraksi. Contoh umum ini adalah molar ketiga rahang atas yang
keluar kearah bukal yang parah dan menyebabkan ulserasi dan trauma jaringan lunak di pipi.
Dalam situasi gigi yang mengalami malposisi ini dapat dipertimbangkan untuk dilakukan
pencabutan (Peterson J, 2003).
28

f. Gigi yang retak


Indikasi ini jelas untuk dilakukan pencabutan gigi karena gigi yang telah retak. Pencabutan
gigi yang retak bisa sangat sakit dan rumit dengan tekhnik yang lebih konservatif. Bahkan
prosedur restoratif endodontik dan kompleks tidak dapat mengurangi rasa sakit akibat gigi yang
retak tersebut (Peterson J, 2003).
g. Pra-prostetik ekstraksi
Kadang-kadang, gigi mengganggu desain dan penempatan yang tepat dari peralatan
prostetik seperti gigitiruan penuh, gigitiruan sebagian lepasan atau gigitiruan cekat. Ketika hal ini
terjadi, pencabutan sangat diperlukan (Peterson J, 2003).
h. Gigi impaksi
Gigi yang impaksi harus dipertimbangkan untuk dilakukan pencabutan. Jika terdapat
sebagian gigi yang impaksi maka oklusi fungsional tidak akan optimal karena ruang yang tidak
memadai, maka harus dilakukan bedah pengangkatan gigi impaksi tersebut. Namun, jika dalam
mengeluarkan gigi yang impaksi terdapat kontraindikasi seperti pada kasus kompromi medis,
impaksi tulang penuh pada pasien yang berusia diatas 35 tahun atau pada pasien dengan usia
lanjut, maka gigi impaksi tersebut dapat dibiarkan (Peterson J, 2003).
i. Gigi berlebih (supernumerary teeth)
Gigi yang mengalami supernumerary biasanya merupakan gigi impaksi yang harus
dicabut. Gigi supernumerary dapat mengganggu erupsi gigi dan memiliki potensi untuk
menyebabkan resorpsi gigi tersebut (Peterson J, 2003).
j. Gigi yang terkait dengan lesi patologis
Gigi yang terkait dengan lesi patologis mungkin memerlukan pencabutan. Dalam beberapa
situasi, gigi dapat dipertahankan dan terapi terapi endodontik dapat dilakukan. Namun, jika
mempertahankan gigi dengan operasi lengkap pengangkatan lesi, gigi tersebut harus dicabut
(Peterson J, 2003).
k. Terapi pra-radiasi
Pasien yang menerima terapi radiasi untuk berbagai tumor oral harus memiliki
pertimbangan yang serius terhadap gigi untuk dilakukan pencabutan (Robinson D, 2005).
l. Gigi yang mengalami fraktur rahang
Pasien yang mempertahankan fraktur mandibula atau proses alveolar kadang-kadang harus
merelakan giginya untuk dicabut. Dalam sebagian besar kondisi gigi yang terlibat dalam garis
fraktur dapat dipertahankan, tetapi jika gigi terluka maka pencabutan mungkin diperlukan untuk
mencegah infeksi (Peterson J, 2003).
m. Estetik
29

Terkadang pasien memerlukan pencabutan gigi untuk alasan estetik. Contoh kondisi seperti
ini adalah yang berwarna karena tetracycline atau fluorosis, atau mungkin malposisi yang
berlebihan sangat menonjol. Meskipun ada tekhnik lain seperti bonding yang dapat meringankan
masalah pewarnaan dan prosedur ortodonsi atau osteotomy dapat digunakan untuk memperbaiki
tonjolan yang parah, namun pasien lebih memilih untuk rekonstruksi ekstraksi dan prostetik
(Peterson J, 2003).
n. Ekonomis
Indikasi terakhir untuk pencabutan gigi adalah faktor ekonomi. Semua indikasi untuk
ekstraksi yang telah disebutkan diatas dapat menjadi kuat jika pasien tidak mau atau tidak
mampu secara finansial untuk mendukung keputusan dalam mempertahankan gigi tersebut.
Ketidakmampuan pasien untuk membayar prosedur tersebut memungkinkan untuk dilakukan
pencabutan gigi (Peterson J, 2003).
Kontraindikasi Pencabutan Gigi
Semua kontraindikasi baik lokal maupun sistemik dapat menjadi relative atau mutlak
(absolut) tergantung pada kondisi umum pasien. Ketika kontraindikasi itu mutlak, perawatan
ekstra perlu dilakukan sebelum pencabutan gigi untuk menghindari berbagai resiko yang dapat
terjadi pada pasien. Berikut ini akan dijelaskan beberapa kontraindikasi pencabutan gigi (Sanghai
S, Chatterjee P. 2009)
A. Kontraindikasi Relatif
1. Lokal
a. Penyakit periapikal terlokalisir
Jika pencabutan gigi telah dilakukan dan infeksi tersebar menyeluruh dan tersebar secara
sistemik, maka antibiotik harus diberikan sebelum pencabutan (Sanghai S, Chatterjee P. 2009).
b. Keberadaan infeksi oral
Infeksi oral seperti vincents angina, herpetic gingivostomatitis, harus dirawat terlebih
dahulu. Setelah itu, dapat dilakukan pencabutan (Sanghai S, Chatterjee P. 2009).
c. Perikoronitis akut
Perikoronitis harus dirawat terlebih dahulu, kemudian dicabut gigi yang terlibat. Jika tidak,
infeksi bakteri bisa turun ke daerah kepala bagian bawah dan leher (Sanghai S, Chatterjee P.
2009).
d. Penyakit ganas
Misalnya gigi yang berada di area tumor. Jika dicabut bisa menyebarkan sel dan dengan
demikian mempercepat proses metastatik (Sanghai S, Chatterjee P. 2009).
e. Pencabutan gigi pada pasien terapi radiasi
Pencabutan gigi pada rahang yang sebelumnya diiradiasi dapat menyebabkan
osteoradionekrosis dan karena itu harus dilakukan dengan tindakan pencegahan ekstra (Sanghai
S, Chatterjee P. 2009)

30

2. Sistemik
a. Diabetes
Pasien dengan penyakit diabetes tidak terkontrol cenderung lebih rentan mengalami infeksi
pada luka bekas pencabutan gigi dan dapat meluas ke jaringan sekitarnya (Bhalajhi SM, 2007).
b. Hipertensi
Pencabutan gigi dapat dilakukan pada pasien dengan hipertensi ringan (derajat 1) dan
hipertensi sedang (derajat 2), atau ketika tekanan sistolik kurang dari 200 mmHg dan tekanan
diastolik kurang dari 110 mmHg (Bhalajhi SM, 2007).
c. Penyakit jantung
Kondisi jantung yang paling sering menyulitkan pencabutan gigi adalah infark miokard,
angina pektoris, dan dekompensasi jantung (Bhalajhi SM, 2007).
d. Pasien terapi steroid
Pasien yang menjalani terapi steroid akan terhambat produksi hormone
adrenokortikotropinnya. Bahkan pada pasien yang sudah satu tahun berhenti terapi menunjukkan
sekresi adrenal tersebut tidak cukup untuk menahan stres pencabutan gigi (Bhalajhi SM, 2007).
e. Kehamilan
Faktor risiko tinggi yang timbul ketika merawat pasien hamil adalah menghindari
kecacatan genetik pada janin. Selain itu, perawatan ekstra harus dilakukan selama prosedur
radiografi dental dan pemberian obat (Bhalajhi SM, 2007).
f. Diskrasia darah
Anemia, penyakit perdarahan seperti hemofilia dan leukemia adalah diskrasia darah yang
menimbulkan banyak masalah selama pencabutan gigi. Komplikasi pendarahan yang berlebihan
pasca operasi harus ditangani dengan hati-hati (Bhalajhi SM, 2007).
g. Pasien terapi antikoagulan
Pasien terapi antikoagulan yang menjalani prosedur bedah mulut dapat mengalami
pendarahan yang berkepanjangan pasca operasi dan/atau kecelakaan tromboembolik yang fatal
(Bhalajhi SM, 2007).
h. Gondok beracun
Ekstraksi dapat memicu krisis tiroid. Gejalanya adalah setengah sadar, gelisah (yang tidak
terkendali bahkan dengan sedasi berat), sianosis dan delirium yang sangat cepat, dll. Pada
kondisi ini, tidak ada prosedur bedah yang dapat dilakukan dan pasien harus dirujuk ke dokter
(Bhalajhi SM, 2007).
i. Penyakit kuning
Komplikasi postoperative dari keadaan ini adalah pendarahan. Jika pencabutan gigi sangat
dibutuhkan, dosis vitamin K profilaksis harus diberikan sebelum operasi (Bhalajhi SM, 2007).
B. Kontraindikasi Mutlak
1. Lokal
31

a. Gigi yang terlibat dalam malformasi arterio-vena


b. Jika pencabutan dilakukan, maka dapat menyebabkan kematian (Sanghai S,
Chatterjee P. 2009).

32

2. Sistemik
a. Leukimia
b. Gagal ginjal
c. Sirosis hati
d. Gagal jantung (Sanghai S, Chatterjee P. 2009).
LO.3.3 Memahami & menjelaskan teknik pencabutan gigi 26
1.

Pencabutan intra alveolar

Pencabutan intra alveolar adalah pencabutan gigi atau akar gigi dengan menggunakan tang
atau bein atau dengan kedua alat tersebut. Metode ini sering juga di sebut forceps extraction dan
merupakan metode yang biasa dilakukan pada sebagian besar kasus pencabutan gigi (Archer.
1975, Cawson R.A. 1984).
Dalam metode ini, blade atau instrument yaitu tang atau bein ditekan masuk ke dalam
ligamentum periodontal diantara akar gigi dengan dinding tulang alveolar. Bila akar telah
berpegang kuat oleh tang, dilakukan gerakan kearah buko-lingual atau buko-palatal dengan
maksud menggerakkan gigi dari socketnya. Gerakan rotasi kemudian dilakukan setelah dirasakan
gigi agak goyang. Tekanan dan gerakan yang dilakukan haruslah merata dan terkontrol sehingga
fraktur gigi dapat dihindari (Brown L.J. 1989, Carranza A.F. 1984).
Ekstraksi gigi 26
Untuk mengekspansi alveolus pada gigi molar diperlukan tekanan terkontrol yang besar.
Kunci keberhasilan pencabutan gigi-gigi molar adalah keterampilan menggunakan elevator
untuk luksasi dan ekspansi alveolus, sebelum menggunakan tang. Tekanan yang diperlukan
untuk mencabut molar biasanya lebih besar daripada gigi premolar (Pederson W. 1996).
Pencabutan gigi molar atas menggunakan tang #150, #53 atau #210, dipegang dengan
telapak tangan ke atas dan pinch grasp. Apabila ukuran mahkotanya cocok, lebih sering dipakai
53 daripada #150, karena adaptasi akar lebih baik dengan paruh anatomi. Tang #210 walaupun
ideal untuk pencabutan molar ketiga atas, dianggap universal dan dapat digunakan untuk
mencabut molar pertama dan kedua kanan dan kiri atas. Tekanan pencabutan utama adalah ke
arah bukal, yaitu arah pengeluaran gigi (Pederson W. 1996).
2.

Pencabutan trans alveolar

Pada beberapa kasus terutama pada gigi impaksi, pencabutan dengan metode intra alveolar
sering kali mengalami kegagalan sehingga perlu dilakukan pencabutan dengan metode trans
alveolar. Metode pencabutan ini dilakukan dengan terlebih dahulu mengambil sebagian tulang
penyangga gigi. Metode ini juga sering disebut metode terbuka atau metode surgical yang
digunakan pada kasus-kasus:
1. Gigi tidak dapat dicabut dengan menggunakan metode intra alveolar
2. Gigi yang mengalami hypersementosis atau ankylosis
3. Gigi yang mengalami germinasi atau dilacerasi
33

4. Sisa akar yang tidak dapat dipegang dengan tang atau dikeluarkan dengan bein, terutama
sisa akar yang berhubungan dengan sinus maxillaris.
Perencanaan dalam setiap tahap dari metode trans alveolar harus dibuat secermat mungkin
untuk menghindari kemungkinan yang tidak diinginkan. Masing-masing kasus membutuhkan
perencanaan yang berbeda yang disesuaikan dengan keadaan dari setiap kasus.
Secara garis besarnya, komponen penting dalam perencanaan adalah bentuk flap
mukoperiostal, cara yang digunakan untuk mengeluarkan gigi atau akar gigi dari socketnya,
seberapa banyak pengambilan tulang yang diperlukan (Archer. 1975, Cawson R.A. 1984, Mac.
Gregor A.J. 1985).
Metode pencabutan trans-alveolar termasuk pembelahan gigi atau akar dari perlekatan
tulangnya. Terkadang disebut metode terbuka tau bedah. Seperti semua pencabutan gigi
bagaimanapun dilakukannya, tetap merupakan prosedur bedah, istilah yang lebih tepat dan
akurat adalah pencabutan transalveolar dan metode ini harus digunakanbila terdapat indikasi
(Howe Geoffrey L, 1999):
1. Adanya gigi yang menahan usaha pencabutan intra-alveolar bila diaplikasikan tekanan
yang sedang besarnya.
2. Sisa akar yang tidak bisa dipegang dengan tang atau dikeluarkan dengan elevator,
khususnya yang berdekatan dengan sinus maksilaris.
3. Adanya riwayat kesulitan atau kegagalan pencabutan gigi sebelumnya.
4. Gigi dengan restorasi yang luas, khususnya bila saluran akar telah dirawat atau pulpa
telah nonvital.
5. Gigi hipersementosis dan ankilosis.
6. Gigi dilaserasi atau geminasi.
7. Gigi dengan gambaran radiografi bentuk akar yang rumit, atau akar yang kurang
menguntungkan atau berlawanan dengan arah pencabutan.
8. Bila ingin dipasangkan geligi tiruan imediat atau beberapa saat setelah pencabutan.
Metode ini memungkinkan dilakukannya penghalusan tulang alveolar agar protesa dapat
dipasang.
Setelah memutuskan untuk melakukan metode transalveolar untuk mencabut gigi atau
akar gigi, jenis anastesi yang akan digunakan harus ditetapkan, dan rencana keseluruhan untuk
mengatasi kesulitan pencabutan tersebut termasuk cara mengatasi atau mncegah komplikasi yang
mungkin terjadi juga harus diperhitungkan. Komponen penting dalam perencanaan tersebut
adalah bentuk flap mukoperiosteal, metode yang digunakan untuk mencabut gigi atau akar gigi
dari soket dan pembuangan tulang yang diperlukan untuk mempermudah tindakan pencabutan
(Howe Geoffrey L, 1999).
3.

Flap Mukoperiostal

Flap dibuka agar daerah operasi jelas terlihat dan dapat dicapai oleh alat. Desain flap harus
memberikan lapang pandangan dan jalan masuk alat yang cukup.Dasar flap harus lebih lebar
dibanding bagian yang bebas dan harus memiliki pasokan darah yang tidak rusak. Penyembuhan
tidak dapat terjadi bila garis penjahitan ditempatkan tepat di atas bekuan darah yang merupakan
media sempurna bagi mikroorganisme penghambat penyembuhan luka. Untuk membantu proses
penyembuhan dapat dilakukan penempatan jaringan lunak tanpa tekanan pada akhir operasi, dan
34

bentuk insisi dibuat dengan pertimbangan bahwa garis jahitan didukung oleh tulang. Jangan
sampai pembuatan protesa terganggu akibat kerusakan sulkus bukal ketika flap dibuka (Howe
Geoffrey L, 1999).

Gambar 6. Flap mukoperiosteal maksila (A) Flap yang benar (B) Flap yang salah

Gambar 7. Flap mukoperiosteal mandibula (A) Flap yang benar (B) Flap yang salah
(Howe Geoffrey L, 1999)
Pencabutan gigi 26
Pencabutan gigi 26 dengan pembedahan biasanya berhasil baik apabila dilakukan
pemisahan akar pada trifurkasi. Pendekatan awal hanya memisahkan akar bukalnya saja,
kemudian diusahakan untuk mengungkit mahkota bersama akar lingual dengan menggunakan
tang. Jika ini belum berhasil/mahkotanya tidak ada, ketiga akarnya dipisahkan dengan
menggunakan elevator atau tang, atau keduanya diambil satu persatu. Tekanan elevator ke arah
apikal memungkinkan fragmen akar terdorong masuk ke dalam sinus (Pederson W. 1996).
Teknik-teknik pencabutan gigi erupsi dengan pembedahan (Pederson W. 1996):
1.
2.
3.
4.

Buat flap envelope


Hilangkan tulang bukal untuk membuka trifurkasi
Potong akar bukal
Ungkit mahkota bersamaan dengan akar apikal

Dapat pula dengan teknik :


1. Buat flap envelope
2. Hilangkan tulang bukal untuk membuka trifurkasi
35

3. Pisahkan mahkota dari akarnya


4. Pisahkan masing-masing akarnya
5. Keluarkan akar satu demi satu
LO.3.4 Memahami & menjelaskan instrument pencabutan gigi 26
Elevator dan tang gigi berfungsi sebagai pengungkit yang menghantarkan gaya atau
tekanan ke gigi yang akan dicabut (Pederson W. 1996).
a). Elevator
Didesain dalam dua pola dasar, yaitu elevator lurus dengan bilah, tangkai dan pegangan
paralel, pada prinsipnya satu dataran (Gambar. 8) dan elevator bengkok dengan bilah membentuk
sudut terhadap tangkai dan pegangan (Gambar. 9). Bilah dari elevator lurus adalah
cembung/cekung (dalam potongan melintang) dengan ujung tajam, sedangkan bilah dari ujung
sampai ke tangkai merupakan dataran miring. Bilah ini mempunyai lebar bervariasi yaitu 2-3, 5
mm atau 4mm (Gambar. 10). Pegangan dari elevator bengkok ada yang berbentuk pir dan
crossbar (Gambar. 11) (Pederson W. 1996).

Gambar 8. Elevator lurus didesain dengan pegangan berbentuk buah pir, tangkai, bilah
cembuh-cekung, dan ujung yang tajam. Konfigurasi dataran miring bilah meningkatkan
aksi pengungkitan.
(Pederson W. 1996)

36

Gambar 9. Cryer #30 dan #31 adalah desain elevator bengkok dan digunakan dengan rotasi.
(Pederson W. 1996)

Gambar 10. Elevator lurus yang lebih kecil #301 dan #345 mempunyai desain dasar
yang sama dan hanya berbeda dalam ukuran saja.
(Pederson W. 1996)

37

Gambar 11. Elevator Potts (A) diperlengkapi dengan pegangan crossbar dan ujung
membulat, sedangkan elevator Cryer (B) memiliki pegangan besar dengan ujung tajam.
Keduanya mempunyai desain bengkok.
(Pederson W. 1996).
b). Tang rahang atas
Banyak varian tang rahang atas, namun yang dapat digunakan untuk mengekstraksi gigi 26
ialah: (Pederson W. 1996)
#53: #53L dan #53R adalah tang untuk molar atas dengan paruh relatif lebar (6mm) dan
asimetri. Satu paruhnya mempunyai tonjolan ditengah untuk adaptasi terhadap trifurkasi
bukal, sedangkan paruh lainnya mempunyai kecekungan untuk mencengkram akar
lingual. Selain itu, juga memiliki pegangan bayonet yang dimaksudkan untuk
menghindari terjepitnya bibir bawah terhadap gigi insisivus (Gambar. 12).

Gambar 12. (A) Tang #53R mempunyai desain bayonet. Paruh bukal mempunyai tonjolan
atau ujung bagian tengah untuk dapat mencengkeram daerah bifurkasi lebih baik. (B)
Perhatikan kesimetrisan dari paruh tang #53R dan L.
(Pederson W. 1996).
38

#150: adalah tang serbaguna untuk rahang atas, dapat digunakan untuk sebagian besar
pencabutan gigi rahang atas. Paruhnya hampir paralel dengan pegangan. Paruhnya agak
sempit seperti #151 dan pada mulanya digunakan untuk gigi premolar (Gambar. 13). Tang
ini digunakan dari depan kanan dan kiri dengan pinch grasp. Tang Read yang digunakan
di Inggris Raya serupa dengan #150.

Gambar 13. Walaupun tang #150 (A) cocok untuk pencabutan kebanyakan gigi-gigi atas, tang
#1 (B) dengan pegangan yang panjang dimaksudkan terutama untuk pencabutan gigi kaninus
atas (posterior).
(Pederson W. 1996).
#210: tang ini mempunyai pegangan bayonet yang panjang dan paruh yang besar, pendek
dan simetris (5mm) (Gambar. 14). Tang ini didesain khusus untuk pencabutan Molar tiga,
namun dianggap universal dan dapat digunakan untuk molar satu dan dua.

Gambar 14. Tang #210 (A) dilengkapi dengan pegangan yang panjang serta berbentuk bayonet
dan paruh yang relatif lebar, yang ideal untuk pencabutan molar ketiga atas. Tang #222 (B)
mempunyai modifikasi serupa, yang cocok untuk pencabutan molar ketiga bawah.
(Pederson W. 1996)
LO.3.5 Memahami & menjelaskan cara pencabutan gigi 26
Pencabutan Molar
Untuk mengekspansi alveolus pada gigi molar diperlukan tekanan terkontrol yang besar.
Kunci keberhasilan pencabutan gigi-gigi molar adalah keterampilan menggunakan elevator
untuk luksasi dan ekspansi alveolus, sebelum menggunakan tang. Tekanan yang diperlukan
untuk mencabut molar biasanya lebih besar dari pada gigi premolar (Pederson W, 1996).

39

a.

Pencabutan gigi molar atas


Gigi molar atas dicabut dengan menggunakan tang #150, #53 atau #210, dipegang dengan
telapak tangan ke atas dan pinch grasp. Apabila ukuran mahkotanya cocok, lebih sering dipakai
#53 daripada #150, karena adaptasi akar lebih baik dengan paruh anatomi. Tang #210 walaupun
ideal untuk pencabutan molar ketiga atas, dianggap universal dan dapat digunakan untuk
mencabut molar pertama dan kedua kanan dan kiri atas. Tekanan pencabutan utama adalah
kearah bukal, yaitu arah pengeluaran gigi (Pederson W, 1996).
b.

Pencabutan gigi molar bawah


Tang yang digunakan untuk pencabutan gigi molar bawah adalah #151, #23, #222. Tang
#151 mempunyai kekurangan yang sama dengan #150 atas bila digunakan untuk pencabutan
molar, yaitu paruh tangnya sempit sehingga menghalangi adaptasi anatomi yang baik terhadap
akar. Tang #17 bawah mempunyai paruh yang lebih lebar, yang didesain untuk memegang
bifurkasi dan merupakan pilihan yang baik bila mahkotanya cocok. Tang #23 (cowhorn)
penggunaanya berbeda dengan tang mandibula yang lain, dalam hal tekanan mencengkram yang
dilakukan sepanjang proses pencabutan. Tekanan ini dikombinasikan dengan tekanan lateral,
yaitu kearah bukal dan lingual, akan menyebabkan terungkitnya bifurkasi molar bawah dari
alveolus, atau fraktur pada bifurkasi. Tang #222, seperti tang #210 maksila, adalah spesifik untuk
molar ketiga, tetapi sering digunakan pula untuk pencabutan gigi M1 dan M2. Tekanan lateral
permulaan untuk pencabutan gigi molar adalah kearah lingual. Tulang bukal yang tebal
menghalangi gerakan ke bukal dan pada awal pencabutan gerak ini hanya mengimbangi tekanan
lingual yang lebih efektif. Gigi molar sering dikeluarkan kearah lingual (Pederson W, 1996).
Posisi kursi gigi (dental chair)
Posisi kursi gigi adalah faktor yang penting bagi pasien dan operator. Posisi atau tinggi
yang salah akan mengarah pada ketidaknyamanan atau stress otot pada operator, yang dapat
menghasilkan kelelahan yang tidak perlu dan kemungkinan kegagalan ekstraksi pada pasien.
Untu ekstraksi dari gigi pada kuadran kiri bawah (molar bawah kiri) dan gigi anterior bawah,
posisi dalam pencabutan harus sejajar atau dibawah siku dengan kursi disandarkan kira-kira 30
terhadap lantai. Untuk pencabutan pada kuadran bawah kanan (molar kanan bawah) posisi
pencabutan harus 6 inchi atau 15 cm dibawah siku dengan kursi sedikit diturunkan (Robert,
2006).
Posisi Operator
Seperti posisi kursi, posisi operator juga sangat penting dalam pencabutan. Menggunakan
posisi yang salah dalam pencabutan tidak hanya membuat ekstraksi gigi menjadi lebih sulit tetapi
juga dapat menyebabkan masalah punggung yang lama pada operator. Posisi operator
dideskripsikan sebagai posisi operator yang menggunakan tangan kanan, untuk operator yang
menggunakan tangan kiri, posisi ini harus dibalik. Ekstraksi dari keseluruhan gigi pada rahang
atas dan molar bawah kiri dan gigi depan dikeluarkan dengan posisi operator berdiri menghadap
pasien dan berdiri disisi kiri dari kursi gigi. Ekstraksi gigi dari molar bawah kanan dilakukan
dengan posisi operator berdiri pada sisi kanan belakang pasien (Robert, 2006).

40

Gambar 15. Posisi operator selama pencabutan; A. semua gigi kecuali gigi posterior
kanan bawah; B. gigi posterior kiri bawah; C. gigi posterior kanan bawah.
(Howe, Geoffrey L. 1999)
LO.3.6 Memahami & menjelaskan komplikasi pencabutan gigi 26
Respon pasien tertentu dianggap sebagai kelanjutan yang normal dari pembedahan, yaitu
perdarahan, rasa sakit, dan edema. Tetapi apabila berlebihan, perlu dipikirkan apakah termasuk
morbiditas yang biasa ataukah komplikasi. Komplikasi digolongkan menjadi intraoperatif, segera
sesudah operasi dan jauh sesudah operasi (Pederson W, 1996).
I.

Komplikasi Intraoperatif
1.
Perdarahan
Perdarahan mungkin merupakan komplikasi yang paling ditakuti. Pasien dengan penyakit
hati, misalnya seorang alkoholik yang menderita sirosis, pasien yang menerima terapi
antikoagulan, atau pasien yang minum aspirin dosis tinggi atau agen anti-radang lain yang
nonsteroid. Semua itu berrisikio mengalami perdarahan. Apabila riwayat kesehatan menunjukan
kecurigaan pada penyakit tertentu, sebaiknya menghubungi dokter yang merawat sebelumnya,
sebelum melakukan perawatan. Apabila pasien mengalami mekanisme beku darah yang
terganggu, perawatan adalah merupakan kerjasama antara dokter gigi dan dokter umum atau
spesialis penyakit dalam (Pederson W, 1996).
Pengetahuan mengenai anatomi merupakan jaminan terbaik untuk menghadapi kejadian
yang tidak diharapkan yaitu perdarahan pada arteri atau vena. Regio-regio risiko tinggi, adalah:
(Pederson W, 1996).
Palatum dengan a. palatina mayor,
Vestibulum bukal molar bawah dengan a. fasialis,
Margo anterior ramus mandibula yang merupakan jalur perjalanan dari a. buccalis dan regio
apikal molar ketiga yang terletak dekat dengan a. alveolaris inferior
Region mandibula anterior juga merupakan sumber perdarahan karena vaskularisasinya
sangat melimpah.

41

Keadaan patologi kadang-kadang juga mengakibatkan risiko perdarahan, misal:


hemangioma (Pederson W, 1996).
Tindakan untuk mengontrol perdarahan dapat dilakukan: (Pederson W, 1996).
Tekanan adalah tindakan segera, baik tekanan dengan tangan atau tekanan tidak langsung
dengan kasa.
Klem atau pengikatan digunakan untuk mengontrol perdarahan dari pembuluih darah.
Klip hemostatik, digunakan untuk mengontrol perdarahan dari pembuluh yang sulit diikat.
Elektrokauterisasi, untuk perdarahan dari pembuluh yang kecil atau rembesan.
2.

Fraktur
Fraktur bisa mngenai akar gigi, gigi tetangga atau gigi antagonis, restorasi, prosesus
alveolaris dan kadang-kadang mandibula. Semua fraktur yang dapat dihindarkan mempunyai
etiologi yang sama; yaitu tekanan yang berlebihan atau tidak terkontrol atau keduanya. Cara
terbaik untuk menghindari fraktur di samping tekanan terkontrol adalah dengan menggunakan
gambar radiografi sebelum melakukan pembedahan. Fraktur biasanya mudah terlihat, kecuali
untuk fraktur mandibula (Pederson W, 1996).
Macam-macam fraktur yang biasa terjadi pada komplikasi pencabutan gigi: (Pederson W,
1996)
1). Fraktur ujung akar dan frakmen
Ujung akar dan frakmen adalah sisa-sisa dari struktur yang normalnya berada di dalam
prosesus alveolaris. Karena itu benda tersebut bisa ditolerir dan jarang mengakibatkan adanya
reaksi benda asing atau infeksi. Apabila pengeluaran pada situasi ini memang diperlukan, maka
sebaiknya merujuk ke spesialis bedah. Apabila ujung akar atau frakmen dibiarkan tetap pada
tempatnya, maka sebaiknya dilakukan foto rontgen untuk control di masa mendatang dan pasien
diberitahu mengenai pertimbangan risiko/ manfaat yang mendasari keputusan tersebut (Pederson
W, 1996).
2). Fraktur gigi sebelahnya dan antagonis
Fraktur pada gigi atau restorasi di dekatnya, kebanyakan merupakan akibat terlalu kuatnya
tekanan yang dikenakan melalui elevator. Suatu elevator yang tertumpu pada gigi atau restorasi
di dekatnya bisa menggoyahkan gigi tersebut atau restorasi bisa lepas. Cedera pada gigi
antagonis biasanya akibat dari pencabutan eksplosif, yaitu gigi terungkit secara tidak sengaja dari
alveolus akibat tekanan berlebih kea rah oklusal atau sejajar. Perawatannya bersifat individual,
mulai dari replantasi gigi yang tercabut tidak sengaja, membuat restorasi sementara atau
menambal kembali mahkota prostetik atau inlay. Pencegahan didasarkan pada penggunaan pinch
grasp atau sling grasp dan tekanan terkontrol (Pederson W, 1996).
3). Fraktur prosesus alveolaris
Fraktur minor
Fraktur prosesus alveolaris yang ringan adalah terbawanya bagian tulang bukal/ fasial
maksila bersama akar pada waktu dilakukan pencabutan dengan tang. Hal tersebut disebabkan
oleh tekanan yang besar pada prosesus alveolaris yang getas dan tipis. Cara penanganannya
dengan menggunakan kikir tulang (bone file) untuk menghaluskan tepi-tepi tulang.
42

Mukoperiosteum di atasnya perlu dijahit bila sangat terpisah dengan tulangnya (Pederson W,
1996).
Fraktur mayor
Radiograf bisa membantu memperkirakan fraktur mayor pada prosesus alveolaris rahang
atas. Pada kasus alveolus molar atas mungkin fraktur total, kadang-kadang melibatkan seluruh
tuberositas dan dasar antral (Pederson W, 1996).
4). Fraktur mandibula
Fraktur pada mandibula paling sering terjadi pada pencabutan molar ketiga. Mandibula
cukup lemah di bagian ini, yang merupakan pertemuan badan dan prosesus alveolar yang berat
dengan ramus yang tipis. Kesalahan biasanya karena menggunakan elevator dengan kekuatan
yang berlebihan. Elevator yang diinsersikan pada bagian mesial molar ketiga baik yang erupsi
atau impaksi, dan ditekan dengan kekuatan yang besar kea rah distal atau disto-oklusal
menjadikan mandibula terancam fraktur (Pederson W, 1996).
Fraktur mandibula karena pencabutan gigi bisa menimbulkan masalah (merugikan
diagnosis tetapi menguntungkan penanganan) yaitu karena pergeseran frakmen biasanya minimal
dan hanya sedikit gangguan oklusi. Untuk menentukan adanya fraktur diperlukan gambar
radiografi ekstra oral panoramik. Apabila terdiagnosis adanya fraktur, pasien sebaiknya segera
diberitahu dan dirujuk. Perawatan biasanya terdiri atas imobilisasi mandibula dengan
menggunakan fiksasi maksilomandibular selama kurang lebih 5-6 minggu (Pederson W, 1996).
3.

Pergeseran
Seluruh gigi atau frakmen akar bisa masuk ke sinus maxillaris, fossa infra temporalis,
hidung, canalis mandibularis atau ruang submandibula. Bagian yang paling sering adalah sinus
maxillaris. Kejadian ini sering merupakan akibat dari usaha untuk mengambil frakmen/ ujung
akar gigi molar atau premolar kedua atas melalui alveolus dengan tekanan elevator yang
berlebihan kea rah superior. Pemeriksaan radiografi yang akurat dilakukan baik sebelum maupun
intraoperatif (Pederson W, 1996).
Adanya perdarahan hidung atau keluhan subyektif adanya udara keluar dari mulut atau
cairan kelar dari hidung, menguatkan kecurigaan tersebut. Sesudah menginformasikan kepada
pasien, region tersebut dijahit apabila diperlukan dan kepada pasien diberikan antibiotik
spektrum luas, dekongestan sistemik dan obat analgesik untuk persiapan rujukan. Pasien
diperingatkan untuk jangan bersin, batuk, dan menghembuskan hidung (Pederson W, 1996).
Gigi atau frakmen yang masuk ke dalam fossa infratemporalis jarang ditemukan.
Umumnya disebabkan oleh tekanan elevator kearah distal pada gigi molar ketiga atas impaksi
yang terletak pada level C. Jika tekanan mengakibatkan pergeseran kearah posterior-superior
lebih dari yang buko-oklusal, gigi dan frakmen cenderung terdorong ke fosa (Pederson W,
1996).
Pergeseran mandibula biasanya hanya melibatkan gigi molar, sedangkan canalis
mandibularis dan ruang submandibula adalah bagian yang sering mengalami pergeseran ini.
Penatalaksanaan pergeseran mandibula pasien diberitahu tentang keadaan yang ada dan dirujuk.
Pada kasus pergeseran ke dalam canalis alveolaris inferior, pengeluaran harus dilakukan segera
sedangkan pada kasus pergeseran ke dalam ruang submandibula, pembedahan biasanya ditunda
untuk memungkinkan terjadinya fibrosis dulu, sehingga terjadi imobilisasi frakmen akar.
Pendekatan kearah canalis adalah dengan flap mukoperiosteal bukal yang cukup besar dan
kemudian melalui alveolus atau dekortikasi lateral ke bukal. Dekortikasi memberikan jalan
43

masuk yang bagus dan memungkinkan dekompresi, atau memperbaiki saraf yang cedera. Ruang
submandibula biasanya dicapai dengan membuat flap envelope lingual yang cukup besar yang
direfleksikan dari servikal gigi (Pederson W, 1996).
4.

Perforasi sinus maxillaries


Tindakan pencabutan gigi-gigi posterior rahang atas terutama pada gigi molar dan
premolar yang tidak hati-hati dan penggunaan elevator dengan tekanan yang berlebihan ke arah
superior dalam upaya pengambilan fragmen atau ujung akar gigi molar dan premolar kedua atas
melalui alveolus dapat menyebabkan terbentuknya lubang antara prosessus alveolaris dengan
antrum (Ulaen, 2011).
Oroantral fistula yang terjadi segera setelah tindakan pencabutan. Apabila kecil dan segera
dilakukan perawatan dengan cepat dan benar cenderung sembuh spontan karena adanya proses
pembekuan darah yang mampu menutup pembukaan yang terjadi (Ulaen, 2011).

Gambar 16. Lesi periapikal pada dinding sinus maksila menambah


resiko fistula oroantral.
(Ulaen, 2011)

44

Oroantral fistula yang tidak segera ditangani, sehingga lubang yang terbentuk bertahan lebih
lama, maka traktus akan mengalami epitelisasi, daerah rongga mulut seringkali mengalami
proloferasi jaringan granulasi atau jaringan ikat dan jika berlanjut dapat menyebabkan terjadinya
infeksi dan dipercepat pada pencabutan gigi yang mengalami infeksi periapikal. Perawatan yang
tidak benar, menyebabkan infeksi dapat menyebar kea rah sinus melalui lubang oroantral
sehingga dapat menyebabkan terjadinya sinusitis maksilaris (Ulaen, 2011).

Gambar 17. Gambaran radiografi ujung akar yang berkontak


langsung dengan sinus maksilaris
(Ulaen, 2011)
Secara umum, tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah agar tidak terjadi oroantral
fistula adalah dengan melakukan foto rontgen terlebih dahulu sebelum tindakan pencabutan gigi
untuk mengetahui posisi akar gigi posterior rahang atas yang letaknya dekat dengan antrum dan
untuk mengetahui ada atau tidaknya penyakit periapikal pada jaringan disekitar ujung akar gigi.
Pengontrolan tekanan yang diberikan pada instrument dan tindakan yang selalu berhati-hati
mutlak dilakukan sehingga terjadinya oroantral fistula dapat dihindari (Ulaen, 2011).
Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untuk penutupan oroantral fistula.
Pemilihan metode dibuat berdasarkan cara yang telah dilakukan dalam setiap kasus tertentu
dengan mengobservasi prinsip dasar pembedahan yang diperlukan (Ulaen, 2011).
Daerah kerusakan dan adanya suatu orantral fistula dapat dilakukan penutupan dengan
pembuatan flap. Penentuan desain flap perlu dipertimbangkan agar suplai darah tetap memadai
untuk menghindari terjadinya nekrosis dan hilangnya jaringan oleh karena hilangnya sirkulasi
darah yang sempurna. Flap harus bebas dari semua perlekatan periosteal agar dapat berotasi atau
berubah letak untuk menutupi kerusakan yang terjadi tanpa membuat tekanan pada jaringan. Flap
harus di desai agar garis sutura tidak diletakkan di daerah perforasi dan semua margin yang
diperlukan dapat diperoleh dan dipertahankan dengan cara penjahitan (Ulaen, 2011).
Beberapa prosedur yang disarankan untuk menutup oroantral fistula yang terjadi
diantaranya adalah: (Ulaen, 2011).
Penutupan oroantral fistula yang terletak di antara gigi dilakukan dengan insisi melibatkan
mukoperiosteum di daerah distal gigi di anterior kemudian melewati daerah oroantral fistula
dilanjutkan ke daerah mesial gigi di posterior. Insisi juga di lakukan pada daerah palatal.
Setelah itu dilakukan pengurangan tinggi tulang alveolar daerah yanga mengalami
pembukaan kemudian tepi mukosa yang di insisi diangkat dan disatukan kemudian
dilakukan penjahitan. Luka pada bagian palatal dibiarkan terbuka untuk mempercepat
penyembuhan.
45

Oroantral fistula yang terjadi pada daerah yang tidak bergigi (kehilangan tuberositas
maksilaris) yang tidak sengaja setelah pencabutan dapat dilakukan dengan pengurangan
pada dinding bukal dan palatal agar terjadi adaptasi flap jaringan lunak bukal dan palatal.
Flap jaringan lunak dibentuk secara konservatif agar membentuk suatu garis kemudian flap
dijahit.
Jarinagn yang memebentuk lingkaran perifer dari fistula dieksisi dan sisa jaringan mukosa
palatal di de-epitelisasi untuk memberikan vaskularisasi yang baik pada daerah yang
mengalami kerusakan agar dapat memperlebar flap dan memudahkan penjahitan kemudian
dilakukan insisi divergen atau melebar melalui mukoperiosteum dibuat pada pembukaan
oroantral ke superior sampai pada mukobukal fold, dan insisi dari flap ini diangkat untuk
pembukaan alveolus lateral dibawahnya. Melalui insisi periosteal ini dilakukan pengurangan
ketebalan untuk memperpanjang dan mengendorkan flap dan dilakukan penjahitan.
Penggunaan antibiotik dan dekongestan diindikasikan setelah prosedur diatas untuk
mempertahankan kesehatan antrum dengan mencegah infeksi dan membeikan drainase
secara fisiologis.
Dapat diambil satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya oroantral
fistula adalah dengan pengambilan foto rontgen terlebih dahulu sebelum pencabutan gigi
dikerjakan, tindakan yang selalu berhati-hati dalam melakukan pencabutan, melakukan tes
tiup dan kumur setelah pencabutan untuk mendeteksi apakah terjadi kecelakaan terbukanya
antrum atau tidak, sehingga bila terjadi dapat segera diketahui dan dilakukan perawtan
dengan cepat dan benar serta komplikasi yang lebih parah dapat dihindari.
5.

Cedera jaringan lunak


Cedera jaringan lunak yang paling umum adalah lecet (luka sobek) dan luka bakar/ abrasi.
Lecet sering diakibatkan oleh retraksi berlebihan dari flap yang kurang besar. Komplikasi ini bisa
dihindari dengan membuat flap yang lebih besar dan menggunakan retraksi yang ringan saja.
Luka bakar/ abrasi sering merupakan akibat dari tertekannya bibir yang dalam keadaan
teranestesi oleh pegangan handpiece. Lesi ini sangat tidak nyaman dan lama sembuhnya. Luka
bakar labial bisa diatasi dengan aplikasi salep antibiotic atau steroid, yaitu bacitracin atau
bethamenthasone (valisone) (Pederson W, 1996).
Emfisema subkutan lebih sering terjadi pada regio maksila dan disebabkan oleh adanya
udara yang masuk. Emfisema jaringan lunak bisa juga terjadi kalau pasien batuk atau bersin pada
waktu flap yang luas dalam keadaan terbuka. Emfisema subkutan bisa didiagnosis dengan
adanya pembengkakan yang mendadak, teraba benjolan-benjolan pada area kulit setempat dan
penampakan radiografis yang menunjukan adanya udara di dalam jaringan lunak. Emfisema
subkutan yang luas memerlukan tindakan darurat (Pederson W, 1996).
6.

Cedera saraf
Saraf yang sering cedera selama pencabutan dan pembedahan gigi adalah divisi ketiga dari
N. trigeminus. N. alveolaris inferior sangat dekat dengan regio apical gigi molar ketiga dan
kadang-kadang molar kedua. Meskipun putusnya saraf relatif jarang tetapi tekanan mungkin
terjadi selama pengeluaran gigi molar ketiga yang erupsi atau impaksi, ujung akar dan frakmen
akar atau keduanya. N. lingualis paling sering cedera selama pencabutan molar ketiga bawah
yang impaksi. Hal ini terjadi karena penyingkapan flap lingual, fraktur dataran lingual, atau
penembusan bur melalui korteks lingual pada waktu memecah gigi. N. lingualis menempel pada
aspek medial mandibula pada region molar. Pada beberapa kasus letaknya sangat tinggi, tepat di
46

inferior batas mukosa cekat. N. mentalis berhubungan erat dengan apeks gigi premolar sehingga
mudah diidentifikasi. Saraf mengeluarkancabang anterior ke bibir bawah, yang relative
superficial dan muidah terkena cedera. Cabang n. mentalis mudah terpotong selama pembuatan
flap atau mengalami cedera regangan akibat retraksi (Pederson W, 1996).
II.
1.

Komplikasi pasca bedah


Perdarahan
Perdarahan ringan dari alveolar adalah normal apabila terjadi 12-24 jam pertama ssudah
pencabutan atau pembedahan gigi. Apabila perdarahan cukup banyak, lebih dari 450 ml pada 24
jam pertama pada pasien dewasa, harus dilakukan tidnakan segera untuk mengontrol perdarahan.
Jika pasien dalam kondisi stabil, perhatikan bagian yang mengalami perdarahan. Apabila bagian
yang mengalami perdarahan sudah ditemukan, lakukan anestesi local supaya perawatan tidak
menyakitkan. Jika perdarahan berasal dari dinding tulang, maka alveolus diisi dengan sponge
gelatin yang dapat diabsorbsi (Gelfoam) atau sponge kolagen mikrofibrilar (Helistat, Avitene)
dipertahankan di tempatnya dengan jahitan. Jika alveolus diisi dengan kolagen mikrofibrilar,
tidak ditambahkan thrombin pada bagian tersebut (Pederson W, 1996).
Hematom adalah perdarahan setempat yang membeku dan membentuk massa yang padat.
Kadang perdarahan sesudah pencabutan dengan tang atau pencabutan gigi dengan pembedahan
berlangsung internal, perdarahan bisa diatasi dengan tampon, pembekuan atau keduanya.
Hematom biasanya bermula sebagai pembengkakan rongga mulut atau fasial atau keduanya,
yang sering berwarna merah atau ekhimotik. Dengan berjalannya waktu akan berubah menjadi
noda memar berwarna biru dan hitam (Pederson W, 1996).
2.

Rasa sakit
Rasa sakit pada awal pencabutan gigi, terutama seduah pembedahan untuk gigi erupsi
maupun impaksi dapat sangat menganggu. Untuk orang dewasa sebaiknya mulai meminum obat
pengontrol rasa sakit sesudah makan tetapi sebelum timbulnya rasa sakit. Pada 8 jam
pertamasetelah pembedahan (Pederson W, 1996).
3.

Edema
Edema merupakan kelanjutan normal dari setiap pencabutan dan pembedahan gigi, serta
merupakan reaksi normal dari jaringan terhadap cedera. Edema adalah reaksi individual, yaitu
trauma yang besarnya sama, tidak selalu mengakibatkan derajat pembengkakan yang sama baik
pada pasien yang sama atau berbagai pasien. Obat yang paling sering digunakan adalah jenis
steroid yang diberikan secara parenteral, oral atau topical sebagai pembalut alveolar.
Pembengkakan pasca bedah mengganggu estetik tetapi hanya sementara, biasanya pada
kebanyak pasien kurang lebih 7-20 hari (Pederson W, 1996).
4.

Reaksi terhadap obat


Reaksi akibat obat-obatan yang relative sering terjadi segera sesudah operasi adalah mual
dan muntah karena menelan analgesik narkotik atau non-narkotik. Keadaan ini dapat
mengakibatkan terjadinya siklus emesis atau perdarahan. Cara terbaik untuk mengatasinya
adalah mengintrusikan pada pasien apabila minum obat-obatan narkotik sebaiknya dilakukan
sebelum makan (Pederson W, 1996).
Reaksi alergi terhadap analgesik bisa terjadi, tetapi relative jarang. Yang umum adalah
alergi aspirin yang termanifestasi sebagai ruam kulit (urtikaria), angioedema atau asma. Reaksi
47

alergi yang akut terhadap antibiotik (penisilin adalah yang paling umum), dapat mematikan.
Reaksi alergi paling baik dicegah dengan jalan memeriksa riwayat pasien selengkapnya
(Pederson W, 1996).
III.
1.

Komplikasi beberapa saat setelah operasi


Alveolitis (dry socket)
Komplikasi yang paling sering, paling menakutkan dan paling sakit sesudah pencabutan
gigi adalah dry socket atau alveolitis (osteitis alveolar). Biasanya dimulai pada hari ke 3-5
sesudah operasi. Keluhan utamanya adlaha rasa sakit yang sangat hebat. Pada pemeriksaan
terlihat alveolus yang terbuka, terselimuti kotoran dan di kelilingi berbagai tingkatan peradangan
dari gingival. Kebersihan mulut kurang atau buruk. Regio molar bawah adalah area yang sering
terkena, khususnya alveolus molar ketiga (Pederson W, 1996).
Alveolitis ini biasanya disebabkan oleh streptococcus, tetapi lisis mungkin bisa juga terjadi
tanpa keterlibatan bakteri. Diduga traumaterjadi karena kurang vaskularisasi, yaitu pada tulang
yang mengalami mineralisasi yang tinggi pada pasien lanjut usia (Pederson W, 1996).
Suatu bentuk dry socket atau alveolitis bisa timbul 2-3 bulan sesudah pencabutan gigi
molar ketiga bawah yang impaksi di dalam (level C). kondisi ini dimanifestasikan sebagai sepsis
dan kegagalan pembentukan bekuan darah yang terjadi bersama proses penyembuhan mukosa.
Secara klinis, dry socket yang tertunda termanifestasi berupa pembengkakan dari daerah operasi
yang sedangmengalami penyembuhan. Rasa sakit bervariasi mulai dari ringan sampai berat, dan
biasanya agak berkurang bila nanah sudah keluar. Penatalaksanaannya dengan terapi antibiotik
misalnya penisilin atau bila alergi, eritromisin, diberikan segera. Diperlukan pula penggantian
pembalut setiap 24-48 jam sampai 2-3 kali. Apabila infeksi sudah terkontrol, biasanya ada suatu
cacat menetap yang besar pada mukosa yang menimbulkan kendala dalam pembersihan mulut.
Menganjurkan pasien melakukan irigasi sendiri di rumah dengan menggunakan spuit disposibel
10 ml, sering meningkatkan upaya kebersihan selama di rumah (Pederson W, 1996).
2.

Infeksi
Infeksi pasca bedah, abses atau selulitis bisa terjadi pada awal atau bersamaan dengan
edema. Diagnose banding ditentukan dengan adanya fakta bahwa infeksi biasanya diikuti oleh
peningkatan rasa sakit, lemas, dan demam. Apabila ada tanda-tanda tersebut, maka perlu
dilakukan tindakan untuk merawat infeksi, yaitu terapi antibiotic serta tindakan pembedahan dan
terapi pendukung (Pederson W, 1996).
Trismus yang persisten sesudah pencabutan gigi dengan pembedahan jarang terjadi, tetapi
merupakan komplikasi yang membingungkan. Peneybab yang sering adalah infeksi, yang
termanifestasi sebagai miositis kronis, yaitu radang dari otot-otot pengunyahan, terutama
masseter (Pederson W, 1996).
LO.3.7 Memahami & menjelaskan pasca pencabutan gigi 26
Menurut Laskin (1985) dan Peterson (1998), ada beberapa tindakan pasca operatif yang
harus dilakukan yaitu sebagai berikut: (Laskin DM, 1985).
a. Istirahat yang cukup, agar dapat membantu proses penyembuhan luka.
b. Pasien dianjurkan untuk tidak makan makanan yang keras terlebih dahulu, terutama pada
hari pertama pasca pencabutan gigi. Makanan juga tidak boleh terlalu panas. Dan baru boleh

48

c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

makan beberapa jam setelah pencabutan gigi agar tidak mengganggu terbentuknya blood
clot. Dan jangan mengunyah pada sisi yang baru dicabut.
Banyak minum air untuk mencegah terjadinya dehidrasi.
Pasien harus selalu menjaga kebersihan mulutnya, gigi harus disikat secara rutin, kumurkumur dengan menggunakan saline solution (1/2 sendok teh garam yang dilarutkan dalam
satu gelas air hangat).
Untuk mengurangi rasa nyeri pasien boleh mengkonsumsi analgesik. Selain analgesik,
pengaplikasian dingin juga dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
Pasien tidak boleh merokok, karena dikhawatirkan terjadi dry socket.
Pasien diberi tahu agar tidak berkumur-kumur, karena akan menimbulkan tekanan sehingg
akan menggagalkan pembentukan pembuluh darah dan mengakibatkan perdarahan.
Pasein diharuskan menggigit tampon untuk mencegah perdarahan.
Diberikan obat-obatan berupa:
Antibiotik spektrum luas seperti cefadroxil, clindamisin, khusus untuk ibu hamil pada
trimester ke 2 dapat diberikan eritromisin.
Analgesik untuk menghilangkan rasa nyeri seperti mefinal, untuk pasien penderita maag
dapat diberikan mefinal dengan tambahan obat maag atau dapat diberikan ibuprofen yang
memiliki efek samping paling rendah.

49

Daftar pustaka
Archer, W.Harry. 1975. Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed. Philadelphia: Saunders Company
Bhalajhi SM. Textbook of oral and maxillofacial surgery. New Delhi: Elsevier. 2007
Brown L.J, Oliver R.C, Loe. H. Periodontal Disease in the US in 1981. Dalam: Journal of
Periodontology. Vol.60 No.7. 1989. American Academi of Periodontology
Eliastam, Michael. 1998. Penuntun kedaruratan medis Ed 5.Jakarta: EGC
Henry Gray (18211865). Anatomy of the Human Body. 1918.
Howe Geoffrey L. and Whitehead F. Ivor H. 1992. Anastesi Lokal Ed. 3. Jakarta: Hipokrates
Howe Geoffrey L. 1999. Pencabutan gigi geligi Ed.2. Jakarta: EGC
Jonathan Pedlar, John W Frame. Oral and maxillofacial surgery 2nd ed. Elseiver: Churchill
Livingstone. 2007
Laskin DM. 1985. Oral and Maxillofacial Surgery, vol 2. St. Louis: The CV Mosby Co.
Malamed, Stanley F. 2004. Handbook of Local Anasthesia 5th ed. St. Louis: Elsevier.
Mohamad Loekman. Teknik dasar pencabutan gigi, Jurnal Ilmiah dan Teknologi Kedokteran
Gigi; 2006
Nina. Thalasemia dan Ekstraksi Gigi. 2009. Available from: http://www.thalasemia-danekstraksi-gigi.html. Accessed: 29 Oktober 2010.
Peterson J. Larry. Oral and Maxillofacial Surgery. 4th ed, The C.V. Mosby Company, St. Louis.
2003
Pederson GW. 1996. Buku ajar praktis bedah mulut. Jakarta: EGC
Sanghai S, Chatterjee P. A concise textbook of oral and maxillofacial surgery. New Delhi: Jaypee
Publisher. 2009
Robinson PD, Pitt Ford TR, McDonald F. Local Anaesthesia in Dentistry. London: Wright. 2000
Sumawinata Narlan. Anastesi Lokal dalam Perawatan Konservasi Gigi. Jakarta: EGC. 2013
Stanley J. Nelson and Major M. Ash. Wheelers Dental Anatomy, Physiology, and Occlusion. 9th
Ed. Missouri: Saunders Elsevier
Ulaen H. 2011. Perdarahan dan perforasi sinus. Jakarta
50

You might also like