You are on page 1of 35

REFERAT

TRAUMA ABDOMEN

Oleh:
Riyono Pinasthi.
09.06.0008

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK


MADYA BAGIAN/SMF BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
RSUD KOTA MATARAM
2014

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan
cedera (Dorland, 2002). Trauma abdomen adalah pukulan / benturan langsung
pada rongga abdomen yang mengakibatkan cidera tekanan/tindasan pada isi
rongga abdomen, terutama organ padat (hati, pancreas, ginjal, limpa) atau
berongga (lambung, usus halus, usus besar, pembuluh pembuluh darah
abdominal) dan mengakibatkan ruptur abdomen.
Penderita yang cedera dalam tabrakan kendaraan bermotor juga dapat
menderita cedera deceleration karena gerakan yang berbeda dari bagian badan
yang bergerak dan yang tidak bergerak, pada hati dan limpa yang sering
terjadi (organ bergerak) ditempat jaringan pendukung (struktur tetap) pada
tabrakan tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Trauma abdomen didefinisikan sebagai trauma yang melibatkan daerah
antara diafragma atas dan panggul bawah (Guilon, 2011). Trauma abdomen
adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta
trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma
abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak
diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang
menusuk (Ignativicus & Workman, 2006). Trauma perut merupakan luka
pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut
dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat
pula dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995). Trauma Abdomen adalah
terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan
perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan
imonologi dan gangguan faal berbagai organ (Sjamsuhidayat, 1997)

B. Epidemiologi
Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas
biasanya lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk.
Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam.
Pada trauma tumpul dengan velositas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya
menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velositas
tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multipel. Pada intraperitoneal,
trauma tumpul abdomen paling sering menciderai organlimpa (40-55%), hati
(35-45%), dan usus halus (5-10%) (Cho et al, 2012). Sedangkan pada
retroperitoneal, organ yang paling sering cedera adalah ginjal, dan organ yang
paling jarang cedera adalah pankreas dan ureter (Demetriades, 2000). Pada
trauma tajam abdomen paling sering mengenai hati(40%), usus kecil (30%),

diafragma (20%), dan usus besar (15%) (American College of Surgeons


Committee on Trauma, 2008).

C. Anatomi
Abdomen dapat didefinisikan sebagai daerah tubuh yang terletak antara
diaphragma di bagian atas dan pintu masuk pelvis dibagian bawah. Untuk
kepentingan klinik, biasanya abdomen dibagi dalam sembilan regio oleh dua
garis vertikal, dan dua garis horizontal. Masing-masing garis vertikal melalui
pertengahan antara spina iliaca anterior superior dan symphisis pubis. Garis
horizontal

yang

atas

merupakan

bidang

subcostalis,

yang

mana

menghubungkan titik terbawah pinggir costa satu sama lain. Garis horizontal
yang bawah merupakan bidang intertubercularis, yang menghubungkan
tuberculum pada crista iliaca. Bidang ini terletak setinggi corpus vertebrae
lumbalis V (Williams, 2013).
Pembagian regio pada abdomen yaitu : pada abdomen bagian atas : regio
hypochondrium kanan, regio epigastrium dan regio hypocondrium kiri. Pada
abdomen bagian tengah : regio lumbalis kanan, regio umbilicalis dan regio
lumbalis kiri. Pada abdomen bagian bawah : regio iliaca kanan, regio
hypogastrium dan regio iliaca kiri (Williams, 2013).
Sedangkan pembagian abdomen juga dipermudah menjadi empat
kuadran dengan menggunakan satu garis vertikal dan satu garis horisontal
yang saling berpotongan pada umbilicus. Kuadran tersebut adalah kuadran
kanan atas, kuadran kiri atas, kuadran kanan bawah dan kuadran kiri bawah
(Williams, 2013).
Dinding

perut

mengandung

struktur

muskulo-aponeurosis

yang

kompleks. Di bagian belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di


sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding
perut ini terdiri atas beberapa lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang
terdiri dari kutis dan subkutis; lemak subkutan dan fasia superfisial (fasia
Scarpa); kemudian ketiga otot dinding perut, m. oblikus abdominis eksternus,
m. oblikus abdominis internus, dan m. tranversus abdominis; dan akhirnya

lapisan preperitoneal, dan peritoneum. Otot di bagian depan terdiri atas


sepasang otot rektus abdominis dengan fasianya yang di garis tengah
dipisahkan oleh linea alba (Campbell, 2007).
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga
perut. Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal
diperoleh pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan
a.epigastrika superior. Dari kaudal, a.iliaka sirkumfleksa superfisialis,
a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica inferior. Kekayaan vaskularisasi ini
memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan
gangguan pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani secara segmental
oleh n.torakalis VI s/d XII dan n.lumbalis I (Campbell, 2007).
Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang
tipis mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam
rongga abdominal. Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen
dinamakan peritoneum parietale, sedangkan bagian yang meliputi organ
dinamakan peritoneum viscerale. Di sekitar dan sekeliling organ ada lapisan
ganda peritoneum yang membatasi dan menyangga organ, menjaganya agar
tetap berada di tempatnya, serta membawa pembuluh darah, pembuluh limfe,
dan saraf. Bagian-bagian peritoneum sekitar masing-masing organ diberi
nama-nama khusus (Campbell, 2007).
Mesenterium ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda, bentuknya
seperti kipas, pangkalnya melekat pada dinding belakang perut dan ujungnya
yang mengembang melekat pada usus halus. Di antara dua lapisan membran
yang membentuk mesenterium terdapat pembuluh darah, saraf dan bangunan
lainnya yang memasok usus. Bagian mesenterium di sekitar usus besar
dinamakan mesokolon. Lapisan ganda peritoneum yang berisi lemak,
menggantung seperti celemek di sebelah atas depan usus bernama omentum
majus. Bangunan ini memanjang dari tepi lambung sebelah bawah ke dalam
bagian pelvik abdomen dan kemudian melipat kembali dan melekat pada
colon tranversum. Ada juga membran yang lebih kecil bernama omentum
minus yang terentang antara lambung dan liver (Campbell, 2007).

Organ dalam rongga abdomen dibagi menjadi dua, yaitu :


a. Organ Intraperitoneal
1. Hati
Merupakan kelenjar terbesar dan mempunyai tiga fungsi dasar,
yaitu : (1) pembentukan dan sekresi empedu yang dimasukkan ke
dalam usus halus; (2) berperan pada aktivitas metabolisme yang
berhubungan dengan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein;
(3) menyaring darah untuk membuang bakteri dan benda asing lain
yang masuk dalam darah dari lumen usus.
Hati bersifat lunak dan lentur dan menduduki regio hypochondrium
kanan, meluas sampai regio epigastrium. Permukaan atas hati
cembung melengkung pada permukaan bawah diaphragma.
Permukaan postero-inferior atau permukaan viseral membentuk
cetakan visera yang berdekatan, permukaan ini berhubungan
dengan pars abdominalis oesophagus, lambung, duodenum, flexura
coli dextra, ginjal kanan, kelenjar suprarenalis, dan kandung
empedu.
Dibagi dalam lobus kanan yang besar dan lobus kiri yang kecil,
yang

dipisahkan

oleh

perlekatan

peritonium

ligamentum

falciforme. Lobus kanan terbagi menjadi lobus quadratus dan lobus


caudatus oleh adanya kandung empedu, fissura untuk ligamentum
teres hepatis, vena cava inferior, dan fissura untuk ligamentum
venosum. Porta hepatis atau hilus hati ditemukan pada permukaan
postero-inferior dengan bagian atas ujung bebas omentum majus
melekat pada pinggirnya. Hati dikelilingi oleh capsula fibrosa yang
membentuk lobulus hati. Pada ruang antara lobulus-lobulus
terdapat saluran portal, yang mengandung cabang arteri hepatica,
vena porta, dan saluran empedu (segitiga portal) (Campbell, 2007).
2. Limpa
Merupakan massa jaringan limfoid tunggal yang terbesar dan
umumnya berbentuk oval, dan berwarna kemerahan. Terletak pada

regio hypochondrium kiri, dengan sumbu panjangnya terletak


sepanjang iga X dan kutub bawahnya berjalan ke depan sampai
linea axillaris media, dan tidak dapat diraba pada pemeriksaan
fisik. Batas anterior limpa adalah lambung, cauda pankreas, flexura
coli sinistra. Batas posterior pada diaphragma, pleura kiri ( recessus
costodiaphragmatica kiri ), paru kiri, costa IX, X, dan XI kiri
(Campbell, 2007).
3. Lambung
Merupakan bagian saluran pencernaan

yang melebar dan

mempunyai 3 fungsi utama: (1) menyimpan makanan dengan


kapasitas 1500 ml pada orang dewasa; (2) mencampur makanan
dengan getah lambung untuk membentuk kimus yang setengah
padat, dan (3) mengatur kecepatan pengiriman kimus ke usus halus
sehingga pencernaan dan absorbsi yang efisien dapat berlangsung.
Lambung terletak pada bagian atas abdomen, dari regio
hipochondrium kiri sampai regio epigastrium dan regio umbilikalis.
Sebagian besar lambung terletak di bawah iga-iga bagian bawah.
Batas anterior lambung adalah dinding anterior abdomen, arcus
costa kiri, pleura dan paru kiri, diaphragma, dan lobus kiri hati.
Sedangkan batas posterior lambung adalah bursa omentalis,
diaphragma, limpa, kelenjar suprarenal kiri, bagian atas ginjal kiri,
arteri lienalis, pankreas, mesocolon tranversum, dan colon
tranversum. Secara kasar lambung berbentuk huruf J dan
mempunyai dua lubang, ostium cardiacum dan ostium pyloricum,
dua curvatura yang disebut curvatura mayor dan minor, serta dua
permukaan anterior dan posterior. Lambung dibagi menjadi fundus,
corpus dan antrum. Fundus berbentuk kubah dan menonjol ke atas
terletak di sebelah kiri ostium cardiacum. Biasanya fundus terisi
gas. Sedangkan corpus adalah badan dari lambung. Antrum
merupakan bagian bawah dari lambung yang berbentuk seperti
tabung. Dinding ototnya membentuk sphincter pyloricum, yang

berfungsi mengatur kecepatan pengeluaran isi lambung ke


duodenum.
Membran mukosa lambung tebal dan memiliki banyak pembuluh
darah yang terdiri dari banyak lipatan atau rugae. Dinding otot
lambung mengandung serabut longitudinal, serabut sirkular dan
serabut oblik. Serabut longitudinal terletak paling superficial dan
paling banyak sepanjang curvatura, serabut sirkular yang lebih
dalam mengelilingi fundus lambung,dan menebal pada pylorus
untuk membentuk sphincter pyloricum. Sedangkan serabut oblik
membentuk lapisan otot yang paling dalam, mengelilingi fundus
berjalan sepanjang anterior dan posterior (Campbell, 2007).
4. Kandung empedu (Vesica Fellia)
Vesica Fellia adalah kantong seperti buah pear yang terletak pada
permukaan viseral hati. Secara umum dibagi menjadi tiga bagian
yaitu : fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan
biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hati; dimana fundus
berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung
rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan
viseral hati dana arahnya keatas, belakang dan kiri. Sedangkan
collum dilanjutkan sebagai ductus cysticus yang berjalan dalam
omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus
communis membentuk ductus choledochus. Batas anterior vesica
fellia pada dinding anterior abdomen dan bagian pertama dan
kedua duodenum. Batas posterior pada colon tranversum dan
bagian pertama dan kedua duodenum.
Vesica Fellia berperan sebagai reservoir empedu dengan kapasitas
50 ml. Vesica Fellia mempunyai kemampuan memekatkan
empedu.

Untuk

membantu

proses

ini,

maka

mukosanya

mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain saling


berhubungan seperti sarang tawon. Empedu dialirkan ke duodenum
sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu.

Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak ke


dalam duodenum . lemak menyebabkan pengeluaran hormon
kolesistokinin dari mukosa duodenum; hormon kemudian masuk ke
dalam darah menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada
saat yang sama otot polos yang terletak pada ujung distal ductus
choledochus dan ampula relaksasi sehingga memungkinkan
masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam-garam
empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak
dalam usus halus dan membantu pencernaan serta absorbsi lemak
(Campbell, 2007).
5. Usus halus
Usus halus merupakan bagian pencernaan yang paling panjang,
dibagi menjadi 3 bagian : duodenum, jejunum, dan ileum. Fungsi
utama usus halus adalah pencernaan dan absorpsi hasil-hasil
pencernaan (Campbell, 2007).

Duodenum berbentuk huruf C yang panjangnya sekitar 25


cm, melengkung sekitar caput pankreas, dan menghubungkan
lambung dengan jejunum. Di dalam duodenum terdapat
muara saluran empedu dan saluran pankreas. Sebagian
duodenum

diliputi

peritonium,

dan

sisanya

terletak

retroperitonial. Duodenum terletak pada regio epigastrium


dan regio umbilikalis. Dibagi menjadi 4 bagian :
1) Bagian pertama duodenum.
Panjangnya 5 cm, mulai pada pylorus dan berjalan
keatas dan ke belakang pada sisi kanan vertebra
lumbalis pertama. Bagian ini terletak pada bidang
transpilorica. Batas anterior pada lobus quadratus hati
dan kandung empedu. Batas posterior pada bursa
omentalis ( 2,5 cm pertama), arteri gastroduodenalis,
ductus choledochus dan vena porta, serta vena cava

inferior. Batas superior pada foramen epiploicum


Winslow dan batas inferior pada caput pankreas.
2) Bagian kedua duodenum
Panjangnya 8 cm, berjalan ke bawah di depan hilus
ginjal kanan di sebelah vertebra lumbalis kedua dan
ketiga. Batas anterior pada fundus kandung empedu dan
lobus kanan hati, colon tranversum, dan lekukanlekukan usus halus. Batas posterior pada hilus ginjal
kanan dan ureter kanan. Batas lateral pada colon
ascenden, flexura coli dextra, dan lobus kanan hati.
Batas medial pada caput pancreas.
3) Bagian ketiga duodenum
Panjangnya 8 cm, berjalan horisontal ke kiri pada
bidang subcostalis, mengikuti pinggir bawah caput
pankreas. Batas anterior pada pangkal mesenterium
usus halus, dan lekukan-lekukan jejunum. Batas
posterior pada ureter kanan, muskulus psoas kanan,
vena cava inferior, dan aorta. Batas superior pada caput
pankreas, dan batas inferior pada lekukan-lekukan
jejunum.
4) Bagian keempat duodenum
Panjangnya 5 cm, berjalan ke atas dan kiri, kemudian
memutar ke depan pada perbatasan duodenum dan
jejunum. Terdapat ligamentum Treitz yang menahan
junctura

duodeno-jejunalis.

Batas

anterior

pada

permulaan pangkal mesenterium dan lekukan-lekukan


jejunum. Batas posterior pada pinggir kiri aorta dan
pinggir medial muskulus psoas kiri.

Jejunum dan Ileum panjangnya 6 m, dua perlima bagian


atas merupakan jejunum. Jejunum mulai pada junctura
duodenojejunalis

dan

ileum

berakhir

pada

junctura

ileocaecalis. Dalam keadaan hidup, jejunum dan ileum


dibedakan dengan gambaran berikut :
1) Lekukan jejunum terletak pada bagian atas rongga
peritonium di bawah sisi kiri mesocolon tranversum,
ileum terletak pada bagian bawah rongga peritonium
dan dalam pelvis.
2) Jejunum lebih besar, berdinding lebih tebal, dan lebih
merah dari ileum.
3) Mesenterium jejunum melekat pada dinding posterior
abdomen di atas dan kiri aorta, sedangkan mesenterium
ileum melekat di bawah dan kanan aorta.
4) Pembuluh darah mesenterium membentuk satu atau dua
arkade dengan cabang-cabang yang panjang dan jarang,
sedangkan ileum menerima banyak pembuluh darah
pendek, berasal dari tiga atau lebih arkade.
5) Pada ujung mesenterium jejunum, lemak disimpan
dekat pangkal, sedangkan pada mesenterium ileum
lemak disimpan di seluruh bagian.
6) Kelompokan jaringan limfoid ( agmen Peyer ) terdapat
pada mukosa ileum bagian bawah sepanjang pinggir
antimesentrik.
6. Usus besar
Usus besar dibagi dalam caecum, appendix vermiformis, colon
ascenden,

colon

tranversum, colon

descenden, dan colon

sigmoideum, rectum dan anus. Fungsi utama usus besar adalah


absorpsi air dan elektrolit dan menyimpan bahan yang tidak
dicernakan sampai dapat dikeluarkan dari tubuh sebagai feses
(Campbell, 2007).

Caecum terletak pada fossa iliaca, panjang 6 cm, dan


diliputi oleh peritonium. Batas anterior pada lekukan-lekukan
usus halus, sebagian omentum majus, dan dinding anterior

abdomen regio iliaca kanan. Batas posterior pada m. psoas


dan m. iliacus, n. femoralis, dan n. cutaneus femoralis
lateralis. Batas medial pada appendix vermiformis.

Appendix vermiformis panjangnya 8 13 cm, terletak pada


regio iliaca kanan. Ujung appendix dapat ditemukan pada
tempat berikut : (1) tergantung dalam pelvis berhadapan
dengan dinding kanan pelvis; (2) melekuk di belakang
caecum pada fossa retrocaecalis; (3) menonjol ke atas
sepanjang pinggir lateral caecum; (4) di depan atau di
belakang bagian terminal ileum.

Colon ascenden terletak pada regio iliaca kanan dengan


panjang 13 cm. Berjalan ke atas dari caecum sampai
permukaan inferior lobus kanan hati, di mana colon ascenden
secara tajam ke kiri, membentuk flexura coli dextra, dan
dilanjutkan sebagai colon tranversum. Peritonium menutupi
pinggir

dan

permukaan

depan

colon

ascenden

dan

menghubungkannya dengan dinding posterior abdomen.


Batas anterior pada lekukan-lekukan usus halus, omentum
majus, dan dinding anterior abdomen. Batas posterior pada
m. Iliacus, crista iliaca, m. Quadratus lumborum, origo m.
Tranversus abdominis, dan kutub bawah ginjal kanan.

Colon tranversum panjangnya 38 cm dan berjalan


menyilang abdomen, menduduki regio umbilikalis dan
hipogastrikum. Batas anterior pada omentum majus dan
dinding anterior abdomen. Batas posterior pada bagian kedua
duodenum, caput pankreas, dan lekukan-lekukan jejunum dan
ileum.

Colon descenden terletak pada regio iliaca kiri, dengan


panjang 25 cm. Berjalan ke bawah dari flexura coli sinistra
sampai pinggir pelvis. Batas anterior pada lekukan-lekukan
usus halus, omentum majus, dan dinding anterior abdomen.

Batas posterior pada pinggir lateral ginjal kiri, origo m.


Tranversus abdominis, m. Quadratus lumborum, crista iliaca,
m. Iliacus, dan m. Psoas kiri.

b. Organ Retroperitoneal
1. Ginjal
Berperan penting dalam mengatur keseimbangan air dan elektrolit
dalam tubuh dan mempertahankan keseimbangan asam basa darah.
Kedua ginjal berfungsi mengekskresi sebagian besar zat sampah
metabolisme

dalam

bentuk

urin.

Ginjal

berwarna

coklat-

kemerahan, terletak tinggi pada dinding posterior abdomen,


sebagian besar ditutupi oleh tulang iga. Ginjal kanan terletak lebih
rendah dibanding ginjal kiri, dikarenakan adanya lobus kanan hati
yang besar.
Ginjal dikelilingi oleh capsula fibrosa yang melekat erat dengan
cortex ginjal. Di luar capsula fibrosa terdapat jaringan lemak yang
disebut lemak perirenal. Fascia renalis mengelilingi lemak perirenal
dan meliputi ginjal dan kelenjar suprarenalis. Fascia renalis
merupakan kondensasi jaringan areolar, yang di lateral melanjutkan
diri sebagai fascia tranversus. Di belakang fascia renalis terdapat
banyak lemak yang disebut lemak pararenal.
Batas anterior ginjal kanan pada kelenjar suprarenalis, hati, bagian
kedua duodenum, flexura coli dextra. Batas posterior pada
diaphragma, recessus costodiaphragmatica pleura, costa XII, m.
Psoas, m. Quadratus lumborum, dan m. Tranversus abdominis.
Pada ginjal kiri, batas anterior pada kelenjar suprarenalis, limpa,
lambung, pankreas, flexura coli kiri, dan lekukan-lekukan jejunum.
Batas posterior pada diaphragma, recessus costodiaphragmatica
pleura, costa XI, XII, m. Psoas, m. Quadratus lumborum, dan m.
Tranversus abdominis (Campbell, 2007).
2. Ureter

Mengalirkan urin dari ginjal ke vesica urinaria, dengan didorong


sepanjang ureter oleh kontraksi peristaltik selubung otot, dibantu
tekanan filtrasi glomerulus. Panjang ureter 25 cm dan memiliki
tiga penyempitan : (1) di mana piala ginjal berhubungan dengan
ureter;(2) waktu ureter menjadi kaku ketika melewati pinggir
pelvis;(3) waktu ureter menembus dinding vesica urinaria. Ureter
keluar dari hilus ginjal dan berjalan vertikal ke bawah di belakang
peritonium parietal pada m. Psoas, memisahkannya dari ujung
processus tranversus vertebra lumbalis. Ureter masuk ke pelvis
dengan menyilang bifurcatio a. Iliaca comunis di depan articulatio
sacroiliaca, kemudian berjalan ke bawah pada dinding lateral pelvis
menuju regio ischiospinalis dan memutar menuju angulus lateral
vesica urinaria.
Pada ureter kanan, batas anterior pada duodenum, bagian terminal
ileum, av. Colica dextra, av. Iliocolica, av. Testicularis atau ovarica
dextra, dan pangkal mesenterium usus halus. Batas posterior pada
m. Psoas dextra.
Batas anterior ginjal kiri pada colon sigmoideum, mesocolon
sigmoideum, av. Colica sinistra, dan av. Testicularis atau ovarica
sinistra. Batas posterior pada m. Psoas sinistra (Campbell, 2007).
3. Pankreas
Merupakan kelenjer eksokrin dan endokrin, organ lunak berlobus
yang terletak pada dinding posterior abdomen di belakang
peritonium. Bagian eksokrin kelenjer menghasilkan sekret yang
mengandung enzim yang dapat menghidrolisis protein, lemak, dan
karbohirat. Bagian endokrin kelenjer, yaitu pulau langerhans,
menghasilkan hormon insulin dan glukagon yang berperan penting
dalam metabolisme karbohidrat. Pankreas menyilang bidang
transpilorica.
Dibagi menjadi empat bagian, yaitu : (1) caput pankreas berbentuki
seperti cakram, terletak pada bagian cekung duodenum. Sebagian

caput meluas ke kiri di belakang av. Mesenterica superior dan


dinamakan processus uncinatus; (2) collum pancreas merupakan
bagian yang mengecil dan menghubungkan caput dengan corpus
pankreas. Terletak di depan pangkal vena porta dan pangkal arteri
mesenterica superior dari aorta; (3) corpus berjalan ke atas dan kiri
menyilang garis tengah; (4) cauda berjalan menuju ke ligamentum
lienorenalis dan berhubungan dengan hilus limpa.
Batas anterior pankreas dari kanan ke kiri : colon tranversum,
perlekatan mesocolon tranversum, bursa omentalis, dan lambung.
Sedangkan batas posterior pankreas dari kanan ke kiri : ductus
choledochus, vena porta, vena lienalis, vena cava inferior, aorta,
pangkal arteri mesenterica superior, m. Psoas kiri, kelenjer
suprarenalis kiri, ginjal kiri, dan hilus limpa (Campbell, 2007).

D. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul disebabkan adanya
deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak mempunyai kelenturan
(noncomplient organ) seperti hati, limpa, pankreas, dan ginjal. Kerusakan
intra abdominal sekunder untuk kekuatan tumpul pada abdomen secara umum
dapat dijelaskan dengan 3 mekanisme, yaitu :

Pertama, saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan gerak di


antara struktur. Akibatnya, terjadi tenaga potong dan menyebabkan
robeknya organ berongga, organ padat, organ viseral dan pembuluh
darah, khususnya pada ujung organ yang terkena. Contoh pada aorta
distal yang mengenai tulang torakal dan mengurangi yang lebih cepat
dari pada pergerakan arkus aorta. Akibatnya, gaya potong pada aorta
dapat menyebabkan ruptur. Situasi yang sama dapat terjadi pada
pembuluh darah ginjal dan pada cervicothoracic junction.

Kedua, isi intra-abdominal hancur di antara dinding abdomen anterior


dan columna vertebra atau tulang toraks posterior. Hal ini dapat

menyebabkan remuk, biasanya organ padat (spleen, hati, ginjal)


terancam.

Ketiga, adalah gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan


tekanan intra-abdomen yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya pada
ruptur organ berongga (Odle, 2007).

E. Klasifikasi
Berdasaran jenis organ yang cedera dapat dibagi dua :
1. Pada organ padat seperti hepar dan limpa dengan gejala utama
perdarahan
2. Pada organ berongga seperti usus dan saluran empedu dengan gejala
utama adalah peritonitis (Odle, 2007).
Berdasarkan daerah organ yang cedera dapat dibagi dua, yaitu :
a. Organ Intraperitoneal
Intraperitoneal abdomen terdiri dari organ-organ seperti hati, limpa,
lambung, colon transversum, usus halus, dan colon sigmoid (Odle, 2007).

Ruptur Hati
Hati dapat mengalami laserasi dikarenakan trauma tumpul ataupun
trauma tembus. Hati merupakan organ yang sering mengalami
laserasi, sedangkan empedu jarang terjadi dan sulit untuk
didiagnosis. Pada trauma tumpul abdomen dengan ruptur hati
sering ditemukan adanya fraktur costa VII IX. Pada pemeriksaan
fisik sering ditemukan nyeri pada abdomen kuadran kanan atas.
Nyeri tekan dan Defans muskuler tidak akan tampak sampai
perdarahan pada abdomen dapat menyebabkan iritasi peritoneum
( 2 jam post trauma). Kecurigaan laserasi hati pada trauma tumpul
abdomen apabila terdapat nyeri pada abdomen kuadran kanan atas.
Jika keadaan umum pasien baik, dapat dilakukan CT Scan pada
abdomen yang hasilnya menunjukkan adanya laserasi. Jika kondisi
pasien syok, atau pasien trauma dengan kegawatan dapat dilakukan
laparotomi

untuk

melihat

perdarahan

intraperitoneal.

Ditemukannya cairan empedu pada lavase peritoneal menandakan


adanya trauma pada saluran empedu.

Ruptur Limpa
Limpa merupakan organ yang paling sering cedera pada saat terjadi
trauma tumpul abdomen. Ruptur limpa merupakan kondisi yang
membahayakan jiwa karena adanya perdarahan yang hebat. Limpa
terletak tepat di bawah rangka thorak kiri, tempat yang rentan
untuk mengalami perlukaan. Limpa membantu tubuh kita untuk
melawan infeksi yang ada di dalam tubuh dan menyaring semua
material yang tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh seperti sel tubuh
yang sudah rusak. Limpa juga memproduksi sel darah merah dan
berbagai jenis dari sel darah putih. Robeknya limpa menyebabkan
banyaknya darah yang ada di rongga abdomen. Ruptur pada limpa
biasanya disebabkan hantaman pada abdomen kiri atas atau
abdomen kiri bawah. Kejadian yang paling sering meyebabkan
ruptur limpa adalah kecelakaan olahraga, perkelahian dan
kecelakaan mobil. Perlukaan pada limpa akan menjadi robeknya
limpa segera setelah terjadi trauma pada abdomen.
Pada pemeriksaan fisik, gejala yang khas adanya hipotensi karena
perdarahan. Kecurigaan terjadinya ruptur limpa dengan ditemukan
adanya fraktur costa IX dan X kiri, atau saat abdomen kuadran kiri
atas terasa sakit serta ditemui takikardi. Biasanya pasien juga
mengeluhkan sakit pada bahu kiri, yang tidak termanifestasi pada
jam pertama atau jam kedua setelah terjadi trauma. Tanda
peritoneal seperti nyeri tekan dan defans muskuler akan muncul
setelah terjadi perdarahan yang mengiritasi peritoneum. Semua
pasien dengan gejala takikardi atau hipotensi dan nyeri pada
abdomen kuadran kiri atas harus dicurigai terdapat ruptur limpa
sampai dapat diperiksa lebih lanjut. Penegakan diagnosis dengan
menggunakan CT scan. Ruptur pada limpa dapat diatasi dengan
splenectomy, yaitu pembedahan dengan pengangkatan limpa.

Walaupun manusia tetap bisa hidup tanpa limpa, tapi pengangkatan


limpa dapat berakibat mudahnya infeksi masuk dalam tubuh
sehingga setelah pengangkatan limpa dianjurkan melakukan
vaksinasi terutama terhadap pneumonia dan flu diberikan antibiotik
sebagai usaha preventif terhadap terjadinya infeksi.

Ruptur Usus Halus


Sebagian besar, perlukaan yang merobek dinding usus halus karena
trauma tumpul menciderai usus dua belas jari. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan gejala burning epigastric pain yang diikuti
dengan nyeri tekan dan defans muskuler pada abdomen.
Perdarahan pada usus besar dan usus halus akan diikuti dengan
gejala peritonitis secara umum pada jam berikutnya. Sedangkan
perdarahan pada usus dua belas jari biasanya bergejala adanya
nyeri pada bagian punggung. Diagnosis ruptur usus ditegakkan
dengan ditemukannya udara bebas dalam pemeriksaan Rontgen
abdomen. Sedangkan pada pasien dengan perlukaan pada usus dua
belas jari dan colon sigmoid didapatkan hasil pemeriksaan pada
Rontgen

abdomen

dengan

ditemukannya

udara

dalam

retroperitoneal (Odle, 2007).


b. Organ Retroperitoneal
Retroperitoneal abdomen terdiri dari ginjal, ureter, pancreas, aorta, dan
vena cava. Trauma pada struktur ini sulit ditegakkan diagnosis
berdasarkan pemeriksaan fisik. Evaluasi regio ini memerlukan CT scan,
angiografi, dan intravenous pyelogram (Odle, 2007).

Ruptur Ginjal
Trauma pada ginjal biasanya terjadi karena jatuh dan kecelakaan
kendaraan bermotor. Dicurigai terjadi trauma pada ginjal dengan
adanya fraktur pada costa ke XI XII atau adanya tendensi pada
flank. Jika terjadi hematuri, lokasi perlukaan harus segera
ditentukan. Laserasi pada ginjal dapat berdarah secara ekstensif ke
dalam ruang retroperitonial. Gejala klinis : Pada ruptur ginjal

biasanya terjadi nyeri saat inspirasi di abdomen dan flank, dan


tendensi CVA. Hematuri yang hebat hampir selalu timbul, tapi
pada mikroscopic hematuri juga dapat menunjukkan adanya ruptur
pada ginjal.
Diagnosis, membedakan antara laserasi ginjal dengan memar pada
ginjal dapat dilakukan dengan pemeriksaan IVP atau CT scan. Jika
suatu pengujian kontras seperti aortogram dibutuhkan karena
adanya alasan tertentu, ginjal dapat dinilai selama proses pengujian
tersebut. Laserasi pada ginjal akan memperlihatkan adanya
kebocoran pada zat warna, sedangkan pada ginjal yang memar akan
tampak gambaran normal atau adanya gambaran warna kemerahan
pada stroma ginjal. Tidak adanya visualisasi pada ginjal dapat
menunjukkan adanya ruptur yang berat atau putusnya tangkai
ginjal. Terapi : pada memar ginjal hanya dilakukan pengamatan.
Beberapa laserasi ginjal dapat diterapi dengan tindakan non
operatif. Terapi pembedahan wajib dilakukan pada ginjal yang
memperlihatkan adanya ekstravasasi.

Ruptur Pankreas
Trauma pada pankreas sangat sulit untuk di diagnosis. Kebanyakan
kasus diketahui dengan eksplorasi pada pembedahan. Perlukaan
harus dicurigai setelah terjadinya trauma pada bagian tengah
abdomen, contohnya pada benturan stang sepeda motor atau
benturan setir mobil. Perlukaan pada pankreas memiliki tingkat
kematian yang tinggi. Perlukaan pada duodenum atau saluran
kandung empedu juga memiliki tingkat kematian yang tinggi.
Gejala klinis, kecurigaan perlukaan pada setiap trauma yang terjadi
pada abdomen. Pasien dapat memperlihatkan gejala nyeri pada
bagian atas dan pertengahan abdomen yang menjalar sampai ke
punggung. Beberapa jam setelah perlukaan, trauma pada pankreas
dapat terlihat dengan adanya gejala iritasi peritonial.

Diagnosis, penentuan amilase serum biasanya tidak terlalu


membantu dalam proses akut. Pemeriksaan CT scan dapat
menetapkan diagnosis. Kasus yang meragukan dapat diperiksa
dengan menggunakan ERCP ( Endoscopic Retrogade Canulation of
the Pancreas) ketika perlukaan yang lain telah dalam keadaan
stabil.
Terapi,

penanganan

dapat

berupa

tindakan

operatif

atau

konservatif, tergantung dari tingkat keparahan trauma, dan adanya


gambaran dari trauma lain yang berhubungan. Konsultasi
pembedahan merupakan tindakan yang wajib dilakukan.

Ruptur Ureter
Trauma pada ureter jarang terjadi tetapi berpotensi menimbulkan
luka yang mematikan. Trauma sering kali tak dikenali pada saat
pasien datang atau pada pasien dengan multipel trauma.
Kecurigaan adanya cedera ureter bisa ditemukan dengan adanya
hematuria paska trauma.
Mekanisme trauma tumpul pada ureter dapat terjadi karena keadaan
tiba-tiba dari deselerasi/ akselerasi yang berkaitan dengan
hiperekstensi, benturan langsung pada Lumbal 2 3, gerakan tibatiba dari ginjal sehingga terjadi gerakan naik turun pada ureter yang
menyebabkan terjadinya tarikan pada ureteropelvic junction. Pada
pasien dengan kecurigaan trauma tumpul ureter biasanya
didapatkan gambaran nyeri yang hebat dan adanya multipel trauma.
Gambaran syok timbul pada 53% kasus, yang menandakan
terjadinya perdarahan lebih dari 2000 cc. Diagnosis dari trauma
tumpul ureter seringkali terlambat diketahui karena seringnya
ditemukan trauma lain, sehingga tingkat kecurigaan tertinggi
ditetapkan pada trauma dengan gejala yang jelas.
Pilihan terapi yang tepat tergantung pada lokasi, jenis trauma,
waktu kejadian, kondisi pasien, dan prognosis penyelamatan. Hal
terpenting dalam pemilihan tindakan operasi adalah mengetahui

dengan pasti fungsi ginjal yang kontralateral dengan lokasi trauma


(Odle, 2007).

F. Komplikasi Ruptur Organ


Peritonitis merupakan komplikasi tersering dari trauma tumpul abdomen
karena adanya ruptur pada organ. Penyebab yang paling serius dari peritonitis
adalah terjadinya suatu hubungan (viskus) ke dalam rongga peritoneal dari
organ-organ intra-abdominal (esofagus, lambung, duodenum, intestinal,
colon, rektum, kandung empedu, apendiks, dan saluran kemih), yang dapat
disebabkan oleh trauma, darah yang menginfeksi peritoneal, benda asing,
obstruksi dari usus yang mengalami strangulasi, pankreatitis, PID (Pelvic
Inflammatory

Disease)

dan

bencana

vaskular

(trombosis

dari

mesenterium/emboli) (Molmenti, 2004).


Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya
apendisitis, salpingitis), ruptur saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen.
Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam
kolon pada kasus ruptur apendiks, sedangkan stafilokokus dan stretokokus
sering masuk dari luar. Pada luka tembak atau luka tusuk tidak perlu lagi
dicari tanda-tanda peritonitis karena ini merupakan indikasi untuk segera
dilakukan laparotomi eksplorasi. Namun pada trauma tumpul seringkali
diperlukan observasi dan pemeriksaan berulang karena tanda rangsangan
peritoneum bisa timbul perlahan-lahan (Molmenti, 2004).
Gejala dan tanda yang sering muncul pada penderita dengan peritonitis
antara lain:
1. Nyeri perut seperti ditusuk
2. Perut yang tegang (distended)
3. Demam (>380C)
4. Produksi urin berkurang
5. Mual dan muntah
6. Haus

7. Cairan di dalam rongga abdomen


8. Tidak bisa buang air besar atau kentut
9. Tanda-tanda syok (Molmenti, 2004)
Menegakkan diagnosis peritonitis secara cepat adalah penting sekali.
Diagnosis peritonitis didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis peritonitis biasanya ditegakkan secara
klinis. Kebanyakan pasien datang dengan keluhan nyeri abdomen. Nyeri ini
bisa timbul tiba-tiba atau tersembunyi. Pada awalnya, nyeri abdomen yang
timbul sifatnya tumpul dan tidak spesifik (peritoneum viseral) dan kemudian
infeksi berlangsung secara progresif, menetap, nyeri hebat dan semakin
terlokalisasi (peritoneum parietale). Dalam beberapa kasus (misal: perforasi
lambung, pankreatitis akut, iskemia intestinal) nyeri abdomen akan timbul
langsung secara umum/general sejak dari awal. Mual dan muntah biasanya
sering muncul pada pasien dengan peritonitis. Muntah dapat terjadi karena
gesekan organ patologi atau iritasi peritoneal sekunder (Molmenti, 2004).
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya
tidak baik. Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan
sepsis hebat akan muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena
dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang
disebabkan karena mual dan muntah, demam, kehilangan cairan yang banyak
dari rongga abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara
progresif, pasien bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan
produksi urin berkurang, dan dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir
dengan keadaan syok sepsis (Molmenti, 2004).
Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan akan sangat
menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien, namun pemeriksaan abdomen
ini harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan terapi yang akan
dilakukan. Pada inspeksi, pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas
operasi menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit
dengan gambaran usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan

pasase. Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan
tegang atau distended (Molmenti, 2004).
Minta pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang paling
terasa sakit di abdomen, auskultasi dimulai dari arah yang berlawanan dari
yang ditunjuik pasien. Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah terjadi
penurunan suara bising usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus
akan melemah atau menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena
peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak
bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat
terdengar normal (Molmenti, 2004).
Palpasi. Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral
yang sangat sensitif. Bagian anterior dari peritoneum parietale adalah yang
paling sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen
yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara
bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans
muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai
peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses
refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi
kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan (Molmenti, 2004).
Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan
setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks
untuk melindungi bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau
tekanan setempat (Molmenti, 2004).
Perkusi. Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum,
adanya udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi
melalui pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan
peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani
karena adanya udara bebas tadi (Molmenti, 2004).
Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan
pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu

penegakan diagnosis. Nyeri pada semua arah menunjukkan general peritonitis


(Molmenti, 2004).

G. Pemeriksaan Fisik
Anamnesis mengandung data kunci yang dapat mengarahkan diagnosis
gawat abdomen. Riwayat trauma sangat penting untuk menilai penderita yang
cedera dalam tabrakan kendaraan bermotor meliputi :kejadian apa, dimana,
kapan terjadinya dan perkiraan arah dari datangnya ruda paksa tersebut. Sifat,
letak dan perpindahan nyeri merupakan gejala yang penting. Demikian juga
muntah, kelainan defekasi dan sembelit. Adanya syok, nyeri tekan, defans
muskular, dan perut kembung harus diperhatikan sebagai gejala dan tanda
penting. Sifat nyeri, cara timbulnya dan perjalanan selanjutnya sangat penting
untuk menegakkan diagnosis (John, 2005).
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut
nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan
pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan
infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan (John, 2005).
Pemeriksaan fisik pada pasien trauma tumpul abdomen harus dilakukan
secara sistematik meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi (Win de
Jong, 2005).

Pada inspeksi, perlu diperhatikan :


1) Adanya luka lecet di dinding perut, hal ini dapat memberikan
petunjuk adanya kemungkinan kerusakan organ di bawahnya.
2) Adanya perdarahan di bawah kulit, dapat memberikan petunjuk
perkiraan organ-organ apa saja yang dapat mengalami trauma di
bawahnya. Ekimosis pada flank (Grey Turner Sign) atau umbilicus
(Cullen Sign) merupakan indikasi perdarahan retroperitoneal, tetapi
hal ini biasanya lambat dalam beberapa jam sampai hari.
3) Adanya distensi pada dinding perut merupakan tanda penting
karena kemungkinan adanya pneumoperitonium, dilatasi gastric,
atau ileus akibat iritasi peritoneal.

4) Pergerakan pernafasan perut, bila terjadi pergerakan pernafasan


perut yang tertinggal maka kemungkinan adanya peritonitis (Win
de Jong, 2005).

Pada auskultasi, perlu diperhatikan :


1) Ditentukan apakah bising usus ada atau tidak, pada robekan
(perforasi) usus bising usus selalu menurun, bahkan kebanyakan
menghilang sama sekali.
2) Adanya

bunyi

usus

pada

auskultasi

toraks

kemungkinan

menunjukkan adanya trauma diafragma (Win de Jong, 2005).

Pada palpasi, perlu diperhatikan :


1) Adanya defence muscular menunjukkan adanya kekakuan pada
otot-otot dinding perut abdomen akibat peritonitis.
2) Ada tidaknya nyeri tekan, lokasi dari nyeri tekan ini dapat
menunjukkan organ-organ yang mengalami trauma atau adanya
peritonitis (Win de Jong, 2005).

Pada perkusi, perlu diperhatikan :


1) Redup hati yang menghilang menunjukkan adanya udara bebas
dalam rongga perut yang berarti terdapatnya robekan (perforasi)
dari organ-organ usus.
2) Nyeri ketok seluruh dinding perut menunjukkan adanya tandatanda peritonitis umum.
3) Adanya Shifting dullness menunjukkan adanya cairan bebas
dalam rongga perut, berarti kemungkinan besar terdapat perdarahan
dalam rongga perut (Win de Jong, 2005).
Pemeriksaan rektal toucher dilakukan untuk mencari adanya penetrasi

tulang akibat fraktur pelvis, dan tinja harus dievaluasi untuk gross atau occult
blood. Evaluasi tonus rektal penting untuk menentukan status neurology
pasien dan palpasi high-riding prostate mengarah pada trauma salurah kemih
(John, 2005).
Pemeriksaan abdominal tap merupakan pemeriksaan yang penting untuk
mendapatkan tambahan keterangan bila terjadi pengumpulan darah dalam

rongga abdomen, terutama bila jumlah perdarahan masih sedikit, sehingga


klinis masih tidak begitu jelas dan sulit ditentukan. Caranya dapat dilakukan
dengan :
1) Buli-buli dikosongkan, kemudian penderita dimiringkan ke sisi
kiri.
2) Disinfeksi kulit dengan yodium dan alcohol.
3) Digunakan jarum yang cukup besar dan panjang, misalnya jarum
spinal no. 18 20.
4) Sesudah jarum masuk ke rongga perut pada titik kontra Mc Burney,
lalu diaspirasi.
5) Dianggap positif bila diperoleh darah minimal sebanyak 0.5 cc
(Win de Jong, 2005)

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium :

Pemeriksaan darah dan urin (meliputi urinalisa, toksikologi urin, dan


pada wanita dilakukan tes kehamilan).

Nilai elektrolit serum, tingkat kreatinin, dan glukosa.

Lipase serum atau amylase sensitif sebagai marker trauma pancreas


mayor atau usus. Tingkat elevasi dapat disebabkan oleh trauma kepala
dan muka atau campuran penyebab non traumatic (alcohol, narkotik,
obat-obat yang lain). Amylase atau lipase mungkin berkurang karena
iskemi pancreas akibat hipotensi sistemik yang disertai trauma. Akan
tetapi, hiperamilasemia atau hiperlipasemia meningkatkan sugesti trauma
intra-abdominal dan sebagai indikasi radiografi dan pembedahan.

Semua pasien harus menceritakan riwayat imunisasi tetanusnya. Jika


belum dilakukan maka diberikan profilaksis (Joseph, 2007).

Pemeriksaan dengan foto :


Hal yang penting dalam evaluasi pasien trauma tumpul abdomen adalah
menilai kestabilan hemodinamik. Pada pasien dengan hemodinamik yang
tidak stabil, evaluasi yang cepat harus ditegakkan untuk mengetahui adanya

hemoperitonium. Hal ini dapat diketahui dengan DPL atau FAST scan.
Pemeriksaan radiografik abdomen diindikasikan pada pasien stabil saat
pemeriksaan fisik dilakukan (Joseph, 2007).

Radiografi
1) Radiografi dada membantu dalam diagnosis trauma abdomen
seperti ruptur hemidiafragma atau pneumoperitonium.
2) Radiografi pelvis atau dada dapat menunjukkan fraktur dari tulang
thoracolumbar.
3) Mengetahui fraktur costa dapat memperkirakan kemungkinan
organ yang terkena trauma.
4) Tampak

udara

bebas

intra

intraperitoneal,

atau

udara

retroperitoneal yang terjebak dari perforasi duodenal.

Ultrasonografi
1) Pemeriksaan digunakan untuk mendeteksi hemoperitonium dan
diinterpretasikan positif jika cairan ditemukan dan negatif jika tidak
tampak cairan.
2) Pemeriksaan FAST berdasar pada asumsi bahwa kerusakan
abdomen berhubungan dengan hemoperitonium. Meskipun, deteksi
cairan bebas intraperitoneal berdasar pada faktor-faktor seperti
lokasi trauma, adanya perdarahan tertutup, posisi pasien, dan
jumlah cairan bebas.
3) Protokol pemeriksaan sekarang ini terdiri dari 4 area dengan pasien
terlentang. Lokasi tersebut adalah perikardiak, perihepatik,
perisplenik, dan pelvis. Penggambaran perikardial digunakan
lubang subcosta atau transtoraksis. Memberikan 4 bagian
penggambaran

jantung

dan

dapat

mendeteksi

adanya

hemoperikardium yang ditunjukkan dengan pemisahan selaput


viseral dan parietal perikardial. Perihepatik menunjukkan gambar
bagian dari liver, diafragma, dan ginjal kanan. Menampakkan
cairan pada ruang subphrenik dan ruang pleura kanan. Perisplenik
menggambarkan splen dan ginjal kiri dan menampakkan cairan

pada

ruang

pleura

kiri

dan

ruang

subphrenik.

Pelvis

menggambarkan penggunaan vesika urinaria sebagai lubang


sonografi. Gambar ini dilakukan saat bladder penuh. Pada laki-laki,
cairan bebas tampak sebagai area tidak ekoik (warna hitam) pada
celah rektovesikuler. Pada wanita, akumulasi cairan pada cavum
Douglas, posterior dari uterus.
4) Pasien dengan hemodinamik stabil dengan hasil FAST positif
memerlukan CT scan untuk menentukan sebab dan luasnya
kerusakan.
5) Pasien dengan hemodinamik stabil dengan hasil FAST negative
memerlukan observasi, pemeriksaan abdomen serial, dan follow-up
pemeriksaan FAST.
6) Pasien dengan hemodinamik tidak stabil dengan hasil FAST
negative merupakan diagnosis yang meragukan untuk penanganan
dokter.

Computed Tomography (CT) Scan


1) CT scan tetap kriteria standar untuk mendeteksi kerusakan organ
padat. CT scan abdomen dapat menunjukkan kerusakan yang lain
yang berhubungan, fraktur vertebra dan pelvis dan kerusakan pada
cavum toraks.
2) Memberikan gambaran yang jelas pancreas, duodenum, dan sistem
genitourinarius. Gambar dapat membantu banyak jumlah darah
dalam abdomen dan dapat menunjukkan organ dengan teliti.
3) Keterbatasan CT scan meliputi kepekaannya yang rendah untuk
diagnostik trauma diafragma, pancreas, dan organ berongga. CT
scan juga mahal dan memakan dan memerlukan kontras oral atau
intravena, yang menyebabkan reaksi yang merugikan.

Prosedur Diagnostik :

Diagnostic peritoneal lavage


1) DPL diindikasikan untuk trauma tumpul pada (1) pasien dengan
trauma tulang belakang, (2) dengan trauma multiple dan syok yang

tidak diketahui, (3) Pasien intoksikasi yang mengarah pada trauma


abdomen, (4) Pasien lemah dengan kemungkinan trauma abdomen,
(5) pasien dengan potensial trauma intra-abdominal yang akan
menjalani anestesi dalam waktu lama untuk prosedur yang lain
2) Kontraindikasi absolut untuk DPL yaitu pasien membutuhkan
laparotomi. Kontraindikasi relatif meliputi kegemukan, riwayat
pembedahan abdomen yang multipel, dan kehamilan.
3) Metode bervariasi dalam memasukkan kateter ke ruang peritoneal.
Meliputi metode open, semiopen dan closed. Metode open
memerlukan insisi kulit infraumbilikal sampai dan melewati linea
alba. Peritoneum dibuka dan kateter diletakkan langsung. Metode
semiopen hampir sama hanya peritoneum tidak dibuka dan kateter
melalui perkutaneus melalui peritoneum ke dalam ruang peritoneal.
Metode closed memerlukan kateter untuk dipasang di dalam kulit,
subkutan, linea alba dan peritoneum.
4) Hasil DPL dinyatakan positif pada trauma tumpul abdomen jika
menghasilkan aspirasi 10 mL darah sebelum pemasukan cairan
lavase, mempunyai RBC lebih dari 100.000 RBC/mL, lebih dari
500 WBC/mL, peningkatan amylase, empedu, bakteri, atau urin.
Hanya sekitar 30 mL darah dibutuhkan dalam peritoneum untuk
menghasilkan DPL positif secara mikroskopik.
5) DPL di tunjukkan pada beberapa studi mempunyai akurasi
diagnostik 98-100%, sensivitas 98-100% dan spesifikasi 90-96%.
DPL

mempunyai

keuntungan

termasuk

sensitivitas

tinggi,

interpretasi cepat, dan segera. Positif palsu dapat terjadi jika jalan
infraumbilikal digunakan pada pasien fraktur pelvis. Sebelum
dilakukan DPL, vesica urinaria dan lambung harus di dekompresi.
6) Dengan

kemampuan

yang

cepat,

noninvasive,

dan

lebih

menggambarkan (pemeriksaan FAST, CT scan), peranan DPL kini


terbatas untuk evaluasi pasien trauma yang tidak stabil yang hasil
FAST negative atau tidak jelas (Joseph, 2007).

I. Penatalaksanaan
Terapi Medis
Keberhasilan utama paramedis dengan latihan Advanced Trauma Life
Support merupakan latihan menilai dengan cepat jalan napas pasien dengan
melindungi tulang belakang, pernapasan dan sirkulasi. Kemudian diikuti
dengan memfiksasi fraktur dan mengontrol perdarahan yang keluar. Pasien
trauma merupakan risiko mengalami kemunduran yang progresif dari
perdarahan berulang dan membutuhkan transport untuk pusat trauma atau
fasilitas yang lebih teliti dan layak. Sebab itu, melindungi jalan napas,
menempatkan jalur intravena, dan memberi cairan intravena, kecuali
keterlambatan transport. Prioritas selanjutnya pada primary survey adalah
penilaian status sirkulasi pasien. Kolaps dari sirkulasi pasien dengan trauma
tumpul abdomen biasanya disebabkan oleh hipovolemia karena perdarahan.
Volume resusitasi yang efektif dengan mengontrol darah yang keluar infuse
larutan kristaloid melalui 2 jalur (Dorland 2002).
Primary survey dilengkapi dengan menilai tingkat kesadaran pasien
menggunakan Glasgow Coma Scale. Pasien tidak menggunakan pakaian dan
dijaga tetap bersih, kering, hangat (Dorland 2002).
Secondary survey terdiri dari pemeriksaan lengkap dan teliti sebagai
indikasi dalam pemeriksaan fisik (Dorland 2002).
Manajemen Non Operative Trauma Tumpul Abdomen
Strategis manajemen nonoperatif berdasarkan pada CT scan dan
kestabilan

hemodinamik

pasien

yang

saat

ini

digunakan

dalam

penatalaksanaan trauma organ padat orang dewasa, hati dan limpa. Pada
trauma tumpul abdomen, termasuk beberapa trauma organ padat, manajemen
nonoperatif yang selektif menjadi standar perawatan. Angiografi merupakan
keutamaan pada manajemen nonoperatif trauma organ padat pada orang
dewasa dari trauma tumpul. Digunakan untuk kontrol perdarahan (Brunner &
Suddarth, 2002).
Terapi Pembedahan

Indikasi laparotomi pada pasien dengan trauma abdomen meliputi tandatanda peritonitis, perdarahan atau syok yang tidak terkontrol, kemunduran
klinis selama observasi, dan adanya hemoperitonium setelah pemeriksaan
FAST dan DPL (Snell, 1997).
Ketika indikasi laparotomi, diberikan antibiotik spektrum luas. Insisi
midline biasanya menjadi pilihan. Saat abdomen dibuka, kontrol perdarahan
dilakukan dengan memindahkan darah dan bekuan darah, membalut semua 4
kuadran, dan mengklem semua struktur vaskuler. Kerusakan pada lubang
berongga dijahit. Setelah kerusakan intra-abdomen teratasi dan perdarahan
terkontrol dengan pembalutan, eksplorasi abdomen dengan teliti kemudian
dilihat untuk evaluasi seluruh isi abdomen (Snell, 1997).
Setelah trauma intra-abdomen terkontrol, retroperitonium dan pelvis
harus diinspeksi. Jangan memeriksa hematom pelvis. Penggunaan fiksasi
eksternal fraktur pelvis untuk mengurangi atau menghentikan kehilangan
darah pada daerah ini. Setelah sumber perdarahan dihentikan, selanjutnya
menstabilkan pasien dengan resusitasi cairan dan pemberian suasana hangat.
Setelah tindakan lengkap, melihat pemeriksaan laparotomy dengan teliti
dengan mengatasi seluruh struktur kerusakan (Snell, 1997).
Follow-Up :
Perlu dilakukan observasi pasien, monitoring vital sign, dan mengulangi
pemeriksaan fisik. Peningkatan temperature atau respirasi menunjukkan
adanya perforasi viscus atau pembentukan abses. Nadi dan tekanan darah
dapat berubah dengan adanya sepsis atau perdarahan intra-abdomen.
Perkembangan

peritonitis

berdasar

mengindikasikan untuk intervensi bedah.

pada

pemeriksaan

fisik

yang

BAB III
KESIMPULAN

Trauma abdomen didefinisikan sebagai trauma yang melibatkan daerah


antara diafragma atas dan panggul bawah dan dapat juga didefinisikan sebagai
kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang
diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk.
Pada kecurigaan terjadinya trauma tumpul abdomen harus dilakukan
pemeriksaan yang menyeluruh dan observasi yang berulang-ulang. Merupakan hal
yang sulit untuk menduga apa yang terjadi pada organ-organ intra abdominal
karena tidak bisa terlihat dari luar, dengan gejala yang bisa timbul dalam waktu
yang cukup lama dan gejala yang timbul bisa minimal sedangkan kerusakan
organ-organnya cukup parah.
Tindakan penyelamatan life support harus segera diberikan, meskipun
terjadinya trauma tumpul abdomen masih menjadi kecurigaan. Penatalaksanaan
harus secepatnya dilakukan jika telah terbukti adanya trauma tumpul abdomen
dengan kegawatan, mengingat banyaknya organ-organ penting yang terdapat di
intra abdominal. Komplikasi yang sering terjadi pada trauma tumpul abdomen
adalah peritonitis. Kematian pada trauma tumpul abdomen disebabkan karena
sepsis dan perdarahan.

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008. Abdominal and


Pelvic Trauma. In: Advanced Trauma Life Support for Doctors ATLS
Student Course Manual 8th Edition. USA: American College of Surgeons,
111-124.
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC
Campbell, Brendan. 2007. Abdominal exploration. http://www.TauMed.com
Cho, Y., Judson, R., Gumm, K., Santos, R., Waish, M., Pascoe, D., et al. 2012.
Blunt Abdominal Trauma. The Royal Melbourne Hospital.
Demetriades, D., Asensio JA., 2000. Abdomen. In: Trauma Management. USA:
Landes Bioscience: 281.
Dorland,2002,Kamus Saku Kedokteran .Jakarta :EGC
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Guilon, F., 2011. Epidemiology of Abdominal Trauma. In :CT of The Acute
Abdomen.London: Springer; 15-26
Ignativicus, Donna D ; Workman. 2006. Medical Surgical Nursing Critical
Thinking for Collaborative Care. USA : Elsevier Saunders
John, Udeani. 2005. Abdominal Trauma Blunt. Department of Emergency
Medicine, Charles Drew University / UCLA School of Medicine.
Joseph, Salomone. 2007. Blunt Abdominal Trauma. Department of Emergency
Medicine, Truman Medical Center, University of Missouri at Kansas City
School of Medicine.
Molmenti, Hebe, 2004. Peritonitis. Medical Encyclopedia. Medline Plus
http://medlineplus.gov/
Odle, Teresa. 2007. Blunt Abdominal Trauma. http://www.emedicine.com
Sjamsuhidayat. 1997. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC
Smeltzer C. Suzanne. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC

Snell, Richard. 1997. Anatomi Klinik Bagian 1. EGC. Jakarta


Williams, Norman S., Bulstrode, Christopher JK.,OConnel, P.Ronan, 2013. Early
Assessment and Management of Trauma. In: Bailey & Loves Short
th

Parcatice of Surgery 26 Edition. Boca Raton: CRC Press, 301-309.


Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta

You might also like