Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengungsi merupakan persoalan klasik yang timbul dalam peradaban umat
manusia sebagai akibat adanya rasa takut yang sangat mengancam keselamatan
mereka. Ancaman itu dapat ditimbulkan dari bencana alam atau karena bencana
buatan manusia. Perpindahan penduduk dalam skala besar ini pada awalnya hanya
merupakan persoalan domestik suatu Negara, sehingga tidak banyak menarik
perhatian suatu Negara. Kemudian masalah pengungsi meluas menjadi persoalan
Negara-negara di kawasan tertentu saja dan terakhir dianggap sebagai masalah
bersama umat manusia.
Masalah pengungsi1, yang sama tuanya dengan peradaban manusia, sampai
pecahnya Perang Balkan (1912), yang disusul dengan pecahnya Perang Dunia I
(1914), dan pecahnya revolusi Bolshevik di Kekaisaran Rusia (1917), sampai waktu
itu ditangani sebagai masalah humaniter-sosial semata-mata yang diwujudkan dalam
bentuk pertolongan (relief) dan bantuan (assistance) yang bertujuan menjamin
kelangsungan hidup orang-orang yang telah terpaksa meninggalkan atau berada di
luar negara asal mereka sebagai akibat konflik bersenjata atau situasi kekerasan yang
mengancam keselamatan dan kebebasan mereka.
Pertolongan dan bantuan demikian diberikan, terutama, oleh berbagai
organisasi non-pemerintah (Ornop), non-govermental organization (NGOs) yang
bergerak di bidang sosial dan oleh lembaga-lembaga keagamaan. Bahkan sampai
terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) (League of Nations LON) pada 1919,
negara-negara yang bergabung dalam organisasi internasional yang dibentuk seusai
PD I (1914-1918) ini, belum memiliki persepsi bersama tentang penanganan masalah
pengungsi yang tersebar di banyak negara kawasan Balkan dan kawasan Eropa
lainnya serta kawasan Asia Barat sebagai akibat perang Balkan (1912), PD I (19141918), dan revolusi Bolshevik (1917) tersebut.
Enny Soeprapto, Implementasi Prinsip-Prinsip Humaniter Dalam Penanganan Masalah Pengungsi Dan Internally
Displaced Persons (IDPs), http://www.komnasham.go.id/portal/files/ES_IDPs01.pdf, diakses tanggal 27
September 2010 pukul 08.55 WITA
Konvensi ini diterima oleh Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dari wakil-wakil Berkuasa Penuh tentang
Status Pengungsi dan Orang Tanpa Kewarganegaraan, yang diadakan di Jenewa dari 2 sampai 25 Juli 1951.
Konferensi tersebut diselenggarakan sesuai dengan resolusi 429 (V), yang diterima oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-bangsa pada 14 Desember 1950. Naskah resolusi ini dapat dilihat dalan Official Records of
the General Assembly, fifth session, Supplement No. 20 (A/1775), hlm. 48. Naskah Akta Final Konferensi
tersebut dimuat kembali dalam Apendiks.
Menyatakan keinginan bahwa semua Negara, yang mengakui sifat sosial dan humaniter masalah pengungsi, akan
melakukan segalanya yang berada di dalam kekuasaannya, untuk nencegah masalah ini menjadi sebab ketegangan
antara Negara-negara,
yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 melainkan berlaku untuk segala waktu; yakni
Protokol 19673 tentang Status Pengungsi.
Dengan diubahnya Konvensi 1951 oleh Protokol 1967 maka Konvensi 1951
bersifat berpandangan ke depan, artinya berlaku untuk segala waktu. Meskipun
demikian, meskipun sekarang ini, lebih dari 51 tahun setelah dibuatnya Konvensi
1951, arti praktisnya sudah hilang, negara pihak pada Protokol 1951 yang pada waktu
menjadi pihak pada Konvensi 1951 yang pada waktu menjadi pihak pada Konvensi
1951 menyatakan bahwa baginya istilah peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari
1951 hanya berarti peristiwa demikian di Eropa, masih tetap dapat mempertahankan
opsi itu.
Patut digaris bawahi bahwa Protokol 1967, yang hanya terdiri dari sebelas
pasal, hanya mengubah dua ketentuan pokok Konvensi 1951, yakni, pertama,
perluasan definisi istilah pengungsi(pasal 1 Konvensi 1951yang diubah pada Pasal
I Protokol 1967) dan, kedua, kemungkinan direservasinya ketentuan yang
menentukan bahwa perselisihan mengenai penafsiran dan pelaksanaan Konvensi
1951 dan/atau Protokol 1967 yang tidak dapat diselesaikan dengan cara lain, dapat
diajukan ke Mahkamah Internasional atas permintaan salah satu pihak yang berselisih
(Pasal 38 Konvensi 1951; Pasal IV dan Pasal VII Protokol 1967). Bagian substantif
Konvensi 1951 (Pasal 2-Pasal 34) sama sekali tidak diubah dan pelaksanaan Pasal 2Pasal 34 Konvensi 1951 tersebut merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
Negara-negara Pihak pada Protokol 1967 (Pasal I ayat1 Protokol 1967)4.
Selain permasalahan pengungsi sebenarnya terdapat masalah lain yang sama
urgensinya, yaitu permasalahan Orang-orang yang terpinggirkan didalam negeri atau
yang biasa diketahui dengan IDPs (Intenally Displaced Persons). Sebenarnya
apabaila dilihat dari pengertian Guiding Principles on Internal Displacement tahun
1998 ada perbedaan signifikan antara pengungsi dengan pengunsi internal.
Perbedaan itu yaitu pengungsi internal mengungsi atau meninggalkan daerahnya
karena ketakutan sebagai akibat dari, atau dalam rangka menghindarkan diri dari,
dampak-dampak konflik bersenjata, situasi rawan yang ditandai oleh maraknya tindak
kekerasan secara umum, pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia, bencanabencana alam, atau bencana-bencana akibat ulah manusia tetapi tidak keluar dari
wilayah Negara dimana dia berada.
3
Protokol ini ditandatangani oleh Presiden Majelis Umum dan Sekretaris Jenderal pada 31 Januari 1967. Naskah
Resolusi Majelis Umum 2198 (XXI) 16 Desember 1966 mengenai aksesi pada Protokol mengenai Status
Pengungsi ' dimuat kembali dalam Apendiks.
4
Enny Soeprapto, Loc Cit, hlmn. 16
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian Pengungsi Internal (IDPs) dan bagaimana status
hukum dari IDPs tersebut?
2. Bagaimana satatus IDPs di Indonesia?
Bahan ajar pada Seminar & Workshop Hukum Pengungsi Internasional dan Hak Asasi Manusia, senin 4
Oktober 2010, Kenari Tower, Makassar
BAB II
PEMBAHASAN
perbatasan nasional dan berada di luar perbatasan wilayah negara Sudan disebut
pengungsi. Istilah displaced persons untuk menunjuk orang-orang di Sudan
yang berada dalam kondisi sebagaimana digambarkan di atas pergunakan oleh
UNHCR dan MUPBB sampai 1974.
Pada 1974 istilah displaced persons juga dipergunakan untuk menunjuk
orang-orang di Laos, yang karena konflik bersenjata internal di negara ini, trpaksa
meninggalkan kampung halaman mereka untuk pergi ke tempat lain yang mereka
rasa aman, tetapi [masih] berada di dalam perbatasan wilayah negara Laos.
Dari 1972 sampai 1974 UNHCR secara ajek menggunakan istilah displaced
persons untuk menunjuk orang-orang yang karena konflik bersenjata (dalam hal
ini di Sudan dan Laos) terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka dan
pergi ke tempat lain yang mereka rasa aman, tetapi [masih] berada di dalam
negeri (di dalam perbatasan wilayah nasional).
Sejak April 1975 UNHCR dan MUPBB menggunakan istilah displaced
persons untuk menunjuk orang-orang yang, karena konflik bersenjata di negara
tempat tinggal mereka, meninggalkan kampung halaman mereka dan pergi ke
tempat lain yang mereka rasa aman, yang [sudah] berada di luar perbatasan
nasional. Untuk displaced persons menurut pengertian sebelumnya, yakni
mereka yang [masih] berada di dalam perbatasan negara asal UNHCR
menggunakan internally displaced persons (IDPs).
Beberapa waktu sejak terjadinya perubahan situasi politik di negara-negara di
Semenanjung Indocina (Kamboja, Laos, dan Vietnam) pada 1975, untuk
menyebut orang-orang yang meninggalkan negara masing-masing di
Semenanjung itu dan pergi ke negara-negara lain yang mereka ras aman, UNHCR
menggunakan istilah displaced persons, di samping istilah lain seperti
asylumseekers (pencari suaka), border-crossers (pelintas batas), boat
people (manusia perahu), dan kadang-kadang, juga refugee (pengungsi).
Penggunaan istilah refugee(s) sehingga dihindarkan sejauh mungkin
berdasarkan dua pertimbangan, yakni, pertama, ketidakmungkinan UNHCR
menentukan eligibility orang-orang tersebut sebagai pengungsi menurut Statuta
UNHCR, 1950 dalam waktu singkat, mengingat kepergian orang-orang itu
kebanyakan berlangsung secara en masse dan lokasi kedatangan mereka sering
terpisah-pisah dan jauh dari kantor-kantor perwakilan UNHCR dan, kedua,
Judhariksawan, 2010, Internally Displaced Persons (IDPs), bahan ajar kuliah Hukum Pengugsi, Fakultas
Hukum Unhas, Makassar, dalam bentuk Power Point.
10
Saat ini melihat banyaknya IDPs yang tersebar di seluruh dunia dan tidak
mampunya Negara-negara dalam mengatasi pengungsi internalnya membuat
banyak lembaga-lembaga ataupun organisasi-organisasi internasional yang turut
serta dalam membantu dan melindungi para IDPs tersebut. Dengan tetap menjaga
dan menghormati kedaulatan Negara tempat IDPs itu bermukim. Biasanya harus
ada permintaan langsung kepada lembaga, organisasi ataupun dunia internasional
untuk membantu Negara tersebut dalam mengatasi IDPs ini. Sebagai contoh pada
saat Tsunami di Aceh, pemerintah Indonesia meminta bantuan dari UNHCR dan
organisasi internasional lain untuk membantu mengatasi masalah-masalah yang
berada di sana.
Selain itu Office For The Humanitarian Affairs (OCHA) membuat Guiding
Principles on Internally Displacement 1998 (30 Prinsip) sebagai bentuk perhatian
terhadap banyaknya pengungsi internal di seluruh dunia. Panduan ini memberikan
arahan tentang perlindungan dan pemenuhan kebutuhan para pengungsi internal
di seluruh dunia. Selain itu diatur juga bagaimana memperlakukan dan juga
pemulihan kembali, maupun reintegrasi pengungsi internal.
Prinsip-prinsip ini mengidentifikasikan hak-hak dan jaminan-jaminan yang
berkaitan dengan perlindungan terhadap orang-orang dari paksaan untuk
mengungsi, perlindungan dan bantuan terhadap mereka selama masa
pengungsian, serta perlindungan dan bantuan selama mereka pulang kembali atau
selama proses pemukiman di tempat lain, dan selama proses reintegrasi dengan
masyarakat pada masa pascapengungsian. Adapun garis besar isi dari Guiding
Principles on Internally Displacement 1998, yaitu9 :
Ibid.,
11
B. IDPs di Indonesia
RI sudah mengenal masalah IDPs segera sejak proklamasi 17 Agustus 194510:
- 1945-1949: Penyingkiran orang-orang pro-RI dari daerah-daerah tempat
terjadinya konflik bersenjata antara pasukan RI dan pasukan Inggris/Belanda
dan, kemudian, dari daerah-daerah yang diduduki Belanda (konflik bersenjata
internasional) atau pemberontakan PKI-Madiun, 1948) (konflik bersenjata
noninternasional/vertikal);
- 1950-an:
sebagai
akibat
pemberontakan
bersenjata
terhadap
Negara/Pemerintah RI (seperti pemberontakan DI-TII, PRRI, Permesta)
(konflik bersenjata noninternasional/vertikal);
- 1960-an: sebagai akibat konflik bersenjata internal (noninternasional), i.c.
peristiwa G-30-S, 1965 dengan berbagai imbasnya;
- 1970-an: sebagai akibat konflik bersenjata/vertikal seperti di Irian Jaya dan
Aceh, serta konflik vertikal-horisontal di Timor Timur;
- 1980-an: sebagai akibat berlanjutnya konflik bersenjata vertikal, seperti di
Irian Jaya, Timor Timur, dan Aceh;
- 1990-an: sebagai akibatnya berlanjutnya konflik bersenjata/vertikal di Irian
Jaya, Timor Timur,dan Aceh, konflik horizontal di Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, maluku, dan Timor Timur pasca-jajak
pendapat 30 Agustus 1999;
- 2000-an: sebagai akibat berlanjutnya konflik vertikal di Aceh dan konflik
horizontal di Maluku dan Sulawesi Tengah.
Tindakan Pemerintah RI guna menangani masalah IDPs:
a. Institusional:
- Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (Bakornas
PBA) (Keppres 28/1979);
- Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB)
(juga menangani masalah penyingkiran penduduk sebagai akibat
konflik sosial, antarsuku, antar agama, dari Tomor Timur ke
Indonesia) (Keppres 43/1990);
- Bakornas PB (penyempurnaan Keppres 43/1990) (Keppres 106/1990);
10
Enny Soeprapto, 2002, Perlindungan Hak Asasi Dan Kebebasan Fundamental Internally Displaced Persons
(IDPs), http://www.komnasham.go.id/portal/files/ES_IDPs01.pdf, diakses tanggal 31 Oktober 2010, pukul 15.30
WITA
12
Hak asasi dan kebebasan fundamental yang paling esensial bagi IDPs yang
perlu dilindungi 11:
a. Pasal 5 Hak untuk diakui sebagai manusia pribadi di depan hukum (ayat (1)),
untuk mendapat bantuan dan perlindungan dari pengadilan yang objektif dan
tidak memihak (ayat (2)), dan memperoleh perlakuan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya (bagi kelompok masyarakat yang rentan
(ayat (3)) (cf. Ps. 27 (1) dan 28D (1) UUD 1945, Ps. 6 & 7 DUHAM 1948, Ps.
4(2), 14, 16, dan 24(2) ICCPR 1966, Ps. 2 CEDAW 1979, dan Ps. 8(2) CRC
1989), Pr. 20 Guiding Principles 1998);
b. Pasal 9 Hak untuk hidup, mempertahankan hidup [dan meningkatkan taraf
kehidupan (ayat (1)), hak untuk hidup tentram, aman, damai, bahagia lahir
dan batin (ayat (2)), dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (ayat
(3)) (cf. Ps. 28A UUD 1945, Ps. 3 DUHAM 1948, Ps. 6 ICCPR 1966, dan Pr.
10, 11, 12, dan 18 Guiding Principles 1998);
11
Ibid,.
13
c. Pasal 12 Hak memperoleh pendidikan (cf. Ps. 28E(1) 7 Ps. 31 UUD 1945, Ps.
26 DUHAM 1948, Ps. 13 ICESCR 1966, Ps. 28(1) CRC 1989, Pr. 23 Guiding
principles 1998);
d. Pasal 22 Kebebasan memeluk dan beribadat menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing (cf. Ps. 28E(1) & (2) UUD 1945, Ps. 18 & 19
DUHAM 1948, Ps. 18 ICCPR 1966, Pr. 22.1(a) Guiding Principles 1998);
e. Pasal 27 Kebebasan bergerak, berpindah tempat, dan bertempat tinggal di
dalam wilayah negara [RI] (cf. Ps. 28E(1) (dua kalimat / rangkaian kata
terakhir) UUD 1945, Ps. 13(1) DUHAM 1948, Ps. 12(1) & (2) ICCPR 1966,
Pr. 14 & 15 Guiding Principles 1998);
f. Pasal 29 Hak atas perlindungan pribadi, keluarga, martabat, dan hak milik (cf.
Ps. 28G(1) DUHAM 1948, Ps. 7 & 17(1) ICCPR 1966, Ps. 6 CEDAW 1979,
Ps. 9(1), 10(1), 16(1), 32 s.d 16, dan 37(a) CRC 1989, dan Pr. 11 & 17
Guiding Principles 1998);
g. Pasal 33 Hak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman yang kejam, tidak
manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan (ayat (1)) dan
hak untuk bebas dari penghilangan paksa dan nyawa (ayat (2)) (cf. Ps 28G(2)
UUD 1945, Ps. 5 & 5 DUHAM 1948, Ps. 7 & 8 ICCPR 1966, Ps. 6 CEDAW
1979, Ps. 32 s.d 36 CRC 1989, dan Pr. 11 Guiding Principles 1998);
h. Pasal 36 Hak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain (ayat (1)) [dan bahwa tidak seorang pun boleh dirampas miliknya
dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum (cf. Ps. 28G(1) &
28H(4) UUD 1945, Ps. 17 DUHAM 1948, Pr. 21 Guiding Principles 1998);
i. Pasal 65 Hak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan
pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak [serta dari berbagai bentuk
penyalahgunaan narkotika, psikotopika, dan zat adiktif lainnya] (cf. Ps.
28G(2) UUD 1945, Ps. 7 ICCPR 1966, Ps. 32 s.d 36 & 37 (a) CRC 1989, dan
Pr. 11 Guiding Principles 1998).
Contoh Kasus IDPs :
Jakarta, Indonesia12 -- Komisi Tinggi PBB urusan Pengungsi, UNHCR, akhirnya
diperbolehkan untuk terus berkiprah di Aceh. Kepastian itu diutarakan langsung oleh
Menko Kesra Alwi Shihab dalam pertemuan dengan Kepala Perwakilan Regional
12
14
UNHCR Robert Ashe di Jakarta, kemarin. Sementara IOM, yang juga sudah masuk
'daftar keluar' Aceh, masih belum diketahui nasibnya.
''Meski UNHCR bekerja bukan di bidang garapannya, diluar mandatnya sebagai
badan PBB yag mengurusi pengungsi, UNHCR diperkenankan untuk meneruskan
rencananya menggelar program rekonstruksi senilai 60 juta dolar,'' ungkap seorang
juru bicara Alwi Shihab, sebagaimana dikabarkan oleh surat kabar Australia, Sydney
Morning Herald hari ini.
UNHCR menurut mandatnya memang lembaga yang mengurusi pengungsi. Namun
makna kata pengungsi yang disandangnya bukanlah pengungsi akibat bencana alam,
seperti dalam kasus Aceh. Melainkan pengungsi dalam artian pengungsi (refugee)
akibat bencana yang ditimbulkan manusia (man made disaster), semisal perang, dan
bersifat lintas negara. Adapun pengungsi dalam konteks Aceh sekarang ini lazim
disebut sebagai IDPs, internally displaced persons, alias orang-orang yang tak lagi
punya tempat tinggal tetap.
Robert Ashe sendiri mengaku senang dengan kabar baik dari Alwi Shihab itu. ''Kami
gembira dengan pernyataan tersebut. Meskipun begitu kami masih menunggu
kejelasan tentang bagaimana program kerja kami akan ditempatkan dalam konteks
keseluruhan upaya rekonstruksi Aceh,'' kata Ashe.
Ditambahkan pula oleh Menko kesra bahwa yang boleh tinggal di Aceh adalah
lembaga-lembaga asing yang sudah secara resmi membuat perjanjian dengan
pemerintah, atau punya kerjasama atau menjadi pelaksana proyek yang dijalankan
oleh badan-badan PBB.
Menyimak pernyataan terakhir ini, boleh jadi IOM --yang sebagaimana UNHCR juga
mengurusi pengungsi akibat bencana buatan manusia-- juga akan bertahan. Terlebih
sudah sejak awal lembaga yang bernaung di bawah Uni Eropa ini meneken
kesepakatan dengan Alwi Shihab sendiri --selaku pelaksana harian Bakornas PBP-untuk membangun 11.000 rumah untuk Aceh..
Dari kasus di atas dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan pengertian IDPs
pengungsi internal dapat juga dikarenakan oleh bencana alam. Jadi bukan hanya
karena alasan perang, perbedaan pandangan politik, ataupun terjadi karena banyaknya
pelanggaran-pelanggaran terhadap hak asasi seseorang atau kelompok masyarakat
tertentu. Alasan bencana alam juga dapat dikategorikan sebagai IDPs.
15
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Meskipun masalah IDPs merupakan masalah yang sudah dihadapi oleh
komunitas internasional sejak lama, perhatian serius pada masalah ini baru
muncul sejak belum lama berselang. Perhatian itu pun untuk waktu yang
relatif lama terfokus pada masalah bantuan materil pada IDPs. Baru sejak
dasawarsa 1990-an yang lalu muncul kesadaran di kalangan komunitas
internasional bahwa kebutuhan IDPs bukanlah sekedar bantuan materil
melainkan juga perlindungan (protection), dan bukan saja perlindungan
keselamatan dan keamanan fisik dan mental, melainkan, yang sangat penting
artinya, juga perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental mereka.
2. Perkembangan di tataran internasional yang berkenaan dengan masalah IDPs
tersebut juga berlangsung di Indonesia. Bangsa Indonesia sudah menghadapi
masalah IDPs segera setelah proklamasi kemerdekaannya pda 1945.
Meskipun demikian, perhatian serius dan secara nasional terhadap masalah
IDPs di Indonesia yang baru muncul dan berkembang sejak belum lama
berselang. Perhatain itu pun, sampai sekarang, masih lebih tertuju pada
kebutuhan bantuan (assistance) IDPs, belum pada masalah perlindungan IDPs,
terutama perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental mereka dan pada
penanganan sebab-sebab akar (root causes) internal displacement di
Indonesia, yang penanganannya secara tepat dan tepat waktu diharapkan akan
dapat mencegah atau, setidak-tidaknya mengurangi kemungkinan, terjadinya
penyingkiran baru, baik dari daerah yang sama maupun dari daerah lain.
B. SARAN
1. Penyusunan kebijakan harus dilakukan dengan memperhatikan pokok-pokok
yang paling relevan yang tercantum dalam intsrumen-intsrumen HAM, baik
nasional maupun internasional, dan sepanjang yang menyangkut instrumen
internasional, baik yang bersifat yuridis maupun yang nonyuridis, dan baik
yang diratifikasi atau diaksesi oleh Indonesia maupun yang tidak atau belum;
2. Komnas HAM, sesuai dengan mandatnya, hendaknya memberi perhatian yang
lebih besar pada masalah IDPs, khususnya pada pemastian dihormati dan
dipenuhinya hak asasi dan kebebasan fundamental mereka.
16