You are on page 1of 37

BAB I

PENDAHULUAN
Kehamilan postmatur (serotinus) adalah kehamilan yang berlangsung lebih
lama dari 42 minggu.(lebih dari 294 hari). Angka kejadian kehamilan post matur
ini antara 3-12%.2,3,5,6,7 Pada umumnya, kehamilan manusia rata-rata berakhir
dalam 280 hari. Kehamilan yang matur biasanya antara 37 minggu sampai 42
minggu. Kehamilan lewat waktu (postdate atau postterm) berakhir lebih dari 42
minggu atau lebih dari 294 hari yang dihitung dari hari pertama mens terakhir.
Kira-kira 90% dari seluruh kehamilan akan berakhir pada kurang dari 42 minggu,
dengan 50% sesuai kehamilan normal, 40% pada kehamilan minggu ke-42 . 5%
sesuai dengan taksiran tanggal persalinannya dan 4% setelah lewat 43%. 5
Menurut beberapa penelitian, peningkatan angka mortalitas perinatal (lahir
mati ataupun kematian neonatus) berhubungan dengan memanjangnya waktu
kehamilan (serotinus). Pada usia kehamilan 42 minggu, angka mortalitas
meningkat 2 kali lipat, sedangkan bila lebih dari 44 minggu, maka angka kematian
meningkat 4 sampai 6 kali lipat. Karena itu, sebaiknya usia kehamilan dapat
diketahui dengan tepat untuk menurunkan insidensi kematian perinatal ini. 5,9,
Yang menjadi permasalahan, adalah umumnya wanita yang sedang hamil
sering tidak ingat dengan pasti kapan haid terakhirnya. Hal ini penting diketahui
dengan pasti, tanggal pertama haid terakhir pasien, yang tentunya dengan siklus
yang teratur. Saat ini sering digunakan rumus Naegele untuk menentukan umur
kehamilan, tetapi rumusan ini menjadi kacau pada pasien yang haidnya tidak
teratur, ataupun yang fase folikulernya sering memanjang. Karena itu dibutuhkan
beberapa parameter klinik maupun penunjang lainnya untuk mengetahui perkiraan
usia kehamilan.7
Penentuan usia kehamilan penting dilakukan untuk menghindari terjadinya
kehamilan lewat waktu (serotinusyang dapat menyebabkan banyaknya resiko pada
ibu dan bayi, terutama pada bayi. Pada kehamilan diatas 41 minggu, komplikasi
prenatal mulai meingkat. 5,7

Pada beberapa pusat kesehatan, kehamilan lewat waktu merupakan


komplikasi antepartun yang paling sering terjadi. Hal tersebut merupakan indikasi
untuk tes kesejahteraan janin sebelum kelahiran dan merupakan indikasi sering
untuk induksi persalinan. Karena meningkatkan resiko pada janin dan
meningkatkan penggunaan alat dan bahan, maka penting untuk melakukan
penatalaksaan yang baik, sehingga hasil akhir ibu dan anak baik,dan penggunaan
alat dan bahan dapat efisien. 5
Pada kehamilan, 10 % nya berlangsung lebih dari 42 minggu. Pada
beberapa kasus, mungkin ada sebab genetic untuk serotinus, tetapi kebanyakan
penyebabnya tidak diketahui. Diagnosisnya biasanya ditegakkan dari riwayat
pemeriksaan kehamilan dan biasanya dikonfirmasi ulang jika diperlukan dengan
pemeriksaan ultrasonografi dengan mengukur lingkar perut janin, panjang femur,
panjang janin dari corona (kepala) sampai tulang ekor,

dan ukuran kantung

amnion terpanjang dibandingkan dengan data nomogram. 4,7


Resiko dari kehamilan lewat waktu adalah meningkatnya angka kematian
janin terutama jika lama kehamilan lebih dari 43 minggu. Setidaknya 1 dari 3 dari
angka kematian yang meningkat berhubungan dengan kelainan bawaan fetus. 4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Kehamilan postmatur adalah kehamilan yang berlangsung lebih lama dari
42 minggu (lebih dari 294 hari). Partusnya disebut partus postmaturus atau
serotinus dan bayinya disebut postmaturitas (serotinus).

2,3,5,6

Salah satu aspek

penting yang harus diketahui oleh seorang ahli kandungan adalah tanggal haid
pertama dari haid terakhir dalam siklus yang normal. Dengan diketahuinya
tanggal ini, dapat dihitung dugaan tanggal persalinan, sehingga dapat mencegah
diagnosis yang berlebihan (over diagnostic) ataupun keadaan under diagnostic
terhadap dugaan kehamilan serotinus. Rumus taksiran persalinan yang saat ini
sering digunakan adalah rumus Naegele, yakni tanggal pertama haid dikurangi 3
(bulan), ditambah 7 (hari). Perhitungan ini berdasarkan asumsi, ovulasi terjadi
pada hari ke 14 dari siklus teratur 28 hari. Bila terjadi variasi pada fase folikuler
pada siklus haid, maka perhitungan taksiran persalinan dengan rumus ini tidak
dapat dipercaya.7
FREKUENSI
Kehamilan lewat waktu tidak dikenali hingga tahun 1902 ketika
Ballantyne menggambarkan masalah pada kehamilan lewat waktu untuk pertama
kalinya. Pada salah satu artikel, McClure Browne melaporkan meningkatnya
kematian perinatal 2 kali lebih tinggi pada kehamilan lebih dari 42 minggu.
Peningkatan angka kematian tidak termasuk preeklampsi, malformasi kongenital,
dan perdarahan antepartum. Banyak juga yang menghubungkan antara angka
kesakitan perinatal dengan angka kematian pada neonatus yang lahir lewat
waktu.5
Menurut beberapa penelitian, peningkatan angka mortalitas perinatal (lahir
mati ataupun kematian neonatus) berhubungan dengan memanjangnya waktu
kehamilan (serotinus). Pada usia kehamilan 42 minggu, angka mortalitas
meningkat 2 kali lipat, sedangkan bila lebih dari 44 minggu, maka angka kematian

meningkat 4 sampai 6 kali lipat. Karena itu, sebaiknya usia kehamilan dapat
diketahui dengan tepat untuk menurunkan insidensi kematian perinatal ini. 5,9

Grafik 2.1. Hubungan antara angka mortalitas perinatal dengan kehamilan


post matur
(Sumber : Rosa C. 2001 : 388-395)
ETIOLOGI
Etiologi pasti belum diketahui. Faktor yang dikemukakan cukup banyak,
antara lain:
1.

Umumnya disebabkan tidak akuratnya penentuan usia kehamilan karena


siklus haid yang tidak teraturdan tidak dilakukannya pemeriksaan dengan
Ultrasound (USG) untuk memperkirakan usia kehamilan pada awal
kehamilan. Menurut penelitian, bila tanggal pertama haid terakhit diketahui

dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan USG, maka kehamilan yang benarbenar serotinus hanya sebanyak 1,1% saja. 7
2.

Hormonal, yaitu:
kadar progesterone tidak cepat turun walaupun kehamilan telah cukup bulan,
sehingga kepekaan uterus terhadap oksitosin berkurang.2

3.

Faktor lainnya adalah bila wanita hamil adalah seorang yang putus
pemakaian kontrasepsi oral. Pada pasien-pasien ini sukar ditentukan masa
ovulasinya karena sering terjadi keterlambatan haid 2 minggu atau lebih
(siklus tidak teratur) pada beberapa siklus spontan awal. Dengan demikian
tanggal haid pertama pada haid terakhir merupakan ukuran yang tidak tepat
untuk menentukan taksiran persalinan.7

4. Masalah yang jarang terjadi, tetapi penting dalam kehamilan serotinus adalah
kelainan bawaan, seperti anencephaly tanpa danya kelenjar hipofise,
insufisiensi adrenal, maupun defisiensi sulfatase pada plasenta yang
berhubungan dengan X-linked. Pada janin anencephaly, tidak terdapat
pembentukan kelenjar hipofise, kehamilannya selalu lewat waktu, berlawanan
dengan janin anencephali dengan kelenjar hipofise yang berkembang normal.
10 dari 19 fetus lewat waktu meninggal karena hipoplasia kelenjar adrenal.

Kelainan defisiensi sulfatase terjadi 1:2000 sampai 1:6000 kelahiran. Janin


terkena ichtiosis, kelainan kulit seperti hiperkeratosis, juga dihubungkan
dengan kornea yang opak, stenosis pilorus dan criptorchism. Plasenta tidak
mampu untuk menghidrolisis prekursor estrogen dihydroepiandrosterone
sulfate (DHEA-S) atau 16 -hydroxy-DHEA-S; konsentrasi estrogen ibu
biasanya rendah dan abnormal. Kebanyakan kehamilan dengan defisiensi
sulfatse plasenta biasanya terdeteksi dengan kadar estriol yang terlalu rendah
baik pada urine ibu maupun dalam darah ketika kita evaluasi fungsi plasenta
yang berubungan dengan kehamilan leat waktu. Kebanyakan pasien ini gagal
untuk persalinan normal dan banyak dilakukan persalinan dengan Sectio
Caesarea.Lebih sering diberikan serum estriol unconjugated untuk identifikasi
Down syndrome dan defisiensi sulfatase plasenta pada awal kehamilan. 5,7

5. Defisiensi produksi prostaglandin ataupun cervix yang refrakter terhadap


prostaglandin endogen, sehingga cervix sukar berdilatasi.7
6.

Faktor lain adalah faktor herediter, karena postmaturitas sering dijumpai


pada suatu keluarga tertentu. 2,5

KOMPLIKASI-KOMPLIKASI MATERNAL DAN FETAL


Komplikasi ibu dan anak meningkat secara kuadrat dengan bertambahnya
usia kehamilan, dengan angka kematian perinatal yang mulai meningkat antara
minggu ke-41 hingga ke-42, meningkat 2 kali lipat pada minggu ke-43, dan
menjadi 4-6 kali lipat pada minggu ke-44.6
Karena insidensi makosomia janin yang tinggi, maka

ibu akan lebih

sering dilakukannya persalinan secara Sectio Caesarean dan induksi persalinan


buatan pervaginam. Laserasi dinding vagina, cervix, dan perineum meningkat
karena persalinan buatan pervaginam. Wanita dengan kehamilan lewat waktu,
biasanya juga memiliki skor Bishop yang rendah, sehingga induksi persalinan
sering gagal. Dan insidensi bunyi jantung janin tidak teratur, sehingga persalinan
secara Sectio Caesarean sering juga atas indikasi fetal distress. 5
Resiko persalinan secara Sectio Caesarean lebih tinggi pada nulipara.
Selain itu, kehamilan post matur ini juga meningkatkan resiko infeksi postpartum,
perdarahan dan komplikasi luka, emboli pulmonal, dan memanjangnya masa
rawat di rumah sakit serta turut memegang peranan dalam menambah angka
kematian maternal. Masalah tekanan emosi pada ibu juga patut diperhatikan,
dalam menantikan kelahiran bayi, kecemasan terhadap biaya yang meningkat
akibat intervensi medis dan sejumlah tes yang harus dilakukan ibu.5,7
Komplikasi pada janin jauh lebih serius lagi dan meyebabkan insidensi
gawat janin yang tinggi pada antenatal dan intrapartum. Ada 4 masalah serius
yang dihadapi bayi yaitu:
1.

Oligohydramnion dengan kompresi tali pusat akut


Pada kehamlan post matur, terjadi pengurangan volume cairan amnion
(hanya tinggal 250-300ml), sehingga mudah terjadi kompresi tali pusat.
Kompresi tali pusat menyebabkan refleks pengeluaran mekonium, sehingga

insidensi aspirasi mekonium semakin meningkat, dan juga menyebabkan


hipoglikemia. Komplikasi lain yang timbul pada neonatus bisa juga berupa
kejang-kejang, dan insufisiensi pernafasan.

Grafik 2.2. Volume cairan amnion pada minggu-minggu terakhir kehamilan.


(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 729 )
Menurut Levano (1984), oligohidramnion berhubungan erat dengan
gawat janin pada antepartum dan intrapartum. Keadaan ini, dapat dilihat
dengan kardiotokografi, dimana tampak gambaran:
a. Deselerasi denyut jantung janin yang memanjang.
b. Deselerasi variabel
c. Ossilasi-ossilasi yang lebih dari 20 denyut per menit. 1,7
Kompresi tali pusat sukar diprediksi kejadiannya, sehingga semua
kehamilan post matur seharusnya dilakukan pemeriksaan terhadap kejadian
oligohydramnion.1,5,7
2.

Makrosomia (berat lahir > 4500 gr)


Insidensi maksosomia mencapai 25%. Makrosomia muncul sebagai
akibat berlanjutnya pertumbuhan in utero pada kehamilan serotinus, terutama

pada ibu yang obesitas dan DM. Akibat makrosomia ini dapat terjadi
kemacetan pada persalinan dan meningkatkan insidensi trauma lahir, terutama
distosia bahu, trauma nervus brachialis dan hipoksia. Kemungkinan terjadinya
distosia bahu pada janin dengan berat badan > 4000 gr meningkat 11x lipat
daripada rata-rata. Pada penelitian di California tentang janin makrosomia
dengan berat diatas 4500 gr, insidensi distosia bahu sebesar 18,5%. Lebih dari
20% bayi ini mengalami trauma syaraf, dan dapat menyebabkan kecacatan
permanen. Angka kematian perinatal yang mengalami distosia bahu bervariasi
dari 21 dalam 1000 sampai 290 dalam 1000. 5,7
Makrosomia dapat diprediksi dengan mengukur lingkar abdomen
dengan USG (Abdominal Circumference (AC) > 36 cm dan juga dengan
mengukur tinggi fundus > 40 cm pada wanita yang tidak obesitas.6,7

Gambar 2.1. Deselerasi denyut jantung janin memanjang, sering menyebabkan


persalinan operatif SC.
(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 733)
3. Aspirasi mekonium
Kejadian aspirasi mekononium pada kehamilan post matur, meningkat
2 kali lipat dibandingkan dengan aterm atau insidensinya lebih dari 25%.
Aspirasi mekonium ini berhubungan dengan sindrom aspirasi mekonium,

hipertensi pulmonal, dan meningkatnya resiko gagal ventilasi pada neonatus.


Mekonium jarang keluar sebelum minggu ke 32. Mekonium sendiri keluar,
diduga karena hipoksia janin. Pada kehamilan post matur, volume cairan
amnion telah mengalami penurunan drastis, sehingga bila mekonium keluar
tidak lagi dapat diencerkan dengan baik. Akibatnya mekonium yang keluar,
jauh lebih tebal dan akan menyumbat pernafasan, menghambat surfaktan
alveoli sehingga tegangan permukaan berkurang dan mengganggu fungsi
paru-paru. Bayi sendiri akan tampak terwarna mekonium pada saat lahir 5,7

Gambar 2.2. Deselerasi variabel berat, dengan denyut jantung kurang dari 70
denyut per menit selama 60 detik atau lebih, dan merupakan indikasi SC.
(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 733)

Gambar 2.3. Ossilasi-ossilasi lebih dari 20 denyut per menit


(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 734)
4.

Insufisiensi plasenta
Plasenta mencapai fungsi dan ukuran maksimal pada minggu 37
kehamilan. Sesu- dah itu, terjadi penurunan fungsi dan luas permukaannya.
Jika janin terus tumbuh, maka akan berakibat rasio plasenta-janin semakin
mengecil, dan akan menyebab kan hipoksia janin. Fetal erythropoetin plasma
akan dilepaskan akibat hipoksia, sehingga akan ditemukan meningkat secara
signifikan pada kehamilan serotinus. Sebenarnya erythropoetin ini sendiri
sudah meningkat setelah minggu 41. 1,7
Untuk mempertahankan hidupnya dan mencukupi kebutuhan energi,
maka janin akan beradaptasi dengan keadaan plasenta dengan 2 cara, yaitu:
a.

Mengurangi pertumbuhan dengan mengurangi deposit lemak subkutan dan


glikogen, sehingga terjadi retardasi pertumbuhan dan dismaturitas janin.
Kulitnya tampak mengkerut, tanpa vernix, dan terkelupas, kuku-kuku jari
juga panjang. Akibat berkurangnya lemak subkutan dan glikogen, bayi
sering rentan terhadap hipotermi juga. Sebenarnya pertumbuhan janin
sendiri maksimal sampai usia kehamilan 42 minggu.1,7

10

Grafik 2.2. Kadar erythropoetin plasma tali pusat pada minggu 37 sampai 43.
(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 737)
b.

Menghentikan pergerakan in utero, tampak sebagai hipoksia saat istirahat.


Pada saat persalinan sering muncul bradikardia setelah kontraksi uterus
dan juga asidosis.
Jadi insufisiensi plasenta dapat mengakibatkan pertumbuhan janin

yang jelek, kehilangan lemak subkutan dan glikogen, aspirasi mekonium,


penurunan gerakan janin, oligohidramnion, non reaktif denyut jantung janin,
deselerasi lambat setelah kontraksi uterus, hipoksia dan asidosis, skor APGAR
yang rendah, kerusakan sistem saraf pusat, dan kematian. 5,7
Adanya ahli yang berpendapat bahwa gawat janin pada kehamilan
lewat waktu, lebih sering disebabkan oligohidramnion yang menyebabkan
kompresi tali pusat daripada insufisiensi uteroplasental. 5
Berikut ini adalah tanda tanda bayi postmatur :
1.

Biasanya lebih berat dari bayi matur

2.

Tulang dan sutura kepala lebih keras dari bayi matur

3.

Rambut lanugo hilang atau sangat kurang

4.

Verniks kaseosa di badan kurang

11

5.

Kuku kuku panjang

6.

Rambut kepala agak tebal

7.

Kulit agak pucat dengan deskuamasi epitel.

8.

Kulit keriput

9.

Wajahnya tampak lebih tua dan terlihat sakit 1,2,3,6

Tabel 2.1. Perbandingan hasil akhir kehamilan lewat waktu (> 42

minggu)

dibandingkan dengan kehamilan yang berakhir pada usia 40 minggu.


Minggu 40

Post matur

(n=8135) %

(n=3457) %

Mekonium

19

27

Induksi oksitosin

14

Distosia bahu

18

Sectio

0.7

1.3

Makrosomia (>4500g)

0.8

2.8

Aspirasi mekonium

0.6

1.6

Masalah

(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 739)


PENATALAKSANAAN
Karena insidensi komplikasi kehamilan post matur lebih dari 42 minggu
meningkat secara signifikan, maka setiap kehamilan sebaiknya telah diidentifikasi
pada minggu ke 41, sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat sejak
awal minggu ke 42. 7
Jika pasien seorang primigravida tua mempunyai riwayat susah hamil,
radang panggul, diabetes mellitus dan komplikasi kehamilan yang lain, kehamilan
harus diakhiri sebelum lewat waktu. Pada kasus lain ada 3 pilihan yang harus
didiskusikan dengan pasien dan suaminya. Pilihannya yaitu induksi persalinan,
melanjutkan kehamilan atau menjadwalkan operasi Sectio Caesarean elektif. 4
1. Menentukan usia kehamilan

12

Seperti yang telah diuraikan sedari awal, bahwa untuk menghindari


overdignosis ataupun under diagnosis, perlu diketahui usia kehamilan secara
pasti. Tetapi hal ini sering tidak diketahui oleh ibu, sehingga membutuhkan
parameter-parameter klinik, dan pemeriksaan penunjang lainnya yang sebaiknya
dilakukan pada saat masih trimester awal. Parameter-parameter klinik yang dapat
digunakan untuk melihat usia kehamilan adalah ukuran uterus dan pemeriksaan
pelvis. Untuk ukuran uterus, yang diukur adalah tinggi fundus dari symphisis
pubis. Bila uterus setinggi umbilicus, maka diperkirakan sekitar 17 minggu, atau
jika fundus sekitar 20 cm, diperkirakan usia kehamilan 20 minggu. 7
Selain itu dapat ditentukan dari permulaan ibu merasakan gerakan janin,
dimana rata-rata gerakan janin dapat dirasakan ibu pada usia kehamilan 17
minggu (12-21 minggu). Biasanya multigravida lebih tanggap merasakan gerakan
janin daripada primigravida. 7
Denyut jantung janin juga dapat dipakai sebagai parameter klinik, dimana
bunyi jantung janin pertama sekali dapat didengat dengan stetoskop rata-rata pada
minggu 17 (14-19 minggu). Bunyi jantung janin yang dapat didokumentasikan
dengan alat elektronik (Doppler) pada kehamilan 10 minggu. Sebaiknya pasien
dianjurkan untuk lebih sering berkunjung selama minggu-minggu awal ini bila
usia kehamilan sukar ditentukan, sehingga dapat dibuat pencatatan parameter
klinik dengan cermat. 7
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu untuk menentukan usia
kehamilan, adalah:
1. Hormon-hormon plasenta seperti human chorionic gonadotropin (hCG) dan
human Placental lactogen (hPL). Hormon-hormon ini meningkat pada
kehamilan dini. Pengukuran hCG pada kehamilan dini memiliki keakuratan
3.2 hari antara hari ke 29-60 kehamilan.
2. Protein-protein spesifik pada kehamlan, seperti protein SP 1 yang lebih baik
daripada hPL walaupun tidak signifikan. Pemeriksaan ini jarang dilakukan.
3. Saat ini yang sering digunakan dan lebih diterima adalah ultrasound.
Walaupun demikian penggunaan USG ini masih memiliki keterbatasanketerbatasan seperti:

13

Biasanya tabel bagian janin yang diukur dengan usia kehamilan


dikembangkan dari penelitian-penelitian para wanita yang tidak tahu
dengan tepat tanggal ovulasinya, dan justru dari kesalahan inilah dibuat
tabel tersebut.

Tidak semua janin memiliki ukuran dan pertumbuhan yang sama

Janin perempuan dan laki-laki memiliki gerak pertumbuhan yang berbeda,


tetapi tabel-tabel yang ada tidak membuat perbedaan untuk kedua jenis
seks ini.

Tergantung pada ketepatan peletakan kursor USG, yang tentunya


bervariasi dari setiap ahli USG.
Untuk USG, pada kehamlan dini (5-10 minggu) dapat digunakan

pengukuran diameter kantung gestasional. Pengukuran ini memiliki kesalahan


0.64 minggu. Dari minggu 12-23, diameter biparietal kepala janin dianggap akurat
untuk menentukan usia kehamilan dengan prediksi kesalahan 6.3 hari, atau ada
juga yang mengatakan 7-10 hari. Setelah 24 minggu kehamilan, perbedaannya
bisa mencapai 2 minggu, sehingga kehilangan keakuratannya sebagai salah satu
metode untuk mengukur usia kehamilan. 5,7
Ada juga yang mengukur panjang femur janin yang memiliki kesalahan
6.7 hari. Ada juga yang mengukur panjang janin dari corona (kepala) sampai ekor
(Crown Rump Length=CRL). Pengukuran inilah yang umumnya akurat untuk usia
kurang dari 12 minggu, dimana keakuratannya mencapai 95%. CRL mulai dapat
digunakan pada usia kehamilan 5 hari. Sejalan dengan bertambahnya usia
kehamilan, keakuratan penggunaan USG semakin berkurang, karena pertumbuhan
janin yang lebih bervariasi. USG hanya dilakukan sebelum usia kehamilan 25
minggu.5,7

Tabel 2.2. Prediksi usia kehamilan (minggu) berdasarkan panjang corona (kepala)
sampai ekor (CRL).

14

(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 740)


Karena insidensi komplikasi kehamilan post matur lebih dari 42 minggu
meningkat secara signifikan, maka setiap kehamilan sebaiknya telah diidentifikasi
pada minggu ke 41, sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat sejak
awal minggu ke 42. 7

Tabel 2.3.Prediksi usia kehamilan (HPHT) berdasarkan ukuran bagian janin.

15

(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 740)


2. Pematangan Cerviks

16

Umumnya intervensi antepartum diindikasikan sebagai penatalaksanaan


kehamilan post matur. Jenis-jenis intervensi dan kapan dilakukan, juga masih
kontroversial. Di satu sisi, ada yang berpendapat untuk mengintervensi kehamilan
pada minggu 41 atau 42, sementara di pihak lain mempertanyakan apakah induksi
persalinan lebih terjamin daripada menunggu persalinan sambil mengawasi janin
dengan pemantauan-pemantuan antepartum.1
Sering induksi persalinan dilakukan tanpa melakukan pemeriksaan skor
Bishop, sehingga justru angka persalinan operatif (Sectio Cesarean) meningkat.
Skor Bishop merupakan klasifikasi objektif untuk memilih penderita-penderita
yang kemungkinan besar berhasil bila dilakukan induksi persalinan. Hal-hal yang
dinilai adalah pembukaan cervix (cm), pendataran cervix (%), kedudukan kepala
terendah (station), konsistensi cervix, dan arah cervix. Sebenarnya, baik
penatalaksanaan dengan menginduksi persalinan ataupun dengan hanya
menunggu kelahiran, pada keduanya sebaiknya dilakukan pemeriksaan skor
Bishop unutk melihat kematangan cervix dan segmen bawah rahim. Angka
keberhasilan persalinan menjadi tinggi bila skor Bishop di atas 6, dan
keberhasilan rendah bila skor kurang dari 6.1,8
Tabel 2.4. Skor Bishop
Skor

Dilatasi

Pendataran

Station

Konsistensi

Posisi

(cm)
tertutup

cervix (%)
0-30

-3

cervix
kaku

cervix
posterior

1-2

40-50

-2

medium

midposisi

3-4

60-70

-1

lunak

anterior

80

(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 730)


Supaya terjadi induksi persalinan yang berhasil, jelas sekali kalau keadaan
cervix harus menguntungkan. Karena itu, pasien harus dilakukan pemeriksaan
vaginal secara mingguan untuk menilai dilatasi dan pendataran cervix. Jika vertex
telah berada di station 0, induksi persalinan dapat dimulai dengan amniotomi. Ada

17

beberapa cara dan obat yang dapat digunakan untuk membantu pematangan cervix
(skor Bishop < 4), yaitu:
a. Hygroscopic osmotic cervical dilators dan Foley kateter yang dimasukan ke
canalis cervicalis.
Keefektifan cara ini sebanding dengan penggunaan gel prostaglandin E2
intracervical. Salah satu metode yang sering digunakan adalah dilatasi cervical
dengan balon kateter 30ml yang ditempatkan transcervical,baik tanpa ataupun
dengan infus ekstraamnion dengan garam fisiologis sebanyak 1000ml. 1
b. Menggunakan preparat prostaglandin.
Terdapat 2 preparat prostaglandin yang digunakan untuk induksi persalinan,
yaitu : Prepidil (gel cervical dinoprostone, Upjohn, Kalamazoo, MI), yakni suatu
gel prostaglandin E2 dengan sediaan semprotan 2,5 ml, diberikan secara
intracervical dengan dosis 0,5 mg tiap 6 jam, dan Cervidil (dinoprostone 10 mg),
yang dimasukkan dalam vagina, dan dirancang untuk melepaskan dinoprostone
0,3 mg per jam selama 12 jam. Banyak rumah sakit yang menyiapkan gel
prostaglandin supositoria E2 dengan dosis 20 mg. Penggunaan prostaglandin E 2
pada dosis rendah, akan meningkatkan keberhasilan induksi, menurunkan
insidensi persalinan memanjang, dan mengurangi dosis total pemakaian oksitosin.
Pada penggunaan preparat prostaglandin ini, harus dilakukan pengawasan
kontraksi uterus dan denyut jantung janin. Pasien harus berbaring paling sedikit
30 menit setelah pemberian obat dan dilakukan observasi antara 30 menit sampai
2 jam. Jika tidak terdapat perubahan aktivitas uterus ataupun denyut jantung janin,
maka pasien boleh dipindahkan. Jika timbul kontraksi-kontraksi pada jam pertama
dan menunjukkan puncak aktivitasnya dalam 4 jam pertama dan terus menetap,
maka pengawasan denyut jantung janin harus diteruskan dan tanda-tanda vital
juga harus dicatat.1,5
Tidak ada ketentuan yang pasti jarak pemberian prostaglandin E2 dengan
pemberian awal oksitosin. Tetapi ada yang berpendapat bahwa induksi oksitosin
sebaiknya ditunda dulu selama 6 sampai 12 jam.1
Walaupun dari penelitian unit ibu dan anak diketahui bahwa gel
prostaglandin E2 tidak lebih efektif daripada placebo dalam induksi persalinan,

18

penelitian lain pada wanita dengan kehamilan lewat waktu (post matur) ternyata
efektif dengan gel prostaglandin. Analisis data yang membandingkan terapi
prostaglandin dengan placebo dan tanpa terapi serta membandingkan preparat
prostaglandin yang berbeda dan cara pemberiannya, memperlihatkan bahwa cara
pemberian intracervical merupakan yang paling efektif dan aman. Prostaglandin
E2 merupakan yang paling dianjurkan karena paling efektif pada dosis yang
rendah. 5
Efek samping penggunaan obat ini adalah ditemukannya hiperstimulasi
sebanyak 6 atau lebih kontraksi dalam 10 menit dalam waktu 20 menit pada 1%
penggunaan gel intracervical (0.5 mg) dan sebanyak 5% paad penggunaan gel
intravaginal (2-5mg) seperti yang dikemukakan oleh Brindley dan Sokol 1988;
Rayburn, 1989. Karena itu preparat ini tidak diterima secara umum.1
Misoprostol (Cytotec), merupakan sintetis analog prostaglandin E1 yang
dipasarkan di Amerika Serikat, untuk melindungi mukosa gaster pada pasien yang
menggunakan anti inflamasi nonsteroid. Obat ini telah dipromosikan untuk
pematangan

cervix

dan

menginduksi

persalinan.

Berbagai

penelitian

membandingkan misoprostol intravagina dengan dosis yang bervariasi dengan gel


prostaglandin E2 intracervical, dimana hasil yang ada menunjukkan bahwa
Misoprostol efektif untuk menginduksi persalinan. Analisis data dari 8 penelitian
yang mencakup 488 pasien yang mendapat misoprostol dan 478 sebagai kontrol,
menyebutkan bahwa wanita yang menerima Misoprostol kemungkinan persalinan
secara Sectio Caesarean rendah dan insidensi untuk persalinan pervaginam dalam
24 jam tinggi. Penggunaan Misoprostol juga dihubungkan dengan insidensi
tachysistol tetapi tidak hiperstimulasi, dan rata-rata interval dari permulaan
induksi persalinan sampai persalinan lebih pendek.5
Dosis yang dianjurkan bila digunakan secara intravaginal adalah 25-50g,
dimana menurut beberapa penelitian, penggunaan dosis 25g setiap 3 jam telah
cukup efektif dan efek samping yang timbul lebih sedikit dibanding penggunaan
dosis 50g.5
Karena insidensi poli sistol yang tinggi, maka Misoprostol harus diberikan
dengan hati-hati. Dosis optimal antara 25-50 g tiap 3 jam per vaginam.

19

Kemudian sediaan lainnya tablet 100 g yang dapat digunakan secara per oral
langsung dengan keefektivitasannya sama dengan penggunaan dosis 25 g
intraveginal. Sedian 100 g ini juga dapat dibagi menjadi 2 atau 4 bagian untuk
dosis 50 atau 25 g. Potongan tablet tersebut harus di tempatkan di fornix
posterior vagina dengan jari tangan. Jika fetus tidak dapat mentoleransi selama
persalinan, potongan tablet tersebut harus dikeluarkan dari vagina, kemudian
vagina diirigasi dengan saline dan 0,25 mg terbutaline diberikan subcutan. Cara
ini akan memperbaiki poli sistol uterus pada sebagian besar pasien. Selama
pemberian misoprostol, keadaan janin harus diperhatikan. Sebagai tambahan,
Misoprostol tidak mahal bila dibandingkan dengan preparat prostaglandin E2 yang
lain dan tidak membutuhkan lemari es untuk penyimpanan. 1,5
Beberapa komplikasi serius telah dilaporkan pada pasien yang menggunakan
Misoprostol. Penelitian yang dilakukan Wing, dkk yang membandingkan
Misoprostol dan Oksitosin untuk menginduksi persalinan pada wanita yang
pernah melahirkan secara Sectio Caesarean. 2 pasien yang menggunakan
Misoprostol mengalami kesulitan saat incisi uterus, sehingga untuk keamanan,
penelitian ini dihentikan setelah 38 pasien. Sebagai tambahan, Bennett
menjabarkan seorang pasien yang mendapat 25 g Misoprostol setiap 3 jam untuk
induksi persalinan dan dia mengalami ruptur uterus posterior dan harus dilakukan
histerektomi untuk menyelamatkan hidupnya. Menurut Plaut dkk, Misoprostol
dapat meningkatkan resiko ruptur uterus pada pasien dengan luka bekas operasi di
uterus. Mereka menemukan kasus ruptur uterus sebanyak 5 pasien dari 89 pasien
yang pernah melahirkan secara Sectio Caesarean dan diberikan Misoprostol untuk
menginduksi persalinan. Pada penelitian mereka, tingkat kejadian ruptur uterus
pada pasien yang melahirkan per vaginal setelah persalinan Sectio Caesarean
lebih tinggi pada pasien yang mendapat Misoprostol, 5,6% dibandingkan dengan
0,2% pada yang tidak mendapat Misoprostol. 5

3. Melepaskan selaput amnion

20

Melepaskan selaput amnion dari lapisan dalam segmen bawah uterus dapat
membantu

untuk

induksi

persalinan

dengan

menyebabkan

pelepasan

prostaglandin. Metode ini pertama kali dikemukakan oleh Swann tahun 1958. Dia
menjabarkan tehnik ini sebagai alternatif dari metode pemecahan ketuban untuk
menginduksi persalinan. 5
Ada sepuluh artikel yang melaporkan tentang efektifnya melepaskan selaput
amnion sebagai salah satu metode untuk mempercepat timbulnya persalinan dan
menurunkan angka kejadian kehamilan lewat waktu. Dari 7 laporan, 6 laporan
melaporkan, bahwa melepaskan membran amnion efektif untuk mempercepat
timbulnya persalinan dibandingkan dengan grup kontrol. Dalam tujuh penelitian,
4

penelitian

mencakup

pemeriksaan

dalam

dan

pelepasan

membran

direkomendasikan pada minggu ke-38, dua mencakup pemeriksaan tunggal


dengan pelepasan membran diatas minggu ke 40, satu mencakup pemeriksaan
tunggal pada minggu ke-41. Tidak ada kenaikan tingkat infeksi, ketuban pecah
sebelum waktu, dan komplikasi lain pada grup yang dilakukan pelepasan selaput
amnion. 5
Berikut ini adalah prosedur yang disarankan untuk melakukan pelepasan
membran untuk menginduksi persalinan dan untuk mengurangi insidensi
kehamilan lewat waktu. Pertama, dokter harus yakin bahwa usia kehamilannya >
39 minggu dan ditentukan oleh data yang akurat. Pada pemeriksaan sonography
harus didapatkan plasenta yang normal. Fetus harus presentasi kepala, atau jika
bokong, pasien harus sudah dievaluasi dan dikonsulkan untuk persalinan
pervaginam. Harus tidak ada kontraindikasi untuk persalinan pervaginam. Setelah
pasien dikonsulkan, prosedur harus dilakukan dengan sarung tangan steril. Jika
jari pemeriksa masuk ke rongga cervix, jari pemeriksa kemudian masuk kedalam
ostium interna dan selaput amnion dilepaskan dari decidua sekurang-kurangnya 2
cm dengan gerakan sirkuler. Jika jari pemeriksa tidak dapat masuk ke rongga
cervix, kemudian pemijatan cervix dapat dilakukan, prosedur ini pasti
menyakitkan. Pasien harus diberi informasi tentang prosedur ini, dan pasien
berhak untuk menghentikan prosedur ini bila dirasakan oleh pasien terlalu
menyakitkan. Pasien juga harus diberi tahu tentang kemungkinan terjadinya

21

perdarahan pervaginam dan spotting. Prosedur ini dapat diulang pada waktu
pemeriksaan antenatal selanjutnya jika persalinan secara spontan tidak terjadi.5
4. Induksi persalinan atau menunggu persalinan dengan pengawasan
antepartum/antenatal
Walaupun secara per definisi, kehamilan tidak dikatakan lewat waktu (post
matur) bila tidak mencapai usia 42 minggu, namun dengan tingginya angka
kematian perinatal setelah 41 minggu, maka harus dilakukan tes antenatal pada
minggu ke-41. Data klinik yang ada mendukung untuk dilakukannya tes antenatal
pada minggu ke-41, dimana menunjukkan erythtropetin plasma dari tali pusat
janin meningkat paad minggu 41 dibandingkan dengan neonatus yang lahir pada
minggu ke 37 40. Erytropoetin pusat merupakan indikator turunnya oksigenasi
fetus, dan erytropoetin ini meningkat sekali pada kehamilan diatas minggu 41. 1,5,7
Saat ini terdapat sejumlah penelitian untuk penatalaksanaan kehamilan post
matur. Salah satu strategi penatalaksanaan adalah dengan induksi persalinan pada
semua pasien bila usia kehamilan sudah mencapai 41 minggu. Kerugiannya
adalah pasien dengan kehamilan lewat waktu mempunyai cervix yang belum
matang. Hal ini menimbulkan masalah : Apakah sebaiknya pasien dengan
kehamilan lewat waktu dilakukan induksi persalinan walaupun cervix belum
matang? Akibatnya dapat meningkatkan resiko persalinan secara Sectio
Caesarean. Ataukah sebaiknya pasien dengan kehamilan lewat waktu dilakukan
pengawasan antepartum sampai terjadi persalinan spontan atau cervixnya matang
untuk dilakukan induksi persalinan? 5,10
Terdapat 2 penelitian, pertama dilakukan di Canada. Penelitian ini
mengevaluasi 3407 wanita dengan kehamilan >41 minggu tanpa komplikasi.
Wanita-wanita ini dilakukan induksi persalinan pada minggu ke-41 (menggunakan
gel prostaglandin intracervical saat cervix belum matang), dibandingkan dengan
tes antenatal dengan fetal kick counts setiap hari dan NST 3 kali per minggu.
Tingkat persalinan secara Sectio Caesarean secara signifikan lebih rendah pada
yang diinduksi persalinannya (21,2% vs 24,5%, p=0,03). Tingkat persalinan
secara Sectio Caesarean ini lebih rendah karena frekuensi gawat janin rendah

22

pada grup yang diinduksi. Terjadi 2 kasus lahir mati pada grup yang menunggu
kelahiran spontan, hal ini tidak terjadi pada grup yang diinduksi, tapi ini
merupakan perbedaan yang tidak signifikan. Ling,dkk menyimpulkan bahwa
induksi persalinan menghasilkan tingkat persalinan secara Sectio Caesarean lebih
rendah dan angka kematian dan kesakitan neonatal pada kedua grup sama. 5
Penelitian kedua disponsori oleh National Institute of Child Health and
Human Development Network of Maternal Fetal Units, mengevaluasi 440
wanita dengan kehamilan >41 minggu tanpa komplikasi. Pasien secara random
dilakukan induksi persalinan (n=265) sebagian lagi ditunggu untuk persalinan
spontan dan dipantau dengan NST dan penentuan cairan amnion 2 kali per
minggu. Pada grup yang dilakukan induksi persalinan dibagi lagi menjadi 2 grup,
yang pertama mendapat gel prostaglandin E2 intracervical dan yang kedua
mendapat gel placebo. Insidensi yang buruk antara 2 grup mirip (1,5% vs 1%,
p=>005). Tidak ada kematian fetus pada kedua grup. Gel prostaglandin tidak lebih
efektif daripada plasebo dalam mematangkan cervix, tingkat persalinan secara
Sectio Caesarean mirip pada semua grup (18% pada grup yang menunggu
persalinan spontan, 23% pada grup yang diinduksi persalinan dengan gel
prostaglandin, 18% pada grup yang diinduksi persalinan dengan gel plasebo).
Ling, dkk menyimpulkan dengan hasil akhir yang mirip, berbagai management
strategi dapat diterima. 5
Pada evaluasi dari 11 penelitian tentang kebijakan induksi persalinan pada
minggu 41, Grant menyimpulkan bahwa induksi persalinan pada minggu 41
menghasilkan penurunan tingkat persalinan secara Sectio Caesarean (14%) dan
angka kematian perinatal yang lebih rendah (0,3 vs 2,5 per 1000) dibandingkan
dengan menunggu persalinan spontan. Ling, dkk menyimpulkan bahwa induksi
persalinan sebaiknya disarankan pada wanita dengan usia kehamilan > 41 minggu.
Saat ini pun masih terdapat berbagai kontroversial apakah kehamilan akan
diakhiri sebelum berusia 42 minggu dengan induksi persalinan, ataukah
kehamilan dapat dipertahankan dan hanya menanti sampai tanda persalinan
muncul. The Society of Obstetricians and Gynecologists of Canada (SOGC)
mengeluarkan panduan untuk melakukan induksi persalinan pada kehamilan

23

minggu 41 (1997). Sementara itu, the Amerocan College of Obstetricians and


Gynecologists (ACOG) merekomendasikan persalinan dapat ditunda hingga
minggu 43 pada kehamilan yang beresiko rendah (1989). Yang menarik lagi, pada
panduan ACOG tahun 1997 malahan tidak menentukan batas atas usia kehamilan
yang boleh ditunggu, asalkan keadaan janin terus dipantau mulai usia kehamilan
minggu 42.9,10
Saat dokter dan pasien memilih menunggu persalinan (tentunya pada
kehamilan dengan resiko rendah), maka pengawasan janin dengan ketat sangat
diharuskan. Pengawasan tersebut adalah:
a) Non Stress Tests (NSTs) 2 kali seminggu
b) Contraction Stress Test (CSTs)
c) Pemeriksaan indeks cairan amnion (Amnion Fluid Index=AFI)
d) Biophysical profiles (BPP)
e) Doppler
Yang perlu diingat, tidak ada satu pun penelitian yang mengatakan bahwa salah
satu dari tes-tes tersebut diatas lebih unggul dari tes lainnya. Semua tes yang ada
harus saling melengkapi. 1,9
Mula-mula diperkirakan dulu usia kehamilan, minimal harus ditemukan
kriteria maturitas janin sebelum persalinan diinduksi, misalnya dengan taksiran
berat badan. Segala resiko dan keuntungan bila melakukan induksi persalinan atau
menunggu kelahiran, harus dikomunikasikan dengan pasien. Jika psien
menginginkan untuk dilakukan induksi persalinan, dan memang tidak ada
kontraindikasinya, maka proses induksi dapat dijadwalkan dengan segera. Jika
pasien memilih untuk menunggu saja, maka pemantauan janin antepartum
sebaiknya segera dimulai.9

24

Gambar 2.4. Alogaritma penatalaksanaan kehamilan di atas 40 minggu dengan


resiko rendah
(Sumber : Briscoe D., et al. 2005 : www.aafp.org/afp)
Kontraindikasi pematangan cervix dan induksi persalinan adalah:
A. Kontraindikasi absolut:

Plasenta previa komplit

Pernah dilakukan bedah uterus transfundal

Janin letak lintang

Prolaps tali pusat

Vasa previa

B. Yang membutuhkan perhatian ketat adalah:

Denyut jantung janin abnormal, tetapi tidak termasuk kelahiran yang


emegensi

25

Letak bokong

Penyakit jantung maternal ataupun hipertensi berat

Kehamilan ganda

Polihidramnion

Letak terendah janin masih tinggi

Kelahiran SC sebelumnya. 9
Pada pengawasan antenatal, bila ditemukan NSTs yang non reaktif disertai

dengan BPP modifikasi yang abnormal juga, maka harus dilakukan tes
selanjutnya, yaitu CSTs ataupun full BPP.
CSTs dengan perangsangan puting ataupun oksitosin intra vena dapat
digunakan untuk melihat adanya/tidaknya deselerasi lambat pada jantung janin.
CSTs disebut positif, jika terdapat deselerasi lambat, dan negatif bila tidak terjadi
deselerasi. Bila hasil CSTs positif setelah NSTs non reaktif, maka janin dalam
keadaan asidosis akibat hipoksia. Selanjutnya dilakukan penilaian ulang terhadap
janin. Bila ternyata dapat menjamin keadaan janin, maka kehamilan boleh
dilanjutkan hingga awal minggu 43, selanjutnya kehamilan harus diakhiri. Tetapi
bila CSTs negatif setelah NSTs non reaktif, mungkin janin dalam siklus tidur,
terpapar dengan obat-obat tertentu, atapun adanya kelainan neurologis.Kehamilan
masih boleh dilanjutkan.9
Bagaimana pun juga, dari beberapa penelitian ditemukan, bahwa resiko
terhadap ibu dan janin meningkat pada kehamilan lewat waktu. Karena itu
komunikasi yang baik antara dokter dan pasien sangat dibutuhkan.9
A.

Non Stress Test (NST)


Freeman dan Lea memperkenalkan tes ini dengan menunjukkan adanya

aselerasi denyut jantung janin yang merupakan respon dari pergerakan janin.
Sekitar tahun 70 an, NST pernah menjadi tes yang utama dalam menilai kesehatan
janin. Pada kehamilan lanjut, terutama pada minggu ke 34, aselerasi sangat sering
terjadi, hampir setiap jam. Rata-rata amplitudo aselerasi ini 20 sampai 25 denyut

26

permenit dan berlangsung selama kira-kira 40 detik. Hal ini mencerminkan


keadaan neurologi janin yang baik. Aselerasi mungkin tidak ada bila janin sedang
dalam keadaan tidur tenang. Tetapi keadaan ini masih dianggap normal sampai 80
menit.1
Pada umumnya hasil tes ini sudah dapat diperoleh dalam 10-15 menit. Tes
ini tidak memiliki kontraindikasi seperti CSTs. Pasien berada dalam posisi
setengah berbaring (semi fowler) dan miring ke kiri untuk menghindarkan
sindrom hipotensi supine. Kemudian tekanan darah harus diukur dulu dan diulang
dengan interval 5-10 menit. Jumlah denyut jantung janin direkan dengan USG
Doppler dan tocodynamometer digunakan untuk mendeteksi kontraksi uterus
ataupun pergerakan janin dalam 10 menit pertama. Pemantauan dilakukan selama
20-30 menit. Umumnya suatu tes disebut reaktif bila terdapat paling sedikit 2 kali
aselerasi dengan peningkatan amplitudo 15 denyut per menit, dan berlangsung
selama 15 detik dalam 20 menit.Hasil disebut non reaktif bila gerak janin tidak
ada atau kurang dari 5 gerakan dalam 20 menit, dan tidak tampak aselerasi denyut
nadi setelah kontraksi uterus ataupun justru muncul deselerasi lambat setelah
kontraksi uterus.1,8
Bila ditemukan keadaan non reaktif, mungkin sekali janin berada pada
keadaan tidur tenang. Beberapa ahli melakukan perangsangan manual terhadap
janin, misalnya dengan meningkatkan kadar glukosa janin dengan memberikan jus
jeruk pada ibu. Tetapi hal ini tidak terbukti meningkatkan aktivitas janin. Jika tes
ini diperpanjang hingga 40 menit, tetapi masih saja non reaktif, CSTs ataupun
biophysical profile dapat digunakan. Cara lain yang dilakukan para ahli adalah
dengan memberikan perangsangan vibroakustik untuk mengubah fase tidur tenang
janin menjadi aktif. Biasanya mereka menggunakan suatu alat larynx elektonik
dengan kekuatan 82 dB pada frekuensi 80 Hz dan dengan suatu harmonisasi
dengan frekuensi 20-9000 Hz. Tes

vibroakustik ini dapat membantu setelah

minggu ke 26 kehamilan, sebab otak yang mengatur bagian auditorik mulai


berfungsi pada minggu ke 26.8
Bila menggunakan perangsangan vibroakustik, denyut jantung janini diamati
dulu selama 5 menit. Jika masih non reaktif, maka dapat diberikan stimulus lagi,

27

selama <3 detik di dekat kepala janin. Jika denyut jantung masih menunjukkan
non reaktif, maka dapat diberikan lagi stimulus dengan interval waktu semenit
sebanyak 3 kali. Jika masih saja non reaktif, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
dengan CSTs ataupun biophysical profile. Menurut data statistik, bila hasil NSTs
non reaktif dan hasil CSTs positif, maka insidensi kematian perinatal lebih dari 10
persen, mungkin juga didapatkan keadaan gawat janin pada saat persalinan,
ataupun janin ternyata menderita IUGR.

Gambar 2.5. NSTs reaktif, dengan peningkatan denyut jantung lebih 15 denyut per
menit selama lebih dari 15 detik diikuti dengan gerakan janin.
(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 736)
Sebaliknya jika didapatkan hasil NSTs non reaktif dan CST negatif, maka
kehamilan dapat diterminasi bila hasil ratio lecithin/ sphingomyelin (L/S) matur.
Jika ratio L/S menunjukkan immatur, maka janin sebaiknya dipertahankan sambil
terus dipantau dengan NSTs setiap hari, dimana janin dapat dipertahankan
sepanjang NSTs masih reaktif.1,8
Pada kehamilan lewat waktu/ yang beresiko tinggi, dianjurkan untuk
melakukan tes NSTs 2 kali dalam seminggu. NSTs terbukti sebagai tes yang ideal
untuk melakukan evaluasi terhadap keadaan janin selama masa antepartum. NSTs

28

dapat memberikan informasi dengan cepat dan dapat diinterpretasikan dengan


mudah.
B. Biophysical Profile Janin
Biophysical profile terdiri dari 5 parameter, yaitu :
1. Gerak pernafasan janin
2. Gerak tubuh janin yang kuat
3. Tonus otot janin
4. Denyut jantung janin yang reaktif
5. Volume cairan amnion secara kualitatif
Gerak pernafasan janin merupakan parameter pertama dalam penilaian
biophysical profile. Gerak ini dapat diamati dengan menggunakan USG. Gerakan
ini dianggap sebagai latihan otot pernafasan janin untuk persiapan pernafasan
sendiri setelah lahir. Dengan USG, dapat dilihat adanya gerakan diafragma yang
turun, abdomen yang mengembang, dan dinding dada yang mengempis. Gerakan
ini sudah harus teratur pada minggu ke 20-21 kehamilan.Jika gerakan ini tidak
terlihat, mungkin janin sedang dalam keadaan tidur tenang ataupun mungkin
asfiksia. Beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi gerakan ini adalah kadar
glukosa ibu, rokok, ataupun narkotik.1
Nilainya disebut normal bila didapatkan paling sedikit satu episode gerakan
selama minimal 60 detik dalam pengamatan selama 30 menit. Gerakan pernafasan
janin ini dapat dipakai untuk membedakan antara CSTs dengan nilai yang benarbenar positif dan CSTs dengan hasil false positif. Janin dengan hasil CSTs positif
tetapi menunjukkan gerak pernafasan yang baik, tidak mungkin terjadi pada
gawat janin. Tetapi jika hasil CSTs positif (deselerasi lambat) dan ternyata juga
tidak menunjukkan adanya gerak pernafasan, maka kemungkinan terjadinya gawat
janin cukup besar.1,8
Pusat tonus otot janin di korteks, mulai berfungsi pada minggu ke 7,5 8,5
kehamilan. Pusat gerak tubuh janin di nukleus korteks mulai berfungsi pada
minggu ke 9 kehamilan, gerak pernafasan pada minggu ke 20, dan akhirnya pusat
denyut jantung janin di hipotalamus posterior mulai berfungsi pada akhir trimester
kedua atau pada awal trimester ketiga. Secara teoritis, denyut jantung merupakan

29

parameter yang pertama sekali terganggu bila terjadi asfiksia janin dan tonus otot
merupakan parameter yang paling akhir terganggu.
Sebaiknya biophysical profile digunakan sedini mungkin pada minggu ke
26-28 kehamilan. Setiap parameter mempunyai nilai 2 bila hasilnya baik/normal.
Nilai biophysical profile disebut baik bila 8. Tes ini dianjurkan untuk dilakukan
seminggu sekali bila hasilnya normal, dan pada kehamilan dengan resiko tinggi
dianjurkan dilakukan 2 kali seminggu.
Tabel 2.5. Nilai-nilai untuk biophysical profile
Parameter
Gerak

Normal (skor =2)


Abnormal (skor = 0)
Minimal 1 episode > 30 detik Tidak ada atau 1 episode 30

pernafasan janin dalam pengamatan selama 30 detik dalam 30 menit


Gerak tubuh

menit
Minimal 3 gerakan dalam 30 2 episode gerakan dalam 30

Tonus otot

menit
menit
Minimal 1 episode ekstensi Baik ekstensi
aktif yang diikuti oleh gerak berlangsung

dan

fleksi

lambat

atau

fleksi ; gerakan membuka dan sebagian saja ataupun gerakan


menutup tangan

ekstensi penuh ataupu tidak

adanya gerakan sama sekali


Denyut jantung Minimal 2 episode aselerasi < 2 aselerasi ataupun aselerasi
janin
(NSTs)

reaktif 15 bpm selama 15 detik < 15 bpm dalam 30 menit.


berhubungan dengan gerakan

Volume

janin dalam 30 menit


cairan Minimal cairan amnion dalam Tidak adanya cairan amnion

amnion

(AFI) kantong amnion setinggi 2 cm atapun < 2 cm dalam 2 bidang

secara kualitatif dalam 2 bidang tegak lurus


(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 735)

30

tegak lurus

Tabel 2.6. Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan hasil biophysical profile


Skor Interpretasi
10
Normal; resiko

Penatalaksanaan
rendah Tes diulang dengan interval 1 minggu; 2 kali

asfiksia kronis
8

Normal;

resiko

seminggu bila kehamilan beresiko tinggi dan


pada kehamilan 42 minggu
rendah Tes diulang dengan interval 1 minggu; 2 kali

asfiksia kronis

seminggu bila kehamilan beresiko tinggi dan


pada kehamilan 42 minggu; bila oligohidramnion,

Suspek asfiksia kronis

merupakan

indikasi

untuk

mengakhiri kehamilan
Jika kehamilan 36

minggu,

dapat

dilahirkan; jika < 36 minggu dan L/S < 2.0,


ulangi tes ini dalam 4-6 jam; kehamilan
4
0-2

Suspek asfiksia kronis

harus diakhiri bila terdapat oligohidramnion


Jika 32 minggu; lahirkan ; bila < 32

Dugaan kuat asfiksia kronis

minggu, ulangi penghitungan.


Perpanjang tes sampai 120 menit; jika skor
bertahan terus (persisten) 4, lahirkan tanpa

memandang usia kehamilan


(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 735)
Modified

Biophysical profile (mBPP) mulai diperkenalkan tahun 1982,

dengan NSTs dan penentuan volume cairan amnion. Ketika dilakukan 2 kali
seminggu pada grup dengan 8038 pasien yang hamil lewat waktu, terdapat
negative palsu 1,12 dalam 1000. Karena pada pasien dengan kehamilan lewat
waktu, oligohidramnion dapat terjadi dengan cepat setelah pencatatan Amniotic
Fluid Index (AFI) yang normal (3 4 hari), sehingga penting untuk melakukan
penentuan volume cairan amnion 2 kali seminggu pada kehamilan lewat waktu.
Tes mBPP banyak digunakan sebagai pilihan dalam tes antenatal. 5
Masih terdapat kontroversi tentang tingkat volume amnion yang
menunjukkan oligohidramnion dan pada tingkat berapa volume amnion akan
memberikan hasil janin yang jelek. Volume cairan amnion didasarkan pada

31

kantong amnion vertikal terdalam dan ambang batas 1-3 cm digunakan. Sekarang,
banyak dokter yang menggunakan AFI untuk pemeriksaan tingkat cairan amnion.
AFI > 8 cm adalah normal, 5 8 cm adalah perbatasan, < 5 cm adalah
oligohidramnion. 5
C. Contraction Stress Test (CST)
Akibat adanya kontraksi uterus, maka tekanan miometrium sendiri akan
menyebabkan kolapsnya pembuluh darah yang melalui otot-otot uterus dan
meningkatkan tekanan cairan amnion, sehingga pada akhirnya akan mengisolasi
ruangan intervili dan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran oksigen
dalam waktu singkat. Bila terdapat keadaan insufisiensi plasenta, maka kontraksi
uterus ini berakibat terjadinya deselarasi lambat ataupun deselerasi variabel pada
denyut jantung janin.1
Berdasarkan prinsip yang dditimbulkan akibat kontraksi uterus inilah
maka dibuat suatu tes yang dulu disebut oxytocin challenge test, yang sekarang
disebut contraction stress test (CSTs). Kontraksi uterus diinduksi dengan
menggunakan oksitosin IV melalui infus. Bagaimana respon denyut jantung janin
terhadap kontraksi uterus, itulah yang direkam dan dinilai. Hasil tes disebut positif
(abnormal), bila ditemukannya gambaran deselerasi lambat berulang. Tes ini
disebut negatif (normal) bila tidak ada deselerasi lambat pada tes sekarang dan
minggu depan.
Jika terdapat 3 kontraksi uterus spontan selama 40 detik sampai 60
detik dalam 10 menit maka tidak perlu diberikan stimulasi terhadap uterus.
Induksi kontraksi uterus dapat dilakukan dengan oksitosin ataupun dengan
perangsangan nipple ibu bila kontraksi < 3 dalam 10 menit. Dosis awal oksitosin
yang dibutuhkan adalah 0,5mU/menit IV dan dinaikkan 2 kali setiap 20 menit
sampai didapatkan kontraksi yang memuaskan. Tes ini membutuhkan waktu kirakira 90 menit. 1,8
Perangsangan nipple ibu juga dapat dilakukan untuk menginduksi
kontraksi uterus. Cara ini merupakan salah satu metode yang direkomendasikan
oleh the American College of Obstetricians and Gynecologists. Caranya adalah,

32

salah satu nipple ibu digosok selama kira-kira 2 menit atau sampai muncul 1
kontraksi. Bila tidak muncul kontraksi, ataupun kontraksi tidak adekuat, maka
penggosokan dapat dihentikan selama 5 menit, lalu diulang lagi. CSTs dengan
induksi kontraksi cara ini membutuhkan waktu kira-kira 30 menit.1,8
Kontraindikasi dilakukannya CSTs adalah bila ditemukannya keadaankeadaan dengan resiko tinggi terjadinya persalinan prematur, seperti ruptur
membran prematur, multi gravida, dan cervix inkompeten. CST juga sebaiknya
tidak dilakukan bila terdapat riwayat sectio cesarea klasik, operasi uterus karena
berbagai sebab, maupun pada plasenta previa.8
Tabel 2.7. Interpretasi CSTs
Interpretasi
Negatif

Deskripsi
Tidak ada deselerasi lambat pada kontraksi

Insiden (%)

uterus adekuat
Positif

80

Deselerasi lambat yang bersifat konsisten dan


persisten (terdapat >50% dari seluruh kontraksi)

3-5

tanpa kontraksi berlebihan; jika deselerasi


lambat persisten muncul sebelum sejumlah
kontraksi yang adekuat,maka interpretasinya juga positif
Meragukan

Deselerasi lambat yang inkonsisten

Hiperstimulasi Interval antara 2 kontraksi uterus 2 menit dan


setiap kontraksi berlangsung > 90 detik, ataupun
terjadi 5 kontraksi uterus dalam waktu 10 menit ;

jika tidak ada deselerasi lambat, maka tes ini


diinterpretasikan negatif
Tidak

Kualitas interpretasi inadekuat ataupun tidak

Memuaskan

tercapainya kontraksi uterus yang adekuat

Deselerasi variabel yang terjadi selama CST mungkin mengindikasikan


adanya oligohidramnion. Pada banyak kasus, USG digunakan untuk menilai
volume cairan amnion. 8

33

Hasil CST negatif berhubungan dengan keadaan janin yang baik. Bahkan
angka kematian perinatal pada kehamilan dengan resiko tinggi pun dapat
terkendali dengan baik sekali bila hasil CST negatif.. Hasil CST normal biasanya
menjamin keadaan janin dalam seminggu, karena itu sangat dianjurkan untuk
menilai lagi kesehatan janin 1 minggu kemudian8
Hasil CST positif berhubungan dengan meningkatnya insidensi kematian
intrauterin, terjadinya deselerasi lambat pada persalinan, rendahnya APGAR 5
menit, IUGR, maupun mekonium. Jadi jika nilai CST positif, mungkin
berhubungan dengan terganggunya kesehatan janin yang bisa berakibat gawat
janin.1,8
Kerugian tes ini adalah masih tingginya insiden false positif. Sebab-sebab
terjadinya false positif adalah, mungkin akibat kesalahan interpretasi, keadaan
hipotensi sehingga menurunkan perfusi uterus, hiperstimulasi uterus, dan
sebagainya. Tingginya insiden false positif menunjukkan tidak selalu diperlukan
tindakan sectio cesarea. Jika hasil CST meragukan, sebaiknya dilakukan tes ulang
dalam 24 jam. 1,8
D. Doppler Velocimetry
Prinsip penggunaan USG Doppler ini adalah dengan mengukur aliran
darah dalam uterus dan pembuluh darah janin.
Fd = 2 f0 V cos
C
Fd = perubahan frekuensi doppler
F0 = frekuensi yang ditransmisikan
V = kecepatan sel darah merah
= sudut antara arah suara dengan gerakan sel darah merah
C = kecepatan suara dalam medium
Biasanya dilakukan pengukuran terhadap ratio antara puncak sistolik dengan
diastolik (S/D ratio) yang juga dikenal sebagai ratio A/B. Jika tahanan perifer
meningkat, maka aliran diatolik menurun, dan ratio S/D meningkat. Indeks

34

pulsatil dihitung dengan mengurangi nilai sistolik dengan nilai diastolik, dibagi
dengan kecepatan rata-rata (S-D/mean). Sebagai ratio tambahan, indeks resistensi
atau ratio Pourcelot dinyatakan dengan S-D/ S. Kedua perbandingan terakhir ini
sangat berguna bila aliran diastolik tidak ada atau terbalik.1
Bila resistensi plasenta meningkat di atas timester II, mungkin berhubungan
dengan keadaan IUGR, dimana terdapat pengurangan aliran diastolik akhir.
Dengan demikian akan meningkatkan ratio S/D. Sedangkan pada arteri
umbilicalis normal, terdapat penurunan pulsatil yang progresif, disertai
meningkatnya aliran diastolik. Aliran arteri umbilicalis yang abnormal
memperlihatkan adanya penurunan aliran diastolik akhir, atau pada keadaan
ekstrim, aliran diastolik akhir bisa tidak ada ataupun terjadi aliran terbalik.
Keadaan-keadaan di atas ini menjadi sangat berarti bila didapatkan paling sedikit
3 sampai 5 gelombang yang diperoleh dari sudut-sudut yang berbeda.1
Hal yang harus diingat adalah keabnormalitasan yang didapat pada
penggunaan Doppler ini hanya mencerminkan keadaan patologis pada plasenta
dan sirkulasi janin, bukan menunjukkan adanya hipoksia pada janin. Ratio S/D
pada arteri umbilicalis bisa saja normal, sementara sedang terjadi asidosis janin.
Karena itu sebaiknya dilakukan kombinasi pemeriksaan dengan tes lainnya untuk
menilai kesehatan janin ante partum.1

BAB III
KESIMPULAN

35

Untuk mengetahui kehamilan lewat waktu atau tidak, maka penentuan usia
kehamilan penting diketahui. Bila ibu tidak mengetahui tanggal pertama haid
terakhirnya dalam siklus normal, maka penting unutk memperkirakan usia
kehamilan dengan berbagai pemeriksaan. Bila tetap sulit ditentukan, maka
dilakukan pemeriksaan berulang.
Penatalaksanaan kehamilan lewat waktu, dapat langsung diinduksi ataupun
ditunggu dulu dengan syarat kehamilan termasuk resiko rendah dan harus selalu
dilakukan pengawasan janin antenatal.
Pencegahan kehamilan lewat waktu dimulai dengan mengukur usia
kehamilan dengan akurat. Pada usia kehamilan ke-39, dan lokasi plasenta normal,
dan

pelepasan

membran

amnion

dilakukan

setiap

memperlihatkan penurunan insidensi kehamilan lewat waktu.

DAFTAR PUSTAKA

36

minggunya

telah

1. Cunningham, F.G., et al. 2001. Postterm Pregnancy, Antepartum


Assessment, In : Williams Obstetrics. Edisi 21. Mc Graw Hill. New York:
729 742. 1095-1108.
2. Rustam, Mochtar. 1998 Sinopsis Obstetri (Obstetri Fisiologi Obstertri
Patologi). Edisi 2. EGC. Jakarta.
3. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas kedokteran Universitas
Padjajaran Bandung. 1982. Obstetri Patologi,. Penerbit : Elstar Offset.
Bandung
4. Derek, et al. 2001. Obstetrics and Gynaecology, edisi 6. Mosby.
Barcelona. Spain
5. Rosa C. 2001. Postdate Pregnancy in: Obstetrics and Gyecology Principles
for Practice, McGraw-Hill. New York, America: 388-395
6. Asrat T.,Quilligan E.J., 2000. Postterm Pregnancy in: Current Therapy in
Obstetrics and Gynecology, edisi 5. WB. Saunders Company. Philadelphia
America:321-322
7. Spellacy W.N., 1999.Postdate Pregnancy in:Danforths Obstetrics and
Gynecology. Edisi 8. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia:287291.
8. Puder K.S., Sokol R.J., 1995. Clinical use of Antepartum Fetal monitoring
techniques in:John J.Sciarra Gynecology and Obstetrics vol 2.edisi revisi.
Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia
9. Briscoe D., et al. 2005. Management of Pregnancy Beyond 40 Weeks
Gestation in: www.aafp.org/afp
10. Singal P., et al. 2001. Fetomaternal Outcome Following Postdate
Pregnancy-A

Prospective

Study

in:

www.journal-obgyn-

india.com/articles/issue_sep_oct2001/o_papers_89.asp

37

You might also like