Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Kehamilan postmatur (serotinus) adalah kehamilan yang berlangsung lebih
lama dari 42 minggu.(lebih dari 294 hari). Angka kejadian kehamilan post matur
ini antara 3-12%.2,3,5,6,7 Pada umumnya, kehamilan manusia rata-rata berakhir
dalam 280 hari. Kehamilan yang matur biasanya antara 37 minggu sampai 42
minggu. Kehamilan lewat waktu (postdate atau postterm) berakhir lebih dari 42
minggu atau lebih dari 294 hari yang dihitung dari hari pertama mens terakhir.
Kira-kira 90% dari seluruh kehamilan akan berakhir pada kurang dari 42 minggu,
dengan 50% sesuai kehamilan normal, 40% pada kehamilan minggu ke-42 . 5%
sesuai dengan taksiran tanggal persalinannya dan 4% setelah lewat 43%. 5
Menurut beberapa penelitian, peningkatan angka mortalitas perinatal (lahir
mati ataupun kematian neonatus) berhubungan dengan memanjangnya waktu
kehamilan (serotinus). Pada usia kehamilan 42 minggu, angka mortalitas
meningkat 2 kali lipat, sedangkan bila lebih dari 44 minggu, maka angka kematian
meningkat 4 sampai 6 kali lipat. Karena itu, sebaiknya usia kehamilan dapat
diketahui dengan tepat untuk menurunkan insidensi kematian perinatal ini. 5,9,
Yang menjadi permasalahan, adalah umumnya wanita yang sedang hamil
sering tidak ingat dengan pasti kapan haid terakhirnya. Hal ini penting diketahui
dengan pasti, tanggal pertama haid terakhir pasien, yang tentunya dengan siklus
yang teratur. Saat ini sering digunakan rumus Naegele untuk menentukan umur
kehamilan, tetapi rumusan ini menjadi kacau pada pasien yang haidnya tidak
teratur, ataupun yang fase folikulernya sering memanjang. Karena itu dibutuhkan
beberapa parameter klinik maupun penunjang lainnya untuk mengetahui perkiraan
usia kehamilan.7
Penentuan usia kehamilan penting dilakukan untuk menghindari terjadinya
kehamilan lewat waktu (serotinusyang dapat menyebabkan banyaknya resiko pada
ibu dan bayi, terutama pada bayi. Pada kehamilan diatas 41 minggu, komplikasi
prenatal mulai meingkat. 5,7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Kehamilan postmatur adalah kehamilan yang berlangsung lebih lama dari
42 minggu (lebih dari 294 hari). Partusnya disebut partus postmaturus atau
serotinus dan bayinya disebut postmaturitas (serotinus).
2,3,5,6
penting yang harus diketahui oleh seorang ahli kandungan adalah tanggal haid
pertama dari haid terakhir dalam siklus yang normal. Dengan diketahuinya
tanggal ini, dapat dihitung dugaan tanggal persalinan, sehingga dapat mencegah
diagnosis yang berlebihan (over diagnostic) ataupun keadaan under diagnostic
terhadap dugaan kehamilan serotinus. Rumus taksiran persalinan yang saat ini
sering digunakan adalah rumus Naegele, yakni tanggal pertama haid dikurangi 3
(bulan), ditambah 7 (hari). Perhitungan ini berdasarkan asumsi, ovulasi terjadi
pada hari ke 14 dari siklus teratur 28 hari. Bila terjadi variasi pada fase folikuler
pada siklus haid, maka perhitungan taksiran persalinan dengan rumus ini tidak
dapat dipercaya.7
FREKUENSI
Kehamilan lewat waktu tidak dikenali hingga tahun 1902 ketika
Ballantyne menggambarkan masalah pada kehamilan lewat waktu untuk pertama
kalinya. Pada salah satu artikel, McClure Browne melaporkan meningkatnya
kematian perinatal 2 kali lebih tinggi pada kehamilan lebih dari 42 minggu.
Peningkatan angka kematian tidak termasuk preeklampsi, malformasi kongenital,
dan perdarahan antepartum. Banyak juga yang menghubungkan antara angka
kesakitan perinatal dengan angka kematian pada neonatus yang lahir lewat
waktu.5
Menurut beberapa penelitian, peningkatan angka mortalitas perinatal (lahir
mati ataupun kematian neonatus) berhubungan dengan memanjangnya waktu
kehamilan (serotinus). Pada usia kehamilan 42 minggu, angka mortalitas
meningkat 2 kali lipat, sedangkan bila lebih dari 44 minggu, maka angka kematian
meningkat 4 sampai 6 kali lipat. Karena itu, sebaiknya usia kehamilan dapat
diketahui dengan tepat untuk menurunkan insidensi kematian perinatal ini. 5,9
dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan USG, maka kehamilan yang benarbenar serotinus hanya sebanyak 1,1% saja. 7
2.
Hormonal, yaitu:
kadar progesterone tidak cepat turun walaupun kehamilan telah cukup bulan,
sehingga kepekaan uterus terhadap oksitosin berkurang.2
3.
Faktor lainnya adalah bila wanita hamil adalah seorang yang putus
pemakaian kontrasepsi oral. Pada pasien-pasien ini sukar ditentukan masa
ovulasinya karena sering terjadi keterlambatan haid 2 minggu atau lebih
(siklus tidak teratur) pada beberapa siklus spontan awal. Dengan demikian
tanggal haid pertama pada haid terakhir merupakan ukuran yang tidak tepat
untuk menentukan taksiran persalinan.7
4. Masalah yang jarang terjadi, tetapi penting dalam kehamilan serotinus adalah
kelainan bawaan, seperti anencephaly tanpa danya kelenjar hipofise,
insufisiensi adrenal, maupun defisiensi sulfatase pada plasenta yang
berhubungan dengan X-linked. Pada janin anencephaly, tidak terdapat
pembentukan kelenjar hipofise, kehamilannya selalu lewat waktu, berlawanan
dengan janin anencephali dengan kelenjar hipofise yang berkembang normal.
10 dari 19 fetus lewat waktu meninggal karena hipoplasia kelenjar adrenal.
pada ibu yang obesitas dan DM. Akibat makrosomia ini dapat terjadi
kemacetan pada persalinan dan meningkatkan insidensi trauma lahir, terutama
distosia bahu, trauma nervus brachialis dan hipoksia. Kemungkinan terjadinya
distosia bahu pada janin dengan berat badan > 4000 gr meningkat 11x lipat
daripada rata-rata. Pada penelitian di California tentang janin makrosomia
dengan berat diatas 4500 gr, insidensi distosia bahu sebesar 18,5%. Lebih dari
20% bayi ini mengalami trauma syaraf, dan dapat menyebabkan kecacatan
permanen. Angka kematian perinatal yang mengalami distosia bahu bervariasi
dari 21 dalam 1000 sampai 290 dalam 1000. 5,7
Makrosomia dapat diprediksi dengan mengukur lingkar abdomen
dengan USG (Abdominal Circumference (AC) > 36 cm dan juga dengan
mengukur tinggi fundus > 40 cm pada wanita yang tidak obesitas.6,7
Gambar 2.2. Deselerasi variabel berat, dengan denyut jantung kurang dari 70
denyut per menit selama 60 detik atau lebih, dan merupakan indikasi SC.
(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 733)
Insufisiensi plasenta
Plasenta mencapai fungsi dan ukuran maksimal pada minggu 37
kehamilan. Sesu- dah itu, terjadi penurunan fungsi dan luas permukaannya.
Jika janin terus tumbuh, maka akan berakibat rasio plasenta-janin semakin
mengecil, dan akan menyebab kan hipoksia janin. Fetal erythropoetin plasma
akan dilepaskan akibat hipoksia, sehingga akan ditemukan meningkat secara
signifikan pada kehamilan serotinus. Sebenarnya erythropoetin ini sendiri
sudah meningkat setelah minggu 41. 1,7
Untuk mempertahankan hidupnya dan mencukupi kebutuhan energi,
maka janin akan beradaptasi dengan keadaan plasenta dengan 2 cara, yaitu:
a.
10
Grafik 2.2. Kadar erythropoetin plasma tali pusat pada minggu 37 sampai 43.
(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 737)
b.
2.
3.
4.
11
5.
6.
7.
8.
Kulit keriput
9.
minggu)
Post matur
(n=8135) %
(n=3457) %
Mekonium
19
27
Induksi oksitosin
14
Distosia bahu
18
Sectio
0.7
1.3
Makrosomia (>4500g)
0.8
2.8
Aspirasi mekonium
0.6
1.6
Masalah
12
13
Tabel 2.2. Prediksi usia kehamilan (minggu) berdasarkan panjang corona (kepala)
sampai ekor (CRL).
14
15
16
Dilatasi
Pendataran
Station
Konsistensi
Posisi
(cm)
tertutup
cervix (%)
0-30
-3
cervix
kaku
cervix
posterior
1-2
40-50
-2
medium
midposisi
3-4
60-70
-1
lunak
anterior
80
17
beberapa cara dan obat yang dapat digunakan untuk membantu pematangan cervix
(skor Bishop < 4), yaitu:
a. Hygroscopic osmotic cervical dilators dan Foley kateter yang dimasukan ke
canalis cervicalis.
Keefektifan cara ini sebanding dengan penggunaan gel prostaglandin E2
intracervical. Salah satu metode yang sering digunakan adalah dilatasi cervical
dengan balon kateter 30ml yang ditempatkan transcervical,baik tanpa ataupun
dengan infus ekstraamnion dengan garam fisiologis sebanyak 1000ml. 1
b. Menggunakan preparat prostaglandin.
Terdapat 2 preparat prostaglandin yang digunakan untuk induksi persalinan,
yaitu : Prepidil (gel cervical dinoprostone, Upjohn, Kalamazoo, MI), yakni suatu
gel prostaglandin E2 dengan sediaan semprotan 2,5 ml, diberikan secara
intracervical dengan dosis 0,5 mg tiap 6 jam, dan Cervidil (dinoprostone 10 mg),
yang dimasukkan dalam vagina, dan dirancang untuk melepaskan dinoprostone
0,3 mg per jam selama 12 jam. Banyak rumah sakit yang menyiapkan gel
prostaglandin supositoria E2 dengan dosis 20 mg. Penggunaan prostaglandin E 2
pada dosis rendah, akan meningkatkan keberhasilan induksi, menurunkan
insidensi persalinan memanjang, dan mengurangi dosis total pemakaian oksitosin.
Pada penggunaan preparat prostaglandin ini, harus dilakukan pengawasan
kontraksi uterus dan denyut jantung janin. Pasien harus berbaring paling sedikit
30 menit setelah pemberian obat dan dilakukan observasi antara 30 menit sampai
2 jam. Jika tidak terdapat perubahan aktivitas uterus ataupun denyut jantung janin,
maka pasien boleh dipindahkan. Jika timbul kontraksi-kontraksi pada jam pertama
dan menunjukkan puncak aktivitasnya dalam 4 jam pertama dan terus menetap,
maka pengawasan denyut jantung janin harus diteruskan dan tanda-tanda vital
juga harus dicatat.1,5
Tidak ada ketentuan yang pasti jarak pemberian prostaglandin E2 dengan
pemberian awal oksitosin. Tetapi ada yang berpendapat bahwa induksi oksitosin
sebaiknya ditunda dulu selama 6 sampai 12 jam.1
Walaupun dari penelitian unit ibu dan anak diketahui bahwa gel
prostaglandin E2 tidak lebih efektif daripada placebo dalam induksi persalinan,
18
penelitian lain pada wanita dengan kehamilan lewat waktu (post matur) ternyata
efektif dengan gel prostaglandin. Analisis data yang membandingkan terapi
prostaglandin dengan placebo dan tanpa terapi serta membandingkan preparat
prostaglandin yang berbeda dan cara pemberiannya, memperlihatkan bahwa cara
pemberian intracervical merupakan yang paling efektif dan aman. Prostaglandin
E2 merupakan yang paling dianjurkan karena paling efektif pada dosis yang
rendah. 5
Efek samping penggunaan obat ini adalah ditemukannya hiperstimulasi
sebanyak 6 atau lebih kontraksi dalam 10 menit dalam waktu 20 menit pada 1%
penggunaan gel intracervical (0.5 mg) dan sebanyak 5% paad penggunaan gel
intravaginal (2-5mg) seperti yang dikemukakan oleh Brindley dan Sokol 1988;
Rayburn, 1989. Karena itu preparat ini tidak diterima secara umum.1
Misoprostol (Cytotec), merupakan sintetis analog prostaglandin E1 yang
dipasarkan di Amerika Serikat, untuk melindungi mukosa gaster pada pasien yang
menggunakan anti inflamasi nonsteroid. Obat ini telah dipromosikan untuk
pematangan
cervix
dan
menginduksi
persalinan.
Berbagai
penelitian
19
Kemudian sediaan lainnya tablet 100 g yang dapat digunakan secara per oral
langsung dengan keefektivitasannya sama dengan penggunaan dosis 25 g
intraveginal. Sedian 100 g ini juga dapat dibagi menjadi 2 atau 4 bagian untuk
dosis 50 atau 25 g. Potongan tablet tersebut harus di tempatkan di fornix
posterior vagina dengan jari tangan. Jika fetus tidak dapat mentoleransi selama
persalinan, potongan tablet tersebut harus dikeluarkan dari vagina, kemudian
vagina diirigasi dengan saline dan 0,25 mg terbutaline diberikan subcutan. Cara
ini akan memperbaiki poli sistol uterus pada sebagian besar pasien. Selama
pemberian misoprostol, keadaan janin harus diperhatikan. Sebagai tambahan,
Misoprostol tidak mahal bila dibandingkan dengan preparat prostaglandin E2 yang
lain dan tidak membutuhkan lemari es untuk penyimpanan. 1,5
Beberapa komplikasi serius telah dilaporkan pada pasien yang menggunakan
Misoprostol. Penelitian yang dilakukan Wing, dkk yang membandingkan
Misoprostol dan Oksitosin untuk menginduksi persalinan pada wanita yang
pernah melahirkan secara Sectio Caesarean. 2 pasien yang menggunakan
Misoprostol mengalami kesulitan saat incisi uterus, sehingga untuk keamanan,
penelitian ini dihentikan setelah 38 pasien. Sebagai tambahan, Bennett
menjabarkan seorang pasien yang mendapat 25 g Misoprostol setiap 3 jam untuk
induksi persalinan dan dia mengalami ruptur uterus posterior dan harus dilakukan
histerektomi untuk menyelamatkan hidupnya. Menurut Plaut dkk, Misoprostol
dapat meningkatkan resiko ruptur uterus pada pasien dengan luka bekas operasi di
uterus. Mereka menemukan kasus ruptur uterus sebanyak 5 pasien dari 89 pasien
yang pernah melahirkan secara Sectio Caesarean dan diberikan Misoprostol untuk
menginduksi persalinan. Pada penelitian mereka, tingkat kejadian ruptur uterus
pada pasien yang melahirkan per vaginal setelah persalinan Sectio Caesarean
lebih tinggi pada pasien yang mendapat Misoprostol, 5,6% dibandingkan dengan
0,2% pada yang tidak mendapat Misoprostol. 5
20
Melepaskan selaput amnion dari lapisan dalam segmen bawah uterus dapat
membantu
untuk
induksi
persalinan
dengan
menyebabkan
pelepasan
prostaglandin. Metode ini pertama kali dikemukakan oleh Swann tahun 1958. Dia
menjabarkan tehnik ini sebagai alternatif dari metode pemecahan ketuban untuk
menginduksi persalinan. 5
Ada sepuluh artikel yang melaporkan tentang efektifnya melepaskan selaput
amnion sebagai salah satu metode untuk mempercepat timbulnya persalinan dan
menurunkan angka kejadian kehamilan lewat waktu. Dari 7 laporan, 6 laporan
melaporkan, bahwa melepaskan membran amnion efektif untuk mempercepat
timbulnya persalinan dibandingkan dengan grup kontrol. Dalam tujuh penelitian,
4
penelitian
mencakup
pemeriksaan
dalam
dan
pelepasan
membran
21
perdarahan pervaginam dan spotting. Prosedur ini dapat diulang pada waktu
pemeriksaan antenatal selanjutnya jika persalinan secara spontan tidak terjadi.5
4. Induksi persalinan atau menunggu persalinan dengan pengawasan
antepartum/antenatal
Walaupun secara per definisi, kehamilan tidak dikatakan lewat waktu (post
matur) bila tidak mencapai usia 42 minggu, namun dengan tingginya angka
kematian perinatal setelah 41 minggu, maka harus dilakukan tes antenatal pada
minggu ke-41. Data klinik yang ada mendukung untuk dilakukannya tes antenatal
pada minggu ke-41, dimana menunjukkan erythtropetin plasma dari tali pusat
janin meningkat paad minggu 41 dibandingkan dengan neonatus yang lahir pada
minggu ke 37 40. Erytropoetin pusat merupakan indikator turunnya oksigenasi
fetus, dan erytropoetin ini meningkat sekali pada kehamilan diatas minggu 41. 1,5,7
Saat ini terdapat sejumlah penelitian untuk penatalaksanaan kehamilan post
matur. Salah satu strategi penatalaksanaan adalah dengan induksi persalinan pada
semua pasien bila usia kehamilan sudah mencapai 41 minggu. Kerugiannya
adalah pasien dengan kehamilan lewat waktu mempunyai cervix yang belum
matang. Hal ini menimbulkan masalah : Apakah sebaiknya pasien dengan
kehamilan lewat waktu dilakukan induksi persalinan walaupun cervix belum
matang? Akibatnya dapat meningkatkan resiko persalinan secara Sectio
Caesarean. Ataukah sebaiknya pasien dengan kehamilan lewat waktu dilakukan
pengawasan antepartum sampai terjadi persalinan spontan atau cervixnya matang
untuk dilakukan induksi persalinan? 5,10
Terdapat 2 penelitian, pertama dilakukan di Canada. Penelitian ini
mengevaluasi 3407 wanita dengan kehamilan >41 minggu tanpa komplikasi.
Wanita-wanita ini dilakukan induksi persalinan pada minggu ke-41 (menggunakan
gel prostaglandin intracervical saat cervix belum matang), dibandingkan dengan
tes antenatal dengan fetal kick counts setiap hari dan NST 3 kali per minggu.
Tingkat persalinan secara Sectio Caesarean secara signifikan lebih rendah pada
yang diinduksi persalinannya (21,2% vs 24,5%, p=0,03). Tingkat persalinan
secara Sectio Caesarean ini lebih rendah karena frekuensi gawat janin rendah
22
pada grup yang diinduksi. Terjadi 2 kasus lahir mati pada grup yang menunggu
kelahiran spontan, hal ini tidak terjadi pada grup yang diinduksi, tapi ini
merupakan perbedaan yang tidak signifikan. Ling,dkk menyimpulkan bahwa
induksi persalinan menghasilkan tingkat persalinan secara Sectio Caesarean lebih
rendah dan angka kematian dan kesakitan neonatal pada kedua grup sama. 5
Penelitian kedua disponsori oleh National Institute of Child Health and
Human Development Network of Maternal Fetal Units, mengevaluasi 440
wanita dengan kehamilan >41 minggu tanpa komplikasi. Pasien secara random
dilakukan induksi persalinan (n=265) sebagian lagi ditunggu untuk persalinan
spontan dan dipantau dengan NST dan penentuan cairan amnion 2 kali per
minggu. Pada grup yang dilakukan induksi persalinan dibagi lagi menjadi 2 grup,
yang pertama mendapat gel prostaglandin E2 intracervical dan yang kedua
mendapat gel placebo. Insidensi yang buruk antara 2 grup mirip (1,5% vs 1%,
p=>005). Tidak ada kematian fetus pada kedua grup. Gel prostaglandin tidak lebih
efektif daripada plasebo dalam mematangkan cervix, tingkat persalinan secara
Sectio Caesarean mirip pada semua grup (18% pada grup yang menunggu
persalinan spontan, 23% pada grup yang diinduksi persalinan dengan gel
prostaglandin, 18% pada grup yang diinduksi persalinan dengan gel plasebo).
Ling, dkk menyimpulkan dengan hasil akhir yang mirip, berbagai management
strategi dapat diterima. 5
Pada evaluasi dari 11 penelitian tentang kebijakan induksi persalinan pada
minggu 41, Grant menyimpulkan bahwa induksi persalinan pada minggu 41
menghasilkan penurunan tingkat persalinan secara Sectio Caesarean (14%) dan
angka kematian perinatal yang lebih rendah (0,3 vs 2,5 per 1000) dibandingkan
dengan menunggu persalinan spontan. Ling, dkk menyimpulkan bahwa induksi
persalinan sebaiknya disarankan pada wanita dengan usia kehamilan > 41 minggu.
Saat ini pun masih terdapat berbagai kontroversial apakah kehamilan akan
diakhiri sebelum berusia 42 minggu dengan induksi persalinan, ataukah
kehamilan dapat dipertahankan dan hanya menanti sampai tanda persalinan
muncul. The Society of Obstetricians and Gynecologists of Canada (SOGC)
mengeluarkan panduan untuk melakukan induksi persalinan pada kehamilan
23
24
Vasa previa
25
Letak bokong
Kehamilan ganda
Polihidramnion
Kelahiran SC sebelumnya. 9
Pada pengawasan antenatal, bila ditemukan NSTs yang non reaktif disertai
dengan BPP modifikasi yang abnormal juga, maka harus dilakukan tes
selanjutnya, yaitu CSTs ataupun full BPP.
CSTs dengan perangsangan puting ataupun oksitosin intra vena dapat
digunakan untuk melihat adanya/tidaknya deselerasi lambat pada jantung janin.
CSTs disebut positif, jika terdapat deselerasi lambat, dan negatif bila tidak terjadi
deselerasi. Bila hasil CSTs positif setelah NSTs non reaktif, maka janin dalam
keadaan asidosis akibat hipoksia. Selanjutnya dilakukan penilaian ulang terhadap
janin. Bila ternyata dapat menjamin keadaan janin, maka kehamilan boleh
dilanjutkan hingga awal minggu 43, selanjutnya kehamilan harus diakhiri. Tetapi
bila CSTs negatif setelah NSTs non reaktif, mungkin janin dalam siklus tidur,
terpapar dengan obat-obat tertentu, atapun adanya kelainan neurologis.Kehamilan
masih boleh dilanjutkan.9
Bagaimana pun juga, dari beberapa penelitian ditemukan, bahwa resiko
terhadap ibu dan janin meningkat pada kehamilan lewat waktu. Karena itu
komunikasi yang baik antara dokter dan pasien sangat dibutuhkan.9
A.
aselerasi denyut jantung janin yang merupakan respon dari pergerakan janin.
Sekitar tahun 70 an, NST pernah menjadi tes yang utama dalam menilai kesehatan
janin. Pada kehamilan lanjut, terutama pada minggu ke 34, aselerasi sangat sering
terjadi, hampir setiap jam. Rata-rata amplitudo aselerasi ini 20 sampai 25 denyut
26
27
selama <3 detik di dekat kepala janin. Jika denyut jantung masih menunjukkan
non reaktif, maka dapat diberikan lagi stimulus dengan interval waktu semenit
sebanyak 3 kali. Jika masih saja non reaktif, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
dengan CSTs ataupun biophysical profile. Menurut data statistik, bila hasil NSTs
non reaktif dan hasil CSTs positif, maka insidensi kematian perinatal lebih dari 10
persen, mungkin juga didapatkan keadaan gawat janin pada saat persalinan,
ataupun janin ternyata menderita IUGR.
Gambar 2.5. NSTs reaktif, dengan peningkatan denyut jantung lebih 15 denyut per
menit selama lebih dari 15 detik diikuti dengan gerakan janin.
(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 736)
Sebaliknya jika didapatkan hasil NSTs non reaktif dan CST negatif, maka
kehamilan dapat diterminasi bila hasil ratio lecithin/ sphingomyelin (L/S) matur.
Jika ratio L/S menunjukkan immatur, maka janin sebaiknya dipertahankan sambil
terus dipantau dengan NSTs setiap hari, dimana janin dapat dipertahankan
sepanjang NSTs masih reaktif.1,8
Pada kehamilan lewat waktu/ yang beresiko tinggi, dianjurkan untuk
melakukan tes NSTs 2 kali dalam seminggu. NSTs terbukti sebagai tes yang ideal
untuk melakukan evaluasi terhadap keadaan janin selama masa antepartum. NSTs
28
29
parameter yang pertama sekali terganggu bila terjadi asfiksia janin dan tonus otot
merupakan parameter yang paling akhir terganggu.
Sebaiknya biophysical profile digunakan sedini mungkin pada minggu ke
26-28 kehamilan. Setiap parameter mempunyai nilai 2 bila hasilnya baik/normal.
Nilai biophysical profile disebut baik bila 8. Tes ini dianjurkan untuk dilakukan
seminggu sekali bila hasilnya normal, dan pada kehamilan dengan resiko tinggi
dianjurkan dilakukan 2 kali seminggu.
Tabel 2.5. Nilai-nilai untuk biophysical profile
Parameter
Gerak
menit
Minimal 3 gerakan dalam 30 2 episode gerakan dalam 30
Tonus otot
menit
menit
Minimal 1 episode ekstensi Baik ekstensi
aktif yang diikuti oleh gerak berlangsung
dan
fleksi
lambat
atau
Volume
amnion
30
tegak lurus
Penatalaksanaan
rendah Tes diulang dengan interval 1 minggu; 2 kali
asfiksia kronis
8
Normal;
resiko
asfiksia kronis
merupakan
indikasi
untuk
mengakhiri kehamilan
Jika kehamilan 36
minggu,
dapat
dengan NSTs dan penentuan volume cairan amnion. Ketika dilakukan 2 kali
seminggu pada grup dengan 8038 pasien yang hamil lewat waktu, terdapat
negative palsu 1,12 dalam 1000. Karena pada pasien dengan kehamilan lewat
waktu, oligohidramnion dapat terjadi dengan cepat setelah pencatatan Amniotic
Fluid Index (AFI) yang normal (3 4 hari), sehingga penting untuk melakukan
penentuan volume cairan amnion 2 kali seminggu pada kehamilan lewat waktu.
Tes mBPP banyak digunakan sebagai pilihan dalam tes antenatal. 5
Masih terdapat kontroversi tentang tingkat volume amnion yang
menunjukkan oligohidramnion dan pada tingkat berapa volume amnion akan
memberikan hasil janin yang jelek. Volume cairan amnion didasarkan pada
31
kantong amnion vertikal terdalam dan ambang batas 1-3 cm digunakan. Sekarang,
banyak dokter yang menggunakan AFI untuk pemeriksaan tingkat cairan amnion.
AFI > 8 cm adalah normal, 5 8 cm adalah perbatasan, < 5 cm adalah
oligohidramnion. 5
C. Contraction Stress Test (CST)
Akibat adanya kontraksi uterus, maka tekanan miometrium sendiri akan
menyebabkan kolapsnya pembuluh darah yang melalui otot-otot uterus dan
meningkatkan tekanan cairan amnion, sehingga pada akhirnya akan mengisolasi
ruangan intervili dan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran oksigen
dalam waktu singkat. Bila terdapat keadaan insufisiensi plasenta, maka kontraksi
uterus ini berakibat terjadinya deselarasi lambat ataupun deselerasi variabel pada
denyut jantung janin.1
Berdasarkan prinsip yang dditimbulkan akibat kontraksi uterus inilah
maka dibuat suatu tes yang dulu disebut oxytocin challenge test, yang sekarang
disebut contraction stress test (CSTs). Kontraksi uterus diinduksi dengan
menggunakan oksitosin IV melalui infus. Bagaimana respon denyut jantung janin
terhadap kontraksi uterus, itulah yang direkam dan dinilai. Hasil tes disebut positif
(abnormal), bila ditemukannya gambaran deselerasi lambat berulang. Tes ini
disebut negatif (normal) bila tidak ada deselerasi lambat pada tes sekarang dan
minggu depan.
Jika terdapat 3 kontraksi uterus spontan selama 40 detik sampai 60
detik dalam 10 menit maka tidak perlu diberikan stimulasi terhadap uterus.
Induksi kontraksi uterus dapat dilakukan dengan oksitosin ataupun dengan
perangsangan nipple ibu bila kontraksi < 3 dalam 10 menit. Dosis awal oksitosin
yang dibutuhkan adalah 0,5mU/menit IV dan dinaikkan 2 kali setiap 20 menit
sampai didapatkan kontraksi yang memuaskan. Tes ini membutuhkan waktu kirakira 90 menit. 1,8
Perangsangan nipple ibu juga dapat dilakukan untuk menginduksi
kontraksi uterus. Cara ini merupakan salah satu metode yang direkomendasikan
oleh the American College of Obstetricians and Gynecologists. Caranya adalah,
32
salah satu nipple ibu digosok selama kira-kira 2 menit atau sampai muncul 1
kontraksi. Bila tidak muncul kontraksi, ataupun kontraksi tidak adekuat, maka
penggosokan dapat dihentikan selama 5 menit, lalu diulang lagi. CSTs dengan
induksi kontraksi cara ini membutuhkan waktu kira-kira 30 menit.1,8
Kontraindikasi dilakukannya CSTs adalah bila ditemukannya keadaankeadaan dengan resiko tinggi terjadinya persalinan prematur, seperti ruptur
membran prematur, multi gravida, dan cervix inkompeten. CST juga sebaiknya
tidak dilakukan bila terdapat riwayat sectio cesarea klasik, operasi uterus karena
berbagai sebab, maupun pada plasenta previa.8
Tabel 2.7. Interpretasi CSTs
Interpretasi
Negatif
Deskripsi
Tidak ada deselerasi lambat pada kontraksi
Insiden (%)
uterus adekuat
Positif
80
3-5
Memuaskan
33
Hasil CST negatif berhubungan dengan keadaan janin yang baik. Bahkan
angka kematian perinatal pada kehamilan dengan resiko tinggi pun dapat
terkendali dengan baik sekali bila hasil CST negatif.. Hasil CST normal biasanya
menjamin keadaan janin dalam seminggu, karena itu sangat dianjurkan untuk
menilai lagi kesehatan janin 1 minggu kemudian8
Hasil CST positif berhubungan dengan meningkatnya insidensi kematian
intrauterin, terjadinya deselerasi lambat pada persalinan, rendahnya APGAR 5
menit, IUGR, maupun mekonium. Jadi jika nilai CST positif, mungkin
berhubungan dengan terganggunya kesehatan janin yang bisa berakibat gawat
janin.1,8
Kerugian tes ini adalah masih tingginya insiden false positif. Sebab-sebab
terjadinya false positif adalah, mungkin akibat kesalahan interpretasi, keadaan
hipotensi sehingga menurunkan perfusi uterus, hiperstimulasi uterus, dan
sebagainya. Tingginya insiden false positif menunjukkan tidak selalu diperlukan
tindakan sectio cesarea. Jika hasil CST meragukan, sebaiknya dilakukan tes ulang
dalam 24 jam. 1,8
D. Doppler Velocimetry
Prinsip penggunaan USG Doppler ini adalah dengan mengukur aliran
darah dalam uterus dan pembuluh darah janin.
Fd = 2 f0 V cos
C
Fd = perubahan frekuensi doppler
F0 = frekuensi yang ditransmisikan
V = kecepatan sel darah merah
= sudut antara arah suara dengan gerakan sel darah merah
C = kecepatan suara dalam medium
Biasanya dilakukan pengukuran terhadap ratio antara puncak sistolik dengan
diastolik (S/D ratio) yang juga dikenal sebagai ratio A/B. Jika tahanan perifer
meningkat, maka aliran diatolik menurun, dan ratio S/D meningkat. Indeks
34
pulsatil dihitung dengan mengurangi nilai sistolik dengan nilai diastolik, dibagi
dengan kecepatan rata-rata (S-D/mean). Sebagai ratio tambahan, indeks resistensi
atau ratio Pourcelot dinyatakan dengan S-D/ S. Kedua perbandingan terakhir ini
sangat berguna bila aliran diastolik tidak ada atau terbalik.1
Bila resistensi plasenta meningkat di atas timester II, mungkin berhubungan
dengan keadaan IUGR, dimana terdapat pengurangan aliran diastolik akhir.
Dengan demikian akan meningkatkan ratio S/D. Sedangkan pada arteri
umbilicalis normal, terdapat penurunan pulsatil yang progresif, disertai
meningkatnya aliran diastolik. Aliran arteri umbilicalis yang abnormal
memperlihatkan adanya penurunan aliran diastolik akhir, atau pada keadaan
ekstrim, aliran diastolik akhir bisa tidak ada ataupun terjadi aliran terbalik.
Keadaan-keadaan di atas ini menjadi sangat berarti bila didapatkan paling sedikit
3 sampai 5 gelombang yang diperoleh dari sudut-sudut yang berbeda.1
Hal yang harus diingat adalah keabnormalitasan yang didapat pada
penggunaan Doppler ini hanya mencerminkan keadaan patologis pada plasenta
dan sirkulasi janin, bukan menunjukkan adanya hipoksia pada janin. Ratio S/D
pada arteri umbilicalis bisa saja normal, sementara sedang terjadi asidosis janin.
Karena itu sebaiknya dilakukan kombinasi pemeriksaan dengan tes lainnya untuk
menilai kesehatan janin ante partum.1
BAB III
KESIMPULAN
35
Untuk mengetahui kehamilan lewat waktu atau tidak, maka penentuan usia
kehamilan penting diketahui. Bila ibu tidak mengetahui tanggal pertama haid
terakhirnya dalam siklus normal, maka penting unutk memperkirakan usia
kehamilan dengan berbagai pemeriksaan. Bila tetap sulit ditentukan, maka
dilakukan pemeriksaan berulang.
Penatalaksanaan kehamilan lewat waktu, dapat langsung diinduksi ataupun
ditunggu dulu dengan syarat kehamilan termasuk resiko rendah dan harus selalu
dilakukan pengawasan janin antenatal.
Pencegahan kehamilan lewat waktu dimulai dengan mengukur usia
kehamilan dengan akurat. Pada usia kehamilan ke-39, dan lokasi plasenta normal,
dan
pelepasan
membran
amnion
dilakukan
setiap
DAFTAR PUSTAKA
36
minggunya
telah
Prospective
Study
in:
www.journal-obgyn-
india.com/articles/issue_sep_oct2001/o_papers_89.asp
37