You are on page 1of 5

Kritik atas buku karangan Ben Agger yang berjudul

TEORI SOSIAL KRITIS


(Kritik, Penerapan dan Implikasinya)
Oleh : Riri Maria Fatriani (1021218011)
Buku karangan Ben Agger yang berjudul Teori Sosial Kritis (Kritik, Penerapan dan
Implikasinya) ini terdiri dari delapan bab yang masing-masing bab membahas secara rinci
dan cukup panjang lebar. Pada dasarnya buku ini menguraikan bagaimana sebuah teori sosial
kritis ini dapat dipadukan ke dalam beberapa tema umum. Dengan maksud untuk
memperdalam pemahaman teoritis para teoritisi sosial profesional, atau dengan kata lain buku
ini ditujukan kepada sosiolog yang ingin mengetahui perkembangan teori terbaru.
Inti dari teori kritis terletak pada upaya pembebasan (pencerahan). Ilmuwan tidak
selayaknya mengabaikan masyarakat demi mengejar obyektivitas ilmu. Ilmuwan haruslah
menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial. Karena itu, teori kritis menolak
tegas positivisme dan ilmuwan sosial wajib mengkritisi masyarakat, serta mengajak
masyarakat untuk kritis. Sehingga, teori kritis bersifat Emansipatoris. Emansipasi mutlak
diperlukan, untuk membebaskan masyarakat dari struktur yang menindas. Kesadaran palsu
senantiasa ada dalam masyarakat, dan itu harus diungkap dan diperangi. Selain itu, ciri lain
dari studi kritis adalah interdisipliner. Ben Agger menyebutkan ciri-ciri teori kritik sebagai
berikut:
1. Teori kritis berlawanan dengan positivisme. Pengetahuan bukanlah refleksi atas dunia
statis di luar sana, namun konstruksi aktif oleh ilmuwan dan teori yang membuat
asumsi tertentu tentang dunia yang mereka pelajari sehingga tidak sepenuhnya bebas
nilai. Selain itu, jika positivis mengharuskan untuk menjelaskan hukum alam, maka
kritis percaya bahwa masyarakat akan terus mengalami perubahan.
2. Teori sosial kritis membedakan masa lalu dan masa kini, yang secara umum ditandai
oleh dominasi, eksploitasi, dan penindasan. Oleh karena itu, ilmuwan kritis harus
berpartisipasi untuk mendorong perubahan.
3. Teori kritis berasumsi bahwa dominasi bersifat struktural. Tugas teori sosial kritis
adalah mengungkap struktur itu, guna membantu masyarakat dalam memahami akar
global dan rasional penindasan yang mereka alami.
4. Pada level struktur itu, teori sosial kritis yakin bahwa struktur didominasi oleh
kesadaran palsu manusia dijelaskan dalam, Ideologi (Marx), Reifikasi (Lukacs),

Hegemoni (Gramsci), Pemikiran satu dimensi (Marcuse), dan Metafisika keberadaan


(Derrida).
5. Teori sosial kritis berkeyakinan bahwa perubahan dimulai dari rumah, pada kehidupan
sehari-hari manusia, misalnya; seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja. Disini,
teori sosial kritis menghindari determinisme dan mendukung voluntarisme.
6. Mengikuti pemikiran Marx, teori sosial kritis menggambarkan hubungan antara
struktur manusia secara dialektis.
7. Teori sosial kritis menolak asumsi bahwa kemajuan adalah ujung jalan panjang yang
dapat dicapai dengan mengorbankan kebebasan dan hidup manusia. Di sisi lain, kritis
juga menolak pragmatisme revolusioner.
Humanisme: Antara Positivisme dan Kritis
Menurut Agger, apakah teori interpretatif lebih dekat kepada teori positif atau kritis,
tergantung pada bidang apa orang memberikan tekanan (Agger, 2003: 62). Teoritisi
interaksionisme simbolis dari Mazhab Iowa memberikan konsepsi sosiologi interpretatif
sebagai struktur berharga dari survai kuantitatif. Bahkan, teori interpretatif dapat memberi
kontribusi bagi pemahaman atas keajegan kalau dilakukan secara cukup terarah. Namun
konsepsi ini ditentang keras oleh para fenomenolog, etnometodolog, dan konstruksionis
sosial, yang menyatakan sosiologi interpretatif sebagai counter atas penelitian survai.
Penelitian survai gagal memahami makna yang dijalin masyarakat dalam kehidupan seharihari. Selain itu, penelitian survai sebagai turunan dari positivis lebih sebagai ilmu sosial yang
bermazhab ilmu fisika prediktif, sehingga hal itu melanggar prinsip inti Neo-Kantianisme.
Jauh berbeda dengan Mazhab Iowa, Denzin dan Patricia Clough berpandangan bahwa
teori interpretatif telah melebur bersama cultural studies (kajian budaya) dan teori feminis.
Menurutnya, teori interpretatif adalah cabang dari teori kritis. Clough juga Smith (1987)
melacak keterkaitan antara kehidupan sehari-hari dan struktur sosial politik. Hasilnya,
kehidupan sehari-hari (termasuk kehidupan dalam rumah tangga) tak bisa dilepaskan dari
struktur sosial politik yang menaunginya.
Menurut Agger, semakin teoritis teori interpretatif maka semakin kritis (politis)
kecenderungannya. Masih menurut Ben Agger, persamaan fundamental antara humanisme
dengan kritis terletak pada upaya penentangannya pada positivisme eksistensi hukum sosial.
Sementara perbedaan fundamentalnya terletak dalam menyikapi kesadaran palsu.
Interpretatif berpandangan bahwa sangat arogan bagi analisis sosial untuk mengandaikan

bahwa masyarakat memiliki kesadaran palsu atau sejati. Sedang kritik secara tegas
menjelaskan masyarakat memiliki kesadaran palsu yang mesti dilawan dan dihancurkan.
Epistemologi yang berbeda menjadikan setiap aliran memiliki metodologi yang
berbeda. Secara kasar, positivis menggunakan teknik-teknik kuantitatif, interpretatif dengan
kualitatif dan kritis dengan kualitatif-emansipatorik. Dalam metodologi, ilmu sosial
positivisme menggunakan metode empiris-analitis, menggunakan logika deduksi, teknikteknik penelitian survai, statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu
sosial menggunakan metode historis-hermeneutis, mencakup logika induktif, dan metode
penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik, penelitian
partisipatorik dan metode kualitatif.
Walaupun begitu, secara spesifik masing-masing sosiolog memiliki penekanan yang
berbeda-beda walau masuk dalam satu aliran. Terlebih dalam humanisme dan kritik.
Walaupun sama-sama menekuni makna, Garfinkel menggunakan etnometodologi yang
memiliki perbedaan dengan fenomenologi Schutz. Berger, yang membidik makna dalam
skala lebih luas, menggunakan studi sejarah sebagai bagian dari metodologinya.

Kritik atas buku karangan Randall Collins yang berjudul


The Sociology Of Philosophies
Chapter 15 : Sequence and Branch in the Social Production Of Ideas
Oleh : Riri Maria Fatriani (1021218011)
Sosiologi filosofi: Sebuah Teori Global Intelektual Perubahan (1998), yang
menganalisis jaringan filsuf dan matematikawan selama lebih dari dua ribu tahun di kedua
masyarakat Asia dan Barat, dan menunjukkan apa jenis pola jaringan menghasilkan tingkat
yang lebih tinggi dan lebih rendah dari inovasi kreatif ide-ide.
Buku ini membahas tentang sejarah sosial kehidupan intelektual global mengenai
filsafat komprehensif yang pertama di dunia. Menyajikan pandangan dari beberapa budaya
sejarah dunia, stereotip budaya daerah dan mengungkapkan bagaimana kreativitas didorong
oleh konflik dalam setiap masyarakat. Melihat gambaran sosiologis secara universal tentang
Barat, India, dan kehidupan intelektual Asia, sebagaimana percampuran sosial telah
menghasilkan pola-pola pemikiran yang berbeda.
Tiga pola pemikiran yang dimaksud oleh Collins adalah kosmologi, epistemologimetafisik, dan matematis. Pertama, pergeseran antara fase mitologis ke fase filsafat
kosmologi yang dicontohkan dari kehidupan social di India dan Yunani. Kedua, pengaruh
antara ide-ide epistemologi dan metafisik yang dibangun dari kehidupan sosial di India,
Yunani, Islam, Kristen dan filsafat Eropa dibangun jauh dari masa ini. Sementara di Cina
perkembangan yang terjadi sangat berbeda dari India dan Yunani karena ide-ide epistemologi
dan metafisik tidak terlihat tapi muncul sekitar 7 atau 8 generasi berikutnya. Ketiga,
matematis yang menjadi ranah baru perkembangan pemikiran filsafat; pola ini ditemukan di
Eropa sejak tahun 1600 dan digunakan di era 1900-an.
Melalui penelahaan berkelanjutan, Randall Collins menelusuri perkembangan
pemikiran filosofis di Cina, Jepang, India, Yunani kuno, dunia Islam dan Yahudi abad
pertengahan, Kristen abad pertengahan, dan Eropa modern. Hal yang muncul dari sejarah ini
adalah teori umum kehidupan intelektual, untuk menghindari pengurangan ide yang
berpengaruh kepada masyarakat secara umum dan untuk membangun makna secara lokal.
Sebaliknya, Collins berfokus pada lokasi sosial dimana ide-ide canggih terbentuk: yaitu pola
jaringan intelektual dan jenis-jenis konflik. Menurut teorinya, ketika dasar pembentuk dari
pergeseran kehidupan intelektual dipengaruhi oleh gejolak sosial (seperti naik dan turunnya
agama, sistem pendidikan) dan penerbitan membuka peluang untuk beberapa jaringan untuk
tumbuh akan muncul walau yang lainnya akan redup. Ini menempatkan individu, seperti

Socrates, Aristoteles, Chu Hsi, Shankara, Wittgenstein, dan Heidegger dapat berkembang
secara intelektual - dalam jaringan-jaringan dan menjelaskan proses emosional dan simbolis
yang membentuk pemikiran, akhirnya membawa sejarah keberhasilan ide-ide yang sukses.

You might also like