You are on page 1of 18

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit jamur di Indonesia memiliki prevalensi yang cukup tinggi. Tingginya
angka prevalensi ini dipengaruhi oleh letak geografis dan iklim negara Indonesia
yang memudahkan perkembangbiakan jamur, serta perilaku masyarakat seperti
mata pencaharian dan tempat tinggal yang banyak menyebabkan interaksi dengan
jamur. Jamur umumnya cepat berkembang di tempat yang lembab, juga dapat
berpindah melalui media air. Negara Indonesia yang beriklim tropis dan sebagian
besar penduduknya agraris, menjadi salah satu negara yang memiliki potensi
tinggi dalam dalam penyebaran dan interaksi jamur.
Jamur merupakan tumbuhan parasit, berbentuk benang bercabang mempunyai
dinding dari selulosa atau kitin atau keduanya, mempunyai protoplasma yang
mengandung satu atau lebih inti, tidak mempunyai klorofil dan berkembangbiak
secara seksual, aseksual dan keduanya (Gandahusada, 2000). Dari ribuan jenis
jamur yang terdapat di dunia, hanya beberapa saja yang dapat menginfeksi
manusia, salah satunya adalah golongan dermatofita. Jamur yang menyebabkan
80-90% infeksi pada manusia ini hidup di permukaan kulit dari turunan-turunan
Trichophyton, Microsporum dan Epidermophyton (Raharja, 1993).
Ketiga genus jamur di atas dapat menyebabkan tinea unguium, suatu penyakit
dengan gejala klinis kuku berbentuk tidak normal, permukaan kuku tidak rata,

menebal, bergaris-garis, tegas/mudah patah, berbau busuk, warna kuku kekuningkuningan. Penanganan yang kurang cepat dari penyakit ini akan merugikan dan
membahayakan, karena penyakit ini dapat menjalar ke bagian proksimal dari
kuku, dimana jamur akan sulit dicapai oleh obat-obatan setempat (topikal). Lebih
jauh lagi penyakit ini dapat menyebabkan terjadinya pengapuran dengan cara
merusak permukaan kuku.
Salah satu daerah di pulau Lombok, yaitu desa Rahayu di kecamatan Aikmel
kabupaten Lombok Timur memiliki penduduk dengan mata pencaharian petani
sebagai mayoritas. Penduduk yang sehari-harinya bertani dan berkebun memiliki
kebiasaan tidak memakai sepatu boot bahkan bertelanjang kaki saat melakukan
pekerjaannya, sehingga lumpur dengan mudah masuk ke dalam kuku kaki dan
menyebabkan perkembangan jamur.
Hal inilah yang menjadi kekhawatiran bila kebiasaan penduduk khususnya
yang bekerja sebagai petani (bertani dan berkebun) tidak menggunakan alas kaki
saat bekerja dan tidak memperhatikan

kebersihan kuku terutama kuku kaki.

Petani terrsebut menganggap kuku khususnya kuku kaki tidak begitu penting,
padahal kuku yang dalam waktu lama tidak dibersihkan akan menimbulkan bau
tidak sedap dan membusuk, sehingga dapat menyebabkan penyakit pada kuku
yaitu tinea unguium.
Keadaan di atas mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang ada
atau tidaknya jamur penyebab tinea unguium seperti Trichophyton rubrum,
Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum pada kuku petani di
Desa Rahayu Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur. Selama ini Desa

Aikmel belum memiliki data mengenai prevalensi penyakit infeksi atau jamur
kuku tersebut, sementara kenyataan di lapangan memungkinkan seringnya hal ini
terjadi. Sehubungan dengan keadaan dan kenyataan ini, penulis terinspirasi dan
termotivasi untuk melakukan penelitian tentang prevalensi jamur.
Dengan mengetahui prevalensi penyakit tinea unguium ini, sikap siaga
masyarakat dan tenaga kesehatan terkait dapat ditingkatkan. Seperti halnya
pemberian informasi dan edukasi serta deteksi dini dari Tinea Unguium yang
dapat segera diobati sebelum kerusakan kuku menjadi lebih parah, karena pada
umumnya, masyarakat datang ke pusat pelayanan kesehatan setelah terjadi
kerusakan pada kuku.

1.2 Rumusan Masalah


Berapa besarkah prevalensi infeksi jamur Trichophyton rubrum, Trichophyton
mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum penyebab Tinea unguium pada
petani di Desa Rahayu KecamatanAikmel Kabupaten Lombok Timur ?

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk

mengetahu

prevalensi

infeksi

jamur

Trichophyton

rubrum,

Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum penyebab Tinea


unguium pada petani di Desa Rahayu Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok
Timur.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1

Manfaat dari penelitian ini adalah


1. Diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat di Desa
Rahayu Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur mengenai
jamur yang dapat menyebabkan Tinea unguium.
2. Memberikan kontribusi positif bagi perkembangan bidang keilmuan.
3. Memberikan inisiatif kepada tenaga kesehatan untuk lebih siaga.

1.4.2

Manfaat bagi penulis

Sebagai pembelajaran yang dapat memotivasi dalam menemukan dan meneliti


sebuah pengetahuan baru sehingga dapat dijadikan pedoman atau tolak ukur oleh
masyarakat.
1.4.3

Manfaat bagi pemerintah

Membantu pemerintah dalam meningkatkan taraf kesehatan masyarakat


dengan mengetahui prevalensi penyakit jamur kuku dan meningkatkan program
siaga untuk pencegahan dan penanggulangan lebih lanjut.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinea Unguium


2.1.1

Definisi Tinea unguium

Tinea unguium atau yang sering juga disebut onikomikosis adalah infeksi
jamur pada lempeng kuku, yang sebagian besar disebabkan oleh dermatofita,
berarti jamur yang keratinolitik, dimana di dalam hidupnya membutuhkan keratin.
Jamur akan mengambil keratin di sekitarnya untuk hidupnya. Kuku tersusun dari
keratin. Karena keratin diambil oleh jamur maka lambat laun kuku menjadi rapuh
dan akhirnya rusak. (Putra, 2008)
2.1.2

Etiologi

Dermatofita adalah jamur yang paling sering menyebabkan onikomikosis.


Penyebab dermatofitosis dikelompokan dalam tiga genus yaitu : Trichophyton,
Microsporum dan Epidermophyton, akan tetapi yang paling sering menyebabkan
tinea unguium adalah spesies Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes
dan Epidermophyton floccosum. Jamur dermatofita penyebab onikomikosis
terbanyak sebesar 70% adalah Trichophyton rubrum, disusul Trichophyton
mentagrophytes sebesar 19,8% dan Epidermophyton floccosum sebesar 2,2%,
sisanya jamur dermatofita lainnya. (Putra, 2008)
Jamur Trichophyton, Epidermophyton dan Microsphorum selain dapat
menyebabkan Tinea unguium juga dapat menyebabkan penyakit lain, diantaranya
sebagai berikut : Tinea corporis, Tinea pedis, Tinea cruris, Tinea capitis, Tinea

barbae, Tinea pavosa, Tinea imbricata. Sementara itu, Candida dan jamur nondermatofita lainnya lebih jarang menyebabkan Tinea ungium bila dibandingkan
dengan dermatofita.

2.1.3

Patogenesis

Patogenesis onikomikosis tergantung pada subtipe klinis. Dalam onikomikosis


subungual distal dan lateral, bentuk yang paling umum dari onikomikosis, jamur
menyebar dari plantar kulit dan menyerang melalui hiponikium kuku. Peradangan
yang terjadi pada bagian kuku ini menyebabkan tanda-tanda fisik onikomikosis
subungual distal dan lateral yang khas.Onikomikosis superfisial putih jarang
terjadi, disebabkan oleh invasi langsung dari permukaan lempeng kuku. Pada
onikomikosis subungual proksimal jamur menembus melalui matriks kuku-kuku
proksimal dan menginvasi sebagian lempeng kuku proksimal dalam. Endonyx
onikomikosis adalah varian dari onikomikosis subungual distal dan lateral dimana
jamur menginfeksi melalui kulit dan langsung menyerang lempeng kuku.
Invasi kuku oleh candida tidak umum terjadi, karena jamur membutuhkan
respon imun yang menurun sebagai faktor predisposisi untuk dapat menembus
kuku. Meskipun candida sering terdapat pada lipat kuku proksimal atau ruang
subungual pada pasien dengan paronikia kronis atau onikolisis, tetapi infeksinya
hanya terjadi sekunder. Pada mukokutan kandidiasis kronis, jamur menginfeksi
lempeng kuku (nail plate) dan akhirnya lempeng kuku proksimal dan lateral
lipatan kuku. (Tosti, 2010)
2.1.4

Faktor predisposisi

Faktor predisposisi yang memudahkan terjadinya onikomikosis yaitu


kelembaban, oklusi, trauma berulang pada kuku serta penurunan imunitas. Gaya
hidup tertentu misalnya penggunaan kaos kaki dan sepatu tertutup terus menerus,
olahraga berlebihan, penggunaan tempat mandi umum, akan memudahkan terjadi
onikomikosis. Penurunan imunitas dapat terjadi pada orangtua, pasien
immunocompromised, penggunaan obat imunosupresan dan antibiotik jangka
panjang. Pada anak-anak onikomikosis jarang ditemukan, kemungkinan
dihubungkan dengan paparan terhadap penyebab relatif jarang, pertumbuhan kuku
yang lebih cepat, dan prevalensi tinea pedis yang rendah. (Unandar, 2001)
2.1.5

Gejala klinis

Onikomikosis biasanya asimtomatik, karena itu pasien biasanya pertama kali


hadir untuk alasan estetika fisik tanpa keluhan. Ketika penyakit berkembang,
onikomikosis dapat mengganggu aktivitas berdiri, berjalan, dan berolahraga.
Pasien dapat mengeluh parestesia, nyeri, ketidaknyamanan, dan kehilangan
ketangkasan. Mereka juga dapat melaporkan kehilangan harga diri dan kurangnya
interaksi sosial. Anamnesis yang cermat dapat mengungkapkan banyak faktorfaktor risiko lingkungan dan pekerjaan yang mungkin menjadi penyebab dari
onikomikosis. (Tosti, 2010)
Kuku yang terinfeksi memiliki bentuk yang tidak normal tetapi tidak gatal
atau terasa sakit sekali. Infeksi ringan hanya memberikan sedikit gejala atau
bahkan tidak menimbulkan gejala. Pada infeksi yang lebih berat, kuku tampak
keputihan, menebal dan terlepas dari dasar kuku. Biasanya sisa-sisa peradangan
terkumpul di bawah ujung kuku.

Onikomikosis yang disebabkan dermatofita, yakni tinea unguium dan


gambaran tersering yang terjadi adalah distrofi dan debris pada kuku subungual
distal. Selanjutnya onikomikosis yang disebabkan kandida sering didahului oleh
paronikia atau peradangan jaringan sekeliling kuku yang kronik akibat pekerjaan
basah atau iritasi kronik. (Sjamsoe dkk, 2005)
Berdasarkan sumber data yang di kutip dari eMedicine Journal: Onychomycosis,
terdapat empat jenis onikomikosis, sebagai berikut:
1. Onikomikosis subungual distal dan lateral (OSDL)
Onikomikosis subungual distal dan lateral adalah bentuk yang paling umum
dari tinea unguium yang biasanya disebabkan oleh Trichophyton rubrum.
Bentuk ini mulai dari tepi

distal atau distolateral. Proses ini menjalar ke

proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang hancur. Jamur
menyerang dasar kuku di bawah lempeng kuku melalui hiponikium dan
bergerak ke arah proksimal. Kulit telapak kaki dan tangan merupakan lokasi
infeksi primer. Invasi juga dapat dimulai dari lateral. Dalam onikomikosis
subungual distal dan lateral, kuku menunjukkan hyperkeratosis subungual dan
onikolisis, yang biasanya berwarna kuning-putih. Coretan kuning dan atau
daerah onikolitik kuning di bagian tengah lempeng kuku yang umumnya
diamati.
2. Onikomikosis superfisial putih (OSPT)
Disebabkan oleh invasi jamur ke lapisan superfisial lempeng kuku yang
membentuk "pulau-pulau putih" di lempeng. Terjadi bila jamur menginvasi
langsung lapisan superfisial lempeng kuku. Kuku menjadi kasar dan runtuh

dengan mudah, dimana jumlahnya hanya 10 % dari kasus onikomikosis dan


sebagai penyebab tersering adalah T. mentagrophytes.
3. Onikomikosis subungual proksimal (OSP)
Infeksi dimulai dari lipatan kuku proksimal melalui kutikula dan masuk ke
kuku yang baru terbentuk, selanjutnya bergerak ke arah distal. Muncul daerah
leukonikiadi lempeng kuku

proksimal yang bergerak distal dengan

pertumbuhan kuku. Ini adalah bentuk umum dari tinea unguium pada orang
sehat, tetapi ditemukan lebih banyak pada pasien immunocompromised.
4. Onikomikosis kandida (OK)
Spesies Candida menyerang kuku biasanya terjadi pada orang yang sering
membenamkan tangan mereka di dalam air. Dapat terjadi pada pasien
immunocompromised, dan pada orang dengan kandidiasis mukokutan kronis.
Infeksinya dapat dibedakan menjadi 3 kategori yaitu : (1) Dimulai sebagai
paronikia yang kemudian menginvasi matriks kuku sehingga memberikan
gambaran klinis depresi transversal kuku sampai kuku menjadi cekung, kasar,
dan akhirnya distrofi; (2) Pada kandidiasis mukokutan kronis, kandida
langsung menginvasi lempeng kuku sehingga baru pada stadium lanjut tampak
sebagai pembengkakan lipat kuku proksimal dan lateral yang membentuk
gambaran pseudoclubbing atau chicken drumstick; dan (3) Invasi pada kuku
yang telah onikolisis, terutama pada tangan, tampak sebagai hyperkeratosis
subungual dengan massa abu-abu kekuningan di bawahnya. Pada keadaan
lanjut keempat tipe tersebut akan menunjukkan gambaran distrofik total.

2.1.6

Diagnosis

Penyebab pasti ditentukan dengan pemeriksaan kerokan kuku dengan KOH 20


% untuk mempermudah lisis keratin. Zat pewarna tambahan misalnya tinta Parker
blue-black atau pewarnaan PAS akan mempermudah visualisasi jamur. (Unandar,
2001). Dapat pula dilakukan biakan untuk menemukan elemen jamur dengan
media agar Sabouraud. (Unandar, 2000)
Untuk mengetahui suatu ruam yang disebabkan oleh infeksi jamur, biasanya
kita lakukan pemeriksaan kerokan dari ruam tersebut. Untuk mengumpulkan
spesimen kerokan kukunya hapus beberapa kali kuku yang akan dikerok dengan
kapas yang dibasahi dengan alkohol 70%. Bagian yang dikerok sebaiknya bagian
pinggir lesi yang aktif. Keroklah bagian tersebut dengan scalpel lalu kerokan kuku
ditampung dalam sebuah cawan petri. Hasil kerokan tersebut diletakkan di atas
deck glass dan ditetesi dengan larutan KOH 10-20 persen. Kemudian ditutup
dengan object glass dan dipanaskan dengan lampu Bunsen sebentar untuk
memfiksasi, kemudian dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 40 kali.
Kalau lesi tersebut adalah ruam karena infeksi jamur, akan kita lihat adanya spora
ataupun hifa. (Mansur, 2005)
Selanjutnya untuk mengetahui golongan ataupun spesies daripada jamur
dilakukan pembiakan dengan SBM yang standar yaitu SBM Saboraud Agar.
Kadang-kadang kita perlukan juga SBM mikobiotik. Setelah kurang lebih dua
minggu koloni dari jamur mulai dapat dibaca secara makroskopis. Untuk
mengetahui spesies jamur harus diperhatikan bentuk daripada koloni, warna
daripada koloni, permukaan koloni, apakah datar, atau bergelombang, apakah
basah atau kering. Setelah itu dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis dengan

10

menggunakan sengkelit diambil spesimen dari koloni dan diletakkan di object


glass. Setelah itu ditetesi dengan larutam KOH 10-20% dan selanjutnya ditutup
dengan deck glass dan difiksasi dengan lampu Bunsen serta dilihat dengan
mikroskop dengan pembesaran 40 kali. Dalam hal ini yang perli diperhatikan
adalah bentuk dari hifa bersepta atau tidak, atau berspora karena masing-masing
spesies jamur mempunyai karakteristik dalam bentuk hifa ataupun sporanya.
(Mansur, 2005)
Bila secara klinis kecurigaan onikomikosis besar, tetapi hasil sediaan
mikroskopik langsung maupun biakan jamur negatif, jadi dengan pemeriksaan
histopatologi dapat membantu. Dapat dilakukan biopsi kuku atau cukup nail
clipping pada OSDL.Pemeriksaan ini sekaligus membantu dalam memastikan
bahwa jamur terdapat dalam lempeng kuku dan bukan merupakan komensal atau
kontaminan di luar lempeng kuku. (Unandar, 2001)

2.1.7

Penatalaksanaan

Prinsip

penatalaksanaan

onikomikosis

adalah

menghilangkan

faktor

predisposisi yang memudahkan terjadinya penyakit, serta terapi dengan obat antijamur yang sesuai dengan penyebab dan keadaan patologi kuku. (Unandar, 2001).
Untuk membatasi kemungkinan kambuh, kuku harus tetap pendek, kaki harus
dikeringkan setelah mandi, kaus kaki yang menyerap keringat harus dipakai, dan
bedak kaki anti jamur dapat digunakan.
1. Pengobatan sistemik dilakukan dengan menggunakan obat anti jamur
griseofulvin dan ketokonasol, flukonazol, itrakonazol, dan terbinafin.

11

Griseofulvin tidak lagi merupakan obat pilihan untuk tinea unguium karena
memerlukan waktu lama, sehingga kemungkinan terjadi efek samping lebih
besar, serta kurang efektif. (Unandar, 2001)
2. Pengobatan tropikal yang lazim digunakan biasanya acidum salicylicum 220%, acidum benzoicum 6-12%, sulfur praecipitatum 4-10%, tolnaftate 2%,
asam-asam lemak tak jenuh 5-10%, derivat-derivat asol (mikonasol, ekonasol,
klotrimasol dan isokonasol), tolsiklat dan haloprogin. Obat topikal berbentuk
krim dan solusio sulit untuk penetrasi ke dalam kuku, sehingga tidak efektif
untuk pengobatan onikomikosis.
Diperlukan ketekunan pasien karena umumnya masa pengobatan panjang.
Meskipun penggunaan obat topikal mempunyai keterbatasan, namun masih
mempunyai tempat untuk pengobatan onikomikosis karena tidak adanya risiko
sistemik, relatif lebih murah, dan dapat sebagai kombinasi dengan obat oral untuk
memperpendek masa pengobatan, selain itu bentuk cat kuku mudah digunakan.
(Unandar, 2001)

2.1.8

Prognosis

Meskipun diterapi dengan obat dosis optimal, 1 di antara 5 kasus


onikomikosis ternyata tidak memberi respon baik. Penyebab kegagalan diduga
adalah diagnosis yang tidak akurat, salah identifikasi penyebab, adanya penyakit
yang lain. Pada beberapa kasus, karakteristik kuku tertentu, yaitu pertumbuhan
lambat serta sangat tebal juga merupakan penyulit, selain faktor predisposisi
terutama keadaan immunocompromised. (Unandar, 2001)

12

2.2 Trichophyton

rubrum,

Trichophyton

mentagrophyta

dan

Epidermophyton floccosum
2.2.1 Klasifikasi
1. Taksonomi Trichophyton rubrum, dan Trichophyton mentagrophytes
Kingdom

: Plantae

Divisio

: Mycota

Sub Divisio

: Eumycotina

Klas

: Deuteromycetes

Ordo

: Moniliales

Famili

: Moniliaceae

Genus

: Trichophyton rubrum, dan Trichophyton mentagrophytes

2. Taksonomi Epidermophyton floccosum

2.2.2

Kingdom

: Plantae

Divisio

: Mycota

Sub Divisio

: Eumycotina

Klas

: Deuteromycetes

Ordo

: Moniliales

Famili

: Moniliaceae

Genus

: Epidermophyton

Spesies

: Epidermophyton floccosum

Gambaran morfologi

13

Gambaran morfologi jamur dilihat secara microskopik dari kerokan kuku yang
dibiakkan pada media agar Sabourout.
a.

Morfologi jamur Trichophyton rubrum


1.

Mikrokonidia kecil, bersel satu, berbentuk


lonjong.

2.

Mikrokonidia tersusun satu persatu atau


berkelompok.

3. Hifa halus dan agak lurus.


b.

Morfologi jamur Trichophyton mentagrophytes


1.

Mikrokonidia kecil, bersel satu, bentuk

bulat,
menyerupai tangkai buah anggur.
2.
c.

Hifa berbentuk spiral.

Morfologi jamur Epidermophyton floccosum


1.

Makrokonidia dapat tersusun 2-3 buah pada

1
konidiofora.
2.

Makrokonidia berbentuk gada.

3.

Makrokonidia mengandung 2 4 buah sel.

2.3 Kerangka Konsep


BERTANI TANPA ALAS KAKI
DAN BEKERJA 5 TAHUN
14

JAMUR KUKU
(Tinea unguium)

KEBERSIHAN
KAKI

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini mempergunakan desain deskriptif untuk memperoleh gambaran
umum mengenai jumlah petani yang telah bertani selama lima tahun yang
mengalami Tinea unguium di desa Rahayu, kecamatan Aikmel, kabupaten
Lombok Timur.
3.2 Populasi Penelitian

15

Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah petani yang secara


representatif dipilih di desa Rahayu.
3.3 Besar dan Cara Pengambilan Sampel
Penentuan besar sampel dilakukan berdasarkan pertimbangan terhadap konsep
accessible, affordable, dan managable dengan mengambil sampel petani di desa
Rahayu, kecamatan Aikmel, kabupaten Lombok Timur. Dimana dari daerah
tersebut diambil 96 orang petani yang telah bekerja sebagai petani selama 5 tahun
sebagai sampelnya.
Untuk memperoleh sampel yang representatif, dilakukan pengambilan sampel
dengan metode simple random sampling dimana dilakukan penarikan sampel
secara acak. Besarnya sampel dapat dihitung menggunakan rumus:
Z 2 PQ
n

d2

3.4 Variabel
3.4.1 Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah lama bekerja sebagai petani.
3.4.2 Variabel tergantung
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah jenis jamur yang
menyebabkan Tinea unguium.
3.5 Definisi Operasional Variabel
1. Tinea unguium adalah merupakan penyakit infeksi kuku yang disebabkan
oleh

jamur

Trichophyton

rubrum,

Trichophyton

mentagrophytes,

Epydermophyton flocosum (Gandahusada, Parasitologi Kedokteran, Edisi


2000, Gaya Baru, Jakarta). Yang dikonfirmasi melalui pemeriksaan

16

terhadap kerokan kuku dengan KOH 20 % dan diamati di bawah


mikroskop.
2. Petani adalah orang yang bekerja sebagai tani (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1987). Yang telah bekerja selama 5 tahun serta merupakan
penduduk tetap desa Rahayu.

3.6 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Desa Rahayu, Kecamatan Aikmel, Kabupaten
Lombok Timur selama 3 minggu yang di mulai pada tanggal 13 juni 2011 sampai
dengan tanggal 1 Juli 2011.
3.7 Alat dan Cara Pengumpulan Data
Data diperoleh dengan cara mengambil sampel kerokan kuku pada petani di
desa Rahayu, kecamatan Aikmel, kabupaten Lombok Timur yang bekerja lebih
dari 5 tahun, kemudian dilakukan identifikasi mikroskopik terhadap jamur
Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton
floccosum pada kuku tersebut di laboratorium.

3.8 Prosedur Penelitian


1. Pencarian dan penentuan responden sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi
2. Pengambilan sampel kerokan kuku pada petani dan melakukan intepretasi.
3. Menghitung prevalensi.
3.9 Cara Analisa Data

17

Data yang terkumpul diadakan analisa berdasarkan persentase, kemudian data


tersebut disajikan dalam bentuk tabel distribusi tunggal, grafik batang, dan juga
grafik lingkaran. Hasilnya digunakan untuk menarik kesimpulan.
Persentase

petani di desa Rahayu yang terinfeksi Tinea unguinum dapat

dihitung dengan rumus:


jumlah sampel yang terinfeksi ( )

100%
jumlah sample total

3.10 Jadwal Kegiatan


No

Kegiatan

Bulan
2
3
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1

1
2

Pembuatan proposal
Observasi tempat dan penentuan

responden
Pengambilan korekan kuku petani

4
5
6

(specimen)
Analisis laboratorium
Tabulasi dan intepretasi data
Penyusunan laporan

18

You might also like