You are on page 1of 26

GIZI DAN SINDROM METABOLIK

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Abad ke-20 memang tepat disebut sebagai era modernisasi. Penyakitpenyakit

infeksi

mulai

bergeser

menjadi

penyakit

degeneratif. Sindrom

metabolikmenjadi hal yang patut diwaspadai. Masalahnya, gaya hidup memang


sulit diubah. Gaya hidup makan berlebihan, kurang olah raga, stress, dan serba
mudah menjadi tren masyarakat perkotaan. Para dokter yang bergerak di bidang
sindrom metabolik dan diabetes pun ekstra kerja keras mencari faktor-faktor risiko,
status gizi, dan berbagai variabel penentu pada pasien-pasien ini. Semuanya agar
ditemukan berbagai faktor yang memudahkan seseorang terkena sindrom
metabolic.1)
Pada tahun 1988, Reaven menunjukkan konstelasi faktor risiko pada pasienpasien dengan resistensiinsulin yang dihubungkan dengan peningkatan penyakit
kardiovaskuler yang disebut sebagai sindrom X. Selanjutnya, sindrom X ini
dikenal sebagai sindrom resistensi insulin dan akhirnya sindrom metabolik. 2)

Sindrom resistensi insulin merupakan suatu kondisi dimana terjadi


penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan
sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas. Disfungsi metabolik
ini menimbulkan berbagai kelainan dengan konsekuensi klinik yangs erius berupa
penyakit kardiovaskuler dan diabetes melitus tipe 2, sindrom ovarium polikistik
dan perlemakan hati non alkohol serta penyakit-penyakit lainnya. 2)
Pandemi sindrom metabolik berkembang seiring dengan prevalensi obesitas
yang terjadi pada populasiAsia. Penelitian Soegondo (2004) menunjukkan bahwa
kategori indeks massa tubuh (IMT) obesitas > 25 kg/m2 lebih cocok diterapkan
untuk orang Indonesia, dan pada penelitiannya didapatkan prevalensi sindrom
metabolik adalah 13,13%. Penelitian lain di Depok menunjukkan (2001)
prevalensi sindrom

metabolik

menggunakan

kriteria National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III


(NCEP-III) dengan modifikasi Asian, terdapat pada 25,7% pria dan 25% wanita. 2)
Angka kejadian sindroma metabolik semakin meningkat sejalan
dengan terjadinya modernisasi, perubahan pola makan serta kurangnya aktivitas
fisik. SM merupakan suatu faktor risiko utama terjadinya penyakit kardiovaskular
dan diabetes tipe 2. Beberapa studi retrospektif menunjukkan bahwa individu SM
terkait dengan beberapa keadaan disfungsi dan gangguan patologis
seperti hiperinsulinemia, diabetes, penyakit kardiovaskular, hipertensi, gangguan
imunologis dan terjadinya beberapa jenis kanker. 3)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka disusun rumusan masalah pada makalah
ini yakni :
1. Bagaimana konsep dasar sindrom metabolik?
2. Bagaimana hubungan pola makanan dengan kejadian sindrom metabolik ?
3. Bagaimana hubungan aktivitas fisik terhadap kejadian sindrom metabolik?

4. Bagaimana hubungan konsumsi alkohol terhadap kejadian sindrom


metabolik?
5. Bagaimana pengaruh lingkungan terhadap kejadian sindrom metabolik?
6. Bagaimana pengaruh pelayanan kesehatan terhadap kejadian sindrom
metabolik?
7. Bagaimana kejadian sindrom metabolik di kalangan perokok?
8. Bagaimana pengaruh peningkatan umur dan berat badan dapat meningkatkan
prevalensi sindrom metabolik?
9. Bagaimana hubungan obesitas abdominal dengan sindrom metabolik?
10. Bagaimana peranan glukokortikoid pada sindrom metabolik?
11. Bagaimana hubungan hiperurekemia dengan sindrom metabolik?
12. Bagaimana hubungan sindrom metabolik dengan berbagai penyakit
degenaratif ?
13. Bagaimana hubungan diabetes mellitus tipe 2 dengan kejadian sindrom
metabolik?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui hubungan
gizi dengan sindrom metabolik.
Tujuan Khusus
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1. Konsep dasar sindrom metabolic.
2. Hubungan pola makanan dengan kejadian sindrom metabolic.
3. Hubungan aktivitas fisik terhadap kejadian sindrom metabolic.
4. Hubungan konsumsi alkohol terhadap kejadian sindrom metabolic.
5. Adanya pengaruh lingkungan terhadap kejadian sindrom metabolic.
6. Pengaruh pelayanan kesehatan terhadap kejadian sindrom metabolic.
7. Gambaran kejadian sindrom metabolik di kalangan perokok.
8. Pengaruh peningkatan umur dan berat badan dapat meningkatkan prevalensi
sindrom metabolic.
9. Hubungan obesitas abdominal dengan sindrom metabolic.
10. Peranan glukokortikoid pada sindrom metabolic.
11. Hubungan hiperurekemia dengan sindrom metabolic.
12. Hubungan sindrom metabolik dengan berbagai penyakit degenaratif.
13. Hubungan diabetes mellitus tipe 2 dengan kejadian sindrom metabolic.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi Penulis
Dengan adanya makalah ini, maka penulis dapat mengetahui lebih jauh
mengenai sindrom metabolic.
2. Bagi Pembaca
Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat mengetahui seluk beluk sindrom
metabolik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Sindrom Metabolik
Sindrom resistensi insulin merupakan suatu kondisi dimana terjadi
penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan
sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas. Disfungsi metabolik
ini menimbulkan berbagai kelainan dengan konsekuensi klinik yangs erius berupa
penyakit kardiovaskuler dan diabetes melitus tipe 2, sindrom ovarium polikistik
dan perlemakan hati non alkohol serta penyakit-penyakit lainnya. 2)
Sindroma metabolik merupakan suatu faktor risiko multipel untuk penyakit
kardioserebrovaskular, dan sindrom ini berkembang melalui kerjasama yang saling
terkait antara obesitas dan kerentanan metabolik. Sindroma ini merupakan salah
satu risiko untuk penyakit kardiovaskular aterosklerotik atherosclerotic
cardiovascular disease (ASCVD).
Sindroma ini pertama kali diamati dan dilaporkan pada tahun 1923 yang
mengkategorikannya sebagai gabungan dari hipertensi, hiperglikemia, dan gout.
Berbagai abnormalitas metabolik lain dikaitkan dengan sindroma ini diantaranya
obesitas, mikroalbuminuria, dan abnormalitas fibribolisis dan koagulasi. Pada

tahun 1998, WHO memperkenalkan istilah sindroma metabolik. Beberapa kriteria


diagnosa untuk menegakkan sindrom ini kemudian dikemukakan diantaranya
kriteria

WHO

dan

kriteria

dari The

Third

Report

of

the

National

Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Tretment Panel III.4)


WHO sendiri menyebutnya dengan nama sindrom metabolic yang di tandai
paling sedikit tiga di antara lima criteria dalam NCEP-ATP III (the National
Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III). Menurut Profesor
Askandar, lingkaran perut yang melebihi 90 cm (pada laki-laki) atau 80 cm (pada
wanita) dengan kadar trigliserida di atas normal (lebih dari 175 mg%) sudah
menunjukkan kemungkinan besar adanya sindrom metabolik. 5)
B. Epidemiologi Sindrom Metabolik
Prevalensi Sindrom Metabolik bervariasi tergantung pada definisi yang
digunakan dan populasi yang diteliti. Berdasarkan data dari the Third National
Health and Nutrition Examination Survey (1988 sampai 1994), prevalensi
sindrom metabolik (dengan menggunakan kriteria NCEP-ATP III) bervariasi dari
16% pada laki-laki kulit hitam sampai 37% pada wanita Hispanik. Prevalensi
Sindrom Metabolik meningkat dengan bertambahnya usia dan berat badan. Karena
populasi penduduk Amerika yang berusia lanjut makin bertambah dan lebih dari
separuh mempunyai berat badan lebih atau gemuk , diperkirakan Sindrom
Metabolik melebihi merokok sebagai faktor risiko primer terhadap penyakit
kardiovaskular. Sindrom metabolik juga merupakan prediktor kuat untuk
terjadinya DM tipe 2 dikemudian hari.6-7)
Laporan yang dipublikasikan oleh NCEP ATP III tahun 2001
memperkirakan bahwa paling kurang 47 juta orang Amerika akan menderita
sindrom metabolik pada tahun 2010. Sedangkan di eropa, berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Hu G et al. pada tahun 2004, ditemukan bahwa
prevalensi sindrom metabolik adalah 15,7% pada pria dan 14,2% pada wanita.
Untuk wilayah mediterania, Ferrannini et al pada tahun 1991 menemukan bahwa
lebih dari 70% orang dewasa memiliki minimal satu karakteristik utama dari
sindrom metabolik. Penelitian yang dilaksananakan oleh ATTICA pada tahun 2006

yang membandingkan 1500 pria dan wanita Yunani, menemukan bahwa prevalensi
sindrom metabolik sebesar 25% pada pria dan 15% pada wanita.8)
Prevalensi sindrom metabolik pada masyarakat Portugis sebesar 27% pada
wanita dan 19% pada pria (Santos AC et al, 2004). Hasil yang hampir sama
ditemukan pula di masyarakat Korea pada penelitian yang dilakukan oleh Oh JY et
al (2004), yaitu prevalensi sindrom metabolik sebesar 29% pada pria dan 17% pada
wanita, sedangkan pada penelitian yang juga dilakukan di Korea oleh Lee WY et al
(2004) menemukan prevalensi sindrom metabolik sebesar 13%. Athyros (2005)
yang meneliti populasi yunani utara, melaporkan bahwa prevalensi sindrom
metabolik pada sampel dengan penyesuaian umur berdasarkan defenisi NCEP ATP
III sebesar 25%, sedangkan menurut defenisi IDF prevalensi sindrom metabolik
sebesar 43%.9)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh John MF Adam (2006) di
kota Makassar, diketahui bahwa prevalensi sindrom metabolik sebesar 19%.
Sedangkan penelitian yang dilakukan di RS Akademis Jaury Yusuf Makassar
menemukan bahwa prevalensi sindrom metabolik sebesar 33,4% dengan total
penderita sebanyak 407 orang. Kelompok usia dengan persentase tertinggi yang
menderita sindrom metabolik di Kota Makassar adalah 4655 tahun yakni 35,9%.
Meskipun demikian usia <>8)
Salah satu faktor gaya hidup yang sangat berkaitan erat dengan kejadian
sindrom metabolik adalah pola konsumsi. Konsumsi karbohidrat merupakan salah
satu faktor yang sangat berpengaruh dalam peningkatan berat badan, obesitas,
diabetes, dan sejumlah penyaktit lainnya. Penting untuk diketahui bahwa
permasalahan seperti ini kemungkinan terkait erat dengan konsumsi karbohidrat
yang salah, misalnya konsumsi karbohidrat sederhana yang tinggi (misalnya gula
pasir), bukan karbohidrat kompleks. Proporsi karbohidrat kompleks yang besar
dalam diet sangat dianjurkan. Diet tinggi serat telah mendapat perhatian besar
dalam beberapa tahun terakhir disebabkan karena hubungannya dengan
peningkatan insiden beberapa gangguan metabolik seperti hipertensi, diabetes,
obesitas, penyakit jantung dan kanker usus. Lemak merupakan istilah umum yang
digunakan untuk minyak, lemak dan lilin. Biasanya intake energi setiap hari
mengandung 30% lemak, akan tetapi tidak boleh lebih dari 10% dari kalori ini
bersumber dari lemak jenuh (hewani). Energi selebihnya seharusnya didapatkan
dari lemak polyunsaturated atau monounsaturated.8)
C. Etiologi Sindrom Metabolik
Etiologi Sindrom Metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu
hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari sindrom metabolik adalah
resistensi insulin. Resistensi insulin mempunyai korelasi dengan timbunan lemak
viseral yang dapat ditentukan dengan pengukuran lingkar pinggang atau waist to
hip ratio. Hubungan antara resistensi insulin dan penyakit kardiovaskular diduga

dimediasi oleh terjadinya stres oksidatif yang menimbulkan disfungsi endotel yang
akan menyebabkan kerusakan vaskular dan pembentukan atheroma. Hipotesis lain
menyatakan bahwa terjadi perubahan hormonal yang mendasari terjadinya obesitas
abdominal. Suatu studi membuktikan bahwa pada individu yang mengalami
peningkatan kadar kortisol didalam serum (yang disebabkan oleh stres kronik)
mengalami obesitas abdominal, resistensi insulin, dan dislipidemia. Para peneliti
juga mendapatkan bahwa ketidakseimbangan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal
yang terjadi akibat stres akan menyebabkan terbentuknya hubungan antara
gangguan psikososial dan infark miokard.9-10)
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan sindroma metabolik, yaitu:
1. Obesitas
Pola hidup barat atau westernized seperti gemar mengonsumsi junk food, makanan
berlemak dan makanan yang manis-manis dalam waktu agak lama akan
mengakibatkan obese, terutama yang berbahaya adalah jenis obesitas abdominal.
Obesitas jenis ini banyak terjadi pada orang Indonesia. Sejatinya lemak disimpan
terutama di jaringan adiposit pada jaringan subkutan dan pada rongga
intraperitoneal, walaupun hati dan jaringan tubuh lainnya sering kali menimbun
cukup lemak pada orang obeses.10)
Lemak mudah ditimbun di daerah perut (peritonium) namun lebih mudah pula
untuk mengalami lipolisis sehingga akan terdapat dalam jumlah besar di peredaran
darah. Komposisi lemak yang tinggi dalam darah memicu timbulnya
atherosklerosis, kecenderungan trombosis dan kelainan kardiovaskuler lain. Pada
stadium tiga mulailah masuk stadium preklinik. Sindroma metabolik pada
umumnya mulai terjadi pada stadium ini. Sampai sekarang obese dianggap sebagai
faktor yang memberikan kontribusi pada tingginya risiko penyakit jantung dan
penyakit metabolik lain yang dikenal dengan sindrom metabolik.11)
2. Pengangkutan dan Penyempitan Lipid
Peristiwa yang dialami unsur-unsur makanan setelah dicerna dan diserap
adalah mengalami metabolisme intermediat. Tapi sebelumnya unsur makanan akan
melalui pengangkutan dan penyimpanan. Yang terjadi pada obese sangat erat
hubungannya dengan gangguan pengangkutan dan penyimpanan lipid. Lipid
adalah senyawa yang sukar larut dalam air, sehingga tubuh memerlukan perantara
yang dapat membuatnya terabsorbsi yaitu apolipoprotein. Apolipoprotein adalah
salah satu bentuk senyawa protein yang sebagian besar diproduksi hati dan

dikhususkan untuk membantu transpor lipid dalam jaringan. Ketika apolipoprotein


telah bergabung dengan lipid maka disebut lipoprotein. Ada 5 jenis lipoprotein
berdasarkan susunan apolipoprotein yang membentuknya.12)
Kilomikron berperan dalam transpor lemak pre-hepar yaitu membantu lemak
terabsorbsi ke dalam mukosa usus halus, selanjutnya ditranspor keatas melalui
duktus torasikus yang bersirkulasi ke hati (Guyton, 2003). VLDL punya peran
penting dalam mentranspor lemak dalam bentuk trigliserida ke jaringan adiposa.
Penumpukan lemak pada adiposa inilah yang menyebabkan seseorang obese
terlihat gemuk. LDL adalah salah satu lipoprotein yang bersifat buruk dalam tubuh,
fungsinya berkaitan dengan pengangkutan kolesterol keluar dari hati. Tingginya
kadar

LDL

merupakan

tanda

buruk

yang

memungkinkan

terjadinya

atherosklerosis. HDL punya fungsi yang berkontradiksi dengan LDL. Jika LDL
membawa kolesterol keluar dari hati, maka HDL membawa kolesterol tadi masuk
ke sirkulasi hati untuk dipecah menjadi ester kolesteril. 12)
3. Tingginya kadar Trigliserid dan Perlemakan Hati
Pada orang obese terjadi akumulasi lemak khususnya trigliserid dalam jumlah
besar di jaringan adiposa. Hal ini disebabkan karena sel-sel hati sudah tidak
mampu menampung cadangan lipid sehingga mobilisasi lipid berlangsung sangat
cepat ke jaringan adiposa. Akumulasi yang ekstensif dianggap sebagai suatu
keadaan patologik (Mayes, 2003). Bila lemak yang telah disimpan dalam jaringan
adiposa hendak digunakan dalam tubuh untuk menghasilkan energi, pertama-tama
lemak harus ditranspor dari jaringan adiposa ke jaringan lain.12)
Lemak ditranspor terutama dalam bentuk asam lemak bebas. Keadaan ini dicapai
dengan hidrolisis trigliserida kembali menjadi asam lemak dan gliserol sewaktu
meninggalkan sel lemak, asam lemak mengalami ionisasi kuat dalam plasma dan
gugus ioniknya segera bergabung dengan molekul albumin protein
plasma. 16)Ketidakseimbangan pada kecepatan pembentukan dan pengeluaran
triasilgliserol menyebabkan perlemakan hati. Perlemakan hati dapat digolongkan

ke dalam 2 kategori utama. Tipe pertama berkaitan dengan kenaikan kadar asam
lemak bebas di dalam plasma darah sebagai akibat dari tingginya kadar trigliserida.
Tipe kedua biasanya disebabkan oleh penyekatan metabolik pada produksi
lipoprotein plasma, yang memungkinkan triasilgliserol terakumulasi. 12)
4. Abnormalitas Kadar HDL dan LDL
Sejumlah penelitian dengan menggunakan VLDL berlabelkan apo B-100 telah
memperlihatkan bahwa VLDL merupakan prekursor IDL, dan IDL adalah
prekursor LDL. Tingginya VLDL yang digunakan untuk memobilisasi lemak
mengakibatkan kadar LDL naik diatas normal. Namun, naiknya kadar LDL tidak
dibarengi dengan naiknya kadar HDL. Yang terjadi justru sebaliknya, ketika
pasokan lemak di hati melebihi normal, VLDL akan disintesis dengan cepat
sehingga apoprotein C dan E berada di bawah kadar normal untuk biosintesis
HDL. Secara tidak langsung dikatakan bahwa konsentrasi HDL bervariasi timbalbalik dengan konsentrasi triasilgliserol plasma dan secara langsung dengan
aktivitas VLDL. 12)
5. Resistensi Insulin
Hasil penelitian menunjukkan orang obese sangat rentan dengan resistensi insulin
yang dapat mengakibatkan Diabetes Melitus tipe 2. Berbeda dengan tipe 1, jika
dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi insulin plasma. Hal ini terjadi sebagai
upaya kompensasi oleh sel beta pankreas terhadap penurunan sensitivitas jaringan
terhadap efek metabolisme insulin, yaitu suatu kondisi yang dikenal sebagai
resistensi insulin. Akan tetapi, mekanisme yang menghubungkan obesitas dengan
resistensi insulin masih belum pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
jumlah reseptor insulin pada orang obese lebih sedikit dibandingkan jumlah
reseptor pada orang kurus. 13) Insulin adalah hormon anabolik dengan berbagai efek
metabolik yang kuat. Secara garis besar dapat dijelaskan bahwa bilamana reseptor
insulin terphosphorilasi segera setelah terjadi ikatan dengan insulin, maka signal
interaksi tersebut akan dilanjutkan melalui dua jalur yang berbeda.
Jalur pertama akan terjadi ikatan dengan protein IRS (insulin receptor
substrate) yaitu IRS-1, dan jalur kedua berikatan dengan Shc (Srchomology and
collagen-like protein) (Bloomgarden Gatot, 2003). Aktifasi kedua komponen
tersebut berikatan dengan protein signal downstream yang sesuai dengan
kebutuhan fisiologis tubuh. Konsekuensi aktifasi komponen intraseluler tersebut
akan mengaktifasi transporter glukosa yang sensitif terhadap insulin yaitu GLUT4,

yang terutama terdapat pada jaringan otot skeletal dan adiposa.14)Dalam keadaan
terjadinya gangguan phosphorilasi reseptor insulin, walaupun ketersediaan insulin
banyak (hiperinsulinemia), maka tetap saja tidak terjadi aktifasi GLUT4 yang
mengakibatkan transporter tersebut tidak dapat mengangkut glukosa masuk ke
dalam jaringan otot (glucose uptake disorder). Keadaan ini disebut sebagai
resistensi insulin.15)
D. Patofisiologi Sindrom Metabolik
Suatu sindrom adalah suatu kumpulan tanda yang secara tipikal terjadi bersamasama. Sindrom semacam ini acapkali berasal dari kesalahan (error) bukan pada
satu organ atau jaringan tunggal, seperti pada infarksi myocardial, sirosis liver,
atau tumor otak, tapi dari control sistemik fungsi dari beberapa organ yang
menolak. 16)
Sindrom metabolic biasanya dianggap mencakup dua symptom utama, resistensi
insulin dan obesitas visceral, dengan penambahan hipertensi dan dislipidemia
dalam bentuk naiknya konsentrasi trigliserida yang bersirkulasi dan partikelpartikel very low concentration of high-density lipoprotein (VLDL) yang kaya
trigliserida dan konsentrasi yang rendah dari partikel high-density
lipoprotein (HDL). 16)
Resistensi Insulin - Dislipidemia
Sindroma metabolik dan diabetes melitus mempunyai kelainan dasar yang
sama, yaitu adanya resistensi insulin. Pada mereka, metabolism lipoprotein sedikit
berbeda dengan mereka yang bukan resistensi insulin. Dalam keadaan normal
tubuh menggunakan glukosa sebagai sumber energy. Namun, pada resistensi
insulin, hormone sensitive lipase di jaringan adipose akan menjadi semakin aktif
sehingga lipolisis trigliserdia di jaringan adipose akan semakin meningkat.
Keadaan ini akan menghasilkan asam lemak bebas (free fatty acid) yang
berlebihan. Asam lemak bebas akan memasuki aliran darah, sebagian akan
digunakan sebagai sumber energy, dan sebagian akan dibawa ke hati sebagai bahan
baku pembentukan trigliserid. Di hati asam lemak bebas akan menjadi trigliserid
kembali dan menjadi bagian dari VLDL. Oleh karena itu VLDL yang dihasilkan
pada keadaan resistensi insulin akan sangat kaya akan trigliserid, disebut VLDL
kaya trigliserid atau VLDL besar. 17)
Dalam sirkulasi trigliserid yang banyak di VLDL akan bertukar dengan
kolesterol ester dari kolesterol-LDL. Hal mana akan menghasilkan LDL yang kaya

akan trigliserid tetapi kurang kolesterol ester deleted LDL). Trigliserid yang
dikandung oleh LDL akan dihidrolisis oleh enzim hepatic lipase yang biasanya
meningkat pada resistensi insulin, sehingga menghasilkan LDL yang kecil tetapi
padat (small dense LDL). Partikel LDL kecil padat ini sifatnya mudah teroksidasi
oleh karena itu sangat aterogenik. Trigliserid VLDL besar juga dipertukarkan
dengan kolesterol ester dari HDL dan menghasilkan HDL miskin kolesterol ester
tapi kaya trigliserid. Kolesterol bentuk demikian lebih mudah dikatabolisme oleh
ginjal sehingga jumlah HDL serum menurun. Oleh karena itu pada resistensi
insulin terjadi kelainan profil lipid serum yang khas yaitu kadar trigliserid tinggi,
kolesterol HDL-rendah, dan meningkatnya subsfraksi LDL kecil padat. 17)
Dislipidemia Atherosklerosis
Dislipidemia yang akan menimbulkan sters oksidatif umum terjadi pada
keadaan resistensi insulin atau sindrom metabolik. Keadaan ini terjadi akibat
gangguan metabolism lipoprotein yang disebut lipid triad, meliputi: 1. Peningkatan
kadar VLDL atau trigliserida, 2. Penurunan kadar kolesterol HDL, 3.
Terbentuknya small denseLDL yang lebih bersifat aterogenik.18)
Penigkatan kadar VLDL, trigliserida, dan small dense LDL kolesterol, serta
penurunan kadar HDL kolesterol yang bersifat anti-aterogenik, anti oksidan, dan
anti inflamasi akan mengurangi cadangan anti oksidan alamiah.18)
Lipoprotein mempunyai fungsi mengangkut lipid ke seluruh tubuh, dimana
LDL terutama berperan dalamtransport apolipoprotein (Apo) B 100; VLDL
berperan dalam transport trigliserid yang mengandung Apo E, sedangkan HDL
berperan dalam mengangkut kembali kolesterol yang mengandung anti inflamasi
dan anti oksidan alamiah, yaitu Apo A. Molekul protein dari lipoprotein ini akan
akan mengalami modifikasi karena proses oksidasi, glikosilasi, dan glikoksidasi
dengan hasil akhir akan terjadi peningkatan stress oksidatif dan terbentuknya
spesies oksigen radikal. Disamping itu, modifikasi lipoprotein akan mengalami
retensi di dalam tunica intima yang memicu terjadinya aterogenesis.18)
HDL membawa lemak keluar sel untuk diuraikan, dan diketahui bersifat
protektif melawan aterosklerosis. Namun, LDL dan VLDL membawa lemak ke
seluruh sel tubuh, termasuk sel endotel arteri. Lipoprotein merembes ke dalam sel
akibatnya kolesterol dan trigliserida dilepaskan ke dalam sel. Di dinding arteri,
oksidasi kolesterol dan trigliserida menyebabkan pembentukan radikal-radikal
bebas yang diketahui merusak sel-sel endotel.19)
Resistensi Insulin Obesitas Sentral
Lipogenesis adalah proses deposisi lemak dan meliputi proses sintesis asam
lemak dan kemudian sintesis trigliserida yang terjadi di dalam hati pada daerah
sitoplasma dan mitokondria dan jaringan adipose. Energy yang berasal dari lemak
dan melebihi kebutuhan tubuh akan tersimpan dalam jaringan lemak. Lipogenesis
dirangsang oleh diet tinggi karbohidrat, namun juga dihambat oleh adanya asam

lemak tak jenuh ganda dan dengan berpuasa. Efek tersebut sebagian diperantarai
oleh hormone yang menghambat (seperti hormone pertumbuhan, leptin) atau
merangsang (seperti insulin) lipogenesis.20)
Insulin mungkin merupakan factor hormonal terpenting yang mempengaruhi
lipogenesis. Insulin menstimulasi lipogenesis dengan cara meningkatkan
pengambilan glukosa di jaringan adipose melalui transporter glukosa menuju
membrane plasma. Insulin juga mengaktivasi enzim lipogenik dan glikolitik
melalui modivikasi kovalen. Efek tersebut dicapai dengan mengikat insulin pada
reseptor insulin di permukaan sel sehingga mengaktivasi kerja tirosin kinase-nya
dang meningkatkan efek downstream melalui fosforilasi tirosin. Insulin juga
mempunyai efek jangka panjang pada gen lipogenik, mungkin melalui factor
transkripsi Sterol Regulatory Element Binding Protein-1 (SREBP-1). Selain itu
insulin menyebabkan SREBP-1 meningkatkan ekspresi dan kerja enzim
glukokinase, dan sebagai akibatnya, meningkatkan konsentrasi metabolit glukosa
yang dianggap menjadi perantara dan efek glukosa pada ekspresi gen lipogenik. 20)
Insulin mempunyai peran penting dalam lipogenesis. Apabila terjadi
resistensi insulin/hiperinsulinemia, maka hal tersebut dapat mengganggu proses
penyimpanan maupun sintesis lemak (lipogenesis). Insulin merangsang terjadinya
lipogenesis, sehingga ketika terjadi hiperinsulinemia, maka insulin akan
merangsang penyimpanan dan sintesis lemak. Peningkatan penyimpanan dan
sintesis lemak tersebut dapat menyebabkan obesitas. 20)
Obesitas disebabkan oleh keseimbangan energi positif, baik oleh
peningkatan intake energi maupun menurunnya output energi, atau keduanya.
Pasien yang diobati dengan glucocorticoid seringkali menjadi obesitas dengan
lokalisasi sentral akibat lemak berlebihan. Pasien semacam itu seringkali
melaporkan rasa lapar yang besar sekali, yang dapat diamati secara objektif di
bangsal-bangsal klinik. Ukuran eksperimen langsung pada manusia
memperlihatkan bahwa dengan pemberian glucocorticoid, level leptin meningkat,
yang diperkirakan akan menurunkan intake makanan melalui induksi satietas
(kepuasan yang berlebih).16)
Bukti menyarankan bahwa kemungkinan bahwa sekresi cortisol pada
kenyataannya dapat terlibat bukan hanya dalam distribusi lemak tubuh ke depot
sentral, tapi juga dapat meningkatkan total massa lemak tubuh melalui peningkatan
intake makanan. Bidang ini menarik minat besar dan seharusnya mendapat
perhatian lebih jauh. Khususnya, diperlukan studi jangka panjang. Cortisol dioversekresi setelah penolakan stres. Bahwa cortisol dapat meningkatkan intake
makanan, memunculkan pertanyaan tentang keberadaan fenomena stres
eating. 16)
Sekelompok subjek dijadikan sasaran test stres laboratorium yang
terstandarisasi, dan diukurlah saliva cortisol. Selanjutnya mereka diizinkan makan

snack, tidak sadar kalau konsumsinya ikut dicatat. Yang dihasilkan kemudian
bahwa mereka yang memperlihatkan peningkatan cortisol selama test stres juga
makan lebih banyak setelahnya. 16)
Ringkasnya, sindrom metabolik dengan peningkatan depot lemak viskeral
seringkali disatukan dengan obesitas yang digeneralisir. Ada kemungkinan bahwa
ini diakibatkan oleh interferensi/gangguan regulasi intake energi secara bersamaan
melalui gangguan neuroendokrin dari sindrom tersebut. Inaktivitas fisik barangkali
merupakan bagian penting dari hal tersebut, karena aktivitas fisik merupakan
pengobatan yang efisien pada sindrom tersebut.16)
Resistensi Insulin Hipertensi
Hubungan antara tekanan darah, obesitas dan insulin hingga kini masih
menjadi bahan perdebatan, dengan hasil-hasil yang kontroversial. Beberapa studi
menunjukkan adanya hubungan antara tekanan darah, resistensi/daya tahan insulin,
dan hiperinsulinemia; beberapa lainnya tidak ditemukan; sementara yang lainnya
menunjukkan hasil-hasil beragam dalam beberapa sub grup.16)
Mekanisme-mekanisme tersebut termasuk meningkatkan retensi-sodium,
tapi gambarannya masih kabur. Terdapat bukti-bukti yang patut dipertimbangkan
bahwa insulin menyebabkan retensi-sodium pada percobaan akut, tapi konsekuensi
pra-asumsi jangka panjang pembesaran volume dengan meningkatnya tekanan
darah nampaknya belum menunjukkan hasil yang meyakinkan. 16)
Hipotesis mekanistis lain adalah bahwa insulin bisa beraksi melalui
rangsangan sistem saraf simpatik pusat. Hipotesis ini sulit dibuktikan pada manusia
karena susahnya mengukur aktivitas sistem saraf simpatik. Misalnya, konsentrasi
plasma atau aliran kencing catecholamine mengukur aktivitas total sistem saraf
simpatik, tapi konsentrasi yang cukup untuk mengatur tekanan darah barangkali
terlalu kecil untuk dideteksi. 16)
Pasien pengidap insulinoma dan meningkatnya tingkat insulin secara
berkesinambungan tidak menjadi hipertensif, dan keberhasilan pembedahan tidak
diikuti dengan perubahan pada tekanan darah. Satu-satunya masalah utama pada
keseluruhan pendekatan ini adalah, kadang-kadang hipertensi primer/utama pada
manusia berkembang melalui beberapa tahap: Meningkatnya aktivitas sistem saraf
simpatik pada tahap awal, dan menghilang pada tahap berikutnya. 16)
Pengaruh faktor-faktor tekanan lingkungan adalah ciri utama patogenik dari
hipertensi utama. Ketika sindrom metabolik dengan resistensi insulin dan
hyperinsulinemia ditambahkan, kemungkinan besar insulin dapat memperkuat
tingginya tekanan darah tinggi dengan insulin sebagai unsur aktif. 16)
Perkembangan terbaru lainnya dari ketertarikan pathogenesis hipertensi pada
sindrom metabolik adalah hubungan antara leptin dengan sistem saraf simpatik.
Leptin dihasilkan utamanya di jaringan adipose dan berkembang pada hewan yang
gemuk dan manusia gemuk, sebanding dengan massa jaringan adipose. Walaupun

awalnya leptin ditemukan tidak hanya meningkatkan kejenuhan melalui reseptor


hypothalamic dan rangsangan thermogenesis, studi-studi terbaru mengindikasikan
bahwa leptin juga mengaktifkan/menggerakkan sebagian sistem saraf simpatik
yang mengatur tekanan darah. 16)
Sistem leptin juga penting bagi regulasi tekanan darah pada manusia, dan
bisa menunjukkan mengapa tidak semua orang gemuk tidak terkena hipertensi.
Sindrom metabolik seringkali digabungkan dengan obesitas, sehingga mekanisme
ini menjadi penting bagi regulasi tekanan darah pada sindrom ini, terutama karena
sistem saraf simpatik pusat dengan jelas dapat dilihat terlibat. 16)
Kesimpulan, jadi ada tiga penjelasan utama hipertensi pada sindrom
metabolik, yaitu meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatik pusat, insulin dan
meningkatnya leptin dari obesitas pendampingan. Faktor pemicu pada tahap awal
hipertensi primer kemungkinan besar seringnya aktivitas sistem saraf simpatik.
Meratanya tinggi hipertensi pada sindrom metabolik dengan obesitas kemungkinan
besar disebabkan oleh efek tambahan meningkatnya leptin dan insulin, dan
rangsangan sistem saraf simpatik pusat. 16)
Resistensi Insulin Diabetes Melitus
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan
tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya
berbentuk biphasic. Sekresi insulin normal yang biphasic ini akan muncul setelah
adanya rangsangan seperti glukosa dari makanan atau minuman. Insulin yang
dihasilkan berfungsi menjaga regulasi glukosa darah agar selalu dalam batas-batas
fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapatkan beban. Kedua fase sekresi
insulin yang berlangsung secara sinkron tersebut, menjaga kadar glukosa darah
normal, sekaligus mencerminkan metabolism glukosa yang fisiologis.21)
Sekresi fase 1 (acute insulin secretion response = AIR) adalah sekresi
insulin yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat
dan berakhir cepat. Sekresi fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang relative
tinggi, karena hal itu memang diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa
darah yang biasanya meningkat tajam, segera setelah makan. Selanjtnya, setelah
sekresi fase 1 berakhir muncul sekresi fase 2 (sustainable phase, latent phase),
dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan bertahan dalam
waktu yang relative lebih lama. Setelah berakhirnya fase 1, tugas pengaturan
glukosa darah selanjutnya diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2
yang berlangsung relative lebih lama, puncaknya (secara kuantitatif) akan
ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa darah di akhir fase 1. Apabila sekresi
fase 1 tidak adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan
sekresi insulin pada fase 2. Hal tersebut terjadi untuk memnuhi kebutuhan tubuh
agar kadar glukosa darah (pascaprandial) tetap dalam batas-batas normal. 21)

Adanya gangguan pada mekanisme kerja insulin, menimbulkan hambatan


dalam utilisasi glukosa serta peningkatan kadar glukosa darah. Secara klinis,
gangguan tersebut dikenal dengan sebutan diabetes melitus. Pada diabetes melitus
tipe 2 (DMT2), gangguan metabolism glukosa disebabkan oleh dua factor, yaitu
tidak adekuatnya sekresi insulin secara kuantitatif (defisiensi insulin) dan kurang
sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin). Gangguan disfungsi
sel beta beta dan resistensi insulin adalah dua factor etiologi yang bersifat bawaan
(genetic). 21)
Gangguan metabolism glukosa yang terjadi, pada mulanya disebabkan oleh
kelainan pada dinamika sekresi insulin. Kelainan tersebut berupa gangguan sekresi
insulin oleh sel beta, dimana sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan
(inadekuat). Defisiensi insulin yang terjadi, menimbulkan dampak buruk terhadap
homeostasis glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia akut
pascaprandial (HAP), yakni peningkatan kadar glukosa darah segera (10-30 menit)
setelah beban glukosa (makan atau minum) atau disebut juga dengan lonjakan
glukosa darah setelah makan. 21)
HAP yang muncul akibat tidak normalnya fase 1, memberi dampak yang
ditimbulkan oleh gangguan fase 2 sekresi insulin. Secara etiologis, HAP pada
gangguan metabolism glukosa sebenarnya bukan semata-mata disebabkan oleh
inadekuatnya sekresi insulin fase 1. Ada satu factor lainnya yang juga ikut
berperan yakni jaringan tubuh subyek bersangkutan yang secara genetic kurang
sensitive (resisten) terhadap insulin. 21)
Secara fisiologis, dampak peningkatan kadar glukosa darah yang diakibatkan
gangguan fase 1, diusahakan mengatasinya oleh fase 2 sekresi insulin. Pada
mulanya, melalui mekanisme kompensasi, bahkan sering overkompensasi, insulin
disekresi secara berlebihan untuk tujuan normalisasi kadar glukosa darah. Dapat
dipahami bahwa lambat laun usaha ini akan berakhir pada tahap kelelahan sel beta
(exhaustion) yang disebut tahap dekompensasi sehingga terjadi defisiensi insulin
secara absolute. Pada tahap akhir ini, metabolism glukosa semakin buruk karena
peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) tidak hanya oleh karena resistensi
insulin, tapi disertai pula oleh kadar insulin yang telah begitu rendahnya. 21)
Dengan berlanjutnya penyakit, tingkat atau derajat resistensi tubuh terhadap
insulin akan semakin tinggi. Resistensi insulin mulai menonjol peranannya
semenjak perubahan atau konversi fase toleransi glukosa terganggu (TGT) menjadi
diabetes mellitus tipe 2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut factor resistensi
insulin mulai dominan sebagai penyebab hiperglikemia serta berbagai kerusakan
jaringan. 21)
Dikatakan bahwa pada saat tersebut factor resistensi insulin mulai dominan
sebagai penyebab hiperglikemia serta berbagai kerusakan jaringan. Kerusakan
jaringan yang terjadi terutama mikrovaskular, meningkat secara tajam pada saat

diabetes. Tingginya tingkat resistensi insulin pada tahap ini dapat terlihat pula dari
peningkatan kadar glukosa darah puasa. Hal tersebut sejalan dengan apa yang
terjadi di jaringan hepar, semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah
kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan
semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar. Hiperglikemia yang terjadi
pada gangguan metabolism glukosa akibat gangguan kinerja insulin (defisiensi dan
resistensi), selanjutnya memberi dampak metabolism dan kerusakan jaringan
lainnya secara langsung atau tidak langsung. 21)
Jadi, perjalanan penyakit diabetes mellitus tipe 2, pada awalnya ditentukan
oleh kinerja fase 1 yang kemudian memberi dampak negative terhadap kinerja fase
2, dan berakibat langsung terhadap peningkatan kadar glukosa darah
(hiperglikemia). Hiperglikemia terjadi tidak hanya disebabkan oleh gangguan
sekresi insulin (defisiensi insulin), tapi pada saat bersamaan juga oleh rendahnya
respons jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin). Gangguan metabolism
glukosa akan berlanjut pada gangguan metabolism lemak dan protein serta proses
kerusakan berbagai jaringan tubuh. 21)

E. Kriteria Sindrom Metabolik


Hingga saat ini ada 3 definisi SM yang telah diajukan, yaitu definisi World
Health Organization (WHO), NCEP ATP-III dan International Diabetes Federation
(IDF). Ketiga definisi tersebut memiliki komponen utama yang sama dengan
penentuan kriteria yang berbeda.22)
Pada tahun 1988, Alberti dan Zimmet atas nama WHO menyampaikan
definisi SM dengan komponen-komponennya antara lain : (1) gangguan
pengaturan glukosa atau diabetes (2) resistensi insulin (3) hipertensi (4)
dislipidemia dengan trigliserida plasma > 150 mg/dL dan/atau kolesterol high
density lipoprotein (HDL-C) <> 0,90; wanita: waist-to-hip ratio > 0,85) dan/atau
indeks massa tubuh (IMT) > 30 kg/m2; dan (6) mikroalbuminuria (Urea Albumin
Excretion Rate > 20 g/min atau rasio albumin/kreatinin > 30 mg/g). SM dapat
terjadi apabila salah satu dari 2 kriteria pertama dan 2 dari empat kriteria terakhir
terdapat pada individu tersebut. 22)
Kriteria diagnosis telah ditetapkan oleh NCEP ATP dan IDF tahun 2005,
namun pada beberapa kasus mungkin ditemukan tingginya LDL dan risiko asam
urat.
Tabel 1.
Kriteria Diagnosis oleh NCEP ATP III dan IDF

Common definitions for metabolic syndrome

Criterion
Abdominal obesity
- Men
- Women
Hypertriglyceridemia
Low HDL
- Men
- Women

> 40 inches
>35 inches

IDF *
(abdominal obesity
plus 2 or more other
criteria)
37 inches
31,5 inches

150 mg/dl

150 mg/dl

<>
<>

<>
<>

NCEP ATP III*


(3 or more criteria)

130/85 mm Hg
Or on
Hypertension
130/85 mm Hg
antihypertensive
medication
110 mg/dL*
Impaired fasting
Or taking insulin or
100 mg/dL
glucose diabetes
hypoglycemic
meditation
Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien SM adalah NCEP-ATP
III, yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang disepakati, antara lain:
lingkar perut pria > 102 cm atau wanita > 88 cm; hipertrigliseridemia (kadar serum
trigliserida > 150 mg/ dL), kadar HDL-C <> 130/85 mmHg; dan kadar glukosa
darah puasa > 110 mg/dL. 22)
Belum ada kesepakatan kriteria sindroma metabolik secara internasional,
sehingga terdapat beberapa definisi yang sering digunakan. Berikut ini adalah
gambaran perbedaan tiga defenisi yang sering digunakan :
Tabel 2
Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik menurut WHO (World Health
Organization) dan NCEP-ATP III (the National Cholesterol Education
Program- Adult Treatment Panel III)

Komponen

Kriteria diagnosis
WHO:
Resistensi insulin
plus :

Kriteria diagnosis ATP


III :
3 komponen dibawah
ini

Obesitas
abdominal/ sentral

Waist to hip ratio :


Laki2 : > 0.90;
Wanita : > 0.85, atau
IMB > 30 kg/m2

Hipertrigliseridemia 150 mg/dl ( 1.7


mmol/L)
HDL Cholesterol
<>
<>
Hipertensi

Lingkar pinggang :
Laki2 : > 102 cm (40
inchi)
Wanita : > 88 cm (35
inchi)
150 mg/dl ( 1.7
mmol/L)
<>
<>

TD 140/90 mmHg
TD 130/85 mmHg
atau riwayat terapi
atau riwayat terapi
anti hipertensif
anti hipertensif
Kadar glukosa
Toleransi glukosa
110 mg/dl atau 6.1
darah tinggi
terganggu, glukosa
mmol/L
puasa terganggu,
resistensi insulin
atau DM
Mikroalbuminuri
Ratio albumin urin
dan kreatinin 30
mg/g atau laju
ekskresi albumin 20
mcg/menit
F. Cara Diagnosis Sindrom Metabolik
Hingga saat ini ada 3 definisi SM yang telah diajukan, yaitu definisi World
Health Organization (WHO), NCEP ATP-III dan International Diabetes Federation
(IDF). Ketiga definisi tersebut memiliki komponen utama yang sama dengan
penentuan kriteria yang berbeda. Pada tahun 1988, Alberti dan Zimmet atas nama
WHO menyampaikan definisi SM dengan komponenkomponennya antara lain : (1)
gangguan pengaturan glukosa atau diabetes (2) resistensi insulin (3) hipertensi (4)
dislipidemia dengan trigliserida plasma > 150 mg/dL dan/atau kolesterol high
density lipoprotein (HDL-C) <> 0,90; wanita: waist-to-hip ratio > 0,85) dan/atau
indeks massa tubuh (IMT) > 30 kg/m2; dan (6) mikroalbuminuria (Urea Albumin
Excretion Rate > 20 g/min atau rasio albumin/kreatinin > 30 mg/g). SM dapat
terjadi apabila salah satu dari 2 kriteria pertama dan 2 dari empat kriteria terakhir
terdapat pada individu tersebut.22)
Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien SM adalah NCEP-ATP
III, yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang disepakati, antara lain:

lingkar perut pria > 102 cm atau wanita > 88 cm; hipertrigliseridemia (kadar serum
trigliserida > 150 mg/ dL), kadar HDL-C <> 130/85 mmHg; dan kadar glukosa
darah puasa > 110 mg/dL. 22)
Suatu kepastian fenomena klinis yang terjadi yaitu obesitas sentral menjadi
indikator utama terjadinya SM sebagai dasar pertimbangan dikeluarkannya
diagnosis terbaru oleh IDF tahun 2005. Seseorang dikatakan menderita SM bila
ada obesitas sentral (lingkar perut > 90 cm untuk pria Asia dan lingkar perut > 80
cm untuk wanita Asia) ditambah 2 dari 4 faktor berikut : (1) Trigliserida > 150
mg/dL (1,7 mmol/L) atau sedang dalam pengobatan untuk hipertrigliseridemia; (2)
HDL-C: <> 130 mmHg atau diastolik > 85 mmHg atau sedang dalam pengobatan
hipertensi; (4) Gula darah puasa (GDP) > 100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau diabetes
tipe 2. Hingga saat ini masih ada kontroversi tentang penggunaan kriteria indikator
SM yang terbaru tersebut. 22)

G. Evaluasi Klinik Sindrom Metabolik


Terhadap individu yang dicurigai mengalami Sindrom Metabolik hendaklah
dilakukan evaluasi klinis, yang meliputi :23-24)
1. Anamnesis, tentang :
a. Riwayat keluarga dan penyakit sebelumnya.
b. Riwayat adanya perubahan berat badan.
c. Aktifitas fisik sehari-hari.
d. Asupan makanan sehari-hari
2. Pemeriksaan fisik, meliputi :
a. Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah
b. Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) , menggunakan rumus :

c. Pengukuran lingkaran pinggang merupakan prediktor yang lebih baik


terhadap risiko kardiovaskular daripada pengukuran waist-to-hip ratio.
3. Pemeriksaan laboratorium, meliputi :
a. Kadar glukosa plasma dan profil lipid puasa.
b. Pemeriksaan klem euglikemik atau HOMA (homeostasis model
assessment) untuk menilai resistensi insulin secara akurat biasanya hanya
dilakukan dalam penelitian dan tidak praktis diterapkan dalam penilaian
klinis.
c. Highly sensitive C-reactive protein
d. Kadar asam urat dan tes faal hati dapat menilai adanya NASH.
e. USG abdomen diperlukan untuk mendiagnosis adanya fatty liver karena
kelainan ini dapat dijumpai walaupun tanpa adanya gangguan faal hati.

H. Penatalaksanaan Sindrom Metabolik


Saat ini belum ada studi acak terkontrol yang khusus tentang
penatalaksanaan Sindrom Metabolik. Berdasarkan studi klinis, penatalaksanaan
agresif terhadap komponen-komponen Sindrom Metabolik dapat mencegah atau
memperlambat onset diabetes, hipertensi dan penyakit kardiovaskular. Semua
pasien yang didiagnosis dengan Sindrom Metabolik hendaklah dimotivasi untuk
merubah kebiasaan makan dan latihan fisiknya sebagai pendekatan terapi utama.
Penurunan berat badan dapat memperbaiki semua aspek Sindrom Metabolik,
mengurangi semua penyebab dan mortalitas penyakit kardiovaskular. Namun
kebanyakan pasien mengalami kesulitan dalam mencapai penurunan berat badan.
Latihan fisik dan perubahan pola makan dapat menurunkan tekanan darah dan
memperbaiki kadar lipid, sehingga dapat memperbaiki resistensi insulin.25)
1. Latihan Fisik :
Otot rangka merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap insulin
didalam tubuh, dan merupakan target utama terjadinya resistensi insulin. Latihan
fisik terbukti dapat menurunkan kadar lipid dan resistensi insulin didalam otot
rangka. Pengaruh latihan fisik terhadap sensitivitas insulin terjadi dalam 24 48
jam dan hilang dalam 3 sampai 4 hari. Jadi aktivitas fisik teratur hendaklah
merupakan bagian dari usaha untuk memperbaiki resistensi insulin. Pasien
hendaklah diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan derajat aktifitas
fisiknya. Manfaat paling besar dapat diperoleh bila pasien menjalani latihan fisik
sedang secara teratur dalam jangka panjang. Kombinasi latihan fisik aerobik dan
latihan fisik menggunakan beban merupakan pilihan terbaik. Dengan
menggunakan dumbbell ringan dan elastic exercise band merupakan pilihan
terbaik untuk latihan dengan menggunakan beban. Jalan kaki dan jogging selama 1
jam perhari juga terbukti dapat menurunkan lemak viseral secara bermakna pada
laki2 tanpa mengurangi jumlah kalori yang dibutuhkan.23,24)
2. Diet
Sasaran utama dari diet terhadap Sindrom Metabolik adalah menurunkan
risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus. Review dari Cochrane
Database mendukung peranan intervensi diet dalam menurunkan risiko penyakit
kardiovaskular. Bukti-bukti dari suatu studi besar menunjukkan bahwa diet rendah
sodium dapat membantu mempertahankan penurunkan tekanan darah. Hasil2 dari
studi klinis diet rendah lemak selama lebih dari 2 tahun menunjukkan penurunan
bermakna dari kejadian komplikasi kardiovaskular dan menurunkan angka
kematian total.23)
The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC

7) merekomendasikan tekanan darah sistolik antara 120 139 mmHg atau diastolik
80 89 mmHg sebagai stadium pre hipertensi, sehingga modifikasi gaya hidup
sudah mulai ditekankan pada stadium ini untuk mencegah penyakit kardiovaskular.
Berdasarkan studi dari the Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH),
pasien yang mengkonsumsi diet rendah lemak jenuh dan tinggi karbohidrat
terbukti mengalami penurunan tekanan darah yang berarti walaupun tanpa disertai
penurunan berat badan.
Penurunan asupan sodium dapat menurunkan tekanan darah lebih lanjut atau
mencegah kenaikan tekanan darah yang menyertai proses menua. Studi dari the
Coronary Artery Risk Development in Young Adults mendapatkan bahwa
konsumsi produk2 rendah lemak dan garam disertai dengan penurunan risiko
sindrom metabolik yang bermakna. Diet rendah lemak tinggi karbohidrat dapat
meningkatkan kadar trigliserida dan menurunkan kadar HDL kolesterol, sehingga
memperberat dislipidemia. Untuk menurunkan hipertrigliseridemia atau
meningkatkan kadar HDL kolesterol pada pasien dengan diet rendah lemak, asupan
karbohidrat hendaklah dikurangi dan diganti dengan makanan yang mengandung
lemak tak jenuh (monounsaturated fatty acid = MUFA) atau asupan karbohidrat
yang mempunyai indeks glikemik rendah. Diet ini merupakan pola
diet Mediterrania yang terbukti dapat menurunkan mortalitas penyakit
kardiovaskular. Suatu studi menunjukkan adanya korelasi antara penyakit
kardiovaskular dan asupan biji-bijian dan kentang. Para peneliti
merekomendasikan diet yang mengandung biji-bijian, buah-buahan dan sayuran
untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Efek jangka panjang dari diet
rendah karbohidrat belum diteliti secara adekuat, namun dalam jangka pendek,
terbukti dapat menurunkan kadar trigliserida, meningkatkan kadar HDLcholesterol dan menurunkan berat badan.24)
Pilihan untuk menurunkan asupan karbohidrat adalah dengan mengganti
makanan yang mempunyai indeks glikemik tinggi dengan indeks glikemik rendah
yang banyak mengandung serat. Makanan dengan indeks glikemik rendah dapat
menurunkan kadar glukosa post prandial dan insulin.24)
3. Edukasi
Dokter-dokter keluarga mempunyai peran besar dalam penatalaksanaan
pasien dengan Sindrom Metabolik, karena mereka dapat mengetahui dengan pasti
tentang gaya hidup pasien serta hambatan-hambatan yang dialami mereka dalam
usaha memodifikasi gaya hidup tersebut. Dokter keluarga juga diharapkan dapat
mengetahui pengetahuan pasien tentang hubungan gaya hidup dengan kesehatan,
yang kemudian memberikan pesan-pesan tentang peranan diet dan latihan fisik
yang teratur dalam menurunkan risiko penyulit dari Sindrom Metabolik. Dokter
keluarga hendaklah mencoba membantu pasien mengidentifikasi sasaran jangka
pendek dan jangka panjang dari diet dan latihan fisik yang diterapkan. Pertanyaan-

pertanyaan seperti : Bagaimana pendapat anda apakah diet dan latihan fisik yang
diterapkan dapat mempengaruhi kesehatan anda ? atau Permasalahan apa yang
anda hadapi dalam mencoba menerapkan perubahan diet atau aktifitas fisik ? ,
dapat membantu dokter keluarga dalam menerapkan langkah-langkah berikutnya
terhadap masing-masing pasien. Jawaban pasien hendaklah dicatat dalam rekam
medik dan direview pada kunjungan berikutnya. Hal ini dapat membantu dokter
mengidentifikasi adanya hambatan2 dalam menerapkan perubahan gaya hidup.24,25)
4. Farmakoterapi :
Terhadap pasien-pasien yang mempunyai faktor risiko dan tidak dapat
ditatalaksana hanya dengan perubahan gaya hidup, intervensi farmakologik
diperlukan untuk mengontrol tekanan darah dan dislipidemia. Penggunaan aspirin
dan statin dapat menurunkan kadar C-reactive protein dan memperbaiki profil lipid
sehingga diharapkan dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Intervensi
farmakologik yang agresif terhadap factor-faktor risiko telah terbukti dapat
mencegah penyulit kardiovaskular pada penderita DM tipe 2.25)
Jika ternyata olahraga dan diet tidak cukup optimal untuk mengobati
sindrom metabolik, maka mau tidak mau pada bagian inilah obat-obatan
diperlukan. Jika ternyata Anda memilki gejala-gejala sindrom metabolik maka,
diskusi terperinci diperlukan antara pasien dengan dokter, dikarenakan pengobatan
untuk tiap pasien sifatnya unik, dan yang terpenting adalah kepatuhan pasien
dalam menjalankan terapi, karena terapi ini sifatnya berkelanjutan, komunikasi
antara dokter dan pasien mutlak diperlukan, misalkan saja mengenai pemilihan
obat, menyangkut harga dan efek samping yang mungkin terjadi.26)

I. Pencegahan Sindrom Metabolik


The US Preventive Services Task Force merekomendasi konsultasi diet intensif
terhadap pasien-pasien dewasa yang mempunyai factor-faktor risiko untuk
terjadinya penyulit kardiovaskular. Para dokter keluarga lebih efektif dalam
membantu pasien menerapkan kebiasaan hidup sehat. The Diabetes Prevention
Program telah membuktikan bahwa intervensi gaya hidup yang ketat pada pasien
prediabetes dapat menghambat progresivitas terjadinya diabetes lebih dari 50% (
dari 11% menjadi 4,8%).25)
Tips untuk pencegahan sindrom metabolik, antara lain: 26)
a. Olahraga secara teratur sepanjang hidup kita, supaya tidak bosan cobalah
untuk mengikut sertakan keluarga, tetangga, rekan kerja, jika perlu ikutlah
klub olahraga di sekitar rumah Anda
b. Memberi dukungan kepada putra dan putri Anda untuk memiliki aktivitas
fisik tiap harinya, berikanlah pilihan permainan yang memerlukan aktivitas
fisik, seperti outbond, dll. Jangan lupa untuk selalu memilih makanan sehat.

c. Mengkonsumsi makanan sehat, seimbang gizi, hindari lemak jenuh,


perbanyak mengkonsumsi sayuran dan buah.
d. Hentikan kebiasaan merokok.
e. Kenali diri Anda, apakah Anda memiliki kecenderungan secara genetic
(keturunan) terkena penyakit diabetes, penyakit jantung, dan sindrom
metabolik
f. Usahakan melakukan medical check-up secara teratur dan terapi secara dini
tekanan darah bila Anda menderita tekanan darah tinggi.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kami ambil dari makalah ini antara lain:
a. Sindrom resistensi insulin merupakan suatu kondisi dimana terjadi penurunan
sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan
sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas.
b. Penelitian yang dilakukan di RS Akademis Jaury Yusuf Makassar
menemukan bahwa prevalensi sindrom metabolik sebesar 33,4% dengan
total penderita sebanyak 407 orang.
c. Penyebab dari sindrom metabolik adalah penurunan sensitivitas insulin yang
kemudian menyebabkan terjadinya resistensi insulin.
d. Salah satu faktor terbesar yang mengakibatkan sindrom metabolik itu adalah
cacat di metabolisme glukosa, penolakan terhadap insulin mengakibatkan
pengeluaran insulin berlebihan untuk mengregulasikan gula darah
e. Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien SM adalah NCEP-ATP
III, yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang disepakati,
antara lain: lingkar perut pria > 102 cm atau wanita > 88 cm;
hipertrigliseridemia (kadar serum trigliserida > 150 mg/ dL), kadar HDL-C
<> 130/85 mmHg; dan kadar glukosa darah puasa > 110 mg/dL.
f. Ada beberapa factor resiko dari sindrom metabolik, yaitu kegemukan, kadar
gula darah tinggi, tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tidak normal,
trigliserida, serta kolesterol HDL.
g. Evaluasi klinis sindrom metabolik dapat dilakukan dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
h. Penatalaksanaan sindrom metabolik dapat dilakukan dengan latihan fisik,
pengaturan diet, edukasi, farmakoterapi.

i. Sindrom metabolik dapat dicegah melalui olahraga, mengkonsumsi makanan


sehat, menghentikan merokok, serta melakukan medical check-up secara
teratur.
B. Saran
a. Perlu adanya penelitian lebih banyak mengenai kejadian sindrom metabolik.
b. Perlu ditingkatkan penyuluhan atau edukasi terhadap masyarakat mengenai
sindrom metabolic ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Waspadji, dkk, Pengkajian Status Gizi, Studi Epidemiologi, Dikutip


dari http://www.perkeni.net/index.php?page=buletin_mengamati_status_gizi.
Akses tanggal 15 Februari 2009.
2. Soegondo, S. & Reno Gustaviani, 2006, Sindrom Metabolik, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV, Editor oleh: Aro W. Sudoyo, dkk, Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
3. Gatot, S.L 2005, Sindrom metabolik merupakan manifestasi dari keadaan
inflamasi,
Unhas,
Vol.
26,
no.
21,Dikutip
dari http://forstuma.blogspot.com/2009/01/review-sindrom-metabolik.html.
Akses 15 Februari 2009
4. Erpinz, Sindrom Metabolik dan Stroke, Bethesda Stroke Center Literatur,
Dikutip
darihttp://www.strokebethesda.com/index2.php?option=com_content&do_pdf
=1&id=107 , Akses 15 Februari 2009.
5. Hartono, A., 2006, Terapi Gizi & Diet Rumah Sakit, editor: Monica Ester.--Ed.2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
6. Ford ES, Giles WH. A comparison of the prevalence of the metabolic syndrome
using two proposed definitions. Diabetes Care 2003;26:575-81. Dikutip
dari http://dokter-alwi.com/sindrommetabolik.html. Akses 27 Februari 2009.
7. Ford ES, Giles WH, Dietz WH. Prevalence of the metabolic syndrome among
U.S.
adults:
findings
from the
Third
National Health
and
Nutrition Examination
Survey.
JAMA
2002;287:356-9.
Dikutip
darihttp://dokter-alwi.com/sindrommetabolik.html. Akses 27 Februari 2009.
8. WHO Study Group, 2003. Diet, nutrition, and the prevention of chronic
diseases. Geneva, Switzerland,World Health Organization, Technical Report
Series, 916.

9. Alberti KG, Zimmet PZ. Definition, diagnosis and classification of diabetes


mellitus and its complications. Part 1: diagnosis and classification of diabetes
mellitus, provisional report of a WHO consultation. Diabet Med 1998;15:53953. Dikutip dari http://dokter-alwi.com/sindrommetabolik.html. Akses 27
Februari 2009.
10. Bjorntorp P. Heart and soul: stress and the metabolic syndrome. Scand
Cardiovasc
J
2001;35:172-7. Dikutip
dari http://dokteralwi.com/sindrommetabolik.html. Akses 27 Februari 2009.
11. Wira S. et al, 2006, Hubungan antara obesitas sentral dengan adenopektin
pada pasien geritari dengan penyakit jantung koroner, Google, Vol. 7, no. 2,
dilihat
tanggal
20
Desember
2008,
Dikutip
darihttp://forstuma.blogspot.com/2009/01/review-sindrom-metabolik.html.
Akses 15 Februari 2009.
12. Granner, DK, Mayes, PA, Murray, RK, & Rodwell, VW 2003, Biokimia
harper, edisi 25, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Dikutip
dari http://forstuma.blogspot.com/2009/01/review-sindrom-metabolik.html.
Akses 15 Februari 2009.
13. Guyton, A.C and Hall, J.E 2003, Buku ajar fisiologi kedokteran, edisi 11,
Penerbit
Buku
Kedokteran
EGC,
Jakarta. Dikutip
dari http://forstuma.blogspot.com/2009/01/review-sindrom-metabolik.html.
Akses tanggal 15 Februari 2009.
14. Bloomgarden, Z.T 2003, Inflammation and Insulin Resistance (Part I of II),
Diabetes
Care,
vol.
26,
hh.
1619-1623. Dikutip
dari http://forstuma.blogspot.com/2009/01/review-sindrom-metabolik.html.
Akses 15 Februari 2009.
15. Gatot, S.L 2005, Sindrom metabolik merupakan manifestasi dari keadaan
inflamasi,
Unhas,
Vol.
26,
no.
21,Dikutip
dari http://forstuma.blogspot.com/2009/01/review-sindrom-metabolik.html.
Akses 15 Februari 2009.
16. Per Bjorntorp, Etiology of The Syndrome Metabolic, Handbook of Obesity
Etiology and Pathophysiology Second Edition, Editor oleh: George A. Bray %
Claude Bouchard, Marcel Dekker, Inc., New York.
17. Adam, J. MF., 2006, Dislipidemia, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi IV, Editor oleh: Aro W. Sudoyo, dkk, Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
18. Shahab, A., 2006, Komplikasi Kronik DM Jantung Koroner, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV, Editor oleh: Aro W. Sudoyo, dkk, Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

19. Corwin, E.J., 1997, Buku Saku Patofisiologi, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
20. Sugondo, S., 2006, Obesitas, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi
IV, Editor oleh: Aro W. Sudoyo, dkk, Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
21. Manaf, A., 2006, Insulin: Mekansime Sekresi dan Aspek Metabolisme, Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV, Editor oleh: Aro W. Sudoyo, dkk,
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
22. Sartika, RC., 2006. Penanda Inflamasi, Stres Oksidatif, dan Disfungsi Endotel
pada Sindrom Metabolik. Forum Diagnosticum 2006. 2: 0854-7173.
23. Lopez-Candales A. Metabolic syndrome X: a comprehensive review of the
pathophysiology and recommended therapy. J Med 2001;32:283-300. Dikutip
dari http://dokter-alwi.com/sindrommetabolik.html. Akses 27 Februari 2009.
24. Hark L, Deen D Jr. Taking a nutrition history: a practical approach for family
physicians. Am Fam Physician 1999;59:1521-8,1531-2. Dikutip
dari http://dokter-alwi.com/sindrommetabolik.html. Akses 27 Februari 2009.
25. Deen D. Metabolic Syndrome : Time of Action. Am Fam Physician 2004;69:
2875-82. Dikutip darihttp://dokter-alwi.com/sindrommetabolik.html. Akses 27
Februari 2009.
26. Melani, S. N., 2008, Mengenal Lebih Dekat Sindrom Metabolik, Dikutip
darihttp://bandungadvertiser.com/bos/index.php?option=com_content&task=vi
ew&id=563&Itemid=218. Akses 27 Februari 2009

You might also like