You are on page 1of 29

I.

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Daerah pantai yang sering disebut sebagai wilayah pesisir merupakan
wilayah yang saling mempengaruhi antara lingkungan daratan dan lingkungan
lautan, yang masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan
perembesan air laut. Sedangkan kearah laut dibatasi oleh pengaruh proses alami
terhadap lingkungan di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar yang
disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan
pencemaran (Dahuri et al, 1996). Karena itu wilayah pesisir sangat rentan
terhadap perubahan kondisi lingkungan baik yang berasal dari darat maupun dari
laut. Salah satu perubahan dari kondisi lingkungan yang mengancam keberadaan
wilayah pesisir adalah adanya kenaikan muka air laut yang merupakan isu utama
yang sering dibahas belakangan ini.
Kota Semarang yang merupakan Ibukota Propinsi Jawa Tengah secara
topografi Kota Semarang terdiri atas daerah pantai, dataran rendah dan
perbukitan. Daerah pantai merupakan kawasan di bagian Utara yang berbatasan
langsung dengan Laut Jawa dengan kemiringan antara 0% sampai 2%, daerah
dataran rendah merupakan kawasan di bagian Tengah, dengan kemiringan antara 2
15 %, daerah perbukitan merupakan kawasan di bagian Selatan dengan
kemiringan antara 15 40% dan beberapa kawasan dengan kemiringan diatas
40% (Bappeda Kota Semarang, 2000).
Saat ini daerah pesisir Semarang sering terjadi banjir saat air laut pasang.
Banjir atau genangan yang dikenal dengan nama rob tersebut menggenangi
daerah-daerah yang lebih rendah dari muka air laut pada saat pasang tertinggi atau
High Highest Water Level (HHWL). Berdasarkan kondisi di lapangan, dari tahun
ke tahun banjir rob bertambah tinggi dan cakupanya semakin luas. Buktinya
dahulu rob hanya terjadi di Semarang Utara atau daerah sekitar pantai Semarang

kini telah meluas hingga Stasiun Kereta Api Tawang dan Pasar Johar (Astuti,
2001).
Untuk mengetahui serta melihat dampak kenaikan muka laut yang akan
terjadi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara spasial. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan metode Sistem Informasi Geografi
yang memanfaatkan data spasial untuk membangun model (spasial) sesuai dengan
kondisi sebenarnya. Selanjutnya dengan model DEM nantinya akan diberikan
formula untuk skenario daerah rawan genangan rob yang dipengaruhi oleh
kenaikan muka laut saja dan DEM yang dipengaruhi kenaikan muka laut
ditambah penurunan permukaan tanah. Data DEM dibuat dari titik tinggi yang
diinterpolasikan. Pemilihan pembuatan model disini untuk menggambarkan
kondisi topografi semarang secara spasial dan temporal karena model merupakan
prototipe atau tiruan keadaan alam yang sebenarnya.
Pada penelitian ini dibuat simulasi model atau predikisi genangan rob
terjauh sampai tahun 2020 yang diakibatkan oleh kenaikan muka air laut dan
penurunan muka tanah, dengan batasan penelitian yaitu dari Semarang Barat
hingga Semarang Timur.
I.2. Pendekatan masalah
Kondisi topografi Semarang cenderung landai dengan kemiringan 0 2 %
dengan sebagian besar wilayahnya hampir sama tingginya dengan permukaan laut
bahkan di beberapa tempat berada di bawahnya (BAPPEDA, 2002). Apabila
kondisi muka laut laut terus bertambah dan daratan menurun secara berkala, maka
akan menyebabkan tergenangnya suatu daerah, hal ini akan menjadi masalah baru
bagi kota Semarang selain banjir kiriman. Banjir air pasang merupakan suatu
kejadian yang disebabkan oleh kenaikan muka air laut secara global. Adanya
pasang naik dan pasang surut akan mempengaruhi kondisi genangan yang terjadi.
Banyak opini muncul mengenai penyebab banjir rob tersebut. Salah satunya
adalah kenaikan muka laut rata-rata atau mean sea level akibat global warming.
Fenomena pemanasan global yang disebabkan kontribusi rumah kaca berlebih ini
memberikan dampak yang cukup serius bagi iklim dunia.

Kondisi rob di Semarang diperparah dengan adanya penurunan permukaan


tanah di Semarang. Menurut sejumlah pakar penurunan permukaan tanah (land
subsidence) juga mempunyai andil dalam perluasan genangan rob tersebut.
Penurunan permukaan tanah merupakan fenomena alami karena adanya
konsolidasi tanah akibat pematangan lapisan tanah yang masih muda di Semarang
bawah. Apabila kondisi ini terus berlangsung (sea level rise dan land subsidence)
dikhawatirkan genangan rob akan semakin meluas. Dampak lanjutan yang akan
ditimbulkan menurut sejumlah pakar adalah meningkatnya laju erosi, perubahan
kondisi ekosistem pantai, mundurnya garis pantai, meningkatnya kerusakan
bangunan di dekat pantai dan terganggunya aktivitas penduduk di daerah
pemukiman, pertambakan dan perindustrian.Dengan alasan tersebut diatas maka
dirasa sangatlah penting dilakukan penelitian ini dimana dapat diketahui seberapa
luas daerah yang akan tergenang rob dari tahun 2013 sampai tahun 2020 baik
yang disebabkan oleh kenaikan muka laut atau pun penurunan muka tanah,
sehingga dapat disusun suatu rencana untuk menanggulangi atau mengurangi
dampak yang ditimbulkan oleh rob tersebut.
I.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tujuan dari penelitian ini untuk membangun model data spasial yang dapat
memberikan ilustrasi dampak kenaikan muka air laut dan penurunan tanah
terhadap perubahan luas genangan rob terjauh yang terbentuk pada tahun 20132020.
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi daerah rawan
penambahan genangan hingga tahun 2020 serta dapat digunakan untuk membantu
dalam memutuskan rencana pembangunan kedepan Kota Semarang secara umum,
dan dapat digunakan sebagai masukan terhadap upaya mitigasi terhadap
genangan.

I.4.

Batasan Masalah
Pada penelitian ini diterapkan penyederhanaan dan asumsi terhadap model
daerah genangan, diantaranya adalah :

a.

Data pasang surut yang digunakan untuk menghitung tren perubahan adalah
data perekaman pasang surut selama 5 tahun (2008-2013). Untuk kemudian
rata-rata perubahan tersebut tambahkan dengan data sekunder pasang surut
dari tahun 1985 untuk mendapatkan data pasang surut dalam rentang waktu
yang panjang (23 tahun).

b.

Data land subsidence yang adalah hasil pengukuran tahun 2011 yang
digunakan untuk menggambarkan kondisi penurunan saat ini (2013). Besar
penurunan yang terjadi dianggap konstan, meskipun pada kondisi nyata
penurunan akan mengalami titik jenuh setelah sekian lama menurun, tanah
yang mengalami penurunan akan termampatkan dan akhirnya menjadi
stabil.

c.

Genangan terjauh yang terbentuk dianggap hanya karena adanya pasang


tertinggi dan kenaikan muka laut, serta tidak menghitung pengaruh
hidrologi alamiah dari kawasan tergenang.

1.5

Lokasi dan Waktu


Penelitian ini akan dilaksanakan di Kota Semarang pada bulan September Nopember 2013 dengan batasan wilayah Kota Semarang Barat Semarang Timur
dan wilayah genangan rob terjauh yang tergenang pada saat ini.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Pasang Surut


2.2.1. Pengertian Pasang Surut
Pasang surut atau disingkat sebagai pasut merupakan salah satu gejala
alam yang tampak nyata di laut, yakni suatu gerakan vertikal dari seluruh
partikel massa air laut dari permukaan sampai bagian terdalam dari dasar
laut (Wibisono,2005).
Menurut Hamzah (2002), pasang surut adalah Fenomena naik
turunnya muka air laut terhadap suatu datum atau benchmark, diakibatkan
oleh pengaruh gaya tarik bulan, matahari dan benda benda langit lainnya
serta dimodifikasi oleh faktor faktor lokal seperti bentuk garis pantai,
topografi dasar laut dan efek meteorologis. Rahardjo dan Pariwono (1982)
menambahkan bahwa pasang surut adalah gerakan naik turun (vertikal)
yang disertai dengan gerakan mendatar (horisontal) yang tertentu pula.
Gerakan mendatar disebut pula dengan gerakan arus pasang surut.
Permukaan air laut perlahanlahan naik sampai pada ketinggian
maksimum, peristiwa ini dinamakan pasang tinggi (high water), kemudian
turun sampai ketinggian minimum yang disebut pasang rendah (low water).
Perbedaan ketinggin antara pasang tinggi dan pasang rendah dikenal sebagai
tinggi pasang (tidal range) (Hutabarat dan Evans,1985).
Tinggi pasang surut adalah jarak vertikal antara air tertingi (puncak air
pasang) dan air terendah (lembah surut) yang berurutan. Periode pasang
surut adalah waktu yang diperlukan dari posisi muka air pada muka air
rerata ke posisi yang sama berikutnya seperti terlihat pada Gambar 2.1.
Periode pasang surut selama 12 jam 25 menit atau 24 jam 50 menit
tergantung tipe pasang surut (Triatmodjo, 1999).

Pasang surut adalah naik turunnya permukaan laut secara periodik


selama interval waktu tertentu. Pasang surut merupakan faktor lingkungan
paling penting yang mempengaruhi zona intertidal (Nybakken, 1986).

Gambar 2. 1. Kurva pasang surut (Sumber Triatmodjo, 1999)


2.2.2. Tipe Pasang Surut
Tipe pasang surut di setiap tempat pada permukaan bumi tidak selalu
sama di mana sangat tergantung dari posisi tempat yang bersangkutan serta
topografi dasar lautanya. Variasi harian dari rentang pasang surut berubah
secara sistematis terhadap siklus bulan. Rentang pasang surut juga
bergantung pada bentuk dari suatu perairan dan konfigurasi lantai samudera.
Bentuk pasang surut diberbagai daerah tidak sama. Disuatu daerah
dalam satu hari dapat terjadi satu kali atau dua kali (Triatmodjo, 1999).
Secara umum pasang surut diberbagai daerah dapat dibedakan menjadi
empat tipe, yaitu pasang surut harian tunggal (diurnal tide), harian ganda
(semidiurnal tide) dan dua jenis campuran, dengan penjelasa masing
masing sebagai berikut :

Pasang Surut Harian Ganda (Semidiurnal tide)


Dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut terjadi
secara berurutan secara teratur. Periode pasang surut rata - rata adalah 12
jam 24 menit. Pasang surut ini terdapat diselat Malaka sampai laut
Andaman.

Pasang Surut Harian Tunggal (Diurnal tide)


Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut .
Periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit. Pasang surut tipe ini terjadi
diselat Karimata.

Pasang Surut Campuran Condong Keharian Ganda (Mixed Tide Prevailing


Semidiurnal)
Dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut, tetapi tinggi
dan periodenya berbeda. Pasang surut jenis ini banyak terdapat di perairan
Indonesia bagian Timur.

Pasang Surut Campuran Condong Keharian Tunggal (Mixed Tide


Preavailing Diurnal)
Pada tipe ini dalam satu hari terjadi satu kali pasang dan satu kali
surut, tetapi kadang - kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang
dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda. Pasang
surut ini terdapat di Selat kalimantan dan perairan pantai Utara Jawa Barat.
Gambar mengenai tipe pasang surut dapat dilihat pada Gambar 2.2.
menunjukkan keempat jenis pasang surut tersebut.

Gambar 2. 2 Tipe Pasang Surut (Sumber : Triatmodjo, 1999).

2.2.3. Analisa Pasang Dengan Admiralty


Analisa harmonik metode Admiralty adalah analisa pasang surut yang
digunakan untuk menghitung dua konstanta harmonik yaitu amplitudo dan
keterlambatan phasa. Proses perhitungan metode Admiralty dihitung dengan
bantuan tabel, dimana untuk waktu pengamatan yang tidak ditabelkan harus
dilakukan pendekatan dan interpolasi. Untuk memudahkan proses
perhitungan analisis harmonik metode Admiralty dilakukan pengembangan
perhitungan sistem formula dengan bantuan perangkat lunak Lotus / Excel,
yang akan menghasilkan harga beberapa parameter seperti MSL, LWL,
HWL, LWL, HHWL dan LLWL sehingga perhitungan pada metode ini
akan menjadi efisien dan memiliki keakuratan yang tinggi serta fleksibel
untuk waktu kapanpun (Dennysjach,1999).
2.2.4. Definisi Muka Air Laut
Menurut Triatmodjo (1999) mengingat elevasi muka air laut selalu
berubah setiap saat, maka diperlukan suatu elevasi yang ditetapkan berdasar
data pasang surut, yang dapat digunakan sebagai pedoman didalam
perencanaan suatu pelabuhan. Beberapa elevasi tersebut adalah:

Muka air tinggi (high water level, HWL), muka air tertinggi yang dicapai

pada saat pasang dalam satu siklus pasang surut.


Muka air rendah (low water level, LWL), kedudukan air terendah yang

dicapai pada saat air surut dalam satu siklus pasang surut.
Muka air tinggi rerata (mean high water level, MHWL), adalah rerata dari

muka air tertinggi selama periode 19 tahun.


Muka air rendah rerata (mean low water level, MLWL), adalah rerata dari

muka air rendah selama periode 19 tahun.


Muka air rerata (mean sea level, MSL), adalah muka air rerata antara muka
air tertinggi rerata dan muka air rendah rerata. Elevasi ini digunakan sebagai

elevasi di daratan.
Muka air tinggi tertinggi (highest high water level, HHWL), adalah air

tertinggi ada saat pasang surut purnama atau bulan mati.


Air rendah (lowest low water level, LLWL), adalah air terendah pada saat
pasang surut purnama atau bulan mati.

Komponen komponen pasang dibagi menjadi komponen utama dan


bukan utama. Komponen utama adalah sebagai akibat gaya tarik bulan dan
matahari. Sedang komponen bukan utama adalah sebagai akibat dari faktor
non astronomis, seperti penguapan, tekanan atmosfer, curah hujan dan
pengaruh arus laut (Karmadibrata, 1985). Mengingat rotasi dan revolusi
bumi terhadap bulan yang teratur, maka resultan gaya penggerak pasang
dapat diuraikan sebagai penggabungan beberapa komponen harmonik
pasang sebagai table berikut :

Tabel 2. 1. Komponen pembentuk pasang utama

Komponen

Simbol

Bulan utama

M2

Matahari utama

S2

Bulan yang disebabkan oleh


jarak bumi bulan
Bulan - matahari karena
perubahan deklinasi
bulan matahari harian
bulan harian
matahari harian
Utama bulan
matahari - bulan

N2
K2
K1
O1
P1
M4
MS4

Keterangan
Semi diurnal
(tengah harian)
Semi diurnal
(tengah harian)
Semi diurnal
(tengah harian)
Semi diurnal
(tengah harian)
diurnal (harian
diurnal (harian
diurnal (harian
Seperempat harian
Seperempat harian

Periode
(jam)
12.42
12.00
12.66
11.97
23.93
25.82
24.07
6.21
6.10

(Sumber : Luknanto, 1996)

Setiap komponen dapat dijelaskan sebagai berikut :


S0

: Permukaan Laut rata rata

M2

: Pasut semidiurnal yang dipengaruhi oleh bulan

S2

: Pasut semidiurnal yang dipengaruhi oleh gaya tarik matahari

N2

: Pasut semidiurnal karena pengaruh perubahan jarak akibat


lintasan bulan yang elips

K1

: Pasut diurnal yang dipengaruhi perubahan deklinasi bulan dan


matahari

O1

: Pasut diurnal yang dipengaruhi perubahan deklinasi bulan

M4

: Kecepatan sudutnya dua kali M2 dan termasuk kelompok


perairan dangkal

MS4

: Hasil interaksi S2 dan M2 dimana kecepatan sudutnya sama


dengan sudut S2 dan M2 dan termasuk kelompok perairan
dangkal.

K2

: Dipengaruhi oleh perubahan jarak revolusi bumi terhadap


matahari.

P1

: Pasut diurnal yang dipengaruhi oleh perubahan deklinasi


matahari.
Pariwono (1985) dalam Dahuri, dkk (1996) berpendapat bahwa untuk

memprediksi kondisi pasang surut dengan akurasi yang baik diperlukan


pengetahuan tentang pasang surut yang cukup memadai. Karena itu
diperlukan pengukuran paling sedikit selama 15 hari atau selama 18,6 tahun
jika hasilnya ingin lebih baik lagi.
Namun pengamatan selama 19 tahun apabila tidak dapat dilaksanakan
maka dengan pengamatan selama 15 hari tersebut telah tercakup siklus
pasang surut yang meliputi pasang purnama dan pasang perbani.
Pengamatan lebih lama akan memberikan data yang lebih lengkap
(Triatmodjo, 1999).
2.3. Kenaikan Muka Laut (See level Rise)
2.3.1. Pengertian Muka laut
Setiyono et al (1994) mendefinisikan paras laut atau sering pula
disebut muka air laut atau mean sea level (MSL) adalah rata-rata ketinggian
permukaan laut untuk semua tingkatan pasang. Paras laut ditentukan dengan
menghitung rata-rata pasang tinggi dan pasang rendah selama periode

10

beberapa tahun, sedangkan menurut Pugh (1987) mean sea level


didefinisikan sebagai permukaan laut setiap waktu ditambah komponen
pasang dan gelombang.
Menurut Ongkosongo dan Suyarso (1989), dinyatakan bahwa
permukaan laut rata-rata merupakan air laut yang dianggap tidak
dipengaruhi oleh keadaan pasut. Nilai kedudukan permukaan air laut
tersebut biasanya digunakan sebagai refrensi ketinggian titik-titik diatas
permukaan bumi. Kedudukan permukaan air laut rata-rata setiap saat saat
berubah-ubah sesuai dengan perubahan dari posisi benda-benda langit, seta
kerapatan air laut (densitas) ditempat tersebut sebagai akibat perubahan
suhu air, salinitas dan tekanan atmosfir.
Permukaan laut rata-rata biasanya ditentukan melalui pengamatan
terus menerus terhadap kedudukan permukaan laut setiap jam, hari, bulan
dan tahun. Macam kedudukan muka air laut rata-rata disesuaikan dengan
lamanya pengamatan yang dipakai untuk menghitung kedudukan seperti
muka air laut rata-rata harian, bulanan dan tahunan. Dalam survey
hidrografi dikenal istilah MSL sementara dan MSL sejati.
MSL sementara dibedakan menjadi MSL sementara harian dan MSL
sementara bulanan. MSL sementara harian pada umumnya ditentukan
melalui pengamatan terhadap kedudukan muka air laut setiap jam selama 1
hari dari jam 00.00 sampai dengan 23.00 waktu setempat sehimgga
diperoleh 24 harga pengamatan. Sedangkan MSL bulanan ditentukan
melalui nilai rata-rata MSL harian untuk waktu 1 bulan. Nilai MSL harian
dan bulanan selalu berubah-ubah tergantung kondisi lokal perairan.
MSL sejati atau dikenal sebagai MSL tahunan besarnya ditentukan
dari MSL untuk 1 tahun. Untuk mendapatkan nilai MSL sejati harus
diadakan pengamatan kedudukan permukaan laut selama 18.6 tahun.
Menurut Mornet (1976) dalam Tencate (1988) menyatakan bahwa muka air
laut setiap hari, bulan, tahun selalu mengalami perubahan karena tergantung
pada beberapa faktor baik klimatologi maupun oseanografi.

11

2.3.2. Trend dan Penyebab Kenaikan Muka Laut


Penyebab kenaikan muka laut antara lain disebabkan oleh perubahan
iklim dan land subsidence (Klein,1999). Perubahan iklim yang dimaksud
disini adalah pemanasan global (global warming). Pemanasan global
berpengaruh terhadap cyclone, perubahan suhu udara, dan kenaikan muka
laut tentunya. Peningkatan suhu udara akan mempercepat melelehnya es di
kutub yang akan menambah volume air di lautan. Intergovermental Panel
on Clilmate Change (IPCC) memperkirakan bahwa kenaikan muka air
secara global

dari 1990 2100 akan mencapai 23-96 cm. Sementara

kenaikan suhu dunia dalam jangka waktu tersebut sekitar 2 oC sampai 4.5oC
(IPCC, 2001). Apabila kenaikan suhu berlangsung dengan cepat dan
kontinyu maka akan semakin banyak glester dan tudung es yang mencair /
meleleh.

Gambar 2. 3. Kondisi Penyusutan Lapisan Es Dari Masa Ke Masa


(Sumber : Diposaptono, 2009)
Didalam Soebandono (2009) dikatakan bahwa berdasarkan pengamatan ,
peningkatan paras muka laut akibat meningkatnya temperatur adalah sekitar 1
mm/tahun pada dekade ini. Studi yang didasarkan pada pengamatan dan
pemodelan hilangnya massa gletser dan tutupan es menunjukkan sumbangannya
terhadap naiknya muka laut rata-rata sebesar 0,2 sampai 4 mm/tahun pada abad
ke-20.

12

Permukaan laut selalu berfluktuasiseiring dengan perubahan temperatur


udara global. Pada zaman es saat suhu bumi lebih dingin 5C dari sekarang,
banyak air laut membeku di dalam glister dan permukaan laut lebih dari 100 m
di permukaan pada kondisi sekarang (Donn et.al 1962;Kennet 1982;Oldale
1985). Sebaliknya, pada periode interglacial terakhir (120.000 tahun lalu) ketika
temperatur udara rata-rata 1-20 C lebih panas dari kondisi sekarang, permukaan
laut berada sekitar 6 m diatas kondisi sekarang (Mercer, 1968) dalam
Soebandono (2009).
Berbagai hasil studi menunjukkan, selama abad terakhir ini permukaan
laut cenderung meningkat dan tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya suhu
udara secara global. Van der Veen (1988) memperkirakan, paras muka laut
global naik sekitar 1,5 mm setiap tahunnya. Studi yang dilakukan oleh National
Academy of Science America pada tahun 1989 memperkirakan bahwa pada
tahun 2100 kenaikan muka laut berkisar antara 0,3 sampai 2 m. berdasarkan data
peningkatan suhu permukaan air laut dan pencairan es di daerah kutub,
International Panel For Climate Change (IPCC, 1990) memperkirakan bahwa
pada kurun waktu 100 tahun dihitung sejak 1990 muka air laut akan meningkat
setinggi 15-90 cm dengan kepastian peningkatan sebesar 48 cm, seperti yang
dapat dilihat pada gambar 4 (Diposaptono, 2009).
Kondisi yang serupa juga terjadi di wilayah perairan Indonesia. Fakta
menunjukkan elevasi (ketinggian) paras muka laut relatif di beberapa pantai di
Indonesia juga mengalami kenaikan. Setidaknya, itulah hasil dari pantauan
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) pada tahun
2002. Berdasarkan catatan stasiun pasang surut di Jakarta, Semarang, Jepara,
Batam, Kupang, Biak, dan Sorong maka elevasi muka air laut dikawasan
tersebut meningkat sejak tahun 1990 hingga saat ini. Ilustrasi secara lebih
lengkap lagi dapat dilihat pada gambar 4. Dari gambar tersebut dapat dilihat laju
rata-rata kenaikan muka laut adalah 5-10 mm/tahun.

13

Gambar 2. 4 Kecenderungan kenaikan muka laut sejak tahun 1880 hingga 1990 (kiri).
Skenario prediksi kenaikan muka laut hingga 2100 oleh IPCC (kanan)

2.3.3. Dampak Kenaikan Muka Laut


Kenaikan muka air laut secara global tentu saja akan banyak
pengaruhnya di seluruh wilayah pesisir baik di Indonesia maupun di dunia.
Indonesia sebagai negara kepulauan dan maritim tentu saja akan mengalami
dampak yang luar biasa besarnya, tergantung kepada seberapa besar kenaikan
tersebut. Berikut ini beberapa butir dampak yang mungkin terjadi akibat
kenaikan muka laut (Diposaptono, 2009).
1)

Berkurangnya luas tanah dataran sebagai akibat dari invasi air laut terhadap
daratan.

2)

Invasi air laut ke daratan menyebabkan terjadinya abrasi sepanjang tepi


pantai.

3)

Banyak terumbu karang di pantai yang menjadi tenggelam lebih dalam di


bawah muka laut.

4)

Abrasi pantai yang terjadi dapat diikuti oleh gejala longsoran sepanjang
tebing pantai, dan menyebabkan banyak terjadi sedimentasi pula.

5)

Invasi muka laut ke arah daratan akan memperpendek aliran sungai dan
amengakibatkan gradien sungai menjadi lebih besar: karena sungai menjadi
lebih pendek; hal tersebut akan mengakibatkan sedimentasi yang besar di
muara sungai masing-masing.

14

6)

Invasi air laut ke daratan akan mengakibatkan kenaikan muka airtanah tetapi
sekaligus juga menyebabkan intrusi air laut lebih mengarah ke daratan.

7)

Secara keseluruhan kenaikan muka air laut sebagai akibat dari pemanasan
global akan mengakibatkan perubahan terhadap peta daratan dunia dan tentu
saja Indonesia serta kondisi geologi dan hidrogeologi wilayah pantai.

2.3.4.

Penurunan Permukaan Tanah (Land Subsidence) di Wilayah Semarang


Penurunan permukaan tanah merupakan salah satu fenomena yang
terjadi di beberapa kota di Indonesia seperti jakarta, Bandung, dan Jakarta.
Terdapat lima jenis penurunan permukaan tanah yang dapat terjadi di daerah
perkotaan berdasarkan penyebabnya, yaitu penurunan muka tanah yang
disebabkan oleh pengambilan air tanah, pergerakan tektonik, pembebanan
oleh bangunan, pelarutan batuan dan penambangan material padat (Nurdin
dalam Meliana, 2005).
Masalah land subsidence atau penurunan permukaan tanah
merupakan kondisi lokal yang tidak bisa digeneralisasi bahwa tiap dataran
dekat pantai akan mengalami land subsidence. Tetapi Akibat dari land
subsidence tersebut turut menyebabkan naiknya muka air laut. Penyebab
land subsidence juga bisa bermacam-macam. salah satunya adalah
konsolidasi atau pemampatan tabah dan perubahan air tanah (Muhrozi dkk,
1997). Lebih lanjut menurut Terzhagi dan Peck (1993) bahwa peristiwa
konsolidasi sangat dipengaruhi oleh jenis tanah. Jenis tanah lempung relatif
lebih mudah mengalami penurunan (pemampatan) dibandingkan dengan
tanah pasir. Pasir bersifat tak kompresible sedangkan lempung sangat
kompresible sehingga sangat mudah mengalami pemampatan akibat adanya
beban diatasnya sehingga terjadilah penurunan tanah.

Menurut sejumlah pakar banjir rob yang terjadi dari tahun ke tahun
semakin parah ini juga disebabkan akibat penurunan permukaan tanah atau
amblesan tanah. Penurunan permukaan tanah atau amblesan tanah ini
tersebut merupakan fenomena alami karena adanya konsolidasi tanah atau

15

juga karena pematangan lapisan tanah yang umurnya masih muda di kota
bawah. Amblesan tanah ini juga bisa diperparah akibat pengambilan air
bawah tanah (ABT). Untuk menentukan nilai permukaan tanah di Semarang
maka data yang bisa dipergunakan adalah data dari Muhrozi dkk dan
yulianto dkk karena mereka melakukan pengukuran secara berkala sehingga
bisa diketahui nilai penurunan permukaan tanahnya (Wirastriya, 2005).
2.3.5. Banjir dan Genangan di Semarang
Rob atau disebut juga banjir pasang merupakan salah satu masalah
yang harus dihadapi oleh masyarakat kota Semarang. Banjir dalam
pengertian disini adalah merupakan perluasan dari sisi kanan dan sisi kiri
dari sungai-sungai yang bermuara ke laut atau dekat dengan daerah pantai
dan sering tergenang pada waktu terjadinya pasang naik, sedangkan yang
dimaksud dengan genangan adalah merupakan daerah rendah dimana air
yang masuk ke tempat tersebut tidak dapat mengalir ke tempat lain (Gerald,
1992)
Pada dasarnya rob merupakan gejala alam yang biasanya terjadi
pada saat kondisi bulan penuh atau bulan purnama. Pada saat itu gaya
gravitasi bulan terhadap bumi sangat kuat sehingga gerak air laut ke arah
pantai lebih kuat, sehingga air laut akan naik pada daratan dengan
ketinggian yang lebih rendah dari pasang tertinggi.
Jenis banjir akibat pasang atau rob umumnya terjadi pada dataran
aluvial pantai yang letaknya cukup rendah atau berupa cekungan dan
terdapat banyak muara sungai dengan anak-anak sungai sehingga sehingga
jika terjadi pasang dari laut maka air.
2.4.

Sistem Informasi Geografis (SIG)


Danoedoro (1996) menjelaskan bahwa Sistem Informasi Geografi dalam
arti luas adalah sistem manual dan atau komputer yang digunakan untuk
mengumpulkan, menyimpan, mengelola, dan menghasilkan informasi yang
mempunyai rujukan spasial atau geografis. Aronoff (1989) dalam Wibowo

16

dalam bahasa yang lebih operasional membatasi pengertian SIG sebagai suatu
sistem berbasis computer yang memberikan empat kemampuan untuk
menangani data bereferensi geografis, yaitu pemasukan, pengelolaan atau
manajemen data (penyimpanan dan pengaktifan kembali), manipulasi, dan
analisis, serta keluaran.
2.4.1. Komponen Sistem Informasi Geografi (SIG)
2.4.1.1.

Struktur Komponen SIG


SIG terdiri atas empat komponen dasar yaitu, data, perangkat
lunak (software), perangkat keras (hardware), dan sumberdaya manusia
atau pengguna SIG (Prahasta,2009). Perangkat lunak merupakan
komponen untuk mengintegrasikan berbagai macam data masukan yang
akan di proses dalam SIG. Perangkat keras berupa komputer, yang
dilengkapi dengan peralatan digitasi, scanner, plotter, monitor, dan
printer. Sumberdaya manusia merupakan pengguna sistem dan yang
mengoperasikan software maupun hardware, serta data yang digunakan
untuk diolah maupun di analisis sesuai kebutuhan.

Software SIG

biasanya mempunyai modul dasar yaitu, (1) masukan (input) data, (2)
penyimpanan data, (3) keluaran (output) data, (4) transformasi data, (5)
interaksi dengan pengguna (input query) (Prahasta,2009).
2.4.1.2.

Penyusunan Basis Data Dalam SIG


Prahasta, 2009 menjelaskan bahwa data yang dimasukkan dalam
proses telah menjadi sebuah komponen informasi geografis. Informasi
geografis yang disimpan dalam basis data SIG berbentuk lapis (layer)
informasi sesuai dengan nama temanya dan di olah berdasarkan
keperluan penggunanya. setelah diproses, keluaran utama dari SIG
adalah informasi spasial baru, dan keluaran SIG dapat ditampilkan
dalam berbagai konfigurasi informasi, yaitu dalam bentuk peta, grafik,
tabel, dan laporan.

17

III.
3.1.

MATERI DAN METODE

Materi Penelitian
Materi yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder yang secara rinci diuraikan di bawah ini :

3.1.1. Data Primer


Data primer yang diperlukan untuk mendukung penelitian ini adalah :
1.

Data pengamatan pasang surut Kota Semarang Utara di lapangan.

18

Data Digital Elevation Model (DEM) SRTM, Provinsi Jawa Tengah

2.

hasil perekaman Space Shuttle NASA tahun 2000 yang digunakan untuk
memperoleh data ketinggian daerah pesisir di Provinsi Jawa Tengah.
3.

Data koordinat yang didapatkan pada hasil marking point di lapangan.

3.1.2. Data Sekunder


Data sekunder yang diperlukan untuk mendukung penelitian ini terdiri dari data
spasial yang umumnya berupa peta-peta tematik dan data statistik yaitu:
1. Peta Rupa Bumi Indonesia Kota Semarang skala 1:25.000 tahun 2001
publikasi Bakosurtanal yang digunakan untuk proses koreksi pada citra
satelit.
2. Data Penurunan Tanah, Topografi kota semarang yang didapatkan dari
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Daerah Tingkat I Jawa
Tengah.
3. Data Pasang Surut dari BMKG Kota Semarang dan Dinas Hidro
Oseanografi tahun 2008-2013.

3.2.

Alat dan Bahan

3.2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini, tercantum dalam Tabel 3.1.
Tabel 3. 1 Alat yang digunakan
No.

Nama Alat

Kegunaan

1.

GPS

Penentuan posisi

2.

Palem Pasut

Pengukuran pasang surut

3.

Alat Tulis

Pencatatan hasil pengamatan

5.

Dell M102Z

Pengolahan dan analisis data

6.

Kamera Digital

Mengambil foto penelitian

7.

Software Microsoft Excel Pengolahan data pasang surut

8.

Software ArcGis 10

Pembuatan layouting peta luasan rob

Palem Ukur

Pengukuran tinggi genangan rob

19

3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, tercantum dalam Tabel 3.2.
Tabel 3. 2Bahan yang digunakan
No.

Nama Bahan

Kegunaan

1.

Data Pasang Surut

Sebagai tolak ukur pengukuran HHWL

2.

Data Penurunan Tanah

Sebagai Tolak ukur dalam penentuan


tinggi genangan rob

3.

Data Koordinat

Sebagai data geografis titik genangan

4.

Peta RBI Semarang

Media pembuatan peta

5.

Citra Aster-DEM

Media pembuatan peta ketinggian

3.3

Penentuan Lokasi Sampling


Metode yang digunakan dalam penentuan titik koordinat lokasi
pengambilan data adalah dengan menggunakan GPS (Global Positioning
System). Poerbandono dan Djunasjah (2005) menyatakan, bahwa GPS adalah
sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh
Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan
tiga-dimensi serta informasi mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh dunia
tanpa tergantung waktu dan cuaca, kepada banyak orang secara simultan. Lokasi
penelitian lapangan dilakukan di wilayah Semarang

pada

kondisi dimana

daerah yang berpotensi dilakukan reklamasi akibat genangan Rob. Penelitian


dilakukan dengan melihat kondisi rob terjauh di wilayah Semarang. Waktu
penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2013- Nopember 2013.

20

Gambar 3. 1. Lokasi Penelitian


3.4.

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat eksploratif,
dimana penelitian dengan metode ini bertujuan untuk menggambarkan keadaan
atau status fenomena. Untuk desainnya penelitian ini bersifat studi kasus. Studi
kasus adalah penelitian terhadap suatu kasus secara mendalam yang berlaku
pada waktu, tempat dan populasi yang terbatas, sehingga memberikan gambaran
tentang

situasi

dan

kondisi

secara

lokal

dan

hasilnya

tidak

dapat

digeneralisasikan untuk tempat yang berbeda. Jadi hasil akhir ini akan
menggambarkan tentang gambaran luasan rob terjauh setiap kecamatan di
Semarang pada tahun 2013-2020 yang nantinya dapat diterapkan sebagai
penanggulangan mitigasi bencana rob di Kota Semarang.

21

3.5

Tahapan Kerja
Penelitian ini melalui 3 tahapan, adapun yang dilakukan dalam penelitian adalah
tahap pengumpulan data, tahap lapangan, dan tahap pengolahan data.

3.5.1. Tahap Pengumpulan Data


Pengumpulan data yang telah ada, yang meliputi:

Data prakiraan pasang surut oleh BMKG Semarang tahun 2009-2013

Peta Rupa Bumi Indonesia lembar Semarang skala 1 : 50.000 dan 1:25.000
tahun 2001 publikasi Bakosurtanal

Data topografi dan penurunan tanah di Semarang Utara yang terbaru dan
beberapa tahun terakhir.

Data Digital Elevation Model (DEM) SRTM, Provinsi Jawa Tengah hasil
perekaman Space Shuttle NASA tahun 2000 yang digunakan untuk
memperoleh data ketinggian daerah pesisir di Provinsi Jawa Tengah.

3.5.2. Tahap Pengamatan Lapangan


a. Penentuan Batasan Penelitian
Batasan penelitian pada permasalahan yang mengambil judul tentang
Penentuan Luasan daerah dan elevasi tinggi reklamasi akibat bencana rob di
kecamatan semarang utara yaitu sejauh titik rob terjauh di Kecamatan
Semarang dengan metode marking point dengan perangkat GPS.
b. Pengamatan Pasang Surut
Pengamatan pasang surut dilakukan selama 15 hari pada bulan
November sebagai perbandingan dengan data pasang surut yang diperoleh
dari prediksi BMKG dan nilai HHWL sebagai tolak ukur dalam
perencanaan reklamasi.

22

c. Pengukuran Tinggi Genangan Rob


Pengukuran Tinggi Genangan yaitu sebagai data dimana nantinya
akan di ketahui penurunan tanah di semarang, sehingga nantinya dapat
diketahui prediksi rob terjauh dan perencanaan mitigasi akibat Rob di
Semarang.
3.5.3. Tahap Pengolahan Data
a.

Pengolahan data Pasang Surut


Pada pengolahan data pasang surut selama 15 hari nantinya
akan ditentukan komponen-komponen pasang surut, serta nilai dari
MSL, LLWL dan HHWL, serta peramalannya dimasa mendatang
dimana data HHWL ini akan digunakan sebagai prediksi genangan rob
terjauh akibat pengaruh pasang surut di Kota Semarang.

IV.

JADWAL PELAKSANAN

4.1. Waktu pelaksanaan


Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2013 sampai dengan bulan
Nopember 2013. Pengumpulan data untuk tahap persiapan dilakukan pada bulan
September 2013. Waktu penelitian lapangan dilaksanakan pada bulan Oktober
2013. Waktu pelaksanaan analisis laboratorium dan pengolahan data dilakukan
pada bulan Oktober sampai dengan Pertengahan Nopember 2013. Sedangkan
penyusunan dan penyerahan laporan penelitian dilaksanakan pada Pertengahan
Nopember - Akhir Nopember 2013.
4.2. Jadwal Pelaksanan

23

Jadwal penelitian meliputi pelaksanaan penelitian lapangan, analisa


laboratorium dan pembuatan laporan. Tahap penelitian meliputi :
1. Tahap persiapan
2. Survei pendahuluan
3. Penelitian lapangan
4. Analisa laboratorium
5. Analisa data
6. Pembuatan laporan
7. Penyerahan Laporan
Adapun jadwal waktu pelaksanan seperti pada Tabel 4.1.

24

Tabel 4. 1 Jadwal Waktu Pelaksanaan Penelitian

1.

Persiapan

2.

Survei Pendahuluan

3.
4.

Nopember

Oktober

September

Uraian

Agustus

No.

Juli

Bulan

Survei detail
a. Pengukuran Pasut
b. Tracking Area Rob
Analisis Laboratorium dan
Pengolahan Data

5.

Penyusunan Laporan

6.

Penyerahan Laporan

4.3. Tahap Persiapan dan Survei Pendahuluan


Tahap persiapan yang dilaksanakan pada awal bulan September 2013 meliputi :
1.
2.
3.
4.

Studi pustaka yang berkaitan dengan masalah banjir rob.


Penyiapan peta-peta semarang yaitu peta Roman Muka Bumi 2013 dari Bakosurtanal.
Menyiapkan alat dan bahan yang dipergunakan dalam penelitian (GPS, Palem Ukur).
Mencari Informasi dari para peneliti terdahulu, yaitu ke instansi Bappeda Jawa Tengah

yang juga telah melakukan penelitian banjir rob dengan predeksi hingga tahun 2015.
5. Mencari informasi mengenai kondisi Pasang surut tinggi muka air laut wilayah
Semarang dari BMKG kota Semarang, mulai dari tahun 2009 hingga 2013.
6. Data Digital Elevation Model (DEM) SRTM, Provinsi Jawa Tengah hasil perekaman
Space Shuttle NASA tahun 2000 yang digunakan untuk memperoleh data ketinggian
daerah pesisir di Provinsi Jawa Tengah dari Bappeda Jawa Tengah.
7. Mencari informasi mengenai kondisi Penurunan Tanah wilayah Semarang dari BMKG
kota Semarang. (table 4.2).

Tabel 4. 2 Data Penurunan Tanah (Bappeda 2012)


25

No

Lokasi

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Toko ada Srondol


SPBU Kaliwiru
Depan Akpol
Jl Diponegoro
Tmn Elisabeth
SPBU Candi
Jl S. Parman Ngaglik
Jl. Sultan Agung
Depan Toko bunga
Tugu Muda
Jl. Bojong salaman
Jembatan Banjir Kanal barat
Perempatan Jl Indraprasta
Dpn htl Rahayu Jl. Imam Bonjol
Jl. Hasanudin
Jl. Arteri Utara
Jl. Arteri Utara
Pos 2 Pelabuhan
Pos 1 Pelabuhan
Jl. Madukoro Raya
Jl. Madukoro Raya

22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40

Depan Kantor Kec. Gjh Mugkur


Jl. Ngaglik Lama
Samping Atrium
Prmptn Jl. Anjasmoro Arteri Utr
Jembatn Banjir Kanal Barat
Dpn msjd Nurul rahayu
Prmptn Pengapon
Jembatan Banjir kanal timur
Jl. Barito
Bnjr kanal timur jl. Katamso
Radio KISS FM Tanah Putih
Depan Pos Polisi Bangkong
Simpang 5
Depan BRI Pandanaran
Depan Unisula
Depan Stasiun Poncol
STO tugu samping Atrium
Jembtan K. Semarang Arteri Utara
Depan BRI Pelabuhan

Nama Titik

Koordinat X

TTG 49
TTG 447
DTK 431
DTK 013
DTK 340
DTK 014
DTK 338
DTK 08A
DTK 009
DTK 000
DTK 018
DTK 019
DTK 135
DTK 136
DTK 218
DTK 224
DTK 223
DTK 222
DTK 221
DTK 367
DTK 368
KOP A YANI
16
Distam 22
DTK 078
DTK 370
BM JEMBT
BM GL 3
SSUDPMP 66
SPB
DTK 173
DTK 174
CPTR 10 A
BTS KEC
DTK 001
DTK 002
DTK 413
SSUDPMP 67
TP 17
TB 3
TB 4

435243,315
436014,209
435736,992
435575,781
435515,031
434735,21
434494,802
435484,791
430400,783
434750,915
433913,206
433946,473
435038,445
435988,578
435089,631
434458,138
435259,246
436413,103
435906,916
433832,135
433655,347

Koordinat
Y
9219350,31
9223619,924
9224497,809
9225790,408
9225345,138
9225703,458
9226535,284
9224970,438
9230400,872
9227886,888
9227867,369
9228288,174
9228593,567
9229451,522
9229358,21
9231359,633
9231185,627
9231073,396
9231005,231
9228905,243
9230418,925

434434,549
434467,707
432630,446
432677,827
433427,282
436336,517
437156,743
438441,865
438040,837
437998,832
437129,998
437265,104
436169,242
435318,818
440169,258
435387,596
432630,47
434789,461
435968,191

9225703,079
9226123,773
9228022,377
9229395,061
9231161,879
9231008,851
9230174,515
9230664,353
9227350,421
9226542,68
9224428,875
9226876,55
9227243,686
9227687,94
9230819,916
9229143,667
9228003,915
9231424,61
9231032,944

Penurunan
0
0
-0,9
0
-2,2
-1,2
-2,8
-0,8
-1,7
-3,7
-0,8
-0,9
-6,7
-7,7
-11,1
-6,8
-0,1
-7,8
-9,2
-8,2
-12,8
-2,2
-1,6
-6,3
-3,4
-7,2
-10,3
-8
-5,4
-2,7
-3,6
-2,1
-1,8
-1,6
-0,5
-3,8
-4,6
-3,6
-7,2
-3,6

26

No
41
42
43
44
46
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57

Lokasi
Pos IV pelabuhan
Pintu Masuk P.T HM Sampoerna
Jl Citarum
Jembatan Citarum
Gorong-gorong Pasar Kambing
Kantor Pajak
Pintu masuk Kantor Pajak
Toko ateja MT. Haryono
Codexa MT. Haryono
depan SPBU Pandanaran
Kecamatan Tugu
Kecamatan Tugu
Kecamatan Tugu
Kecamatan Tugu
Kecamatan Tugu

Nama Titik

Koordinat X

TB 5
TP 7
TP 10
TP 12
TP 14
TP 3
HP 2
TB 7
TB 8
TP 21
BM 22
BM 21
BM 27
BM 28
BM 29

437081,745
437840,644
438391,328
437998,307
437383,623
436439,44
436457,861
437173,681
437202,229
435635,007
427682,154
429911,3
426499,047
424273,507
423970,517

Koordinat
Y
9231359,872
9230534,627
9229306,94
9229487,668
9225230,684
9229584,072
9229605,542
9228860,184
9228086,355
9227556,333
9229259,039
9228699,949
9230002,088
9231131,089
9229078,687

Penurunan
-14,8
-14
-5,8
-3,6
-2,6
-5
-3,4
-3,1
-2,7
-1
-0,3
-0,1
-0,3
-0,1
0

DAFTAR PUSTAKA
27

Astuti, Sri. 2001. Tipologi Bangunan dan Kawasan Akibat Pengaruh Kenaikan Muka Air
Laut di Kota Pantai Semarang. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pemukiman. Semarang
BAPPEDA. 2013. Profil Wilayah Pantai dan Laut Kota Semarang. BAPPEDA Kota
Semarang.
Dahuri, Rokhmin. Et all. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Dan Lautan
Secara Terpadu.PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 328 hlm.
Dennysjah. 1999. Analisis Harmonik Dengan Metode Admiralty digilib.itb.ac.id/go.php?
id=jbptitbpp-gdl-s2-1999-dennysjah-1751. Diakses 8 Oktober 2013
Dharmayanti, I. 2006. Kajian Reklamasi Pantai Dadap Kabupaten Tangerang
(Sebuah
Analisa Persepsi
Stakeholder)
(Tesis).
Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Djaja, R. 1985. Cara Perhitungan Pasut Laut Dengan Metode Admiralty. Puslitbang.
Oseanografi-LIPI. Jakarta
Diposaptono, S., Budiman, dan Firdaus A. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim Di Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Penerbit Buku Ilmiah Populer, Bogor
Diposaptono, S. 2009. Dinamika Pesisir Akibat Dampak Perubahan Iklim. Departemen Riset
dan Teknologi.Jakarta
Fuad, Arif Zainul. 2004.Perkiraan Pengaruh Kenaikan Muka Air Laut Terhadap Luas
Genangan Banjir Pasang (Rob) Dan Pola Adaptasi Permukiman Penduduk Di
Kampung Tambak Mulyo, Semarang. Undip.Semarang (Tidak dipublikasikan)
Golden Software 2013. www.goldensoftware.com/products/surfer. Diakses 24 Oktober 2013
Hutabarat, Sahala dan Stewart M. Evans.1986. Pengantar Oseanografi. UI- Press, jakarta,
159 hlm.
IPCC CMZS. 2001.Strategies For Adaptation To Sea Level Rise. Report Of The Coastal
Zone Management Subgroup., Responese Strategies Working Group Of
Interngovernmental Panel On Climate Change, Ministry Of Transport, Public
Work, And Water Management, The Hangue, The Netheland, Appendix C, 27pp
Karmadibrata, S., 1985, Perencanaan Pelabuhan, Geneca Exact, Bandung
Klein, R.J.T and RJ. Nichols. 1999. Assesement Of Coastal Vulnerability To Climate
Change.Ambio, 28(2), 182-187
Latief, Hamzah. 2002. Oseanografi Pantai Volume
Meteorologi. ITB, Bandung, 162 hlm.

1.

Departemen

Geofisika dan

Lisitzin, E. 1974. Sea-Level Changes. Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam


28

Luknanto, Joko. 1996. Peramalan Pasang Surut. www.luk.staff.ugm.ac.id. Diakses 8 Oktober


2013.
Mulyanto, DIPL. 2010. Reklamasi Lahan Rendah. Graha Ilmu : Yogyakarta.
Nyabakken , J. W . 1992 . Biologi Laut . PT Gramedia : Jakarta
Ongkosongo,O.S.R dan Suyarso.1989. Pasang Surut. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi (P3O) LIPI, Jakarta.
Prahasta, Eddy.2009.Sistem Informasi Geografis,Konsep-Konsep Dasar Perspektif Geodesi
dan Geomatika. Informatika: Bandung.
Konovsky, M.A. & Pugh, S.D. (1994). Citizenship behavior and social exchange. Academy
of Management Journal, 37(3): 656-696.
Setiyono, H; S, Sukmaningrum; D. Haryo dan Tri W. W. 1994. Laporan Penelitian Isu
Kenaikan Muka Air Laut Global pada Pesisir Pulau Jawa. Studi Kasus di Tiga
Kota Besar (Jakara, Semarang, Surabaya). Pusat Studi Lingkungan Hidup.
Lembaga Penelitian UNDIP. Semarang (tidak dipublikasikan)
Suciati, Putri. 2007. Studi Daerah Rawan Genangan Akibat Kenaikan Muka Laut,
Penurunan Muka Tanah, dan Banjir di Jakarta Utara. ITB. Bandung (Tidak
Dipublikasikan)
Sutanta, S dan P. Manurung. 2002. Preliminary Assessment of The Impact of Land
Subsidence and Sea Level Rise in Semarang, Central Java, Indonesia.
Proceeding PORSEC. Bali
Tamanyira, Muhammad Maskur. 2009. Model Spasial Dampak Kenaikan Muka Laut
Terhadap Genangan Di Pesisir Kota Semarang. Undip. Semarang (Tidak
dipublikasikan)
Triatmodjo,B.1999. Teknik Pantai. Beta Ofsett. Yogyakarta.
Wibisono, M. S (2005), Ilmu Kelautan. Jakarta ; Gramedia Widiasarana Indonesia.
Wibowo, Dwi Ari. 2006. Analisis Spasial Daerah Rawan Genangan Akibat Kenaikan
Pasang Surut Air Laut (Rob) Di Kota Semarang. Undip. Semarang (Tidak
dipublikasikan)
Wirasatriya,

Anindia. 2005. Kajian Kenaikan Muka Laut Sebagai Landasan


Penanggulangan Rob Di Pesisir Kota Semarang. Undip.Semarang (Tidak
dipublikasikan).

29

You might also like