You are on page 1of 23

PERANAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS

FOSIL BAGI KEHIDUPAN MANUSIA DAN CARA


MENGATASI KEKURANGANNYA DENGAN
ENHANCED OIL RECOVERY

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar


pada Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada

Oleh:
Prof. Ir. Suryo Purwono, MASc, PhD

PERANAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS


FOSIL BAGI KEHIDUPAN MANUSIA DAN CARA
MENGATASI KEKURANGANNYA DENGAN
ENHANCED OIL RECOVERY

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar


pada Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar


Universitas Gadjah Mada
pada tanggal 9 Oktober 2008
di Yogyakarta

Oleh:
Prof. Ir. Suryo Purwono, MASc, PhD

3
PERANAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS FOSIL
BAGI KEHIDUPAN MANUSIA
DAN CARA MENGATASI KEKURANGANNYA
DENGAN ENHANCED OIL RECOVERY
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan alam
terbesar di dunia. Berbagai laporan menunjukkan bahwa potensi
kekayaan bahan alam seperti batubara, gas dan minyak bumi di
Indonesia sangat besar. Sampai saat ini, batubara, gas dan minyak
bumi (termasuk aspal alam) merupakan sumber daya alam terbesar
dan paling banyak digunakan baik di Indonesia maupun di dunia
internasional. Pertumbuhan dan perkembangan teknologi dan industri
di Indonesia tidak terlepas dari peranan batubara, gas dan minyak
bumi sebagai bahan baku industri maupun sebagai sumber daya
energi. Batubara, gas dan minyak bumi banyak digunakan karena
selain mudah ditangani, juga karena memiliki nilai kalor tinggi dan
dapat diproses menjadi sumber daya energi dalam berbagai bentuk.
Berdasarkan strategi yang sudah digariskan oleh Pemerintah bahwa
dalam kurun waktu Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (PJPT II)
dari April 1994 s/d Maret 2019, peranan minyak dan gas bumi sebagai
sumber energi dan sebagai bahan baku industri petrokimia masih akan
besar.
Batubara, gas dan minyak bumi merupakan bahan galian
(tambang) yang terdapat pada lapisan bumi dengan kedalaman
berpuluh-puluh sampai beribu-ribu meter. Batubara, gas dan minyak
bumi merupakan campuran sangat kompleks dari senyawa-senyawa
hidrokarbon dan unsur lain dalam jumlah kecil seperti : belerang (S),
nitrogen (N), oksigen (O), vanadium (V), nikel (Ni), besi (Fe),
tembaga (Cu), air, dan garam-garam terdispersi. Senyawa-senyawa
lain ini umumnya menurunkan kualitas produk batubara, gas dan
minyak bumi yang diinginkan.
Walaupun batubara, gas dan minyak bumi telah lama sekali
dikenal orang, namun industri minyak bumi baru muncul setelah
Drake berhasil mengeluarkan minyak bumi dari dalam bumi dengan
bor tumbuknya pada tahun 1859 di Titusville, Pennsylvania
(Hardjono, 2001). Sejak minyak bumi ditemukan, teknologi proses
pengolahannya selalu dikembangkan sesuai kebutuhan konsumen

4
khususnya dalam rangka mengimbangi pesatnya kenaikan kebutuhan
akan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk motor-motor pembakaran
(combustion engine).
Batubara
Batubara adalah padatan yang berwarna hitam atau coklat
kehitaman yang ada dalam berbagai ukuran. Warna, tekstur dan
komposisi penyusunnya bervariasi. Batubara merupakan senyawa
hidrokarbon dengan struktur kimia sangat komplek. Elemen dasar
yang membangunnya antara lain elemen karbon (C), hidrogen (H),
oksigen (O), nitrogen (N) dan sulfur (S) (Elliot, 1981). Elemenelemen lain mungkin ada tetapi yang umumnya dilaporkan adalah
adalah elemen-elemen tersebut ini. Komponen dan komposisi
pembentuk batubara atau biomassa dinyatakan oleh hasil analisis
proksimat dan analisis ultimat. Hasil analisis proksimat melaporkan
besarnya fraksi massa volatile matter (VM), fraksi massa fixed carbon
(FC), fraksi massa abu (A) dan fraksi massa air (M). Analisis ultimat
untuk batubara yang sama tanpa air memberikan fraksi massa elemenelemen C, H, O, N, S dan abu (A). Kedua analisis ini diperlukan untuk
pernyataan kualitas batubara. Rumusan secara strukur kimia menurut
Kirk dan Othmer (1979) terdiri dari (i) matrik dari kluster aromatik,
(ii) alifatik dan karbonil yang melekat pada kluster aromatik, (iii)
komponen dengan ikatan lemah dan disebut dengan mobile phase, dan
(iv) senyawa penyambung (bridges) antara kluster aromatik berupa
kelompok fungsional alifatik yang mungkin mengandung elemen
oksigen (O) atau sulfur (S).
Batubara merupakan salah satu sumber energi alternatif yang
dapat dipersiapkan untuk menggantikan peran dari minyak bumi,
karena cadangan minyak bumi Indonesia semakin menipis. Cadangan
yang telah diketahui lebih dari 36,6 milyar ton dan sebanyak 71,6 %
diantaranya berada di Sumatera dan 27,8 % di Kalimantan, sehingga
dapat disimpulkan bahwa batubara merupakan sumber daya energi
yang besar potensinya di Indonesia. Namun demikian, kesadaran
terhadap kelestarian lingkungan yang dirasakan mulai meningkat di
Indonesia mendorong kita untuk mempertimbangkan pengaruh negatif
dari penggunaan batubara. Dengan kata lain teknologi batubara bersih

5
(clean coal technology) perlu segera diterapkan, baik dengan sistem
pembakaran yang lebih efisien dan bersih maupun dengan proses
konversi batubara menjadi bahan bakar yang lebih bersih yaitu bahan
bakar cair dan gas. Selain itu kecendrungan kenaikan harga minyak
mengharuskan kita mencari bahan bakar alternatif setara dengan
minyak dalam penanganannya.
Salah satu proses yang dikembangkan untuk sumber daya energi
alternatif adalah mengubah batubara menjadi bahan bakar cair.
Beberapa peneliti telah mengembangkan proses pencairan ini, dengan
model kinetika berdasar variabel konsentrasi. Proses pencairan
batubara dipengaruhi oleh beberapa variabel antara lain waktu, suhu,
tekanan, kecepatan pemanasan, sifat pelarut, kualitas batubara, ukuran
butir batubara, katalisator, dan bahan aditif. Pada penelitian tentang
batubara ini umumnya dibahas mengenai pengaruh dari berat
katalisator, dan jenis solven terhadap konversi hasil pencairan
batubara.
Gas alam
Gas alam sering juga disebut sebagai gas bumi atau gas rawa,
adalah bahan bakar fosil berbentuk gas utamanya terdiri dari metanaa
(Katz and Lee, 2001). Gas alam adalah sejenis gas yang dapat terbakar
dan ditemukan di dalam batu-batuan berpori pada lapisan kerak bumi
(reservoir gas terpisah dari reservoir minyak); atau ditemukan dekat
deposit minyak mentah di dalam perut bumi (timbunan gas yang
terperangkap di antara reservoir minyak dan lapisan batuan di
atasnya). Pada tekanan yang sangat tinggi, gas tercampur atau terlarut
di dalam minyak. Komposisi senyawa penyusun gas alam berbeda
antara satu lokasi penambangan dengan lokasi penambangan yang
lain. Pada zaman dulu, satu-satunya cara untuk menemukan lokasi
deposit gas alam dan minyak bumi adalah dari bukti-bukti yang
tampak pada permukaan bumi, seperti rembesan minyak atau gas.
Cara yang lebih modern adalah dengan pengamatan bentuk
permukaan tanah. Lipatan pada permukaan tanah, membentuk
semacam bentuk kubah (dome) menunjukkan kemungkinan adanya
deposit minyak bumi dan gas alam. Pengamatan terhadap lapisan ba-

6
tuan akan memberikan informasi mengenai kandungan fluida,
porositas, permeabilitas, umur, dan urutan proses terbentuknya
lapisan-lapisan batuan itu.
Proses pembentukan gas alam dibedakan menjadi Proses
Thermogenic, Proses Biogenic dan Proses Abiogenic. Proses
Thermogenic yaitu proses pembentukan gas alam dari sisa-sisa
tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme pada suhu dan tekanan yang
sangat tinggi di dalam perut bumi. Makin tinggi suhu dan tekanan,
makin sempurna proses peruraian bahan organiknya. Oleh karena itu,
pada deposit gas alam yang tidak terlalu dalam (sampai kedalaman 1
2 mil di bawah permukaan tanah), ditemukan juga minyak bumi
dalam jumlah yang banyak. Makin dalam deposit, kandungan gas
alam semakin banyak. Pada deposit yang sangat jauh di dalam perut
bumi, deposit mengandung hampir seluruhnya gas alam. Proses
Biogenic yaitu proses pembentukan gas alam dari dekomposisi bahanbahan organik oleh mikroorganisme yang disebut methanogen.
Mikroorganisme ini ditemukan pada lapisan kulit bumi dekat dengan
permukaan bumi, yang tidak mengandung oksigen. Gas metana yang
terbentuk biasanya hilang ke atmosfer, meskipun ada kemungkinan
terperangkap di bawah tanah, sehingga dapat ditambang sebagai gas
alam. Contoh metana hasil proses biogenic adalah gas sampah
(landfill gas). Proses Abiogenic adalah proses pembentukan metana
dari reaksi antara gas H2 dan C jauh di dalam perut bumi dengan
katalis mineral yang ada di perut bumi. Karena gas alam berdensitas
rendah, begitu gas ini terbentuk, gas akan bergerak ke permukaan
bumi melalui lapisan kulit bumi yang berpori-pori. Meskipun sebagian
metana ini dapat lolos sampai keluar ke atmosfer, beberapa
terperangkap di bawah lapisan batuan yang tidak berpori dan
membentuk semacam dome (kubah).
Minyak bumi
Minyak bumi merupakan bahan galian (tambang) yang terdapat
pada lapisan bumi dengan kedalaman berpuluh-puluh sampai beriburibu meter. Minyak bumi merupakan campuran yang sangat kompleks
dari senyawa-senyawa hidrokarbon (97 98%) dan unsur lain dalam
jumlah kecil seperti : belerang (S), nitrogen (N), oksigen (O),

7
vanadium (V), nikel (Ni), besi (Fe), tembaga (Cu), air, dan garamgaram terdispersi (Bradley, 1989). Senyawa-senyawa lain ini
umumnya menurunkan kualitas produk minyak bumi yang diinginkan.
Bahan bukan hidrokarbon biasanya dianggap sebagai kotoran
sehingga memberi gangguan dalam pengolahan minyak bumi didalam
kilang. Baik senyawa hidrokarbon maupun bukan akan berpengaruh
dalam menentukan cara pengolahan yang dilakukan dalam kilang
minyak (Jones, 1995). Senyawa hidrokarbon dalam minyak bumi
dibagi menjadi tiga golongan yaitu: senyawa hidrokarbon parafin,
naften dan aromatis. Disamping itu juga terdapat senyawa
hidrokarbon olefin dan diolefin yang terjadi karena proses
perengkahan pada proses pengolahan minyak bumi dalam kilang
(Hardjono, 2001; Nelson, 1958). Senyawa hidrokarbon parafin
sampai dengan empat buah atom karbon, pada suhu kamar dan
tekanan atmosfir berupa gas. Senyawa hidrokarbon parafin dengan 5
sampai 15 buah atom karbon pada suhu kamar dan tekanan atmosferis
berupa cairan dan terdapat dalam fraksi naphta, bensin, kerosin, bahan
bakar diesel dan minyak bakar. Senyawa hidrokarbon parafin dengan
lebih dari 15 buah atom karbon pada suhu kamar dan tekanan
atmosfer berupa zat padat (Hardjono, 2001).
Minyak mentah yang diperoleh di alam memiliki sifat yang
bermacam-macam, sehingga produk yang dapat diperoleh dari
pengolahan minyak mentahpun bermacam-macam, karena itu operasi
dan proses yang digunakan di kilangpun bermacam-macam pula.
Pengolahan yang umum dilakukan adalah distilasi minyak bumi
menjadi fraksi-fraksinya dan didasarkan pada daerah didihnya dan
produk yang diinginkan.
Aspal alam
Aspal alam adalah bagian dari minyak bumi yang terbentuk
karena reservoirnya mengalami pergeseran ke permukaan bumi
sehingga sebagian gas dan minyak ringannya menguap ke udara
(Abraham, 1968). Di Indonesia aspal alam yang paling banyak
dijumpai ada di Pulau Buton. Asbuton (aspal batu Buton) adalah suatu
jenis aspal alam yang diperoleh dari tanah / batuan di Pulau Buton
Sulawesi Tenggara. Kandungan bahan aspal di daerah ini sangat

8
bervariasi, antara 10 % sampai dengan 70 %, tersebar di lima daerah
utama yaitu : Kabungka, Winto, Wariti, Wasiu dan Lawele. Luasan
daerah yang potensial mengandung aspal meliputi daerah dengan
panjang 75 km, lebar 25 km dan kedalaman 30 m. Menurut perkiraan
banyaknya cadangan deposit batuan aspal di Kabungka sendiri sekitar
80 juta ton, sedangkan untuk kelima daerah lainnya diperkirakan
sebesar 160 juta ton. Pemanfaatan asbuton hingga saat ini masih
relatif kecil. Kecilnya pemanfaatan asbuton ini diduga berasal dari
beberapa hal, yaitu (1) kandungan aspal dalam deposit tanah sangat
heterogen, (2) sifat fisis asbuton untuk jalan yang masih heterogen dan
belum memenuhi persyaratan standar kualitas, dan (3) biaya proses
dan biaya transportasi yang relatif masih mahal. Ketiga kendala
tersebut harus diatasi untuk dapat memanfaatkan asbuton menjadi
barang yang nilai ekonominya lebih tinggi.
Salah satu cara pemanfaatan asbuton adalah mengolah menjadi
binder pada pembuatan aspal untuk high performance road dan proses
perengkahan menjadi fraksi ringan dengan bantuan katalisator padat.
Katalisator logam dengan beberapa jenis penyangga dapat dibuat
untuk membantu proses perengkahan tersebut.
Sampai dengan masa berakhirnya Perang Dunia I pada tahun
1918, sebagian besar produk kimia organik diperoleh melalui tiga
jalur pengolahan yaitu fermentasi bahan-bahan organik, ekstraksi
senyawa yang terdapat dialam seperti batubara dan transformasi dari
minyak nabati. Sejak awal tahun 1920 an, yaitu sejak alkohol berhasil
dibuat dari gas kilang, maka pembuatan sebagian besar produk kimia
organik telah mampu disubstitusikan pembuatannya dengan jalur
proses petrokimia, sehingga industri petrokimia mulai berkembang
(Pandjaitan, 2006). Dengan teknologi yang tersedia, maka bahan baku
petrokimia yang berasal dari batubara, gas bumi dan minyak bumi
dapat dikelompokkan sebagai berikut :
Dari Batubara
Batubara dengan kadar zat terbang 18 32 % digunakan untuk
memproduksi hard metallurgical coke, sedangkan batubara yang
mempunyai kualitas lebih rendah dengan kadar zat terbang sampai 40
% dan mempunyai kadar air, abu serta belerang cukup tinggi banyak

9
dimanfaatkan di industri gas, sebagai bahan bakar di Pusat Listrik
Tenaga Uap dan pabrik semen. Disamping itu batubara dimanfaatkan
oleh masyarakat dalam bentuk briket untuk keperluan rumah tangga
dan dapat direngkah menjadi bahan bakar cair dikenal dengan coal
liquefaction process. Istilah liquefaction yang dimaksud adalah
konversi batubara menjadi produk cair, tetapi mungkin juga produk
tersebut berupa padatan pada suhu kamar dan tekanan atmosferik.
Dari gas bumi
Komponen komponen gas bumi dapat digunakan sebagai
bahan baku petrokimia, antara lain : gas metanaa dapat digunakan
sebagai bahan baku gas sintesis, CO dan H2, selanjutnya dapat
dipergunakan untuk pembuatan amonia / urea, metanaol, carbon
black, dll. Gas etana dapat dijadikan bahan baku untuk industri olefin
untuk menghasilkan bahan-bahan sintetik seperti plastik, sabun
deterjen, bahan kosmetik, dll. Gas propana dalam industri olefin dapat
dijadikan bahan baku untuk menghasilkan polipropilena yaitu suatu
bahan plastik sintetik. Butana merupakan bahan baku untuk
pembuatan karet sintetik butadiena.
Dari minyak bumi
Melalui proses dalam kilang minyak yang didahului dengan
distilasi minyak bumi pada tekanan atmosferik akan didapat hasil
hasil pengilangan minyak yang disebut minyak intermediate. Produk
produk ini sangat sesuai untuk dipakai sebagai bahan baku petrokimia,
namun pemanfaatannya lebih diutamakan untuk memenuhi kebutuhan
bahan bakar minyak seperti : fuel gas (bahan bakar kilang), gas
propana dan butana sebagai gas penyusun utama bahan bakar LPG,
mogas sebagai bahan bensin / premium, nafta sebagai bahan baku
petrokimia untuk industri olefin dan aromatik, kerosin atau minyak
tanah yang kalau diekstraksi dapat menghasilkan n-parafin sebagai
bahan baku sabun deterjen, gas oil untuk bahan bakar minyak solar,
fuel oil untuk minyak bakar dan short residue / waxy residue untuk
bahan bakar minyak residu lain dan juga untuk bahan baku industri
petrokimia coke dan carbon black atau untuk industri olefin.

10
Berbicara mengenai industri kimia dan petrokimia di Indonesia
pada saat ini tidak akan terlepas dari pasokan bahan baku yang
tersedia. Berdasarkan data dari Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral (2007), Indonesia mempunyai cadangan dan produksi
batubara, gas dan minyak bumi sebagai berikut : potensi batubara di
Indonesia sebesar 57 miliar ton, cadangan terbukti sebesar 19,3 miliar
ton dan produksinya sebesar 130 juta ton per tahun; gas alam di
Indonesia potensinya sebesar 384,7 trilyun kaki kubik, cadangan
terbuktinya sebesar 182 trilyun kaki kubik dan produksi pertahunya
sebesar 3,0 trilyun kaki kubik; untuk minyak bumi potensinya sebesar
86,9 miliar barrel dan cadangan terbuktinya sebesar 9 miliar barrel
sementara produksinya sudah sebesar 500 juta barrel per tahun; untuk
aspal alam cadangan terbukti sampai saat ini sebesar 600 juta ton dan
belum diproduksi secara masal.
Dalam laporan yang lain produksi minyak di Indonesia menurun
dari tahun ketahun. Data tahun 1995 menunjukkan bahwa produksi
minyak di Indonesia sekitar 1,434 juta barrel per hari, sementara pada
tahun 2007 hanya sekitar 1 juta barrel per hari yang tersebar dalam 60
oil basins. Dari 60 oil basins tersebut, 22 belum ter-explorasi,
sedangkan 38 sudah dieksplorasi secara extensive, dimana sebagian
besar berada di belahan barat Indonesia. Diantara 38 oil basins tadi, 15
sudah berproduksi gas dan minyak bumi, 11 belum berproduksi dan
12 belum terbukti. Produksi minyak (crude oil) Indonesia, yang
memang kebanyakan berasal dari sumur-sumur tua, mengalami
penurunan secara alami dari tahun ke tahun sebanyak 15 % dari total
produksi. Namun dengan berbagai metode dalam upaya
mengoptimalkan lapangan-lapangan yang ada seperti Enhanced Oil
Recovery, Steam Flood dan pengembangan lapangan-lapangan baru,
maka penurunan tersebut dapat ditahan pada level 6,7 % per tahun.
Kebanyakan cadangan minyak Indonesia berada di daratan Sumatera
Tengah, Jawa Barat dan perairan Kalimantan Timur. Cadangan
minyak Indonesia lainnya banyak berada di perairan Kepulauan
Natuna, dan selat Makasar di Timur Kalimantan. Sumatera Tengah
adalah daerah dengan cadangan minyak paling besar dimana Duri dan
Minas adalah lapangan minyak terbesar di Indonesia. Di Duri dan
Minas saja diperkirakan saat ini masih tersedia minyak untuk di
produksi sebanyak 1 milliar barrel, disamping potensial recoverable

11
volume diperkirakan sebesar 200 juta barrel of crude oil. Daerahdaerah tersebut saat ini dikuasai oleh PT. Caltex Pacific Indonesia,
dimana saat ini sudah berganti nama menjadi PT. Chevron Pacific
Indonesia (CPI). Pada masa jayanya, CPI pernah memproduksi
minyak hampir 700 ribu barrel per hari, namun sejak kehilangan CPP
Blok yang dialihkan kepada Pemerintah Daerah Riau dan juga karena
mulai menuanya lapangan Duri dan Minas, maka tahun 2007
produksinya menurun hanya 483.000 barrel per hari saja. Meskipun
demikian, Indonesia masih bisa meng-ekspor hasil minyak nya
sebanyak 431.500 barrel per hari (ESDM, 2007), walaupun kemudian
harus pula meng-import sebanyak 345.700 barrel per hari, sehingga
Indonesia masih bisa disebut Net-Exporter sebanyak 85.800 barrel per
hari atau total 31,3 juta barrel per tahun. Kondisi ini jelas menunjukan
kecenderungan penurunan jika dibandingkan pada tahun 1999, dimana
volume Net-Export Indonesia adalah 177,3 juta barrel, tahun 2000
sebanyak 120,6 juta barrel, 69 juta barrel pada tahun 2001, dan 41,7
juta barrel di tahun 2002. Dengan melihat kecenderungan
export/import diatas, maka para ahli berpendapat bahwa Indonesia
bisa saja akan menjadi Net Importer, bukan lagi Net Exporter, dalam
waktu kurang dari 10 tahun. Disamping itu mesti diingat, saat ini saja,
tingkat konsumsi minyak kita per hari sudah sangat tinggi yaitu
1.044.000 barrel per hari, lebih tinggi dari produksi minyak bumi kita.
Sekitar 70 % dari Produksi Minyak Indonesia diolah untuk menjadi
Produk Bahan Bakar Minyak (BBM). Total konsumsi Bahan Bakar
Minyak yang digunakan untuk transportasi, listrik, industri dan rumah
tangga untuk tahun 2007 mencapai 54,7 juta kiloliter. Dengan
demikian, jika tetap berproduksi sebanyak itu, maka dapatlah dihitung
dalam waktu kurang dari 20 tahun saja cadangan minyak terbukti kita
akan habis.
Di Indonesia pengolahan minyak dilakukan di delapan lokasi
dengan kapasitas total sebesar 1,044 juta barrel per hari dengan
perincian UP-I Pangkalan Brandan 5.000 barrel, UP-II Dumai dan S
Pakning 170.000 barrel, UP-III Musi 133.700 barrel, UP-IV Cilacap
348.000 barrel, UP-V Balikpapan 253.500 BPSD, UP-VI Balongan
125.000 barrel, UP-VII Kasim10.000 barrel (Pertamina, 2007).
Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap Bahan Bakar Minyak
inilah yang akan membuat makin cepat habisnya cadangan minyak

12
Indonesia. Sehingga, disamping terus meningkatkan upaya penemuan
minyak baru serta pengoptimalkan sumur tua, diperlukan kesadaran
untuk menggunakan gas alam untuk mengurangi ketergantungan pada
minyak bumi.
Selain gas alam dan minyak bumi, batubara merupakan salah
satu sumber energi alternatif yang dapat disiapkan untuk pengganti
peran dari minyak bumi. Batubara merupakan hasil tambang yang
besar potensinya di Indonesia. Cadangan batubara Indonesia yang
telah diketahui mencapai lebih dari 19 milyar ton, sebanyak 71,6 %
diantaranya terletak di Sumatera dan 27,8 % terletak di Kalimantan.
Situasi perbatubaraan di Indonesia kini berkembang positif dengan
ditandainya kenaikan produksi, konsumsi dan ekspor yang tajam.
Produksi batubara yang pada tahun 1970 an hanya kurang dari 300
ribu ton telah meningkat menjadi sekitar 140 juta ton di tahun 2007.
Konsumsi batubara juga meningkat mencapai 70 juta ton yaitu sebagai
bahan bakar langsung terutama pada pembangkit listrik dan pabrik
semen disamping untuk ekspor dan keperluan industri kecil.
Dengan situasi bahan baku industri kimia dan petrokimia saat
ini, khusus dalam penyediaan minyak bumi diperkirakan Indonesia
akan mengalami peningkatan ketergantungan import bersih minyak
bumi secara signifikan hingga 58 % pada tahun 2020. Mengingat
minyak mentah digunakan untuk memproduksi bahan bakar serta
bahan lainnya untuk berbagai jenis industri lanjutan, maka perlu
dilakukan cara baru untuk menaikkan produksi minyak mentah di
Indonesia. Mengingat kondisi sumur di Indonesia sudah banyak yang
tua dan sebagian lagi di daerah yang sulit dijangkau, dan dengan
perbandingan antara Risk dan Reward yang dipandang tidak cukup
menarik untuk mengundang investasi skala besar, maka
dikeluarkanlah Peraturan Menteri ESDM No. 8 tahun 2005 pada bulan
April 2005, yang memberikan insentif bagi perusahaan minyak yang
meng-eksplorasi didaerah marginal dengan tambahan 20 %
reimbursment dalam Cost-Recovery. Bahkan, konsep bagi hasilnya
pun sekarang diganti menjadi 70/30 bagi Pemerintah dan Kontraktor
untuk bidang minyak, dan 60/40 untuk Gas.
Teknologi kimia berpengaruh besar untuk memberikan
kontribusi dalam penyediaan bahan bakar minyak di masa depan.
Mengingat pengambilan minyak secara fisis sudah sulit ditingkatkan

13
lagi, penggunaan bahan kimia dalam pengambilan minyak tersisa di
reservoir berpeluang besar untuk bisa meningkatkan produksi minyak
(Enhanced Oil Recovery).
Enhanced Oil Recovery
Seiring dengan perkembangan industri yang sangat pesat,
dibutuhkan energi dalam jumlah yang sangat besar. Saat ini kebutuhan
energi sebagian besar disuplai dari minyak bumi yang diperkirakan
akan habis pada tahun 2020 bila tidak ada upaya lain. Banyak energi
alternatif yang telah dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi
saat ini. Ada yang telah beroperasi secara komersial, namun ada pula
yang masih dalam tahap penelitian, dimana aplikasi dan kelayakannya
perlu dicari terlebih dahulu. Batu bara dan gas bumi adalah energi
alternatif pengganti yang telah dioperasikan secara komersial untuk
saat ini. Dalam kurun waktu terbatas (40 hingga 60 tahun) bahan
energi tersebut akan habis di gunakan karena seperti halnya minyak
bumi, bahan tersebut adalah bahan fosil yang tidak dapat diperbaharui
(non renewable). Energi nuklir telah dimanfaatkan oleh berbagai
negara maju seperti Amerika, Jepang, Eropa (Perancis) dan lain-lain,
namun kendala pada akibat yang ditimbulkan jika terjadi kecelakaan
saat ini masih menjadi trauma masyarakat luas termasuk Indonesia.
Energi dari panas bumi, bio massa, mikrohidro, ombak, angin dan
lain-lain yang merupakan energi terbarukan (renewable) telah banyak
dikembangkan dan beberapa negara telah melaksanakan secara
komersial dengan kapasitas bervariasi sesuai peruntukan dan potensi
sumbernya. Namun demikian dilihat dari kapasitas produksi energi
yang dihasilkan hanya memberikan kontribusi sekitar 5 % dari
kebutuhan total energi.
Melihat berbagai potensi dan kendala diatas, maka pemungutan
kembali sisa minyak atau Enhanced Oil Recovery (EOR) untuk
minyak mentah yang masih tersisa disumur tua yang tersebar dalam
jumlah banyak diseluruh Indonesia ini perlu dikaji dan dimanfaatkan
untuk memberikan kontribusi pemenuhan kebutuhan energi nasional
yang semakin meningkat dari tahun ketahun, padahal produksi energi
dalam negeri makin merosot.

14
Dewasa ini cadangan minyak bumi Indonesia sekitar 9 milyar
barrel, dengan tingkat produksi 1,3 juta barrel per hari. Sementara itu
masih banyak sisa minyak mentah di ladang minyak yang belum
terambil (35 - 70 %) karena beberapa faktor. Menurut Lake (1989)
dan Pinczweski (1993) mekanisme recovery minyak bumi dalam
reservoir dapat digolongkan menjadi tiga. Primary recovery yaitu
produksi minyak bumi hanya menggunakan tenaga yang sudah ada
dalam reservoir (pergerakan air alam, ekspansi gas sumbat,
pergerakan gas terlarut, dan perubahan tekanan). Secondary
recovery yaitu produksi minyak bumi dengan memberikan injeksi
gas atau air untuk mendorong minyak keluar. Tertiary recovery
atau proses Enhanced Oil Recovery (EOR), yaitu setiap proses yang
dapat mengambil minyak dari dalam reservoir dengan kerja yang
lebih baik daripada teknologi konvensional (primary dan secondary
recovery), dan umumnya menggunakan fluida-fluida yang lebih
efektif, dan disebut dengan recovery agent.
Saat ini pelaksanaan EOR dapat diprioritaskan menjadi salah
satu solusi alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi dimasa
datang. Alasan utama solusi ini adalah adanya ribuan sumur tua yang
tidak dioperasikan lagi sejak zaman Belanda hingga saat ini karena
dipandang tidak layak lagi untuk diteruskan. Dari berbagai
pengamatan menunjukkan sumur tua masih mengandung minyak
mentah sekitar 30 % hingga 60 % dari kandungan asalnya. Alasan
kedua adalah proses EOR tidak memerlukan pengeboran lagi seperti
saat eksplorasi dan pembukaan sumur baru. Kegiatan yang dilakukan
adalah melanjutkan eksploitasi minyak mentah di lokasi yang telah
ada, namun dengan metoda yang berbeda, diantaranya dengan
menginjeksikan bahan yang dapat merubah sifat minyak mentah dan
air formasi dalam campurannya.
Ada tiga sebab utama mengapa masih begitu banyak minyak
yang tersisa setelah perolehan dengan proses-proses konvensional.
Pertama, karena heterogenitas batuan reservoir dan masalah yang
timbul olehnya. Hanya sebagian saja dari reservoir yang dapat
dikontak atau disapu oleh fluida pendesak, sedang sebagian yang
lainnya terlampaui, tak terkontak dan tersapu. Kedua, pada bagian
reservoir yang dapat dikontak oleh fluida pendesak, tidak semua
minyak dapat tersapu, sebagian, antara 10 % - 40 % pore volume tetap

15
tertahan didalam pori-pori karena tekanan kapiler (Pc) dan tegangan
antar muka (IFT) yang terlalu besar. Ketiga, kekentalan minyak yang
terlalu besar juga akan menghambat laju aliran untuk dapat diproduksi
secara ekonomis. Jadi ada tiga faktor fisik penyebab tingginya
prosentase minyak sisa : hetrogenitas batuan reservoir, tekanan kapiler
(Pc) dan tegangan antar muka (IFT), dan kekentalan minyak yang
tinggi.
Berbagai metoda untuk menaikkan perolehan minyak kini
tengah digalakkan, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia.
Minyak yang tertinggal merupakan sasaran yang menarik untuk
metoda EOR. EOR adalah suatu usaha untuk meningkatkan
perolehan minyak mentah dengan cara menginjeksikan berbagai
jenis bahan terpilih yang dapat mengubah sifat-sifat fisis dan kimia
fluida (air dan minyak) di dalam batuan reservoir. Pada dasarnya
bahan-bahan injeksi dapat berupa bahan kimia, bahan panas, bahan
terlarut (Lake, 1989; Pinczewski, 1993; Ershagi,1994). Menurut
Pinczewski (1993) dan Ershagi (1994), proses-proses dalam EOR
dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kategori utama. Chemical: 1)
Surfactant flooding, 2) Micellar Polymer Flooding, 3) Polymer
Flooding, dan 4) Alkaline atau Caustic Flooding. Thermal: 1)
Steam Flooding dan 2) Fire Flooding. Miscible: 1) Carbon
Dioxides Flooding, 2) Nitrogen and Flue Gas Flooding, dan 3)
Enriched Hydrocarbon Gas Flooding.
Untuk pelaksanaan EOR kimia diperlukan suatu pengetahuan
yang mendalam tentang bahan-bahan kimia EOR dan transport
phenomena, khususnya aliran dua fase dalam media berpori. EOR
kimia meliputi semua proses yang menggunakan injeksi air yang
mengandung bahan-bahan kimia untuk meningkatkan produksi dan
perolehan minyak. Metode ini merupakan salah satu dari tiga kategori
EOR selain thermal dan miscible process (Herbeck dkk., 1980;
Barakat dkk., 1983; Gogarty, 1983, Ershagi,1994). Salah satu metoda
EOR adalah injeksi menggunakan bahan kimia yang disebut dengan
micellar-polymer flooding dimana surfaktan digunakan untuk
menurunkan tegangan antar muka antara fluida yang diinjeksikan dan
minyak di dalam reservoir. Surfaktan mempunyai sifat sifat berikut :

16
1.

2.

3.
4.
5.

Sifat paling mendasar yang dimiliki surfaktan adalah mempunyai


dua gugus berbeda, satu gugus mempunyai sifat lipophilik dan
yang lainnya hidrophilik
Mempunyai struktur amphifatis dimana molekul-molekul
surfaktan terurai menjadi gugus yang mempunyai kecenderungan
pelarutan yang berlebihan
Surfaktan dapat larut dalam satu fase atau lebih dalam cairan
Pada saat keseimbangan, kensentrasi surfaktan yang larut pada
interface lebih besar daripada konsentrasi bulk
Molekul dan ion surfaktan cenderung membentuk lapisan pada
interface

Setelah minyak terlepas dari batuan, campuran minyak-air


disapu menggunakan bahan polimer. Namun dalam pelaksanaan di
lapangan ada kendala dari bahan surfaktan dan polimer yaitu harganya
mahal dan jumlahnya terbatas, sehingga perlu dikembangkan
surfaktan dan polimer yang harganya murah dan jumlahnya banyak.
Walaupun penelitian tersebut telah banyak dilakukan orang, namun
aplikasinya sendiri sering menemui kegagalan, karena selain biayanya
mahal, juga proses yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Masih terbuka cukup banyak permasalahan yang memerlukan
penelitian di bidang riset dasar EOR yang dapat diaplikasikan di
lapangan dalam upaya EOR. Apalagi suhu dan kandungan lempung
yang relatif tinggi pada reservoir-reservoir di Indonesia lebih
mempersulit penggunaan metode kimiawi untuk usaha EOR.
Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses EOR
dengan chemical flooding antara lain adalah: batuan reservoir,
struktur dan sifat-sifat fisis dan kimia media berpori, permeabilitas
atau distribusi ukuran pori batuan, keadaan fluida dalam media
berpori, mekanisme recovery, klasifikasi proses EOR, mobilisasi
minyak sisa/residual, dan proses adsorpsi. Dalam batuan reservoir
kadang-kadang terdapat lempung, yang umumnya mempunyai daya
adsorpsi yang kuat. Oleh karena itu, adsorpsi surfaktan oleh lempung
perlu dipertimbangkan dalam pendesakan minyak dengan larutan
surfaktan.

17
Di pasaran terdapat berbagai bahan surfaktan dan umumnya
produk impor. Selain itu surfaktan yang ada umumnya dari turunan
minyak bumi (petroleum base) sehingga pada waktu harga minyak
bumi tinggi, maka harga surfaktan juga naik. Oleh karenanya
dibutuhkan surfaktan yang bukan merupakan turunan minyak bumi,
berharga murah dan mudah didapat. Beberapa bahan jenis bahan
bahan kimia termasuk surfaktan sudah diuji kemampuannya dalam
proses pendesakan minyak di Laboratorium Teknologi Minyak Bumi,
Gas dan batubara, Jurusan Teknik Kimia FT-UGM. Diantara bahan
yang diuji adalah sodium ligno sulfonat (SLS). Bahan surfaktan ini
berasal dari tumbuhan. Bahan kimia SLS adalah sejenis surfaktan
yang mempunyai kemampuan menurunkan tegangan antar muka fasa
minyak dan fasa cair dengan timbulnya fasa ketiga diantara kedua fasa
yang disebut dengan mikro emulsi. Besar serta posisi fasa mikroemulsi menentukan kemampuan surfaktan tersebut mengangkat
minyak bumi dari reservoir. Berdasarkan data yang ada SLS
mempunyai kelarutan yang cukup besar, baik di dalam air maupun di
dalam minyak. Disamping itu lignin juga mempunyai kemampuan
sebagai emulsifying sehingga SLS dapat digolongkan surfaktan.
Parameter yang dapat mempengaruhi cukup kompleks, antara lain
jenis minyak mentah, salinitas air formasi, suhu proses, jenis batuan
reservoir serta konsentrasi surfaktan. Bahan utama untuk pembuatan
SLS adalah lignin yang banyak terdapat pada tanaman pohon. Lignin
merupakan polimer komplek yang tersusun dari unit monomer phenyl
propane. Lignin alam mempunyai berat molekul besar dan tidak
mudah larut dalam air. Molekul lignin dapat dipecah dengan cara
reaksi kimia menjadi molekul yang lebih kecil dan bersifat mudah
larut dalam air sehingga dapat terpisah dari selulosa. Pemecahan
molekul lignin dan pelarutannya dikenal dengan nama pulping. Lignin
yang diperoleh dari proses pulping yang berbeda mempunyai sifat dan
struktur yang berbeda pula. Ada beberapa proses yang dapat
digunakan untuk memisahkan dan melarutkan lignin dari selulosa.
Berkaitan dengan proses pembentukan SLS maka ada 2 proses yang
dimungkinkan yaitu Proses Kraft Pulping dan Proses Sulfit
Mengingat keterbatasan bahan baku, dimungkinkan mencari
alternatif lignin dari tanaman kayu yang banyak terdapat di Indonesia,
salah satunya adalah dari serabut dan tandan Kelapa Sawit. Kelapa

18
sawit telah dicanangkan pemerintah sebagai primadona komoditi non
migas di subsektor perkebunan. Industri kelapa sawit terus meningkat
dari tahun ke tahun. Berdasarkan data produksi minyak sawit dunia,
saat ini Indonesia menduduki urutan kedua setelah Malaysia. Limbah
industri minyak kelapa sawit yang sebagian berupa cangkang, serabut
dan tandan buah kelapa sawit hanya terkumpul berupa onggokan
sampah yang tidak berharga. Sisa-sisa pabrik kelapa sawit ini
merupakan zat organik yang dapat mengalami pembusukan dan
mengakibatkan pencemaran bagi lingkungan. Menurut data statistik,
kapasitas pabrik minyak kelapa sawit di Indonesia sebanyak 2.358 ton
tandan buah segar (TBS) / jam atau sekitar 8,5 juta ton TBS/tahun.
Randemen minyak sawit berkisar 18 24 %, sehingga limbahnya
akan terkumpul sebanyak kira-kira 13,9 juta ton/tahun. Karena
jumlahnya sangat melimpah dan penggunaannya yang terbatas, maka
pemanfaatan sabut dan tandan kelapa sawit dari limbah industri kelapa
sawit merupakan alternatif yang baik untuk mengembangkan
teknologi lignin menjadi bahan surfaktan (SLS)
Polimer
Tujuan dari proses EOR sendiri adalah untuk memobilisasi sisa
minyak setelah perolehan pertama dan kedua. Hal ini dapat dicapai
apabila ada peningkatan pada proses pendesakan minyak dan
peningkatan pada efisiensi penyapuan volumetrik. Efisiensi
pendesakan minyak dapat dicapai dengan cara menurunkan
viskositasnya seperti pada proses EOR termal, atau menaikkan nilai
kapilernya (Nc) dengan cara menurunkan tegangan antar muka (IFT).
Sedangkan efisiensi penyapuan valumetrik dapat ditingkatkan dengan
mengontrol rasio mobilitas antara air yang mendesak dengan minyak
yang didesak. Misalnya pemakaian bahan polimer yang dapat larut
dalam air. Bahan polimer ini dapat menaikkan viskositas air, sehingga
akan memperbaiki efisiensi penyapuan.
Polimer dapat juga menurunkan kontras mobilitas karena
perubahan permeabilitas yang disebabkan oleh kenaikan viskositas
dan proses adsorpsi dalam zona penyapuan; memperbaiki mobilitas
surfaktan slug bila diperlukan, sehingga akan memperbaiki efisiensi
penyapuan surfaktan. Disamping itu perlu pula diteliti apakah terdapat

19
interaksi antara polimer dengan surfaktan yang dapat mempunyai
pengaruh yang berlawanan. Dalam polymer flooding faktor-faktor
yang harus diperhatikan ialah : stabilitas dan salinitas yang tinggi.
Polimer adalah penggabungan secara kovalen dari monomer.
Apabila monomernya sama, polimer disebut homopolimer, sedangkan
apabila monomernya berbeda, polimer disebut kopolimer. Polimer
dapat linier atau bercabang, dan dapat diperoleh dari alam atau dibuat
secara sintesis. Polimer yang berasal dari alam misalnya selulose,
hidroksietil selulose dan karboksimetil selulose. Polimer sintetis
misalnya poliakrilamida.
Polimer adalah zat yang dibuat dari molekul-molekul yang
berukuran sangat besar, yang berfungsi sebagai pengental saat
ditambahkan ke dalam air injeksi. Selain tergantung pada konsentrasi
polimer, viskositas larutan sistem polimer ini juga tergantung pada
jenis polimer, salinitas, dan shear rate. Viskositas yang tinggi ini lebih
menguntungkan untuk proses pendesakan karena akan dihasilkan
perbandingan mobilitas yang rendah antara air dengan minyak.
Polimer dapat mengurangi pengaruh yang merugikan dari variasi
permeabilitas dan rekahan sehingga dengan demikian dapat
memperbaiki efisiensi penyapuan vertikal dan horizontal.
Dua tipe polimer yang umum digunakan adalah biopolymer
(jenis polysaccharide), misalnya xantan dan synthetic polymer seperti
polyacrilamide. Sebagai pengental air formasi pada proses polymer
flooding untuk Enhanced Oil Recovery (EOR), xanthan gum
merupakan biopolimer yang ramah lingkungan dan bersifat mudah
terurai secara alami (biodegradable). Di samping itu, polisakarida
mikrobial ini dihasilkan oleh bakteri patogen yang menyerang
beberapa jenis tanaman pertanian yang banyak terdapat di Indonesia.
Gum adalah beberapa grup senyawa polisakarida atau
turunannya yang bersifat hidrofil dan akan terhidrasi dengan baik
dalam air panas maupun air dingin membentuk larutan yang kental
atau membentuk gel. Gum alami ada yang dihasilkan dari fermentasi
mikrobial. Sebagai polisakarida mikrobial, xanthan gum termasuk
polisakarida ekstraseluler, atau lebih dikenal sebagai eksopolisakarida,
yaitu polisakarida yang dihasilkan oleh sel bakteri dan disekresikan
keluar dari badan sel (Bloch, 1991). Xanthan Gum (C35H49O29)n
dihasilkan oleh bakteri patogenik tanaman Xanthomonas campestris.

20
Jika ditinjau dari struktur kimianya xanthan gum termasuk dalam
golongan heteropolisakarida dengan struktur utama yang terdiri dari
beberapa unit pentasakarida berulang yang masing-masing unit terdiri
dari dua unit glukosa, dua unit manossa dan satu unit asam
glukoronat.
Saat ini sudah ditemukan bahan kimia surfaktan yang harganya
murah dan jumlahnya cukup banyak yaitu Sodium Ligno Sulfonat dari
limbah pengolahan industri minyak kelapa sawit. Riset ini sudah
dilakukan di Laboratorium Teknologi Minyak Bumi FT-UGM sejak
tahun 1993. Untuk polimer sudah dikembangkan poliakrilamida
(HPAM) dan xanthan gum yang berasal dari bakteri patogenik. Hasil
dari proses pendesakan minyak skala laboratorium menunjukkan hal
yang sangat positif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah
injeksi air garam, sisa minyak yang tetinggal didalam reservoir buatan
masih dapat dipungut. Hasil dari pendesakan minyak skala
laboratorium menggunakan SLS dan HPAM menunjukkan
peningkatan perolehan minyak setelah water flooding. Dari data
percobaan didapat peningkatan lebih dari 60 % dari sisa minyak yang
ada dapat diambil kembali menggunakan SLS dan HPAM dengan
konsentrasi antara 500 - 20.000 ppm tergantung dari jenis minyak,
porositas dan permeabilitas batuan, suhu dan tekanan reservoir dan
jenis batuan (Purwono, dkk., 2001 dan 2004).
Apabila kondisi ini dapat diaplikasikan di lapangan lapangan
minyak di Indonesia maka produksi minyak Indonesia dapat
ditingkatkan antara 20 60 %, sehingga dapat diperkirakan minyak
yang dapat diambil akan bertahan sekitar 80 tahun lagi.

21
Daftar Pustaka
Abraham, H., 1968, Asphalt and Allied Substances, D. Van Nostrad
Company Inc., New York, 98 126.
Argabright, Perry A., Rhudy and John S., 1984, "Oil Recovery
Process", United States Patent 4,433,727
Barakat, Y., Fortney, L.N., Schechter, R.S., Wade, W.H., and Yiv,
S.H., 1983, Criteria for Structuring Surfactants to Maximize
Solubilization of Oil and Water, Journal of Colloid and
Interface Science, 92, 2, 56 573.
Bloch, S., 1991, Empirical Prediction of Porosity and Permeability in
Sandstones, The American Assoc. Pet. Geol. Bull.,75, 7, 1145
1160.
Bradley, H.B., 1989, Petroleum Engineering Handbook, 47, SPE,
Richardson, USA, 2 10.
Connelly, Lawrence J., Ballweber and Edward G., 1979, "Method of
Hydrolyzing Polyacrylamide", United States Patent 4,171, 296.
Chiu, T.W., Wakeman, R.J., Harris, P.R., and Meuric, O.F.J., 1996,
Effects of Non-Newtonian Fluid and Porous Media Parameters
on Two Phase Flow in Porous Media , Trans.I.Chem.E. , 74,
224 225.
Dauben, D.L., and Menzie, D.E., 1967, Flow of Polymer Solution
through Porous Media , J. Pet. Tech.,1065 1066.
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2007, Laporan
Menteri ESDM.
Elliot, M.A. 1981, Chemistry of Coal Utilization, John Wiley and
Sons, New York, 223 345.
Ershagi, I., 1994, Fundamentals aspects of Chemical Oil Recovery,
Presented at Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia,
12 45.
Fujimoto, T., Okada, M. and Shigeo, I., 1974, Process for Producing
a Partially Hydrolyzed Acrylamide Polymer, United State
Patent 3, 784, 597.
Gogarty, W.B., 1983, Enhanced Oil Recovery Through the Use of
Chemicals-Part 1 and Part 2, Soc. Pet. Eng. of AIME,
Distinguished Author Series, 147 165.
Hardjono, A., 2001, Teknologi Minyak Bumi, Gadjah Mada

22
University Press, 13 16.
Herbeck, E.F., Heintz, R.C., and Hastings, J.R., 1978, Fundamentals
of Tertiary Oil Recovery, Pet. Eng. Journal, Part 6, 44 56.
Jones, D.S.J., 1995, Element of Petroleum Processing, John Wiley
and Sons, Singapore, 118 134..
Jonsson, B., Lindman, B., Holmberg, K. dan Kronberg, B., 2001,
Surfactants and Polymers in Aqueous Solution, John Willey
and Sons, New York, 224 241.
Katz, D.L. and Lee, R.L., Natural Gas Engineering, Production and
Storage, McGraw Hill Book Company, New York, 23 41.
Kirk, G.W., and Othmer, D.F., 1978, "Encyclopedia of Chemical
Technology", 3rd ed, vol 1, John Wiley and Sons, New York,
298 311, 312 330.
Lake, L.W., 1989, Enhanced Oil Recovery, pp. 1, 43, Prentice Hall,
Englewood Cliffs, New Jersey, 17 39.
Marle, C.M., 1981, Multiphase Flow in Porous Media, Gulf
Publishing Company, Book Division Houston, Texas, 2 50.
Mator, S. and Hatcs, L.F., 2001, Chemistry of Petrochemical
Processes, Gulf Professional Publishing, New York, 34 62.
Meyers, R.A., 2005, Handbook of Petrochemicals Production
Processes, McGraw Hill Book Company, New York, 115
146.
Nelson, W.L., 1958, Petroleum Refinery Engineering, 4 ed.,
McGraw Hill Book Company, New York, 32 56.
Pandjaitan, M., 2006, Industri Petrokimia dan Dampak
Lingkungannya, Gadjah Mada University Press, pp. 115 118.
Pertamina, 2007, www.pertamina.com.
Pinczewski, W.V., 1993, Enhanced Oil Recovery, Presented in
Jakarta, 2 140.
Pollen, H.K.V., 1980, Fundamentals of Enhanced Oil Recovery,
Pann Well Books, Tulsa, Oklahoma, 83 98.
Pratap, M., Roy, R.P., Gupta, R.K. and Singh D., 1997, Field
Implementation of Polymer EOR Technique, Journal of
Petrolium Technology, 50, 89 90.
Purwono, S. and Murachman, B., 2001, Development of Non
Petroleum Base Chemicals for Improving Oil Recovery in
Indonesia, SPE 68768, SPE Asia Pacific Oil and Gas Conference

23
and Exhibition, Jakarta, Indonesia.
Purwono, S, Murachman, B., Yuliansyah, A.T., Handayani, P.A.,
Wibowo, K., and Irawan, D., 2004, Development of Polymer
for Improving Oil Recovery, Proc. Regional Symposium on
Chemical Engineering 2004, Bangkok, Thailand.
Sandler, S.R., Karo, W., 1992, Polymer Syntheses, vol 1, Academic
Press, Inc, San Diego, 420 445.
Solomons., Graham, 1980, Organic Chemistry, Edisi ke 2, John
Wiley & Sons, New York, 33 78.
Sorbie, K.S., 1991, Polymer Improved Oil Recovery, vol 1,
Blackie and Sons Ltd, London, 47 113.
Wolemuth, GL, 1968,Water Flooding Process, United State Patent
3, 370, 649.

You might also like