You are on page 1of 9

Etiologi

Penyebab terjadinya hernia inguinalis masih diliputi berbagai kontroversi, tetapi


diyakini ada tiga penyebab, yaitu (Brunicardi, 2005):
1. Peningkatan tekanan intra abdomen yang berulang.
a) Overweight Mengangkat barang yang berat yang tidak sesuai dengan
ukuran badan
b) Sering mengedan karena adanya gangguan konstipasi atau gangguan
saluran kencing
c) Adanya tumor yang mengakibatkan sumbatan usus
d) Batuk

yang

kronis

dikarenakan

infeksi,

bronchitis,

asthma,

emphysema, alergi
e) Kehamilan
f)

Ascites

2. Adanya kelemahan jaringan /otot.


3. Tersedianya kantong

Klasifikasi Hernia
Secara garis besar , pembagian hernia dibagi menjadi 3 yaitu
(Sjamsuhidajat, 2005) :
1. Hernia Inguinalis
Hernia inguinalis dapat terjadi karena kelainan kongenital atau
karena sebab yang didapat. Hernia inguinalis timbul paling sering pada pria
dan lebih sering pada sisi kanan dibandingkan pada sisi kiri. Pada orang
yang sehat, ada tiga mekanisme yang dapat mencegah terjadinya hernia
inguinalis, yaitu kanalis inguinalis yang berjalan miring, adanya struktur
m.oblikus internus abdominis yang menutup annulus inguinalis internus
ketika berkontraksi, dan adanya fascia transversa yang kuat menutupi
trigonum Hasselbach yang umunya hampir tidak berotot. Faktor paling
kausal yaitu adanya proses vaginalis (kantong hernia) yang terbuka,
peninggian tekanan didalam rongga perut, dan kelemahan otot dinding perut
karena usia. Hernia inguinalis di bagi lagi, yaitu :

a. Hernia inguinalis medialis


Hernia inguinalis direk ini hampir selalu di sebabkan oleh faktor
peninggian tekanan intraabdomen kronik dan kelemahan otot dinding di
trigonum Hasselbech. Oleh karena itu, hernia ini umumnya terjadi
bilateral, khususnya pada laki-laki.
b. Hernia inguinalis lateralis
Hernia ini disebut lateralis karena menonjol dari perut di lateral
pembuluh epigastrika inferior. Disebut indirek karena keluar melalui dua
buah pintu dan saluran, yaitu anulus dan kanalis inguinalis. Pada
pemeriksaan hernia lateralis, akan tampak tonjolan berbentuk lonjong.
2. Hernia Skrotalis
Hernia scrotalis merupakan hernia inguinalis lateralis yang mencapai
skrotum (Sjamsuhidayat R, 2005)
3. Hernia fermolis
Hernia femoralis umumnya di jumpai pada perempuan tua.
Keluhan biasanya muncul berupa benjolan di lipat paha yang muncul
terutama pada waktu melakukan kegiatan yang menaikkan tekanan
intraabdomen. Pintu masuk hernia femoralis adalah annulus femoralis.
Selanjutnya, isi hernia masuk ke dalam kanalis femoralis yang berbentuk
corong sejajar dengan v.femoralis sepanjang kurang lebih 2 cm dan keluar
pada fosa ovalis di lipat paha.
4. Hernia lain lain
Hernia yang termasuk dalam jenis ini yaitu hernia yang jarang
terjadi (Grace, 2006):
a. Hernia umbilikalis
Hernia umbilikalis merupakan hernia kongenital pada umbilikus
yang hanya tertutup peritoneum dan kulit. Hernia ini terdapat pada kira
kira 20 persen pada bayi dan lebih tinggi lagi pada bayi prematur .
b. Hernia para-umbilikalis
Hernia para-umbilikalis merupakan hernia melalui suatu celah di garis
tengah di tepi kranial umbilikalus, jarang spontan terjadi di tepi
kaudalnya.

c. Hernia epigastrika
Hernia epigastrika adalah hernia yang keluar melalui defek di linea
alba antara umbilikus dan prosesus xifoideus. Isi terdiri atas penonjolan
jaringan lemak preperitoneal dengan atau tanpa kantong peritoneum.
d. Hernia ventralis
Hernia ventralis adalah nama umum untuk semua hernia di dinding
perut bagian anterolateral seperti hernia sikatriks. Hernia sikatriks
merupakan penonjolan peritoneum melalui bekas luka operasi yang baru
maupun yang lama.
e. Hernia spieghel
Hernia spieghel ialah hernia interstisial dengan atau tanpa isinya
mealui fasia Spieghel.
f. Hernia obturatoria
Hernia obturatoria ialah hernia melalui foramen obturatorium.
g. Hernia perinealis
Hernia perinealis merupakan tonjolan hernia pada perineum
melalui defek dasar panggul yang dapat terjadi secara primer pada
perempuan multipara, atau skunder setelah operasi melalui perineum
seperti prostatektomia atau reseksi rectum secara abdominoperineal.
h. Hernia pantalon
Hernia pantolan merupakan kombinasi hernia inguinalis dan medialis
pada satu sisi.
F. Rencana Terapi Nonmedikamentosa dan Medikamentosa
1. Terapi Umum
Terapi konservatif berupa penggunaan alat penyangga dapat digunakan
sebagai pengelolaan sementara, misalnya pemakaian korset pada hernia
ventralis. Sementara itu, pada hernia inguinalis pemakaian korset tidak
dianjurkan karena selain tidak menyembuhkan, alat ini dapat melemahkan
dinding perut (Sjamsuhidayat R, 2005).
Umumnya terapi operatif merupakan terapi satu-satunya yang rasional,
dan usia lanjut bukan merupakan kontraindikasi dilakukannya operasi
(Sjamsuhidayat R, 2005).

2. Indikasi Pembedahan
Pada umumnya, semua hernia harus diperbaiki, kecuali jika ada
keadaan lokal atau sistemik dari pasien yang tidak memungkinkan hasil
yang aman. Pengecualian yang mungkin dari hal umum ini adalah hernia
dengan leher lebar dan kantung dangkal yang diantisipasi membesar secara
perlahan. Bebatan atau sabuk bedah bermanfaat dalam penatalaksanaan
hernia kecil jika operasi merupakan kontraindikasi, tetapi bebatan
merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan hernia femoralis (Schwartz,
2000).
Pada hernia inkarserata, apalagi pada hernia strangulata, kemungkinan
pulihnya isi hernia harus dinilai saat operasi. Bila isi hernia sudah nekrotik,
dilakukan reseksi. Kalau sewaktu operasi daya pulih isi hernia diragukan,
diberikan kompres hangat dan setelah lima menit dievaluasi kembali warna,
peristaltis, dan pulsasi pada a. arkuata pada usus (Sjamsuhidayat R, 2005)
Jika ternyata pada operasi dinding perut kurang kuat, yang memang
terjadi pada hernia direk, sebaiknya digunakan marleks untuk menguatkan
dinding perut setempat (Sjamsuhidayat R, 2005).
Komplikasi operasi hernia dapat berupa cedera V. femoralis, N.
ilioinguinalis, N. iliofemoralis, duktus deferens, atau buli-buli bila masuk
pada hernia geser (Sjamsuhidayat R, 2005).
Komplikasi dini beberapa hari setelah herniorafi dapat pula terjadi
berupa hematoma, infeksi luka, bendungan V. Femoralis, terutama pada
operasi hernia femoralis, fistel urin atau feses, dan hernia residif
(Sjamsuhidayat R, 2005).
Komplikasi lanjut berupa atrofi testes karena lesi A.spermatika atau
bendungan pleksus pampiniformis, dan komplikasi yang paling penting
adalah hernia residif (Sjamsuhidayat R, 2005).
Insidens dari residif bergantung pada umur pasien, letak hernia, teknik
hernioplastik yang dipilih dan cara melakukannya. Hernia inguinalis indirek
pada bayi sangat jarang residif. Angka residif hernia inguinalis indirek pada
segala umur lebih rendah dibandingkan dengan hernia inguinalis direk atau
hernia femoralis. Reparasi pertama memberikan tingkat keberhasilan yang

paling tinggi, sedangkan operasi pada kambuhan memberikan angka residif


sangat tinggi (Sjamsuhidayat R, 2005).
3. Tatalaksana Hernia Inguinalis
Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan
pemakaian penyangga atau penunjang utnuk mempertahankan isi hernia
yang telah direposisi. Reposisi tidak dilakukan pada hernia inguinalis
strangulata, kecuali pada pasien anak-anak. Reposisi dilakukan secara
bimanual. Tangan kiri memegang isi hernia membentuk corong sedangkan
tangan kanan mendorongnya ke arah cincin hernia dengan sedikit tekanan
perlahan yang tetap sampai terjadi reposisi. Pada anak-anak inkarserasi
lebih sering terjadi pada umur dibawah dua tahun. Reposisi spontan lebih
sering dan sebaliknya gangguan vitalitas isi hernia jarang terjadi
dibandingkan orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh cincin hernia yang
lebih elastis pada anak-anak. Reposisi dilakukan dengan menidurkan anak
dengan pemberian sedatif dan kompres es di atas hernia. Bila usaha reposisi
ini berhasil, anak disiapkan untuk operasi pada hari berikutnya. Jika reposisi
hernia tidak berhasil, dalam waktu 6 jam harus dilakukan operasi segera
(Sjamsuhidayat R, 2005).
Pemakaian bantalan penyangga hanya bertujuan menahan hernia yang
telah direposisi dan tidak pernah menyembuhkan sehingga harus dipakai
seumur hidup. Namun, cara yang sudah berumur lebih dari 4000 tahun ini
masih saja dipakai sampai sekarang. Sebaiknya cara ini tidak dianjurkan
karena menimbulkan komplikasi, antara lain merusak kulit dan tonus otot
dinding perut di daerah yang tertekan sedangkan strangulasi tetap
mengancam. Pada anak-anak cara ini dapat menimbulkan atrofi testis karena
tekanan pada tali sperma yang mengandung pembuluh darah testis
(Sjamsuhidayat R, 2005).
Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan rasional
hernia inguinalis. Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosa ditegakkan.
Prinsip dasar operasi hernia terdiri atas herniotomi dan hernioplastik
(Sjamsuhidayat R, 2005).

Pada herniotomi dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke


lehernya, kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan,
kemudian direposisi. Kantong hernia dijahit ikat setinggi mungkin lalu
dipotong (Sjamsuhidayat R, 2005).
Pada hernioplastik dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis
internus dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis. Hernioplastik
lebih penting dalam mencegah terjadinya residif dibandingkan dengan
herniotomi. Dikenal berbagai metode hernioplastik, seperti memperkecil
anulus inguinalis internus dengan jahitan terputus, menutup dan
memperkuat fasia transversa, dan menjahitkan pertemuan m.transversus
internus abdominis dan m.obliqus internus abdominis yang dikenal dengan
nama conjoint tendon ke ligamentum inguinale Poupart menurut metode
Bassini, atau menjahitkan fasia transversa, m.transversus abdominis, m.
obliqus internus abdominis ke ligamentum Cooper pada metode McVay
(Sjamsuhidayat R, 2005).
Metode Bassini merupakan teknik herniorafi yang pertama dipublikasi
tahun 1887. Setelah diseksi kanalis inguinalis, dilakukan rekonstruksi dasar
lipat paha dengan cara mengaproksimasi muskulus obliqus internus,
muskulus transversus abdominis, dan fasia transversalis dengan traktus
iliopubik dan ligamentum inguinale. Teknik dapat diterapkan, baik pada
hernia direk maupun indirek (Sjamsuhidayat R, 2005).
Kelemahan teknik Bassini dan teknik lain yang berupa variasi teknik
herniotomi Bassini adalah terdapatnya regangan berlebihan dari otot-otot
yang dijahit. Untuk mengatasi masalah ini, pada tahun delapan puluhan
dipopulerkan pendekatan operasi bebas regangan. Pada teknik itu digunakan
prostesis mesh untuk memperkuat fasia transversalis yang membentuk dasar
kanalis inguinalis tanpa menjahitkan otot-otot ke inguinal (Sjamsuhidayat R,
2005).
Pada hernia kongenital pada bayi dan anak-anak yang faktor
penyebabnya adalah prosesus vaginalis yang tidak menutup hanya
dilakukan herniotomi karena anulus inguinalis internus cukup elastis dan
dinding belakang kanalis cukup kuat (Sjamsuhidayat R, 2005).

Terapi operatif hernia bilateral pada bayi dan anak dilakukan dalam
satu tahap. Mengingat kejadian hernia bilateral cukup tinggi pada anak,
kadang dianjurkan eksplorasi kontralateral secara rutin, terutama pada
hernia inguinalis sisnistra. Hernia bilateral pada orang dewasa, dinajurkan
melakukan operasi dalam satu tahap, kecuali jika ada kontraindikasi
(Sjamsuhidayat R, 2005).
Kadang ditemukan insufisiensi dinding belakang kanalis inguinalis
dengan hernia inguinalis medialis besar yang biasanya bilateral. Dalam hal
ini, diperlukan hernioplastik yang dilakukan secara cermat dan teliti. Tidak
satu pun teknik yang dapat menjamin bahwa tidak akan terjadi residif. Yang
penting diperhatikan ialah mencegah terjadinya tegangan pada jahitan dan
kerusakan pada jaringan. Umumnya dibutukan plastik dengan bahan
prostesis mesh misalnya (Sjamsuhidayat R, 2005).
Terjadinya residif lebih banyak dipengaruhi oleh teknik reparasi
dibandingkan dengan faktor konstitusi. Pada hernia inguinalis lateralis
penyebab resididf yang paling sering ialah penutupan anulus inguinalis
internus yang tidak memadai, di antaranya karena diseksi kantong yang
kurang sempurna, adanya lipoma preperitoneal, atau kantung hernia tidak
ditemukan. Pada hernia inguinalis medialis penyebab residif umumnya
karena tegangan yang berlebihan pada jahitan plastik atau kekurangan lain
dalam teknik (Sjamsuhidayat R, 2005).
Pada operasi hernia secara laparoskopi diletakkan prostesis mesh di
bawah peritoneum dinding perut (Sjamsuhidayat R, 2005).
4. Tatalaksana Hernia Femoralis
Operasi terdiri atas herniotomi disusul dengan hernioplastik dengan
tujuan menjepit anulus femoralis. Hernia femoralis dapat didekati dari
krural, inguinal, atau kombinasi keduanya. Pendekatan krural tanpa
membuka kanalis inguinalis dipilih pada perempuan. Pendekatan inguinal
dengan membuka kanalis inguinalis sambil menginspeksi dinding
posteriornya biasanya dilakukan pada lelaki karena hernia femoralis pada
lelaki lebih sering disertai hernia inguinalis medialis. Pendekatan kombinasi

dapat dipilih pada hernia femoralis inkarserata, hernia residif, atau


kombinasi dengan hernia inguinalis (Sjamsuhidayat R, 2005).
Pada pendekatan krural, hernioplastik dapat dilakukan dengan
menjahitkan ligamentum inguinale ke ligamentum Cooper (Sjamsuhidayat
R, 2005).
Pada teknik Bassini melalui regio inguinalis, ligamentum inguinale
dijahitkan ke ligamentum lakunare Gimbernati (Sjamsuhidayat R, 2005).
5. Tatalaksana Hernia Skrotalis
Hernia scrotalis merupakan hernia inguinalis lateralis yang mencapai
skrotum (Sjamsuhidayat R, 2005).
Operatif (Kapoor, 2011):
a. Hernioplasty:

memperkecil

angulus

inguinalis

internus

dan

memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis.


b. Herniotomy: pembesaran hernia sampai ke lehernya, kantong dibuka
dan isi hernia dibebaskan, jika ada perlengketan kemudian
direposisi, kantong hernia dijahit ikat setinggi mungkin lalu
dipotong.
c. Herniorraphy: mengembalikan isi kantong hernia ke dalam abdomen
dan menutup celah yang terbuka dengan menjahit pertemuan
muskulus transversus internus dan muskulus oblikus internus
abdominalis ke ligamen inguinale.

DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi, F Charles. 2005. Inguinal Hernias. Schwartzs Principles of Surgery.


Eighth edition. New York. Mc Graw-Hill. 1353-1394.

Grace, Pierce A., Borley , Neil R . 2006. At a Glance Ilmu Bedah .ed. 3. Jakarta :
Erlangga

Kapoor, V. K. 2011. Inguinal Hernioplasty . Medscape Reference.3.

R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi I. Penerbit
buku kedokteran EGC. Jakarta. Hal 700-718
Schwartz, S. S. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidayat R, W. d. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

You might also like