You are on page 1of 26

TUGAS PKN

RAFI IYAD MADANI CHAIDIR


KELAS V AKSEL
SDN 12 BARUGA
KENDARI
SULAWESI TENGGARA

Pakaian Adat Suku Tolaki


A. Accessories dan Sanggul
Proses perkembangan pakaian adat Tolaki / Accsories /Sanggul
Sejak dahulu masyarakat Tolaki telah membuat bahan pakaian yang disebut
Kinawo artinya bahan pakaian yang terbuat dari kulit kayu. Proses pembuatan
Kinawo ini dilakukan dengan cara yang masih sangat sederhana yaitu dengan cara
mengambil kulit kayu tersebut yang disebut kayu Usongi, Dalisi, Otipulu, dan
wehuka, kemudian dikuliti lalu kulit kayu tersebut direbus dengan abu dapur.
Selanjutnya direndam sehari, setelah cukup lembut, kemudian dipukul pukul pada
kayu bulat besar dengan batu segi empat yang pilih hingga menjadi tipis dan lebar.
Proses ini disebut Monggawo artinya membuat Kinawo (bahan pakaian).
Apabila ditelusuri proses terciptanya bentuk (model) pakaian adat masyarakat Tolaki,
dapat disimpulkan bahwa baju Kinawo itulah yang menjadi dasar yang dipakai dalam
menciptakan bentuk baju (model) untuk kurun waktu selanjutnya terutama pada
model baju wanita hingga saat ini.
Melalui tahapan perkembangan zaman, mulai lah dikenal tekstil sebagai bahan yang
digunakan untuk bahan pakaian. Generasi terdahulu telah menciptakan pakaian dan
kelengkapannya sesuai dengan kebutuhan zamannya, fungsi, tujuan, kegunaannya dan
kelompok usia pemakaiannya, bahkan status sosial dari pakaiaannya. Demikian pula
halnya dengan Accsoseries dan sanggul telah mengalami perubahan melalui proses
waktu yang panjang sesuai tahapan perkembangan jaman. Juga perawatan rambut dan
kulit / kecantikan serta tata rias dan wajah, sejak dahulu telah dikenal dan
dilaksanakan meskipun pada awal usia masih dengan cara yang serba sederhana.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses terciptanya pakaian adat Tolaki /
Accsesoris / sanggul, telah melalui tahapan-tahapan perkembangan, sebagai hasil
daya nalar, karsa atau rasa dari hasil daya budi dari generasi terdahulu yang
diwariskan higag saat ini.

B. Pembagian Ragam (jenis) dan Fungsi Pakaian Adat Tolaki, Accsesories dan
Sanggul
Pakaian adat Tolaki / Accsesories dan sanggul, pada saat ini umumnya dibagi menjadi
tiga (tiga) bagian yaitu :

Pakaian adat wanita dan kelengkapannya

Pakaian adat pria dan kelengkapannya

Sanggul
Pakaian adat wanita dan kelengkapannya terdiri :

Pakaian untuk wanita dewasa / orang tua

Pakaian untuk remaja

Pakaian untuk pengantin

Pakaian untuk anak anak

Pakaian untuk tari


Untuk pakaian / busana ada yang diketengahkan pada kesempatan ini hanyalah
khususanya pada / busana pengantin wanita dan pria.

C. Tata Busana Pengantin Wanita dan Pria Serat kelengkapannya


1. Busana pengantin wanita disebut : Babu Nggawi terdiri atas dua jenis, yaitu:
a. Babu Nggawi Lipa Hinoru : ini adalah jenis yang sejak dahulu telah dipakai oleh
masyarakat Tolaki (hinoru sama dengan ditenun).
b. Babu Nggawi Roo Mendaa : adalah jenis yang telah dikembangkan, tetapitetap
mengambil model dasar tradisional.
Uraian tata cara pemakaian kedua jenis tata rias ini adalah sebagai berikut :

Babu Nggawi Lipa Hinoru :

1. Bagian bawah memakai lipa hinoru motif tradisional Tolaki,


2.

Bagian atas (blus) memakai baju mbinarahi, yang tidak bersambung pada bahu /
lengan (lengan terusan)

3. rias sanggul / rambut yaitu : memakai perhiasan Kendari werk (seni amas / perak
Kendari), yang dapat disepuh emas atau tetap perak.
Adapun rias wajah sama dengan rias wajah untuk jenis Babu Nggawi Roo Mendaa.

2. Roo Mendaa
Roo mendaa ini adalah rok panjang sebatas mata kaki. Rok mandaa ini tersebut dari
warna, bahan baju yang sama dengan rok panjangnya diberi pleats (nempel ) pada
bagian depan tengah, sedang pada bagian bawah diberi hiasan manik manik
berwarna keemasan bermotifkan khas daerah tolaki (tradisional).

Catatan :
Motif baju Nggawi berpola pada motif tradisional tolaki yaitu :
-

Motif pinetobo

Motif pinesowi

Motif pineburu mbaku

c. Perhiasan Telinga
Pada telingan tergantung anting anting panjang (terurai) yang disebut Kumenda,
Toe Tole.
d. Perhiasan Leher
PADA leher dipakai dua macam kalung yaitu eno eno sinolo atau kalung panjang
dan eno eno renggi atau kalung pendek.
e. Perhiasan Lengan
pada kedua lengan dipasang lengan yang terdiri dari tiga macam gelar yaitu :
-

Bolosu atau gelar besar

Pipisu atau gelar berbentuk kecil kecil

Poto atau gelar yang dipakai batu batuan / permata.

f. Ikat pinggang atau salupi Nggolopua


Salupi Nggolopua ini pada bagian tengahnya berbentuk seperti kura kura
g. Perhiasan Kaki
Perhiasan kaki dipasang O Langge atau gelang kaki 2 buah.
Pada saat melangkah gelang kaki ini akan berbunyi.
h. Sanggul dan Accsesoris.
Sanggul adat tolaki terdiri dari beberapa macam tetapi yang digunakan untuk
pengantin wanita adalah timu tinambe atau sanggul yang terbuat dari rambut asli
calon pengantin.
Pada jaman dahulu sanggul ini hanya terbuat dari rambut asli calon pengantin. Tetapi
pada masa sekarang ini keadaan tidak memungkinkan lagi untuk kita membuat timu

tinambe dari rambut asli, maka dibutlah hairpiecedari model timu tinambe untuk
lelakiu memudahkan para juru rias.
Pada timu tinambe tersebut diberi beberapa macam hiasan yaitu :

Towe Ndowe Melai :adalah hiasan sanggul yang menjulur panjang terurai

Towe Ndowe Menggila : adalahg hiasan sanggul sejenis pinangn goyang.

Wunga wungai : adalah hiasan sanggul berbentuk kembang kecil mengkilat

Sanggula :: sanggula ini merupakan tanaman langkah yang suda jarang sekali kita
temukan.
Fungsinya adalah untuk mempercantik anggul, juga sebagai pengharum atau
berfungsi sebagai parfum. Sekarang ini karena tanaman sanggula karena sangat
langkah, maka bunga sanggula ini dapat diganti dengan bungamelati yang dirangkai
untuk menggantikan fungsi Bunga sanggula yang bentuk dan warnanya sama.
2. Tata Rias Wajah Dan Rambut
Pada umumnya pengantin wanita maupun pria biasanya di rias wajah dan rambutnya,
terutama pengantin wanita. Tata rias pengantin wanita suku bangsa tolaki disebut
Meopuleo. Meopuleo maksudnya merias wajah dan menata rambut supaya
kelihatan cantik dan menarik.
Sebelum hari upacara perkawinan tiba, calon pengantin wanita telah disiapkan dengan
perawatan khusus. Calon pengantin wanita tidak diperkenankan keluar rumah yang
disebut Inuanggi atau dipinggit.
Dalam tenggang waktu pinggatan calon pengantin wanita dirawat lulur yang disebut
Bada Meeto, masker wajah disebut Bada Mowila.kemudian dua hari sebelum hari
perkawinan dilakukan pembersihan wajah dengan cara Mekari (Mewiwika) atau
membersihkan bulu bulu halus dan kotoran yang melengket pada muka. Kemudian
rambut pinggiran muka atas dahi biasanya dirias yang disebut Meandari dengan cara
menyisir rambut rambut pendek turun menutupi bagian dahi lalu diratakan dengan
pisau cukur atau gunting kira kira 1 2 cm sesuai bentuk muka.
Untuk saat sekarang ini menggunting rambut bagian depan rupanya tidak sesuai lagi
dengan keadaan maka untuk meandara ini diganti dengan bahan lain untuk
membentuk dahi.

Selanjutnya tata rias wajah pengantin dilakukan dengan urut urutannya sebagai
berikut :
1. Mebada

: Memakai bedak

2. Mesila

: Menghitam kelopak mata

3. Shadou

: Memberikan bayangan mata

4. Metipa

: Memberikan alis dengan pensil

5. Mekamea mea

: Memakai lipstick

6. Meandara

: Membentuk dahi

7. Metirangga

: Memberi warana kuku (kutex) yang Bahannya

terdiri dari kapur sirih lalu dioleskan pada kuku. Kemudian didiamkan beberapa lama
sesudah itu baru dibersihkan dengan air.
8. Nibura

: Memberikan aksen atau noktah pada dahgi

bagian tengan dan kiri kanan.


Bahannya tersebut dari kapur sirih yang ditambah dengan air putih, lalu dengan
menggunakan batang rotam kecil yang pada ujungnya dibelah empat.
3. Busana Pengantin Pria
Busana pengantin pria di sebut Babu Nggawi Langgai.
Umumnya jenis perlengkapan untuk pengantin pria lebih sederhana. Babu Nggawi
Langgai ini meliputi tata busana pengantin pria yang terdiri atas bagian-bagiannya
sebagai berikut.
-

Babu Kandiu

Babu Kandiu ini adalah baju yang berkerah berdiri dengan lengan panjang dan bagian
depannya terbuka. Pada bagian sekitar leher dan belahan baju depan diberi hiasanhiasan yang berwarna keemasan, demikian juga pada lengan
-

Saluaro ala

Saluaro ala adalah celana panjang yang pada bagian bawah (kaki) kiri kanan dibelah
kira-kira 10-15 cm sedang pada sekitar pinggiran dipasangkan hiasan yang sama
dengan hiasan baju tadi.
-

Lipa Mbineulu

Lipa Mbineulu ini adalah sekarang motif khusus pada umumnya warna dasarnya hitan
bergajris merah.
-

Sulepe atau Salupi

Sulepe atau salupi ini adalah ikat pinggang yang terdiri dari logam sepuhan emas,
tetapi untuk masa sekarang ini orang cenderung membuat dari bahan baju yang sama
dengan sulepe tersebut, kemudian diberi hiasan manik yang serupa dengan baju.
-

Pabele

Pabele atau destar yang terbuat dari bahan yang sama dengan celana dan baju tadi.
Bentuknya pada bagian depan ujung atas atau puncaknya kelihatan runcing.
Sekeliling pinggir pabele dan pada bagian lainnya diberi hiasan benang-benang emas
dan manik-manik.
-

Sapu Ndobo Mungai

Sapu Ndobo Mungai sejenis sapu tangan berwarna cerah yang diserasikan dengan
warna baju pengantin pria, untuk hiasan keris.
-

Leko atau Keris.

Solopu Longgai atau Selof (khusus untuk Pria).

Cara pemakaian baju dan celana sama seperti pada umumnya pengantin pria, hanya
memakai sarung (Lipa Mbineulu) yaitu dililit pada pinggang membalut celana dan
pinggir sarung berada di atas lutut.
Sedang baju pria berada di atas sarung.
Pada pinggang di pasang sulepe kemudian keris/leko diselipkan di pinggang bagian
depan. Ujung keris dililitkan (diikatkan) sapu ndobo wungai (sapu tangan).
Pada umumnya bahan pakaian wanita dan pria ini selalu sama yaitu terbuat dari
bahan beledu atau bahan-bahan lainnya kemudian accessories yang dipakai untuk
wanita maupun pria biasanya terbuat dari perak sepuhan emas. Hal ini tergantung dari
status sosial ataupun kemampuan masing-masing. Dahulu untuk kaum Anakia
(bangsawan) biasanya terbuat

Pakaian Tradisional Buton


Bagi masyarakat kota Bau-Bau (dulu kabupaten Buton), pakaian adat tradisional
mempunyai makna secara khusus. Dalam arti bahwa masyarakat yang menggunakan
pakaian adat tradisional tersebut dengan ciri-ciri atau spesifikasi tertentu baik warna,
bentuk, perhiasan dan jumlah aksesoris yang digunakan maupun perlengkapan lainnya
adalah mereka yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dalam tingkat kehidupan
masyarakat Buton pada masa lampau maupun saat ini. Keberadaan pakaian adat
tradisional pada suatu daerah merupakan suatu kebanggaan masyarakat itu sendiri
dalam menyampaikan pesan kepada lingkungan sosial dimana dia berada secara tidak
langsung.
Pakaian adat tradisional yang digunakan oleh masyarakat Buton terdiri dari berbagai
jenis dan fungsi yang berbeda dalam setiap penggunaannya. Pada umumnya pakaian
adat tradisional yang ada lebih cenderung digunakan oleh golongan-golongan
bangsawan seperti Sultan, perangkat masjid agung Keraton Buton, pegawai
kesultanan dan jabatan-jabatan yang ada dalam struktur pemerintahan kesultanan
Buton. Hal ini dapat dibenarkan karena secara lahiriah subyek-subyek yang
dikemukakan di atas merupakan perwakilan dari perwujudan tata kehidupan sosial
masyarakat suku Buton secara keseluruhan.
Namun demikian, penggunaan atau pemakaian pakaian adat tradisional adat Buton
dalam berbagai kesempatan khusus hampir sebagian masyarakat sudah tidak
mengetahui makna-makna yang terkandung dalam pakaian adat tradisional Buton
tersebut. Sebagai contoh; pemakaian pakaian pingitan atau (Posuo) bagi anak putri
yang memasuki usia remaja antara lain jenis pakaian yang dipakai, aksesoris yang
digunakan, perlengkapan-perlengkapan dan lain-lain sehingga apa hubungannya
dengan makna yang terkandung pada pakaian adat tradisional tersebut, karena hal-hal
tersebut juga dilaksanakan oleh seluruh masyarakat suku Buton. Dengan kata lain apa,
kenapa, dimana dan bagaimana pakaian adat tradisional tersebut digunakan.
Seiring perkembangan kehidupan dalam masyarakat saat ini penggunaan pakaian adat
tradisional pada berbagai kesempatan khusus masih sering digunakan.

Namun sangat disayangkan sebagian masyarakat sudah tidak lagi memahami makna
yang terkandung dalam pakaian adat tradisional tersebut. Hal ini berarti akan
mengurangi nilai-nilai keutuhan adat secara luas.

Gambaran Umum Pakaian Adat Tradosional Buton


Secara singkat, pakaian adat tradisional Buton yang sampai saat ini masih digunakan
adalah sebagai berikut :
a). Pakaian anak-anak
1. Tipolo (Pakaian putri cilik / balita)
2. Songko Madina (Pakaian putra cilik usia balita)
b). Pakaian Posusu (perempuan) dan Tandaki (laki-laki) (Pakaian putra putri pada
saat dikhitan/ sunat)
c). Pakaian Remaja
1. Ajo Bantea (Pakaian putra)
2. Mobawana Mantomu (pakaian putri)
d). Pakaian Kombo (Pakaian gadis) ketika baru selesai di pingit.
e). Pakaian Kalambe (Pakaian gadis yang sudah dipingit).
f). Pakaian Sio Limbona (Pakaian orang tua)
g). Pakaian Sultan dan Permaisuri
(Sumber : Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Bau-Bau : 2001)

Kehidupan

masyarakat

Buton

tidak

terlepas

pula

dari

adanya

stratifikasi/penggolongan kelas sosial masyarakat, yang terdiri dari:

a). Golongan Kaomu


Golongan Kaumu adalah golongan bangsawan dengan gelar La Ode bagi laki-laki dan
Wa Ode bagi perempuan. Golongan inilah yang paling berhak menduduki jabatanjabatan dalam struktur pemerintahan kesultanan Buton seperti Sultan, Imam Mesjid
Agung (ulama), Khatib, Sapati, Kapitalao (panglima perang) dan lain-lain, dengan
tanda-tanda kebesaran khusus baik pakaian maupun lainnya berdasarkan adat dan
ketentuan yang telah disepakati bersama.
b). Golongan Walaka.
Golongan Walaka adalah golongan masyarakat biasa, atau masyarakat merdeka atau
masyarakat pada umumnya. Namun golongan ini diantaranya ada yang dipilih oleh
kelompok-kelompok masyarakatnya tersebut menjadi anggota adat / legislatif dalam
penyelenggaraan adat. Golongan ini jugalah yang berhak memilih dan melantik calon
sultan Buton pada saatnya.
c). Golongan Papara

Golongan masyarakat ini sebenarnya tidak ada dalam masyarakat Buton, hanya saja
dipakainya istilah ini karena terjadinya sistem perbudakan atau pengasingan politik
oleh kesultanan Buton pada masa lampau. Tetapi sesungguhnya tidak pernah terjadi
sistem perbudakan dalam masyarakat atau kesultanan Buton sendiri. Perbudakan
hanya dilakukan oleh para penjajah kolonial Belanda.

Jenis dan Makna yang terkandung pada pakaian adat tradisional Buton
Pakaian adat tradisional yang ada pada suatu daerah umumnya juga digunakan oleh
hampir setiap orang yang berada pada suatu daerah adat tertentu, terlepas dari
stratifikasi sosial yang ada. Namun demikian pada penggunaan pakaian adat
tradisional tersebut biasanya ada saja sesuatu hal yang membedakan status sosial
penggunanya, apakah golongan bangsawan kedudukannya ataukah masyarakat biasa.
Salah satu contoh pemakaian pakaian adat tradisional oleh masyarakat yaitu pakaian
pengantin.
Dalam tradisi masyarakat Buton yang masih terikat erat dengan sistem adat yang
berlaku, penggunaan atau pemakaian pakaian adat tradisional juga digunakan oleh
seluruh

masyarakat

yang

menyelenggarakan

kegiatan-kegiatan

yang

masih

berhubungan dengan adat. Hanya saja pengguna pakaian adat tersebut dapat dengan
mudah diketahui kedudukan sosialnya berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat
Buton yang telah dikemukakan sebelumnya.
Lebih lanjut, berdasarkan hasil wawancara dengan para narasumber atas beberapa
pertanyaan yang diajukan maka dapat diperoleh data-data mengenai makna yang
terkandung dalam pakaian adat tradisional Buton.

1. Pakaian Balahadada
Pakaian Balahadada merupakan pakaian kebesaran bagi seorang laki-laki suku Buton
baik bagi seorang bangsawan maupun bukan bangsawan. Hal ini disebabkan karena
pada masa lampau pakaian ini merupakan pakaian para pejabat-pejabat kesultanan
Buton. Pakaian ini juga, pada masa masih jayanya masa pemerintahan kesultanan
Buton yang berakhir pada sultan ke 38 La Ode Muhammad Falihi Isa Qaimuddin
(Oputa Moko Baadianai) hingga tahun 1963 adalah digunakan oleh pejabat dari
golongan bangsawan (La Ode) yang dilkengkapi dengan berbagai macam
kelengkapan pakaian baik untuk jabatan Lakina, Bobato, Bonto Ogena, Kapitalao,

Syahabandara, dan jabatan-jabatan lain yang khusus dijabat oleh golongan


bangsawan.
Pakaian Balahadada dapat diartikan sebagai pakaian belah dada. Dikatakan demikian
karena pakaian tersebut tidak memiliki kancing sehingga sipemakai dapat terlihat
dadanya. Pakaian ini baik dari kepala sampai pada kaki terdiri dari :
(1) Destar
Dalam bahasa Wolio (Buton) destar dikenal dengan nama Kampurui. Kampurui
terdiri dari beberapa jenis antara lain Kampurui Bewe Patawala, Kampurui Bewe
Palangi, Kampurui Tumpa dan Kampurui Bewe Poporoki berdasarkan bentuk dan
warnanya. Keempat Kampurui ini pada bahagian sekelilingnya dijahitkan benang
emas atau perak yang disebut Jai atau Pasamani.
(2) Baju
Baju yang digunakan adalah baju Balahadada yang bahan dasarnya sesuai dengan
aslinya terbuat dari beludru berwarna hitam. Sekujur bagian baju dipenuhi dengan
hiasan-hiasan yang terbuat dari emas atau perak. Hiasannya merupakan bundaranbundaran kecil yang bertaburan secara teratur dan dinamakan sebagai Buka-Buka.
Pada pinggiran baju terdapat hiasan Pasamani. Pada leher baju hiasan Pasamani lebih
besar dan mencolok dan ditempelkan Ake yang terbuat dari emas atau perak. Pada
masing-masing belahan belahan dada baju dilekatkan sebuah Ake besar yang
berpangkal dari bawah leher baju langsung turun sampai perut baju. Di atas Ake baik
yang ada pada leher maupun belahan dada, disebelah kanan masing-masing
dilekatkan enam sampai tujuh buah kancing kerucut segi lima pada ujung kengan baju
yang hanya berfungsi sebagai hiasan.
(3) Celana
Celana yang digunakan disebut dengan Sala Arabu atau dapat diartikan sebagai celana
panjang Arab. Warna dan motif yang terdapat pada celana Sala Arabu ini sama
dengan motif yang ada pada baju Balahadada. Pada bagian kaki celana terdapat
belahan sedikit, pada pinggir belahan ini dilekatkan pula masing-masing tujuah buah
kancing.
(4) Sarung
Disamping memakai celana, pakaian Balahadada juga dilengkapi oleh sarung
Samasili Kumbaea, yaitu berdasar warna hitam serta motif kotak-kotak putih. Benang
putih yang dijadikan kotak-kotak tersebut adalah benang perak yang dalam bahasa
Buton disebut sebagai Kumbaea.

(5) Ikat Pinggang


Ikat pinggang dalam bahasa Buton disebut sebagai Sulepe. Ikat pinggang yang
digunakan dalam pakaian Balahadada terbuat dari kain warna hitam dengan kepala
ikat pinggang terbuat dari emas atau perak. Bentuk kepala ikat pinggang lonjong telur
atau empat persegi panjang dengan ukiran kalimat Tauhid dan motif bunga-bunga
dengan nama bunga Rongo pada sekeliling pinggirnya. Ikat pinggang ini dikenakan
pada bagian atas baju dengan sebelumnya pada bagian bawah baju dilekatkan sarung.
(6) Keris
Keris dalam bahasa Buton disebut sebagai Tobo (baca: Tobho) atau Puu Salaka atau
Puu Taga bergantung dari asal bahan hulu keris.
(7) Bia Ogena
Bia Ogena berarti sarung besar. Tetapi bukan bentuknya yang besar tetapi lebih
merupakan sebagai sarung kebesaran yang hanya digunakan oleh pejabat atau anak
keturunan bangsawan (La Ode). Bentuk Bia Ogena lebih cenderung menyerupai
selendang yang terbuat dari kain sutera berwarna polos dan tidak berjahit.
Pemakaiannya dililitkan pada pinggang sedang kedua bagian ujungnya terselip pada
hulu keris. Bia Ogena dihiasi pula oleh Pasamani diseluruh pinggirannya.

MAKNA:
Destar atau Kampurui dalam bahasa Buton berarti ikat kepala. Yang mengandung
makna kebesaran.kampurui bagi seorang pejabat kesultanan buton sangatlah penting.
ini dikaitkan dengan kebijakan atau keputusan yang diambil berhubungan dengan
kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang ditandai dengan adanya tundu

pada

bahagian tengah lilitan Kampurui yang bermakana sebagai penjelmaan dari matahari
yang berarti memberikan pencerahan.
Balahadada adalah baju yang tidak memiliki kancing yang mengandung arti sebagai
perlambangan

keterbukaan sikap pejabat atau sultan terhadap segala sesuatu

khususnya urusan masyarakat demi pencapaian kesejahteraan dan kebenaran hukum


yang diputuskan dengan jalan musyawarah untuk mufakat. Baju balahadada memiliki
dasar warna hitam yang mengandung arti kebenaran yang tak dapat diubah-ubah,
warna putih yang ditampilkan pada hiasan-hiasannya mengandung kesucian.
Bia Ogena pada baju Balahadada bermakna kebesaran dan keagungan. Tetapi dibalut
oleh ikat pinggang (Sulepe) bertuliskan kalimat Tauhid sebagai perlambangan dari
pengukuhan atau pengikat hukum agama dan adat yang harus ditaati oleh orang

Buton. Keris yang diselipkan pada bahagian pinggang memiliki makna sebagai
perlambangan keberanian yang dibalut dengan sikap lembut dan bijaksana . Akhirnya
celana Sala Arabu memiliki makna filosofis yang sama dengan baju Balahadada.
Balahadada adalah baju dengan dasar warna hitam yang memiliki makna sebagai
perlambangan keterbukaan sikap seorang pejabat atau sultan terhadap segala sesuatu
khususnya urusan masyarakat demi pencapaian kesejahteraan dan kebenaran hukum
yang diputuskan dengan jalan musyawarah untuk mufakat.
Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikutip dari hasil wawancara yang dilakukan
dengan bapak La Ode Zaady mengenai baju Balahadada.
Kampurui melambangkan kebesaran, kebaikan, kebijakan, kebenaran, ketepatan,
kelembutan (fleksibilitas dalam hal tertentu) yang dipancarkan oleh seorang sultan
atau

stafnya

dalam

menangani

urusan

pemerintahan

dan

untuk

kemaslahatan/kesejahteraan masyarakat Buton pada masa lampau. Ini dapat dilihat


dari bentuk Kampurui

yang diikat sedemikian rupa sehinga tampak seperti

memancarkan cahaya.
Baju Balahadada warna aslinya hitam kalau ada warna lain pada baju Balahadada
maka hanya untuk memberikan variasi warna dan sama sekali tidak mengurangi
makna yang terdapat di dalamnya.
Balahadada ini terdiri dari satu pasang (baju dan celana) dengan warna dan motif
yang sama pula. Belahan baju menandakan sikap keterbukaan pemakainya dalam
bermusyawarah untuk mencapai mufakat dengan dasar hukum adat maupun agama
demi kepentingan bersama.
Keris adalah lambang kejantanan tetapi digunakan secara bijak dan sesuai fungsinya
(waktu dan tempat) jika tidak maka keris lebih bermakna sebagai kelembutan sikap
pemakainya dimana hal ini sesuai dengan yang terdapat pada hulu keris. Sulepe
sebagai pengikat, atau pengukuh aturan-aturan adat artinya bahwa orang yang
memakainya harus dikukuhkan dengan ajaran maupun aturan agama islam.
Kampurui yang digunakan sebagai penutup kepala/ikat kepala bagi masyarakat Buton
mengandung lambang kebesaran. Dimana kepala adalah bagian teratas dari badan
manusia yang dipandang sebagai penjelmaan dari lapisan langit yang dipancarkan
keseluruh alam jagad raya. Kiranya Kampurui ini dapat disamakan dengan nimbus,
prabha, aureul seperti yang terdapat pada lukisan-lukisan orang suci atau lukisanlukisan pada patung dengan lingkaran cahaya di bagian kepala.

Baju Balahadada dari warnanya yang hitam mengandung arti ketegasan sikap dalam
setiap pengambilan keputusan, sedang sarung Bia Ogena dan keris adalah
perlambangan sikap kebesaran dan keagungan serta keberanian pemakainya tetapi
tetap pada ikatan aturan-aturan adat yang berpangkal pada ajaran agama islam
sehingga digunakan secara bijaksana. Sedang motif dan berbagai hiasan lainnya lebih
merupakan penambah keindahan dari tampilan pakaian tersebut.
Kesimpulan makna yang terdapat pada pakaian Balahadada ini adalah terlepas dari
status kebangsawan masyarakat Buton baik golongan Kaomu (La Ode / (Wa Ode)
maupun golongan Walaka (Pejabat Penyelenggara Adat dan masyarakat Buton secara
umum) karena kenyataan pada saat ini bahwa semua unsur-unsur tradisional (adat,
pakaian dan lainnya) sudah digunakan secara keseluruhan oleh masyarakat. Hanya
saja dalam pemakaiannya tentu saja masih terdapat perbedaan-perbedaan antara
golongan bangsawan maupun bukan bangsawan khususnya pada kelengkapankelengkapan pakaian. Karena sampai saat ini masyarakat Buton baik yang berada di
daerah maupun di luar daerah masih memegang teguh sistem peradatannya.

2. Pakaian Ajo Bantea


Ajo Bantea merupakan pengertian dari pakaian yang indah-indah. Pakaian ini hanya
terdiri dari celana panjang (Sala Arabu) dan tindak menggunakan baju. Ajo Bantea
adalah pakaian yang dikenakan oleh anak-anak atau lebih disebut sebagai Pakeana
Mangaanaana yang belum menduduki jabatan khusus dalam sistem pemerintahan
kesultanan Buton. Pakaian ini dilengkapi pula dengan berbagai kelengkapan seperti
Kampurui Bewe Patawala atau Kampurui Tumpa atau Kampurui

Palangi yang

dikenakan bersama Lepi-Lepi, Keris, sarung Samasili Kumbaea atau Bia Ibeloki , dan
Bia Ogena.
Mengenai makna yang terkandung dalam pakaian Ajo Bantea berikut ini adalah
kutipan wawancara yang dilakukan dengan para budayawan Buton :
Pakaian Ajo Bantea juga disebut sebagai pakeana manganaana. Pakaian ini dipakai
oleh anak laki-laki yang belum menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan
kesultanan Buton. Pakaian ini tidak memakai baju (bertelanjang dada), hanya terdiri
dari ikat kepala (Kampurui

Bewe Patawala atau Bewe Palangi atau Kampurui

Tumpa), Bia Ogena, Bia Samasili Kumbaea, Keris dan Celana panjang (Sala Arabu).
Makna yang terkadung dari masing-masing tersebut di atas adalah sama dengan
makna yang terkandung pada pakaian Balahadada.

Ajo Bantea memiliki pengertian yang berbeda yaitu; Ajo adalah mengenakan,
memakai, menggunakan dan sejenisnya, sedang Bantea adalah barak atau tempat
berkumpul untuk melakukan musyawarah.yang kemudian digunakan oleh para anak
dari golongan bangsawan untuk belajar, bermain, berkumpul dan sebagainya dengan
masyarakat.
Dengan kata lain pakaian Ajo Bantea memiliki makna bahwa sifat keterbukaan dan
kesederhanaan para anak golongan bangsawan untuk berkumpul bersama dengan
masyarakat untuk melakukan berbagai hal secara bersama dengan tidak memandang
status sosialnya masing-masing.
Sejalan dengan pendapat dari bapak La Ode Zaady tentang pakaian Ajo Bantea
Berikut ini kutipan hasil wawancara dengan bapak Hazirun Kudus mengenai baju
Ajo Bantea.
Ajo Bantea dalam bahasa Buton disebut dengan Pakeana Manga Anaana atau dapat
diartikan sebagai pakaian para anak khususnya dari golongan bangsawan. Untuk
diketahui bahwa pakaian ini tidak mengenakan baju layaknya pakaian lain tetapi
hanya menggunakan celana panjang (Sala Arabu), sedang kelengkapan pakaian ini
terdiri dari Kampurui , Bia Ogena, Bia Samasili Kumbaea, dan Keris. Makna yang
terkandung pada masing-masing kelengkapan ini adalah sama halnya dengan makna
yang terdapat pada pakaian Balahadada. Sedang makna secara keseluruhan dari
pakaian Ajo Bantea ini adalah adanya sifat keterbukaan dan kesederhanaan yang
ditunjukkan para anak golongan bangsawan (La Ode) kepada masyarakat dengan
mengaplikasikannya dengan terlibat secara langsung kedalam berbagai kegiatan
kemasyarakatan.
Ajo Bantea merupakan pakaian yang indah-indah yang khusus digunakan oleh anak
golongan bangsawan yang belum menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan
kesultanan Buton masa lampau. Pakaian Ajo Bantea ini dilengkapi oleh beberapa
kelengkapan yang terdiri dari Kampurui

(destar/ikat kepala) yang dibentuk

sedemikian rupa yang melambangkan kebesaran dan keagungan sipemakai sebagai


seorang pemimpin dan juga bermakna bahwa Ajo Bantea ini adalah memiliki makna
adanya keterbukaan baik sikap maupun sifat untuk bermusyarawarah dan menerima
hal-hal yang belum diketahuinya atau juga adanya sikap tegas seorang calon
pemimpin Buton namun tetapi tidak dikhilafkan oleh kedudukan tersebut karena
terikat sebuah ikat pinggang yang bertuliskan kalimat Tauhid yang berarti adanya
ikatan atau pengukuhan adat berdasarkan ajaran agama dalam berkehidupan sehari-

hari dan mau menerima keberadaan masyarakat umum lainnya sebagai satu kesatuan
alam semesta yang telah diciptakan oleh Allah SWT.

3. Pakaian Ajo Tandaki


Ajo Tandaki adalah pakaian yang hanya terdiri dari selembar kain besar (Bia Ibeloki)
dan berwarna hitam yang hanya dililitkan pada sekujur tubuh pemakainya. Pada
permukaan pakaian Ajo Tandaki dilekatkan manik-manik motif ukiran bunga Rongo
secara beraturan, sedang pada sekeliling pinggiran kain dijahitkan Pasamani atau
hiasan yang terbuat dari benang emas atau perak.
Pakaian ini dapat digunakan pada saat seorang anak akan diislamkan (disunat) atau
bahkan seseorang yang akan menikah duduk sebagai mempelai pria. Pakaian ini
sangat mirip dengan pakaian ihram jemaah haji hanya yang berbeda adalah warnanya.
Kelengkapan pakaian terdiri dari Tandaki (semacam mahkota) yang dibentuk dan
ditata sedemikian rupa dengan berbagai hiasan dan aneka rupa sehingga tampak
sebagai suatu lambang kebesaran pemakainya. Ikat pinggang yang diukir dengan
kalimat Tauhid dan sebilah keris.
Kekhususan baju ini terdapat pada Tandaki

sebagai mahkota yang digunakan

sekaligus sebagai penyebutan nama baju tersebut. Tandaki terbuat dari kain merah,
manik-manik, bulu burung cenderawasih yang putih, benang-benang sutra merah dan
berbagai macam hiasan yang terbuat dari perak, tembaga bahkan emas.
Berikut ini kutipan hasil wawancara mengenai makna yang terdapat pada pakaian
AjoTandaki :
Ajo Tandaki adalah pakaian kebesaran anak bangsawan yang juga boleh dikenakan
oleh masyarakat biasa pada saat menyelenggarakan acara adat khususnya prosesi
sunatan (pengislaman). Pakaian ini sengaja dibuat sedemikian rupa dengan warnanya
yang hitam dikandung maksud bahwa pada saat anak disunat, maka darah yang keluar
dapat berkamuflase dengan warna kain sehingga tidak menimbulkan perasaan ngeri
atau takut pada anak-anak tersebut.
Disamping itu Ajo Tandaki juga memiliki arti keterbukaan, kesederhanaan golongan
Kaomu dalam berpenampilan adalah sesuatu yang harus diutamakan sehingga tidak
menimbulkan berbagai fitnah dalam masyarakat.
Mahkota Tandaki sendiri merupakan perlambangan dari keagungan dan kedamaian
yang harus dijunjung tinggi dan dipatuhi dengan hati tulus ikhlas. Hal ini nampak
pada jumbai yang turun dari kepala langsung ke dada yang berarti diserapkan kedalam

kalbu. Keris yang terselip dipinggang adalah suatu lambang keberanian untuk
membela hak berdasarkan adat dan agama dan Sulepe (ikat pinggang) adalah sebagai
pengukuh berdasarkan ajaran agama dari pengertian-pengertian yang telah saya
jelaskan.
Ajo Tandaki adalah pakaian yang digunakan oleh para anak bangsawan yang
memiliki arti keterbukaan,kesederhanaan golongan kaomu (golongan bangsawan)
dalam hal berpenampilan dan menerima ajaran-ajaran dari orang tua tentang aturanaturan yang berlaku di kesultanan Buton dan ajaran agama.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh bapak La Ode Zaady dalam kutipan
wawancara mengenai Ajo Tandaki.
Tandaki terdiri dari dua unsur yaitu Tandaki sebagai mahkota dan Tandaki sebagai
pakaian. Tandaki

sebagai mahkota adalah wujud kebesaran, keagungan dan

kedamaian yang harus dijunjung tinggi yang dilaksanakan dengan hati tulus ikhlas.
Sedangkan Tandaki sebagai pakaian adalah lambang keterbukaan, kebersahajaan,
kesederhanaan dan sejenisnya oleh golongan bangsawan.
Kain yang digunakan sebagai baju dalam pakaian Ajo Tandaki ini adalah Bia Ibeloki
yang dapat kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia yaitu sarung yang dililitkan
kesekujur tubuh.

Makna dari keris yang digunakan adalah lambang keberanian untuk membela hak dan
kewajiban dan ikat pinggang atau Sulepe adalah sebagai pengukuh ikatan adat yang
berlandaskan ajaran agama. Ajo Tandaki secara umum digunakan pada saat anak akan
di islamkan/disunat. Dengan warna hitam yang dimilikinya paling tidak akan
mengurangi rasa takut dan ngeri anak pada saat darahnya keluar. Itulah sebabnya Ajo
Tandaki digunakan pada saat anak akan disunat.
Berdasarkan kutipan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa AjoTandaki
adalah pakaian yang hanya terdiri dari mahkota dan selembar kain lebar/besar yang
disebut sebagai Bia Ibeloki dan berwarna hitam dengan dilekatkan manik-manik yang
dijahit secara teratur. Tandaki

sebagai mahkota memiliki makna kebesaran,

keagungan dan kedamaian yang harus dijunjung tinggi dilaksanakan dengan hati tulus
dan ikhlas oleh pemakainya sedang bajunya adalah perlambangan sifat keterbukaan
dan kesederhanaan kaum golongan bangsawan yang ditunjukkan kepada masyarakat
sebagai contoh teladan dengan tidak membanggakan dirinya.

Selain makna di atas, pakaian ini juga mengandung arti ketenteraman. Yang
dimaksudkan ketenteraman dalam hal ini adalah kurangnya rasa takut anak pada saat
di sunat akibat yang dikeluarkan sehingga kalaupun darah merembes kepermukaan
kain maka darah tersebut akan tertutupi oleh warna hitam kain.

4. Baju Kombo
Baju Kombo adalah pakaian kebesaran kaum wanita Buton. Bahan dasar baju adalah
kain satin dengan warna dasar putih, penuh dihiasi dengan manik-manik, benangbenang berwarna yang biasanya terdiri dari benang emas atau benang perak serta
berbagai ragam hiasan yang terbuat dari emas, perak maupun kuningan.
Pakaian ini terdiri dari satu pasang, bagian atasan adalah baju dengan bawahan sarung
yang disebut Bia Ogena (sarung besar). Bia Ogena adalah sarung yang terdiri dari
gabungan beberapa macam warna polos seperti merah, hitam, hijau, kuning, biru dan
putih dan dijahit secara bertingkat-tingkat.
Pada permukaan baju dijahitkan rangkaian manik-manik dengan formasi belah
ketupat. Pada setiap petak-petak belah ketupat terdapat hiasan dari perak atau
kuningan dengan motif Tawana Kapa (daun kapas) dan pada ujung daun kapas
tersebut dijahitkan sekuntum bunga yang berdiri tegak.
Berikut ini adalah kutipan hasil wawancara mengenai makna yang terdapat pada baju
Kombo:
Makna yang terdapat pada baju Kombo adalah sebagai berikut : (1) Dasar warna baju
adalah putih yang melambangkan kesucian, kepolosan wanita Buton, (2) Bungabunga yang tumbuh tegak pada ujung Tawana Kapa adalah melambangkan harapanharapan atas kebaikan, kesuburan, kesejahteraan, kelapangan dan hal-hal yang
memiliki pengertian yang sama pada saat ia menjadi mempelai wanita dikemudian
hari untuk membangun satu keluarga yang madani, (3) Perhiasan yang digunakan
khususnya gelang tangan sebagai pertanda bahwa wanita Buton selalu taat dan patuh
pada ikatan sistem peradatan dan ajaran agama yang dilingkarkan pada pergelangan
tangannya, (4) Punto,berwarna dasar hitam yang dimaksudkan untuk melindungi
rembesan darah haid wanita jika sedang dating bulan sehingga dapat tersamarkan, (5)
Bia Ogena atau sarung yang dijahit secara bertingkat-tingkat adalah menunjukkan
alam kejadian manusia dan jagad raya.
......Selanjutnya warna-warna tersebut bagi masyarakat Buton memiliki makna.
Sebagai contoh warna biru bagi masyarakat Buton adalah lambang ketaatan dan

kepatuhannya terhadap berbagai hal utamanya hukum adat dan agama yang harus
selalu dikuti dan dijaga secara terus menerus.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan bapak hazirun kudus mengenai
baju kombo maka hal ini sejalan dengan pendapat dari bapak La Ode Zaady.
Baju Kombo syarat akan makna. warna dasar baju adalah warna putih yang
melambangkan kesucian, kedamaian dan sejenisnya. Pada permukaan baju dijahitkan
manik-manik (Tawana Kapa) yang beraneka rupa,dimana pada bagian ujung Tawana
Kapa dijahitkan pula masing-masing sebuah hiasan bunga-bunga yang disebut sebagai
bunga Rongo. Bunga inilah yang kemudian melambang keinginan-keinginan atau
harapan-harapan wanita Buton untuk kehidupan masa depannya dalam upaya
membentuk suatu keluarga.
Gelang yang berjumlah masing-masing empat buah pada tangan kanan dan kiri
merupakan arti dari bahwa wanita Buton dalam semua aspek kehidupannya telah
diikat oleh adanya hukum adat dan agama yang harus selalu menjadi sandaran dalam
berkehidupan dengan lingkungannya.
Bia Ogena yang terdiri dari beberapa warna yang dijahit menjadi sebuah sarung
merupakan lambang proses kejadian alam dan manusia. sesuai dengan kepercayaan
agama masyarakat Buton.Yang dijahit secara bersusun, pertama adalah warna hitam.
Warna ini khususnya pada Punto atau sarung hias yang berfungsi untuk mencegah
merembesnya darah haid wanita pada saat datang bulan sehingga tidak terlalu
nampak. Selanjutnya warna kuning. Warna kuning ini dimaksudkan sama, yaitu
apabila darah telah merembes dari Punto maka darah tadi masih dapat pula
disamarkan oleh warna kuning. Susunan kain ini sampai kebawah akan berfungsi
sama dengan warna kuning dan hitam.
Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat disimpulkan bahwa baju Kombo
pada prinsipnya mengandung arti adanya harapan-harapan kebaikan atas segala
kebaikan dalam berkehidupan, disamping itu juga baju ini mempunyai makna yaitu
warna dasar baju yang putih merupakan lambang kesucian wanita Buton untuk selalu
dijaga. Sedang kain berwarna yang dijahit secara bersusun disebut sebagai Lonjo.
Lonjo dijahit secara bersusun bukan tanpa maksud tetapi dikandung maksud apabila
rembesan darah haid tersebut telah menembus Punto, maka selanjutnya darah tersebut
dapat pula tersamarkan oleh warna hijau atau kuning sampai pada bagian bawah
susunan kain yang berwarna merah. Lonjo juga berarti susun atau tata. Lonjo ini
diatur tiga susun warna yang menandakan bahwa di Buton terdapat 3 golongan

masyarakat yaitu Kaomu, Walaka dan Papara. Dari sudut pandang islam Buton, Lonjo
bermakna hubungan yang harus dijalani oleh manusia yaitu (1) Hubungan manusia
dengan Tuhan/Hablum minallah, (2) Hubungan antar sesama manusia/Hablum
Minannas, dan (3) Hubungan manusia dengan alam.mengandung dua makna yaitu
makna lahir dan makna batin. Makna lahir adalah bahwa warna-warna yang
digunakan tersebut digunakan sebagai pencegah rembesan darah haid wanita agar
tidak tampak pada saat wanita yang bersangkutan berada di keramaian, atau juga
berfungsi sebagai sarung kebesaran wanita Buton itu sendiri. Makna batin yaitu
adanya kaitan antara pemahaman atas pengertian warna terhadap proses kejadian alam
dan manusia begitu juga dengan kepercayaan beragama masyarakat Buton dulu
maupun sekarang. Seperti contoh gambar berikut (Gambar 4).

5. Baju Kaboroko
Kaboroko berarti krah (leher) dikatakan demikian karena baju ini agak berbeda
dengan jenis baju Buton lainnya, dimana baju ini mempunyai kerah yang disertai
dengan adanya berbagai macam hiasan dan aksesoris yang dilekatkan padanya.
Terdapat empat buah kancing logam pada leher sebelah kanan dan tujuh buah kancing
pada lengan baju. Kancing-kancing itu tidak berfungsi sebagaimana lazimnya kacing
baju, namun hanya merupakan pertanda golongan. Sarung lapisan dalam berwarna
putih sedangkan lapisan luas (atas) sarung warna dasar hitam dengan corak garisgaris. Sarung tersebut disebut sebagai Samasili Kumbaea atau Bia-Bia Itanu. Pada
sanggulnya diikatkan potongan-potongan yang digulung dari kain yang berwarna
putih dan kuning.
Mengenai makna yang terkandung dalam pakaian Kaboroko

ini berikut akan

disajikan kutipan hasil wawancara :


Kaboroko berarti baju berkerah atau memiliki kerah. Penggunaan baju Kaboroko
bagi wanita Buton adalah pada saat-saat diadakannya upacara adat (khususnya
golongan Walaka/golongan tengah/ bukan La Ode/Wa Ode).
Tidak terdapat perbedaaan makna antara baju yang digunakan oleh bangsawan
maupun bukan bangsawan. Pemakaian kain sarung yang dipakai secara berlapis-lapis
ini dimaksudkan bahwa orang yang memakainya adalah para ibu rumah tangga yang
telah memiliki anak keturunan sehingga bermakna telah mempunyai tanggung jawab
yang harus selalu dijaga dan dilindunginya yang ditandai dengan penggunaan
selendang yang dililitkan pada sekujur tubuhya dengan ketentuan warnanya.

Tetapi jika ia masih gadis, Kaboroko digunakan tidak dengan berlapis-lapis kain
sarung, hanya satu buah sarung saja yang sekaligus berfungsi sebagai rok.
Pengertian baju kaboroko menurut bapak Hazirun Kudus sama halya dengan
pengertian dari bapak La Ode Zaady, berikut kutipan hasil wawancaranya .
Kaboroko adalah salah satu baju adat yang digunakan oleh para wanita Buton. Baju
ini terdiri dari satu lembar baju dan tiga lapis kain sarung yang dipergunakan secara
bersamaan dengan lapisan paling bawah adalah kain sarung yang berwarna putih,
lapisan kedua adalah Bia-Bia Itanu/Samasili Kumbaea sedang lapisan ketiga adalah
kain lebar yang lebih mirip selendang dan dililitkan pada sekujur tubuh pemakainya
dengan cara bagian ujung kain sebelah kiri dipegang oleh tangan kiri dengan arah ke
dalam.
Terdapat perbedaan penggunaan warna selendang oleh para ibu pada baju Kaboroko .
Antara lain warna Biru adalah bagi para ibu yang telah memiliki anak lebih dari satu
orang, warna merah atau hitam bagi ibu yang baru mempunyai satu anak dan warna
kuning adalah bagi para janda. Sedang maknanya adalah melindungi hak dan
kewajiban pribadi maupun anggota keluarga dari segala hal yang dapat
membahayakan kehidupannya, begitu juga tanggung jawab akan melindungi adat dan
ajaran agama demi tercapainya keselamatan dan kesejahteraan hidup dalam
bermasyarakat dan bernegara.
Berdasarkan kutipan wawancara di atas maka dapat disimpulkan bahwa baju
Kaboroko mempunyai makna bahwa seorang wanita harus melaksanakan hak dan
kewajibannya dalam melindungi diri dan anggota keluarganya dari segala sesuatu
yang dapat membahayakan kehidupan, adat dan ajaran agama. Sedang perbedaan
warna yang terdapat pada selendang yang digunakan lebih cenderung kepada makna
bahwa perbedaan jumlah anak yang telah dimiliki.

6. Baju Kambowa
Kambowa adalah salah satu jenis pakaian adat Buton yang digunakan oleh para ibu,
gadis maupun anak-anak dalam berbagai kesempatan adat bahkan dapat pula
berfungsi sebagai pakaian hari-hari pada masa lampau. Baju terdiri dari satu buah
baju berwarna polos (kuning, biru, hijau, ungu) begitu juga sarung yang digunakan.
Baju ini berbentuk ponco dan tidak memiliki kerah baju. Lengan baju hanya sampai
pada bawah siku dengan bahan satin.

Bagi seorang ibu bangsawan baju Kambowa ini digunakan pula kain sarung yang
terdiri dari tiga lapis layaknya yang digunakan pada baju Kaboroko , sedang yang
bukan bangsawan hanya menggunakan satu lapis sarung yaitu Bia-Bia Itanu/Samasili
Kumbaea.
Lebih lanjut mengenai makna yang terkandung dalam baju Kambowa ini dapat dilihat
pada kutipan hasil wawancara sebagai berikut :
leher baju yang tidak berkerah melambangkan bahwa pemakainya dilingkari oleh
berbagai aturan adat dan agama yang harus dipatuhi dan dijalankan sepenuh hati demi
kebaikannya sendiri.
baju ini melambangkan bahwa pemakainya dilingkari oleh berbagai ajaran adat dan
agama yang harus dilindunginya atau dapat saya katakan bahwa makna yang terdapat
pada baju Kambowa ini adalah sama dengan makna yang terkandung dalam baju
Kaboroko .
untuk memudahkan adik mengartikan makna yang terdapat pada baju Kambowa
maka makna apa yang terdapat pada baju Kaboroko

itulah juga makna baju

Kambowa.
baju Kambowa memiliki makna yang sama dengan baju Kaboroko (Wawancara;
La Ode Zaady, September 2006).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa makna yang terdapat
pada baju Kambowa adalah sama dengan makna yang terdapat pada baju Kaboroko .
Namun demikian menurut para informan ada beberapa perbedaan kecil tentang makna
antara baju Kambowa dengan baju Kaboroko.

7. Baju perangkat adat (Pakeana Syara)


Pakaian disebut demikian karena pakaian ini digunakan oleh para perangkat adat
agama masjid agung Keraton Buton, Sultan dan Perangkat adat lainnya. Perbedaan
makna akan ditemukan pada pakaian yang digunakan oleh perangkat masjid agung
Keraton dengan Sultan dan pejabat dalam pemerintahan kesultanan Buton.
Pakaian ini adalah jenis pakaian jubah lengan panjang dengan motif

tenunan

tradisional Buton. Motif ini adalah garis-garis yang membujur dan melingkar. Motif
membujur pada baju sedang melingkar pada lengan baju. Makna yang terdapat di
dalamnya adalah sebagai berikut :
perbedaan motif yang terdapat pada pakaian perangkat adat adalah besar kecilnya
tanggung jawab pada masing-masing bidang kerja.

Pakaian sarana hukum atau perangkat adat adalah pakaian yang hanya digunakan oleh
perangkat masjid agung keraton dengan Sultan dan pejabat dalam pemerintahan
Kesultanan Buton dengan ciri yang spesifik yaitu penggunaan motif garis-garis yang
besar untuk sara ogena,sedang untuk sara kidina menggunakan motif garis-garis
kecil.hal ini berkaitan debngan besar kecilnya tanggung jawab yang dipikul oleh
masing-masung sara.
Perbedaannya terletak pada motif garis baju. Jika perangkat masjid agung Keraton
Buton mempunyai motif garis yang lebih kecil, maka Sara Ogena memiliki motif
garis yang lebih besar. Garis kecil berarti terbatasnya bidang kerja sedangkan motif
besar adaah luasnya bidang kerja yang menjadi tanggung jawabnya. Motif melingkar
pada lengan baju bermakna bahwa pemakai dilingkari oleh berbagai aturan atau
hukum-hukum adat dan agama dalam menjalankan tugasnya. Masing-masing anggota
kedua syara ini dalam menjalankan tugasnya dilengkapi pula dengan tongkat jabatan
(Katuko).
Berdasarkan kutipan wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa motif garis pada
baju yang kemudian berbeda dalam ukurannya (besar-kecilnya garis) bermakna besar
kecilnya pula masing-masing bidang pekerjaan atau tugas yang dijalankan. Sedang
garis melingkar pada lengan menandakan bahwa pemakainya atau pejabat syara yang
bersangkutan diikat / dilingkari oleh aturan atau hukum adat dan agama yang harus
dipatuhi dalam menjalankan tugasnya.

Warna-Warna Yang Digunakan Pada Pakaian Adat Tradisional Buton


Pakaian tradisional Buton agak berbeda dengan pakaian adat tradisional daerah lain.
Paling tidak hal ini ditunjukkan dari penggunaan warna-warna tertentu dalam pakaian
adat tradisional buton itu sendiri yang hanya terdiri dari enam macam warna yaitu
Hitam, Merah, Kuning, Biru, Hijau, Putih dan Ungu.
Pada pakaian adat tradisional Buton masing-masing pakaian umumnya menggunakan
jenis warna dan motif hiasan yang sama pada baju dan celana. Kalaupun terdapat
perbedaan warna itu terjadi pada kelengkapan pakaian seperti sarung ataupun lainnya
yang bukan merupakan komponen dari baju dan celana.
Berikut adalah kutipan wawancara mengenai makna yang terkadung dalam warnawarna yang digunakan pada pakaian adat tradisional Buton :
Di Buton warna yang digunakan terdiri dari beberapa macam dan sangat erat
kaitannya dengan unsur-unsur yang ada pada manusia. Pertama adalah Merah, yang

bermakna keberanian dan juga darah. Ini diwujudkan pada pakaian atau kelengkapan
yang digunakan. Sebagai contoh, Destar (Kampurui ) ikat kepala, hanya digunakan
oleh panglima perang yang disebut dengan Kapitalao.yang berarti keberanian yang
dimiliki seorang panglima perang dalam melindungi sultan dan pembelaan terhadap
ajaran agama maupun adat yang berlaku di kesultanan Buton (Ya katakan Ya dan
Tidak katakan Tidak). Hitam, yang bermakna kedalaman pemahaman atau kebijakan
atau ketetapan hati dalam memutuskan berbagai ketentuan dalam kehidupan
masyarakat. Putih, melambangkan kesucian dan ketulusan dalam bersikap maupun
beribadah kepada Allah SWT sebagai seorang hamba. Artinya jika menggunakan
warna ini maka pada hakikatnya adalah wujud kertaatan seluruh komponen
masyarakat dan lainnya kepada sultan sebagai khalifah atau pembimbing dalam
berbagai aspek kehidupan. Hijau, warna ini digunakan karena melambangkan
kedewasaan sikap yang harus dimiliki setiap manusia. Kuning, yang bermakna adanya
kemandirian dalam menjalankan ajaran-ajaran agama islam berdasarkan Al-Quran
dan Hadist.
Berdasarkan kutipan wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa warna-warna yang
digunakan dalam pakaian adat tradisional Buton hanya terdiri dari warna hitam,
merah, kuning, biru, hijau dan ungu. Umumnya baju dan celana pakaian adat
tradisional buton terdiri dari warna dan motif yang sama. Warna-warna ini ternyata
mengandung beberapa arti bagi masyarakat Buton antara lain yang berhubungan
proses kejadian alam dan manusia, serta arti yang menunjukkan sikap masyarakat
Buton itu sendiri serta menyatakan bahwa di Buton terdapat penggolongan
masyarakat.

Aksesoris
Disamping sebagai penambah keindahan dalam berpenampilan, aksesoris yang
digunakan dalam pakaian adat tradisional Buton disamping berfungsi sebagai
pelengkap, juga menjadi simbol kebesaran dari masing-masing jenis pakaian adat
Buton yang digunakan. Aksesoris ini umumnya terdiri dari pengikat kepala, antinganting, akaluing, gelang tangan, cincin dan sebagainya.
Pada pakaian adat tradisional Buton terdapat beberapa jenis aksesoris begitu juga
makna yang terkandung di dalamnya antara lain sebagai berikut :
(1) Panto

Panto adalah salah satu jenis aksesoris sekaligus sebagai penghias ikat rambut wanita
dalam setiap kali menggunakan pakaian Buton. Bahnnya terbuat dari kain yang diberi
hiasan-hiasan motif bunga dengan berbagai macam warna.
(2) Dali-Dali
Dali-Dali dalam bahasa Indonesia adalah anting-anting. Anting-anting umumnya
terbuat dari emas, perak. Namun saat ini anting-anting yang digunakan dalam
pemakaian pakaian adat tradisional Buton dalam berbagai kesempatan khusus
umumnya terbuat dari kuningan karena hanya berfungsi sebagai kelengkapan adat
saja.
(3) Giwang / kalung
Giwang atau kalung dalam bahasa Buton disebut sebagai Giwa (baca; giwva) terbuat
dari emas, perak tau kuningan.
(4) Cincin
Cincin dalam bahasa Buton disebut sebagai Singkaru. Singkaru yang dimaksud adalah
cincin yang berbentuk bulat. Sedang dalam masyarakat Buton terdapat salah satu jenis
cincin yang bentuknya memanjang dan dipasangkan pada ibu jari pemakainya dan
disebut sebagai Korokoronjo. Korokoronjo ini biasanya digunakan oleh wanita pada
saat ia melaksanakan adat Posuo (pingitan) dan perkawinan.
(5) Punto
Punto disamping digunakan sebagai kelengkapan dalam berpakaian Kombo juga
berfungsi sebagai sarung hias bagi pemakainya dengan dasar warna hitam dan motif
Tawana Kapa yang dilekatkan pada pemukaan Punto tersebut, dan banyak ditaburi
oleh berbagai manik-manik sehingga nampak indah terlihat.
(6) Kampurui
Kampurui adalah jenis ikat hiasan pria yang berfungsi sebagai pengikat kepala.
Kampurui ini dalam masyarakat Buton dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan
fungsinya. Pertama, Kampurui Bewe Patawala, digunakan oleh para pejabat
kesultanan Buton. Kedua, Kampuri Palangi. Digunakan oleh para pejabat maupun
sultan Buton sebagai kelengkapan kebesaran. Ketiga, Kampurui Tumpa, Kampurui ini
boleh dikatakan menyerupai bentuk Kampurui Bewe Patawala yang terdiri dari dua
warna dengan hiasan Pasamani (benang-benang emas atau perak) pada sekeliling
pinggirannya. Keempat, Bewe Poporoki, digunakan oleh para pejabat khususnya yang
berhubungna dengan adat dan ajaran agama islam.

(7) Sulepe
Sulepe diartikan sebagai ikat pinggang. Berfungsi sebagai penahan / pengikat baju
atau celana pada bagian pinggang yang sekaligus mengandung makna bahwa
pengukuh atau pengikat adat dan ajaran-ajaran agama. Penjelasan lihat pada poin (5)
pakaian baju Balahadada. (Gambar Terlampir)
Makna yang ada pada aksesoris ini adalah sebagai penghias atau penambah
penampilan agar lebih indah namun seperti ikat kepala, gelang tangan dan ikat
pinggang menandakan bahwa wanita Buton dalam menjalankan kehidupannya terikat
oleh aturan-aturan adat dan agama yang harus dipatuhinya dan dijalankan dengan hati
ikhlas, kampurui merupakan kelengkapan pakaian kebesaran para pria Buton.
Dapat disimpulkan bahwa aksesoris yang digunakan pada pakaian adat tradisional
Buton disamping berfungsi sebagai penambah penampilan atau kelengkapan
kebesaran dalam berpakaian juga mengandung makna yang intinya menjelaskan
tentang proses kejadian alam semesta dan manusia dan atau sebagai pengukuh ikatan
adat dan ajaran agama masyarakat suku Buton dalam berkehidupan.

You might also like