You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN
Ruang fasia wajah dan leher merupakan daerah jaringan penyambung longgar,
yang memungkinkan menjadi daerah pembentukan abses sesuai dengan jalannya infeksi
yang meluas. Ruang parafaring merupakan salah satu ruang fasia leher berupa rongga
segitiga besar dipenuhi dengan jaringan lemak longgar, terletak lateral dari faring.
Ruang parafaring juga dikenal sebagai faringomaksila, perifaring atau ruang faring
lateral, terdiri dari dua bagian, anterior (plastiloid) dan posterior (retrostiloid)1.
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka
mulut dan leher harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses
leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat
perjalanan infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal,
telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan
pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah
golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacterioides atau kuman
campuran 1,2.
Karena pada umumnya pasien diobati dengan antibiotik maka perkembangan
klasik dari infeksi ruang fasia dari leher bagian dalam jarang ditemukan pada saat
sekarang. Dokter sebaiknya memastikan secara lebih awal ruang yang mana yang paling
sering terkena demikian juga dengan organisme yang paling mungkin menjadi
penyebab4.

BAB II
ABSES PARAFARING

RUANG FASIA PADA LEHER


A. Anatomi dan Fisiologi
Tiga ruang fasia dibatasi oleh tiga lapis fasia servikal profunda. Ruang visera
terletak diantara fasia pratrakea dan fasia prevertebra yang berisi faring bagian bawah,
laring, trakea, esofagus servikal, kelenjar tiroid dan pembuluh darah besar leher. Ruang
fasia wajah dan leher merupakan daerah jaringan penyambung longgar, yang
memungkinkan menjadi daerah pembentukan abses sesuai dengan jalannya infeksi yang
meluas. Ruangan ini dikelilingi oleh selubung fasial yang merupakan lapisan jaringan
penyambung padat menutupi otot dan organ. Fungsi selubung ini adalah untuk memberi
perlindungan dan juga memungkinkan pencegahan terjadinya pergerakan struktur satu
dengan lainnya. Infeksi di sini berbahaya karena akan menyeababkan tekanan pada
struktur tersebut dan dapat meluas ke bawah ke dalam mediastinum, ke lateral
sepanjang pembuluh darah subklavia ke dalam ruang aksila, atau ke atas menuju ke
ruang retromandibular1,3.
Ruang parafaring merupakan ruang potensial berbentuk corong dengan dasarnya
terletak pada dasar tengkorak pada setiap sisi berdekatan dengan foramen jugularis dan
apeksnya pada kornu mayor tulang hioid. Ruang parafaring merupakan rongga segitiga
besar dipenuhi dengan jaringan lemak longgar, terletak lateral dari faring. Ruang
parafaring juga dikenal sebagai faringomaksila, perifaring atau ruang faring lateral,
terdiri dari dua bagian, anterior (plastiloid) dan posterior (retrostiloid)1,4.
Batas bagian dalam adalah ramus asenden mandibula dan perlekatan otot
pterigoideus media dan bagian posterior kelenjar parotis. Batas bagian dorsal terdiri dari
otot-otot prevertebra. Setiap fosa dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besar oleh
prosesus stiloideus dan perlekatan otot-otot4.

Bagian posterior dibentuk oleh sarung karotis, meluas dari dasar tengkorak ke ruang
servikal visera dan berisi a.karotis interna, v.jugularis interna, a. faringeal asendens dan
nn. hipoglossus, vagus, simpatis, servikalis, glosofaring dan asesorius spinalis. Bagian
anterior, ruang yang potensial bila tidak terinfeksi, berisi jaringan ikat, kadang-kadang
a. maksilaris eksterna dan biasanya beberapa kelenjar limfe. Ruang ini meluas dari dasar
tengkorak sampai angulus mandibula. Ke arah anteromedial ruang anterior dibatasi oleh
fasia bukofaring yang menutupi m. konstriktor superior yang di bagian anterior jadi
menebal pada ligamen pterigomandibula dan tercermin pada fasia yang menyelubungi
m. pterigoid interna yang membentuk batas anterolateral. Kemudian dilanjutkan dengan
ligamen stilomandibula (fasia parotis media) yang membentuk dinding posterolateral.
Batas posterior dibentuk oleh fasia yang menyelubungi stiloid dan otot-ototnya serta
dinding anterior sarung karotis. Di sebelah posteromedial ditemukan fasia alar
(aponeurosis stilofaring). Seluruh fasia ini membentuk ruang berbatas fasia lengkap
kecuali sebelah superior diana bagian medial lapisan parotis tidak ada1.

Gambar 1. Ruang Parafaring

Gambar 2.Anatomi Normal Ruang Parafaring.

B. Etiologi Infeksi Ruang Fasia


Infeksi leher dalam dapat disebabkan oleh infeksi di dalam atau disekitar tonsil,
faring, gigi, sinus, kelenjar tiroid (atau fasianya), telinga tengah, mastoid (abses
Bezold), petrosus tulang temporal, dasar lidah, dasar mulut, vertebra servikal atau
esofagus (perforasi), atau kista yang bernanah, cedera daerah tulang , infeksi kelenjar
limfe leher, trombosis vena pleksus pterigoid dan trauma, di mana terjadi perforasi pada
membran mukosa pelindung mulut atau ruang faring.. Tonsil merupakan pintu masuk
yang paling sering, biasanya melalui suatu flebitis atau tromboflebitis vena-vena di

tonsil. Kelenjar limfe leher dapat terinfeksi tanpa terlibatnya ruang fasia leher walaupun
selalu ada potensi untuk itu1,4.
C. Patologi Infeksi Ruang Fasia
Sekali terjadi infeksi yang dimulai pada jaringan lunak leher, jika tidak segera
terdeteksi, akan meluas ke salah satu ruang fasia leher yang paling lemah. Dari sana
dapat menjalar ke atas, ke bawah atau ke lateral, mengikuti ruang-ruang fasia1.

ABSES PARAFARING
A. Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara1,2:
1) Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan operasi tonsilektomi
dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah
terkontaminasi kumanmenembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring superior) yang
memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris.
2) Melalui saluran limfatik atau proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam,
gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan fertebra servikal dapat
merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring.
3) Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.
4) Melalui pembuluh darah.
Parhiscar, A dan Har- El G melakukan penelitian terhadap 210 pasien di Amerika
Serikat yang terdiagnosis menderita abses leher dalam dari tahun 1981 hingga 1998 dan
didapatkan hasil bahwa infeksi gigi merupakan penyebab terbanyak diikuti dengan
(43%) intravenous drug abuse (12%) dan pharyngotonsillitis (6%). Insiden intravenous
drug abuse dan fraktur mandibula sebagai penyebab abses leher dalam adalah 19% and
8%. Streptococcus viridans merupakan patogen penyebab utama (39% kultur positif),
disusul oleh Staphylococcus epidermidis (22%) and Staphylococcus aureus (22%)6.

B. Patologi
Infeksi leher dalam merupakan selulitis flegmonosa dengan tanda-tanda setempat
yang sangat mencolok atau menjadi tidak jelas karena tertutup jaringan yang
melapisinya. Seringkali dimulai pada daerah plastiloid sebagai suatu selulitis, jika tidak
diobati akan berkembang menjadi suatu abses dan akhirnya menjadi suatu trombosis
dari vena jugularis interna. Abses dapat mengikuti m.stiloglosus ke dasar mulut di mana
terbentuk abses. Infeksi dapat menyebar dari anterior ke bagian posterior dengan
perluasan ke bawah sepanjang sarung pembuluh- pembuluh darah besar, disertai oleh
trombosis vena jugularis atau suatu mediatinitis. Infeksi dari bagian posterior akan
meluas ke atas sepanjang pembuluh-pembuluh darah dan mengakibatkan infeksi
intrakranial atau erosi a. karotis interna1.

C. Gejala dan Tanda


Pada infeksi dalam ruang parafaring terdapat pembengkakan yang menyebabkan
gangguan aliran udara, dengan nyeri tekan di daerah submandibula terutama pada
angulus mandibula, leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan adanya demam tinggi.
Terlihat edema uvula, pilar tonsil, palatum dan pergeseran ke medial dinding lateral
faring. Sebagai perbandingan pada abses peritonsil hanya tonsil yang terdorong ke
medial. Pada rontgenogram lateral mungkin tampak pergeseran trakea ke arah anterior.
Trismus yang disebabkan oleh menegangnya m. pterigoid internus merupakan gejala
menonjol, tetapi mungkin tidak terlihat jika infeksi jauh di dalam sampai prosesus
stiloid dan struktur yang melekat padanya sehingga tidak mengenai m. pterigoid
internus. Gejala lain yang dapat muncul antara lain disfagia atau odinofagia.

1,2,5,9

Gambar 3. Gambaran fisik pasien dengan abses parafaring5


D. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila
meragukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen jaringan lunak
AP atau CT scan walaupun CT scan memang tidak dapat membedakan abses dengan
selulitis dan inflamasi edema secara spesifik2,7.
Foto jaringan lunak AP menunjukkan penebalan jaringan lunak parafaring dan
pendorongan trakea ke samping depan. CT scan dengan kontras meupakan pemeriksaan
radiologi yang menjadi pilihan pada pasien dengan suspek abses parafaring, dimana
abses dapat dibedakan dari selulitis ataupun plegmon oleh adanya gambaran sebuah
area homogenous dengan atenuasi yang rendah (fluid density) dan kontras yang
meninggi8.
E. Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan
peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum2.
Komplikasi yang paling berbahaya dari infeksi spatium faringomaksilaris adalah
terkenanya pembuluh darah sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septik vena
jugularis. Juga dapat terjadi perdarahan masif yang tiba-tiba akibat dari erosi arteri
karotis interna. Komplikasi ini dapat memberi kesan dengan adanya perdarahan awal

yang kecil (perdarahan tersamar). Jika diduga terjadi komplikasi ini dan rencana akan
dibuat untuk drainase dari abses maka identifikasi arteri karotis interna harus dilakukan.
Dengan demikian jika terjadi perdarahan ketika dilakukan drainase abses, maka dapat
segera dilakukan ligasi arteri karotis interna atau arteri karotis komunis4.
Komplikasi lainnya yang telah dilaporkan adalah angina Ludovici, ostiomielitis
vertebra servikal dan mandibula, pneumonia, erisipelas dan gangguan n.vagus 1,5.
Neuropati kranial multipel, Horner's syndrome, dapat terjadi jika ruang parafaring berisi
arteri karotis interna, v. jugularis interna, nervus kranialis IX, X dan XII dan trunkus
simpatis servikal5.
F. Terapi
Untuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman
aerob dan anaerob bila perlu dengan tes sensitivitas. Diberikan antibiotik dosis tinggi
terhadap kuman aerob dan anaerob secara parenteral. Sebelum ada hasil kultur,
diberikan penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin 3-4 x 1-2 gram atau
gentamisin 2 x 40-80 mg, kloramfenikol 3 x 250-500 mg, metronidazol 3 x 250-500 mg.
Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika
dalam 24-48 jam. Jika terdapat pus, tidak ada cara lain kecuali dengan evakuasi bedah.
Caranya melalui insisi dari luar dan intraoral. Sebelumnya diperlukan istirahat di tempat
tidur, kompres panas untuk menekan lokalisasi abses1,2,9.
Terapi mungkin membutuhkan kontrol aliran udara. Antibiotik parenteral
berspektrum luas dan drainase bedah dibutuhkan secara umum. Abses posterior
didrainase secara eksternal melalui fosa submaksila. Abses anterior dapat disrainase
melalui insisi intraoral. Kultur satelah drainase sangat dibutuhkan diikuti dengan
pemberian antibiotik oral selama 10-14 hari. Kadang-kadang abses yang kecil dapat
diterapi hanya dengan antibiotik IV saja. Penelitian terhadap pasien anak-anak dengan
abses parafaring dan retrofaring menunjukkan hasil yang efektif setelah diterapi dengan
antibiotik IV dan kortikosteroid dimana pilihan pengobatan ini dapat menurunkan durasi
gejala dan lamanya pasien dirawat di rumah sakit9,10.
Insisi intraoral dilakukan jika timbul penonjolan ke dalam faring, sebelum
tindakan dilakukan pembiusan dan dilanjutkan dengan insisi dan drainase. Insisi

intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri eksplorasi
dilakukan dengan menembus m. konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring
anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi
eksternal. Pasien perlu dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi mereda1,2.
Insisi ekstranasal dilakukan jika suatu abses menonjol ke luar atau tampak
pembengkakan yang jelas, drainase dapat dilakukan melalui suatu insisi kecil pada
suatu daerah yang berfluktuasi atau di atas bagian yang paling menonjol dari
pembengkakan. Suatu cunam melengkung dimasukkan ke dalam ruang abses tersebut,
kemudian secara hati-hati diperluas dengan merenggangkan cunam. Satu insisi lain
boleh dilakukan untuk menjaga drainase. Drain dipasang dan dijahit. Jika ditemukan
suatu kavitas yang besar, sekitar drain boleh dimasukkan tampon longgar dengan kassa
jodoform. Kasa dikeluarkan setelah 1-2 hari, sedangkan drain didiamkan selama kirakira satu minggu. Patokan yang harus diingat jika diperlukan suatu eksplorasi bedah
adalah kartilago krikoid, ujung kornu mayor os hioid, prosesus stiloid, tepi dalam m.
sternokleidomastoid dan bila perlu diseksi diteruskan ke venter posterior m.
digastrikus1.
Salah satu teknik pembedahan yang terkenal adalah teknik atau cara Mosher.
Insisi dari luar dilakukan dua setengah jari dibawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah atas
belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m. pterigoid interna mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung
karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
m.sternokleidomastoideus. Jika nanah ditemukan pada dasar mulurt atau dasar lidah,
insisi dibuat ditengah-tengah dasar fosa submaksila dan dapat diperluas ke depan atau
belakang tergantung keperluan. Jika tidak dapat diatasi, mediatinum dapat terserang.
Infeksi menjalar terus ke bawah sepanjang sarung pembuluh-pembuluh darah besar,
dengan perluasan dari ruang retrofaring melalui ruang prevertebra atau ruang visera
untuk memasuki mediastinum1,2.

BAB III
PENUTUP

Infeksi leher dalam dapat disebabkan oleh infeksi di dalam atau disekitar tonsil,
faring, gigi, sinus, kelenjar tiroid (atau fasianya), telinga tengah, mastoid (abses
Bezold), petrosus tulang temporal, dasar lidah, dasar mulut, vertebra servikal atau
esofagus (perforasi), atau kista yang bernanah, cedera daerah tulang , infeksi kelenjar
limfe leher, trombosis vena pleksus pterigoid dan trauma, di mana terjadi perforasi pada
membran mukosa pelindung mulut atau ruang faring.
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan
peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum.
Terapi mungkin membutuhkan kontrol aliran udara. Antibiotik parenteral
berspektrum luas dan drainase bedah dibutuhkan secara umum. Abses posterior
didrainase secara eksternal melalui fosa submaksila. Abses anterior dapat disrainase
melalui insisi intraoral. Kultur satelah drainase sangat dibutuhkan diikuti dengan
pemberian antibiotik oral selama 10-14 hari. Kadang-kadang abses yang kecil dapat
diterapi hanya dengan antibiotik IV saja.
Karena pada umumnya pasien diobati dengan antibiotik maka perkembangan
klasik dari infeksi ruang fasia dari leher bagian dalam jarang ditemukan pada saat
sekarang. Dokter diharapkan dapat memastikan secara lebih awal ruang yang mana
yang paling sering terkena demikian juga dengan organisme yang paling mungkin
menjadi penyebab.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ballenjer, JJ. Ruang-ruang Fasia. Dalam: Ballenger : Penyakit Telinga,
Hidung, Tenggorok dan Leher Jilid Satu Edisi 13. Binarupa Aksara. Jakarta.
1993: p295-304.
2. Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam. Dalam: Soepardi, Efiaty Arsyad,
dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher Edisi Ke-enam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007: p 226-30.
3. Liston, SL. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring,
Esofagus dan Leher. Dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit THT Edisi ke-enam.
EGC. Jakarta. 1997 : p263-70.
4. Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: Boeis
Buku Ajar Penyakit THT Edisi ke-enam. EGC. Jakarta. 1997 : p 342-45.
5. Park, YW and Tang, Ted. Diagnosis at Glance. Available from :
http//:www.emedmag.com. 2003. (Accessed: June, 11th 2011)
6. Parhiscar, A dan Har- El G. Deep Neck Abscess: a Retrospective Review of
210 Cases. Ann Otol Rhinol Laryngol. 2001 Nov;110(11):1051-4.
7. Sichel, JY et al. Parapharyngeal Abscess in Children: The Role of CT for
Diagnosis

and

Treatment.

International

Journal

of

Pediatric

Otorhinolaryngology
Volume 35, Issue 3,1996: p 213-22.
8. Shashinder, Singh. Apurulent Parapharyngeal Abscess. The Internet Journal
of Head and Neck Surgery. 2007 Volume 1 No 2.
9. Sasaki, CT. Parapharyngeal Abscess. Available from: Merckmanuals.com.
2008. (Accessed: June, 11th 2011).
10. Pelaz, AC. Conservative Treatment of Retropharyngeal and Parapharyngeal
Abscess in Children. J Craniofac Surg 2009 Jul; 20(4):1178-81.

You might also like