Professional Documents
Culture Documents
Climate change
Climate Change atau Perubahan Iklim timbul sebagai akibat dari bumi yang
makin panas atau dikenal dengan global warming. Para ahli meyakini perubahan
iklim sudah mulai terjadi dengan berbagai variasi dampak yang ditimbulkannya di
seluruh penjuru dunia. Tidak ada satupun negara yang bisa terbebas darinya,
perubahan iklim adalah bencana global. Sejak 1997 banyak konverensi diadakan
oleh berbagai lembaga yang didirikan dan bekerja keras mencari jalan untuk
meredakan, atau bahkan menyiapkan umat manusia untuk menerima dan
beradaptasi dengannya. Climate change dan Peak Oil atau habisnya minyak bumi
kini menjadi issue paling top dan paling hangat yang bahkan bisa membuat issue-
issue global lain menjadi tidak berarti. Semua orang membicarakannya, ilmuwan dari
berbagai disiplin ilmu ikut terlibat, dari ilmu alam hingga psikologi dari kalangan bisnis
hingga asuransi. Empat bulan sebelum acara di Copenhagen, pada 31 Agustus
2009, acara serupa diadakan di Geneve, Swiss, khusus untuk dunia ketiga Third
World Climate Conference. 1000 orang pengambil keputusan dan ilmuwan, termasuk
puluhan petinggi dari 150 negara menghadirinya. Pertemuan seminggu penuh itu
diselenggarakan oleh World Meteorological Organization dengan tujuan membantu
bangsa-bangsa dunia ketiga menghadapi perubahan iklim melalui pembuatan
mekanisme yang efektif untuk pengumpulan dan penyebaran berita iklim antar
negara. Banjir dan kekeringan diperkirakan akan menjadi dampak paling dominan di
banyak negara dunia ketiga, sedangkan makin dingin adalah dampak yang paling
mengerikan bagi negara2 kaya di utara ketika suplai minyak pun makin menipis,
sedangkan Australia akan mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Karena itu
negara tropis harus menyiapkan sistem pengairan yang baik dengan menampung
hujan untuk masa kekeringan, demikian juga antisipasi saluran air di perkotaan.
Konferensi di Copenhagen ini diharapkan bisa menelurkan kesepakatan
global yang akan menggantikan Kyoto Protocol yang tidak pernah berjalan baik
dimana Amerika Serikat terus menolak untuk menandatanganinya. Meski IPCC
(International Panel on Climate Change) lembaga yang dibentuk PBB untuk
memantau perubahan iklim menetapkan target penurunan emisi dari negara-negara
maju hingga 25-40% sebelum tahun 2020, hingga kini banyak negara kaya termasuk
Amerika Serikat belum mau menyepakatinya. Beberapa negara Afrika dan Asia walk
out dari negosiasi multinasional di Barcelona bulan lalu, mereka merasa terlalu
banyak tuntutan kepada mereka padahal negara kaya tidak mau berkorban banyak.
Protocol Kyoto tidak membawa manfaat apa-apa pada negara mereka.
“Pada masa Kali Yuga, dari hari ke hari kesalehan akan merosot, kecukupan
ketersediaan kebutuhan manusia terus berkurang hingga dunia benar2 dalam
kerusakan. Di zaman itu harta yang akan menentukan derajat seseorang, gairah
dan nafsu menjadi satu2nya alasan yang menyatukan pria dan wanita,
kebohongan menjadi alat mencari nafkah, wanita menjadi obyek kesenangan
sensual semata, bumi dinilai hanya dari tambang dan sumberdaya alam yang
ada di dalamnya saja, kepandaian menipu menjadi kunci kesuksesan,
melakukan sedikit saja kebaikan sudah dianggap cukup untuk penyucian diri.
Tidak ada lagi kepatuhan pada kasta, hukum, dan lembaga adat. Upacara dan
ritual yang diresepkan dalam Veda diabaikan. Wanita menuruti hanya kehendak
dirinya sendiri dan tergila-gila pada kesenangan duniawi. Pria dari semua lapisan
masyarakat menganggap dirinya Brahmin (ahli agama). Kaum petani
meninggalkan tanah pertanian dan kaum pedagang meninggalkan
perdagangannya untuk bekerja mengoperasikan alat-alat. Jalan Veda telah
ditinggalkan, manusia semakin jauh dari tradisi agamanya. Ketidak-adilan akan
meraja lela dan akibatnya umur manusia akan semakin pendek. Pada akhirnya
manusia akan berhenti menyembah Tuhan dan mengatakan “mengapa wahyu
dan Nabi harus mempunyai otoritas lebih dari akal kita?” “siapakah Tuhan itu?”
“untuk apa kita harus melakukan ritual ini dan itu?”.....
Di zaman Kali Yuga kasta yang paling dominan adalah shudra. Orang yang
kurang terpelajar akan mengajari kebenaran, kebajikan akan meredup dan
berhenti berkembang, orang-orang berilmu kelihatan lucu dan aneh. Orang tua
tidak peka terhadap yang muda, anak muda melawan yang tua. Pada zaman
Kali Yuga, para guru akan dilawan oleh muridnya. Mereka perlahan-lahan
kehilangan rasa hormat. Pelajarannya akan dicela dan Kama (nafsu) akan
mengontrol semua keinginan manusia.
Jika dibaca dalam konteks universal pertanda zaman kali yuga yang dalam kitab
Visnu Purana ditulis memakai bahasa Hinduisme, hampir semua tanda2 tersebut
telah bisa dirasakan kehadirannya sekarang, terlebih dengan krisis global yang kini
melanda semua aspek kehidupan dan global warming yang mulai dirasakan
dampaknya pada perubahan iklim di seluruh bagian di bumi. Di sini, kita orang Timur
perlu mengenal perbedaan perspektif tentang waktu antara Barat dan Timur. Barat
melihat waktu sebagai garis lurus sedang Timur melihatnya sebagai siklus. Dalam
garis lurus tidak ada kesempatan ke-dua, semua harus dilakukan sebelum waktu
habis, sedang dalam perspektif siklus di Timur seperti teori siklus kosmik Hindu dan
doktrin Imam Mahdi di Islam umat manusia senantiasa punya
kesempatan menemukan kembali 'self renewing system' yaitu sistem yang akan
menghidupkan kembali dan berjalan lagi meski kita sendiri sudah tidak berada di
alam fana ini, sebagaimana yang dicontohkan Nabi Nuh a.s. yang membawa setiap
pasang hewan dan setiap jenis tumbuhan dalam perahunya sebelum banjir besar itu
datang agar kelak ketika surut makhluk itu bisa kembali hidup dan berkembang biak.
Simbolisasi kisah Nabi Nuh menjadi ajaran agama yang paling relevan dalam melihat
persoalan perubahan iklim, bahkan beberapa bulan lalu Green Peace membangun
simbol kapal Nabi Nuh di gunung Ararat, Turki, yang diyakini sebagai tempat bahtera
Nabi Nuh mendarat. Gerakan yang dinamai Operation Noah dijalankan oleh
kelompok religius Kristiani di Inggris dan Amerika mengajak manusia menghadapi
perubahan iklim dengan keimanan. Namun, sebagaimana juga Nabi Nuh, pekerjaan
itu tidaklah mudah. Banyak dari kaum Nuh yang tidak mau mendengarkan bahkan
istri dan anaknya sendiripun tidak mengikutinya yang kemudian terbawa arus banjir
besar itu.
Terlepas dari perdebatan tentang film Kiamat 2012 dari sudut pandang agama
penulis bermaksud mengajak pembaca merenungkan film itu dalam kaitannya
dengan Climate Change atau perubahan iklim yang tidak lain adalah bentuk bencana
alam. Besar kecilnya dampak yang ditimbulkan di tiap2 tempat berbeda-beda, tetapi
tidak ada satupun negara yang terbebas dari bencana ini, bahkan negara super kaya
sekalipun bisa jadi jauh lebih rentan terhadap dampaknya dibanding negara miskin
jika ada ketergantungan yang tinggi pada negara itu terhadap negara lain untuk
suplai makanan, energi, dsb Dengan demkian dapat dikatakan semakin self sufficient
atau mandiri suatu tempat, semakin tinggi ketahanan tempat itu terhadap perubahan
iklim.
Alam adalah tadjalli (manifestasi) Tuhan
Dalam semua masyarakat tradisional di manapun juga manusia dipandang
sebagai pontiff atau jembatan antara Langit dan Bumi yang berperan menjadi
pemelihara dan penjaga alam. Konsep ini jelas berseberangan dengan konsep
manusia modern, yang memberontak pada kehendak Ilahi kemudian mengganti
perannya justru menjadi perusak alam. Manusia yang semula makhluk yang
diturunkan dari atas atau Surga untuk hidup harmonis dengan alam dan semua
ciptaanNya, kini melalui teori evolusi menjadi makhluk yang muncul dari bawah
kemudian menjadi predator paling mematikan bagi semua makhluk yang lain. Di
sinilah keterkaitan kerusakan lingkungan dengan krisis spiritualitas yang melanda
umat manusia modern jelas terlihat. Melihat manusia sebagai pontiff adalah sebuah
cara pandang komprehensif atau weltanschauung yang menganggap manusia
sebagai “wajah Tuhan”. Dalam Islam ini dinyatakan jelas di dalam hadits qudsi
khalaqa’Llahu Adama ala suratihi yang berarti Tuhan menciptakan manusia sesuai
bentukNya. Namun, hadits ini hendaknya tidak dipahami secara antropomorfis. Islam
memandang manusia sebagai khalifah di bumi yang bertugas mengurus bumi, tetapi
kekhalifahan itupun dikomplementasi dengan kehambaan manusia sebagai abdi atau
pelayan Tuhan (al-ubudiyah). Dalam Islam tradisional alam dipandang sebagai
tanda-tanda Tuhan (ayat) yang memantulkan sifat-sifatNya. Banyak ayat di Quran
yang menyebut ‘alam terlihat’ atau ‘termanifestasikan’ (alam syahadah) dan “alam
tak terlihat” (alam ghaib). Alam syahadah bukanlah sebuah realitas yang berdiri
sendiri secara independent melainkan manifestasi dari alam yang jauh lebih besar.
Alam syahadah bagaikan apa-apa yang terlihat di sekita api unggun yang menyala di
tengah padang pasir sangat luas di malam gelap, semua yang tampak itu pelan2
melenyap ke dalam gelap yang luas di sekitarnya. Apa-apa yang tampak hanyalah
bagaikan debu di tengah lautan luas yang tak tampak yang menjadi ‘lingkungan’
yang sesungguhnya bagi yang tampak itu. Demikianlah hubungan halus dan rumit
antara “alam tampak” (syahadah) dan “alam tak tampak” (ghaib). Quran
menyebutkan di surat IV.126 bahwa Allah bersifat al-Muhit yaitu yang Maha
Melingkupi, dalam bahasa Arab al-muhit juga bisa berarti ‘lingkungan’. Krisis
lingkungan terjadi karena manusia tidak lagi melihat Tuhan yang Maha Melingkupi
sebagai “lingkungan ilahiyah” yang menopang alam semesta dan tidak lagi
mengenali kesakralan alam sebagai karya agung dari yang Maha Berkarya.
Pertambahan penduduk yang melonjak tajam akibat perbaikan sanitasi, ilmu
kesehatan dan teknologi medis telah menciptakan obat-obatan yang menakjubkan
sekaligus mengerikan dengan mengganggu keseimbangan alam karena kelebihan
penduduk berarti melanggar kemampuan daya dukung alam untuk menghidupi
manusia. Ledakan jumlah penduduk justru terjadi di negara-negara yang selama
ribuan tahun memiliki angka kematian bayi yang tinggi. Ini persoalan etika dan
spiritual yang sangat pelik. Hanya ketika para pemuka agama bisa memahami
kepelikan kaitan ilmu ekologi, spiritual dan etika, kita akan berhenti memperdebatkan
hukum halal dan haram dalam pembatasan kelahiran.
*********