Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perubahan merupakan sesuatu yang harus terjadi pada bidang pendidikan. Perubahan yang
terjadi adalah pergantian kurikulum 2013 dari kurikulum sebelumnya. Dalam rangka
menerapkan pendidikan yang bermutu, pemerintah telah menetapkan Kurikulum Tahun 2013
untuk diterapkan di sekolah / madrasah. Pada setiap aplikasi kurikulum mempunyai aplikasi
pendekatan pembelajaran berbeda-beda, demikian pada kurikulum sekarang ini. Scientific
approach (pendekatan ilmiah) adalah pendekatan pembelajaran yang diterapkan pada aplikasi
pembelajaran kurikulum 2013. Pendekatan ini berbeda dari pendekatan pembelajaran kurikulum
sebelumnya. Pada setiap langkah inti proses pembelajaran, guru akan melakukan langkahlangkah pembelajaran sesuai dengan pendekatan ilmiah.
Sebagai bagian dari Kurikulum 2013 yang menekankan pentingnya keseimbangan
kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan, kemampuan matematika yang dituntut
dibentuk melalui pembelajaran berkelanjutan: dimulai dengan meningkatkan pengetahuan
tentang metode-metode matematika, dilanjutkan dengan keterampilan menyajikan suatu
permasalahan secara matematis dan menyelesaikannya, dan bermuara pada pembentukan sikap
jujur, kritis, kreatif, teliti, dan taat aturan.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dapat diambil adalah
sebagai berikut :
Apakah yang dimaksud dengan pendekatan scientific?
Bagaimanakah karakteristik pembelajaran ilmiah?
Bagaimanakah langkah-langkah pendekatan scientific?
Bagaimanakah penerapan pendekatan scientific dalam pembelajaran?
Apa kelebihan dan kekurangan pendekatan scientific?
1.
2.
3.
4.
5.
1.3
Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah yaitu :
1. Mengetahui pendekatan scientific.
2. Mengetahui karakteristik pembelajaran ilmiah.
3. Mengetahui langkah-langkah pendekatan scientific.
4. Mengetahui penerapan pendekatan scientific dalam pembelajaran.
5. Mengetahui kelebihan dan kekurangan pendekatan scientific.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan,
kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi pembelajaran.
Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan
mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi
pembelajaran.
Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya.
2.3
2.
Questioning (menanya)
Menurut Bell (1978), objek kajian matematika yang dipelajari siswa selama belajar di
sekolah dapat berupa fakta (matematika), konsep (pengertian pangkal, definisi), prinsip (teorema,
rumus, sifat), dan skill (algoritma/prosedur). Fakta, konsep, prinsip, skill tersebut adalah buah
fikiran manusia, sehingga bersifat abstrak. Dalam mempelajari konsep atau prinsip matematika
yang tergolong sebagai pengetahuan, sebagaimana disampaikan oleh Piaget (Wadsworth, 1984)
3.
sangat perlu dipertimbangkan bahwa tingkat berpikir siswa. Proses pembelajaran untuk
memahami konsep dan prinsip matematika perlu dikelola dengan langkah-langkah pedagogis
yang tepat dan difasilitasi media tertentu agar buah pikiran yang abstrak tersebut dapat dengan
mudah dipahami siswa. Langkah pedagogis dan penggunaan media tersebut menuntut siswa dan
guru terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan yang menggiring pemikiran siswa secara bertahap,
dari yang mudah (konkret) menuju ke yang lebih kompleks (abstrak) sehingga akhirnya
pengetahuan
diperoleh oleh siswa sendiri dengan bimbingan guru.
Dalam hal mempelajari keterampilan berprosedur matematika, kecenderungan yang ada
sekarang adalah siswa gagal menyelesaikan suatu masalah matematika jika konteksnya berbeda,
walaupun hanya sedikit perbedaannya. Ini terjadi karena siswa cenderung menghafal algoritma
atau prosedur tertentu. Pada diri siswa tidak terbangun kreativitas dalam berprosedur. Kreativitas
berprosedur dapat dibangkitkan dari pemberian pertanyaan yang tepat. Pertanyaan-pertanyaan
didesain agar siswa dapat berpikir tentang alternatif-alternatif jawaban atau alternatif-alternatif
cara berprosedur. Dalam hal ini guru diharapkan agar menahan diri untuk tidak memberi tahu
jawaban pertanyaan. Apabila terjadi kendala dalam proses menjawab pertanyaan, atau diprediksi
terjadi kendala dalam menjawab pertanyaan, guru dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan
secara bertahap yang mengarah pada diperolehnya jawaban pertanyaan oleh siswa sendiri. Di
sinilah peran guru dalam memberikan scaffolding atau pengungkit untuk memaksimalkanZPD
(Zone Proximal Development) yang ada pada siswa (Chambers, 2007).
Associating (menalar)
Secara umum dapat dikatakan bahwa penalaran adalah proses berfikir yang logis dan
sistematis atas fakta-fakta yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa
pengetahuan. Dalam proses pembelajaran matematika, pada umumnya proses menalar terjadi
secara simultan dengan proses mengolah atau menganalisis kemudian diikuti dengan proses
menyajikan atau mengkomunikasikan hasil penalaran sampai diperoleh suatu simpulan. Bentuk
penyajian pengetahuan atau ketrampilan matematika sebagai hasil penalaran dapat berupa
konjektur atau dugaan sementara atau hipotesis.
Ada dua cara menalar, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif.Penalaran
induktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari fenomena khusus untuk hal-hal
yang bersifat umum. Kegiatan menalar secara induktif lebih banyak berpijak pada hasil
pengamatan inderawi atau pengalaman empirik. Penalaran deduktif merupakan cara menalar
dengan menarik simpulan dari pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum
menuju pada hal yang bersifat khusus. Cara kerja menalar secara deduktif adalah menerapkan
hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk kemudian dihubungkan ke dalam bagian-bagiannya
yang khusus (Sudarwan, 2013). Penalaran yang paling dikenal dalam matematika terkait
penarikan kesimpulan adalah modus ponen, modus tolen dan silogisme.
Sesuai dengan tingkat berpikirnya, siswa SD/MI dan SMP/MTs yang umumnya dalam
tingkat berpikir operasional konkret dan peralihan ke tingkat operasional formal, sehingga cara
memperoleh pengetahuan matematika pada diri siswa SD/MI dan SMP/MTs banyak dilakukan
4.
5.
dengan penalaran induktif, sedangkan untuk siswa SMA/MA sudah mulai banyak dilakukan
dengan penalaran deduktif.
Experimenting (mencoba)
Berdasarkan hasil penalaran yang diperoleh pada tahap sebelumnya yakni berupa konjektur
atau dugaan sementara sampai diperoleh kesimpulan, maka selanjutnya perlu dilakukan kegiatan
mencoba. Kegiatan mencoba dalam proses pembelajaran matematika di sekolah dimaknai
sebagai menerapkan pengetahuan atau keterampilan hasil penalaran ke dalam suatu situasi atau
bahasan yang masih satu lingkup, kemudian diperluas ke dalam situasi atau bahasan yang
berbeda lingkup.
Tahap mencoba ini menjadi wahana bagi siswa untuk membiasakan diri berkreasi dan
berinovasi menerapkan dan memperdalam pengetahuan atau keterampilan yang telah dipelajari
bersama guru. Dengan memfasilitasi kegiatan mencoba ini siswa diharapkan tidak terkendala
dalam memecahkan permasalahan matematika yang merupakan salah satu tujuan penting dan
mendasar dalam belajar matematika. Pengalaman mencoba akan melatih siswa yang memuat
latihan mengasah pola pikir, sikap dan kebiasaan memecahkan masalah itulah yang akan banyak
memberi sumbangan bagi siswa dalam menuju kesuksesan mengarungi kehidupan sehariharinya. Kurikulum 2013 secara eksplisit menyiapkan siswa agar terampil memecahkan masalah
melalui penataan kompetensi kompetensi dasar matematika yang dipelajari siswa. Kegiatan
mencoba mencakup merencanakan, merancang, dan melaksanakan eksperimen, serta
memperoleh, menyajikan, dan mengolah data.
Networking (membentuk jejaring)
Membentuk jejaring dimaknai sebagai menciptakan pembelajaran yang kolaboratif antara
guru dan siswa atau antar siswa. Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal,
lebih dari sekadar melaksanakan suatu teknik pembelajaran di kelas. Kolaborasi esensinya
merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan memaknai
kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja sedemikian rupa
untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama (Kemdikbud, 2013).
Dalam kegiatan pembelajaran kolaboratif, fungsi guru lebih sebagai manajer belajar dan
siswa aktif melaksanakan proses belajar. Dalam situasi pembelajaran kolaboratif antara guru dan
siswa atau antar siswa, diharapkan terjadi siswa berinteraksi dengan empati, saling menghormati,
dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing, sehingga pada diri siswa akan tumbuh
rasa aman, yang selanjutnya akan memungkinkan siswa menghadapi aneka perubahan dan
tuntutan belajar secara bersama-sama.
Membentuk jejaring dapat dilaksanakan dengan memberi penugasan-penugasan belajar
secara kolaboratif. Penugasan kolaboratif dapat dilaksanakan pada proses mengamati, menanya,
menalar atau mencoba. Selain belajar mengasah sikap empati, saling menghargai dan
menghormati perbedaan, berbagi, dengan diterapkannya pembelajaran kolaboratif maka bahan
belajar matematika yang abstrak diharapkan akan menjadi lebih mudah dipahami siswa.
Kegiatan membentuk jejaring adalah sarana untuk menyampaikan hasil konseptualisasi
dalam bentuk lisan, tulisan, gambar / sketsa, diagram, atau grafik. Kegiatan ini dilakukan agar
1.
2.
3.
4.
5.
BAB III
PENUTUP
3.1
1.
2.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
3.
1.
2.
3.
4.
5.
4.
Simpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :
Pendekatan scientific atau ilmiah merupakan suatu cara atau mekanisme pembelajaran untuk
memfasilitasi siswa agar mendapatkan pengetahuan atau keterampilan dengan prosedur yang
didasarkan pada suatu metode ilmiah.
Kriteria pembelajaran ilmiah yaitu :
Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan
dengan logika atau penalaran tertentu.
Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik terbebas dari
prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur
berpikir logis.
Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam
mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi
pembelajaran.
Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan,
kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi pembelajaran.
Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan
mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi
pembelajaran.
Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya.
Langkah-langkah pendekatan scientific adalah sebagai berikut :
Observing (mengamati)
Questioning (menanya)
Associating (menalar)
Experimenting (mencoba)
Networking (membentuk jejaring)
Penerapan pendekatan scientific dalam pembelajaran pada materi segiempat adalah sebagai
berikut :
1. Observing (mengamati)
Siswa mengamati gambar/foto/video dari peristiwa, kejadian, fenomena, konteks atau situasi
yang berkaitan dengan penerapan konsep segiempat.
2. Questioning (menanya)
Guru dapat memotivasi siswa dengan bertanya tentang segiempat.
3. Associating (menalar)
Siswa menganalisis, mengkaitkan dan mendefinisikan secara lebih persis perbedaan dan
persamaan persegi, persegi panjang, trapezium, jajar genjang, belah keupat, laying-layang.
4. Experimenting (mencoba)
Siswa menggambar atau melukis segi empat dengan berbagai ukuran sisi, sudut dan modelnya.
5. Networking (membentuk jejaring)
Siswa menyajikan secara tertulis dan lisan hasil pembelajaran atau apa yang telah dipelajari dan
ditanggapi oleh guru. Siswa melakukan resume secara lengkap, komprehensif dan dibantu guru.
5. Kelebihan pendekatan scientific yaitu :
Siswa harus aktif dan kreatif
Penilaian di dapat dari semua aspek.
Kekurangan pendekatan scientific yaitu :
Guru jarang menjelaskan
3.2
Saran
Dengan dilaksanakannya Kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan scientific dalam
pembelajaran, guru diharapkan mampu melaksanakan pendekatan scientific dengan maksimal
agar hasil pembelajaran meningkat secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Bell, F.H. 1978. Teaching and Learning Mathematics. Iowa:WBC
Chambers, Paul. 2007. Teaching Mathematics: Developing as A Reflective Secondary
Teacher. Thousand Oaks, CA: Sage Publication Inc.
Kemdikbud. 2013. Pengembangan Kurikulum 2013. Paparan Mendikbud dalam Sosialisasi Kurikulum
2013. Jakarta :Kemdikbud
Kemdikbud. 2013. Kompetensi Dasar Matematika SMP/MTs. Jakarta :Kemdikbud
Kemdikbud. 2013. Pembelajaran Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika (Peminatan)
Melalui Pendekatan Saintifik. Jakarta: Kemdikbud
Kemdikbud. 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Kemdikbud
Kemdikbud. 2013. Pendekatan Scientific (Ilmiah) dalam Pembelajaran. Jakarta: Pusbangprodik.
Wadsworth, Barry J., 1984. Piagets Theory of Cognitive and Affective Development (3rd edition).
NY: Longman Inc