You are on page 1of 7

http://jurnal.fk.unand.ac.

id

Tinjauan Pustaka
Kelainan Hemostasis pada Leukemia
Zelly Dia Rofinda

Abstrak
Latar belakang: Leukemia adalah penyakit keganasan pada jaringan hematopoietik yang ditandai dengan
penggantian elemen sumsum tulang normal oleh sel darah abnormal atau sel leukemik. Salah satu manifestasi klinis
dari leukemia adalah perdarahan yang disebabkan oleh berbagai kelainan hemostasis.
Kelainan hemostasis yang dapat terjadi pada leukemia berupa trombositopenia, disfungsi trombosit,
koagulasi intravaskuler diseminata, defek protein koagulasi, fibrinolisis primer dan trombosis. Patogenesis dan
patofosiologi kelainan hemostasis pada leukemia tersebut terjadi dengan berbagai mekanisme.
Kata kunci: leukemia, kelainan hemostasis

Abstract
Background: AbstractLeukemia is a malignancy of hematopoietic tissue which is characterized by
substituted of bone marrow element with abnormal blood cell or leukemic cell. One of clinical manifestation of
leukemia is bleeding that is caused by several hemostasis disorders.Hemostasis disorders in leukemia such as
thrombocytopenia, platelet dysfunction, disseminated intravascular coagulation, coagulation protein defect, primary
fibrinolysis and thrombosis. Pathogenesis and pathophysiology of thus hemostasis disorders in leukemia occur with
different mechanism.
Keywords: leukemia, hemostasis disorder
Affiliasi penulis : Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran
UnandKorenpondensi: Bagian Patologi Klinik FK Unand
Korespondensi : Zelly Dia Rofinda, Bagian Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran UnandKorenpondensi: Bagian Patologi Klinik FK Unand
zelly_diarofinda@yahoo.com Telp: 0751 - 841514

Pendahuluan
Leukemia adalah penyakit keganasan pada
jaringan hematopoietik yang ditandai dengan
penggantian elemen sumsum tulang normal oleh sel
darah abnormal atau sel leukemik. Hal ini disebabkan
oleh proliferasi tidak terkontrol dari klon sel darah
immatur yang berasal dari sel induk hematopoietik. Sel
leukemik tersebut juga ditemukan dalam darah perifer
dan sering menginvasi jaringan retikuloendotelial
1-3
seperti limpa, hati dan kelenjar limfe.
Leukemia diklasifikasikan berdasarkan tipe
sel, baik menurut maturitas sel maupun turunan sel.
Berdasarkan maturitas sel, leukemia dibedakan atas
akut dan kronik. Jika sel ganas tersebut sebagian
besar immatur (blast) maka leukemia diklasifikasikan
akut, sedangkan jika yang dominan adalah sel matur
maka diklasifikasikan sebagai leukemia kronik.
Berdasarkan turunan sel, leukemia diklasifikasikan
atas leukemia mieloid dan leukemia limfoid. Kelompok
leukemia mieloid meliputi granulositik, monositik,
2
megakriositik dan eritrositik.
Salah satu manifestasi klinis dari leukemia
adalah perdarahan. Manifestasi perdarahan yang
paling sering ditemukan berupa ptekie, purpura atau
ekimosis, yang terjadi pada 40 70% penderita
leukemia akut pada saat didiagnosis. Lokasi
perdarahan yang paling sering adalah pada kulit,
mata, membran mukosa hidung, ginggiva dan saluran
cerna. Perdarahan yang mengancam jiwa biasanya
terjadi pada saluran cerna dan sistem saraf pusat,
4
selain itu juga pada paru, uterus dan ovarium.
Manifestasi perdarahan ini muncul sebagai akibat dari
4,5
berbagai kelainan hemostasis.

Perdarahan yang mengancam jiwa lebih sering terjadi


pada leukemia akut dan merupakan masalah yang
serius. Perdarahan menjadi penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pada leukemia akut
terutama pada leukemia mielositik akut dengan
diferensiasi monositik dan leukemia promielositik
6
akut.
Komplikasi
perdarahan
mengakibatkan
mortalitas 7 10% pada pasien leukemia akut yang
terjadi dalam beberapa hari atau minggu pertama
7,8
setelah diagnosis.
Leukemia yang paling sering dihubungkan
dengan perdarahan yang mengancam jiwa adalah
Leukemia Promielositik Akut (AML-M3 atau APL) yaitu
suatu subtipe leukemia mielositik akut yang ditandai
(9)
dengan translokasi resiprokal kromosom 15 dan 17 .
Pada Leukemia Promielositik Akut, hampir 30%
kematian
dini
diakibatkan
oleh
komplikasi
10
perdarahan. Perdarahan yang terjadi pada Leukemia
Promielositik Akut tersebut dihubungkan dengan
koagulasi intravaskuler diseminata, hiperfibrinolisis
11,12
dan aktifitas protease non-spesifik.
Penyebab
tersering
perdarahan
pada
(2)
leukemia adalah trombositopenia . Berkurangnya
jumlah trombosit pada leukemia biasanya merupakan
akibat dari infiltrasi ke sumsum tulang atau
kemoterapi, namun bisa juga karena koagulasi
intravaskuler diseminata, proses imunologis dan
hipersplenisme sekunder terhadap pembesaran limpa.
Selain trombositopenia, perdarahan dapat juga akibat
4
disfungsi trombosit, kelainan hepar dan fibrinolisis.
Koagulasi intravaskuler diseminata (KID)
sering dilaporkan pada leukemia akut yang
disebabkan oleh pelepasan material prokoagulan dari
blast sel leukemik. Leukemia akut yang sering
dihubungkan dengan KID yaitu Leukemia Promielositik
Akut
(AML-M3),
diikuti
dengan
Leukemia
Mielomonositik Akut (AML-M4) dan Leukemia
Mieloblastik Akut (AML-M1 dan M2) serta Leukemia
2,13,14
Limfositik Akut (ALL).
Pada leukemia kronik, KID
Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(2)

68

http://jurnal.fk.unand.ac.id

lebih sering terjadi pada Leukemia Mielositik Kronik


14
daripada Leukemia Limfositik Kronik.
Kelainan hemostasis lain yang juga dapat
terjadi pada leukemia adalah trombosis ataupun
tromboemboli. Trombosis dapat merupakan salah satu
gejala yang ditemukan saat diagnosis yaitu pada
leukemia promielositik akut (AML-M3) 9,6%; pada
15
AML non-M3 3,2% dan pada ALL 1,4%. Patogenesis
keadaan protrombotik pada leukemia sangat kompleks
dan melibatkan berbagai mekanisme seperti aktivasi
koagulasi oleh substansi prokoagulan yang dilepaskan
sel leukemik, kegagalan jalur fibrinolitik dan perubahan
15,16
endotel.
Tinjauan kepustakaan ini akan membahas
mengenai berbagai kelainan hemostasis yang dapat
terjadi pada leukemia. Pengetahuan mengenai
patogenesis dan patofisiologi kelainan hemostasis
pada leukemia ini sangat penting agar pengelolaan
pasien dapat dilakukan secara optimal.

Kelainan Hemostasis Pada Leukemia


Trombositopenia
Trombosit harus dalam jumlah yang adekuat
untuk mempertahankan hemostasis normal. Pada
keadaan normal jumlah trombosit darah berkisar
3
150.000 400.000/mm . Trombositopenia adalah
istilah untuk jumlah trombosit yang kurang dari nilai
normal tersebut. Trombositopenia biasanya tidak
mempunyai manifestasi klinis hingga jumlah trombosit
3
3
100.000/mm , bahkan hingga 50.000/mm sekalipun.
Perdarahan spontan biasanya baru terlihat pada
3 17
jumlah trombosit < 20.000/mm .
Perdarahan
akibat
trombositopenia
merupakan komplikasi paling sering dari leukemia
akut. Gaydos et al. (1962) yang pertama kali
melaporkan adanya hubungan antara perdarahan
18
dengan jumlah trombosit pada leukemia akut.
Manifestasi perdarahan akibat trombositopenia dapat
berupa ptekie atau purpura, epistaksis, perdarahan
gusi, perdarahan saluran cerna, menorrhagi hingga
perdarahan otak. Webert et al. (2006) melaporkan
berbagai tingkat perdarahan yang terjadi pada 58,4%
pasien
leukemia
mieolositik
akut
akibat
19
trombositopenia.
Berkurangnya
jumlah
trombosit
pada
leukemia akut biasanya merupakan akibat infiltrasi
sumsum tulang atau kemoterapi, selain itu dapat juga
disebabkan oleh beberapa faktor lain seperti koagulasi
intravaskuler diseminata, proses imunologis dan
hipersplenisme sekunder terhadap pembesaran limpa.
Trombositopenia yang terjadi bervariasi dan hampir
4
selalu ditemukan pada saat leukemia didiagnosis.
Proses
infiltrasi
di
sumsum
tulang
mengakibatkan sumsum tulang dipenuhi oleh sel
leukemik sehingga terjadi penurunan jumlah
megakariosit yang berakibat menurunnya produksi
trombosit.
Kemoterapi
pada
leukemia
dapat
menyebabkan kerusakan langsung sumsum tulang
sehingga juga akan menyebabkan berkurangnya
produksi trombosit.
Koagulasi intravaskuler diseminata yang sering terjadi
pada leukemia akut terutama leukemia promielositik
akut mengakibatkan trombosit banyak terpakai dalam
proses koagulasi. Konsumsi trombosit yang berlebihan
4
ini juga menyebabkan terjadinya trombositopenia.
Trombositopenia
akibat
purpura
trombositopenik imunologik ditemukan pada 2%
(20,21)
pasien leukemia limfositik kronik
. Hal ini
dihubungkan dengan terbentuknya autoantibodi

terhadap trombosit sehingga berakibat destruksi


22,23
trombosi.
Produksi autoantibodi bersamaan
dengan infiltrasi sel leukemik di sumsum tulang dan
hipersplenismus menyebabkan semakin berkurangnya
23
jumlah trombosit.
Penderita leukemia akut yang sedang dalam
pengobatan, sering memerlukan transfusi trombosit
berulang kali. Keadaan ini menimbulkan risiko
terjadinya aloimunisasi sehingga terbentuk aloantibodi
yang
pada
akhirnya
dapat
menyebabkan
penghancuran trombosit. Trombositopenia dapat
terjadi satu minggu setelah transfusi darah atau
produk darah yang mengandung trombosit. Transfusi
trombosit cenderung gagal pada pasien yang
14,17,24
membentuk aloantibodi tersebut.
Corazza et al (2006) mengevaluasi kadar
trombopoietin serum pasien ALL atau AML pada saat
(25)
diagnosis . Peningkatan kadar trombopoietin serum
yang adekuat dalam merespon trombositopenia
terdapat pada pasien ALL. Pada pasien AML, kadar
trombopoietin rendah, tetapi segera meningkat hingga
kadar yang diharapkan selama induksi kemoterapi
begitu sel blast menghilang. Kadar trombopoietin yang
inadekuat pada pasien AML tersebut akibat adanya
reseptor trombopoietin c-mpl pada sel blast mieloid
yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel
leukemik mieloid dan menurunkan apoptosis dari sel
25
tersebut.
Risiko
terjadinya
perdarahan
hebat
berbanding terbalik dengan jumlah trombosit. Untuk
mencegah risiko perdarahan hebat pada pasien
trombositopenia dapat dilakukan dengan transfusi
trombosit, tetapi jumlah trombosit optimal sebagai
batas
transfusi
trombosit
profilaktik
masih
diperdebatkan. Jumlah trombosit yang dipakai sebagai
batas untuk transfusi trombosit adalah dibawah
3 19,26,27
20.000/mm .
Penghitungan
jumlah
trombosit
dapat
dilakukan secara manual atau dengan alat automatik.
Hitung trombosit dengan alat automatik dipengaruhi
oleh beberapa hal seperti adanya agregat trombosit
akibat agregasi spontan, cold aglutinin atau partikel
debris seperti fragmen eritrosit dan leukosit. Untuk itu
penting dilalukan konfirmasi dengan inspeksi pada
sediaan hapus darah tepi. Sediaan hapus darah tepi
dapat memberikan informasi mengenai ukuran dan
morfologi trombosit serta konfirmasi jumlah trombosit.
Perkiraan kasar jumlah trombosit dengan evaluasi
sediaan hapus darah tepi dalam keadaan normal
terdapat kira-kira 10 20 trombosit per lapangan
imersi (kira-kira satu trombosit per 10 20 eritrosit).
Jika perlu, hitung trombosit dapat dilakukan dengan
hemositometer
menggunakan
mikroskop
fase
28
kontras.
Disfungsi trombosit
Gangguan fungsi trombosit juga dapat
menyebabkan perdarahan meskipun jumlah trombosit
tidak begitu rendah. Disfungsi trombosit ini terjadi
pada 30% pasien leukemia mielositik kronik (LMK).
Gangguan fungsi trombosit yang terjadi berupa
kelainan agregasi terhadap ADP dan epinefrin,
kelainan pelepasan PF3, defisiensi granula- serta
penurunan pelepasan nukleotida adenin yang berasal
4,14
dari trombosit.
Manifestasi perdarahan yang muncul akibat
gangguan fungsi trombosit pada leukemia mielositik
kronik dapat berupa perdarahan mukokutan,
perdarahan retina dan hematuria. Hal ini disebabkan
Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(2)

69

http://jurnal.fk.unand.ac.id

oleh berkurang atau tidak adanya agregasi trombosit


dalam merespon ADP, epinefrin atau kolagen. Pada
pasien ini akan didapatkan waktu perdarahan yang
17
memanjang.
Patogenesis kelainan fungsi trombosit yang
ditemukan pada leukemia ini masih belum jelas.
Beberapa faktor diduga sebagai penyebab perubahan
fungsional dari trombosit seperti kelainan interaksi
hemostasis di sirkulasi pada saat aktivasi dan reaksi
pelepasan trombosit. Kemungkinan lain adalah
kelainan
produksi
trombosit
yang
primernya
merupakan
gangguan
struktur
dan
fungsi
14
megakariosit.
Transfusi trombosit harus diberikan pada disfungsi
trombosit meskipun jumlah trombositnya normal.
Sitaferesis trombosit dapat mengurangi perdarahan
bila disfungsi trombosit berhubungan dengan
3 14
trombositosis yaitu jumlah trombosit > 700.000/mm .
Metode yang dapat digunakan untuk menilai
fungsi trombosit yaitu waktu perdarahan, tes agregasi
trombosit dan automated functional analyzers. Waktu
perdarahan cara Ivy adalah tes fungsi trombosit
sederhana dengan mengukur lama waktu perdarahan
pasien setelah dilakukan insisi kecil pada kulit.
Pemeriksaan ini banyak mempunyai keterbatasan
diantaranya reprodusibilitas rendah, sensitifitas masih
dipertanyakan dan tidak cocok untuk pemeriksaan
serial serta korelasi yang lemah dengan tendensi
29
perdarahan.
Tes agregasi trombosit adalah mengukur
kemampuan trombosit untuk berikatan satu sama lain
dan membentuk sumbat hemostatik secara automatik.
Tes ini dapat dilakukan pada platelet-rich plasma
(PRP) ataupun pada whole blood. Bahan penginduksi
agregasi yang dapat digunakan yaitu ADP, ristocetin,
kolagen dan epinefrin. Tes agregasi trombosit ini
dapat dipengaruhi oleh sejumlah variabel seperti

sampel yang hemolisis karena eritrosit juga


mengandung ADP, sampel lipemik mengaburkan
perubahan
pada
agregasi
trombosit
serta
trombositopenia membuat evaluasi agregasi trombosit
sulit untuk diinterpretasi. Tes ini mempunyai biaya
yang mahal dan tidak semua fasilitas kesehatan
28,29
menyediakannya.
Saat ini, alat automatik untuk menilai fungsi
trombosit yang paling banyak digunakan adalah
Platelet Function Analyzer. Sistem ini menggunakan
membran yang diselubungi dengan kolagen/epinefrin
atau kolagen/ADP untuk menstimulasi agregasi
trombosit. Sampel darah diambil oleh alat melewati
kapiler vakum yang mengaktifkan trombosit secara
shear force. Waktu hingga terbentuknya sumbat
trombosit yang memblok alat itulah yang dicatat.
Penggunaan teknik ini semakin meningkat karena
waktunya cepat, tidak terlalu mahal dan memberikan
28,29
informasi klinis yang relevan.
Koagulasi intravaskuler diseminata (KID)
Koagulasi intravaskuler diseminata (KID)
adalah suatu sindrom yang ditandai dengan aktivasi
koagulasi intravaskuler sistemik berupa pembentukan
dan penyebaran deposit fibrin dalam sirkulasi
sehingga menimbulkan trombus mikrovaskuler pada
berbagai organ yang dapat mengakibatkan kegagalan
multiorgan. Aktivasi koagulasi yang terus berlangsung
menyebabkan konsumsi faktor pembekuan dan
trombosit secara berlebihan sehingga mengakibatkan
komplikasi perdarahan berat. KID bukanlah suatu
penyakit tetapi terjadinya sekunder terhadap penyakit
30,31
lain yang mendasari.

Penyakit yang mendasari

Aktivasi koagulasi sistemik

Penyebaran deposit fibrin

Obstruksi trombotik mikrovaskuler

Kegagalan organ

Konsumsi trombosit dan faktor pembekuan

Trombositopenia dan defisiensi faktor pembekuan

Perdarahan

Gambar 1. Mekanisme gambaran klinis koagulasi intravaskuler diseminta

(31)

Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(2)

70

http://jurnal.fk.unand.ac.id

KID merupakan istilah patofisiologis yang


meliputi kejadian trombosis dan perdarahan dalam
tubuh yang terjadi secara bersamaan. Istilah ini juga
dikenal sebagai consumption coagulopathy karena
faktor pembekuan dalam plasma terpakai selama
proses pembekuan. Selain itu berkurangnya faktor
pembekuan juga dapat disebabkan oleh degradasi
32
plasmin akibat hiperfibrinolisis.
Leukemia
dan
keganasan
lainnya
dihubungkan dengan keadaan hiperkoagulabel yang
berisiko tinggi untuk komplikasi trombohemoragik.
Komplikasi klinis bervariasi mulai dari trombosis yang
11
bersifat lokal hingga perdarahan berat akibat KID.
Leukemia
akut
yang
paling
sering
dihubungkan
dengan
KID
adalah
leukemia
promielositik akut (AML-M3), diikuti dengan leukemia
mielomonositik akut (AML-M4), serta leukemia
2,13,14
mieloblastik akut AML-M1 dan AML-M2.
Pada
leukemia limfoblastik akut lebih kurang 10% pasien
(33)
mengalami KID pada saat diagnosis . Leukemia
kronik yang lebih sering mengalami KID adalah LMK
14
dibandingkan dengan LLK.
Pada leukemia, komplikasi KID terjadi karena
dilepaskannya bahan prokoagulan (thromboplastin-like
substances) dari sel blast. Bahan prokoagulan bersifat
seperti faktor jaringan tersebut yang akan membentuk
kompleks dengan faktor VIIa sehingga mengaktifkan
kaskade koagulasi melalui jalur ekstrinsik yang
membentuk fibrin secara sistemik. Koagulasi yang
terus berlangsung akan menurunkan kadar antitrombin
III plasma yang merupakan inhibitor penting untuk
proses koagulasi. Selanjutnya terjadi inhibisi sistem
fibrinolitik akibat aktivasi koagulasi yang maksimal.
Inhibisi ini disebabkan oleh peningkatan plasminogenactivator inhibitor tipe 1 (PAI-1) sebagai inhibitor
31,32,34
utama untuk sistem fibrinolitik.
Dalam menegakkan diagnosis KID sangat
penting untuk menilai keseluruhan gambaran klinis,
perhatikan kondisi klinis pasien, diagnosis penyakit
dasar dan hasil laboratorium. Tidak ada tes
laboratorium rutin tunggal yang cukup sensitif dan
spesifik untuk diagnosis KID. Marker molekuler untuk
aktivasi koagulasi atau pembentukan fibrin mungkin
merupakan pemeriksaan yang paling sensitif. Adanya
soluble fibrin di dalam plasma mempunyai sensitifitas
90 100% untuk diagnosis KID, tapi spesifisitasnya
31,34
rendah.
Aktivasi sistem fibrinolitik pada KID dapat
diketahui dengan adanya produk degradasi fibrin
(FDP) yang dapat dideteksi dengan teknik enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) atau dengan
aglutinasi lateks yang dapat dilakukan sebagai
bedside-test secara cepat dalam kasus emergensi.
Tetapi tes yang tersedia untuk FDP bereaksi silang
dengan produk degradasi fibrinogen sehingga
mengacaukan hasil yang tinggi. Spesifisitas kadar
FDP yang tinggi juga dibatasi oleh beberapa kondisi
lain seperti inflamasi dan pembedahan yang juga
31,34
dapat meningkatkan kadar FDP.
Tes yang secara spesifik untuk mendeteksi
hasil degradasi cross-linked fibrin adalah D-dimer.
Kadar D-dimer meningkat pada KID tetapi juga sulit
dibedakan dengan pasien trauma atau pembedahan.
Dinamika KID dapat ditentukan dengan mengukur
marker aktivasi koagulasi yang dilepaskan saat
konversi zimogen faktor koagulasi menjadi protease
31
aktif seperti fragmen F1+2 protrombin.

Pada umumnya tes yang sensitif seperti


fragmen F1+2 protrombin tersebut tidak tersedia di
laboratorium rumah sakit umum. Meskipun tes
tersebut sangat membantu dalam uji klinis atau
penelitian lain, tetapi sering tidak dapat dilakukan
untuk pemeriksaan rutin. Untuk praktek klinik,
diagnosis KID dapat dibuat dengan kombinasi
pemeriksaan hitung trombosit, waktu pembekuan
APTT dan PT, pengukuran 1 atau 2 faktor pembekuan
dan inhibitor (seperti fibrinogen dan antitrombin III)
serta tes untuk produk degradasi fibrin (FDP atau Ddimer). Tes koagulasi secara serial lebih membantu
dalam menegakkan diagnosis KID daripada hasil tes
31,34
sekali saja.
Yang paling penting adalah memastikan
bahwa pasien yang mengalami KID tidak memiliki
kelainan hati atau defisiensi vitamin K yang dapat
menyerupai keadaan KID. Thrombin Time (TT)
tampaknya berguna untuk membedakan kelainan
koagulasi karena desisiensi vitamin K dengan KID,
karena TT tidak pernah abnormal pada defisiensi
4
vitamin K.
Penanganan KID pada pasien leukemia akut
harus dilakukan secara individual. Secara umum
pasien leukemia akut dengan KID dapat dilakukan
heparinisasi. Perdarahan harus dipantau, begitu juga
faktor V dan fibrinogen untuk mengatahui keberhasilan
terapi. Heparin tidak boleh dihentikan atau diturunkan
dosisnya walaupun perdarahan telah berhenti, karena
KID belum benar-benar berakhir sampai terjadi aplasia
sumsum tulang. Sebagai tambahan pemakaian
heparin,
dapat
diberikan
trombosit
untuk
3 4
mempertahankan jumlah trombosit > 20.000/mm .
KID dengan trombosis sering ditemukan pada
pasien yang mengalami sepsis, terutama yang
disebabkan bakteri Gram negatif atau jamur. Bila
diagnosis trombosis sudah ditegakkan, maka terapi
pilihannya tetap heparin. KID akan diperburuk dengan
diberikannya terapi antileukemia, tapi dengan
tersedianya all-trans retinoic acid (ATRA) untuk
penderita leukemia promielositik akut, derajat KID
4,14
dapat dikurangi.
Pendekatan yang rasional dalam pengobatan
pasien leukemia akut dengan KID berat adalah
dengan memulai kemoterapi induksi secepat mungkin
untuk mengurangi populasi sel-sel leukemia yang
diduga menyebabkan KID. Bila terdapat infeksi, maka
antibiotika harus diberikan. Selain itu terapi pengganti
harus diberikan bila terdapat trombositopenia berat,
4,14
koagulopati, atau hipofibrinogenemia.
Pada pasien yang mempunyai risiko KID,
pemeriksaan hemostasis harus dilakukan setiap hari
pada
hari-hari
pertama
kemoterapi.
Hipofibrinogenemia (fibrinogen < 100 mg/dl) dapat
dikoreksi
dengan
pemberian
cryoprecipitate,
sedangkan pemanjangan PT dan APTT dapat
dikoreksi dengan pemberian fresh frozen plasma
4
(FFP).
Defek protein koagulasi
Infiltrasi ke hati sering ditemukan pada
leukemia akut, diikuti LLK dan LMK, yang
menyebabkan menurunnya sintesis faktor koagulasi
yang tergantung vitamin K yaitu faktor II, VII, IX dan X.
Dari beberapa penelitian mengenai F V ditemukan
penurunannya pada sekitar 18 45%. Pada pasien
dengan AML-M3 lebih dari 90% pasien mengalami
14
defisiensi faktor V.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(2)

71

http://jurnal.fk.unand.ac.id

Penurunan fibrinogen dan faktor pembekuan


lainnya pada leukemia akut bisa juga disebabkan oleh
KID. Pada KID terjadi konsumsi berlebihan dari faktor
pembekuan
tersebut.
Selain
itu
keadaan
hiperfibrinolisis
juga
menyebabkan
degradasi
beberapa
faktor
pembekuan
yang
semakin
menurunkan kadar faktor pembekuan tersebut di
30,31
dalam darah.
Tes untuk mendeteksi adanya defek protein
koagulasi yaitu dengan pemeriksaan APTT dan PT
serta mengukur kadar faktor pembekuan itu sendiri.
Untuk gangguan sintesis faktor pembekuan yang
tergantung vitamin K akan ditandai dengan
pemanjangan PT, sedangkan untuk konsumsi faktor
pembekuan yang berlebihan pada KID akan ditandai
oleh pemanjangan baik APTT maupun PT. Tes untuk
degradasi fibrinogen akibat proses hiperfibrinolisis
dapat dideteksi dengan adanya produk degradasi
34
fibrinogen.
Fibrinolisis primer
Beberapa peneliti menemukan bahwa
leukosit pada leukemia akut memiliki aktivitas
fibrinolitik yang dapat menyebabkan fibrinolisis primer
terutama pada leukemia promielositik akut. Pada
fibrinolisis primer, perdarahan disebabkan oleh
degradasi faktor pembekuan yang diinduksi plasmin
14
seperti fibrinogen, faktor V dan faktor VIII.
Leukemia Promielositik Akut (APL) adalah
leukemia yang paling sering dihubungkan dengan
perdarahan yang mengancam jiwa akibat fibrinolisis
primer. Hal ini disebabkan oleh promielosit abnormal
pada leukemia tersebut mensintesis dan mensekresi
35
aktivator plasminogen.
Selain itu juga karena
tingginya ekspresi annexin II pada sel leukemik ini
yang dapat meningkatkan produksi plasmin sehingga
32,36
terjadi degradasi fibrinogen.
Plasmin dibentuk dari pertemuan plasminogen dan
tPA pada annexin II di permukaan sel. Plasmin yang
dibentuk akan dinetralisir oleh inhibitor primernya yaitu
2-plasmin inhibitor (2-PI) yang diproduksi di hati.
Begitu dilepaskan, plasmin dengan cepat membentuk
kompleks inaktif dengan 2-PI yang bersifat
36
reversibel.
Annexin adalah famili protein membran dan
pengikat fosfolipid yang diregulasi oleh kalsium.
Annexin mempunyai kemampuan untuk berinteraksi
dengan membran sel sehingga dapat mempengaruhi
sejumlah peristiwa yang berkaitan dengan membran
sel seperti reseptor, efektor, regulator dan mediator
37
sinyal kalsium.
Annexin II yang diekspresikan pada
permukaan sel endotel dan leukosit, berfungsi sebagai
reseptor plasminogen dan aktivatornya tissue
plasminogen activator (tPA). Annexin II bertindak
sebagai kofaktor tPA dalam meningkatkan efisiensi
pembentukan plasmin. Overekspresi annexin II pada
permukaan sel leukemik seperti pada leukemia
promielositik akut berkaitan dengan manifestasi klinis
36
perdarahan.
Fibrinolisis
sistemik
pada
leukemia
promielositik akut menyebabkan pemendekan waktu
lisis euglobulin dan penurunan kadar 2-antiplasmin.
Sel leukemik pada leukemia promielositik akut juga
mensintesis enzim proteolitik berupa elastase.
Elastase mempunyai aktifitas proteolitik dan memecah
(35)
fibrinogen menjadi produk degradasi fibrinogen .
Pola proteolisis fibrinogen oleh elastase tersebut
berbeda dari yang dihasilkan oleh plasmin. Selain itu

elastase granulosit juga dapat menghancurkan dan


menginaktivasi faktor IX. Namun saat ini, pemeriksaan
terhadap enzim tersebut di dalam plasma sukar
4
dilakukan.
Perubahan sistem fibrinolitik dilaporkan lebih
sering pada pasien leukemia akut dibandingkan
leukemia
kronik.
Peranan
fibrinolisis
dan
pengelolaannya dalam perdarahan pada keganasan
hematologi
masih
kontroversial.
Pemakaian
antifibrinolitik, -amino caproic acid atau tranexamid
acid dianjurkan bila terjadi fibrinolisis yang berlebihan,
tetapi hal ini merupakan kontra indikasi pada pasien
4,14
dengan KID.
Trombosis
Pada pasien leukemia akut, risiko trombosis
tidak dapat diabaikan. Trombosis dapat merupakan
salah satu gejala yang ditemukan saat diagnosis yaitu
pada leukemia promielositik akut (AML-M3) 9,6%;
pada AML non-M3 3,2% dan pada ALL 1,4%.
Meskipun insiden trombosis simptomatik saat
diagnosis relatif rendah pada pasien ALL, tetapi
terdapat peningkatan yang bermakna hingga 10,6%
selama pengobatan. Pasien ALL yang mendapat
terapi L-asparaginase mengalami peningkatan risiko
15
trombosis 4,9 kali dibandingkan dengan yang tidak.
Terapi asparaginase pada ALL menyebabkan
insiden komplikasi trombotik berkisar 2,4 11,5%.
Asparaginase menurunkan biosintesis antitrombin III,
protein C dan protein S hepatik. Antitrombin III, protein
C dan protein S adalah inhibitor koagulasi sehingga
defisiensi protein tersebut menyebabkan terjadinya
38
trombosis.
Ziegler et al (2005) dalam penelitian kohort
terhadap 719 pasien leukemia akut melaporkan
manifestasi tromboemboli vena sebanyak 2,1% tanpa
ada perbedaan antara AML dan ALL, sedangkan
39
insiden trombosis pada APL sebanyak 6,5%.
Grace Ku et al (2006) melaporkan insiden
kumulatif tromboemboli vena selama 2 tahun pada
pasien AML maupun ALL yaitu 3,6%, dimana separoh
diantaranya didiagnosis pada 3 bulan pertama
.40
perjalanan penyakit
Patogenesis keadaan protrombotik pada
leukemia sangat kompleks dan melibatkan berbagai
mekanisme seperti aktivasi koagulasi darah melalui
substansi prokoagulan yang dilepas sel leukemik,
kegagalan jalur fibrinolitik dan perubahan endotel pada
.15,16
keadaan yang trombogenik
Tes laboratorium untuk mendeteksi pasien
yang dicurigai mengalami tromboemboli adalah Ddimer yang merupakan hasil pemecahan cross-linked
fibrin oleh plasmin. Pemeriksaan D-dimer dapat
dilakukan dengan aglutinasi lateks maupun dengan
.28
ELISA
Ringkasan
Leukemia adalah penyakit keganasan pada
jaringan hematopoietik yang ditandai dengan
penggantian elemen sumsum tulang normal oleh sel
darah abnormal atau sel leukemik. Salah satu
manifestasi klinis dari leukemia adalah perdarahan
yang disebabkan oleh berbagai kelainan hemostasis.
Trombositopenia pada leukemia dapat
disebabkan oleh infiltrasi sel leukemik di sumsum
tulang, kerusakan sumsum tulang oleh kemoterapi,
koagulasi intravaskuler diseminata, proses imunologis
ataupun karena hipersplenismus sekunder terhadap
pembesaran limpa. Gangguan fungsi trombosit sering
Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(2)

72

http://jurnal.fk.unand.ac.id

terjadi pada leukemia mielositik kronik, patogenesis


gangguan fungsi trombosit ini masih belum jelas.
Koagulasi intravaskuler diseminata yang terjadi pada
leukemia disebabkan oleh dilepaskannya bahan
prokoagulan menyerupai tromboplastin oleh sel
leukemik. Defek protein koagulasi pada leukemia
dapat disebabkan oleh gangguan sintesis faktor
pembekuan yang tergantung vitamin K akibat infiltrasi
ke hati dan akibat konsumsi yang berlebihan selama
KID.
Fibrinolisis
primer
pada
leukemia
promielositik akut disebabkan oleh promielosit
abnormal mensintesis dan mensekresi aktivator
plasminogen serta tingginya ekspresi annexin II pada
sel leukemik tersebut yang meningkatkan produksi
plasmin sehingga terjadi degradasi fibrinogen.
Trombosis
pada
leukemia
melibatkan
berbagai mekanisme seperti aktivasi koagulasi darah
melalui substansi prokoagulan yang dilepas sel
leukemik, kegagalan jalur fibrinolitik dan perubahan
endotel.
Mengingat adanya manifestasi klinis perdarahan yang
dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
penderita leukemia, maka perlu dipikirkan adanya
kelainan hemostasis untuk pengelolaan yang lebih
optimal.

Daftar Pustaka
1.

nd

McKenzie SB. Text book of hematology, 2


edition. Baltimore: William & Wilkins. 1996;309417.
2. Launder TM, Lawnicki LC, Perkins ML.
Introduction to leukemia and the acute
leukemias. In: Harmening DM, eds. Clinical
hematology and fundamental of hemostasis
edition 4. Philadelphia: FA. Davis Company.
2002;272-357.
3. Wirawan R. Diagnosis keganasan darah dan
sumsum tulang. Dalam: Suryaatmadja, ed.
Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik.
Jakarta: Bagian Patologi Klinik FKUI. 2003;129150.
4. Dalimoenthe NZ. Kelainan hemostasis pada
keganasan hematologi. Dalam: Suryaatmadja M,
ed. Pendidikan Berkesinambungan Patologi
Klinik. Jakarta: Bagian Patologi Klinik FKUI.
2005;129-148.
5. Nand S, Messmore H. Hemostasis in
malignancy. Am J Hematol. 1990;35(1):45-55.
6. Tallman MS. Bleeding in acute leukemia.
Pathophysiol Haemost Thromb. 2003;33(suppl
1):48-49.
7. Creutzig U, Ritter J, Budde M, et al. Early death
due to hemorrhage and leukostasis in childhood
acute myelogenous leukemia: associations with
hyperleukocytosis and acute monocytic leukemia.
Cancer. 1987;60:3071-79.
8. Verschuur AC. Acute monocytic leukemia.
Orphanet Encyclopedia. 2004;1-5.
9. Falanga A, Barbui T. Coagulopathy of acute
promyelocytic
leukemia.
Acta
Haematol.
2001;106(1-2):43-51.
10. Kwaan HC, Wang J, Boggio LN. Abnormalities in
hemostasis in acute promyelocytic leukemia.
Haematol Oncol. 2002;20(1):33-41.
11. Barbui T, Falanga A. Disseminated intravascular
coagulation in acute leukemia. Semin Thromb
Hemost. 2001;27(6):593-604.

12. Falanga A, Rickles FR. Pathogenesis and


management of the bleeding diathesis in acute
promyelocytic leukemia. Best Pract Res Clin
Haematol. 2003;16(3):463-82.
13. Messmore HL, Wehrmacher WH. Disseminated
intravascular coagulation: a primer for primary
care physicians. Postgrad Med. 2002;111(3):1-8.
14. Jagasia HM, Arrowsmith ER. Complications of
haematopoietic neoplasms. In: Greer JP,
Foersters J, Lukens JN, et al, eds. Wintrobes
th
Clinical Haematology, 11
ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. 2004;1919-43.
15. Stefano VD, Sora F, Rossi E, et al. The risk of
thrombosis in patients with acute leukemia:
occurrence of thrombosis at diagnosis and during
treatment. J Thromb Haemost. 2005;3:1985-92.
16. Rickles FR, Falanga A. Molecular basis for the
relationship between thrombosis and cancer.
Thromb Res. 2001;102:V215-24.
17. Liles DK, Knupp CL. Quantitative and qualitative
platelet disorder and vascular disorders. In:
Harmening DM, eds. Clinical hematology and
fundamental
of
hemostasis
edition
4.
Philadelphia: FA. Davis Company. 2002;471-93.
18. Gaydos LA, Freireich EJ, Mantel N. The
quantitative relation between platelet count and
hemorrhage in patient with acute leukemia. N
Engl J Med. 1962;266:905-909.
19. Webert KE, Cook RJ, Sigouin CS, et al. The risk
of bleeding in thrombocytopenic patients with
acute
myeloid
leukemia.
Haematologica.
2006;91:1530-37.
20. Rozman C, Montserrat E, 1995. Chronic
lymphocytic leukemia. N Engl J Med.
1995;333:1052-57.
21. Hegde UP, Wilson WH, White T, Cheson BD.
Rituximab treatment of refractory fludarabineassociated immune thrombocytopenia in chronic
lymphocytic leukemia. Blood. 2002;100(6):226062.
22. McCrae KR, Bussel JB, Mannucci PM, et al.
Platelets: an update on diagnosis and
management of thrombocytopenic disorders.
Hematology. 2001;282-302.
23. Holmer LD, Hamoudi W, Bueso-Ramos CE.
Chronic leukemia and related lymphoproliferative
disorders. In: Harmening DM, eds. Clinical
hematology and fundamental of hemostasis
edition 4. Philadelphia: FA. Davis Company.
2001;301-30.
24. Kicker T. Studies on the pathophysiology of
posttransfusion purpura. Blood. 1986;68:347.
25. Corazza F, Hermans C, DHondt S, et al.
Circulating thrombopoietin as an in vivo growth
factor for blast cells in acute myeloid leukemia.
Blood. 2006;107:2525-30.
26. Rebulla P, Finazzi G, Marangoni F, et al. The
treshold for prophylactic platelet transfusions in
adults with acute myeloid leukemia. N Engl J
Med. 1997;337:1870-5.
27. Benjamin RJ, Anderson KC, 2002. What is the
proper threshold for platelet transfusion in
patients
with
chemotherapy-induced
thrombocytopenia? Crit Rev Oncol Hematol.
2002;42(2):163-71.
28. Riley RS, Tidwell AR, Williams D, et al.
Laboratory
evaluation
of
hemostasis.
Hemostasis. 2006;1-29.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(2)

73

http://jurnal.fk.unand.ac.id

29. Hassett AC. Platelet function test. Transfusion


Medicine Update. 2002, Available from:
http://www.txm.org/.
30. Levi M, ten Cate H. Disseminated intravascular
coagulation. N Eng J Med. 1999;341(8):586-92.
31. Levi M. Current understanding of disseminated
intravascular coagulation. Br J Haematol.
2004;124:567-76.
32. Bakhshi S, Arya LS. Etiopathophysiology of
disseminated intravascular coagulation. JAPI.
2003;51:796-800.
33. Seiter K. Acute lymphoblastic leukemia.
Hematology. 2006;22:1-11.
34. Hambleton J, Leung LL, Levi M. Coagulation:
consultative hemostasis. Hematology. 2002;33550.
35. Supandiman I, Sumantri R, Heri T, et al.
Pedoman diagnosis danterapi hematologi
onkologi medik. Bandung: Q-communication.
1997;31-34.
36. Mennel JS, Cesarman GM, Jacovina AT, et al.
Annexin II and bleeding in acute promielocytic
leukemia. N Eng J Med. 1999;340:994-1004.

37. Hajjar KA, Acharya SS. Annexin II and regulation


of cell surface fibrinolysis. Annals of the New
York Academy of Sciences. 2000;902:265-71.
38. Leone G, Sica S, Chiusolo P, et al, 2001. Blood
cell disease and thrombosis. Haematologica.
2001;86:1236-44.
39. Ziegler S, Sperr WR, Knobl P, et al. Symptomatic
venous thromboembolism in acute leukemia:
insidence, risk factors, and impact on prognosis.
Thromb Res. 2005;115:59-64.
40. Grace Ku, White RH, Chew HK, et al. Incidence
venous thromboembolism in patinets with acute
leukemia. Blood. 2006;108:1497.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(2)

74

You might also like