You are on page 1of 17

PENDIDIKAN ISLAM DAN KESETARAAN GENDER

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Transformasi Global
Dosen Pengampu : Dr. Ruswan, M. A.

Disusun Oleh:
NUSAN AMELIA
125112045

PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

PENDIDIKAN ISLAM DAN KESETARAAN GENDER


I. PENDAHULUAN
Bagi suatu negara, pendidikan merupakan realisasi kebijaksanaan untuk
meningkatkan taraf kesejahteraan yang dicita-citakan. Pendidikan merupakan
komponen pokok dalam pembinaan landasan pengembangan sosial budaya.
Pendidikan juga sekaligus penegak kemanusiaan yang berperadaban tinggi.
Pendidikan tidak bisa lepas dari kehidupan sosial. Artinya, pendidikan untuk
kesejahteraan

manusia

dunia-akhirat

sehingga

perlu

diaplikasikan,

sebab

pendidikan memiliki nilai teologis dan sosiologis sekaligus.


Karenanya, proses belajar mengajar merupakan kebutuhan penting hidup
manusia. Hal ini harus dirasakan bersama oleh setiap individu laki-laki dan
perempuan tanpa pandang bulu. Karena sama-sama memiliki kemampuan untuk
belajar.

Semakin

lama,

setiap

aspek

kehidupan

manusia

berkembang,

kebutuhannya pun kian beragam. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan harus
saling membantu, bekerja sama meniti jalan dan mengatasi masalah kehidupan
yang mereka hadapi.
Kesenjangan pada bidang pendidikan dianggap menjadi faktor utama yang
sangat berpengaruh terhadap bidang lain di Indonesia. Hampir semua sektor seperti
lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat sampai pada masalah
menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor
penyebab bias gender adalah karena faktor kesenjangan pendidikan yang belum
setara.
Dalam dekade terakhir ini, upaya penyadaran gender menjadi perbincangan
serius di kalangan aktivis perempuan, keluarga-keluarga, wartawan, dunia
pendidikan maupun kalangan politisi. Begitupun strategi-strategi telah ditawarkan
dengan tujuan agar kesetaraan gender tercapai terutama dalam pendidikan yang
dianggap dimensi kunci. Studi-studi tentang gender saat ini melihat bahwa
ketimpangan gender terjadi akibat rendahnya kualitas sumberdaya kaum perempuan
sendiri, dan hal tersebut mengakibatkan ketidakmampuan mereka bersaing dengan
kaum lelaki. Oleh karena itu upaya-upaya yang dilakukan adalah mendidik kaum
perempuan dan mengajak mereka berperan serta dalam pembangunan. Dari sinilah
pemakalah akan mencoba memberikan sedikit penjelasan mengenai kesetaraan
gender dalam bidang pendidikan.
II. RUMUSAN MASALAH

1.
2.
3.
4.
5.

Dalam makalah ini terdapatbeberapa rumusan masalah, diantaranya adalah:


Apa pengertian dan tujuan pendidikan Islam?
Apa pengertian kesetaraan gender?
Bagaimana konsep gender dalam Islam?
Bagaimana kesetaraan gender dalam pendidikan?
Apa tujuan pendidikan berspektif gender?

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.1[1] Menurut Dzakiah Daradjat pendidikan Islam itu
lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam
amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain yang bersifat
teoritis dan praktis.2[2]
Pendidikan Islam menurut Arifin hakikat pendidikan Islam adalah usaha orang
dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing
pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui
ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya. 3[3]
Sedangkan menurut Fatah Syukur memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam
adalah proses bimbingan dari pendidik yang mengarahkan anak didiknya kepada
perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan dan terbentuknya
pribadi muslim yang baik.4[4]
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu usaha untuk
mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran Islam agar terwujud kehidupan
manusia yang makmur dan bahagia dunia dan akhirat. Karena pendidikan Islam
tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga praktis, maka pendidikan Islam merupakan
pendidikan iman sekaligus pendidikan amal.
Pendidikan Islam memiliki tujuan sebagai standar dalam mengukur dan
mengevaluasi tingkat pencapaian / hasil pelaksanaan pendidikan Islam, juga
1[1] Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 3.
2[2] Zakiah Daradjat, Ilmu pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,1996, hlm. 28.
3[3] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, hlm. 32.
4[4] Fatah Syukur, SejarahPendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012, hlm. 3.

sebagai pedoman dan arah proses pendidikan Islam itu sendiri. Ada sejumlah
pendapat mengenai tujuan pendidikan Islam, antara lain:
1. Hasan Langgulung memberi pentahapan tujuan pendidikan Islam menjadi tiga
tingkat, yaitu:
a. Tujuan tertinggi, tujuan ini bersifat mutlak, artinya tidak akan mengalami perubahan
baik dalam dimensi ruang/waktu yang berbeda-beda. Tujuan ini lebih menekankan
pada tujuan filosofis.
b. Tujuan umum, tujuan ini lebih menekankan pada pendekatan empirik, artinya tujuan
yang diharapkan dapat dicapai ketika proses pendidikan itu diterapkan, misalnya
dalam hal perubahan sifat, kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dikatakan tujuan
umum karena berlaku bagi semua peserta didik.
c. Tujuan khusus, tujuan ini adalah perubahan yang diharapkan dari tujuan-tujuan
umum secara lebih spesifik lagi. Tujuan ini merupakan gabungan pengetahuan,
keterampilan, pola laku, nilai-nilai dan kebiasaan yang terkandung dalam tujuan
tertinggi dan tujuan umum.5[5]
2. Menurut Muhammad Athiyah al-Abrosyi, tujuan pendidikan Islam adalah membantu
pembentukan akhalak mulia, mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat,
menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan keinginan hati untuk
mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu, menyiapkan
pelajaran agar dapat menguasai profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan
tertentu agar dapat mencari rezeki, hidup mulia dengan tetap memelihara
kerohanian dan keagamaan, serta mempersiapkan kemampuan mencari dan
3.

mendayagunakan rezeki.
Ahmad D. Marimba, menyimpulkan tujuan akhir pendidikan Islam adalah
terbentuknya kepribadian muslim, yang didahului pencapaian tujuan sementara yaitu
kecakapan jasmaniah, kemampuan membaca-menulis, pengetahuan, dan ilmu-ilmu
kemasyarakatan, kesusilaan dan keagamaan, kedewasaan jasmani dan rohani. 6[6]
Dari berbagai tujuan pendidikan Islam diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan
pendidikan Islam pada dasarnya sama dengan tujuan umat Islam, yaitu untuk
memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.

B.

Pengertian Kesetaraan Gender


Hal yang penting untuk diperhatikan dalam membahas masalah kaum
perempuan adalah pemahaman terhadap konsep seks (jenis kelamin) dan konsep
gender. Pembedaan terhadap kedua konsep tersebut perlu dilakukan agar tidak ada
5[5] Ahmad Syari, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005, hlm. 26-27.
6[6] Ibid, hlm. 28

kerancauan dalam pemahaman tentang gender dan ketidakadilan gender.


Ketidakjelasan makna seks dan gender mengakibatkan timbulnya kekeliruan dalam
pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Seks (jenis kelamin)mempunyai arti pensifatan atau pembagian dua jenis
kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin
tertentu.7[7] Perbedaan jenis kelamin tersebut meliputi perbedaan komposisi kimia
dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis
lainnya.8[8] Seks (jenis kelamin) dibedakan berdasarkan faktor-faktor biologis
hormonal dan patologis sehingga muncul dikotomi laki-laki dan perempuan. Jenis
kelamin laki-laki ditandai dengan adanya penis, testis, dan sperma, sedangkan
perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum dan rahim. Perbedaan biologis
tersebut bersifat kodrati, atau pemberian Tuhan, dan tidak dapat dirubah.
Berbeda dengan konsep seks, gender dipahami sebagai suatu dasar untuk
menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan padakebudayaan dan
kehidupan kolektif.9[9] Sehingga gender juga dipahami sebagai suatu konsep yang
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi sosial dan budaya non biologis. 10[10] Konsep gender tersebut mengacu
pada seperangkat sifat, peran, tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku yang
melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan
masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Timbullah dikotomi
maskulin (laki-laki) dan feminim (perempuan). Pengertian gender tersebut
berimplikasi pada munculnya pandangan bahwa perempuan memiliki sifat feminim,
diantaranya lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sedangkan laki-laki
memiliki sifat maskulin, diantaranya dianggap sebagai pribadi yang memiliki
karakteristik kuat, rasional dan perkasa. Pembedaan sifat laki-laki dan perempuan
tersebut sebenarnya bisa saling dipertukarkan, artinya bisa saja laki-laki memiliki
sifat yang lemah lembut, emosional dan keibuan, sementara perwempuan
mem[punyai sifat kuat, perkasa, rasional dan sebagainya.
7[7] Tobroni, et. All., Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, Civil Society dan
Multikulturalisme, Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2007, hlm. 228.
8[8] Lindsey, L, Gender Roles: a Sociological Perspective, New Jersey: Prentice Hall, 1990, hlm. 2.
9[9] Wilson, T. H. Sex and Gender: Making cultural sense of Civilization, New York: E. J. Brill, 1989,
hlm. 2

10[10] Umar, N., Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Quran, Jakarta: Paramadina, 2001, hlm.
35.

Ringkasnya,

masyarakatlah

yang

membentuk

laki-laki

dengan

kemaskulinannya menjadi kuat, perkasa dan berani, sedangkan perempuan dengan


kefeminimannya dibentuk menjadi lemah lembut dan penakut. Sejak masih dalam
kandungan sampai tua renta, bahkan sampai keliang kubur, laki-laki diperlakukan
sedemikian rupa agar terbentuk menjadi makhluk yang superior, dan hal sebaliknya
diperlakukan pada perempuan sehingga mereka menjadi inferior. Fatalnya, bentukan
ini dibakukan sedemikian rupa melalui berbagai norma tradisi, adat, budaya, dan
hukum, bahkan juga agama sehingga seolah-olah semuanya merupakan kodrat
pemberian Tuhan yang harus diterima apa adanya, dan tidak boleh dipertanyakan
lagi.
Berbagai pengertian di atas menyimpulkan bahwa seks secara umum
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi
anatomi biologi yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh,
anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender
secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan
dari segi sosial budaya dan aspek-aspek non biologis lainnya.

C.

Konsep Gender dalam Islam


Berbicara tentang konsep gender dalam Islam ditemukan sejumlah ayat dalam
Al-Qur'an, antara lain QS Al-Hujurat: 13, Al-Nisa':1, Al-A'raf:189, Al-Zumar:6, Fatir:11,
dan Al-Mu'min: 67.
Di antaranya dalam al-Qur'an surat al-Hujurat: 13 11[11]
pkr't $Z9$# $R) /3oY)n=yz `iB 9x.s 4s\R&ur$
N3oY=yy_ur $\/q @!$t7s%ur (#qu$ytG9 4 b)
/3tBt2r& yY !$# N39s)?r& 4 b) !$# L=t 7yz

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat di atas memberi petunjuk bahwa dari segi hakikat penciptaan, antara
manusia yang satu dan manusia lainnya tidak ada perbedaan, termasuk di dalamnya
antara perempuan dan laki-laki. Karena itu, tidak perlu ada semacam superioritas
suatu golongan, suku, bangsa, ras, atau suatu entitas gender terhadap lainnya.
11[11] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta:
Depag RI, 1986, hlm. 847.

Kesamaan asal mula biologis ini mengindikasikan adanya persamaan antara


sesama manusia, termasuk persamaan antara perempuan dan laki-laki. Penjelasan
di atas menyimpulkan bahwa Al-Qur'an menegaskan equalitas perempuan dan lakilaki.
Senada dengan Al-Qur'an, sejumlah hadis Nabi pun menyatakan bahwa
sesungguhnya perempuan itu mitra sejajar laki-laki. Meskipun secara biologis lakilaki dan perempuan berbeda sebagaimana dinyatakan juga dalam Al-Qur'an, namun
perbedaan jasmaniah itu tidak sepatutnya dijadikan alasan untuk berlaku
diskriminatif terhadap perempuan. Perbedaan jenis kelamin bukan alasan untuk
mendiskreditkan perempuan dan mengistimewakan laki-laki.
Perbedaan biologis jangan menjadi pijakan untuk menempatkan perempuan
pada posisi subordinat dan laki-laki pada posisi superordinat. Perbedaan kodrati
antara laki-laki dan perempuan seharusnya menuntun manusia kepada kesadaran
bahwa laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dan dengan bekal perbedaan itu
keduanya diharapkan dapat saling membantu, saling mengasihi dan saling
melengkapi satu sama lain. Karena itu, keduanya harus bekerja sama, sehingga
terwujud masyarakat yang damai menuju kepada kehidupan abadi di akhirat nanti.
Islam secara tegas menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, yakni dalam
posisi sebagai manusia, ciptaan sekaligus hamba Allah SWT. Dari perspektif
penciptaan, Islam mengajarkan bahwa asal penciptaan laki-laki dan perempuan
adalah sama, yakni sama-sama dari tanah (saripati tanah), sehingga sangat tidak
beralasan memandang perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
Sebagai manusia, perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan
ibadah sama dengan laki-laki. Perempuan juga diakui memiliki hak dan kewajiban
untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui peningkatan ilmu dan takwa, serta
kewajiban untuk melakukan tugas-tugas kemanusiaan yang dalam Islam disebut
amar ma'ruf nahi munkar menuju terciptanya masyarakat yang adil, damai, dan
sejahtera.
Namun dalam perkembangannya, kesetaraan gender ini belum sepenuhnya
berlandaskan pada ajaran tersebut diatas. Bahkan antara satu negara dengan
negara lainnya yang berpenduduk muslim tidaklah sama dalam memperjuangkan
nasib perempuan. Hal ini terlihat dari keberadaan kaum perempuan di Indonesia
yang masih menjadi subordit kaum laki-laki. Dengan kata lain, kaum perempuan
tidak serta merta dapat sejajar dengan kaum laki-laki. Hampir setiap budaya kita
menempatkan laki-laki sebagai pemimpin baik dalam keluarga ,maupun berbangsa

dan bernegara, meski juga diakui tidak semua budaya kita menjadikan perempuan
dalam posisi kedua.12[12]
D.

Kesetaraan Gender dalam Pendidikan


Keadilan dan kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama
peradaban manusia untuk mencapai kesejahteraan, membangun keharmonisan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan membangun keluarga berkualitas.
Jumlah penduduk perempuan hampir setengah dari seluruh penduduk Indonesia
dan merupakan potensi yang sangat besar dalam mencapai kemajuan dan
kehidupan yang lebih berkualitas. Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia agar mampu
berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, hukum, sosial budaya,
pendidikan, pertahanan dan keamanan nasional, serta kesamaan dalam menikmati
hasil pembangunan. Kesetaraan gender menuntut adanya suatu perlakuan adil
terhadap laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis tidak dapat dijadikan dasar
untuk terjadinya diskriminasi mengenai hak sosial, budaya, hukum dan politik
terhadap satu jenis kelamin tertentu.
Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya
diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, sehingga mereka memiliki akses,
kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan dan memperoleh manfaat
yang setara dan adil dari pembangunan. Secara historis telah terjadi dominasi lakilaki dalam segala lapisan masyarakat di sepanjang zaman, dimana perempuan
dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Dari sini muncullah doktrin ketidaksetaraan

antara laki-laki dan perempuan.13[13] Ketidaksetaraan tersebut diantaranya adalah:


1. Marginalisasi terhadap perempuan
Marginalisasi berarti menempatkan atau menggeser perempuan kepinggiran.
Perempuan dicitrakan lemah, kurang atau tidak rasional, kurang atau tidak berani,
sehingga tidak pantas atau tidak dapat memimpin. Akibatnya perempuan selalu
dinomorduakan apabila ada kesempatan untuk memimpin. Contoh marjinalisasi
terhadap perempuan ini diantaranya: a) dalam proses pembangunan, perempuan
diikutsertakan tetapi tidak pernah diajak turut mengambil keputusan dan
pendapatnya jarang didengarkan, b) dalam keluarga perempuan tidak diakui sebagai
12[12] Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama: Merajut Kerukunan, Kesetaraan Gender dan
Demokratisasi Masyarakat Multsikultural, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005, hlm. 126.
13[13] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha
Assegaf, Yogyakarta: Lembaga study Pengembangan Perempuan dan Anak, 1994, hlm. 55.

kepala keluarga. Perempuan tidak boleh memimpin dan memerintah suami


sekalipun suami tidak bisa memimpin, c) dalam diri perempuan sendiri terdapat
perasaan tidak mampu, lemah, menyingkirkan diri sendiri karena tidak percaya diri,
dan masih banyak contoh lainnya.
2. Steorotip masyarakat terhadap perempuan
Pandangan stereotip masyarakat, yakni pembakuan diskriminatif antara
perempuan dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki sudah mempunyai sifat masingmasing yang sepantasnya, sehingga tidak dapat keluar dari qodrat yang telah ada.
Sebagai contoh: a) urusan rumah tangga diserahkan kepada istri dan anak
perempuan, pendidikan anak-anak menjadi tanggungjawab ibu, dan mengurus
suami diserahkan sepenuhnya kepada istri tanpa adanya upah, b) kebanyakan
perempuan

memilih

pekerjaan

yang

sudah

dibagikan

sesuai

seks

tanpa

mempedulikan kemampuan atau potensi sebenarnya yang dimiliki, c) jika seorang


laki-laki memperkosa seorang perempuan, maka perempuan ini yang bertanggung
jawab, karena ia keluar dari rumahnya, dan karena tugas seorang perempuan
adalah tinggal di rumah, dan lain sebagainya.
3. Subordinasi terhadap perempuan
Pandangan ini memposisikan perempuan dan karya-karyanya lebih rendah dari
laki-laki, sehingg amenyebabkan mereka merasa sudah selayaknya sebagai
pembantu, nomor dua, sosok bayangan, dan tidak berani memperlihatkan
kemampuannya sebagai pribadi. Laki-laki menganggap perempuan tidak mampu
berpikir seperti ukuran mereka, sehingga mereka selalu khawatir apabila memberi
pekerjaan berat kepada perempuan.
4. Beban ganda terhadap perempuan
Pekerjaan yang diberikan kepada perempuan lebih lama pengerjaannya bila
diberikan kepada laki-laki, karena perempuan yang bekerja disektor publik masih
memiliki tanggungjawab pekerjaan rumah tangga yang tidak dapat diserahkan
kepada pembantu rumah tangga sekalipun pembantu rumah tangga sama-sama
perempuan.
5. Kekerasan terhadap perempuan
Kekerasan terhadap perempuan dapat berupa kekerasan psikis, seperti
pelecehan, permintaan hubungan seks ditempat umum, senda gurau yang
melecehkan seks perempuan. Dan kekerasan fisik, seperti pembunuhan, perkosaan,
penganiayaan terhadap perempuan dan lain sebagainya. 14[14]
Sementara itu dalam pendidikan dasar persamaan pendidikan menghantarkan
setiap individu atau rakyat mendapatkan pendidikan sehingga bisa disebut
14[14] A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender, Magelang: Indonesia Tera, 2004, hlm. XX-XXIV.

pendidikan kerakyatan. Sebagaimana Athiyah, Wardiman Djojonegoro menyatakan


bahwa ciri pendidikan kerakyatan adalah perlakuan dan kesempatan yang sama
dalam pendidikan pada setiap jenis kelamin dan tingkat ekonomi, sosial, politik,
agama dan lokasi geografis publik. Dalam kerangka ini, pendidikan diperuntukkan
untuk semua, minimal sampai pendidikan dasar. Sebab manusia memiliki hak yang
sama dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Apabila ada sebagian anggota
masyarakat yang tersingkir dari kebijakan kependidikan berarti kebijakan tersebut
telah meninggalkan sisi kemanusiaan yang setiap saat harus diperjuangkan. 15[15]
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa nilai kemanusiaan terwujud
dengan adanya pemerataan yang tidak mengalami bias gender. Masalah
pendidikan, antara anak perempuan dan anak laki-laki hendaknya harus seimbang.
Anak perempuan, sebagaimana anak laki-laki harus punya hak/kesempatan untuk
sekolah lebih tinggi. Bukan menjadi alternative kedua jika kekurangan biaya untuk
sekolah. Hal ini dengan pertimbangan adanya penghambur-hamburan uang sebab
mereka akan segera bersuami, peluang kerjanya kecil dan bisa lebih banyak
membantu orang tua dalam pekerjaan rumah. Pendirian seperti ini melanggar etika
Islam yang memperlakukan orang dengan standar yang materialistik. Islam
menyerukan adanya kemerdekaan, persamaan dan kesempatan yang sama antara
yang kaya dan yang miskin dalam bidang pendidikan di samping penghapusan
sistem-sistem kelas-kelas dan mewajibkan setiap muslim laki-laki dan perempuan
untuk menuntut ilmu serta memberikan kepada setiap muslim itu segala macam
jalan untuk belajar, bila mereka memperlihatkan adanya minat dan bakat.
Dengan demikian, pendidikan kerakyatan seharusnya memberikan mata
pelajaran yang sesuai dengan bakat dan minat setiap individu perempuan, bukan
hanya diarahkan pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga melainkan
juga masalah pertanian dan keterampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap
perempuan dalam semua bidang tersebut akan menjadikan nilai yang amat besar
dan

merupakan

langkah

awal

untuk

memperjuangkan

persamaan

yang

sesungguhnya.
Pendidikan memang harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan
zaman yaitu kualitas yang memiliki keimanan dan hidup dalam ketakwaan yang
kokoh, mengenali, menghayati dan menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan
luas dan komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan mutakhir,
15[15] Eni Purwati dan Hanun Asrohah, Bias Gender dalam Pendidikan Islam, Surabaya: Alpha, 2005,
hlm: 30.

mampu mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik, terbuka pada


hal-hal yang baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi dan
berusaha meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan
agar mendapatkan kualitas tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.
Ungkapan Athiyah tentang pendidikan perempuan seakan menyadari kondisi
riil historisitas kaum muslimin yang secara sosial perempuan seringkali dirugikan
oleh perilaku sosialnya. Seperti perempuan-perempuan harus putus sekolah karena
diskriminasi gender (sebab pernikahan atau hamil diluar nikah) atau karena
keterbatasan ekonomi, anak laki-laki mendapatkan prioritas utama walau potensinya
tidak lebih tinggi daripada anak perempuan.
Kesetaraan dan keadilan gender dapat

juga

disebut

dengan

istilah

kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita dalam pendidikan,


artinya pria dan wanita mempunyai hak, kewajiban, kedudukan, peranan dan
kesempatan yang sama dalam berbagai bidang kehidupan terlebih dalam
pendidikan dan pembangunan. Semua itu dilandasi atas dasar saling menghormati,
saling menghargai, saling membantu, saling mengisi dan sebagainya dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sementara itu bila ditinjau dari tinjauan Yuridis konsep pendidikan berperspektif
gender telah dirumuskan oleh pemerintah, karena melihat kesetaraan dan keadilan
gender masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya kaum
wanita. Untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender itu, dalam
instansi pemerintah telah mengambil kebijakan, pendidikan yang berwawasan
kesetaraan dan keadilan gender seperti yang tertuang dalam:
1. Konvensi Wanita Tahun 1981
Konvensi wanita tahun 1981, yang disetujui oleh Majelis Umum PBB, sebagian
isinya adalah:
Pasal 1, ...istilah diskriminasi terhadap wanita berarti setiap perbedaan pengucilan
atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh
atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau
penggunaan hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, terlepas dari status perkawinan mereka, dan dasar
persamaan antara pria dan wanita.
Pasal 2: mewajibkan negara untuk menjamin melalui peraturan perundangundangan atau dengan cara-cara lainnya untuk melaksanakan prinsip persamaan
antara wanita dan pria.
Pasal 3: negara-negara peserta mengambil langkah-langkah yang tepat termasuk
pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya dibidang politik, sosial,
ekonomi dan budaya, untuk menjamin perkembangan kemajuan wanita
sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati
hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan
dengan pria.

Pasal 4: pembuatan peraturan-peraturan khusus oleh negara-negara peserta,


termasuk peraturan-peraturan yang dimuat dalam konvensi, yang ditujukan untuk
melindungi kehamilan, dianggap sebagai diskriminasi.
Pasal 5: negara-negara peseta wajib wajib membuat peraturan-peraturan:
a. Untuk mengubah pola perilaku sosial budaya pria dan wanita dengan maksud
untuk mencapai penghapusan prasangka, atau kebiasaan yang berdasarkan peran
stereotipe pria dan wanita.
b. Untuk menjamin bahwa pendidikan keluarga meliputi pengertian mengenai
kehamilan sebagai fungsi sosial dan pengakuan tanggung jawab bersama antara
pria dan wanita dalam mebesarkan anak-anak mereka .....
Hasil konvensi wanita tahun 1981 dan telah disetujui PBB tersebut menandakan
bahwa kesetaraan gender sudah menjadi kebutuhan atau tuntutan bagi umat
manusia diseluruh dunia. Konvensi tersebut dapat dijadikan rujukan semua pihak
agar kesetaraan gender dilaksanakan disemua negara.
2. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27
Undang-undang Dasar 1945, BAB X tentang warga negara, pasal 27 ayat (1)
berbunyi: Setiap warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada
kecualinya.16[16]
Pasal tersebut jelas menentukan, semua orang mempunyai kedudukan yang
sama di muka hukum dan pemerintah tanpa ada diskriminasi antara laki-laki dan
perempuan. Sejak tahun 1945 prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan
sebenarnya telah diakui, terbukti dalam ketentuan Undang-undang Dasar 1945
tentang pengakuan warga negara dan penduduk jelas tidak membedakan jenis
kelamin.
3. Tap MPR No. IV/1999
Tap MPR No. IV/1999 tentang GBHN mengamanatkan tentang Kedudukan dan
Peranan Perempuan sebagai berikut:
a. Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu
memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.
b. Meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap
mempertahankan nilai-nilai persatuan dan kesatuan serta historis perjuangan kaum
perempuan, dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta
kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Tap MPR No. IV/1999 tersebut mendukung untuk meningkatkan peran dan
kedudukan perempuan perlu dikembangkan kebijakan nasional yang diemban oleh

16[16] Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang


Amandemennya, Solo: Adzana Putra, 2004, hlm. 18.

Dasar

Republik

Indonesia

Beserta

suatu lembaga yang mampu mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender (KKG)
serta mampu meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan.
4. Inpres No. 9 Tahun 2000
Inpres No. 9 Tahun 2000 ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Abdurrahman
Wahid yang berisi tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional.
Secara rinci presiden menginstruksikan:
Melakukan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program
pembangunan nasional yang berspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan
fungsi serta kewenangan masing-masing.
b. Memperhatikan secara sungguh-sungguh pedoman pengarusutamaan gender
dalam pembangunan nasional sebagaimana terlampir dalam dalam Instruksi
Presiden ini sebagai acuan dalam melaksanakan pengarusutamaan gender.
c. Khusus ditujukan Menteri Pemberdayaan Perempuan agar memberikan bantuan
teknis kepada instansi dan lembaga pemerintahan ditingkat Pusat dan Daerah
dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender kepada presiden.
a.

Berdasarkan Inpres tersebut menegaskan bahwa gender merupakan konsep


yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang
terjadi akibat dari dan dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya
masyarakat. Sedangkan kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki
dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia,
agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosialbudaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil
pembangunan tersebut.
E.

Tujuan Pendidikan Berperspektif Gender


Tujuan dari pendidikan berperspektif gender di antaranya:
1. Mempunyai akses yang sama dalam pendidikan, misalnya, anak pria dan wanita
mendapat hak yang sama untuk dapat mengikuti pendidikan sampai ke jenjang
pendidikan formal tertentu. Tentu tidaklah adil, jika dalam era global sekarang ini
menomorduakan pendidikan bagi wanita, apalagi kalau anak wanita mempunyai
kemampuan. Pemikiran yang memandang bahwa wanita merupakan tenaga kerja di
sektor domestik (pekerjaan urusan rumah tangga) sehingga tidak perlu diberikan
pendidikan formal yang lebih tinggi, merupakan pemikiran yang keliru.
2. Kewajiban yang sama, umpamanya seorang laki-laki dan perempuan sama-sama
mempunyai kewajiban untuk mencari ilmu. Sejalan dengan hadits nabi menuntut
ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan.
3. Persamaan kedudukan dan peranan, contohnya baik pria maupun wanita samasama berkedudukan sebagai subjek atau pelaku pembangunan. kedudukan pria dan

wanita sebagai subjek pembangunan mempunyai peranan yang sama dalam


merencanakan, melaksanakan, memantau dan menikmati hasil pembangunan.
Akhirnya berkaitan dengan persamaan kesempatan. 17[17]
Dapat diambil contoh, jika ada dua orang guru yakni seorang pria dan seorang
wanita sama-sama memenuhi syarat, keduanya mempunyai kesempatan yang sama
untuk

mengisi

lowongan

sebagai

Kepala

Sekolah.

Wanita

tidak

dapat

dinomorduakan semata-mata karena dia seorang wanita. Pandangan bahwa


pemimpin itu harus seorang pria merupakan pandangan yang keliru dan perlu
ditinggalkan. Pendidikan berperspektif gender barulah akan memberikan hasil
secara lebih memuaskan, jika dilaksanakan oleh seluruh kalangan masyarakat,
mulai dari yang tergabung dalam lembaga pendidikan formal maupun non formal,
instansi pemerintah, swasta seperti organisasi profesi, organisasi sosial, organisasi
politik, organisasi keagamaan dan lain-lain sampai pada unit yang terkecil yaitu
keluarga. Pembangunan di bidang pendidikan misalnya, kalau perencanaannya,
pelaksanaannya atau pelayanannya, pemantauannya dan evaluasinya sudah
berwawasan gender, maka dapat dipastikan bahwa pendidikan yang baik dapat
dinikmati oleh baik laki-laki maupun perempuan. Demikian pula pembangunan di
bidang-bidang yang lainnya.
IV. ANALISIS
Pendidikan merupakan hak asasi manusia. Pendidikan yang tidak diskriminatif
akan menguntungkan baik bagi laki-laki maupun perempuan yang pada akhirnya
akan mempermudah terjadinya kesetaraan gender dalam hubungan antara laki-laki
dan perempuan. Gender sebagaimana

didefinisikan secara umum adalah

perbedaan peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil
konstruksi sosial budaya masyarakat. Tataran bias gender banyak terjadi dalam
berbagai bidang termasuk dalam bidang pendidikan. Misalnya peran gender terjadi
dalam hal mengakses lembaga pendidikan yang menyebabkan rendahnya tingkat
partisipasi perempuan.
Dalam Islam, Allah mewajibkan hambanya untuk memperoleh pendidikan yang
tinggi, tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan.
Antara laki-laki dan perempuan keduanya mempunyai potensi dan peluang yang
17[17] Modul, Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Di Sektor Pendidikan, Direktorat
Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan Bappenas bekerja sama dengan CIDA melalui Womens Support
Project Phase II. hlm. 29.

sama untuk menjadi hamba yang ideal. Hamba yang ideal dalam hal ini adalah
bahwa prestasi individual baik dalam bidang spiritual maupun karier profesional tidak
mesti didominasi oleh satu jenis kelamin saja. Demikian pula peluang untuk meraih
prestasi maksimum dalam pendidikan terbuka lebar untuk laki-laki dan perempuan,
yang membedakan adalah ketakwaannya dihadapan Allah.
Isu kesetaraan gender seiring dengan perkembangan zaman yang didukung
oleh

perkembangan

ilmu

pengetahuan

dan

teknologi

yang

mendorong

perkembangan ekonomi dan globalisasi informasi yang memungkinkan kaum


perempuan bekerja dan berperan sama dengan kaum laki-laki.
Pendidikan adalah produk konstruksi sosial, dan ada dua jenis kelamin yakni
laki-laki dan perempuan yang salah satunya tidak selalu diuntungkan akibat dari
konstruksi tersebut. Kesenjangan pada sektor pendidikan telah menjadi faktor utama
yang sangat berpengaruh terhadap bias gender secara menyeluruh. Hampir pada
semua sektor seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran dimasyarakat, sampai
pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan yang menjadi
faktor penyebab terjadinya bias gender adalah karena latar pendidikan yang belum
setara.
Bias gender dalam bidang pendidikan dapat kita lihat misalnya pada kejadian
anak perempuan yang masih menempuh jenjang pendidikan SMP/SMA yang hamil
diluar nikah baik karena sengaja maupun kecelakaan dikeluarkan dari sekolah,
sedangkan laki-laki yang menghamilinya tidak kena sanksi apapun. Selain itu anak
perempuan yang sudah menikah tidak diperbolehkan melanjutkan pendidikan di
SMP/SMA.
Begitu banyak isu kesetaraan gender yang diperbincangkan selama ini, namun
bukti konkrit pencapaiannya masih tumpang tindih dan bias gender masih terjadi
dimana-mana. Hal ini dikarenakan kurang pahamnya tentang pengertian gender
ataupun peran yang diberikan masyarakat dan adat serta budaya terhadap laki-laki
dan perempuan. Sehingga perlu dijelaskan lagi secara tepat tentang pengertian
gender.
V. PENUTUP
Demikian pembahasan makalah kami, semoga dapat bermanfaat bagi
pembaca dan khususnya pemakalah, kami menyadari masih banyak kekurangan
yang terdapat didalamnya, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat
kami harapkan dalam hal baik selanjutnya. Dan harap maklum jika makalah ini

masih jauh dari kesempurnaan, hal ini dikarenakan minimnya reverensi yang
mendukung dengan tema yang ditentukan. Terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA
Ali Engineer, Asghar, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Yogyakarta:
Lembaga study Pengembangan Perempuan dan Anak, 1994
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner,
Jakarta: Bumi Aksara, 2000
Daradjat, Zakiah, Ilmu pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,1996
Lindsey, L, Gender Roles: a Sociological Perspective, New Jersey: Prentice Hall, 1990
Lubis, Ridwan, Cetak Biru Peran Agama: Merajut Kerukunan, Kesetaraan Gender dan Demokratisasi
Masyarakat Multsikultural, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005
Modul, Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Di Sektor Pendidikan, Direktorat Kependudukan dan
Pemberdayaan Perempuan Bappenas bekerja sama dengan CIDA melalui Womens Support Project
Phase II
Murniati, A. Nunuk P., Getar Gender, Magelang: Indonesia Tera, 2004
Purwati, Eni dan Hanun Asrohah, Bias Gender dalam Pendidikan Islam, Surabaya: Alpha, 2005
Syari, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005
Syukur, Fatah, SejarahPendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012
Tobroni, et. All., Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, Civil Society dan Multikulturalisme,
Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2007
Umar, N., Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Quran, Jakarta: Paramadina, 2001

Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Dasar Republik Indonesia Beserta Amandemennya, Solo: Adzana
Putra, 2004
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wilson, T. H. Sex and Gender: Making cultural sense of Civilization, New York: E. J. Brill, 1989
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1986

http://wildanelsyifa.blogspot.com/2014/03/pendidikan-islam-dan-kesetaraan-gender.html

You might also like