You are on page 1of 8

MASALAH HARMONISASI HORIZONTAL DALAM

HUKUM PIDANA INDONESIA


(PROBLEMS OF HORIZONTAL HARMONIZATION
THE CASE OF INDONESIAN CRIMINAL LAW)

OLEH ;

ANDI HAMZAH

TRAINING COURSE FOR INDONESIAN LEGISLATIVE DRAFTERS


DIRECTORATE-GENERAL FOR LEGISLATION
JAKARTA 4 7 JULI 2011

HJA.Nolte, Halaman 3

I.PENDAHULUAN
Abad ke 21 ini Indonesia menghadapi dua pekerjaan besar dalam legislasinya. Pertama
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana) . Dua kodifikasi sekaligus. Rancangan KUHP yang disusun sejak tahun 1981
yang penulis juga anggota sejak tahun 1983. Setelah rampung disusun pada tahun 1992,
Rancangan diserahkan kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh, yang berkeinginan dialah
sebagai Menteri Kehakiman tercantum dalam sejarah menyerahkan dan membahas KUHP
baru yang modern. Ketua Tim RUU pada saat itu ialah Prof. Mardjono Reksodiputro,
SH.MA. Jadi, kurang lebih 18 tahun pembahasan diselingi dengan beberapa kali seminar,
sosialisasi dan studi banding. Sayang, belum sempat dikirim ke DPR, menteri Ismail Saleh
diganti oleh Otoyo Oesman, dan Rancangan menjadi mentah kembali. Rancangan yang
semula disusun oleh para tetua hukum pidana seperti Prof. Oemar Seno Adji, Prof. Sudarto,
Prof. Roeslan Saleh yang kemudian diganti oleh Mardjono Reksodiputro atas perintah
Oetoyo Oesman diutak-atik lagi oleh Tim khusus yang dipimpin oleh Lobby Loqman,
Karya guru, yaitu Oemar Seno Adji dan Sudarto diutak-atik oleh muridnya, Loebby
Loqman. Akan tetapi perubahan penting dari rancangan semula hampir tidak ada, karena
karya guru diutak-atik oleh murid. Setelah selesai naik lagi Muladi menjadi Menteri
Kehakiman, yang memerintahkan rancangan diulas lagi. Oleh karena Mardjono
Reksodiputro menolak untuk membahas karena diapandang sudah resmi diserahkan kepada
Menteri Ismail Saleh pada tahun 1992. Tim dipimpin oleh Barda Nawawi Arif. Dari
Rancangan versi Universitas Indonesia berubah menjadi Rancangan versi Universitas
Diponegoro.
Dapat dikatakan, tambah dibahas tambah kacau. Penulis dapat mengatakan secara
tegas, bahwa Ranncangan KUHP ini sudah basi sebelum dikirim ke DPR. Mengapa
sudah basi ? Banyak pasal masih diambil dari KUHP yang berlaku sekarang. Misalnya,
delik pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP sekarang), ada bagian inti delik (delictsbestandeel)
dapat menimbulkan kerugian sudah dibuang di KUHP Nederland. Jadi, pemalsuan surat
tidak perlu menimbulkan kerugian. Pasal 378 KUHP tentang penipuan ada kata-kata
menggerakkan orang lain untuk memberi suatu barang, membuat utang dan menghapus
piutang. Sudah ditambah di Nederland dengan kata-kata memberi suatu barang, suatu
jasa suatu data, membuat utang dan menghapus piutang. Jadi, obyek penipuan, bukan barang
saja, tetapi juga jasa dan data. Andaikata Rancangan KUHP sudah dibahas pada tahun 1992
dan diundangkan sekitar tahun 1995, kemudian direvisi secara berkala sesuai dengan
perkembangan teknologi dan hubungan masyarakat, sebagaimana dilakukan oleh Nederland,
maka tidak menjadi basi. Delik di luar KUHP seperti delik korupsi telah dimasukkan ke
dalam Rancangan, tetapi yang dimasukkan ialah Undang-Undang Pemberantasan Korupsi
yang lama, sedangkan sekarang ada Rancangan baru yang disesuaikan dengan konvensi
intermasional mengenai korupsi yang sudah diratifikasi Indonesia, Begitu pula dengan delik

pencucian uang, diambil dari undang-undang lama, sedangkan sudah ada undang-undang
baru.
Nasib Rancanngan KUHAP mengikuti nasib Rancangan KUHP. Pada tahun 2009
Penulis sebagai Ketua Tim disertai oleh sekretaris Tim Dr Suhariyono secara resmi
menyerahkan kepada Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, Beliau berjanji segera
mengirim kepada Sekertaris Negara. Presiden meminta Jaksa Agung Hendarman memaraf
pasal demi pasal Rancangan KUHAP dan Rancangan UUPTPK .Selesai diparaf, dikirim
kembali ke Sekretaris Negara . Belum sempat dikirim ke DPR, terjadi pergantian Menteri,
dan Rancangan diambil kembali sudah tiga kali dibahas dalam enam bulan terakhir, , namun
tidak tuntas, karena pembahas ialah orang yang tidak duduk dalam Tim selama sepuluh tahun
1999-2009. Setiap pembahas diundang dan tidak dundang, masing-masing mau memasukkan
sesuai selera masing-masing. Penulis, sebagai mantan Ketua Tim merasa akan mengalami
nasib seperti Mardjono Reksodiputro.
Selain kodifikasi , legislasi peundang-undangan tersendiri (afzonderlijke wetten)
masuk dalam prolegnas, seperti Rancangan UUPTPK, Rancangan Perampasan asset, dll. Hal
yang perlu diperhatikan dalam harmonisasi perundang-undangan, ialah :
I. Perundang-undangan di atasnya, UUD, Undang-Undang Payung, seperti Undang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dia menjadi payung beberapa undang-undang yang
mengatur lingkungan hidup, dan juga undang-undang yang sejajar dengan UULH, seperti
undang-undang perindustrian, Undang-Undang Perikanan, Undang-undang Kehutanan,
Undang-Undang Pertambangan dll. yang mengatur juga lingkungan hidup. Semua itu harus
serasi (harmonis) dan tidak bertentangan dan tidak tumpang tindih..
2. Sistem kodifikasi, artinya sedapat mungkin delik-delik umum masuk dalam KUHP dan
undang-undang tersendiri seperti Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi asasnya masih
mengacu kepada KUHP, seperti rumusan delik harus berupa definisi (lex stricta). Tidak
disusun remang-remang sehingga menjadi serba meliputi dan serba guna (all embracing dan
multi purpose).
3. Tidak ada perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana yang ancaman pidana
penjara lebih satu tahun. Jika ancaman pidana lebih dari satu tahun penjara, maka seharusnya
diberi baju Undang-Undang Pidana. Misalnya delik lingkungan hidup dimasukkan ke dalam
Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, seperti Nederland. Jadi, semua perundangundangan administrasi yang ancaman pidananya lebih satu tahun seperti Undang-Undang
Perbankan, Undang-undang Pasar Modal, Undang-Undang Kepabeanan (penyelundupan)
dimasukkan ke dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi
4. Asas-asas yang dianut di Indonesia, diperhatikan dalam penyusunan undang-undang
pidana, misalnya asas legalitas baik dalam hukum pidana materiel (KUHP) maupun hukum
acara pidana (KUHAP).

II. PEMBAHASAN
Di Indonesia telah berkembang luas perundang undangan adminsistrasi tetapi ancaman
pidana penjara sampai sepuluh tahun , bahkan sampai pidana mati . Hal itu telah
menyimpang dari jalur normal ialah perundang undangan adminitrasi yang bersanksi
pidana dengan ancaman pidana berat seperti Undang-undang Pengelolaan lingkungan
hidup ,Undang-undang Narkotika,Undang-undang kepabeanan, Undang-undang kehutanan,
Undang-undang perikanan, Undang-Undang Perbankan dll. Semestinya perundang-undangan
adminitrasi bersanksi pidana itu ancaman kurungan maksimum satu tahun atau denda. Jika
ancaman pidana penjara berat seperti undang-undang lingkungan hidup sepuluh tahun
penjara, undang-undang narkotika sampai pidana mati, undang-undang kepabeanan sepuluh
tahun penjatra bagi delik penyelundupan, undang-undang kehutanan sepuluh tahun penjara,
maka rumusan delik dan ancaman pidananya mestinya dimasukkan ke perundang-undang
pidana tersendiri seperti Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi. seperti delik dalam
Lingkungan hidup di Nederland ketentuan pidana dimasukan ke dalam Undang-Undang
Tindak Pidana Ekonomi (Wet op de Economische Delicten) supaya diberi baju undangundang pidana bukan perunundang-undangan administrasi.
Oleh karena Indonesia menganut system kodifikasi berbeda dengan Inggeris yang
diikuti oleh Hongkong tidak ada kodifikasi, yang ada perundang-undangan pidana tersebar,
maka semestinya perundang-undangan pidana tersendiri itu dibatasi. Delik dalam UndangUndang terorisme, Undang-undang Kekerasan Rumah Tangga, Undang-Undang pornografi
dll, dimasukkan ke dalam KUHP. .
Hukum pidana terkodifikasi ialah KUHP disamping kodifikasi KUHP ada yang disebut
perundang-undangan tersendiri. Patokan untuk menyusun perundang-undangan tersendiri di
luar KUHP ialah :
H.J.A. Nolte, dalam disertasinya tahun 1949 di Universitas Utrecht memberi keriteria
untuk menentukan adanya perundang-undangan tersendiri:
a. Kitab undang-undang (KUHP) ditujukan untuk semua tingkat penduduk (Standen),
untuk semua waktu untuk semua tempat.
b. Undang-undang tersendiri ditujukan kepada kelas tertentu, untuk keadaan sementara
waktu dan keadaan tempat tertentu.1
Jadi, undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu mestinya bersifat
temporer, dalam keadaan normal, mestinya korupsi diatur dalam KUHP.
Penulis menguraikan hukum pidana khusus dalam arti yang luas meliputi baik hukum
pidana meterielnya maupun hukum pidana formelnya (acara pidananya). Istilah lain yang
dipakai ialah hukum pidana khusus.

H.J.A. Nolte, Het Strafrecht en afzonderlijke wetten, 1949, hlm. 3

W.P.J Pompe, salah seorang yang membuat pengertian tentang hukum pidana khusus
(materiel dan formel). Ia menyebut dua kriteria yang menunjukan hukum pidana khusus itu,
yaitu orang-orangnya yang khusus, maksudnya subyeknya atau pelakunya yang khusus dan
kedau ialah perbuatan yang khusus (bijzonderlijke feiten). Contoh yang pertama ialah hukum
pidana militer, karena orang-orangnya yang khusus atau subyeknya yang khusus, yaitu hanya
golongan militer. Contoh yang kedua ialah hukum pidana fiscal untuk delik-delik pajak, yang
berarti perbuatan menyelundup pajak merupakan perbuatan khusus. 2
Begitu pula hukum pidana ekonomi untuk delik-delik ekonomi. Perbuatan
menyelundup misalnya merupakan perbuatan khusus, suatu perbuatan yang tidak umum
seperti pencurian.
Kalau jalan pikiran Pompe ini dijabarkan dengan keadaan di Indonesia, maka delik
terorisme dan korupsipun merupakan hukum pidana khusus karena perbuatan (feiten)
terorisme dan korupsi itu bersifat khusus atau tidak umum.
Hukum pidana politik juga menurut Pompe merupakan hukum pidana khusus.
Pembuat undang-undang yang darurat Belanda di London pada waktu pendudukan Jerman
menyebutkan hukum pidana luar biasa (buitengewoon strafrecht) yang ditetapkan dengan
besluit 22 Desember 1943 (S.D.61) dan diubah dengan undang-undang 27 Juni 1947
(S.H.206) dan juli 1947 (S.H.233).
Di samping itu, Pompe menunjuk patokan Pasal 91 Wvs Ned (Pasal 103 KUHP) yaitu
jika ketentuan undang-undang (di luar KUHP) banyak menyimpang dari ketentuan umum
hukum pidana (Bab1 Bab VIII buku I). Wvs Ned (Bab I Bab VIII buku I) maka itu
merupakan hukum pidana khusus. Patokan seperti ini sejajar dengan adagium lex specialis
derogat legi generali (ketentuan khusus menyingkirkan ketentuan umum). Hukum pidana
ekonomi mempumyai watak tersendiri yang ternyata pada aturan Strafbaarheid-nya yang
semuanya menyimpang dari hukum pidana biasa. Contoh yang ditempuh oleh Pompe ialah
dapatnya dipidana dari badan hukum, perampasan barang-barang bukti (maksudnya
termaksud barang-barang kepunyaan pihak ketiga dan barang tidak berwujud). Penyelesaian
di luar acara (shickking) dan disamping itu penyimpangan dari ketentuan acara pidana yang
penting.
Jadi menurut Pompe bukan saja materielnya yang menyimpang dari ketentuan umum
hukum pidana (Buku I KUHP), tetapi juga hukum acaranya banyak yang menyimpang dari
hukum acara pidana umum (kalau di Negeri Belanda Wetboek van Strafvordering, di
Indonesia KUHAP).
Dan dengan demikian, tulisan ini akan khusus mengurai segi hukum acara pidana
khusus yang menyimpang dari hukum acara pidana umum.
Van Poelje menolak pendapat Pompe tersebut dengan mengatakan bahwa pasal 91
Wvs Ned (=Pasal 103 KUHP) sebagai patokan, peraturan hukum pidana ekonomi tidak ada
2

W.P.J. Pompe, Handboek van het Nederlandse strafrecht, 1959, hlm. 13 dst.

yang dengan jelas memuat asas-asas hukum pidana lain dari Buku I WvS Ned. (Buku I
KUHP) aturan umum. Van Poelje menunjuk hanya hukum pidana militer sebagai hukum
pidana khusus. Jadi menurut dia hukum pidana dapat dibagi atas hukum pidana umum dan
hukum pidana milter.3
Tetapi jika diperhatikan, memang banyak ketentuan undang-undang di luar KUHP
yang dengan tegas menyatakan menyimpang dari KUHP. Misal Pasal 19 Undang-Undang
Nomer 11 (PNPS) 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi dulu menyatakan Pasal 63
ayat (2) KUHP tidak berlaku.
Dalam harmonisasi dengan perundang-undangan yang sudah ada, banyak sekali
penyimpangan yang terjadi dalam legislasi kita. Kita menciptakan undang-undang pornografi
dengan tidak memperhatikan bahwa dalam KUHP sudah ada delik pornografi sehingga
tumpang tindih yang membingungkan para penegak hukum. Diciptakan delik pencucian uang
sebagian deliknya sudah diatur dalam Pasal 480 KUHP tentang penadahan. Ada undangundang tentang kekerasan rumah tangga sedangkan sudah ada delik penganiayaan dalam
KUHP.
Pada pendahuluan sudah disebut, bahwa hendaknya diperhatikan pula asas yang dianut
dalam hukum pidana Indonesia, antara lain terpenting asas legalitas. Dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP ditegaskan asas ini : Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana, selain
berdasarkan kekuatan perundang-undangan yang ada sebelumnya. Asas ini dilanjutkkan
dengan semua rumusan delik itu harus berupa definisi (lex stricta). Banyak sekali rumusan
delik dalam perundang-undangan pidana dan administrasi yang tidak mengikuti lex stricta
ini. Banyak rumusan bersifat karet dan serba meliputi dan serba guna (all embracing and
multi purpose). Asas legalitas ini tercantum dalam KUHAP, bahkan lebih ketat karena dalam
KUHP dipakai istilah perundang-undangan pidana (wettelijk straf bepaling) sedangkan
dalam KUHAP dipakai istilah undang-undang pidana . Jadi, berdasarkan asas legalitas dalam
hukum pidana materiel, orang dapat dipidana berdasarkan undang-undang, peraturan
pemerintah dan peraturan daerah, tetapi orang ditangkap, ditahan, diadili harus berdasarkan
undang-undang. RRC yang tidak menganut asas legalitas dalam hukum pidana materiel,
bahkan membolehkan analogi undang-undang (gesetzes analogie) tetapi menganut asas
legalitas dalam hukum acara pidana, dikatakan ; jaksa rakyat, hakim rakyat harus secara
ketat memperhatikan undang-undang (KUHAP) ini dan undang-undang lain yang relevan.
Yang aneh dalam Rancangan KUHP yang diubah sesudah era Mardjono Reksodiputro,
pada pasal 1 ayat (1) tercantum asas legalitas sama dengan KUHP sekarang dan KUHP
Nederland. Bahkan lebih tegas dari KUHP sekarang di dalam Pasal 1 ayat (2) Rancangan
dikatakan secara jelas dilarang analogi (maksudnya analogi undang-undang), sedangkan
dalam KUHP sekarang yang sama dengan KUHP Nederland, larangan analogi hanya tersirat
dalam Pasal 1 ayat (1). Akan tetapi tiba-tiba pada ayat (3) dan (4) dibolehkan analogi hukum,
artinya suatu perbuatan walaupun tidak tercantum dalam KUHP tetapi perbuatan itu
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasula, dapat dipidana.
3

A.Hamzah, Hukum Pidana Khusus, Reneka Cipta, 1991, hlm. 1 dst.

Hermann Mannheim Criminal Law and Social Reconstruction, 1946, mengatakan ada
dua macam analogi, pertama analogi undang-undang (Gesetzes analogie) maksudnya jika
suatu perbuatan tidak diatur dalam KUHP tetapi masyarakat memandang perlu dipidana maka
diterapkan pasal yang paling mirip secara analogis dalam KUHP. Ini diatur dalam KUHP
RRC. Yang kedua, analogi hukum (Rechtsanalogie). Ini yang paling pantang, baru satu kali
dianut dalam KUHP Uni Sovyet tahun 1936 (zaman Stalin) .suatu perbuatan walaupun tidak
tercantum dalam KUHP tetapi membahayakan sosial (socially dangerous) dapat dipidana.
Inilah yang aneh dalam Rancangan KUHP, dilarang analogi undang-undang (Pasal 1 ayat 2),
tetapi dibolehkan analogi hukum jika perbuatan itu bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Ini sama dengan dilarang minum bir (ayat 2) tetapi boleh minum wisky (ayat 3 dan 4).
Inilah yang tidak dapat dipahami oleh Prof. Nico Keijzer yang mengatakan I can not
understand. Siapa nanti yang menentukan suatu perbuatan bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila.?

III. KESIMPULAN

1. Perlu segera harus dikaji, perundang-undangan pidana tersendiri, apakah rumusan deliknya
dimasukkan ke dalam rancangan KUHP, ataukah tetap sebagai perundang-undangan
tersendiri, dengan criteria seperti tersebut di muka..
2. Perlu dikaji semua perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana berat, apakah
diinkorporasikan ke dalam perundang-undangan pidana tersendiri, seperti delik lingkugan
hidup, delik perbankan, delik kehutananan, perikananan, pasar modal dimasukkan ke
Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi ataukah dimasukkan ke dalam KUHP.
3.Semua perundang-undangan pidana disesuaikan dengan asas yang dianut di Indonesia,
seperti asas legalitas.
Jakarta, 6 Juli 2011.
A.Hamzah

RIWAYAT HIDUP

Nama

: Prof.DR. Andi Hamzah,SH.

Lahir

: Sengkang, Sulawesi Selatan, 14 Juni 1933

Pekerjaan : Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Trisakti


Tempat Tinggal
Pendidikan

: Jl. Adhyaksa Raya No. B.11- Jakarta selatan


: - Sekolah Menengah Kehakiman Tingkat Atas,
Makassar, 1954.
- Sarjana Hukum, 30 Maret 1962 UNHAS
- Doktor Ilmu Hukum (Disertasi: Undang-undang
Pemberantasan Korupsi Sebagai Sarana
Pembangunan), 1982 UNHAS
- Evidence Law, Stanford University, USA 1985
- Environmental Law Enforcement Course,
Den Haag, Nederland 1991
- Narcotics Law Enforcement Training Course,
Bangkok, Thailand 1992.

You might also like