You are on page 1of 65

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

(Lanjutan : Pendahuluan)
Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama
A.1. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
1)
Asas Bebas Merdeka
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia.
Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan
Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan
kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan
kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra
yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.
2)
Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah
peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara
menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
3)
Asas Ketuhanan
Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada
sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus
dimulai dengan kalimatBasmalah yang diikuti dengan irah-irah Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.
4)
Asas Fleksibelitas
Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan
sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU
Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua
pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang
dihadapi para pihak tersebut.
Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak
berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam
persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit
memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.
Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus
cerdas dalam menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan
tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali
lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui
majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya
mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum.

5)

6)

Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci
dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak
dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan
bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.
Asas Non Ekstra Yudisial
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD
RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud akan dipidana.
Asas Legalitas
Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan
orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama.
Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam
dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan
persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak
terabaikan.
Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus
sebagai hak persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka
menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari
tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan
dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau
atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.

A.2.
Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
1)
Asas Personalitas Ke-islaman
Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama,
hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman
diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun
1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49
terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama.
Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas
personalitas ke-islaman adalah :
a)
Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
b)
Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syariah.
c)
Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu
acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran
menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada
waktu pernikahan dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan
secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan
absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi
(murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas
ke-Islaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya, setiap
penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat
perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya
sengketa.

3)

4)

5)

6)

Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan


hukum, artinya patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil
tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku
beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya
dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain. Sedangkan
mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman berdasar saat terjadinya hubungan
hukum, ditentukan oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum,
kedua pihak sama-sama beragama Islam, dan Kedua, hubungan hukum yang melandasi
keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara
penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
2)
Asas Ishlah (Upaya perdamaian)
Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1
Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989
yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal
115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui
pendekatan Ishlah. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk
menjalankn fungsi mendamaikan, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti
lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.
Asas Terbuka Untuk Umum
Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989
yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19
(3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004.
Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum,
kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang
dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan
atau sebagianakan dilakukan dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di
Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan
pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7
Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama).
Asas Equality
Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan
kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat diskriminatif baik dalam
diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental
dalam upaya menerapkan asas equality pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan
adalah :
a.
Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau equal
before the law.
b.
Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau equal protection on the law
c.
Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau equal justice under the law.
Asas Aktif memberi bantuan
Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses
pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR
dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan
Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006
Tentang Peradilan Agama.
Asas Upaya Hukum Banding

7)

8)

9)

Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada


Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang
menentukan lain.
Asas Upaya Hukum Kasasi
Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi
kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang
menentukan lain.
Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak
yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung,
apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan
terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan
tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili

RESUME HUKUM ACARA PENGADILAN AGAMA


I
GUGATAN DAN PERMOHONAN

A. Surat Gugatan : Surat yang diajukan oleh penggugat pada ketua pengadilan agama yang berwenang,
yang memuat tuntutan hak yang hak yang didalamnya mengandung sengketa dan sekaligus
landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran.
B. Ciri-Ciri Gugatan :
1. Mengandung sengketa
2. Terjadi sengketa antara para pihak
3. Bersifat partai, satu pihak sebagai penggugat dan yang lain sebagai tergugat

4. Tidak dilakukan secara sepihak


5. Pemeriksaan harus dilakukan secara kontradiktor dari awal sampai dengan putusan,
artinya memberikan hak dan kesempatan pada tergugat untuk membantah dalil
penggugat.
C. Syarat Formil Gugatan

1. Harus diajukan pada pengadilan agama yang berwenang


2. Memuat identitas penggugat dan tergugat
3. Penggugat harus memiliki hubungan dan kepentingan hokum dengan pokok gugatan

4. Harus memuat fakta kejadian


5. Harus mempunyai dasar hokum
6. Harus memuat tuntutan tuntutan secara rinci
7. Harus dibuat dan ditanda tangani sendiri oleh penggugat atau kuasa hukumnya
D. Syarat Materiil Gugatan
1. Gugatan harus berisi alas an yang dibenarkan oleh hokum

2. Jika syarat formil dan materiil belum lengkap, maka hakim harus memberikan petunjuk
E. Gabungan Gugatan (kumulasi)
1. Syaratnya:
a. Terdapat gugatan yang erat antara gugatan satu dengan yang lain
b. Terdapat hubugan hukum
F. Kumulasi:

a. Subyektif: Gabungan beberapa penggugat atau tergugat dalam suatu gugatan. Misal: Ahli
waris, Ishbat nikah
b. Obyektif: Gabungan beberapa tuntutan terhadap beberapa peristiwa hukum dalam suatu
gugatan
G. Permohonan : Suatu permohonan yang berisi tuntutanhak perdata oleh suatu pihak yang
berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa

H. Ciri-cirinya :

Bersifat kepentingan sepihak


Tidak ada sengketa dengan pihak lain
Tidak ada pihak ke-3 sebagai lawan

I. Syarat Formil :
Identitas permohonan meliputi nama, umur, domisili
Fatwa peristiwa
Fatwa hukum
Tuntutan
Hubungan yang relevan antara posita dan petitum
Ditanda tangani pemohon atau orang yang diberi kuasa
J. Syarat Materiil :
Harus ada alasan yang dibenarkan oleh hukum
Hakim harus member petunjuk jika belum memenuhi syarat formil dan materiil
MEKANISME PERSIDANGAN

1. Gugatan antara permohonan disampaikan pada ketua pengadilan, diserahkan pada meja 1 untuk
didaftar
2. Bagi yang menggunakan advokad maka surat kuasa dilengkapi dengan surat kuasa dengan surat
kuasa khusus yang dilegalisir
3. Membayar biaya perkara > Pasal 12i HIR ayat 4
Yang merupakan syarat imperative (memaksa) atas pendaftaran perkara
4. Setelah berkas diterima ketua pengadilan agama maka ketua pengadilan agama membuat penetapan
majelis hakim (PMH) untuk menyidang perkara lalu majelis hakim membuat penetapan hari siding

5. Menunggu surat panggilan siding oleh jurusita pengganti


6. Menghadiri sidang sesuai jadwal
PEMANGGILAN

1. Panggilan sidang : Menyampaikan secara resmi dan patut pada pihak-pihak yang terlibat dalam
perkara agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan pengadilan
Panggilan sidang sah : jika dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti yang telah
disumpah untuk jabatannya
Resmi : jika surat itu disampaikan secara tertulis oleh jurusita atau jurusita pengganti
dalam wilayah hukum pengadilan yang bersangkutan
Patut : Setidaknya 3 hari kerja sebelum hari persidangan
2. Isi surat :
Nama yang dipanggil
Hari, jam dan tempat sidang
Membawa saksi-saksi
Membawa surat-surat yang digunakan
Penegasan dapat menjawab gugatan dengan surat
11
PEMBUKTIAN

A. Pembuktian : Upaya yang dilakukan para pihak dalam berperkara untuk menguatkan dan membuktikan
dalil-dalil yang diajukan agar dapat meyakinkan hakim yang memeriksa perkara
B. Bukti : Segala sesuatu yang dapat meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian
C. Alat bukti : Segala sesuatu yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan

D. Macam-macam Alat bukti:


Alat bukti tertulis
Saksi
Persangkaan
Pengakuan
Sumpah

E. Hal-hal yang perlu dibuktikan :


Segala sesuatu yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak
Segala sesuatu yang didalilkan, disangka atau dibantah oleh lawan
Peristiwa-peristiwa atau kejadian yang berkaitan adanya atau menimbulkan suatu hak
F. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan :
Segala sesuatu yang diakui, dibenarkan oleh pihak lawan
Segala sesuatu yang dilihat oleh hakim
Segala sesuatu yang merupakan kebenaran yang bersifat umum
G. Pembagian menurut sifat ;
Berasal dari diri para pihak : pengakuan dan sumpah
Berasal dari luar pihak : surat, saksi dan persangkaan
H. Batas minimal
Suatu jumlah alat bukti yang sah paling sedikit harus terpenuhi agar alat bukti tersebut
mempunyai nilai alat bukti pembuktian untuk mendukung kebenaran yang didalilkan.
I. Bukti surat : bukti berupa tulisan yang berisi tentang suatu peristiwa keadaan atau hal-hal tertentu.

1. Macam-macamnya:
Surat biasa : Surat yang dibuat dengan maksud tidak dijadikan alat bukti, surat
yang tidak disengaja dijadikan bukti dan tidak dibuat secara formal
Akta otentik : Akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang dan
mempunyai nilai pembuktian yang sempurna sepanjang tidak dibuktikan lain
Akta dibawah tangan : Akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dengan
kekuatan nilai pembuktian yang sempurna apabila isi dan tanda tangan diakui
oleh para pihak
KESIMPULAN MUSYAWARAH SIDANG
A. Kesimpulan adalah : Suatu ringkasan yang dibuat oleh pihak yang berperkara yang tanpa ihtiar suatu
gugatan baik jawaban atau bantahan yang dibuat dengan bukti-bukti di persidangan dan berisi suatu
permintaan atas suatu gugatan atau bantahan atau jawaban agar majelis akhir mengabulkan gugatan
penggugat dan atau menolaknya.
B. Dasar hukum kesimpulan : Kesimpulan para pihak diatur dalam pasal 28 (yurisprudensi) karena tidak
diatur maka hukum boleh mengajukan atau tidak (bebas).
C. Manfaat bagi penggugat : Para pihak dapat menganalisis dalil-dalil tambahan-tambahannya melaui
pembuktian yang didapatkan selama persidangan sehingga dapat kesimpulan, apakah terbukti atau
tidak, sehingga penggugat akan meminta pada majelis hakim agar dikabulkan sebaliknya penggugat
ditolak.
D. Tujuan diadakan musyawarah : Untuk menyamakan persepsi agar terhadap perkara yang sedang
diadili itu dapt dijatuhkan putusan yang seadil-adilnya, sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
E. Musyawarah hakim : Suatu sikap yang terdapat yang diambil oleh majelis hakim yang menyidangkan
suatu perkara masing-masing mengemukakan pendapat hukumnya atau alasannya yang dilakukan
secara rahasia dan tertutup sebelum hakim mengucapkan keputusannya.
F. Dasar hukum musyawarah :
Pasal 178 HIR/189 RBG

Pasal 14, 51 dan 53 UU No. 48/2009


G. Langkah-langkah/ teknis musyawarah majelis :

1. Ketua majelis hakim mempersilahkan kepada hakim yang lebih senior dan hakim senior
anggota 1 untuk menyampaikan pendapatnya berupa fakta-fakta yang sudah terbukti dan
tidak terbukti dasar hukum apa yang disampaikan dan pertimbangan keadilan dan
kemanfaatan hukum secara tertulis.
2. Majelis menyepakati pendapat ulama yang memenuhi ketentuan hukum yang berlaku dan
memenuhi rasa keadilan serta serta asas manfaat.
3. Jika tidak ada kesepakatan dilakukan voting dan pendapat yang kalah merupakan
dissenting opinion.
4. Jika tiga hakim majelis berbeda pendapat maka yang digunakan adalah pendapat ketua
majelis.
5. Pendapat para hakim anggota dan ketua majelis dicatat dalam ikhtisar musyawarah yang
ditanda tangani oleh ketua majelis dan panitera sidang dilampirkan dalam berita acara
persidangan terakhir.
Dasar hukum dissenting opinion : Pasal 14 ayat (3) UU No.48/2009
Tata cara memuat dissenting opinion dalam putusan :
Pendapat hakim yang berbeda dimuat dalam pertimbangan hakim setelah
pertimbanagan hakim lainnya yang menjadi dasar putusan dengan
menyebutkan nama hakim yang berbeda pendapat tersebut
Subtansi dan teknik musyawarah majelis :
Musyawarah majelis hakim dilaksanakan secara rahasia, maksudnya apa yang
dihasilkan dalam rapat majelis hakim tersebut hanya diketahui oleh majelis
hakim yang memeriksa perkara sampai putusan diucapkan dalam sidang
yang terbuka untuk umum.

ASAS DAN SUMBER HUKUM ACARA


PERADILAN AGAMA
ASAS DAN SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Peradilan Agama telah ada di
berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar Sejarah
Peradilan, Peradilan Agama telah ada sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang dibukukan oleh
Departemen Agama yang berjudul Seabad Peradilan Agama di Indonesia, tanggal 19 Januari 1882
ditetapkan sebagai Hari Jadinya, yaitu berbarengan dengan diundangkannya ordonantie stbl.1882152, tentang Peradilan Agama di Pulau Jawa Madura.
Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya ditaati dan dilaksanakan
dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
pada tanggal 29 Desember 1989, Peradilan Agama belum pernah memiliki undang-undang tersendiri
tentang susunan, kekuasaan dan acara, melainkan tersebar dalam berbagai peraturan perundangundangan yang tidak merupakan kesatuan, dan tidak pula seragam.
Kekuasaannya kadangkala berbenturan dengan Peradilan Umum karena memang disengaja
dibuat tidak jelas oleh Pemerintah Jajahan, sebab Pemerintah Jajahan sejak semula memang sangat
khawatir terhadap hukum Islam lantaran hukum islam itu, disamping bertentangan dengan agama
mereka, juga merupakan hukum yang sebagaian besar dianut oleh Bangsa Indonesia. Memberikan
hak hidup kepada hukum Islam sama artinya dengan memberikan peluang hidup terhadap hukum
bangsa Indonesia.
Namun kini Peradilan Agama telah mempunyai UU tersendiri, yaitu UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut merupakan rangkaian dari undangundang yang mengatur kedudukan dan kekuasaan Peradilan di negara RI. Selain itu, UU tersebut
melengkapi UU Mahkamag Agung No. 14 Tahun 1985, UU Peadilan Umum No. 2 Tahun 1986 dan UU
Peradilan Tata Usaha Negara No. 5 Tahun 1986.
Memang agak terlambat lahirnya UU No. 7 tersebut dibandingkan dengan landasan lain bagi
Peradilan Umum, PTUN dan lainnya. Namun demikian, dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama, kedudukan dan kekuasaan Pengadilan Agama setara dengan Lembaga
Pengadilan lainnya.
Yang patut disayangkan, UU No. 7 tersebut mengandung beberapa kelemahan. Diantaranya,
terdapat hak opsi dalam penyelesaian perkara waris bagi orang-orang yang beragama Islam di

Pengadilan Agama atau di Pengadilan Negeri; Pengadilan Agama tidak berwenang menangani
sengketa hak milik dan sebagainya. Dengan adanya desakan dan masukan dari praktisi hukum
maupun masyarakat yang beragama Islam, maka lahirlah UU No. 3 Tahun 2006 yang merevisi dan
melengkapi UU No. 7 tentang Peradilan Agama di Indonesia. Dengan adanya UU ini Peradilan Agama
akan lebih mantap dalam menjalankan fungsinya.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1. Apakah asas-asas yang terdapat dalam Hukum Acara Peradilan Agama ?
2. Apakah sumber hukum Acara Peradilan Agama ?

C. TUJUAN PENULISAN
Setiap pembahasan pasti memiliki tujuan tertentu karena dengan adanya tujuan yang jelas maka
akan memberikan arah yang jelas pula untuk mencapai tujuan tersebut. Adapun tujuan dari
pembahasan ini adalah :
1. Untuk mengetahui asas-asas yang terdapat dalam hukum acara Peradilan agama di Indonesia
2. Untuk mengetahui sumber hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN UMUM
PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Sebelum membahas perihal pengertian Hukum Acara Peradilan Agama, akan dikemukanan
terlebih dahulu tentang pengertian Peradilan Agama dan Peradilan Islam. Peradilan Agama adalah
sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau
Kekuasaan Kehakiman yang resmi dan sah di Indonesia. Tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya
adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Agama
adalah salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia. Dua Peradilan Khusus lainnya adalah
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan peradilan khusus karena Peradilan
Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongn rakyat tertentu. Dalam hal ini,
Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan pula tidak
hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu, tidak
mencakup seluruh perkara perdata Islam.
Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis perkara yang ia
boleh mengadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama Islam. Peradilan Agama adalah
Peradilan Islam limitatif yang telah disesuaikan (dimutatis mutandiskan) dengan keadaan di
Indonesia. Menurut pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku

kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Kata Peradilan Islam yang tanpa dirangkaian dengan kata-kata di Indonesia, dimaksudkan
adalah Peradilan Islam secara universal. Peradilan Islam itu meliputi segala jenis perkara menurut
ajaran Islam secara universal. Oleh karena itu, dimana-mana asas peradilannya mempunyai prinsipprinsip kesamaan sebab hukum Islam itu tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan di mana
pun, bukan hanya untuk suatu bangsa atau untuk suatu Negara tertentu saja. Untuk menghindari
kekeliruan pemahaman, apabila yang dimaksudkan adalah Peradilan Islam di Indonesia maka
cukup digunakan istilah Peradilan Agama.
Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata dan Peradilan Islam
di Indonesia, jadi ia harus mengindahkan peraturan perundang-undangan Negara dan syariat Islam
sekaligus. Oleh karena itu, rumusan Hukum Acara Peradilan Agama adalah diusulkan sebagai berikut
: Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan negara maupun dari
syariat Islam yang mengatur tentang bagaimana cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama
tersebut menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material Islam yang menjadi
kekuasaan Peradilan Agama.
Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam
sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA Pengadilan Agama
adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini . Dengan demikian
keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Setelah UU No. 7 tahun 1989 diperbaharui dengan UU No.3 tahun 2006, maka rumusan
tersebut juga ikut berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang
pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat
dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini .
Dalam definisi PENGADILAN AGAMA tersebut kata Perdata dihapus. Adapun maksud dari
dihapusnya kata perdata adalah:
1. Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undangundang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya.
2. Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di
bidang jinayah berdasarkan Qonun.
Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam dalam bidang :
a. Perkawinan

b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
c. Wakaf dan shadaqoh
BAB III
PEMBAHASAN
A. ASAS-ASAS DALAM HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
1. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
a) Asas Bebas Merdeka
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara hukumRepublik Indonesia.
Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun
2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk
pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan Kekuasaan kehakiman
yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari
campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau
rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisialkecuali dalam hal yang diizinkan undangundang.
b) Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan
ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila.
c) Asas Ketuhanan
Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama
Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan
kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha
Esa.
d) Asas Fleksibelitas

Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana,


cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang
tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan
pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama
wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala
hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.
Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit
serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila
terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai
penafsiran.
Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam
menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut untuk
kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat
bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain
kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan
yang terbuka untuk umum.
Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan,
serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab
tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan
pengadilan.
e) Asas Non Ekstra Yudisial
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman
dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap
orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.
f) Asas Legalitas
Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini
diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak
membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat
setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan.
Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak
persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan
kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan,
pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus
berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut
kehendak dan kemauan hukum.

2. Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama


1) Asas Personalitas Ke-islaman
Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka
yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3
Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2
Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi
kewenangan peradilan agama.
Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman
adalah :
a. Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
b. Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shodaqoh, dan ekonomi syariah.
c. Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya
berdasarkan hukum Islam.
Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan
berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan
dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi
sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun
salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat
menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut
dilangsungkan, artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan
hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya
sengketa.
Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya
patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa mempersoalkan
kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah
melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan
dan surat keterangan lain. Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman berdasar saat
terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan
hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam, dan Kedua, hubungan hukum yang melandasi
keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya
berdasarkan hukum Islam.
2) Asas Ishlah (Upaya perdamaian)
Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal
31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal
82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui pendekatan Ishlah.


Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi mendamaikan, sebab
bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa
perdamaian.
3) Asas Terbuka Untuk Umum
Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah
dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004.
Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali
Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita
acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan
dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan
dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau
cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006
Tentang Peradilan Agama).
4) Asas Equality
Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya,
sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat diskriminatif baik dalam diskriminasi normative
maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas
equality pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah :
a. Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau equal before
the law.
b. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau equal protection on the law
c. Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau equal justice under the law.
5) Asas Aktif memberi bantuan
Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan
dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum
acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang
tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
6) Asas Upaya Hukum Banding
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan
Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.
7) Asas Upaya Hukum Kasasi
Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada
Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

8) Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali


Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal
atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan
kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
9) Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat
pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
B. SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, disamping sebagai Peradilan Khusus,
yakni Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan
Negara, untuk mewujudkan hukum material Islam dalam batas-batas kekuasaannya.
Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan hukum dan keadilan) maka peradilan agama
dahulunya mempergunakan Acara yang terserak-serak dalam berbagai peraturan perundangundangan, bahkan juga Acara dalam hukum tidak tertulis (maksudnya hukum formal Islam yang
belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan Negara Indonesia). Namun kini,
setelah terbitnya UU No. 7 tahun 1989, yang berlaku sejak tanggal diundangkan (29 Desember
1989), maka hukum Acara Peradilan Agama menjadi konkret. Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 ini
berbunyi sebagai berikut :
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan agama adalah Hukum
acara Perdata yang berlaku dalam lingkunganPeradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam undang-undang ini.
Menurut pasal di atas, Hukum Acara Peradilan Agama sekarang bersumber (garis besarnya)
kepada dua aturan, yaitu : (1) yang terdapat dalam Uu No. 7 tahun 1989, dan (2) yang berlaku di
lingkungan Peradilan Umum.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti Hukum Acara Perdata Peradilan Umum,
antara lain :
a. HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglemen Indonesia yang di
Baharui).
b. RBg (Rechts Reglemen Buitengewesten) atau disebut juga Reglemen untuk Daerah Seberang,
maksudnya untuk Luar Jawa-Madura.
c. Rsv (Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan Belanda dahulu berlaku untuk
Raad van Justitie.

d. UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (sekarang UUNo. 2 Tahun 1998 tentang Peradilan
Umum).
Peraturan perundang-undangan tentang Acara Perdata yang sama-sama berlaku bagi
lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan agama adalah :
a) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiaman. (sekarang UU
initelah direvisi menjadi UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dan direvisi kembali
menjadi UU No. 48 Tahun 2009)
b) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
c) UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan dan Pelaksanaannya.
Jika demikian halnya maka Peradilan agama dalam Hukum Acaranya minimal harus
memperhatikan UU No.7 Tahun 1989, ditambah dengan 8 macam peraturan perundang-undangan
yang telah disebutkan tadi.
Setelah UU No. 7 tahun 1989 diperbaharui dengan UU No.3 tahun 2006, maka rumusan
tersebut juga ikut berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang
pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat
dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini .
Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata Perdata dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:
1) Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undangundang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya.
2) Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di
bidang jinayah berdasarkan Qonun
Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam dalam bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibahyang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
c. Wakaf dan shadaqoh
Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam menjadi salah satu faktor pendorong
berkembangnya hukum Islam di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan muamalah. Lembagalembaga ekonomi syariah tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syariah, asuransi
syariah, pasar modal syariah, dan pegadaian syariah. Perkembanagan ini tentunya juga berdampak
pada perkembangan sengketa atau konflik dalam pelaksanaannya. Selama ini apabila terjadi konflik
dalam bidang ekonomi syariah harus melalui peradilan umum. Menyadari hal ini, maka dalam

Undang-Undang No. 3 tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 maka ruang lingkup
Peradilan Agama diperluas ruang lingkup tugas dan wewenang Pengadilan Agama Yaitu :
Pertama: memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Shadaqah
h. Infaq, dan
i.

Ekonomi syariah
Dalam penjelasan pasal 49 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah :

Bank syariah

Asuransi syariah

Reasuransi syariah

Reksadana syariah

Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah

Sekuritas syariah

Pembiayaan syariah

Pegadaian syariah

Dana pensiun lembaga keuangan syariah

Bisnis syariah, dan

Lembaga keuangan mikro syariah


Kedua: diberikan tugas dan wewenang penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan
lainnya.
Dalam pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa dalam hal terjadi sengketa mengenai hak
milik atau keperdataan lain daalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49,

maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Demi terbentuknya pengadilan yang cepat dan efesien maka pasal 50 UU No.7 tahun 1989
diubah menjadi dua ayat yaitu : Ayat (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lainnya
dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khususnya mengenai obyek sengketa
tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, ayat (2)
Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang subyek hukumnya
antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama
bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.
Tujuan diberinya wewenang tersebut kepada Pengadilan Agama adalah untuk menghindari
upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa
hak milik atau keperdataan lainnya tersebut yang sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan
dengan adanya gugatan di Peradilan Agama.
Ketiga: diberi tugas dan wewenang memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam
penentuan awal bulan pada tahun hijriyah. Selama ini Pengadilan Agama diminta oleh Menteri
Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap orang yang telah melihat atau menyaksikan
awal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadlan, awal bulan Syawal dan tahun baru Hijriyah dalam
rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk rukyat Hilal.
Hukum Acara Peradilan Agama Bersifat Lex Specialis
Dalam Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 dinyatakan,Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang
ini.
Berdasarkan bunyi pasal 54 tersebut di atas, berlaku asas Lex Specialis derogot Lex Generalis
yang berarti disamping acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama berlaku
Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, namun secara
khusus berlaku Hukum Acara yang hanya dimiliki oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama.
BAB IV
PENUTUP
1. SIMPULAN
Adapun simpulan yang dapat dirumuskan dari rumusan masalah dan pembahasan di atas adalah
sebagai berikut :
a) Bahwa asas dalam Hukum Acara Peradilan Agama dapat di bagi dua, yakni asas Umum Lembaga
Peradilan Agama dan Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama. Dimana kedua asas tersebut
terbagi lagi dalam beberapa asas.

b) Bahwa sumber hukum acara peradilan agama saat ini adalah UU No. 3 Tahun 2006. Meskipun saat
ini telah berlaku UU No. 3 Tahun 2006 namun terhadap hal-hal yang tidak mengalami perubahan
dalam UU No. 3 Tahun 2006 tetap berlaku UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2. SARAN-SARAN
Adapun saran-saran yang dapat diberikan terhadap permasalahan dan pembahasan di atas adalah :
a) Diharapkan agar asas-asas dalam acara Peradilan Agama dapat diterapkan secara factual agar
tercipta suatu peradilan yang benar-benar member keadilan bagi pihak-pihak di dalamnya.
b) Diharapkan agar segala sumber hukum dalam Hukum Acara Peradilan Agama dapat dijadikan
pedoman bagi berjalannya proses beracara di Pengadilan Agama dan proses penyelesaian perkara
yang diajukan di Pengadilan Agama sehingga tidak ada lagi keluhan-keluhan tentang kesulitan
beracara di Pengadilan Agama.

Hukum Acara Peradilan Agama


BAB I
PENGERTIAN
A. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama
Mengenai hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
diatur dalam Bab IV UU Nomor 7 Tahun 1989 mulai pasal 54 sampai dengan pasal
105.Menurut ketentuan pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989 hukum acara yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku
pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam undang-undang ini.
Ketentuan tersebut menunjukan bahwa terdapat Hukum Acara Perdata yang secara umum
berlaku pada lingkungan Peradilan Umum dan Perdailan Agama, dan ada pula hukum acara
yang hanya berlaku pada Peradilan Agama. Hukum acara yang khusus diatur dalam UU
Nomor 7 Tahun 1989 yang meliputi cerai talak, cerai gugat dan cerai dengan alasan zina.
Oleh karena itu, dalam makalah ini dijelaskan terlebih dahulu tentang Hukum Acara Perdata
yang berlaku juga untuk Pengadilan Agama dan Hukum Acara khusus tetang ceai talak, cerai
gugat dan cerai karena alasan zina.

a. Permohonan Dan Gugatan


Di dalam Hukum Acara Perdata, kita mengenal adanya permohonan dan gugatan.
Perbedaan antara permohonan dan gugatan adalah dalam suatu gugatan ada suatu sengketa
yang harus diselesaikan dan diputuskan oleh pengadilan.
Dalam suatu gugatan ada seorang atau lebih yang merasa bahwa haknya atau hak mereka
telah ada yang melanggar, tetapi orang yang dirasa melanggar hak tersebut tidak mau
meyerahkannya secara sukarela.
Gugatan ini harus diajukan kepada dimana si tergugat itu tinggal. Dalam bahasa latin hal ini
disebut dengan Actor Sequitur Forum Rei. Menurut ketentuan pasal 118 HIR gugat harus
diajukan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya. Oleh
karena gugat harus diajukan dengan surat, maka bagi mereka yang buta huruf dibuka
kemungkinan untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri
berdasarkan ketentuan pasal 12 HIR akan membuat atau menyuruh membuat gugatan yang
dimaksud.
Surat gugat ini isinya harus memuat tanggal, menyebut dengan jelas nama penggugat dan
tergugat lengkap dengan alamatnya. Selanjutnya, bagian yang disebut dengan posita, yang
mana isinya adalah memuat alasan-alasan berdasarkan keadaan dan bagian yang memuat

alasan-alasan yang berdasar hukum. Bagian akhir harus ada petitum. Petitum ini
merupakan bagian yang terpenting karena merupakan yang diinginkan, ditetapka,
diputuskan, atau diperintahkan oleh hakim.
b. Perihal Acara Istimewa
Jika pada hari sidang yang telah ditentukan untuk mengadili perkara tertentu, salah satu
pihak atau semuanya, baik itu penggugat maupun tergugat atau tidak menyuruh wakilnya
untuk menghadap pada sidang yang telah ditentukan maka berlakulah acara istimewa yang
diatur diatur dalam pasal 124 dan 125 HIR.
Apabila penggugat yang tidak hadir dan tidak mengirimkan wakilnya secara syah dan telah
dipanggil dengan patut maka gugat digugurkan, sedangkan apabila tergugat yang tidak hadir
maka berlakulah perstek. Untuk putusan perstek harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut sebagaimana yang tercantum dalam pasal 125 ayat 1 HIR;
1. Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak dating pada haris sidang yang telah
ditentukan
2. Ia atau mereka tidak mengirimkan wakil atau kuasanya yang syah untuk menghadap
3. Ia atau mereka telah dipanggil dengan patut
4. Petitum tidak melawan hak
5. Petitum beralasan
c. Perihal Pemeriksaan Dan Pembuktian Dalam Sidang Pengadilan
Adapun tahapan-tahapan pemeriksaan perkara secara umum, terutama perkara gugatan
dalam perkara persdangan itu adalah sebagai berikut;
1. Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para
pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang
esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat
perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk
menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi
berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.
Mediasi ini dipimpin oleh seorang mediator yang sudah memiliki sertifikat mediator yaitu
pihak yang bersifat netral dan tidak memihak yang berfungsi membantu para pihak dalam
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa.
Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam proses perkara di Pengadilan didasari
atas beberapa alasan sebagai berikut :

Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara. Jika
para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah
perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika sengketa dapat
diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hukum kasasi
karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka
tidak akan mengajukan upaya hukum. Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim, maka
putusan merupakan hasil dari pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan
kedudukan hukum para pihak. Pandangan dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan
pandangan para pihak, terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu
menempuh upaya hukum banding dan kasasi. Pada akhirnya semua perkara bermuara ke
Mahkamah Agung yang mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara.
Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih. cepat dan
murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian
yang membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah
dibandingkan proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah
diuraikan pada alasan pertama bahwa jika prkara diputus, pihak yang kalah seringkali
mengajukan upaya hukum, banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas
perkara yang bersangkutan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan
di Pengadilan tingkat pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung.
Sebaliknya, jika perkara dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan
sendirinya dapat menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka yang
mencerminkan kehendak bersama para pihak. Selain logika seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, literatur memang sering menyebutkan bahwa penggunaan mediasi atau
bentuk-bentuk penyelesaian yang termasuk ke dalam pengertian alternative dispute
resolution (ADR) merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah
dibandingkan proses litigasi.
Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk
memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses
litigasi, tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan
diberlakukannya mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan
pada umumnya dan para pihak yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu
mengupayakan penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah
mufakat yang dibantu oleh seorang penengah yang disebut mediator. Meskipun jika pada
kenyataannya mereka telah menempuh proses musyawarah mufakat sebelum salah satu
pihak membawa sengketa ke Pengadilan, Mahkamah Agung tetap menganggap perlu untuk
mewajibkan para pihak menempuh upaya perdamaian yang dibantu oleh mediator, tidak
saja karena ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu HIR dan Rbg, mewajibkan hakim
untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum proses memutus dimulai, tetapi

juga karena pandangan, bahwa penyelesaian yang lebih baik dan memuaskan adalah proses
penyelesaian yang memberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-sama mencari dan
menemukan hasil akhir.
Keempat, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat
dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Jika pada
masa-masa lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol adalah fungsi memutus,
dengan diberlakukannya PERMA tentang Mediasi diharapkan fungsi mendamaikan atau
memediasi dapat berjalan seiring dan seimbang dengan fungsi memutus. PERMA tentang
Mediasi diharapkan dapat mendorong perubahan cara pandang para pelaku dalam proses
peradilan perdata, yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga pengadilan tidak hanya
memutus, tetapi juga mendamaikan. PERMA tentang Mediasi memberikan panduan untuk
dicapainya perdamaian.
2. Tahapan replik dan duplik
Dalam tahapan ini dilakukan pembacaan surat gugatan/permohonan, tanggapan atas
gugatan yang diajukan, kemudian jawaban atas tanggapan tergugat (replik), selanjutnya,
replik itu dijawab kembali oleh tergugat (duplik).
Dalam tanggapan atas gugatan yang diajukan ada dua macam, yaitu;
a) Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara (verweer ten principale)
b) Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara (tangkisan atau eksepsi)
Tentang tangkisan atau eksepsi, H.I.R hanya mengenal satu macam eksepsi ialah eksepsi
perihal tidak berkuasanya hakim. Eksepsi ini terdiri dari dua macam yaitu eksepsi
kekuasaan absolute dan kekuasaan relatif.
ksepsi kekuasaan absolute adalah eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan tersebut tidak
berwenang dalam perkara tersebut yang mana merupakan wewenang pengadilan lain dalam
berbeda pengadilan. Eksepsi kekuasaan absolute dapat disampaiakan setiap waktu selama
pemeriksaan perkara berlangsung.
Eksepsi kekuasaan relative adalah eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan tersebut
tidak berwenang dalam menangani kasus tersebt tetapi merupakan wewenang pengadilan
lain dalam lingkungan pengadilan yang sama. Eksepsi ini diajukan sebelum tergugat
menjawab pokok perkara secara lisan maupun tertulis.
Selain 2 jenis eksepsi diatas masih ada eksepsi yang sering kita dengar misalnya eksepsi
dilatoir adalah eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan penggugat belum dapat dikabulkan.
Eksepsi peremptoir adalah eksepsi yang menghalangi dikabulkannya gugatan.
3. Pembuktian
Pembuktian merupakan suatu cara untuk meyakinkan Majelis Hakim terhadap kebenaran
dalil-dalil yang dikemukakan dalam gugatan dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak

tergugat untuk menyanggah dalil-dalil yang diajukan oleh pihak penggugat.


Dalam ketentuan pasal 125 H.I.R disebutkan bahwa alat-alat bukti yang sah itu ada 5
macam, yaitu;
1. Bukti surat
2. Saksi-saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah
4. Keputusan Pengadilan
Keputusan pengadilan pada dasarnya merupakan penerapan hukum terhadap suatu
peristiwa, dalam hal ini pekara yang memerlukan penyelesaian melalui kekuasaan Negara.
Putusan ini terdiri dari dua jenis yaitu putusan sela dan putusan akhir. Putusan sela
dilakukan apabila tergugat melakukan eksepsi relative pada hari sidang pertama, oleh
kerena itu Majelis Hakim wajib memmutuskan terlebih dahulu sebelum melanjutkan kepada
pemeriksaan pokok perkara. Putusan sela ini ada bermacam-macam. Diantaranya adalah
sebagai berikut;
1. Putusan prepatoir
2. Putusan insidenti
3. Putusan provisional
Putusan akhir ini terdiri dari 3 macam, yaitu;
1. Putusan declatoir adalah putusan yang hanya bersifat menerangkan, menegaskan suatu
keadaan hukum semata-mata. Misalnya adalah sekelompok ahli waris datang ke pengadilan
agar mendapat ketetapan mereka masing-masing menurut Hukum Islam. Dalam hal ini
maka putusannya adalah putusan declatoir.
2. Putusan constitutive adalah putusan yang meniadakan suatu kedaan hukum atau
menimbulkan keadaan hokum yang baru. Misalnya, adalah putusan perceraian.
3. Putusan comdemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman. Misalnya, adalah
harus member nafkah.
HUKUM ACARA PERDATA
A. PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT PERTAMA
Penggugat atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan gugatan yang diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri pada Pengadilan Negeri Palembang di bagian Perdata, dengan
beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :

a.Surat

Permohonan/Gugatan
b.Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat)
Penggugat / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir
Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
Menerima tanda bukti penerimaan Surat Gugatan
Menunggu Surat Panggilan sidang dari Pengadilan Negeri Palembang yang disampaikan
oleh Juru Sita Pengganti
Menghadiri Sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan
B. PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT BANDING
Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan kepada Pengadilan
Negeri Palembang di bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan / syarat yang harus
dipenuhi :
a.Surat Permohonan Banding
b.Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat)
c.Memori Banding
Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir
Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyiapkan bukti asli untuk arsip
Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan
Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage), Pemohon diberikan
jangka waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri setempat untuk mempelajari
berkas
Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Banding dan salinan Kontra Memori
Banding
Menunggu kutipan putusan dari Pengadilan Tinggi yang akan disampaikan oleh Juru Sita
Pengganti
C. PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT KASASI
1.Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan kepada Pengadilan
Negeri Palembang di bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan / syarat yang harus
dipenuhi :
a.Surat Permohonan Kasasi
b.Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat)
c.Memori Kasasi
Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir
Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip
Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan
Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage), Pemohon diberikan
jangka waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri setempat untuk mempelajari
berkas
Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Kasasi dan salinan Kontra Memori

Kasasi
Menunggu kutipan putusan dari Mahkamah Agung yang akan disampaikan oleh Juru Sita
Pengganti.
BAB II
PERBEDAAN
A.

Perbedaan dalam kewenangan

a. Hukum Acara Pengadilan Agama khusus (masyarakat yang beragama islam)


Sebagai peradilan khusus, Pengadilan Agama mempunyai tugas dan kewenangan tertentu
seperti tersebut pada Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor
50 Tahun 2009, yang menyatakan : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragam Islam di bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infaq
h. Shodaqoh
i. Ekonomi Syariah
Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam
sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum .

b. Kewenangan hukum acara perdata umum


Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana cara mengajukan gugatan,
memeriksa, mengadili dan memutus, melakukan eksekusi melalui hakim dalam lingkungan
peradilan perdata. ( hukum formil )
Hukum acara perdata bersifat mengikat atau bersifat memaksa, yaitu bahwa bila terjadi
suatu proses acara perdata di pengadilan maka ketentuannya tidak dapat dilanggar
melainkan harus ditaati oleh para pihak.
c. Hukum Acara Yang Berlaku di Peradilan Agama
Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dan ditambah

dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan :


Hukum acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan peradilan agama adalah hukum
acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali
yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini .
d. Urutan Beracara Perdata
Urutan beracara
a. Gugatan
b. Mediasi
c. Jawaban (eksepsi, pokok perkara, rekopensi)
d. Replik (penggugat, lugas)
e. Duplik (tergugat, penggugat rekopensi)
f. Pembuktian (pembuktian oleh masing-masing pihak apakah benar/ tidak statemen
masing2)
g. Kesimpulan
h. Putusan
e. Urutan Beracara di Peradilan Agama
Hukum Acara Khusus dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009
Dalam buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Bagian Kedua,
Bidang Teknis Peradilan, Peradilan Agama, halaman 216-234 diatur hal-hal yang ringkasnya
sebagai berikut :
1) Bidang Perkawinan
Beberapa perkara berikut dapat diajukan dan diperiksa serta diputus secara voluntoir,
maksudnya : berbentuk permohonan yang hanya terdiri dari pihak Pemohon saja dan tidak
terdapat sengketa. Padahal menurut azasnya perkara terdiri dari dua pihak yang sedang
bersengketa atau disebut perkara contensios. Perkara voluntoir tersebut adalah :
a)Permohonan dispensasi umur kawin
b)Permohonan izin kawin
c)Permohonan penetapan wali adhol
d)Permohonan penetapan perwalian
e)Permohonan penetapan asal-usul anak
2)Bidang Perceraian
a)

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50

Tahun 2009 memberi kemudahan dan perlindungan kepada isteri dalam hal di Pengadilan

Agama mana perceraian diajukan.


(1) Suami mengajukan cerai talak di Pengadilan Agama yang di daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman Termohon (isteri) (Pasal 66 (2)).
(2) Isteri mengajukan cerai gugat di Pengadilan Agama yang di daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman Penggugat (isteri) (pasal 73 (2)).
b)

Dalam perkara perceraian tidak ada pihak yang kalah atau menang, sehingga biaya

perkara dibebankan kepada Penggugat atau Pemohon (Pasal 89 ayat (1))


c)

Pemeriksaan perkara perceraian dalam sidang tertutup (pasal 68 (2) dan 80). Hal ini

dimaksudkan untuk menjaga rahasia pribadi para pihak.


d)

Permohonan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama-sama

dengan permohonan cerai talak/ gugat cerai ataupun sesudahnya (Pasal 66 ayat (5) 86 ayat
(1))
e)

Untuk melindungi isteri maupun anak, Hakim Pengadilan Agama baik diminta atau

tidak, dalam perkara perceraian dapat menghukum pihak suami untuk memberi nafkah
isteri maupun anaknya (Pasal 44 c UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 a UU Nomor 7 Tahun
1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan 45 ayat (2) dan 49
ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 huruf b UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3
Tahun 2006.
f)

Hak bekas isteri maupun anaknya atas bagian bekas suaminya yang Pegawai Negeri,

dapat dituntut dan diputus dalam perkara perceraiannya (PP 10 Tahun 1983 jo. PP 45 Tahun
1990).
3) Bidang Waris, Wasiat dan Hibah yang Dilakukan Berdasarkan Hukum Islam
a)

Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50

Tahun 2009 menganut azas personalitas keislaman, oleh karena itu Pengadilan Agama
berwenang memeriksa dan mengadili perkara waris/ wasiat apabila pewaris (si mayit)
beragama Islam.
b)

Hibah yang dilakukan oleh orang Islam kepada orang Islam apabila timbul sengketa

adalah menjadi kewenangan Pengadilan Agama.


c)

Bagi orang yang menghendaki surat keterangan ahli waris misalnya untuk mengambil

deposito di Bank, dapat dibuat akta di bawah tangan kemudian dimintakan pengesahan
(gewaasmarker) kepada Ketua Pengadilan Agama.
d)

Akta comparisi pembagian harta waris di luar sengketa dapat dilakukan berdasarkan

pasal 107 UU Peradilan Agama jo. 236 a HIR.


4) Sengketa Milik
Pasal 50 UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun
2009 menyatakan :
(1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana

dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih
dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subyek
hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh
Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

BAB III
KESIMPULAN
A. Hukum acara peradilan agama hanya berlaku bagi masyrakat yang beragama islam
(khusus) sedangkan hukum acara perdata berlaku bagi masyarakat umum.
B. Sumber hukum acara peradilan agama ialah UU no 7 tahun 1989 tentang peradilan
agama . sedangkan sumber hukum acara perdata ialah, HIR (dalam jawa) dan RBG (luar
jawa dan madura)
C. Tata cara berperkara Hukum acara perdata yaitu gugatan, mediasi, jawaban, replik,
duplik, pembuktian dan kesimpulan. Sendangkan dalam acara peradilan agama contoh alam
bidang perkawinan
Permohonan dispensasi umur kawin
Permohonan izin kawin
Permohonan penetapan wali adhol
Permohonan penetapan perwalian
Permohonan penetapan asal-usul anak
D.

Hukum acara peradilan agama hanya memperkarakan kasus kasus tertentu atau

khusus, sedangkan hukum acara perdata

1. SARAN
1.1 Disarankan para mahasiswa menambah lagi wawasan dari berbagai referensi. Hukum
acara peradilan agama.
1.2 Sukuri apa yang telah allah berikan kepada kita agar kita bisa tetap menerima diri kita
apa adanya dan tidak berpuas dalam mencari ilmu (hukum) dan fokus pada cita cita

BAB 1
SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
A.

UU No. 14/1970 Yang Diganti Dengan UU No. 4/2004

Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara


kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan
kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam
mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang
menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman
serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan
putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan
organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung
dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.
Kekuasaan

kehakiman

adalah

kekuasaan

negara

yang

merdeka

untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan


Pancasila,

demi

terselenggaranya

Negara

Hukum

Republik

Indonesia.

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan


badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.Mahkamah Agung merupakan
pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan. Dan semua putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.

Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara


kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan
kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam
mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang
menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman
serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan
putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan
organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung
dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.
B.

UU No. 1 tahun 1974

Dalam

Undang-Undang

ini

diatur

mengenai

dasar

perkawinan,

syarat-syarat

perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak


dan kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta
akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian,
ketentuan-ketentuan lain, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti
Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus
menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama
ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat
kita.Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai
perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini adalah
sebagai berikut:
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu
suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil
dan material.
2. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana

dilakukan

menurut

hukum

masing-masing

agamanya

dan

kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan


adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat
keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.
3. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh
yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian
perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu
dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila
dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
4. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah
masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu,
perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah
bahwa batas umur yang lobih rendah bagi seorang wanita untuk kawin
mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka
undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun
bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun
bagi wanita.
5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal
dan sejahtera, maka undang- undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di
depan Sidang Pengadilan.
6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
baik dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat,
sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan
C.

dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.


UU No. 14/1985 Yang Telah Diganti Dengan UU No. 5/2004

Mahkamah

Agung

adalah

salah

satu

pelaku

kekuasaan

kehakiman

sebagaimanadimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945. Susunan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera,
danseorang sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah hakim
agung dan hakim agung paling banyak 60 orang. Pimpinan Mahkamah Agung terdiri
atas seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda.Wakil Ketua

Mahkamah Agung terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial.Wakil ketua bidang yudisial membawahi ketua muda perdata, ketua muda
pidana,

ketua

muda

usahanegara.Pada

agama,

setiap

ketua

muda

pembidangan,

militer,

Mahkamah

dan
Agung

ketua

muda

dapat

tata

melakukan

pengkhususan bidang hukum tertentu yang diketuaioleh ketua muda.Wakil ketua bidang
non-yudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketuamuda pengawasan. Masa
jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung selama 5 (lima) tahun.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa
Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara adalah
pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, di samping Mahkamah Konstitusi, untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selain itu,
ditentukan pula Mahkamah Agung mempunyai wewenang mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan
kewenangan

lainnya

yang

diberikan

oleh

undang-undang.

Undang-Undang ini memuat perubahan terhadap berbagai substansi Undang-Undang


No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Perubahan tersebut, di sampingguna
disesuaikan dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara

Republik

Undangmengenai

Indonesia
kekuasaan

Tahun

1945,

kehakiman

juga

baru

didasarkan

yang

atas

Undang-

menggantikan

Undang-

UndangNomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan


Kehakimansebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
tentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuanketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
Berbagai substansi perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain tentangpenegasan
kedudukan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, syarat-syarat
untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, serta beberapa substansi yang menyangkut
hukum acara, khususnya dalam melaksanakan tugas dan kewenangan dalam
memeriksa dan memutus pada tingkat kasasi serta dalam melakukan hak uji terhadap
peraturan

perundang-undangan

di

bawah

undapat

dimintakan

kasasi

kepada

Mahkamah Agung. Pembatasan ini di samping dimaksudkan untuk mengurangi


kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan
untuk mendorong peningkatan kualitasputusan pengadilan tingkat pertama dan
pengadilan tingkat banding sesuai dengannilai-nilai hukum dan keadilan dalam

masyarakat.
Dengan bertambahnya ruang lingkup tugas dan tanggung jawab Mahkamah
Agungantara lain di bidang pengaturan dan pengurusan masalah organisasi,
administrasi,dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, maka
organisasiMahkamah Agung perlu dilakukan pula penyesuaian.
D. UU No. 7/1989 Yang Telah Diganti Dengan UU No. 3/2006
Dalam Undang-Undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama
diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum
masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi
ekonomi syari'ah. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-Undang ini pula, kalimat
yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang menyatakan: "Para Pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian
warisan",
Undang-Undang

dinyatakan
Nomor

Tahun

2004

dihapus.
tentang

Kekuasaan

Kehakiman

menegaskanadanya pengadilan khusus yang dibentuk dalam salah satu lingkungan


peradilan dengan undang-undang. Oleh karena itu, keberadaan pengadilan khusus
dalam lingkungan Peradilan Agama perlu diatur pula dalam Undang-Undang ini.
Penggantian dan perubahan Undang-Undang tersebut secara tegas telah mengatur
pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari semua lingkungan peradilan ke
Mahkamah Agung. Dengan demikian, organisasi, administrasi, dan finansial badan
peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang sebelumnya masih berada di bawah
Departemen Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama perlu disesuaikan. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengalihan ke Mahkamah Agung telah
dilakukan. Untuk memenuhi ketentuan dimaksud perlu pula diadakan perubahan atas
Undang-Undang

Nomor

Tahun

1989

tentang

Peradilan

Agama.

Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman
untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan
perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Dengan penegasan
kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum

kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebut, termasuk


pelanggaran atas Undang-Undang tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya
serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syar'iyah dalam melaksanakan
kewenangannya

di

bidang

jinayah

berdasarkan

ganun.

Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya


meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibu kota
provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
E. PP No. 9 Tahun 1975
Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang masalah pencatatan
perkawinan,tatacara pelaksanaan perkawinan, tatacara perceraian, cara mengajukan
gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan,
pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang

dan

sebagainya.

Karena untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan langkah-langkah


persiapan dan serangkaian petunjuk petunjuk pelaksanaan dari berbagai Departemen
atau Instansi yang bersangkutan, khususnya dari Departemen Agama, Departemen
Kehakiman dan Departemen Dalam Negeri, sehingga segala sesuatu dapat berjalan
tertib

dan

lancar,

maka

perlu

ditetapkan

jangka

waktu

enam

bulan

sejak

diundangkannya Peraturan Pemerintah ini untuk mengadakan langkah-langkah


persiapan tersebut.
F. HIR, Rbg, dan RV
HIR

(Het

Herziene

Indonesisch

Reglement)

Reglemen tentang melakukan tugas kepolisian, mengadili perkaraperdata dan


penuntutan hukuman bagi bangsa Indonesia danbangsa Timur Asing di Jawa dan
Madura.
Dalam Reglemen Indonesia yang Diperbarui (RIB) ini hanya dimuat hal-hal yang
berkaitan dengan perkara perdata, hal-hal yang menyangkut perkara pidana diatur
dengan Kitab Undang-undang HukumAcara Pidana dan peraturan pelaksanaannya.
Dalam reglemen ini memuat:
1. Hal melakukan tugas kepolisian, yang meliputi kepala desa dan semua bawahan
polisi yang Lain

2. Hal mengadili perkara perdatayang termasuk wewenang pengadilan negeri.


RBG (Rechtsreglement Buitengewesten)
Reglemen Untuk Daerah Seberang berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura. Dalam
reglemen ini memuat:
1. Cara mengadili perkara perdata yang dalam tingkat pertama menjadi
wewenang pengadilan Negeri yang meliputi:

Pemeriksaan di Sidang pengadilan

Musyawarah dan Keputusan pengadilan

Banding.

Pelaksanaan keputusan hukum

Beberapa acara khusus

Izin berperkara tanpa biaya


2. Bukti dalam perkara perdata
RV (Reglement of de Rechtsvordering)
RV adalah hukum perdata eropa yang dibawa oleh belanda ke Indonesia. Tapi ternyata
tidak cocok dengan Indonesia, oleh karena itu kemudian diadakan penyesuaianpenyesuaian dan dibentuklah HIR. Kemudian setelah beberapa lama, terjadi ketidak
sesuaian dengan daerah luar Jawa dan Madura, maka dibentuklah RBg.
BAB II
HUBUNGAN HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA DENGAN HUKUM ACARA PERDATA
A.

Pengertian Hukum Acara Perdata

Sebelum membicarakan pengertian Hukum Acara Peradilan Agama, perlu diketahui


bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di
Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 35 Tahun 1999 serta dengan melihat UU No. 5 th.2004.
Tugas utama Peradilan Agama ialah menerima, memeriksa, mengadili dan memutus
serta menyelesaikan perkara perdata tertentu antara orang-orang yang beragama Islam.

(Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo pasal 49


& 50 UU No. 4 Th. 2006).
Untuk mengetahui hukum acara Peradilan Agama, terlebih dahulu kita harus
mengetahui pengertian hukum acara perdata karena Peradilan Agama hanya
berwenang memeriksa perkara-perkara perdata dan menurut ketentuan pasal 54
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku pada Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus
dalam Undang-Undang ini.
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya
menjamin ditaatinya hukum perdata materiel dengan perantaraan Hakim. Dengan
perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan
bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiel. Lebih konkrit lagi
dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya
memajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan daripada
putusannya.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan yang
memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan
cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan
berjalanya peraturan hukum perdata.
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.ialah peraturan hukum yang mengatur
bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara
hakim. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana
caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Hukum acara perdata yang
mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan
dan pelaksanaan dari pada putusanya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah
tindakan yang bertujuan memperolah perlindungan hukum yang diberikan oleh
pengadilan untuk mencegah eigenrichting atau tindakan menghakimi sendiri.
Dari dua pengertian tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa hukum
acara Peradilan Agama ialah pertaturan hukum yang mengatur tentang bagaimana
mentaati dan melaksanakan hukum perdata materiel dengan perantaraan Pengadilan
Agama termasuk bagaimana cara bertindak mengajukan tuntutan hak atau permohonan

dan bagaimana cara Hakim bertindak agar hukum perdata materiel yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama berjalan sebagaimana mestinya.
B. Hubungan Peradilan Agama Dengan Hukum Perdata
Seperti telah diuraikan di atas bahwa berdasarkan ketentuan pasal 54 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum
acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam Undang-Undang tersebut, oleh karena itu ketentuan-ketentuan
umum yang berlaku dalam hukum acara perdata berlaku juga dalam hukum acara
Peradilan Agama. Jadi hubungan hukum acara Peradilan Agama dengan hukum acara
perdata adalah sumber hukumnya dan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagian
besar adalah sama.

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan

Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Peradilan Agama telah
ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan
menurut pakar Sejarah Peradilan, Peradilan Agama telah ada sejak abad ke-16. Dalam
sejarah yang dibukukan oleh Departemen Agama yang berjudul Seabad Peradilan
Agama di Indonesia, tanggal 19 Januari 1882 ditetapkan sebagai Hari Jadinya, yaitu
berbarengan dengan diundangkannya ordonantie stbl.1882-152, tentang Peradilan
Agama di Pulau Jawa Madura.
Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya ditaati dan
dilaksanakan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, Peradilan Agama belum
pernah memiliki undang-undang tersendiri tentang susunan, kekuasaan dan acara,
melainkan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak
merupakan kesatuan, dan tidak pula seragam.
Namun kini Peradilan Agama telah mempunyai UU tersendiri, yaitu UU No. 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama. Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan
diundangkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut
merupakan rangkaian dari undang-undang yang mengatur kedudukan dan kekuasaan
Peradilan di negara RI. Selain itu, UU tersebut melengkapi UU Mahkamag Agung No.
14 Tahun 1985, UU Peadilan Umum No. 2 Tahun 1986 dan UU Peradilan Tata Usaha
Negara No. 5 Tahun 1986. Dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, kedudukan dan kekuasaan Pengadilan Agama setara dengan Lembaga
Pengadilan lainnya.
Daftar Pustaka:

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia.

Prof. Drs. H. Abdul Manan, S.H., SIP.M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama.

A. Mukti Arto, H. Drs., SH. Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1996.

Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan


Peradilan Agama, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam, 2001.

Mahkamah Agung RI., Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan,


Buku II Edisi Revisi, 1997.

Retnowulan Sutantio, SH dan Iskandar Oeripkartawinata, SH. Hukum Acara Perdata


Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1989.

Yahya Harahap, M., SH. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Pustaka Kartini, 1990.

Ringkasan Buku Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia


Ringkasan Buku Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, Author: Hj. Sulaikin Lubis,
SH. MH, Hj. Wismar Ain Marzuki SH, Gemala Dewi SH. LL.M

BAB I
KONSEP-KONSEP DASAR
DAN SUMBER SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

A. Konsep-Konsep Dasar

1.

Pengadilan agama adalah tempat di mana dilakukan usaha mencari keadilan dan kebenaran yang
diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa yakni melalui suatu majelis Hakim atau Mahkamah.

2.

Hakim adalah penjabat yang berwenang menghukumi suatu tindak pidana atau suatu pertengkaran
dengan menjatuhi hukuman kepada pelaku pidana atau dengan memerintahkan kepada pihak yqang
terkalahkan untuk mengembalikan hak kepada pihak yang terkalahkan untuk mengembalikan hak
kepada pihak yang sebenarnya dan menolak kezhaliman..

3.

Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim
dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius)
Putusan hakim peradilan agama adalah pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di lingkungan Peradilan Agama yang berkekuatan
hukum yang sah dalam hal sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan kewenangan
Peradilan Agama sebaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 tahun 2006

B. Sumber-Sumber Hukum
Dasar Hukum Peradilan Agama dan pentingnya keputusan hakim antara lain:
1. Dasar Hukum Al-Quran
a)

QS. Al-Baqarah (1): 30 : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: " Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ". Mereka berkata:" Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? "Tuhan
berfirman:" Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui ".

b)

QS. Al-Baqarah (1): 231 : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara
yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat
zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah
nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah.
Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada
Allah serta ketah (11)

c)

QS. An-Nisa (4) : 58 : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(13)
2. Dasar Hukum Hadist

a)

Warta dari Abdullah bin Amr menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: Tidak halal
bagi tiga orang yang berada di tanah lapang,kecuali mereka mengangkat pimpinan salah satu seorang
dari mereka (HR Ahmad) (23)

b)

Dari Abi Said bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: apabila keluar tiga orang dengan maksud
hendak bepergian . hendaklah salah satu diantaranya ada yang dijadikan penanggung jawab. (HR.
Abu Daud)

c)

Dari Amar bin Ash ra. Bahsanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: Apabila Hakim
menjatuhkan hukum dengan berijtihat dan ijtihatnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala dan
kalau dia menjatuhkan hukum dengan berijtihat kemudian ijtihatnya salah, maka ia mendapatkan satu
pahala.

BAB II
KEDUDUKAN DAN PELAKSANAAN HUKUM ISLAM
DALAM NEGARA REBUPLIK INDONESIA

A. Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan merupakan bagian agama Islam. Hukum
Islam dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyu Nya yang dijelaskan oleh nabi Muhammad saw
sebagai rasulNya melalui sunnah beliau, dasar inilah yang membedakan hukum Islam secara
fundamental dengan hukum yang lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan hasil pemikiran atau
buatan manusia belaka.
Ali Said menegaskan bahwa di samping hukum adat dan hukum eks barat, hukum Islam yang
merupakan salah satu komponenin tata hukum Indonesia menjadi salah satu bahan baku
pembentukan hukum nasional Indonesia

B. Pelaksanaan Hukum Islam


Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia dilakukan melalui berbagai jalur
1)

Jalur pertama adalah jalur iman dan takwa,

2)

Jalur kedua yaitu jalur peraturan perundang-undangan

3)

Pelaksanaan hukum Islam bidang muamalah

4)

Melalui BAMUI (badan Arbitrase Muamalah Indonesia) yang didirikan oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pusat ini para pengusaha, pedagang dan industriawan atas kesepakatan bersama
dapat memilih hukum Islam untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai (di luar pengadilan)

5)

Jalur kelima melaksanakan dalam makna menerapkan hukum Islam dilakukan oleh lembaga pusat
penelitian obat/kosmetik dan makanan (LPPOM) yang juga didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia

6)

Jalur keenam yaitu jalur pembinaan atau pembangunan hukum nasional

BAB III
SEJARAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

A. Masa (periode) Prapemerintahan Hindia Belanda


Praktik pelaksanaan hukum acara Peradilan Agama pada waktu itu masih sangat sederhana,
yang pada perkembangannya dikenal pembentukannya dalam 3 (tiga) periode yaitu :
1.

Tahkim kepada Muhakam


Ketika pemeluk agama Islam masih sedikit, wujud Peradilan Agama belum seperti sekarang
ini, pada masa itu bila terjadi perselisihan atau sengketa, di antara anggota masyarakat, di selesaikan
dengan cara bertahkim kepada guru atau mubaligh yang dianggap mampu dan berilmu agama. Orang
yang bertindak sebagai hakim, disebut muhakam.

2.

Masa (periode Ahlul Hilli WalAqdi)


Ketika penganut agama Islam telah bertambah banyak dan terorganisir dalam kelompok
masyarakat yang teratur, jabatan hakim atau qadhi dilakukan secara pemilihan dan baiat oleh ahlul
hilli walaqdi, yaitu pengangkatan atas seorang yang dipercaya ahli oleh majelis atau kumpulan
orang-orang terkemuka dalam masyarakat.

3.

Masa (Perode) Tauliyah


Ketika masyarakat Islam telah berkembang menjadi kerajaan Islam, pengangatan jabatan
hakim (qadhi) dilakukan dengan pemberian tauliyah yakni pemberian atau pendelegasian kekuasaan
dari penguasa.

B. Masa (periode) Transisi


Pada tanggal 4 Maret 1620 dikeluarikan instruksi agar di daerah yang dikuasai kompeni
(VOC) harus diberlakukan hukum sipil Belanda, antara lain dalam soal kewarisan. Instruksi tersebut
tidak dapat dilaksanakan karena mengalami kesulitan akibat perlawanan dari pihak Islam. Sedang
masalah hukuman badan dan hukuman mati tidak ditanggapi oleh masyarakat Islam. Berlakunya
hukum perdata Islam diakui oleh VOC dengan Resolutie der Indische Regeling tanggal 25 Mei 1760,
yaitu, berupa suatu kumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan menurut hukum Islam,
atau compendium freijer, untuk dipergunakan pada pengadulan VOC.

Juga terdapat kumpulan-kumpulan hukum perkawinan dan hukum kewarisan menurut hukum
Islam yang dibuat dan dipakai di daerah-daerah lain, yaitu Cirebon, Semarang, dan Makasar.

C. Masa Pemerintahan Hindia Belanda


Pada tahun 1854 Pemerintah Belanda mengeluarkan pernyataan politik yang dituangkan dalam
Reglement op het beleid der regeerings van Nederlandsch Indie yang disingkat menjadi Regeerings
Reglement (RR) dan dimuat di dalam Stbl. Belanda 1854 No. 129 dan sekaligus dimuat di dalam Stbl.
Hindia Belanda Tahun 1855 No. 2. Dalam pasal 75, 78 dan 109 Regeerings Reglement (RR) Stbl.
1855 : 2 ditegaskan berlakunya undang-undang (hukum) Islam bagi orang Islam Indonesia. Secara
rinci, terjemahan dari bunyi pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :
1)

Pasal 75 ayat (3) : Oleh hakim Indonesia hendaklah diberlakukan UU Agama (godsdienstige
wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia.

2)

Pasal 75 ayat (4): UU agama, instelling dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka oleh hakim
Eropa pada pengadilan yang lebih tinggi, bila terjadi pemeriksaan banding.

3)

Pasal 78 (2) : Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau yang
dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk kepada putusan hakim agama atau kepala
masyarakat mereka menurut UU agama (godsdienstige weeten) atau ketentuan-ketentuan lama
mereka.

4)

Pasal 109 merupakan penjelasan lebih lanjut dari kedua pasal di atas. Pasal ini berbunyi sebagai
berkut : Ketentuan termaksud dalam pasal 75 dan 78 itu berlaku pula bagi mereka yang
dipersamakan dengan inlander, yaitu orang Arab, orang Moor, orang Cina dan semua mereka yang
beragama Islam dan orang-orang yang tidak beragama.

D. Masa Pemerintahan Hindia Belanda II


Theorie Receptie : Masa itu terjadi perubahan-perubahan mengenai pasal-pasal RR tersebut.
Antara lain atas anjuran C. van Vollenhoven, dan Snouck Hurgrounje. Pada tahun 1925 regering
reglement diubah namanya menjadi : IS (Wet Op de Staats Inrichting Van Nederlands Indie). Dengan
Stbl 1925 tersebut. Dan dalam kaitannya dengan lembaga Peradilan Agama, pada tahun 1929 baru
diadakan perubahan mengenai isi dari IS, yaitu dengan Stbl. Tahun 1929 No. 221 Pemerintah Hindia
Belanda mengubah pasal 134 ayat (2) IS, sehingga dinyatakan bahwa : Dalam hal terjadi perkara
peerdata antara sesame orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat
mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi.
Sejak saat itu, bermulalah suatu masa dimana seakan-akan masyarakat Indonesia telah
merasakan sebagai suatu hal yang benar dan biasa saja bahwa hukum Islam itu bukan hukum di
Indonesia dan telah tertanam dalam pikiran orang khususnya kalangan sarjana hukum bahwa yang
berlaku adalah hukum adat. Dan hanyalah kalau hukum Islam itu menjadi hukum adat barulah
menjadi hukum.

E. Masa (Periode) Penjajahan Jepang


Pada masa pemerintahan Jepang ini lembaga Pengadilan Agama yang sudah ada pada masa
penjajahan Belanda, tetap berdiri dan dibiarkan dalam bentuknya semula. Perubahan lembaga ini
hanyalah dengan memberikan atau mengubah nama saja, yaitu Sooryoo Hooin untuk Pengadilan
Agama dan Kaikyoo Kootoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi (Pengadilan Tinggi Agama).
Meninjau secara ringkas tentang keadaan peradilan di seluruh Indonesia pada zaman Jepang
adalah sukar sekali, oleh karena daerah kekuasaan yang berbeda, yakni Sumatera adalah termasuk
daerah Angkatan Darat yang berpusat di Shonanto (Singapura), Jawa Madura dan Kalimantan adalah
daerah Angkatan Darat yang berpusat di Jakarta. Sedang Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara adalah
daerah Angkatan Laut yang berpusat di Makasar.

F. Masa Setelah Kemerdekaan Indonesia


1. Tahun 1945 1957
Pada tahun 1946 dikeluarkan Undang-undang No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak, dan Rujuk yang berlaku untuk seluruh Indonesia dengan Undang-undang No. 32 tahun 1954.
Namun, peraturan tentang pelaksanaan tugas Peradilan Agama, seperti yang dimaksud dalam undangundang Darurat No. 1 Tahun 1951 belum ada sama sekali.
Dalam pasal 4 ayat 1 PP No. 45 tahun 1957 disebutkan wewenang Pengadilan Agama /
Mahkamah Syariah adalah, memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami isteri yang
beragama Islam, dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama
Islam yang berkenaan dengan Nikah, thalaq, ruju, fasach, nafaqah, mas kawin (mahar), tempat
kediaman (maskan) mutah dan sebagainya, hadhanah, perkara waris mal waris, wakaf, hibah,
sedekah, baitulmal dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara
perceraian dan mengesahkan bahwa syrat taklik sudah berlaku.
Dalam pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa, Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah tidak
berhak memeriksa perkara-perkara yang tersebut dalam ayat 1, kalau untuk perkara-perkara itu
berlaku lain daripada hukum agama Islam. Uraian lebih lanjut mengenai pendirian Pengadilan
Agama/Mahkamah Syariah diluar Jawa dan Madura dapat dibaca dan dipelajari H.M. Djamil Latif,
dalam buku Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia (Bab I dan II) serta H. Zaini
Ahmad Noeh, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia (Bab I dan II).

2. Tahun 1957-1974
Pada masa itu pemerinah sedang menyusun suatu Undang-undang Perkawinan, yang
ditetapkan berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 2 ayat 1
disebutkan bahwa Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing. Pasal 2
ayat 2 Perkawinan harus dicatat dalam undang-undang ini tercakup ketentuan Hukum Perkawinan
Islam yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits. Dalam penjelasan Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 tahun
1974 disebutkan enam (6) alasan perceraian, dalam hal ini dicantumkan kembali dalam pasal 19 PP.
No. 9 tahun 1975 sebagai Peraturan Pelaksanaan Undang-undang ini.

Dalam pasal 63 ayat 1 ditegaskan bahwa, yang dimaksud dengan pengadilan dalam undangundang ini ialah :
a)

Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam

b)

Pengadilan umum bagi lainnya.

Setelah berlakunya UU No. 1 tahun 1974 dan setalah berlakunya UU No. 7 tahun 1989,
terdapat 16 hal yang merupakan wewenang Pengadilan Agama. Selanjutnya dikeluarkan peraturan
Menteri Agama (PMA) No. 3 tahun 1975 tentang kewajiban Pegawai pencatat nikah.

3. Tahun 1974-1989
Dengan Keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1980, nama Pengadilan Agama yang berbedabeda untuk seluruh Indonesia, di seragamkan dengan sebutan atau istilah Pengadilan Agama untuk
Pengadilan Tingkat Pertama, dan Pengadilan Tinggi Agama untuk Pengadilan Tingkat Banding di
seluruh Indonesia.
Pada tahun 1985 dikeluarkan UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam pasal
1 ditetapkan bahwa, Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi Negara sebagaimana dimaksud dalam
ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia No. III MPR/1978. Dalam pasal 2 ditetapkan
bahwa Mahkamah Agung adalah pengadilan Negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang
dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.

4. Tahun 1989-1999
Setelah berlakunya UU No. 7 tahun 1989, dikeluarkan tiga peraturan, yaitu :
a)

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 tahun 1990, tanggal 2 Maret 1990 tentang Petunjuk
Pembuatan Penetapan sesuai pasal 84 ayat 4 UU No. 7 1989.

b)

Surat Edaran Menteri Agama nomor 2 tahun 1990 tentang petunjuk Pelaksanaan UU no. 7 tahun
1989 dan

c)

Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

5. Peradilan Agama dalam Sistem Peradilan Menurut UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun
1999 Serta UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Meskipun ada perubahan terhadap pasal 11 UU No. 14 Tahun 1970, yang menyatakan bahwa
secara organisatoris, administrative dan finansial Peradilan Agama berada di bawah Mahkamah
Agung, namun baik sebelum atau sesudah lahirnya UU No. 35 Tahun 1999, Peradilan Agama tidak
mengalami perubahan seperti yang ditentukan terhadap lingkungan peradilan yang lain yaitu dalam
waktu lima tahun secara bertahap sudah harus berada di di bawah Mahkamah Agung.

Saat ini pengaturan mengenai struktur organisasi, administrasi dan finansial lembaga Peradilan
Agama ke satu atap yaitu di bawah Mahkamah Agung telah semakin kokoh dengan keluarnya UU
No. 3 tahun 2006 yang mengaturnya lebih lanjut pada Pasal I angka 4 mengenai perubahan bunyi
Pasal 5 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 yang berbunyi Pembinaan teknis peradilan, organisasi, dan
finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan pada pasal 1 angka 6 juga
terdapat penyesuaian terhadap bunyi Pasal 12 ayat (1) UU Peradilan Agama tersebut sehingga
berbunyi : Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah
Agung.

BAB IV
KERANGKA HISTORIS PEMBENTUKAN UU No. 7 TAHUN 1989
TENTANG PERADILAN AGAMA

A. Latar Belakang Penyusunan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama


Dalam kurun waktu 28 tahun proses pembentukan UU No 7 tahun 1989, dapatlah dibagi
kedalam 4 periode penting, yaitu :

1.

Periode 1961 sampai dengan 1971


Pada masa 10 tahun persiapan intern, dimulai dengan keluarnya UU No 19 tahun 1964 mengenai
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana dinyatakan bahwa peradilan agama merupakan salah
satu ruang lingkup peradilan di Indonesia dengan Makamah Agung sebagai puncaknya dan secara
organasatoris, administrasi, financial berada pada departemen masing-masing. Pada priode inilah
departemen agama menghasilkan dua Rancangan undang-undang, RUU tentang susunan dan
kekuasaan agama, dan RUU tentang Acara Pradilan Agama.

2.

Periode 1971 sampai dengan 1981


Tahap dimana langka-langkah kongrit telah dilakukan secara peraturan perundang-undangan oleh
departemen agama dengan dilandasi oleh peraturan UU No. 14 tahun 1970 pasal 10 (1) serta Instruksi
presiden no 15 tahun 1970 tentang tata cara Persiapan RUU dan PP pasal 1. atas landasan inilah
menteri agama mengajukan 2 draf rancangan undang-undang. Dengan disyahnkannya UU
perkawinan, maka kekuasaan peradilan agama diperluas dalam menagani kasus perkawinan. Proses
penyiapan RUU PA terhambat oleh proses persiapan RUU peradilan umum dan RUU tentang MA.
Pada tahun 1977, MA mengeluarkan peraturan no 1/1977 yang memberlakukan acara kasasi peradilan
perdata umum terhadap perkawinan yang berasal dari peradilan agama.

3.

Periode 1981 sampai dengan 1988


Berdasarkan tata tertip DPR, maka pembicaraan RUU PA melalui tahap-tahap :

a)

Pada tingkat pertama, terjadi perdebatan yang sangat singit, dimana kelompok yang tidak
menyetujui RUU PA dibahas mempermasalahkan dasar pembentukan RUU PA berupa UUD 1945
pasal 24 dan pasal 25 serta UU No 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman.

b)

Pada tahap kedua, dimana disampaikannya pandangan umum fraksi-fraksi dan pendapat pemerintah
berjalan cukup memadai.

c)

Pada tahap ketiga, dibentuknya pansus RUU PA, dan pansus membentuk rencana kerja sebagai
persiapan pengesahan RUU PA menjadi UU pada tahap ke Empat.

d)

Pada tahap ke empat, pada tanggal 29 Desemer 1989 RUU PA disahkan.

B. Sistematika UU PA
UU No 7 Tahun 1989 terdiri dari 7 Bab dan 108 pasal, dengan susunan sebagai berikut :
1)

BAB I Tentang ketentuan umum Memuat mengenai pengertian, kedudukan dan pembinaan
pengadilan dalam lingkup peradilan agama.

2)

BAB II Mengenai susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi.

3)

BAB III Mengenai Kekuasaan Pengadilan dalam lingkup peradilan agama.

4)

BAB IV Mengatur Hukum Acara

5)

BAB V menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para
hakim, panitera dan juru sita.

6)

BAB VI mengenai peraturan peralihaan

7)

BAB VII mengenai ketentuan penutup

C. Beberapa Perubahaan Yang Terjadi Setelah Berlakuknya UU No 7 Tahun1989


Dengan disahkannya UU No 7 tahun1989, maka terajdi perubahan-perubahan dalam lingkup
peradilan agama. Yaitu perubahaan mengenai :
1)

Peradilan agama menjadi peradilan yang mandiri

2)

Seragamnya peradilan agama seluruh RI

3)

Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan

4)

Adanya juru sita, dan tidak diperlukannya lagi pengukuhan keputusan dari Pengadilan Umum

5)

Terlaksananya ketentuan pokok undang-undang kehakiman

6)

Terlaksananya pembangunan hokum berwawaskan nusantara.

BAB V
ASAS-ASAS UMUM YANG TERDAPAT DALAM UU NO. 7 TAHUN 1989 TENTANG
PERADILAN AGAMA

A. Asas Personal Keislaman


Asas personalita keislaman dimana yang dapat tunduk dalam kekuasaan lingkungan Peradilan
Agama yani hanya mereka yang mengakui pemeluk Agama Islam. Penganut Selain agama Islam atau
non Islam tidak tunduk dan tidak dapat dipaksa tunduk kepada lingkungan Pengadilan Agama.

B. Asas Kebebasan
Dalam hal ini agar hokum dapat ditegakan berdasarkan pancasila, akan tetapi kebebasan
kehakiman bukanlah kebebasan yang membabi buta akan tetapi terbatas dan relative.diantaranya:

Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lain,

Bebas dari paksaan

Kebebasan melaksanakan wewenang judical (peradilan)

C. Asas Wajib Mendamaikan


Asas mendamaikan dalam Peradilan Agama sejalan dengan konsep Islam yang
dinamakanIshlah. Untuk itu layak sekali para hakim Peradilan Agama menyadari dan mengemban
fungsi mendamaikan karena bagaimanapun seadil-adilnya putusan jauh lebih baik dan lebih adil
jika perkara diselesaikan dengan perdamaian.

D.

Asas Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan

Sebuah Peradilan apalagi Peradilan Agama yang menjadi harapan masyarakat muslim untuk
mencari keadilan, dengan adanya Asas Sederhana , cepat dan biaya ringan akan selalu dikehendaki
oleh masyarakat..

E.

Asas Terbuka Untuk Umum

Setiap pemeriksaan berlangsung disidang pengadilan, siapa saja yang ingin berkunjung,
menghadiri, menyaksikan, dan mendengarkan jalanya persidangna tidak boleh dihalangi dan dilarang,
maka untuk memenuhi syarat formal atas asas ini, sebelum hakim melakukan pemeriksaan lebih
dahulu menyatakan dan mengumumkan persidangan terbuka untuk umum.
F.

Asas Legalitas Dan Persaman

Yakni pengadilan mengadili menurut ketentuan-ketentuan hukum. Karena hakim berfungsi dan
berwenang mengerkan roda jalanya peradilan melalui badan pengadilan, semua tindakan yang
dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan, mesti menurut hukum

G. Asas Aktif Memberi Bantuan


Dalam asas ini hakim hendaknya dapat memberi bantuan secara akif dilihat dari tujuan dari
memberi bantuan diarahkan untuk mewujudkan peraktek peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan.

BAB VI
SUSUNAN PERADILAN AGAMA DAN APARATNYA

A. Susunan Oranisasi Pengadilan Agama


Susunan Pengadilan Agama yang terdapat dalam pasal 9 undang-undang nomor 7 tahun 1989
adalah tidak berbeda dengan susunan pengadilan negeri, yaitu terdiri dari pimpinan, hakim anggota,
panitera, sekretaris dan juru sita sedangkan susunan Pengadilan Tinggi Agama adalah pimpinan,
hakim anggota, panitera, dan sekretaris.
1)

Pimpinan
Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil ketua.

2)

Hakim Anggota
Pada umumnya ketentuan yang menyangkut persyaratan untuk menjadi hakim dan lain
sebagainya antara Hakim . Syarat-syarat untuk menjadi hakim agama haruslah beragama Islam dan
Sarjana Syariah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam.

3)

Panitera
Di Pengadilan Agama seorang panitera harus beragama Islam dan berlatar belakang
pendidikan Islam atau menguasai hukum Islam. Untuk Pengadilan Tinggi Agama persyaratan yang
harus dipenuhi untuk menjadi panitera adalah orang tersebut memiliki ijazah sarjana syariah atau
sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, sedangkan persyaratan yang lainnya tidak berbeda
dengan persyaratan untuk menjadi panitera Pengadilan Tinggi.

4)

Sekretaris

Di Pengadilan Agama juga ada sekretaris yang dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh
seorang wakil sekretaris dimana jabatan sekretaris dirangkap oleh panitera pengadilan

5)

Juru Sita
Untuk menjadi juru sita, diisyaratkan harus mempunyai pengalaman minimal 5 (lima) tahun
sebagai juru sita pengganti, selain itu orang tersebut haruslah Warga Negara Indonesia, beragama
Islam, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, dan berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas.
BAB VII
WEWENANG ATAU KOMPETENSI PERADILAN AGAMA

A. Kompetensi Absolut.
Wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan,
dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili, dan dalam
bahasa Belanda disebut attributie van rechtmacht. Misalnya persoalan mengenai perceraian bagi
mereka yang beragama Islam berdasarkan ketentuan pasal 63 ayat 1) huruf a UU No. 1 Th. 1974
adalah wewenang pengadilan agama. Sedangkan persoalan warisan, sewa-menyewa, utang-putang,
jual-beli, gadai adalah merupakan wewenang pengadilan negeri. Wewenang mutlak menjawab
pertanyaan badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa ini ?

B. Kompetensi Relatif
Kompetensi Relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan Agama
yang serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat. Pasal 118 HIR menyangkut kekuasaan relatif,
yang dalam bahasa Belanda disebut distributie van rechtsmacht. Azasnya adalah yang berwenang
Pengadilan Agama di tempat tergugat. Azas ini dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan Actor
Sequitur orum Rei.
Apa itu tempat tinggal ? dan apa pula yang dimaksud dengan tempat kediaman ? Perbedaan ini
perlu dipahami dengan sebaik-baiknya, oleh karena dalam pasal 118 HIR di samping tempat tinggal
menyebut pula tempat kediaman.
Pasal 17 BW menyatakan, bahwa tempat tinggal seorang adalah tempat dimana seseorang
menempatkan pusat kediamannya, dan juga tercatat sebagai penduduk. Sedang tempat kediaman
adalah dimana seseorang berdiam, mungkin di rumah peristirahatannya di Puncak. Sehingga apabila
seseorang pindah tanpa meninggalkan alamat barunya, dan tempat tinggalnya ataupun tempat
kediamannya tidak diketaui, maka ia digugat pada pengadilan tempat tinggalnya yang terakhir dan
dalam surat gugatan disebutkan paling akhir bertempat tinggal , umpamanya di Jalan Kramat No. 15
Jakarta, sekarang alamat tidak diketahui. Sehingga gugatan diajukan ke Pengadilan Agama di
Jakarta.Pusat.

BAB VIII
PROSES ADMINISTRASI DAN PENGAJUAN PERMOHONAN
DI PENGADILAN AGAMA

A. Perkara Cerai Talak

1. Prosedur
a) Langkah yang harus dilakukan Pemohon (suami / kuasanya) :
1)

Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah
( pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 66 UU nomor 7 tahun 1989 ).

2)

Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syariyah
tentang tata cara membuat surat permohonan ( pasal 119 HIR 143 Rbg jo pasal 58 UU nomor 7 tahun
1989 ).

3)

Surat permohonan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika Termohon
telah menjawab surat permohonan tersebut harus atas persetujuan Termohon.

b) Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syariyah :


1)

Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon ( pasal 66 ayat (2) UU no 7 tahun
1989 ).

2)

Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Pemohon,
maka permohonan harus diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syariyah yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon ( pasal 66 ayat (2) UU no 7 tahun 1989 ).

3)

Bila Termohon berkediaman diluar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama /
Mahkamah Syariyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon ( pasal 66 ayat (3)
UU no 7 tahun 1989 ).

4)

Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman diluar negeri, maka permohonan diajukan kepada
Pengadilan Agama / Mahkamah Syariyah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkan
pernikahan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta pusat ( pasal 66 ayat (4) UU no 7 tahun 1989 ).

c) Permohonan tersebut memuat :

1)

Nama, umur, pekerjaan, agama, dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon.

2)

Posita (fakta kejadian dan fakta hukum).

3)

Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).

2. Penyelesaian Perkara
a)
b)

Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama / Mahkamah Syariyah..


Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agama / Mahkamah Syariyah untuk
menghadiri persidangan.

c)

Tahap persidangan;

d)

Putusan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariyah.

e)

Setelah putusan memperoleh kekuatan hokum tetap, maka panitera Pengadilan Agama /
Mahkamah Syariyah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak,
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.

B. Perkara Cerai Gugat

1. Prosedur
Langkah yang harus dilakukan Penggugat (istri / kuasanya) :
a)

Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syariyah (
pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 73 UU nomor 7 tahun 1989 ).

b)

Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syariyah
tentang tata cara membuat surat gugatan ( pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 58 UU nomor 7 tahun 1989
).

c)

Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah
menjawab surat gugatan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.

d)

Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syariyah :

2. Penyelesaian Perkara
a)
b)

Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama / Mahkamah Syariyah..


Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agama / Mahkamah Syariyah untuk
menghadiri persidangan.

c)

Tahap persidangan;

d)

Putusan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariyah.

e)

Setelah putusan memperoleh kekuatan hokum tetap, maka panitera Pengadilan Agama /
Mahkamah Syariyah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak,
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.

f)
BAB IX
PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ISLAM DAN PRAKTIKNYA
DI PENGADILAN AGAMA

A. Pengertian Pembuktian
Pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan
kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat
bukti yang telah ditetapkan undang-undang.
Tingkatan keyakinan hakim sebagai berikut:
1. yakin (terbukti 100%)
2. zhaan (terbukti 75-99%)
3. syubhat (terbukti 50%)
4, waham (terbukti < 50%)
B. Alat-Alat Bukti Yang Diakui Dalam Pembuktian Menurut Yang Digunakan Di Pengadilan
Agama
Alat-alat bukti tersebut sebagai berikut:
1)

Ikrar : pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri yang bersifat sepihak dan tidak memerlukan
persetujuan pihak lain.

2)

Syahadah : seseorang yang memberikan keterangan di muka sidang dengan memenuhi syarat-syarat
tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti
terjadinya peristiwa atau keadaan tertentu

3)

Yamin : suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu member janji
atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang menberi
keterang atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya

4)

Riddah : pernyataan seseorang bahwa ia telah keluar dari agama Islam

5)

Maktubah : maktubah ada 2 macam yaitu: akta dan surat keterangan

6)

Tabayyun : upaya perolehan penjelasan yang dilakukan oleh pemeriksaan majelis pengadilan yang
lain daripada majelis pengadilan yang sedang memeriksa.

C. Alat-Alat Bukti Yang Digunakan Di Pengadilan Agama

Alat-alat bukti itu sebagai berikut:


1. Alat bukti surat surat (tertulis)
Alat bukti surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang di maksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang yang di pergunakan sebagai
pembuktian.
Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam 2 jenis yaitu: surat akta otentik dan
surat akta tidak otentik (dibawah tangan)
2. Alat bukti saksi
Pada prinsipnya, setiap orang dapat menjadi saksi. Namun demikian, untuk memelihara
obyektifitas saksi dan kejujurannya, ada orang tertentu oleh Undang-undang tidak dapat
diperkenankan menjadi saksi sebagai dasar untuk memutus perkara, karena adanya hubungan tertentu
dengan para pihak, atau karena keadaan tertentu orang tidak boleh di dengar sebagai saksi adalah :
1.
Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan
yang sah
2.
Istri atau suami dari salah satu pihak meskipun sudah ada perceraian
3.

Anak yang tidak diketahui benar umurnya sudah 15 tahun

4.

Orang gila, meskipun ia kadang-kadang mempunyai ingatan yang terang.

3. Alat bukti persangkaan


Oleh karena persangkaan itu merupakan kesimpulan belaka, maka dalam hal ini yang dipakai
sebagai alat bukti sebetulnya bukan persangkaan itu, melainkan alat-alat bukti lain, yaitu misalnya
kesaksian atau surat-surat, atau pengakuan salah satu pihak, yang membuktikan bahwa suatu peristiwa
adalah terang ternyata, baru kemudian disimpulkan adanya suatu peristiwa tertentu.
Persangkaan-persangkaan hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bebas, yaitu terserah
kepada kebijaksanaan hakim, seberapa jauh di akan memberi kekuatan bukti kepada persengketaanpersengketaan yang didapat pada pemeriksaan perkara.

4. Alat bukti pengakuan


Ada tiga macam pengakuan yaitu :
a)

Pengakuan murni : ialah pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan
pihak lawan

b)

Pengakuan dengan kualifikasi : ialah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian
dari tuntutan.

c)

Pengakuan dengan klausula : adalah suatu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan
yang bersipat membebaskan..
5. Alat bukti sumpah
HIR menyebutkan 3 macam sumpah sebagai alat bukti yaitu :

a)

Sumpah supletoir diatur dalam pasal 155 HIR, 182 RBg dan 1940 BW yaitu sumpah yang
diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian
peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.

b)

Sumpah penaksir. Kekuatan pembuktian sumpah aestimatoir ini sama dengan sumpah supletoir;
bersifat sempurna dan masih memungkinkan pembuktian lawan.

c)

Sumpah decisoir atau pemutus adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak
kepada lawannya (Pasal 156 HIR/Pasal 183 RBg/Pasal 1930 BW} Pihak yang meminta lawannya
mengucapkan sumpah disebut deferent, sedang pihak yang harus bersumpah disebut delaat.

BAB X
PRODUK-PRODUK PERADILAN AGAMA DAN PELAKSAANNYA

A. Produk-Produk Peradilan Agama


Ada 3 (tiga) macam produk Hakim yaitu :
1. Putusan.
2. Penetapan.
3. Akta Perdamaian.
Putusan ialah pernyatan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan dalam
sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontensius)
Penetapan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan
dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan
(volunteer)
Akta Perdamaian ialah akta yang dibuat oleh Hakim berisi hasil musyawarah/ kesepakatan
antara para pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.

1. Macam dan Jenis Putusan

Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara ada 2 (dua) macam putusan yaitu :
a)

Putusan Akhir ialah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan baik melalui semua
tahapan pemerikasaan maupun yang belum melalui semua tahapan pemeriksaan.

b)

Putusan sela ialah putusan yang dijatuhkan pada saat masih dalam proses pemerikasaan perkara
dengan tujuan memperlancar jalannya pemeriksaan, putusan sela tidak mengakhiri pemerikasaan
tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan.

Dilihat dari hadir tidaknya para pihak berperkara pada saat putusan dijatuhkan/diucapkan
maka dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu :
a)

Putusan gugur adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena
penggugat/pemohon tidak hadir dalam sidang dan telah dipanggil dengan patut dan tidak menyuruh
orang lain sebagai wakilnya yang sah serta ketidak hadirannya itu bukan karena halangan yang sah.
(Pasal 148 RBg dan Pasal 124 HIR)

b)

Putusan Verstek ialah putusan yang dijatuhan karena tergugat/termohon tidak hadir meskipun telah
dipanggil dengan patut dan tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya yang sah serta ketidak
hadirannya bukan karena halangan yang sah dan juga tidak mengajukan eksepsi mengenai
kewenangan. (Pasal 148 RBg/Pasal 125 HIR)

c)

Putusan Kontradiktoir ialah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak
dihadiri oleh salah satu pihak atau para pihak akan tetapi dalam pemeriksaan penggugat dan tergugat
pernah hadir.

Dilihat dari segi Sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan maka putusan dapat dibagi
menjadi 3 (tiga) macam putusan yaitu :
a)

Putusan diklatoir ialah putusan yang menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu yang resmi
menurut hukum. Misalnya putusan tentang gugatan cerai dengan alasan talik talak.

b)

Putusan konstitutif ialah putusan yang menciptakan atau menimbulkan hukum baru, berbeda dengan
keadaan hukum sebelumnya. Misalnya menetapkan sahnya pernikahan (isbat nikah)

c)

Putusan kondemnatoir ialah putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan untuk
memenuhi prestasi. Misalnya Menghukum Tergugat untuk menyerahkan seperdua bagian dari harta
bersama kepada Penggugat.

Dilihat dari Isinya terhadap gugatan putusan terbagi kepada 3 macam yaitu :
a)

Putusan negatif yaitu menolak atau tidak menerima gugatan.

b)

Putusan Positif yaitu mengabulkan atau menerima seluruh isi gugatan.

c)

Putusan Positif-negatif yaitu menerima atau mengabulkan sebagian dan tidak menerima atau
menolak sebagian.

2. Susunan dan Isi Putusan


Putusan Hakim harus dibuat dengan tertulis dan harus ditanda tangani oleh Hakim/Majelis
Hakim termasuk Panitera/Panitera Pengganti sebagi dokumen resmi. Suatu putusan hakim terdiri dari
:
a. Kepala Putusan
b. Identitas Para Pihak
c. Pertimbangan (konsideran) yang memuat tentang Duduk Perkaranya dan Pertimbangan Hukum
d. Amar atau dictum putusan

Secara detail suatu putusan harus memuat hal-hal berikut :


a)
b)

Judul dan Nomor Putusan (Nomor Putusan sama dengan Nomor perkara)
Khusus putusan/penetapan Pengadilan Agama diawali dengan kalimat :Bismillahirrahmanir
rahiem dan Demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa

c)

Nama dan tingkat pengadilan yang memutus.

d)

Identitas dan kedudukan pihak-pihak berperkara.(termasuk nama kuasa hukum apabila ada)

e)

Tentang duduk perkara yaitu memuat kronlogis duduk perkara mulai dari usaha perdamaian, dalildalil penggugat, jawaban tergugat, replik, duplik, bukti-bukti dan saksi serta kesimpulan para pihak.

f)

Tentang hukumnya yaitu memuat bagaimana Hakim mengkwalifisir fakta atau kejadian dan
mempertimbangkanya secara baik dan dasar-dasar hukum yang dipergunakan dalam menilai fakta dan
memutus perkara.

g)

Amar putusan yaitu merupakan kesimpulan akhir oleh hakim atas perkara yang diperiksanya, dalam
amar putusan memuat juga pembebanan biaya perkara.

h)

Tanggal putusan yaitu memuat hari dan tanggal pengucapan putusan dalam sidang yang dinyatakan
dalam akhir putusan.

i)

Hadir tidaknya para pihak ketika putusan dibacakan.

j)

Nama Hakim/Majelis Hakim yang memutus perkara termasuk Panitera/PP.

k)

Rincian biaya perkara.


B. Pelaksanaan Putusan/Eksekusi

1. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama


Pelaksanaan putusan /eksekusi adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan. Dan
putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap (in kracht van gewijsde) . Putusan yang sudah berkekuatan tetap adalah putusan yang sudah
tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, dan kasasi.
Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melaksanakan segala
putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini
berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7/1989. Dan sebagai akibat dari ketentuan UU Peradilan
Agama diatas adalah:
a)

Ketentuan tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri dihapuskan.

b)

Pada setiap Pengadilan Agama diadakan Juru Sita untuk dapat melaksanakan putusan-putusannya

2. Jenis-Jenis Pelaksanaan Putusan


Terdapat beberapa macam pelaksanaan putusan,yaitu:
Putusan yang menghukum salah satu untuk membayar sejumlah uang. Hal ini diatur dalam pasal 196
HIR, pasal 208 R.Bg
Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur dalam
pasal 225 HIR, pasal 259 R.Bg
Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap. Putusan ini disebut
juga Eksekusi Riil. Hal ini diatur dalam pasal 1033 Rv.
Eskekusi riil dalam bentuk penjualan lelang. Hal ini diatur dalam pasal 200 ayat (1) HIR, pasal 218 ayat
(2) R.Bg

3. Putusan Yang Dapat Dieksekusi


Putusan yang dapat dieksekusi adalah yang memenuhi syarat-syarat untuk dieksekusi, yaitu :
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal:
a. Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dulu
b. Pelaksanaan putusan provisionil
c. Pelaksanaan Akta Perdamaian
d. Pelaksanaan (eksekusi) Grose akta
Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun ia telah diberi peringatan (aan
maning) oleh Ketua Pengadilan Agama
Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir
Putusan yang bersifat deklaratoir atau konstitutif tidak diperlukan eksekusi. Putusan kondemnatoir

tidak mungkin berdiri sendiri, dan merupakan bagian dari putusan deklaratoir, karena sebelum bersifat
menghukum terlebih dahulu ditetapkan suatu keadaan hukum
Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.

BAB XI
UPAYA BANDING, KASASI, DAN PENINJAUAN KEMBALI

1. Pengajuan Banding
Pengertian banding ialah permohonan pemeriksaan ulang kepada pengadilan yang lebih tinggi
(dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama) terhadap suatu perkara yang telah diputus oleh tingkat
pertama (Pengadilan Agama) karena merasa tidak puas atau tidak menerima putusan pengadilan
tingkat pertama tersebut, dengan ketentuan sebagai berikut .
a)

b)

Permohonan banding diajukan kepada pengadilan tinggi dalam daerah hukum meliputi pengadilan
tingkat pertama yang memutus perkara.
Permohonan banding diajukan melalui pengadilan yang memutus perkara tersebut.

Syarat-syarat banding;
a)

Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara.

b)

Diajukan masih dalam tenggang waktu banding.

c)

Putusan tersebut menurut hukum diperbolehkan banding.

d)

Membayar panjar biaya banding.

e)

Membuat akta permohonan banding dengan menghadap pejabat kepaniteraan pengadilan.

Masa Pengajuan banding :


a)

Bagi pihak berperkara yang berada dalam wilayah hukum pengadilan yang memutus perkara adalah
selama 14 hari terhitung mulai hari berikutnya sejak putusan dijatuhkan atau diberitahukan kepada
yang bersangkutan.

b)

Bagi pihak yang berada di luar wilayah pengadilan agama yang memutus perkara tersebut, masa
bandingnya selama 30 hari terhitung hari berikutnya isi putusan disampaikan kepada yang
bersangkutan. (Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) UU No.20/1947)

2. Pengajuan Kasasi
Pengertian Kasasi ialah pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung terhadap putusan
pengadilan yang lebih rendah (pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama) karena kesalahan
dalam penerapan hukum.
Pihak yang tidak menerima atau tidak puas atas putusan pengadilan tinggi agama atau
pengadilan agama (dalam perkara volunteer) dapat mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah
Agung dengan syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat kasasi
a)

Diajukan oleh yang berhak.

b)

Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi.

c)

Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat banding menurut hukum dapat dimintakan kasasi.

d)

Membuat memori kasasi.

e)

Membayar panjar biaya kasasi.

f)

Membuat akta permohonan kasasi di kepaniteraan pengadilan agama yang bersangkutan

Adapun tenggang waktu pengajuan kasasi sama dengan pengajuan banding.


Apabila syarat-syarat kasasi tersebut tidak terpenuhi, maka berkas perkaranya tidak dikirim ke
Mahkamah Agung, Panitera Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut membuat keterangan
bahwa permohonan kasasi atas perkara tersbut tidak memenuhi syarat formal. Ketua PA melaporkan
ke Mahkamah Agung bahwa permohonan kasasi tidak diteruskan ke MA (Peraturan MARI Nomor 1
Tahun 2001)

3. Peninjauan Kembali.
Pengertian Peninjauan Kembali ialah meninjau kembali putusan perkara perdata yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena diketemukan hal-hal atau bukti baru yang pada
pemeriksaan terdahulu tidak diketahui oleh Hakim. Peninjaun Kembali hanya dapat diperiksa oleh
Mahkamah Agung.

Syarat-syarat permohonan PK
a)

Diajukan oleh pihak yang berperkara.

b)

Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

c)

Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan-alasannya.

d)

Diajukan dalam tenggang waktu menurut undang-undang.

e)

Membayar panjar biaya peninjauan kembali.

f)

Membuat akta permohonan Peninjauan Kembali di Kepaniteraan Pengadilan Agama.

g)

Ada bukti baru yang belum pernah diajukan pada pemeriksaan terdahulu.
Masa pengajuan permohonan Peninjauan Kembali adalah 180 hari terhitung mulai
ditemukannya novum atau bukti baru dan sebelum berkas permohoan Peninjauan Kembali dikirim ke
Mahkamah Agung, Pemohon harus disumpah oleh Ketua Pengadilan tentang penemuan novum
tersebut.

BAB XII
BANTUAN HUKUM
DAN YURISPRUDENSI PERADIALAN AGAMA

A. Bantuan Hukum

1. Pengertian Bantuan Hukum


Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada
klien yang tidak mampu. Sedangkan advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik
di dalam maupun luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang. Adapun
organisasi advokat atau lembaga bantuan hukum adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan
undang-undang. Adapun definisi jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan
konsultasi, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum
lain untuk kepentingan hukum klien.

2. Pemberian Bantuan Oleh Hakim


Ada berberapa masalah formal yang tercakup kedalam objek fungsi memberi bantuan dan
nasihat yaitu: 1)Membuat gugatan bagi yang buta huruf, 2)Memberi pengarahan tata cara izin
prodeo, 3)Menyarankan penyempurnaan surat kuasa, 4).Menganjurkan perbaikan surat gugatan,
5)Memberi penjelasan alat bukti yang sah, 6)Memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan
jawaban, 7)Bantuan memanggil saksi secara resmi, 8)Memberi bantuan upaya hukum, 9)Memberi
penjelasan tata cara verzet dan rekonvensi, dan 10)Mengarahkan dan membantu memformulasi
perdamaian

B. Yurisprudensi
1. Pengertian Yurisprudensi
Yurisprudensi adalah keputusan pengadilan/keputusan hakim yang terdahulu terutama dari
mahkamah agung (untuk Indonesia).
Menurut Utrecht ada 3 (tiga) sebab hakim menurut keputusan seorang hakim lain:
1.
Keputusan hakim mempunyai kekuasaan (gezag) terutama apabila keputusan itu
dibuat oleh Pengadilan Tinggi atau oleh Mahkamah Agung
2.
Di samping sebab yang psikhologis itu ada juga sebab praktis, maka seseorang hakim
menurut keputusan yang telah diberi oleh seorang hakim yang berkedudukannya lebih tinggi.
Akhirnya, ada sebab: hakim menurut keputusan hakim lain, karena ia menyetujui isi
keputusan hakim lain itu, yang sebab persesuaian pendapat.
2. Yurisprudensi Peradilan Agama
Yurisprudensi Peradilan agama sama makna dan unsurnya dengan yurisprudensi perdialan
umum . yang berbeda adalah ruang lingkupnya. Ruang Lingkup Yurisprudensi Peradilan Agama
terbatas pada hukum yang menjadi wewenangnya dan hukum acara peradilan agama

You might also like