Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang kronik, pada orang yang
mengalaminya tidak dapat menilai realitas dengan baik dan pemahaman diri buruk
(Kaplan dan Sadock, 1997).
Gejalanya dibagi menjadi 2 kelompok yaitu primer yang meliputi perubahan
proses pikir, gangguan emosi, kemauan, dan autisme. Sedangkan gejala sekunder
meliputi waham, halusinasi, gejala katatonik. Gejala sekunder merupakan
manifestasi untuk menyesuaikan diri terhadap gangguan primer. Skizofrenia dibagi
menjadi beberapa jenis, yaitu simplex, hebefrenik, katatonik, paranoid, tak terinci,
residual (Maslim, 2000).
Dari beberapa jenis Skizofrenia diatas, terdapat Skizofrenia paranoid. Jenis
ini ditandai oleh keasyikan (preokupasi) pada satu atau lebih waham atau halusinasi,
dan tidak ada perilaku seperti pada tipe terdisorganisasi atau katatonik. Secara klasik
Skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama oleh adanya waham kebesaran atau
waham kejar, jalannya penyakit agak konstan (Kaplan dan Sadock, 1998).
Pikiran meloncat (Flight of ideas) lebih sering terdapat pada mania, pada
Skizofrenia lebih sering inkoherensi. Kriteria waktunya berdasarkan kondisi klien
jiwa sulit diramalkan, karena setiap saat dapat berubah. Waham merupakan suatu
keyakinan tentang isi pikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan atau tidak cocok
dengan intelegensia dan latar belakang kebudayaannya, keyakinan tersebut
dipertahankan secara kokoh dan tidak dapat diubah-ubah (Maramis, 1998)
Membagi waham dalam dua kelompok, yaitu primer dan sekunder. Waham
primer timbul secara tidak logis, tanpa penyebab dari luar. Sedangkan waham
sekunder biasanya logis kedengarannya, dapat diikuti dan merupakan cara untuk
menerangkan gejala-gejala Skizofrenia lain, waham dinamakan menurut isinya, salah
satunya adalah waham kebesaran (Kaplan dan Sadock, 1997).
Waham kebesaran adalah waham peningkatan kemampuan, kekuatan,
pengetahuan, identitas, atau hubungan khusus dengan dewa atau orang terkenal
(Kaplan dan Sadock, 1997).
Waham kebesaran dapat terentang pembesar- besaran yang ringan sampai
karakteristik sesungguhnya dari waham kebesaran psikotik. Isi waham umpamanya
pasien telah melakukan penemuan yang penting atau memiliki bakat yang tidak
diketahui atau kesehatan yang sangat baik (Kusuma 1997)
Medikamentosa yang direkomendasikan oleh the National Institute for
Clinical Excellene (NICE) menjadi pilihan pertama untuk kasus baru adalah
antipsikotik atipikal (olanzapine, risperidone). Obat ini juga baik digunakan untuk
pasien yang tidak menunjukkan penurunan gejala dengan terapi antipsikotik tipikal.
Sedangkan
pengobatan
konvensional
dengan
antipsikotik
tipikal
seperti
Pengobatan dalam Islam telah diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
ajaran Islam. Salah satu prinsip dalam pengobatan dalam Islam selain harus bebas
dari unsur yang diharamkan, pengobatan juga merupakan tindakan untuk mencegah
timbulnya sesuatu yang lebih buruk lagi. Pengobatan penderita Skizofrenia dengan
pemberian Haloperidol atau Chlorpromazine merupakan tindakan untuk mengobati
penyakit tersebut. Allah menciptakan penyakit serta obatnya, bagi setiap umat Islam
berkewajiban untuk berobat pada ahlinya serta memilih cara pengobatan yang lebih
besar faedahnya, seperti pada pasien Skizofrenia yang pengobatannya menggunakan
Haloperidol dan Chlorpromazine.
Sehubungan dengan hal itu di atas, perlu dikaji lebih lanjut tentang
perbandingan efek samping dari Haloperidol dan Chlorpromazine pada pasien
Skizofrenia ditinjau dari kedokteran dan Islam.
1.2.
Permasalahan
1. Bagaimana farmakologi obat-obat antipsikotik ?
2. Bagaimana perbandingan efek samping Haloperidol dan Chlorpromazine?
3. Bagaimana pandangan Islam terhadap perbandingan efek samping
Haloperidol dan Chlorpromazine pada pasien Skizofrenia ?
1.3.
Tujuan
1.3.1
Tujuan Umum
Mengetahui tentang tentang perbandingan efek samping dari Haloperidol dan
Chlorpromazine pada pasien Skizofrenia ditinjau dari segi kedokteran dan
sudut pandang Islam
1.3.2
Tujuan Khusus
1. Memahami farmakologi obat-obat anti psikotik
2. Memahami perbandingan efek samping Haloperidol dan Chlorpromazine
3. Memahami pandangan Islam tentang perbandingan efek samping
Haloperidol dan Chlorpromazine pada pasien Skizofrenia.
1.4.
Manfaat
1. Bagi penulis, untuk menambah pengalaman dalam cara membuat karya
ilmiah yang baik dan benar dalam bidang ilmu Kedokteran dan agama
Islam mengenai perbandingan efek samping dari Haloperidol dengan
Chlorpromazine pada pasien Skizofrenia.
2. Bagi Universitas Yarsi, dengan penyusunan skripsi ini diharapkan dapat
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di perpustakaan Universitas
Yarsi serta menjadi bahan masukan bagi civitas akademika mengenai
perbandingan efek samping dari Haloperidol dengan Chlorpromazine
pada pasien Skizofrenia ditinjau dari kedokteran dan Islam.
3. Bagi masyarakat, diharapkan masyarakat dapat mengetahui dan
memahami tentang perbandingan efek samping dari Haloperidol dengan
Chlorpromazine pada pasien Skizofrenia ditinjau dari kedokteran dan
Islam.
BAB II
EFEK SAMPING HALOPERIDOL DAN CHLORPROMAZINE PADA
PASIEN SKIZOFRENIA DITINJAU DARI KEDOKTERAN
2.1.
Sejarah Psikofarmaka
Sejarah perkembangan terapi organik dalam psikiatri dimulai sejak
pertengahan tahun 1800-an sampai sekarang, walaupun pada tahun 1960 kumpulan
obat psikiatrik pada dasarnya sudah diketahui, tetapi terapi organik seperti terapi
elektrokonvulsif (ECT) yang dipelopori oleh Ugo Cerletti dan Licio Bini, terapi
koma insulin dikembangkan oleh Manfreud Sakel, dan bedah psiko (psiko surgery)
diperkenalkan oleh Antonio Egas Moniz, semuanya dimulai pada paruh pertama abad
ke X dan disebut sebagai revolusi biologis dalam psikiatri (Eight, 2008).
Awal tahun 1950-an setelah diperkenalkannya Chlorpromazine (Torazine),
obat psikoterapetik yang menjadi terapi psikiatrik khususnya untuk pasien dengan
penyakit mental yang serius (Eight, 2008).
Di tahun 1949 dokter psikiatrik Australia John Cade menggambarkan terapi
untuk luapan manik dengan lithium (eskalith). Sambil melakukan percobaan
terhadap binatang, Cade menemukan bahwa lithium karbonat menyebabkan binatang
menjadi lethargi, dan mengarahkannya memberikan obat kepada beberapa pasien
psikiatrik yang teragitasi yang mendapatkan manfaat terapetik dari obat
(Eight, 2008).
Charpenter mensintesis Chlorpromazine (suatu anti psikotik fenotiazine
alifatik) pada tahun 1950 dalam usaha untuk mengembangkan suatu obat histaminik
yang akan berperan sebagai pelengkap anestetik. Perusahaan obat-obatan melaporkan
kemampuan obat untuk menginduksi tidur buatan. Laporan oleh Paraire dan Siguald ,
John Delay, Piere Deniker, Heinz Lehmann dan Narran menggambarkan efektifitas
Chlorpromazine dalam mengobati agitasi parah dan psikosis. Chlorpromazine
dengan cepat diperkenalkan kepada dokter psikiatrik Amerika, dan obat lain dengan
efektifitas yang serupa juga disintesis termasuk Haloperidol (haldol) yaitu suatu anti
psikotik butyrofenon di tahun 1958 oleh Paul Janssen (Eight, 2008).
2.2.
Definisi Skizofrenia
Skizofrenia adalah salah satu jenis psikosis dengan gangguan dasar pada
kepribadian, distorsi khas proses pikir, kadang-kadang ada perasaan bahwa dirinya
sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang
aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang tak terpadu dengan situasi sebenarnya
dan autisme. Meskipun demikian, kesadaran yang jernih dan kapasitas intelektual
biasanya tidak terganggu (Kaplan, 1997).
2.2.1
Etiologi
Sampai saat ini etiologi Skizofrenia belum diketahui secara pasti etiologi
2.2.2
Faktor Organobiologis
Faktor keturunan juga menentukan timbulnya Skizofrenia. Hal ini telah
7-16%, bila kedua orang tua menderita Skizofrenia 40-68%, bayi kembar dua telur 215%, bayi kembar satu telur 61-86% (Maramis, 1994).
Skizofrenia merupakan gangguan yang bentuk transmisinya bukan berpola
Mendelian tetapi diduga berbentuk multifaktorial-poligenik yaitu selain terdapat
kontribusi berbagai faktor lingkungan seperti faktor pranatal, perinatal dan
pascanatal, terdapat pula penumpukan lebih dari dua gen. Gen yang diduga
menimbulkan Skizofrenia dapat mengkode reseptor neurotransmitter, enzim,
neuromodulator dan gen yang bertanggung jawab untuk perkembangan neuron. Saat
ini ada usaha menggunakan metode penelitian yang lebih canggih, misalnya dengan
metode genetik molekuler. Salah satu strategi penelitian yang digunakan yaitu
linkage analysis. Karena Skizofrenia merupakan penyakit yang kompleks, deteksi
gen atau penentuan lokasi kromosom secara tepat sulit dipastikan. Oleh karena itu,
penelitian replikasi perlu dilakukan. Diharapkan suatu hari, tehnik molekuler genetik
dapat menentukan gen Skizofrenia sehingga dapat memperbaiki dan menghasilkan
pengetahuan yang tepat mengenai patogenesis Skizofrenia (Amir, 1998).
Faktor organobiologis yang dapat menyebabkan terjadinya Skizofrenia adalah
sebagai berikut;
1. Endokrin
Skizofrenia diduga disebabkan oleh suatu gangguan endokrin. Teori ini
dikemukakan karena Skizofrenia sering timbul pada waktu pubertas, waktu
kehamilan atau puerpuerium dan waktu klimaterium. Tetapi hal ini perlu
penelitian lebih lanjut (Maramis, 1994).
2. Metabolisme
Ada orang yang menyangka bahwa Skizofrenia disebabkan oleh suatu
gangguan metabolisme karena penderita dengan Skizofrenia tampak pucat dan
tidak sehat, ujung ekstremitas agak sianotis, nafsu makan berkurang dan berat
badan menurun. Mungkin Skizofrenia disebabkan oleh suatu inborn error of
metabolism, tetapi hubungan terakhir belum ditemukan (Maramis, 1994).
Belakangan ini teori metabolisme mendapat perhatian lagi berhubung dengan
penelitian memakai obat halusinogenik, seperti Meskalin dan Asam Lisergik
Diethilamide (LSD-25). Obat-obat ini dapat menimbulkan gejala-gejala yang
mirip dengan Skizofrenia tetapi reversibel. Mungkin Skizofrenia disebabkan oleh
suatu inborn error of metabolism, tetapi hubungan terakhir belum ditemukan
(Maramis, 1994).
3. Susunan Saraf Pusat
Walaupun telah banyak penelitian yang membuktikan adanya kelainan
anatomi, fungsi dan neurokimia otak pada penderita Skizofrenia, diagnosis
Skizofrenia sampai saat ini masih tetap berdasarkan manifestasi klinik. Hal ini
disebabkan oleh karena tidak satupun dari kelainan otak tersebut yang
patognomonik untuk Skizofrenia Walaupun demikian, adanya kelainan otak pada
penderita Skizofrenia tidak dapat dibantah lagi (Maramis, 1994).
Telah banyak para peneliti yang melaporkan adanya lesi di berbagai regio
otak Skizofrenia seperti di korteks serebri yaitu korteks frontal, ganglia basalis
dan sistem limbik. Kelainan pada korteks frontal berupa pengurangan jumlah selsel piramid dan sel interneuron, pada ganglia basalis ditemukan penurunan
volume globus palidus dan substansia nigra sedangkan pada sistem Limbik
didapatkan adanya penurunan volume jaringan hipokampus dan parahipokampus
serta kelainan susunan sitoarsitektur pada daerah parahipokampus penderita
Skizofrenia (Maramis, 1994).
Pada penderita Skizofrenia juga terdapat pelebaran sulkus dan fisura korteks
serebri. Kelainan ini menunjukkan pengurangan volume gyrus korteks. Diduga
bahwa pelebaran sulkus merupakan kelainan genetik, karena tidak didapatkan
hubungan antara pelebaran sulkus dan fisura dengan umur dan lama sakit
(Maramis, 1994).
4. Kelainan Neurofisiologis
Dengan PET (Positron Emission Tomography), terlihat adanya hipofrontalitas
yaitu terdapat penurunan aliran darah otak ke regio frontal. Hipofrontalitas
berhubungan dengan penurunan aktivitas dopamin dan fungsi kognitif. Dengan
pemberian agonis dopamin, hipofrontalitas dan fungsi kognitif dapat diperbaiki
(Maramis, 1994).
5. Kelainan Neuro kimia
Suatu kelompok neurotransmiter terdiri dari dopamin, norepinefrin, epinefrin,
serotonin, asetilkholin dan histamin. Dopamin, norepinefrin dan epinefrin
disintesis dari asam amino yang sama,tirosin,dan diklasifikasikan dalam satu
kelompok sebagai katekolamin.Serotonin disintesis dari asam amino triptofan
dan merupakan satu-satunya indolamin dalam kelompok itu.Serotonin juga
dikenal sebagai 5-hidroksitriptamin(5-HT) (Liza, 2009).
Sampai tahun 1959, dopamine belum dianggap sebagi neurotransmitter di
dalam sistem saraf pusat melainkan sebagai precursor norepinephrin. Lima
sistem atau alur penting dopaminergik telah diketahui pada otak. Sistem pertama
yang paling terkait dengan perilaku adalah mesolimbi-mesokortikal, yang
berawal dari badan-badan sel dekat substantia nigra menuju sistem limbic dan
neokorteks. Sistem yang kedua yaitu alur nigrostriatal terdiri dari neuron-neuron
yang berawal dari substantia nigra ke nucleus kaudatus dan putamen; yang
2.2.3
Faktor Psikoedukatif
Teori Adolf Meyer: Skizofrenia tidak disebabkan oleh suatu penyakit
badaniah, sebab dari dahulu hingga sekarang para sarjana tidak dapat menemukan
kelainan patologi-anatomis atau fisiologis yang khas pada susunan saraf. Sebaliknya
Meyer mengakui suatu konstitusi yang inferior atau penyakit badaniah dapat
mempengaruhi timbulnya Skizofrenia. Menurut Meyer Skizofrenia merupakan suatu
reaksi yang salah, suatu maladaptasi. Oleh karena itu timbul suatu disorganisasi
kepribadian dan lama-kelamaan orang itu menjauhkan diri dari kenyataan (autisme).
Hipotesa Meyer ini kemudian memperoleh banyak penganut di Amenika Serikat dan
memakai istilah Reaksi Skizofrenia(Meyer,1906)
Teori Sigmund Freud: juga termasuk teori psikogenik. Bila kita memakai
formula Freud, maka pada Skizofrenia terdapat: kelemahan ego, yang dapat timbul
karena penyebab psikogenik ataupun somatik. Superego dikesampingkan tidak
10
bertenaga lagi dan Id yang berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase narsisisme.
Kehilangan kapasitas untuk pemindahan (tranference) sehingga terapi psikoanalitik
tidak mungkin (Meyer,1906)
2.2.4
Faktor Sosiokultural
Beberapa ahli teori telah menyatakan bahwa industrialisasi dan urbanisasi
2.3
literatur. Tergantung pada gejala klinis yang menonjol, Skizofrenia dibedakan atas
tipe paranoid, katatonik, disorganized, undifferentiated dan residual. Klasifikasi yang
lain menambahkan tipe simpleks, tipe tak tergolongkan, depresi pasca Skizofrenia
dan tipe lainnya (Depkes, 1993).
Gambaran klinis Skizofrenia seringkali didahului oleh gejala dan tanda
pramorbid (sebelum sakit), kemudian diikuti oleh fase penyakit berupa gejala
prodromal, fase aktif dan fase residual. Gejala pramorbid dapat berupa kepribadian
skizoid, skizotipal, paranoid atau ambang, dengan ciri-ciri pencuriga, tertutup,
banyak diam, pasif, eksentrik, mempunyai sedikit sekali atau tidak ada teman akrab,
atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya (Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, 1994).
Gejala prodromal dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa tahun
sebelum gejala-gejala tersebut cukup untuk didiagnosis sebagai psikotik Skizofrenia.
11
12
2.4
Kriteria Diagnostik
Berdasarkan kriteria dari DSM IV adalah sebagai berikut:
A. Paling sedikit terdapat satu dari beberapa kriteria dibawah ini selama suatu
fase penyakit: Waham yang aneh (isi nya jelas tak masuk akal, dan tidak
berdasarkan kenyataan), seperti waham dikendalikan oleh suatu kekuatan luar
(delucion of being controlled), penyiaran pikiran (thought broadcasting),
penyisipan pikiran (thought insertion), penyedotan pikiran (thought
withdrawal). Waham somatik, kebesaran, agama, nihilistik, atau waham
lainnya yang bukan waham kejar atau cemburu. Waham kejar atau cemburu
yang disertai halusinasi dalam bentuk apapun. Halusinasi dengar yang dapat
berupa suara yang selalu memberi komentar tentang tingkah laku atau
pikirannya atau dua atau lebih suara yang saling bercakap cakap. Inkoherensi,
kelonggaran asosiasi pikiran yang jelas, jalan pikiran yang tidak masuk akal,
atau kemiskinan pembicaraan yang disertai oleh paling sedikit satu dan yang
disebut dibawah ini:
Afek yang tumpul, mendatar, atau tidak serasi (inappropriate),
Berbagai waham atau halusinasi,
Katatonia atau tingkah laku lainnya yang sangat kacau (disorganized)
B. Deteriorasi dari taraf fungsi penyesuaian sebelumnya dalam bidang
pekerjaan, hubungan sosial dan perawatan dirinya
C. Jangka waktu: Gejala penyakit itu berlangsung secara terus menerus selama
paling sedikit satu bulan dalam suatu periode didalam kehidupan seseorang,
disertai dengan terdapatnya beberapa gejala penyakitnya pada saat diperiksa
sekarang. Masa satu bulan itu harus mencakup fase aktif dimana terdapat
13
gejala pada kriteria A, dengan atau tanpa fase prodormal atau terdapatnya
gejala-gejala seperti
Penarikan diri atau isolasi dari hubungan sosial
Hendaya (impairment) yang nyata dalam fungsi peran sebagai pencari
nafkah, siswal/mahasiswa, atau pengatur rumah tangga
Tingkah laku aneh yang nyata (seperti mengumpulkan sampah, berbicara
sendiri di tempat umum, menimbun makanan)
Hendaya yang nyata dalam higiene diri dan berpakaian
Afek yang tumpul, mendatar atau tak serasi (inappropriate)
Pembicaraan yang melantur (digressive), kabur, berbelit, sirkumstansial,
atau metaforik (perumpamaan)
ide (gagasan) yang aneh atau tak lazim, atau pikiran magik, seperti
takhayu1, clairvoyance, telepati, indra keenam, orang lain dapat
merasakan perasaannya, ide-ide yang berlebihan, gagasan mirip waham
yang menyangkut diri sendiri
Penghayatan persepsi yang tak lazim, seperti ilusi yang selalu berulang,
merasa hadirnya suatu kekuatan atau seseorang yang sebenarnya tidak ada.
D. Apabila terdapat gejala lengkap dari sindrom manik atau depresif, gejala itu
berkembang setelah ada gejala psikotik apapun dari kritenia A, atau berjangka
waktu relatif lebih pendek dari jangka waktu gejala psikotik pada kriteria A
E. Onset fase prodromal atau fase aktif dari penyakitnya timbul sebelum usia 45
tahun
F. Tidak disebabkan oleh Gangguan Mental Organik atau Retardasi Mental
(Kaplan, 1997).
2.5
14
2.6
Terapi Organobiologis
Ada 2 macam cara:
15
2.6.2
Terapi Psikoedukatif
Jenis psikoterapi yang dapat membantu dan menambah efek farmakologis
2.6.3
Terapi Sosiokultural
Pada terapi yang berorientasi pada aspek sosial budaya, keluarga merupakan
16
Skizofrenia dapat diketahui dengan mengukur Ekspresi Emosi (EE) dari keluarga
tersebut. Brown dam kawan-kawan menyatakan bahwa pasien yang berasal dari
lingkungan keluarga yang mempunyai ekspresi emosi yang tinggi mempunyai risiko
kekambuhan lebih besar dibandingkan dengan pasien yang berasal dari lingkungan
keluarga yang ekspresi emosinya rendah yaitu 58% : 16% (Sejahtera, 1994).
Dari hasil penelitian aspek keluarga dan kekambuhan pada Skizofrenia, maka
dianggap perlu untuk memasukan intervensi psikoedukatif pada keluarga dalam
pengobatan Skizofrenia. Hal ini dapat menurunkan atau mencegah kekambuhan dan
meningkatkan kemampuan adaptasi sosial penderita Skizofrenia (Martono, 1990).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam intervensi tersebut adalah
Penderita dalam pengobatan neuroleptika.
Infervensi yang dilakukan bersifat singkat (antara 6-25 session).
Fokus utama adalah mengurangi kritik dan keterlibatan yang berlebihan dari
keluarga.
Terapi tidak hanya ditujukan pada masalah penderita tetapi membantu
meringankan seluruh beban keluarga (Martono, 1990).
Selain itu, perlunya upaya rehabilitasi sebagai usaha untuk mengembalikan
pasien ke masyarakat untuk menjadikannya sebagai warga yang swasembada dan
berguna seperti dengan memberikan terapi kerja yang merupakan pertimbangan
penting dalam pengobatan, dengan memberikan aktivitas yang terapeutik maka akan
menolong pasien memulihkan, meningkatkan kembali daya konsentrasi, kemampuan
komunikasi, daya ingat, kemauan dan fungsi kepribadian lainnya (Martono, 1990).
2.7
17
18
seperti mulut kering pandangan kabur gangguan miksi, gangguan defekasi dan
hipotensi. APG I dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis yang digunakan
kurang atau sama dengan 10mg diantaranya adalah trifluoperazine, Haloperidol dan
pimozide. Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala
dominan apatis, menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi rendah bila
dosisnya lebih dari 50mg diantaranya adalah Chlorpomazine dan thioridazine
digunakan pada penderita dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit
tidur. APG II sering disebut bekerja pada serotonin dan dopamin pada ke empat jalur
dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan
sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah
Clozapine, Olanzapine, Quetiapine dan Risperidon (Widjaja, 2001).
Penggunaan utama antipsikotik untuk Skizofrenia, sindrom otak organik
dengan psikosis. Obat ini juga berguna untuk pasien yang mengalami ansietas berat
namun bagi pasien yang menyalahgunakan obat karena Benzodiazepin dikontra
indikasikan bagi mereka (Widjaja, 2001).
2.8
2.8.1
Kimia
19
2.8.2
Farmakodinamik.
CPZ (Largactil) berefek farmakodinamik sangat luas. Largactil diambil dari
a).
CPZ menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak acuh
terhadap rangsang dan lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul
toleransi terhadap efek sedasi. Timbulnya sedasi amat tergantung dari
status emosional penderita sebelum minum obat.
20
b).
Neurologik
Pada dosis berlebihan, semua derivat fenotiazin dapat menyebabkan gejala
c).
Otot Rangka
Chlorpromazine dapat menimbulkan relaksasi otot skelet yang berada dalam
keadaan spastik. Cara kerja relaksasi ini diduga bersitaf sentral, sebab sambungan
saraf-otot dan medula spinalis tidak dipengaruhi CPZ (Sulistia G, 1995).
d)
Endokrin
21
e).
Kardiovaskular
CPZ dapat menimbulkan hipotensi berdasarkan beberapa hal, yaitu: (1)
refleks presor yang penting untuk mempertahankan tekanan darah dihambat oleh
CPZ; (2) CPZ berefek bloker; dan (3) CPZ menimbulkan efek inotropik negatif pada
jantung. Toleransi dapat timbul terhadap efek hipotensif CPZ. Efek samping
hipotermia dapat digunakan pada terapi hibernasi. Efek antikolinergik berupa
takikardia, mulut dan tenggorok kering, sering terjadi pada pemberian fenotiazin.
Perlu digunakan berhati-hati pada penderita glaukoma dan hipertrofi prostat (Sulistia
G, 1995)
2.8.3
Farmakokinetik
Pada umumnya semua fenotiazin diabsorpsi dengan baik bila diberikan per
oral maupun parenteral. Penyebaran luas ke semua jaringan dengan kadar tertinggi di
paru-paru, hati, kelenjar suprarenal dan limpa. Sebagian fenotiazin mengalami
hidroksilasi dan konyugasi, sebagian lain diubah menjadi sulfoksid yang kemudian
diekskresi bersama feses dan urin. Setelah pemberian CPZ dosis besar, maka masih
ditemukan ekskresi CPZ atau metabolitnya selama 6-12 bulan (Sulistia G, 1995).
2.8.4. Indikasi.
22
2.8.4
Efek Samping
Batas keamanan CPZ cukup lebar, sehingga obat ini cukup aman. Efek
samping umumnya
Gejala
idiosinkrasi mungkin timbul, berupa ikterus, dermatitis dan leukopenia. Reaksi ini
disertai eosinofilia dalam darah perifer (Sulistia G, 1995).
23
Efek Samping
2..8.6 Sediaan
Clorpromazine tersedia dalam bentuk tablet 25 mg,100 mg serta larutan
suntik 25 mg/ml. Larutan CPZ dapat berubah warna menjadi merah jambu oleh
pengaruh cahaya (Sulistia G, 1995).
Perfenazin tersedia sebagai tablet 2 dan 4 mg. Tioridazin tersedia dalam
bentuk tablet 25 mg dan 100mg. Flufenazin tersedia dalam bentuk tablet 1 mg. Masa
kerja flufenazin cukup lama, sampai 24 jam (Sulistia G, 1995).
2.9
Haloperidol
2.9.1
Kimia
24
Haloperidol
adalah
4-[4-(-chlorophenyl)-4-hydroxy
1-piperidyl]-1-(4-
fluorophenyl)-butan-1-one.
2.9.2
Farmadinamik
Struktur Haloperidol
berbeda
dengan
fenotiazin,
tetapi
butirofenon
a.
mengalami eksitasi. Efek sedatif Haloperidol kurang kuat dibanding dengan CPZ,
sedangkan efek Haloperidol terhadap EEG menyerupai CPZ yakni memperlambat
dan menghambat jumlah gelombang teta. Haloperidol dan CPZ sama kuat
menurunkan ambang rangsang konvulsif. Haloperidol menghambat sistem dopamin
di hipotalamus, juga menghambat muntah yang ditimbulkan oleh apomortin (Sulistia
G, 1995).
25
b.
2.9.3
Farmakokinetik
Haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya dalam plasma
tercapai dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam dan masih
dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun dalam
hati dan kira-kira 1% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui empedu. Ekskresi
Haloperidol lambat melalui ginjal, kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 5 hari
sesudah pemberian dosis tunggal (Sulistia G, 1995).
2.9.4
Indikasi
Indikasi utama Haloperidol ialah untuk psikosis. Butirofenon dapat juga
digunakan sebagai obat pilihan untuk mengobati sindrom Gilles de la Tourette, suatu
kelainan neurologik yang aneh yang ditandai dengan kejang otot hebat, menyeringai
26
2.9.5
Efek Samping
Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insidens yang
tinggi, terutama pada penderita usia muda. Pengobatan dengan Haloperidol harus
dimulai dengan hati-hati. Dapat tenjadi depresi akibat reversi keadaan mania atau
sebagai efek samping yang sebenarnya. Perubahan hematologik ringan dan selintas
dapat terjadi, tetapi hanya leukopenia dan agranulositosis sering dilaporkan.
Frekuensi kejadian ikterus akibat Haloperidol rendah. Haloperidol sebaiknya tidak
diberikan pada wanita hamil sampai terdapat bukti bahwa obat ini tidak
menimbulkan efek teratogenik (Sulistia G, 1995).
Efek samping Haloperidol berbeda pada berbagai tingkatan usia. Efek
samping yang sering terjadi pada anak-anak adalah efek piramidal. Sementara itu,
pada pasien usia lanjut efek samping yang sering muncul adalah efek ekstrapiramidal
dan hipotensi ortostatik (Prima, 2008).
Gerakan involunter seperti Distonia, akathisia, tardive dyskinesia juga bias
timbul akibat pengobatan dari Haloperidol tersebut (Kaplan,1997).
2.9.6. Sediaan
Haloperidol tersedia dalam haldol dan govotil sediaan tablet 2 mg dan 5 mg
serta larutan suntik lodomer 5 mg/ml, injeksi sebagai dekanoat 50 mg/ml. Paparan
sinar matahari dapat menghilangkan warna dan menyebabkan endapan berwarna
merah ataupun abu- abu setelah beberapa minggu (Sulistia G, 1995).
27
2.10
penyekatan yang berkaitan dengan daya kerja lain reseptor tersebut berbeda pada
masing-masing obat. Sejumlah eksperimen terhadap ikatan reseptor- ligan telah
dilakukan untuk menemukan satu kerja reseptor yang dapat memprediksi efikasi
obat-obat antipsikosis. Misalnya, studi invitro tentang ikatan menunjukkan bahwa
Chlorpromazine ternyata lebih efektif dalam menyekat -1-adrenoseptor dari pada
reseptor D2 . kedua unsur tersebut juga relatif kuat menyakat reseptor 5-HT2 .
bagaimanapun juga, afinitas reseptor D1, sebagaimana diukur dengan penggantian
ligan D1, selektif, SCH23390 relatif lemah. Haloperidol bekerja lebih banyak pada
reseptor D2; dan memberikan efek terhadap 5-HT2 dan reseptor -1, tetapi tak begitu
berpengaruh terhadap reseptor D1. phymozide bekerja secara ekslusif pada reseptor
D2. clozaphine antipsikosis atipikal, yang menujukkan perbedaan klinis yang jelas
dari yang lainnya, lebih mengikat D4 , 5-HT2, -1, dan reseptor histamine
H1,daripada reseptor D2 dan D1. Risperidone hampir sama kuatnya dalam menyakat
D2 dan reseptor 5-HT2. Obat yang baru-baru ini diperkenalkan, olanzapine, ternyata
lebih poten sebagai antagonis reseptor 5-HT2, dengan potensi yang lebih sedikit dan
hampir sama pada reseptor D1,D2,dan -1. sedangkan serpindole lebih poten sebagai
antagonis 5-HT2 dan relatif poten sebagai antagonis D2 dan -1. Kesimpulan yang
sederhana dari eksperimen tersebut :
Chlorpromazine 1 = 5-HT2 > D2 > D1
Haloperidol : D2 > D1 = D4 > 1 > 5-HT2
Dari penjelasan diatas, tampak bahwa pengikatan reseptor D 1, tersebut paling
sedikit kemungkinannya untuk diprediksi manfaat klinisnya, tetapi afinitas reseptor
lain yang paling sulit untuk diinterpretasi. Penelitian baru-baru ini dilakukan untuk
28
2.11
untuk
tidak
mengemudikan
kendaraan
dan
mengoperasikan
29
30
dermatologis,
seperti
erupsi
kulit,
urtikaria,
makulopapular,
petekie,dermatitis alergik dan fotosensitivitas yang muncul pada awal terapi dan
dapat menghilang dengan spontan. Reaksi fotosensitivitas yang menyerupai terbakar
mata hari (sunburn) yang parah dapat dicegah dengan memberitahu pasien agar tidak
berada di bawah sinar matahari lebih dari 30 sampai 60 menit, dan harus
menggunakan tabir surya (sun screen) (Kaplan,1997).
Overdosis, terapinya harus termasuk pemakaian arang aktif (activated
charcoal), jika mungkin dan lavase lambung. Pemakaian emetic tidak didindikasikan.
Kejang, dapat diobati dengan diazepam (Valium) IV atau Phenytoin (Dilantin)
(Kaplan,1997).
Haloperidol memiliki efek sedative lemah digunakan untuk sindrom psikosis
dengan gejala dominan apatis, menarik diri, perasaan tumpul, kehilangan minat dan
inisiatif, hipoaktif, waham, halusinasi, dan sebagainya. Pemberian Haloperidol
dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjurannya yaitu 1 atau 2mg.
Dinaikkan dosisnya 2 sampai 3 hari sampai mencapai dosis efektif (Mulai timbul
perbedaan gejala), Dosis per hari yang efektif antara 5-20 mg. Evaluasi dilakukan
tiap 2 minggu dan bila perlu dosis dinaikkan, sampai mencapai dosis optimal. Dosis
ini dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) kemudian diturunkan setiap 2
minggu sampai mencapai dosis pemeliharaan. Dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun
(diselingi masa bebas obat 1-2 hari /minggu ). Kemudian tappering off, dosis
diturunkan tiap 2-4 minggu dan dihentikan (Mubarak,2000).
31
Distonia, paling sering timbul pada laki-laki muda (kurang dari 40 tahun),
diperkirakan merupakan hiperaktivitas dopaminergik di ganglia basalis yang terjadi
jika kadar obat dalam system saraf pusat mulai menurun, profilaksis dengan
antikolinergik seperti Benztropine 0,5-2 mg 3x sehari;IM atau IV 1-2 mg biasanya
mencegah berkembangnya distonia (Kaplan,1997).
Akathisia, perasaan subjektif adanya rasa tidak nyaman pada otot yang
menyebabkan pasien gaduh gelisah,berganti-ganti duduk dan berdiri secara cepat,
gerakan-gerakan tersebut tidak dapat dikendalikan oleh pasien dan obat yang efektif
adalah Propanolol (Inderal) (30-120 mg sehari), Benzodiazepin dan Clonidin
(Catapres) (Kaplan,1997).
Tardive dyskinesia, merupakan gangguan pergerakan di luar kendali pasien
yang muncul setelah pengobatan Haloperidol yang lama ,dieksaserbasi oleh stres dan
menghilang selama tidur. Gangguan pergerakan tersebut bisa dicegah dengan
penggunaan Haloperidol hanya denga dosis yang diindikasikan dan dengan dosis
efektif yang terendah, namun apabila sudah terdiagnosis tardive dyskinesia maka
menurunkan dosis dan mengganti Haloperidol dengan antipsikotik baru termasuk
Clozapin adalah strategi terapi yang utama, namun penggunaan Carbamazepine atau
Benzodiazepine efektif dalam menurunkan gejala tersebut (Kaplan,1997).
Untuk efek samping non neurologis pencegahan dan penatalaksanaan sama
dengan pada Chlorpromazine (Kaplan,1997).
Pada anak-anak atau usia lanjut dosis Haloperidol diturunkan dan dapat
dimulai dengan 0,5 1,5 mg/ hari dengan pemberian 2 atau 3 kali perhari (Mubarak,
2000).
Obat antipsikosis long acting (Haloperidol 50mg/mL IM, untuk 2-4 minggu)
sangat berguna pada pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun
32
yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 mL setiap 2
minggu pada bulan pertama kemudian baru ditingkatkan 1mL setiap bulan (Mubarak,
2000).
Haloperidol sering menimbulkan gejala ekstrapiramidal, meliputi kaku otot,
hipersalivasi, distonia, diskinesia maka diberikan tablet trihexylphenidine (artane) 34 x 2mg/hari atau sulfas athropin 0,5-0,75 mg IM (Mubarak, 2000).
33
BAB III
EFEK SAMPING HALOPERIDOL DAN CHLORPROMAZINE PADA
PASIEN SKIZOFRENIA DITINJAU DARI ISLAM
34
Sesuai dengan anjuran agama untuk berobat jika sakit, sebaiknya penderita
Skizofrenia dianjurkan untuk berobat agar kondisinya dapat pulih ke tingkat
kesehatan yang seoptimal mungkin, sesuai hadits Nabi:
Artinya : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang - orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati
dengan kesabaran. (Q.S. alAshr (103:1-3).
Pengobatan yang diberikan pada penderita Skizofrenia ini bersifat eklektik
holistik. Dengan pendekatan ini diharapkan penderita dapat kembali berfungsi secara
wajar dalam kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di sekolah / kampus, di tempat
kerja dan di lingkungan keluarganya. Jika ditinjau dari tujuan dan jenis terapi yang
diberikan maka menurut pandangan Islam diperbolehkan. Karena hal tersebut telah
diteliti oleh ahlinya seperti oleh para dokter jiwa.
35
kepribadian
serta
berbagai
pelatihan
dan
conditioning
Artinya : Dan apabila aku sakit Dialah yang menyembuhkan (Q.S. AsySyuaraa (26): 80)
4. Psikofarmaka, sangat efektif untuk menghilangkan gejala klinis Skizofrenia atau
dengan kata lain penderita Skizofrenia dapat diobati karena obat psikofarmaka
mempengaruhi neurotransmitter otak penderita Skizofrenia yang terganggu.
Berkat kemajuan di bidang Ilmu Kedokteran Jiwa, saat ini telah ditemukan obat
antipsikotik baru yang disebut Haloperidol dan Chlorpromazine.
Obat - obat psikofarmaka konvensional pertama kali disintesis atau berasal
dari senyawa kimia Phenothiazine yang selanjutnya berbagai antipsikotik yang
secara struktural berbeda tapi tidak berbeda secara farmakodinamik dan
phenothiazine diperkenalkan dalam praktek klinis. Kemudian laboratorium dari salah
36
Pimozide,
suatu
diphenylbutylpiperidine;
dan
terakhir
dari
pada
reseptor
(Mubarak, 2008).
37
D2
dibandingkan
Haloperidol
3.2.
paling sempurna dengan dilengkapi oleh akal, perasaan, kemauan dan kehendak.
Sebagaimana Allah SWT berfirman:
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya (QS. At-Tin (95): 4).
Akal merupakan satu-satunya perbedaan yang sangat mendasar pada diri
manusia terhadap mahluk ciptaan Allah SWT yang lainnya. Tetapi dengan kehendakNya pula akal seseorang dapat menjadi rusak atau hilang. Orang yang menggunakan
akalnya pada dasarnya adalah orang yang cerdas (Asysyarawi, 1999).
Secara etimologi akal memiliki arti al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan),
al-hajr (menahan), al-nahyu (melarang), dan Manu (mencegah). Berdasarkan makna
bahasa ini maka yang disebut orang yang berakal (al-aqil) adalah orang yang mampu
menahan dan mengikat hawa nafsu. Jika hawa nafsu terikat maka jiwa
rasionalitasnya mampu bereksistensi. Nama lain dari akal adalah hulm, nuha, hijir
dan hujjah. Akal merupakan salah satu bagian dari daya nafsani manusia yang
memiliki dua makna, yaitu:
1. Akal jasmani, yaitu salah satu organ tubuh yang terletak di kepala. Akal ini lazim
disebut dengan otak (al-dimagh) yang bertempat di dalam kepala.
2. Akal ruhani, yaitu cahaya (al-nur) ruhani dan daya nafsani yang dipersiapkan
untuk memperoleh pengetahuan (al-marifah) dan kognisi (al-mudrikat).
Akal diartikan sebagai energi yang mampu memperoleh, menyimpan dan
mengeluarkan pengetahuan. Akal merupakan daya kekuatan untuk memperoleh
38
segala ilmu. Ilmu akal meliputi ilmu yang duniawi dan ukhrowi. Beberapa nash yang
mendukung eksistensi akal sebagai bagian dari diri manusia, disebutkan dalam hadist
Nabi SAW:
Artinya: Tidak dijadikan Allah suatu makhluk yang terlebih mulia pada-Nya
daripada akal (HR. al-Bukhari-Muslim).
Penyakit Skizofrenia merupakan gangguan jiwa dimana pasien tidak mampu
menilai mana yang nyata dan mana yang bukan nyata, atau biasa disebut kehilangan
akal sehat (gila). Adapun gejala dari Skizofrenia adalah:
1. Secara umum juga dijumpai waham dan halusinasi yang bersifat mengambang
serta terputus-putus. Bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat, dan tema
abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan pikirannya.
2. Perilaku yang tidak bertanggung jawab, tanpa tujuan dan tanpa maksud. Suasana
perasaan (mood), pasien yang dangkal dan tidak wajar (inapproriate). Sering
disertai oleh cekikikan atau perasaan puas diri (self-satisfied).
3. Senyum-senyum sendiri (self absorbed smiling), atau oleh sikap yang angkuh
atau tinggi hati, tertawa menyeringai, mengibuli secara bersenda gurau, keluhan
yang hipokondrik, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases).
4. Proses berfikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu serta
inkoheren. Ada kecenderungan untuk tetap menyendiri (solitary).
Perubahan-perubahan sosial yang serba cepat sebagai konsekwensi
modernisasi dan industrilisasi ataupun kemajuan ilmu mempunyai dampak dalam
kehidupan masyarakat. Stres psikososial dapat merupakan salah satu faktor pencetus,
yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang itu
39
Artinya: Allah menganugrahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam rentang Al
Quran dan As Sunah) kepada siapa yang dikehendak-Nya. Dan
Barangsiapa yang dianugrahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi
karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakal-lah yang
dapat mengambil pelajaran (QS. Al-Baqarah (2): 269).
Suatu penyakit yang menutupi atau mengganggu akal, akan menyebabkan
akal tidak mampu menangkap suatu objek dengan benar dan disertai kebingungan
dan kekacauan pikiran. Orang yang akalnya tertutup atau terganggu, tidak dapat
membedakan antara yang benar dan yang salah, atau antara yang baik atau yang
buruk (Ichtiar Barn Van Hoeve, 2000).
Akal menurut agama Islam merupakan daya pikir yang terdapat pada jiwa
manusia, daya yang dalam Al-Quran digambarkan memperoleh pengetahuan. Akal
harus mampu menjelaskan untuk apa orang tersebut hidup, bagaimana harus mengisi
dan menjalani hidup. Akal mampu menghantarkan manusia pada esensi kemanusiaan
(haqiqah insaniyah).
Secara psikologi akal memiliki fungsi kognisi (daya cipta). Kognisi adalah
suatu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan dalam berimajinasi,
memprediksi, berfikir, mempertimbangkan, menduga dan menilai. Dalam Al-Quran
komponen nafsani yang mampu berakal adalah kalbu, Allah SWT berfirman:
40
Artinya: Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati
yang ada di dalam dada (QS. A1-Hajj (22): 46).
Akal dan kalbu bisa dipengaruhi oleh lingkungan, pengaruh lingkungan ini
terkadang bisa baik dan bisa juga buruk. Apabila kalbu ini berfungsi secara normal,
maka kehidupan manusia menjadi baik. Sebab kalbu memiliki nature ilahiyyah atau
rabbaniyyah, karena baik buruk kalbu tergantung pada pilihan manusianya itu
sendiri. Hal itu sesuai dengan Sabda Nabi Muhammad SAW:
Artinya: Sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, apabila
ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya dan jikalau ia rusak maka rusaklah
seluruh tubuhnya, ingatlah bahwa ia adalah kalbu (HR. Al-Bukhari dari
Numan ibn Basyir).
Kehilangan akal dapat terjadi dalam situasi dan kondisi yang berbeda, seperti
hilang akal sesaat, hilang akal sementara, atau hilang akal permanen. Hilang akal
sesaat lebih dikenal dengan sebutan lupa atau tidak ingat. Dengan bantuan stimulan
tertentu maka seseorang akan mudah mengingatnya kembali tanpa kesulitan. Untuk
hilang akal sementara seperti tidur atau pingsan, apabila penyebab hilang akal telah
selesai, maka seseorang akan pulih kembali dan hilang akal sementaranya.
Sedangkan orang yang hilang akal secara permanen, maka hal inilah yang
biasa disebut sebagai gila (Skizofrenia). Sedangkan orang yang rusak akal adalah
orang yang tidak mampu mempergunakan akalnya sehingga hawa nafsu dapat
41
menguasai dirinya (buruk akhlak), ia tidak mampu mengendalikan diri dan akan sulit
memahami kebenaran, karena seseorang yang dikuasai hawa nafsu akan
mengakibatkan terhalang untuk memahami kebenaran (Hawari, 1999).
3.3.
dengan syariat Islam maka masalah yang ada harus dipecahkan, misalnya bila
menderita sakit maka solusinya adalah berobat. Islam mengajarkan dalam
memecahkan masalah serta menetapkan apa tujuan tindakan, sebagaimana sabda
Nabi Muhammad SAW : (Bahreisy, 2000)