You are on page 1of 58

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang kronik, pada orang yang

mengalaminya tidak dapat menilai realitas dengan baik dan pemahaman diri buruk
(Kaplan dan Sadock, 1997).
Gejalanya dibagi menjadi 2 kelompok yaitu primer yang meliputi perubahan
proses pikir, gangguan emosi, kemauan, dan autisme. Sedangkan gejala sekunder
meliputi waham, halusinasi, gejala katatonik. Gejala sekunder merupakan
manifestasi untuk menyesuaikan diri terhadap gangguan primer. Skizofrenia dibagi
menjadi beberapa jenis, yaitu simplex, hebefrenik, katatonik, paranoid, tak terinci,
residual (Maslim, 2000).
Dari beberapa jenis Skizofrenia diatas, terdapat Skizofrenia paranoid. Jenis
ini ditandai oleh keasyikan (preokupasi) pada satu atau lebih waham atau halusinasi,
dan tidak ada perilaku seperti pada tipe terdisorganisasi atau katatonik. Secara klasik
Skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama oleh adanya waham kebesaran atau
waham kejar, jalannya penyakit agak konstan (Kaplan dan Sadock, 1998).
Pikiran meloncat (Flight of ideas) lebih sering terdapat pada mania, pada
Skizofrenia lebih sering inkoherensi. Kriteria waktunya berdasarkan kondisi klien
jiwa sulit diramalkan, karena setiap saat dapat berubah. Waham merupakan suatu
keyakinan tentang isi pikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan atau tidak cocok
dengan intelegensia dan latar belakang kebudayaannya, keyakinan tersebut
dipertahankan secara kokoh dan tidak dapat diubah-ubah (Maramis, 1998)

Membagi waham dalam dua kelompok, yaitu primer dan sekunder. Waham
primer timbul secara tidak logis, tanpa penyebab dari luar. Sedangkan waham
sekunder biasanya logis kedengarannya, dapat diikuti dan merupakan cara untuk
menerangkan gejala-gejala Skizofrenia lain, waham dinamakan menurut isinya, salah
satunya adalah waham kebesaran (Kaplan dan Sadock, 1997).
Waham kebesaran adalah waham peningkatan kemampuan, kekuatan,
pengetahuan, identitas, atau hubungan khusus dengan dewa atau orang terkenal
(Kaplan dan Sadock, 1997).
Waham kebesaran dapat terentang pembesar- besaran yang ringan sampai
karakteristik sesungguhnya dari waham kebesaran psikotik. Isi waham umpamanya
pasien telah melakukan penemuan yang penting atau memiliki bakat yang tidak
diketahui atau kesehatan yang sangat baik (Kusuma 1997)
Medikamentosa yang direkomendasikan oleh the National Institute for
Clinical Excellene (NICE) menjadi pilihan pertama untuk kasus baru adalah
antipsikotik atipikal (olanzapine, risperidone). Obat ini juga baik digunakan untuk
pasien yang tidak menunjukkan penurunan gejala dengan terapi antipsikotik tipikal.
Sedangkan

pengobatan

konvensional

dengan

antipsikotik

tipikal

seperti

Chlorpromazine, haloperideol efektif untuk mengobati gejala-gejala positif (seperti


ideas of reference,delusi, halusinasi) namun angka keberhasilannya cukup rendah
(atau bahkan malah memperparah) untuk menghilangkan gejala negatif (afek datar,
alogia, avolition). Selain itu juga terdapat efek samping lain seperti efek
ekstrapiramidal (gejala mirip Parkinson, distonia akut, akathisia), tardive dyskinesia
(pada 24% pasien), neuroleptic malignant syndrome, dan hyperprolactinaemia
(Cameron, 2004).

Pengobatan dalam Islam telah diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
ajaran Islam. Salah satu prinsip dalam pengobatan dalam Islam selain harus bebas
dari unsur yang diharamkan, pengobatan juga merupakan tindakan untuk mencegah
timbulnya sesuatu yang lebih buruk lagi. Pengobatan penderita Skizofrenia dengan
pemberian Haloperidol atau Chlorpromazine merupakan tindakan untuk mengobati
penyakit tersebut. Allah menciptakan penyakit serta obatnya, bagi setiap umat Islam
berkewajiban untuk berobat pada ahlinya serta memilih cara pengobatan yang lebih
besar faedahnya, seperti pada pasien Skizofrenia yang pengobatannya menggunakan
Haloperidol dan Chlorpromazine.
Sehubungan dengan hal itu di atas, perlu dikaji lebih lanjut tentang
perbandingan efek samping dari Haloperidol dan Chlorpromazine pada pasien
Skizofrenia ditinjau dari kedokteran dan Islam.

1.2.

Permasalahan
1. Bagaimana farmakologi obat-obat antipsikotik ?
2. Bagaimana perbandingan efek samping Haloperidol dan Chlorpromazine?
3. Bagaimana pandangan Islam terhadap perbandingan efek samping
Haloperidol dan Chlorpromazine pada pasien Skizofrenia ?

1.3.

Tujuan

1.3.1

Tujuan Umum
Mengetahui tentang tentang perbandingan efek samping dari Haloperidol dan
Chlorpromazine pada pasien Skizofrenia ditinjau dari segi kedokteran dan
sudut pandang Islam

1.3.2

Tujuan Khusus
1. Memahami farmakologi obat-obat anti psikotik
2. Memahami perbandingan efek samping Haloperidol dan Chlorpromazine
3. Memahami pandangan Islam tentang perbandingan efek samping
Haloperidol dan Chlorpromazine pada pasien Skizofrenia.

1.4.

Manfaat
1. Bagi penulis, untuk menambah pengalaman dalam cara membuat karya
ilmiah yang baik dan benar dalam bidang ilmu Kedokteran dan agama
Islam mengenai perbandingan efek samping dari Haloperidol dengan
Chlorpromazine pada pasien Skizofrenia.
2. Bagi Universitas Yarsi, dengan penyusunan skripsi ini diharapkan dapat
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di perpustakaan Universitas
Yarsi serta menjadi bahan masukan bagi civitas akademika mengenai
perbandingan efek samping dari Haloperidol dengan Chlorpromazine
pada pasien Skizofrenia ditinjau dari kedokteran dan Islam.
3. Bagi masyarakat, diharapkan masyarakat dapat mengetahui dan
memahami tentang perbandingan efek samping dari Haloperidol dengan
Chlorpromazine pada pasien Skizofrenia ditinjau dari kedokteran dan
Islam.

BAB II
EFEK SAMPING HALOPERIDOL DAN CHLORPROMAZINE PADA
PASIEN SKIZOFRENIA DITINJAU DARI KEDOKTERAN

2.1.

Sejarah Psikofarmaka
Sejarah perkembangan terapi organik dalam psikiatri dimulai sejak

pertengahan tahun 1800-an sampai sekarang, walaupun pada tahun 1960 kumpulan
obat psikiatrik pada dasarnya sudah diketahui, tetapi terapi organik seperti terapi
elektrokonvulsif (ECT) yang dipelopori oleh Ugo Cerletti dan Licio Bini, terapi
koma insulin dikembangkan oleh Manfreud Sakel, dan bedah psiko (psiko surgery)
diperkenalkan oleh Antonio Egas Moniz, semuanya dimulai pada paruh pertama abad
ke X dan disebut sebagai revolusi biologis dalam psikiatri (Eight, 2008).
Awal tahun 1950-an setelah diperkenalkannya Chlorpromazine (Torazine),
obat psikoterapetik yang menjadi terapi psikiatrik khususnya untuk pasien dengan
penyakit mental yang serius (Eight, 2008).
Di tahun 1949 dokter psikiatrik Australia John Cade menggambarkan terapi
untuk luapan manik dengan lithium (eskalith). Sambil melakukan percobaan
terhadap binatang, Cade menemukan bahwa lithium karbonat menyebabkan binatang
menjadi lethargi, dan mengarahkannya memberikan obat kepada beberapa pasien
psikiatrik yang teragitasi yang mendapatkan manfaat terapetik dari obat
(Eight, 2008).
Charpenter mensintesis Chlorpromazine (suatu anti psikotik fenotiazine
alifatik) pada tahun 1950 dalam usaha untuk mengembangkan suatu obat histaminik
yang akan berperan sebagai pelengkap anestetik. Perusahaan obat-obatan melaporkan

kemampuan obat untuk menginduksi tidur buatan. Laporan oleh Paraire dan Siguald ,
John Delay, Piere Deniker, Heinz Lehmann dan Narran menggambarkan efektifitas
Chlorpromazine dalam mengobati agitasi parah dan psikosis. Chlorpromazine
dengan cepat diperkenalkan kepada dokter psikiatrik Amerika, dan obat lain dengan
efektifitas yang serupa juga disintesis termasuk Haloperidol (haldol) yaitu suatu anti
psikotik butyrofenon di tahun 1958 oleh Paul Janssen (Eight, 2008).

2.2.

Definisi Skizofrenia
Skizofrenia adalah salah satu jenis psikosis dengan gangguan dasar pada

kepribadian, distorsi khas proses pikir, kadang-kadang ada perasaan bahwa dirinya
sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang
aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang tak terpadu dengan situasi sebenarnya
dan autisme. Meskipun demikian, kesadaran yang jernih dan kapasitas intelektual
biasanya tidak terganggu (Kaplan, 1997).

2.2.1

Etiologi
Sampai saat ini etiologi Skizofrenia belum diketahui secara pasti etiologi

Skizofrenia bersifat multifaktorial, yaitu organobiologis, psikoedukatif dan sosial


budaya (sosiokultural) yang saling berhubungan satu sama lain (Maramis, 1994).

2.2.2

Faktor Organobiologis
Faktor keturunan juga menentukan timbulnya Skizofrenia. Hal ini telah

dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga penderita Skizofrenia dan terutama


studi anak kembar. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9-1,8%, bagi saudara
kandung 7-15%, bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita Skizofrenia

7-16%, bila kedua orang tua menderita Skizofrenia 40-68%, bayi kembar dua telur 215%, bayi kembar satu telur 61-86% (Maramis, 1994).
Skizofrenia merupakan gangguan yang bentuk transmisinya bukan berpola
Mendelian tetapi diduga berbentuk multifaktorial-poligenik yaitu selain terdapat
kontribusi berbagai faktor lingkungan seperti faktor pranatal, perinatal dan
pascanatal, terdapat pula penumpukan lebih dari dua gen. Gen yang diduga
menimbulkan Skizofrenia dapat mengkode reseptor neurotransmitter, enzim,
neuromodulator dan gen yang bertanggung jawab untuk perkembangan neuron. Saat
ini ada usaha menggunakan metode penelitian yang lebih canggih, misalnya dengan
metode genetik molekuler. Salah satu strategi penelitian yang digunakan yaitu
linkage analysis. Karena Skizofrenia merupakan penyakit yang kompleks, deteksi
gen atau penentuan lokasi kromosom secara tepat sulit dipastikan. Oleh karena itu,
penelitian replikasi perlu dilakukan. Diharapkan suatu hari, tehnik molekuler genetik
dapat menentukan gen Skizofrenia sehingga dapat memperbaiki dan menghasilkan
pengetahuan yang tepat mengenai patogenesis Skizofrenia (Amir, 1998).
Faktor organobiologis yang dapat menyebabkan terjadinya Skizofrenia adalah
sebagai berikut;
1. Endokrin
Skizofrenia diduga disebabkan oleh suatu gangguan endokrin. Teori ini
dikemukakan karena Skizofrenia sering timbul pada waktu pubertas, waktu
kehamilan atau puerpuerium dan waktu klimaterium. Tetapi hal ini perlu
penelitian lebih lanjut (Maramis, 1994).
2. Metabolisme
Ada orang yang menyangka bahwa Skizofrenia disebabkan oleh suatu
gangguan metabolisme karena penderita dengan Skizofrenia tampak pucat dan

tidak sehat, ujung ekstremitas agak sianotis, nafsu makan berkurang dan berat
badan menurun. Mungkin Skizofrenia disebabkan oleh suatu inborn error of
metabolism, tetapi hubungan terakhir belum ditemukan (Maramis, 1994).
Belakangan ini teori metabolisme mendapat perhatian lagi berhubung dengan
penelitian memakai obat halusinogenik, seperti Meskalin dan Asam Lisergik
Diethilamide (LSD-25). Obat-obat ini dapat menimbulkan gejala-gejala yang
mirip dengan Skizofrenia tetapi reversibel. Mungkin Skizofrenia disebabkan oleh
suatu inborn error of metabolism, tetapi hubungan terakhir belum ditemukan
(Maramis, 1994).
3. Susunan Saraf Pusat
Walaupun telah banyak penelitian yang membuktikan adanya kelainan
anatomi, fungsi dan neurokimia otak pada penderita Skizofrenia, diagnosis
Skizofrenia sampai saat ini masih tetap berdasarkan manifestasi klinik. Hal ini
disebabkan oleh karena tidak satupun dari kelainan otak tersebut yang
patognomonik untuk Skizofrenia Walaupun demikian, adanya kelainan otak pada
penderita Skizofrenia tidak dapat dibantah lagi (Maramis, 1994).
Telah banyak para peneliti yang melaporkan adanya lesi di berbagai regio
otak Skizofrenia seperti di korteks serebri yaitu korteks frontal, ganglia basalis
dan sistem limbik. Kelainan pada korteks frontal berupa pengurangan jumlah selsel piramid dan sel interneuron, pada ganglia basalis ditemukan penurunan
volume globus palidus dan substansia nigra sedangkan pada sistem Limbik
didapatkan adanya penurunan volume jaringan hipokampus dan parahipokampus
serta kelainan susunan sitoarsitektur pada daerah parahipokampus penderita
Skizofrenia (Maramis, 1994).

Pada penderita Skizofrenia juga terdapat pelebaran sulkus dan fisura korteks
serebri. Kelainan ini menunjukkan pengurangan volume gyrus korteks. Diduga
bahwa pelebaran sulkus merupakan kelainan genetik, karena tidak didapatkan
hubungan antara pelebaran sulkus dan fisura dengan umur dan lama sakit
(Maramis, 1994).
4. Kelainan Neurofisiologis
Dengan PET (Positron Emission Tomography), terlihat adanya hipofrontalitas
yaitu terdapat penurunan aliran darah otak ke regio frontal. Hipofrontalitas
berhubungan dengan penurunan aktivitas dopamin dan fungsi kognitif. Dengan
pemberian agonis dopamin, hipofrontalitas dan fungsi kognitif dapat diperbaiki
(Maramis, 1994).
5. Kelainan Neuro kimia
Suatu kelompok neurotransmiter terdiri dari dopamin, norepinefrin, epinefrin,
serotonin, asetilkholin dan histamin. Dopamin, norepinefrin dan epinefrin
disintesis dari asam amino yang sama,tirosin,dan diklasifikasikan dalam satu
kelompok sebagai katekolamin.Serotonin disintesis dari asam amino triptofan
dan merupakan satu-satunya indolamin dalam kelompok itu.Serotonin juga
dikenal sebagai 5-hidroksitriptamin(5-HT) (Liza, 2009).
Sampai tahun 1959, dopamine belum dianggap sebagi neurotransmitter di
dalam sistem saraf pusat melainkan sebagai precursor norepinephrin. Lima
sistem atau alur penting dopaminergik telah diketahui pada otak. Sistem pertama
yang paling terkait dengan perilaku adalah mesolimbi-mesokortikal, yang
berawal dari badan-badan sel dekat substantia nigra menuju sistem limbic dan
neokorteks. Sistem yang kedua yaitu alur nigrostriatal terdiri dari neuron-neuron
yang berawal dari substantia nigra ke nucleus kaudatus dan putamen; yang

berperan dalam koordinasi pergerakan dibawah kesadaran. Sistem ketiga,yaitu


sistem tuberoinfundibuler menghubungkan nukelus arkuatus dan neuron
preventrikuler ke hipotalamus dan pituitary posterior. Dopamine yang dirilis oleh
neuron-neuron ini secara fisiologis menghambat sekresi prolactin. Sistem
dopaminergik keempat yaitu alur medulari-periventrikuler terdiri dari neuronneuron di nucleus dari vagus yang proyeksi tidak diterangkan dengan jelas.
Sistem ini mungkin berperan dalam perilaku makan. Sistem kelima yaitu alur
insertohipotalamus membentuk hubungan didalam hipotalamus dan dengan
nucleus septum lateralis. Fungsinya belum diketahui. Penurunan aktifitas
dopamin pada sistem-sistem ini dikaitkan dengan gangguan pada pasien
Schizophren (Mubarak, 2008).

2.2.3

Faktor Psikoedukatif
Teori Adolf Meyer: Skizofrenia tidak disebabkan oleh suatu penyakit

badaniah, sebab dari dahulu hingga sekarang para sarjana tidak dapat menemukan
kelainan patologi-anatomis atau fisiologis yang khas pada susunan saraf. Sebaliknya
Meyer mengakui suatu konstitusi yang inferior atau penyakit badaniah dapat
mempengaruhi timbulnya Skizofrenia. Menurut Meyer Skizofrenia merupakan suatu
reaksi yang salah, suatu maladaptasi. Oleh karena itu timbul suatu disorganisasi
kepribadian dan lama-kelamaan orang itu menjauhkan diri dari kenyataan (autisme).
Hipotesa Meyer ini kemudian memperoleh banyak penganut di Amenika Serikat dan
memakai istilah Reaksi Skizofrenia(Meyer,1906)
Teori Sigmund Freud: juga termasuk teori psikogenik. Bila kita memakai
formula Freud, maka pada Skizofrenia terdapat: kelemahan ego, yang dapat timbul
karena penyebab psikogenik ataupun somatik. Superego dikesampingkan tidak

10

bertenaga lagi dan Id yang berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase narsisisme.
Kehilangan kapasitas untuk pemindahan (tranference) sehingga terapi psikoanalitik
tidak mungkin (Meyer,1906)

2.2.4

Faktor Sosiokultural
Beberapa ahli teori telah menyatakan bahwa industrialisasi dan urbanisasi

dapat menjadi penyebab Skizofrenia. Walaupun beberapa data mendukung teori


tersebut, stres sekarang dianggap menimbulkan efek utamanya dalam menentukan
waktu onset dan keparahan penyakit (Kaplan, 1997).

2.3

Gambaran Klinis Skizofrenia


Definisi dan batasan tentang Skizofrenia tidaklah sama pada berbagai

literatur. Tergantung pada gejala klinis yang menonjol, Skizofrenia dibedakan atas
tipe paranoid, katatonik, disorganized, undifferentiated dan residual. Klasifikasi yang
lain menambahkan tipe simpleks, tipe tak tergolongkan, depresi pasca Skizofrenia
dan tipe lainnya (Depkes, 1993).
Gambaran klinis Skizofrenia seringkali didahului oleh gejala dan tanda
pramorbid (sebelum sakit), kemudian diikuti oleh fase penyakit berupa gejala
prodromal, fase aktif dan fase residual. Gejala pramorbid dapat berupa kepribadian
skizoid, skizotipal, paranoid atau ambang, dengan ciri-ciri pencuriga, tertutup,
banyak diam, pasif, eksentrik, mempunyai sedikit sekali atau tidak ada teman akrab,
atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya (Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, 1994).
Gejala prodromal dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa tahun
sebelum gejala-gejala tersebut cukup untuk didiagnosis sebagai psikotik Skizofrenia.

11

Gejalanya dapat berupa kehilangan minat terhadap sekolah atau pekerjaannya,


menarik diri dari kehidupan sosial, hendaya dalam hygiene diri dan dalam
berpakaian, tingkah laku yang aneh, gangguan dalam berkomunikasi, afek yang
tumpul atau tak serasi, ide yang aneh, penghayatan dan persepsi yang tak lazim
(Maisarah, 1997)
Gejala fase aktif, menonjolnya gejala-gejala psikotik seperti waham,
halusinasi, perilaku dan pola pikir yang kacau dan aneh, alam perasaan yang tumpul,
mendatar atau tidak wajar (Depkes, 1983).
Fase residual, merupakan sisa dari gejala-gejala fase aktif, jadi tidak ada lagi
gejala-gejala fase aktif yang menonjol dan lebih sering didapatkan gejala-gejala
negatif (Depkes, 1993).
Pada perjalanan penyakit terutama pada fase aktif kemungkinan didapatkan
gangguan perilaku seksual berupa penurunan libido seksual pada penderita
Skizofrenia yang didominasi oleh gejala negatif. Hal ini dari segi neuroendokrinologi
dapat diterangkan bahwa penderita Skizofrenia yang didominasi oleh gejala negatif
tersebut didapatkan kadar dopamin yang rendah sedangkan sebaliknya pada
penderita yang didominasi oleh gejala positif, didapatkan kadar dopamin yang tinggi.
Kadar dopamin yang rendah tersebut menyebabkan sekresi prolaktin meningkat,
kadar prolaktin yang meningkat dalam darah akan menginhibisi sekresi hormon
hormon seksual dan libido (Van Kammen and Marder, 1995).
Gejala-gejala di atas menyebabkan penderita mempunyai hendaya dalam
menilai diri dan realitas sekitarnya. Hendaya ini menyebabkan gangguan dan
ketidakmampuan dalam melakukan fungsi penting dalam kehidupannya seperti
fungsi pekerjaan, merawat diri dan membina relasi sosial (Maisarah, 1997).

12

2.4

Kriteria Diagnostik
Berdasarkan kriteria dari DSM IV adalah sebagai berikut:
A. Paling sedikit terdapat satu dari beberapa kriteria dibawah ini selama suatu
fase penyakit: Waham yang aneh (isi nya jelas tak masuk akal, dan tidak
berdasarkan kenyataan), seperti waham dikendalikan oleh suatu kekuatan luar
(delucion of being controlled), penyiaran pikiran (thought broadcasting),
penyisipan pikiran (thought insertion), penyedotan pikiran (thought
withdrawal). Waham somatik, kebesaran, agama, nihilistik, atau waham
lainnya yang bukan waham kejar atau cemburu. Waham kejar atau cemburu
yang disertai halusinasi dalam bentuk apapun. Halusinasi dengar yang dapat
berupa suara yang selalu memberi komentar tentang tingkah laku atau
pikirannya atau dua atau lebih suara yang saling bercakap cakap. Inkoherensi,
kelonggaran asosiasi pikiran yang jelas, jalan pikiran yang tidak masuk akal,
atau kemiskinan pembicaraan yang disertai oleh paling sedikit satu dan yang
disebut dibawah ini:
Afek yang tumpul, mendatar, atau tidak serasi (inappropriate),
Berbagai waham atau halusinasi,
Katatonia atau tingkah laku lainnya yang sangat kacau (disorganized)
B. Deteriorasi dari taraf fungsi penyesuaian sebelumnya dalam bidang
pekerjaan, hubungan sosial dan perawatan dirinya
C. Jangka waktu: Gejala penyakit itu berlangsung secara terus menerus selama
paling sedikit satu bulan dalam suatu periode didalam kehidupan seseorang,
disertai dengan terdapatnya beberapa gejala penyakitnya pada saat diperiksa
sekarang. Masa satu bulan itu harus mencakup fase aktif dimana terdapat

13

gejala pada kriteria A, dengan atau tanpa fase prodormal atau terdapatnya
gejala-gejala seperti
Penarikan diri atau isolasi dari hubungan sosial
Hendaya (impairment) yang nyata dalam fungsi peran sebagai pencari
nafkah, siswal/mahasiswa, atau pengatur rumah tangga
Tingkah laku aneh yang nyata (seperti mengumpulkan sampah, berbicara
sendiri di tempat umum, menimbun makanan)
Hendaya yang nyata dalam higiene diri dan berpakaian
Afek yang tumpul, mendatar atau tak serasi (inappropriate)
Pembicaraan yang melantur (digressive), kabur, berbelit, sirkumstansial,
atau metaforik (perumpamaan)
ide (gagasan) yang aneh atau tak lazim, atau pikiran magik, seperti
takhayu1, clairvoyance, telepati, indra keenam, orang lain dapat
merasakan perasaannya, ide-ide yang berlebihan, gagasan mirip waham
yang menyangkut diri sendiri
Penghayatan persepsi yang tak lazim, seperti ilusi yang selalu berulang,
merasa hadirnya suatu kekuatan atau seseorang yang sebenarnya tidak ada.
D. Apabila terdapat gejala lengkap dari sindrom manik atau depresif, gejala itu
berkembang setelah ada gejala psikotik apapun dari kritenia A, atau berjangka
waktu relatif lebih pendek dari jangka waktu gejala psikotik pada kriteria A
E. Onset fase prodromal atau fase aktif dari penyakitnya timbul sebelum usia 45
tahun
F. Tidak disebabkan oleh Gangguan Mental Organik atau Retardasi Mental
(Kaplan, 1997).
2.5

Perjalanan Penyakit dan Prognosis

14

Perjalanan penyakit Skizofrenia yang paling sering adalah bersifat fluktuasi


antara eksaserbasi dan remisi, namun jarang mencapai kembali ke fungsi semula.
Prognosis penyakit ini berbeda antara berbagai kepustakaan karena bedanya definisi
atau batasan yang dipakai (Depkes, 1993).
Angka penyembuhan dari Skizofrenia dilaporkan 10-60% dan semua
penderita Skizofrenia mampu menjalani kehidupan normal. Kira-kira 20-30% akan
selalu mengalami hendaya dalam semua aspek kehidupannya (Maisarah, 1997).

2.6

Terapi pada Skizofrenia


Mengingat etiologi Skizofrenia yang kompleks maka pendekatan dalam

penatalaksanaan Skizofrenia bersift eklektik holistik yang bertujuan untuk


meningkatkan kualitas hidupnya dengan menjunjung tinggi bahwa manusia harus
dipandang sebagai suatu kesatuan yang paripurna (Maramis, 1994).
2.6.1

Terapi Organobiologis
Ada 2 macam cara:

1. Fisik, yaitu dengan Terapi Elektrokonfulsi (Terapi kejang listrik)


Mekanisme kerja elektrokonfulsi belum diketahui dengan jelas. Dapat
dikatakan bahwa terapi elektrokonfusi dapat memperpendek serangan
Skizofrenia dan mempermudah kontak dengan penderita Akan tetapi terapi
ini tidak dapat mencegah serangan yang akan datang (Maramis, 1994).
2. Kimia, yaitu dengan obat-obat Neuroleptik (Antipsikosis)
Mekanisme kerja obat antipsikosis adalah memblokade Dopamine pada
reseptor pasca sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan
ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonists). Obat Antipsikosis yang
baru (misalnya Risperidone) disamping berafinitas terhadap Dopamine D2

15

receptors juga terhadap Serotonin 5 H12 Receptors (Maslim, 1997). Gejala


sasaran obat Antipsikosis adalah pada hendaya berat dalam kemampuan
menilai realitas, hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, hendaya berat
dalam fungsi sosial kehidupan sehari-hari. Pada umumnya pemberian obat
antipsikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai I tahun setelah
semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk pasien dengan serangan
sindrom psikosis yang multiepisode, terapi pemeliharaan (maintenance)
diberikan paling sedikit lima tahun. Pemberian yang cukup lama ini dapat
menurunkan derajat kekambuhan 2,5-5 kali (Maslim, 1997).

2.6.2

Terapi Psikoedukatif
Jenis psikoterapi yang dapat membantu dan menambah efek farmakologis

adalah psikoterapi yang bersifat individual. Psikoterapi individual diantaranya adalah


: psikoterapi suportif, behavior (perilaku), kognitif, termasuk reedukasi, rekonstruksi
kepribadian serta berbagai pelatihan dan conditioning (pembiasaan) perilaku
(Kaplan, 1997).

2.6.3

Terapi Sosiokultural
Pada terapi yang berorientasi pada aspek sosial budaya, keluarga merupakan

lingkungan terdekat dengan pasien dalam arti pekembangan psikoedukasi maupun


panutan kultur dari pasien sebagian besar dibentuk dalam dan oleh lingkungan
keluarga. Oleh karena itu dalam penatalaksanaan terhadap pasien Skizofrenia.
keluarga harus diikutsertakan. Keluarga merupakan faktor yang sangat berpengaruh,
baik sebagai etiologi, atau dalam kekambuhan, perjalanan penyakit maupun
prognosis pasien Skizofrenia (Sejahtera, 1994). Sikap keluarga terhadap penderita

16

Skizofrenia dapat diketahui dengan mengukur Ekspresi Emosi (EE) dari keluarga
tersebut. Brown dam kawan-kawan menyatakan bahwa pasien yang berasal dari
lingkungan keluarga yang mempunyai ekspresi emosi yang tinggi mempunyai risiko
kekambuhan lebih besar dibandingkan dengan pasien yang berasal dari lingkungan
keluarga yang ekspresi emosinya rendah yaitu 58% : 16% (Sejahtera, 1994).
Dari hasil penelitian aspek keluarga dan kekambuhan pada Skizofrenia, maka
dianggap perlu untuk memasukan intervensi psikoedukatif pada keluarga dalam
pengobatan Skizofrenia. Hal ini dapat menurunkan atau mencegah kekambuhan dan
meningkatkan kemampuan adaptasi sosial penderita Skizofrenia (Martono, 1990).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam intervensi tersebut adalah
Penderita dalam pengobatan neuroleptika.
Infervensi yang dilakukan bersifat singkat (antara 6-25 session).
Fokus utama adalah mengurangi kritik dan keterlibatan yang berlebihan dari
keluarga.
Terapi tidak hanya ditujukan pada masalah penderita tetapi membantu
meringankan seluruh beban keluarga (Martono, 1990).
Selain itu, perlunya upaya rehabilitasi sebagai usaha untuk mengembalikan
pasien ke masyarakat untuk menjadikannya sebagai warga yang swasembada dan
berguna seperti dengan memberikan terapi kerja yang merupakan pertimbangan
penting dalam pengobatan, dengan memberikan aktivitas yang terapeutik maka akan
menolong pasien memulihkan, meningkatkan kembali daya konsentrasi, kemampuan
komunikasi, daya ingat, kemauan dan fungsi kepribadian lainnya (Martono, 1990).

2.7

Mekanisme kerja Antipsikotik dan Manfaat Klinis

17

Antipsikotik adalah antagonis dopamin dan menyekat reseptor dopamin di


berbagai jaras di otak. Antipsikotik atipikal juga meningkatkan keefektifan serotonin
(Widjaja, 2001).
Semua obat anti psikosis pada dasarnya mempunyai efek primer (efek klinis)
yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan utama pada efek sekunder (efek samping:
sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis antipsikosis mempertimbangkan
gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian disesuaikan dengan
dosis ekivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu tidak memberikan respons klinis
dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang tepat, dapat diganti
dengan obat antipsikosis lain (sebaiknya dan golongan yang tidak sama) dengan
dosis ekivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan obat antipsikosis sebelumnya
sudah terbukti efektif dan efek sampingnya ditolerir baik, maka dapat dipilih kembali
untuk pemakaian sekarang. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif
pilihannya adalah obat antipsikosis atipikal. Sebaiknya bila gejala positif lebih
menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasienpasien dengan efek samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal. Obat
antipsikotik yang beredar dipasaran dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu
anti psikotik generasi pertama (APG I) dan antipsikotik generasi ke dua (APG II)
(Widjaja, 2001).
APG I bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal,
nigostriatal dan tuberoinfundibular sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif
tetapi pemakaian lama dapat memberikan efek samping berupa: gangguan
ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan
menyebabkan disfungsi seksual/peningkatan berat badan dan memperberat gejala
negatif maupun kognitif. Selain itu APG I menimbulkan efek samping antikolinergik

18

seperti mulut kering pandangan kabur gangguan miksi, gangguan defekasi dan
hipotensi. APG I dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis yang digunakan
kurang atau sama dengan 10mg diantaranya adalah trifluoperazine, Haloperidol dan
pimozide. Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala
dominan apatis, menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi rendah bila
dosisnya lebih dari 50mg diantaranya adalah Chlorpomazine dan thioridazine
digunakan pada penderita dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit
tidur. APG II sering disebut bekerja pada serotonin dan dopamin pada ke empat jalur
dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan
sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah
Clozapine, Olanzapine, Quetiapine dan Risperidon (Widjaja, 2001).
Penggunaan utama antipsikotik untuk Skizofrenia, sindrom otak organik
dengan psikosis. Obat ini juga berguna untuk pasien yang mengalami ansietas berat
namun bagi pasien yang menyalahgunakan obat karena Benzodiazepin dikontra
indikasikan bagi mereka (Widjaja, 2001).

2.8

Chlorpromazine dan Derivat

2.8.1

Kimia

Chlorpromazine (CPZ) adalah 2-klor-N- (dimetil-aminopropil)- fenotiazin.


Derivat fenotiazin lain didapat dengan cara substitusi pada tempat 2 dan 10 inti
fenotiazin (Sulistia G, 1995).

19

2.8.2

Farmakodinamik.
CPZ (Largactil) berefek farmakodinamik sangat luas. Largactil diambil dari

kata large action (Sulistia G, 1995).

a).

Susunan Saraf Pusat.

CPZ menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak acuh
terhadap rangsang dan lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul
toleransi terhadap efek sedasi. Timbulnya sedasi amat tergantung dari
status emosional penderita sebelum minum obat.

Chlorpromazine berefek antipsikosis terlepas dari efek sedasinya.


Refleks terkondisi yang diajarkan pada tikus hilang oleh CPZ. Pada
manusia kepandaian pekerjaan tangan yang memerlukan kecekatan dan
daya pemikiran berkurang. Aktivitas motorik diganggu antara lain
terlihat sebagai efek kataleptik pada tikus. CPZ menimbulkan efek
menenangkan pada hewan buas. Efek in juga dimiliki oleh obat lain,
misalnya Barbiturat, Narkotik, Meprobamat, atau Klordiazepoksid.

Berbeda dengan barbiturat, CPZ tidak dapat mencegah timbulnya


konvulsi akibat rangsang listrik maupun rangsang oleh obat. Semua
derivat fenotiazin mempengaruhi ganglia basal, Sehingga menimbulkan
gejala parkinsonisme (efek ekstrapiramidal).

Chlorpromazine dapat mengurangi atau mencegah muntah yang


disebabkan oleh rangsangan pada chemoreceptor trigger zone. Muntah
yang disebabkan oleh kelainan saluran cerna atau vestibuler, kurang

20

dipengaruhi, tetapi fenotiazin potensi tinggi, dapat berguna untuk


keadaan tersebut.

Fenotiazin terutama yang potensinya rendah menurunkan ambang


bangkitan sehingga penggunaannya pada pasien epilepsi harus sangat
berhati-hati. Derivat piperazin dapat digunakan secara aman pada
penderita epilepsi bila dosis diberikan bertahap dan bersama anti
konvulsan (Sulistia G, 1995).

b).

Neurologik
Pada dosis berlebihan, semua derivat fenotiazin dapat menyebabkan gejala

ekstrapiramidal serupa dengan yang terlihat pada parkinsonisme (Sulistia G, 1995).


Dikenal 6 gejala sindrom neurologik yang karakteristik dari obat ini. Empat
di antaranya biasa terjadi sewaktu obat diminum, yaitu distonia akut, akatisia,
parkinsonisme dan sindrom neuroleptik malignant yang terakhir jarang terjadi. Dua
sindrom yang lain terjadi setelah pengobatan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun,
berupa tremor perioral (jarang) dan diskinesia tardif (Sulistia G, 1995).

c).

Otot Rangka
Chlorpromazine dapat menimbulkan relaksasi otot skelet yang berada dalam

keadaan spastik. Cara kerja relaksasi ini diduga bersitaf sentral, sebab sambungan
saraf-otot dan medula spinalis tidak dipengaruhi CPZ (Sulistia G, 1995).

d)

Endokrin

21

CPZ menghambat ovulasi dan menstruasi. CPZ juga menghambat sekresi


ACTH. Efek terhadap sistem endokrin ini terjadi berdasarkan efeknya terhadap
hipotalamus (Sulistia G, 1995).
Semua fenotiazin, kecuali Klozapin menimbulkan hiperprolaktinemia lewat
penghambatan efek sentral dopamin.

e).

Kardiovaskular
CPZ dapat menimbulkan hipotensi berdasarkan beberapa hal, yaitu: (1)

refleks presor yang penting untuk mempertahankan tekanan darah dihambat oleh
CPZ; (2) CPZ berefek bloker; dan (3) CPZ menimbulkan efek inotropik negatif pada
jantung. Toleransi dapat timbul terhadap efek hipotensif CPZ. Efek samping
hipotermia dapat digunakan pada terapi hibernasi. Efek antikolinergik berupa
takikardia, mulut dan tenggorok kering, sering terjadi pada pemberian fenotiazin.
Perlu digunakan berhati-hati pada penderita glaukoma dan hipertrofi prostat (Sulistia
G, 1995)

2.8.3

Farmakokinetik
Pada umumnya semua fenotiazin diabsorpsi dengan baik bila diberikan per

oral maupun parenteral. Penyebaran luas ke semua jaringan dengan kadar tertinggi di
paru-paru, hati, kelenjar suprarenal dan limpa. Sebagian fenotiazin mengalami
hidroksilasi dan konyugasi, sebagian lain diubah menjadi sulfoksid yang kemudian
diekskresi bersama feses dan urin. Setelah pemberian CPZ dosis besar, maka masih
ditemukan ekskresi CPZ atau metabolitnya selama 6-12 bulan (Sulistia G, 1995).

2.8.4. Indikasi.

22

Indikasi utama fenotiazin ialah Skizofrenia yang adalah gangguan psikosis


yang tersering ditemukan. Gejala psikotik yang dipengaruhi secara baik oleh
fenotiazin dan antipsikosis lain ialah ketegangan, hiperaktivitas, combativeness,
hostality, halusinasi, delusi akut, susah tidur, anoreksia, perhatian diri yang buruk,
negativisme dan kadang-kadang mengatasi sifat menarik diri. Pengaruhnya terhadap
insight, judgement, daya ingat dan orientasi kurang. Pemberian antipsikotik sangat
memudahkan perawatan pasien. Walaupun antipsikosis sangat bermanfaat untuk
mengatasi gejala psikosis akut, namun penggunaan antipsikosis saja tidak mencukupi
untuk merawat pasien psikotik. Perawatan, perlindungan, dan dukungan mentalspiritual terhadap pasien sangatlah penting (Sulistia G, 1995).
Semua antipsikosis kecuali mesoridazin, molindon, tioridazin dan klozapin
mempunyai efek antiemetik (Sulistia G, 1995).
Chlorpromazine merupakan obat terpilih untuk menghilangkan hiccup. Obat
ini hanya diberikan pada hiccup yang berlangsung berhari-hari sangat mengganggu.
Penyebab hiccup seringkali tidak dapat ditemukan, tetapi nervositas dan kelainan di
esofagus atau lambung mungkin merupakan kausanya. Dalam hal yang terakhir,
terapi kausal harus dilakukan (Sulistia G, 1995).

2.8.4

Efek Samping
Batas keamanan CPZ cukup lebar, sehingga obat ini cukup aman. Efek

samping umumnya

merupakan perluasan efek farmakodinamiknya.

Gejala

idiosinkrasi mungkin timbul, berupa ikterus, dermatitis dan leukopenia. Reaksi ini
disertai eosinofilia dalam darah perifer (Sulistia G, 1995).

23

Efek Samping

lainnya yaitu gejala ekstrapiramidal serupa dengan yang

terlihat pada parkinsonisme, mengantuk, apatis, pucat, bermimpi buruk, insomnia,


depresi, agitasi, perubahan emosi, kejang , mulut kering, hidung tersumbat,
konstipasi, kesulitan buang air kecil, pandangan kabur, hipotermia, namun kadang
kadang panas, hipotensi, takikardia, aritmia, terjadi perubahan EKG, gangguan
menstruasi dan menghambat ovulasi, galaktore, ginekomastia, impotensi, perubahan
berat badan, Agranulositosis, Leukopenia, Leukositosis, Anemia Hemolitik,
perubahan fungsi hati, sindrom yang menyerupai Lupus Eritematosis ( Liza, 2009).
Efek samping dari Chlorpromazin lainnya seperti nyeri tenggorok atau
demam, pandangan kabur, midriasis, disorientasi terhadap waktu,orang dan tempat,
halusinasi, kejang, demam tinggi, dilatasi pupil,Stupor dan koma, menurunnya
libido, erupsi kulit, urtikaria, makulopapular, petekie,dermatitis alergik dan
fotosensitivitas (Kaplan, 1997).

2..8.6 Sediaan
Clorpromazine tersedia dalam bentuk tablet 25 mg,100 mg serta larutan
suntik 25 mg/ml. Larutan CPZ dapat berubah warna menjadi merah jambu oleh
pengaruh cahaya (Sulistia G, 1995).
Perfenazin tersedia sebagai tablet 2 dan 4 mg. Tioridazin tersedia dalam
bentuk tablet 25 mg dan 100mg. Flufenazin tersedia dalam bentuk tablet 1 mg. Masa
kerja flufenazin cukup lama, sampai 24 jam (Sulistia G, 1995).

2.9

Haloperidol

2.9.1

Kimia

24

Haloperidol

adalah

4-[4-(-chlorophenyl)-4-hydroxy

1-piperidyl]-1-(4-

fluorophenyl)-butan-1-one.

2.9.2

Farmadinamik
Struktur Haloperidol

berbeda

dengan

fenotiazin,

tetapi

butirofenon

memperlihatkan banyak sifat farmakologi fenotiazin. Pada orang normal, efek


Haloperidol mirip fenotiazin piperazin. Haloperidol memperlihatkan antipsikotik
yang kuat dan efektif untuk fase mania penyakit manik depresif dan Skizofrenia.
Efek fenotiazin piperazin dan butirofenon berbeda secara kuantitatif karena
butirofenon selain menghambat efek dopamin, juga meningkatkan turn over ratenya
(Sulistia G, 1995).

a.

Susunan Saraf Pusat.


Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang

mengalami eksitasi. Efek sedatif Haloperidol kurang kuat dibanding dengan CPZ,
sedangkan efek Haloperidol terhadap EEG menyerupai CPZ yakni memperlambat
dan menghambat jumlah gelombang teta. Haloperidol dan CPZ sama kuat
menurunkan ambang rangsang konvulsif. Haloperidol menghambat sistem dopamin
di hipotalamus, juga menghambat muntah yang ditimbulkan oleh apomortin (Sulistia
G, 1995).

25

b.

Sistem Saraf Otonom


Efek Haloperidol terhadap sistem saraf otonom lebih kecil daripada efek

antipskotik lain; walaupun demikian Haloperidol dapat menyebabkan pandangan


kabur (blurring of vision). Obat ini menghambat aktivasi reseptor yang disebabkan
oleh amin simpatomimetik. tetapi hambatannya tidak sekuat hambatan CPZ
(Sulistia G, 1995).
Sistem kardiovaskular dan respirasi. Haloperidol menyebabkan hipotensi,
tetapi tidak sesering dan sehebat akibat CPZ. Haloperidol menyebabkan takikardia
meskipun kelainan EKG belum pernah dilaporkan. Chlorpromazine atau Haloperidol
dapat menimbulkan potensiasi dengan obat penghambat respirasi (Sulistia G, 1995).

2.9.3

Farmakokinetik
Haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya dalam plasma

tercapai dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam dan masih
dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun dalam
hati dan kira-kira 1% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui empedu. Ekskresi
Haloperidol lambat melalui ginjal, kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 5 hari
sesudah pemberian dosis tunggal (Sulistia G, 1995).

2.9.4

Indikasi
Indikasi utama Haloperidol ialah untuk psikosis. Butirofenon dapat juga

digunakan sebagai obat pilihan untuk mengobati sindrom Gilles de la Tourette, suatu
kelainan neurologik yang aneh yang ditandai dengan kejang otot hebat, menyeringai

26

(grimacing) dan explosive utterances of foul expletives (coprolalia, mengeluarkan


kata-kata jorok)disebut juga hiperkinetik child (Sulistia G, 1995).

2.9.5

Efek Samping
Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insidens yang

tinggi, terutama pada penderita usia muda. Pengobatan dengan Haloperidol harus
dimulai dengan hati-hati. Dapat tenjadi depresi akibat reversi keadaan mania atau
sebagai efek samping yang sebenarnya. Perubahan hematologik ringan dan selintas
dapat terjadi, tetapi hanya leukopenia dan agranulositosis sering dilaporkan.
Frekuensi kejadian ikterus akibat Haloperidol rendah. Haloperidol sebaiknya tidak
diberikan pada wanita hamil sampai terdapat bukti bahwa obat ini tidak
menimbulkan efek teratogenik (Sulistia G, 1995).
Efek samping Haloperidol berbeda pada berbagai tingkatan usia. Efek
samping yang sering terjadi pada anak-anak adalah efek piramidal. Sementara itu,
pada pasien usia lanjut efek samping yang sering muncul adalah efek ekstrapiramidal
dan hipotensi ortostatik (Prima, 2008).
Gerakan involunter seperti Distonia, akathisia, tardive dyskinesia juga bias
timbul akibat pengobatan dari Haloperidol tersebut (Kaplan,1997).

2.9.6. Sediaan
Haloperidol tersedia dalam haldol dan govotil sediaan tablet 2 mg dan 5 mg
serta larutan suntik lodomer 5 mg/ml, injeksi sebagai dekanoat 50 mg/ml. Paparan
sinar matahari dapat menghilangkan warna dan menyebabkan endapan berwarna
merah ataupun abu- abu setelah beberapa minggu (Sulistia G, 1995).

27

2.10

Mekanisme kerja Haloperidol dan Chlorpromazine


Walaupun semua obat antipsikosis efektif menyekat reseptor D2, kekuatan

penyekatan yang berkaitan dengan daya kerja lain reseptor tersebut berbeda pada
masing-masing obat. Sejumlah eksperimen terhadap ikatan reseptor- ligan telah
dilakukan untuk menemukan satu kerja reseptor yang dapat memprediksi efikasi
obat-obat antipsikosis. Misalnya, studi invitro tentang ikatan menunjukkan bahwa
Chlorpromazine ternyata lebih efektif dalam menyekat -1-adrenoseptor dari pada
reseptor D2 . kedua unsur tersebut juga relatif kuat menyakat reseptor 5-HT2 .
bagaimanapun juga, afinitas reseptor D1, sebagaimana diukur dengan penggantian
ligan D1, selektif, SCH23390 relatif lemah. Haloperidol bekerja lebih banyak pada
reseptor D2; dan memberikan efek terhadap 5-HT2 dan reseptor -1, tetapi tak begitu
berpengaruh terhadap reseptor D1. phymozide bekerja secara ekslusif pada reseptor
D2. clozaphine antipsikosis atipikal, yang menujukkan perbedaan klinis yang jelas
dari yang lainnya, lebih mengikat D4 , 5-HT2, -1, dan reseptor histamine
H1,daripada reseptor D2 dan D1. Risperidone hampir sama kuatnya dalam menyakat
D2 dan reseptor 5-HT2. Obat yang baru-baru ini diperkenalkan, olanzapine, ternyata
lebih poten sebagai antagonis reseptor 5-HT2, dengan potensi yang lebih sedikit dan
hampir sama pada reseptor D1,D2,dan -1. sedangkan serpindole lebih poten sebagai
antagonis 5-HT2 dan relatif poten sebagai antagonis D2 dan -1. Kesimpulan yang
sederhana dari eksperimen tersebut :
Chlorpromazine 1 = 5-HT2 > D2 > D1
Haloperidol : D2 > D1 = D4 > 1 > 5-HT2
Dari penjelasan diatas, tampak bahwa pengikatan reseptor D 1, tersebut paling
sedikit kemungkinannya untuk diprediksi manfaat klinisnya, tetapi afinitas reseptor
lain yang paling sulit untuk diinterpretasi. Penelitian baru-baru ini dilakukan untuk

28

mengetahui senyawa antipsikosis atipikal yang lebih selektif terhadap sistem


mesolimbik (untuk mengurangi efek-efeknya pada sistem ekstrapiramidal) atau
memberi efek pada reseptor neurotransmitter pusat seperti pada asetilkolin dan asam
amino eksitatorik yang masih belum diajukan sebagai target kerja obat-obat
antipsikosis (Mubarak, 2000).

2.11

Penatalaksanaan pencegahan terhadap efek samping


Dalam memilih pertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek

samping obat, Chlorpromazine yang efek samping sedatifnya kuat terutama


digunakan untuk sindrom psikosis dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif,
sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan, dan perilaku, dan sebagainya (Mubarak,
2000).
Efek Sedasi, terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor
dopamine tipe 1. Pada awal pengobatan dengan Chlorpromazine pasien sebaiknya
diperingatkan

untuk

tidak

mengemudikan

kendaraan

dan

mengoperasikan

mesin.Memberikan dosis antipsikotik harian sebelum tidur menghilangkan masalah


dari sedasi (Kaplan,1997).
Hipotensi ortostatik, jika akan menggunakan Chlorpromazine Intramuskular
(IM), klinis harus mengukur tekanan darah pasien (berbaring dan berdiri) sebelum
dan setelah dosis pertama dan selama beberapa hari terapi. Jika diperlukan,pasien
harus diperingatkan tentang kemungkinan jatuh pingsan dan harus diberikan instruksi
untuk bangun dari tidur perlahan-lahan,duduk pertama kali dengan kaki berjuntai,
menunggu beberapa menit,dan duduk atau berbaring jika merasa akan pingsan.
Gejala dapat ditangani dengan membaringkan pasien dengan kaki lebih tinggi
dibandingkan kepala, kadang-kadang ekspansi volume atau vasopressor seperti

29

norepinefrin (Levophed) dan agen presor adrenergic 1 murni seperti metaraminol


(Aramine) adalah obat terpilih untuk gangguan (Kaplan,1997).
Efek Hematologis, gangguan hematologis yang membahayakan adalah
agranulositosis. Agranulositosis paling sering terjadi selama tiga bulan pertama
terapi, jika pasien melaporkan suatu nyeri tenggorok atau demam,hitung darah
lengkap harus dilakukan segera untuk memeriksa kemungkinannya.Jika indeks darah
adalah rendah,Chlorpromazine harus dihentikan (Kaplan,1997).
Efek Antikolinergik perifer, sering ditemukan dan terdiri dari mulut dan
hidung kering, pandangan kabur, konstipasi, retensi urine, dan midriasis. Beberapa
pasien juga mengalami mual muntah. Untuk mulut kering pasien dapat dianjurkan
untuk sering membilas mulutnya dengan air dan tidak mengunyah permen karet atau
permen yang mengandung gula, karena hal tersebut dapat menyebabkan infeksi
jamur pada mulut atau peningkatan insidensi karies gigi. Konstipasi harus diobati
dengan preparat laksatif, dan apabila berkembang menjadi ileus paralitik dianjurkan
untuk pemberian Pilocarpine. Bethanechol (Urecholine) 20 sampai 40 mg sehari
mungkin berguna pada beberapa pasien dengan retensi urine (Kaplan,1997).
Efek Antikolinergik sentral, gejala aktivitasnya adalah agitasi parah;
disorientasi terhadap waktu, orang dan tempat; halusinasi, kejang, demam tinggi,
dilatasi pupil, Stupor dan koma dapat timbul. Terapi toksisitas antikolinergik adalah
dengan menghentikan obat penyebab, pengamatan medis yang ketat dan
physostigmine (Antilirium,Eserine), 2 mg melalui infuse IV lambat, diulangi dalam
satu jam seperlunya. Terlalu banyak physostigmine adalah hypersalivasi dan
berkeringat. Atropine sulfate (0,5 mg) dapat membalikkan efek toksisitas
physostigmine (Kaplan,1997).

30

Efek Endokrin, beberapa laporan telah menyatakan bahwa terapi kondisi


dengan bromocriptine (Parlodel), atau yohimbin (Yocon) adalah berhasil pada
beberapa pasien yang mengalami impotensi,namun tetap dipertimbangkan resiko
eksaserbasi (Kaplan,1997).
Efek

dermatologis,

seperti

erupsi

kulit,

urtikaria,

makulopapular,

petekie,dermatitis alergik dan fotosensitivitas yang muncul pada awal terapi dan
dapat menghilang dengan spontan. Reaksi fotosensitivitas yang menyerupai terbakar
mata hari (sunburn) yang parah dapat dicegah dengan memberitahu pasien agar tidak
berada di bawah sinar matahari lebih dari 30 sampai 60 menit, dan harus
menggunakan tabir surya (sun screen) (Kaplan,1997).
Overdosis, terapinya harus termasuk pemakaian arang aktif (activated
charcoal), jika mungkin dan lavase lambung. Pemakaian emetic tidak didindikasikan.
Kejang, dapat diobati dengan diazepam (Valium) IV atau Phenytoin (Dilantin)
(Kaplan,1997).
Haloperidol memiliki efek sedative lemah digunakan untuk sindrom psikosis
dengan gejala dominan apatis, menarik diri, perasaan tumpul, kehilangan minat dan
inisiatif, hipoaktif, waham, halusinasi, dan sebagainya. Pemberian Haloperidol
dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjurannya yaitu 1 atau 2mg.
Dinaikkan dosisnya 2 sampai 3 hari sampai mencapai dosis efektif (Mulai timbul
perbedaan gejala), Dosis per hari yang efektif antara 5-20 mg. Evaluasi dilakukan
tiap 2 minggu dan bila perlu dosis dinaikkan, sampai mencapai dosis optimal. Dosis
ini dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) kemudian diturunkan setiap 2
minggu sampai mencapai dosis pemeliharaan. Dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun
(diselingi masa bebas obat 1-2 hari /minggu ). Kemudian tappering off, dosis
diturunkan tiap 2-4 minggu dan dihentikan (Mubarak,2000).

31

Distonia, paling sering timbul pada laki-laki muda (kurang dari 40 tahun),
diperkirakan merupakan hiperaktivitas dopaminergik di ganglia basalis yang terjadi
jika kadar obat dalam system saraf pusat mulai menurun, profilaksis dengan
antikolinergik seperti Benztropine 0,5-2 mg 3x sehari;IM atau IV 1-2 mg biasanya
mencegah berkembangnya distonia (Kaplan,1997).
Akathisia, perasaan subjektif adanya rasa tidak nyaman pada otot yang
menyebabkan pasien gaduh gelisah,berganti-ganti duduk dan berdiri secara cepat,
gerakan-gerakan tersebut tidak dapat dikendalikan oleh pasien dan obat yang efektif
adalah Propanolol (Inderal) (30-120 mg sehari), Benzodiazepin dan Clonidin
(Catapres) (Kaplan,1997).
Tardive dyskinesia, merupakan gangguan pergerakan di luar kendali pasien
yang muncul setelah pengobatan Haloperidol yang lama ,dieksaserbasi oleh stres dan
menghilang selama tidur. Gangguan pergerakan tersebut bisa dicegah dengan
penggunaan Haloperidol hanya denga dosis yang diindikasikan dan dengan dosis
efektif yang terendah, namun apabila sudah terdiagnosis tardive dyskinesia maka
menurunkan dosis dan mengganti Haloperidol dengan antipsikotik baru termasuk
Clozapin adalah strategi terapi yang utama, namun penggunaan Carbamazepine atau
Benzodiazepine efektif dalam menurunkan gejala tersebut (Kaplan,1997).
Untuk efek samping non neurologis pencegahan dan penatalaksanaan sama
dengan pada Chlorpromazine (Kaplan,1997).
Pada anak-anak atau usia lanjut dosis Haloperidol diturunkan dan dapat
dimulai dengan 0,5 1,5 mg/ hari dengan pemberian 2 atau 3 kali perhari (Mubarak,
2000).
Obat antipsikosis long acting (Haloperidol 50mg/mL IM, untuk 2-4 minggu)
sangat berguna pada pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun

32

yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 mL setiap 2
minggu pada bulan pertama kemudian baru ditingkatkan 1mL setiap bulan (Mubarak,
2000).
Haloperidol sering menimbulkan gejala ekstrapiramidal, meliputi kaku otot,
hipersalivasi, distonia, diskinesia maka diberikan tablet trihexylphenidine (artane) 34 x 2mg/hari atau sulfas athropin 0,5-0,75 mg IM (Mubarak, 2000).

33

BAB III
EFEK SAMPING HALOPERIDOL DAN CHLORPROMAZINE PADA
PASIEN SKIZOFRENIA DITINJAU DARI ISLAM

3.1 Efek Samping Haloperidol Dan Chlorpromazine


Skizofrenia merupakan suatu gangguan psikotik yang kronik, sering mereda
namun hilang timbul dengan manifestasi klinis yang amat luas variasinya
(Kaplan,1998).
Penyakit ini sangat menyusahkan bagi penderita maupun keluarganya karena
onset terjadinya pada saat dewasa muda produktif yaitu dibawah 45 tahun, dan dalam
perjalanan penyakitnya akan mengalami kemunduran (deteriorasi) dan taraf fungsi
sebelumnya. baik fungsi sosial, pekerjaan maupun kemampuan merawat diri sendiri.
Dalam perjalanan penyakitnya, Skizofrenia mempunyai 3 fase, yaitu fase prodromal,
fase aktif dan fase residual dan dapat berkembang menjadi (Kaplan,1998):
1. Subkronik, yaitu bila individu menunjukkan penyakit terus-menerus, paling
sedikit 6 bulan dan kurang dari 2 tahun.
2. Kronik, sama dengan di atas tetapi lebih dari 2 tahun.
3. Subkronik dengan eksaserbasi akut, yaitu timbul ulangnya gejala psikotik yang
jelas pada seseorang dalam keadaan subkronik.
4. Kronik dengan eksasebasi akut, sama seperti di atas tetapi dalam keadaan kronik.
5. Dalam keadaan remisi, yaitu keadaan yang sama sekali tidak menunjukkan gejala
- gejala penyakit, terlepas apakah ia memakai obat atau tidak.

34

Sesuai dengan anjuran agama untuk berobat jika sakit, sebaiknya penderita
Skizofrenia dianjurkan untuk berobat agar kondisinya dapat pulih ke tingkat
kesehatan yang seoptimal mungkin, sesuai hadits Nabi:

Artinya : Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obatnya dan menjadikan


setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kamu, dan Jangan berobat
dengan yang haram (HR. Abu Dawud).
Dan karena penderita tidak merasa dirinya sakit dan karenanya tidak ada
motivasi untuk berobat maka peran serta keluarga sangat dibutuhkan yaitu dalam hal
mewaspadai timbulnya gejala dan membawa penderita ke dokter. Hal ini sesuai
dengan firman Allah:



Artinya : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang - orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati
dengan kesabaran. (Q.S. alAshr (103:1-3).
Pengobatan yang diberikan pada penderita Skizofrenia ini bersifat eklektik
holistik. Dengan pendekatan ini diharapkan penderita dapat kembali berfungsi secara
wajar dalam kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di sekolah / kampus, di tempat
kerja dan di lingkungan keluarganya. Jika ditinjau dari tujuan dan jenis terapi yang
diberikan maka menurut pandangan Islam diperbolehkan. Karena hal tersebut telah
diteliti oleh ahlinya seperti oleh para dokter jiwa.

Penatalaksanaan Holistik tersebut terdiri dari:

35

1. Psikoedukatif, berguna untuk membantu dan menambah efek farmakologis,


antara lain psikoterapi suportif, perilaku, kognitif, termasuk re-edukasi,
rekonstruksi

kepribadian

serta

berbagai

pelatihan

dan

conditioning

(pembiasan) perilaku (Kaplan dkk, 1997).


2. Psikososial. dimaksudkan agar penderita mampu kembali beradaptasi dengan
lingkungan sosial dan mampu merawat diri mampu mandiri sehingga tidak
menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat (Hawari, 2001).
3. Psikoreligius, sangat berguna untuk meluruskan gejala patologis dengan pola
sentral keagamaan berupa kegiatan ritual keagamaan seperti sholat, berdoa, zikir,
ceramah keagamaan dll, dengan demikian diharapkan keyakinan atau keimanan
penderita dapat pulih kembali ke jalan yang benar. Dan terutama agar pasien
memperoleh ketenangan dan penyembuhan penyakit. Seperti keyakinan Nabi
Ibrahim yang diceritakan dalam al Quran:


Artinya : Dan apabila aku sakit Dialah yang menyembuhkan (Q.S. AsySyuaraa (26): 80)
4. Psikofarmaka, sangat efektif untuk menghilangkan gejala klinis Skizofrenia atau
dengan kata lain penderita Skizofrenia dapat diobati karena obat psikofarmaka
mempengaruhi neurotransmitter otak penderita Skizofrenia yang terganggu.
Berkat kemajuan di bidang Ilmu Kedokteran Jiwa, saat ini telah ditemukan obat
antipsikotik baru yang disebut Haloperidol dan Chlorpromazine.
Obat - obat psikofarmaka konvensional pertama kali disintesis atau berasal
dari senyawa kimia Phenothiazine yang selanjutnya berbagai antipsikotik yang
secara struktural berbeda tapi tidak berbeda secara farmakodinamik dan
phenothiazine diperkenalkan dalam praktek klinis. Kemudian laboratorium dari salah

36

satu riset Belgia, khususnya Paul Janssen, memperkenalkan Haloperidol, suatu


butyrophenone;

Pimozide,

suatu

diphenylbutylpiperidine;

dan

terakhir

Chlorpromazine (Kaplan dkk, 1997).


Chlorpromazine (CPZ) adalah 2-klor-N- (dimetil-aminopropil)- fenotiazin.
Derivat fenotiazin lain didapat dengan cara substitusi pada tempat 2 dan 10 inti
fenotiazin. Chlorpromazine menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak
acuh terhadap rangsang dan lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul toleransi
terhadap efek sedasi. Timbulnya sedasi amat tergantung dari status emosional
penderita sebelum minum obat (Sulistia G, 1995).
Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania penderita psikosis
yang karena hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin. Reaksi ekstrapiramidal timbul
pada 80% penderita yang diobati Haloperidol. Oksipertin merupakan derivat
butirofenon yang banyak persamaannya dengan CPZ. Oksipertin berefek blokade
adrenergik dan antiemetik serta dapat menimbulkan parkinsonisme pada manusia
(Sulistia G, 1995).
Meneliti dan mendapatkan jenis obat baru ini merupakan usaha manusia
untuk mengembangkan obat antipsikotik yang efektif dengan efek samping yang
lebih kecil. Efek samping Haloperidol dan Chlorpromazine yaitu efek subyektif
seperti rasa kantuk dan lelah serta menurunnya performa pada pasien. Obat psikotik
lebih banyak bekerja pada daerah subkortikal, hipersinkronisasi yang ditimbulkan
oleh obat antipsikotik dapat berakibat kelumpuhan diwaktu-waktu tertentu pada
pasien yang tidak pernah mengalami kelumpuhan sebelumnya serta gangguan
disfungsi seksual, hanya perbedaannya Chlorpromazine lebih efektif dalam menyekat
-1-adrenoreseptor

dari

pada

reseptor

(Mubarak, 2008).

37

D2

dibandingkan

Haloperidol

3.2.

Skizofrenia menurut Pandangan Islam


Allah SWT secara harfiah telah menciptakan manusia sebagai mahluk yang

paling sempurna dengan dilengkapi oleh akal, perasaan, kemauan dan kehendak.
Sebagaimana Allah SWT berfirman:


Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya (QS. At-Tin (95): 4).
Akal merupakan satu-satunya perbedaan yang sangat mendasar pada diri
manusia terhadap mahluk ciptaan Allah SWT yang lainnya. Tetapi dengan kehendakNya pula akal seseorang dapat menjadi rusak atau hilang. Orang yang menggunakan
akalnya pada dasarnya adalah orang yang cerdas (Asysyarawi, 1999).
Secara etimologi akal memiliki arti al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan),
al-hajr (menahan), al-nahyu (melarang), dan Manu (mencegah). Berdasarkan makna
bahasa ini maka yang disebut orang yang berakal (al-aqil) adalah orang yang mampu
menahan dan mengikat hawa nafsu. Jika hawa nafsu terikat maka jiwa
rasionalitasnya mampu bereksistensi. Nama lain dari akal adalah hulm, nuha, hijir
dan hujjah. Akal merupakan salah satu bagian dari daya nafsani manusia yang
memiliki dua makna, yaitu:
1. Akal jasmani, yaitu salah satu organ tubuh yang terletak di kepala. Akal ini lazim
disebut dengan otak (al-dimagh) yang bertempat di dalam kepala.
2. Akal ruhani, yaitu cahaya (al-nur) ruhani dan daya nafsani yang dipersiapkan
untuk memperoleh pengetahuan (al-marifah) dan kognisi (al-mudrikat).
Akal diartikan sebagai energi yang mampu memperoleh, menyimpan dan
mengeluarkan pengetahuan. Akal merupakan daya kekuatan untuk memperoleh

38

segala ilmu. Ilmu akal meliputi ilmu yang duniawi dan ukhrowi. Beberapa nash yang
mendukung eksistensi akal sebagai bagian dari diri manusia, disebutkan dalam hadist
Nabi SAW:



Artinya: Tidak dijadikan Allah suatu makhluk yang terlebih mulia pada-Nya
daripada akal (HR. al-Bukhari-Muslim).
Penyakit Skizofrenia merupakan gangguan jiwa dimana pasien tidak mampu
menilai mana yang nyata dan mana yang bukan nyata, atau biasa disebut kehilangan
akal sehat (gila). Adapun gejala dari Skizofrenia adalah:
1. Secara umum juga dijumpai waham dan halusinasi yang bersifat mengambang
serta terputus-putus. Bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat, dan tema
abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan pikirannya.
2. Perilaku yang tidak bertanggung jawab, tanpa tujuan dan tanpa maksud. Suasana
perasaan (mood), pasien yang dangkal dan tidak wajar (inapproriate). Sering
disertai oleh cekikikan atau perasaan puas diri (self-satisfied).
3. Senyum-senyum sendiri (self absorbed smiling), atau oleh sikap yang angkuh
atau tinggi hati, tertawa menyeringai, mengibuli secara bersenda gurau, keluhan
yang hipokondrik, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases).
4. Proses berfikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu serta
inkoheren. Ada kecenderungan untuk tetap menyendiri (solitary).
Perubahan-perubahan sosial yang serba cepat sebagai konsekwensi
modernisasi dan industrilisasi ataupun kemajuan ilmu mempunyai dampak dalam
kehidupan masyarakat. Stres psikososial dapat merupakan salah satu faktor pencetus,
yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang itu

39

terpaksa mengadakan adaptasi atau menanggulangi stresor yang timbul (Abdullah,


2002, Hawari, 2001).
Sehingga hal-hal seperti ini dapat menyebabkan kesehatan fisik dan jiwa dari
seseorang dapat menurun dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari, Allah
SWT berfirman:



Artinya: Allah menganugrahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam rentang Al
Quran dan As Sunah) kepada siapa yang dikehendak-Nya. Dan
Barangsiapa yang dianugrahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi
karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakal-lah yang
dapat mengambil pelajaran (QS. Al-Baqarah (2): 269).
Suatu penyakit yang menutupi atau mengganggu akal, akan menyebabkan
akal tidak mampu menangkap suatu objek dengan benar dan disertai kebingungan
dan kekacauan pikiran. Orang yang akalnya tertutup atau terganggu, tidak dapat
membedakan antara yang benar dan yang salah, atau antara yang baik atau yang
buruk (Ichtiar Barn Van Hoeve, 2000).
Akal menurut agama Islam merupakan daya pikir yang terdapat pada jiwa
manusia, daya yang dalam Al-Quran digambarkan memperoleh pengetahuan. Akal
harus mampu menjelaskan untuk apa orang tersebut hidup, bagaimana harus mengisi
dan menjalani hidup. Akal mampu menghantarkan manusia pada esensi kemanusiaan
(haqiqah insaniyah).
Secara psikologi akal memiliki fungsi kognisi (daya cipta). Kognisi adalah
suatu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan dalam berimajinasi,
memprediksi, berfikir, mempertimbangkan, menduga dan menilai. Dalam Al-Quran
komponen nafsani yang mampu berakal adalah kalbu, Allah SWT berfirman:

40




Artinya: Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati
yang ada di dalam dada (QS. A1-Hajj (22): 46).
Akal dan kalbu bisa dipengaruhi oleh lingkungan, pengaruh lingkungan ini
terkadang bisa baik dan bisa juga buruk. Apabila kalbu ini berfungsi secara normal,
maka kehidupan manusia menjadi baik. Sebab kalbu memiliki nature ilahiyyah atau
rabbaniyyah, karena baik buruk kalbu tergantung pada pilihan manusianya itu
sendiri. Hal itu sesuai dengan Sabda Nabi Muhammad SAW:



Artinya: Sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, apabila
ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya dan jikalau ia rusak maka rusaklah
seluruh tubuhnya, ingatlah bahwa ia adalah kalbu (HR. Al-Bukhari dari
Numan ibn Basyir).
Kehilangan akal dapat terjadi dalam situasi dan kondisi yang berbeda, seperti
hilang akal sesaat, hilang akal sementara, atau hilang akal permanen. Hilang akal
sesaat lebih dikenal dengan sebutan lupa atau tidak ingat. Dengan bantuan stimulan
tertentu maka seseorang akan mudah mengingatnya kembali tanpa kesulitan. Untuk
hilang akal sementara seperti tidur atau pingsan, apabila penyebab hilang akal telah
selesai, maka seseorang akan pulih kembali dan hilang akal sementaranya.
Sedangkan orang yang hilang akal secara permanen, maka hal inilah yang
biasa disebut sebagai gila (Skizofrenia). Sedangkan orang yang rusak akal adalah
orang yang tidak mampu mempergunakan akalnya sehingga hawa nafsu dapat
41

menguasai dirinya (buruk akhlak), ia tidak mampu mengendalikan diri dan akan sulit
memahami kebenaran, karena seseorang yang dikuasai hawa nafsu akan
mengakibatkan terhalang untuk memahami kebenaran (Hawari, 1999).

3.3.

Anjuran Berobat Bagi Penderita Skizofrenia Dalam Islam


Selama manusia hidup tidak pernah luput dari berbagai masalah, sesuai

dengan syariat Islam maka masalah yang ada harus dipecahkan, misalnya bila
menderita sakit maka solusinya adalah berobat. Islam mengajarkan dalam
memecahkan masalah serta menetapkan apa tujuan tindakan, sebagaimana sabda
Nabi Muhammad SAW : (Bahreisy, 2000)












Artinya : Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung dari niat dan
tujuannya, dan manusia akan memperoleh apa yang diniatkannya. (H.R
Al Bukhari)
Zulkifli (1994) mengatakan bahwa seseorang dikatakan sakit adalah bila
terdapat ketidaknormalan pada fisik, mental (iman, jiwa dan qalbu) dan sosialnya.
Penyakit bukan hanya terdapat pada ketidaknormalan fisik saja tetapi iman, jiwa dan
qalbu seseorang juga bisa sakit, begitu juga pada keadaan sosialnya. Dapat dibedakan
antara sakit fisik, iman, dan sosial sebagai berikut:
1.

Sakit Fisik
Sakit fisik adalah bila kondisi tubuh dalam keadaan tidak normal, baik secara

fisik atau secara fisiologis. Penyakit fisik diantaranya kelainan bawaan, penyakit
infeksi, tumor, penyakit karena terpapar benda tajam atau tumpul dan lain-lain,
sebagaimana firman Allah SWT berikut:



42






Artinya: Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang,
tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, Makan
(bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapakbapakmu, dirumah ibu-ibumu, dirumah saudara- saudaramu yang lakilaki, di rumah saudaramu yang perempuan, dirumah saudara bapakmu
yang laki-laki, dirumah saudara bapakmu yang perempuan, dirumah
saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu yang perempuan,
dirumah yang kamu miliki kuncinya atau dirumah kawan-kawanmu. tidak
ada halangan bagi kamu Makan bersama-sama mereka atau
sendirian.(Q.S. An-Nuur (24): 61).
2. Sakit Mental
Sakit mental adalah yang berhubungan dengan iman, jiwa dan qalbu
seseorang.
a. Sakit Iman
Seseorang dikatakan sakit imannya bila orang tersebut mengaku dirinya
muslim tapi ia tidak melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT,
sebagaimana firman Allah berikut:




Artinya: Tetapi mereka berpaling, Maka Kami datangkan kepada mereka banjir
yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang
ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari
pohon bidara (QS. Saba (34): 16)
Obat bagi mereka yang sakit iman adalah mengabdikan hidupnya sematamata untuk mendapatkan ridho Allah SWT, seperti firman Allah berikut:

43

Artinya: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk


Allah, Tuhan semesta alam (QS.Al-An am (6): 162).
b. Sakit Jiwa
Sakit jiwa adalah perilaku atau psikologis seseorang yang secara khusus
berkaitan dengan gejala penderitaan strees di dalam satu atau lebih fungsi manusia
yaitu perilaku, psikologis atau biologis. Malas dan putus asa adalah beberapa contoh
gangguan kejiwaan. Setiap muslim dilarang Allah SWT untuk berputus asa,
sebagaimana firman-Nya berikut:

...

Artinya: Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum
yang kafir" (QS. Yusuf (12):87)
c. Sakit Qalbu
Sakit qalbu adalah hati yang sedang mengalami sakit yang disebabkan oleh
karena kurang atau tidak disirami dengan dzikir kepada Allah SWT dapat
menurunkan Iman seseorang. Qalbu orang yang sehat adalah ibarat cermin yang bila
cermin itu kotor maka selalu dibersihkan sehingga selalu bersih, sedangkan qalbu
yang sakit adalah ibarat cermin yang kotor yang tidak pernah dibersihkan, sehingga
menjadi sakit dan sulit disembuhkan.
Obat untuk orang sakit qalbu adalah dengan selalu mengingat Allah SWT,
sebagaimana firman-Nya berikut:



(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan
mengingat Allah. ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi
tentram (QS.Ar-rad(13): 28).
3. Sakit Sosial
44

Sakit sosial adalah bila kebutuhan sandang, pangan dan papan tidak tercukupi
untuk menopang kehidupan. Bagi seorang muslim kekurangan yang dialami, harus
disadari bahwa hal ini merupakan suatu ujian dari Allah SWT, seperti dikatakan
dalam firman Allah:



Artinya:Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu,
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar (QS. Al-Baqarah(2): 155).
Skizofrenia merupakan sakit mental (kejiwaan). Bagi orang yang divonis
menderita sakit tersebut, kata-kata itu akan menimbulkan perasaan takut dan
khawatir bagi lingkungn keluarga maupun lingkungan sekitar.
Berusaha untuk sembuh dan mengobati penyakitnya merupakan tindakan
yang dianjurkan dalam Islam. Dalam hal ini penderita disuruh untuk berobat.
Mengenai pengobatan ini ada dua hadits yang terkenal, yaitu menganjurkan berobat
bila sakit dan melarang berobat dengan yang haram (Uddin, 2002).














.



:


.
Artinya : Usamah bin Syarik berkata: Di waktu saya beserta Nabi Muhammad
SAW, datanglah beberapa orang badui, lalu mereka bertanya, Ya
Rasullulah, apakah kita mesti berobat?. Ya, wahai hamba Allah,
berobatlah engkau, karena Allah tidak mengadakan penyakit, melainkan ia
adakan obatnya, kecuali satu penyakit. Tanya mereka: Penyakit apakah
itu?Jawab beliau:Tua(HR. Ahmad).

45

Jadi jelaslah bahwa Allah SWT menurunkan penyakit beserta dengan


obatnya. Oleh karena itu manusia hendaklah berikhtiar dan bersabar dalam
menyembuhkan penyakitnya. Sabar dan tidak gelisah dalam menghadapi cobaan atau
penyakit adalah selaras dengan firman Allah SWT :



Artinya: Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah
terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)(Q.S. Luqman (31): 17).
Rasullulah SAW bersabda :




Artinya: Ketika Rasullulah SAW mengunjungi seorang laki-laki Anshar beliau
menunjukkan diri kepadanya serta menanyai, maka dia menjawab: Ya
Nabiyallah, aku sudah tujuh malam sudah tidak memejamkan mata dan
tidak seorang pun datang menengok aku. Lalu Rasullulah SAW
bersabda: Hai saudarku, sabarlah, niscaya engkau akan keluar dari
dosa-dosamu seperti pada saat engkau memasukinya(HR. Ibnu
Abidduniya).
Sebagai umat Islam apabila terkena suatu penyakit harus tetap berusaha dan
tidak boleh berputus asa untuk mendapatkan penyembuhan, seperti firman Allah
SWT:



Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.

46

Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang
kafir". (Qs. Yusuf (12):87)
Manusia boleh memanfaatkan apa saja yang ada di bumi, bahkan apa saja
yang ada di alam semesta ini untuk dimakan, diminum, dipakai sebagai pakaian,
obat-obatan, kendaraan, perhiasan dan sebagainya kecuali yang jelas diharamkan
oleh Allah SWT.
Rasullulah SAW bersabda :











Artinya : Allah tidak menjadikan penyembuhan dengan apa yang diharamkan atas
kamu. (H.R Al-Baihaqi)
Ulama menyatakan yang dimaksud dengan al-muharram sebagaimana
dinyatakan dalam hadist nabi di atas, bukan hanya khamr tetapi juga menyangkut
segala sesuatu yang membahayakan kepala, otak dan menghilangkan ingatan baik
dari bahan-bahan tumbuhan atau obat-obatan yang membahayakan, zat-zat adiktif
lain yang meliputi penggunaan obat bius (al-mukhadirrat seperti ganja, kokain ,
heroin, dan sebagainya. Diharamkan karena unsur zat itu memabukkan, akan
merusak fungsi otak, melalaikan dzikir kepada Allah dan membahayakan tubuh,
ulama sepakat mengharamkannya (Zuhroni dkk, 2003).
Dalam mengobati penyakit tersebut, Islam menyuruh untuk menanyakan
kepada orang yang ahli di bidang itu. Hal ini terlihat jelas dalam Al Quran :



Artinya : Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki
yang kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang

47

yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui (Q.S. An


Nahl (16): 43).
Sebagaimana juga Rasullulah SAW bersabda:







Artinya: "Perbuatan yang baik adalah bertanya kepada orang yang ahli dan
sesudah itu mengerjakan nasihatnya. " (HR. Abu Dawud)

Juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari :




Artinya: Abu Hurairah berkata : Sabda Rasullulah SAW : Apabila suatu urusan
di serahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat
kehancurannya (HR. Al Bukhari)
Dalam hadits lainnya Rasullulah SAW bersabda :













:




:




:
:










Artinya: Amar bin Dinar meriwayatkan, dari Hilal bin Jasaf bahwa Rasullulah
SAW mengunjungi orang sakit, lalu bersabda, bawakan ke dokter maka
berkatalah dari orang yang hadir, Ya, karena Allah Azza Wa Jalla tidak
menurunkan
suatu
penyakit
melainkan
menurunkan
pula
penyembuhnya(HR. Al Bukhari dan Muslim).

48

Dari ayat dan hadits di atas jelaslah bahwa Islam menyuruh berusaha untuk
menyembuhkan penyakit yang dideritanya dengan berobat ke dokter, sebagai orang
yang lebih mengetahui atau ahli dalam bidang penyakit tersebut.
Hal yang perlu diingat adalah separah apapun penyakit yang diderita, ingatlah
Allah tidak mungkin memberikan suatu penyakit yang tidak sanggup dipikul seorang
muslim, dan kuasaNya tidak akan bisa dicegah meskipun dokter-dokter diturunkan
untuk menolong, namun tanpa kekuasaan Allah sakit yang dialami tidak akan
sembuh, karena dokter dan obat adalah sarana kesembuhan. Sebagaimana dalam AlQuran mengutip ucapan Nabi Ibrahim yang menyebutkan :


Artinya : dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku,(Qs. AsySyuaraa(26):80)
Rasullulah SAW bersabda:


Artinya: Setiap penyakit ada obatnya, jika obat itu tepat untuk penyakitnya, maka
kesembuhan itu atas izin Allah(HR. Muslim).

3.4.

Pandangan Islam Terhadap Perbandingan Efek Samping Haloperidol


Dan Chlorpromazine Pada Pasien Skizofrenia
Penggunaan Haloperidol dan Chlorpromazine ditujukan untuk tujuan

kesehatan dan kesembuhan penderita Skizofrenia. Semua ini dilakukan dalam rangka
mengamalkan petunjuk Islam yang lurus dan mendorong umatnya agar berobat bila
mana tubuhnya sakit.

49

Pada prinsipnya syariat Islam menganjurkan belajar ilmu kedokteran dan


mempraktekkannya karena tujuannya untuk kemaslahatan manusia, bermanfaat bagi
mereka dan kesehatan tubuh mereka. Salah satu cara yang mesti dilakukan oleh
kalangan medis adalah dengan penggunaan Haloperidol dan Chlorpromazine.
Menurut para ulama, hukum pemberian obat pada penderita Skizofrenia
hukumnya wajib karena untuk memulihkan kembali kondisi jiwa yang terganggu
(gila) kembali menjadi sehat dibenarkan dalam Islam, karena niat dan motivasi
utamanya adalah penyempurnaan fungsi sebagai pengobatan. Di antara ayat yang
dapat dijadikan sebagai dalil pengobatan dengan menggunakan Haloperidol dan
Chlorpromazine, dianggap sebagai upaya menjaga kehidupan dari gangguan
kejiwaan dan menghindari dari yang dapat membinasakannya. Allah SWT berfirman:






Artinya : Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa :
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan kerena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena orang itu (membunuh) orang
lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi ini, maka
seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa
yang memlihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah
datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keteranganketerangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka
bumi (QS Al-Maidah (5) : 32).
Berdasarkan ayat ini, Allah menghargai setiap upaya mempertahankan
kehidupan manusia dari gangguan kejiwaan, menjauhkan diri dari hal yang dapat
membinasakannya.
Bagaimanakah Islam memandang orang yang gila? Kedudukan orang gila
dalam Islam, berdasarkan hadits dan Aisyah RA.:
50







,
:












Artinya: Diangkatkan kalam (taklif/tugas) dari tiga golongan, yaitu orang tidur
sampai ia bangun, dan anak-anak sampai ia bermimpi (baligh), dan dari
orang gila sampai ia sadarkan diri (HR. Ahmad. Abu Daud dan Tirmidzi).
Dalam hadits ini menyampaikan pesan bahwa penderita Skizofrenia (orang
gila) tidak memiliki beban apapun dalam hubungannya dengan kawajiban
keberagamaannya. Sekalipun di dalam hukum Islam, orang gila (Skizofrenia)
terbebas dari berbagai kewajiban keberagamaan karena hilang akalnya. Akan tetapi
muatan dari hadits di atas mengisyaratkan bahwa orang gila memiliki kesempatan
untuk sampai ia sadarkan diri.
Hal ini berarti merupakan kewajiban dari setiap orang yang berada
disekitarnya, terlebih orang yang mampu (keluarga, medis dan paramedis). Untuk
membantu mengendalikan fungsinya agar dapat kembali sadarkan diri dan beribadah
kepada Allah SWT. Karena apabila penyakit tersebut tidak diobati akan
mengakibatkan kesehatan jiwanya makin terganggu (parah) dan akan mengganggu
lingkungan keluarga maupun sekitarnya. Tetapi apabila diobati penyakit tersebut bisa
kembali sadarkan diri dan dapat melaksanakan ibadah kembali kepada Allah SWT,
seperti shalat, puasa dan lain sebagainya.
Keterkaitan kesehatan jiwa dengan agama dinyatakan oleh Dadang Hawari,
bahwa dari semua cabang ilmu kedokteran, ilmu kedokteran jiwa dan kesehatan jiwa
adalah paling dekat dengan agama, bahkan ada titik temu antara keduanya. Dari
agama penyakit jiwa dapat dicegah atau mempertinggi kemampuan seseorang dalam
mengatasi penderitaan dan mempercepat proses penyembuhan (Zuhroni dkk, 2003).
Untuk mengobati Skizofrenia digunakan obat antipsikosis Haloperidol dan
Chlorpromazine. Dengan melihat struktur kimia tersebut merupakan senyawa devirat

51

fenotiazin dan devirat butirofenon, senyawa tersebut tidak memabukkan, tidak


bersifat adiktif dan tidak mengandung bahan-bahan yang di haramkan sehingga halal
dan dapat digunakan. Allah AWT melarang untuk berobat dengan yang haram,
seperti dikatakan dalam hadits Nabi SAW berikut:. Sebagaimana hadits Nabi SAW:











( )

Artinya: Allah tidak menjadikan penawar bagi kamu sesuatu yang sudah
diharamkan atas kamu. (H.R Baihaqi).
Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:



(

Artinya :

"Rasulullah SAW melarang menggunakan obat yang al khabits, yakni


yang meracuni". (HR Ahmad, Muslim, Ibnu Majah, dan al-Turmudzi).

Menilai keadaan ini, menurut agama Islam harus diperhatikan manakah yang
lebih besar manfaat atau mudharatnya dari Haloperidol Dan Chlorpromazine.
Manfaat Haloperidol Dan Chlorpromazine (Sulistia G, 1995):
1. Efektif dalam penatalaksanaan jangka panjang maupun pendek yaitu
menurunkan gejala akut dan mencegah eksaserbasi (kekambuhan) lebih
lanjut.
2. Lebih efektif mengatasi gejala positif dibandingkan untuk gejala negatif.
3. Lebih responsif pada pasien tipe Paranoid.
4. Dari segi harga lebih murah jika dibandingkan dengan obat Antipsikotik
Atipik.

52

5. Meningkatkan kualitas hidup.

Mudharatnya Haloperidol dan Chlorpromazine (Sulistia G, 1995):


1. Terjadi gangguan disfungsi seksual.
2. Gangguan jantung, otonomik, hematologis dan metabolik.
3. Juga dapat menimbulkan gejala negatif.

Fakta lain menunjukkan, selama ini dokter menggunakan antipsikotik


dengan pertimbangan:
1. Terutama untuk memperbaiki gejala positif, karena biasanya pasien datang ke
dokter pada fase akut.
2. Efek samping tersebut akan hilang jika obat dihentikan (Kaplan dkk, 1997).
Dari penjelasan di atas maka menurut agama Islam pengobatan penderita
Skizofrenia dengan penggunaan Antipsikotik diperbolehkan karena manfaatnya jauh
lebih banyak, dengan syarat dokter dapat menekan risiko munculnya efek samping
tersebut sekecil mungkin yaitu dengan meningkatkan ketelitian dokter dalam hal
memberikan obat-obatan Antipsikotik tersebut, seperti kapan pengobatan dimulai,
kapan harus dihentikandan kapan harus dimulai kembali. Tentunya juga dengan
ketepatan memberi dosis dari jenis obatnya. Hal ini berpedoman pada hadits Nabi

Artinya: Sesungguhnya Allah Taala menyukai bila seseorang mengerjakan


sesuatu pekerjaan dilakukan dengan teliti (Riwayat Baihaki, Abu YaIa,
Ibnu Asakir)

53

BAB IV
KAITAN PANDANGAN ILMU KEDOKTERAN DAN AGAMA ISLAM
PERBANDINGAN EFEK SAMPING DARI HALOPERIDOL DAN
CHLORPROMAZINE PADA PASIEN SKIZOFRENIA

Berdasarkan uraian pada Bab II dan Bab III terdapat kaitan pandangan antara
ilmu Kedokteran dan Islam, yaitu sebagai berikut:
Berdasarkan pandangan kedokteran bahwa pengobatan Skizofrenia dengan
antipsikotik yaitu dengan Haloperidol dan Chlorpromazine harus diikuti dengan

54

pengetahuan tentang efek samping yang mungkin bisa terjadi, Terlihat lebih banyak
efek samping ekstrapiramidal pada kelompok Haloperidol dan efek samping seperti
mulut kering dan sedatif pada kelompok Chlorpromazine. Obat antipsikotik lebih
banyak bekerja pada daerah mesokortikal, mesolimbik,dan nigrostriatal .
Islam adalah agama yang mengatur seluruh dinamika kehidupan umatnya.
Pengobatan Skizofrenia dengan antipsikotik yaitu Haloperidol dan Chlorpromazine
diperbolehkan karena bertujuan untuk menjaga kesehatan dan kesembuhan bagi
penderita Skizofrenia. Obat ini aman diberikan karena menggunakan derivat
fenotiazin dan derivat butirofenon dan tidak mengandung bahan-bahan yang
diharamkan oleh Islam. Efek samping dapat diantisipasi dan dihilangkan dengan
pemberian dosis obat yang sesuai dengan aturan. Penggunaan Chlorpromazine sering
menimbulan hipotensi orthostatik bila terjadi atasi dengan Noradrenalin (effortil,
IM). Efek samping ini dapat dicegah dengan tiduran selama 5-10 menit setelah
diberikan obat tersebut. Sedangkan Haloperidol sering menimbulkan gejala
ekstrapiramidal, maka diberikan tablet trihexylphenidin (artane) atau sulfas atropin.
Perbandingan efek samping Chlorpromazine lebih efektif dalam menyekat 1adrenoreseptor dari pada reseptor D2 dibandingkan Haloperidol.

55

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1

Kesimpulan
1. Farmakologi obat-obatan antipsikotik yaitu obat antipsikosis menyekat
reseptor D2 pascasinaps didalam sistem saraf pusat, terutama di sistem
mesolimbik frontal, dapat dilihat dari pemeriksaan PET (Positron Emission
Tomography) peningkatan

densitas

reseptor

dopamin

diotak

pasien

skizophrenia yang belum pernah dirawat dengan obat-obat antipsikosik.

56

2. Efek samping Chlorpromazine lebih ke efek sedatif, seperti lemas,


mengantuk sampai tertidur , dilihat dari reseptor 1 yang merupakan
antisympathomimetik properties yang dapat mengakibatkan turunnya tekanan
darah, takikardi, vertigo, hipersalivasi, disfungsi seksual serta adanya
pengaruh yang cukup besar pada reseptor- reseptor lain yang mengakibatkan
efek samping yang muncul menjadi lebih banyak, seperti terdapat gejala
idiosinkrasi berupa ikhterus, dermatitis, dan lainnya. Pada potensi tinggi
Chlorpromazine yang merupakan derivat fenotiazin dapat merangsang
chemoreseptor trigger zone sehingga mengakibatkan efek samping seperti
muntah dan pendarahan saluran cerna atau vestibuler. Efek- efek yang timbul
sama dengan efek yang ditimbulakan oleh Haloperidol, namun pada
Haloperidol yang merupakan derivat dari Butirofenon efek sedatif yang
timbul lemah dibanding Chlorpromazine. Haloperidol menghambat sistem
dopamin dan hipotalamus, sehingga bisa mencegah muntah yang ditimbulkan
oleh

apomorfin.

Untuk

sistem

cardiovaskular,

Haloperidol

dapat

menimbulkan hipotensi tapi tidak sekuat Chlorpromazine. Efek neurologik


obat ini pada dosis berlebihan akan menyebabkan gejala ekstrapiramidal
serupa dengan yang terlihat pada sindrom parkinson, Haloperidol lebih poten
untuk pasien Skizofrenia karena lebih besar pengaruhnya dalam menghambat
reseptor D2, namun untuk pasien Skizofrenia yang gaduh gelisah sebaiknya
pilih Chlorpromazine karena efek sedatifnya besar.
3.

Pandangan Islam terhadap pengobatan Skizofrenia dengan antipsikotik yaitu


Haloperidol dan Chlorpromazine diperbolehkan karena bertujuan untuk
menjaga kesehatan dan kesembuhan bagi penderita Skizofrenia, obat ini aman
diberikan dan tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan oleh Islam.

57

Efek samping dapat diantisipasi dan dihilangkan dengan pemberian dosis obat
yang sesuai dengan aturan

5.2

Saran
1. Untuk masyarakat agar dapat mengetahui informasi mengenai perbandingan
efek samping Haloperidol dan Chlorpromazine pada pasien Skizofrenia
dilihat dari ilmu kedokteran dan sudut pandang islam serta bagi keluarga
yang salah satu anggotanya menderita Skizofrenia agar tetap menuntun,
membimbing untuk menjalankan kewajiban kewajiban agama seperti shalat
dan puasa
2. Untuk Dokter agar memahami pengobatan pada pasien schizophrenia
sehingga terapi dapat diberikan secara holistik, dan juga memahami efek
samping obat sehingga lebih berhati-hati dalam pemberian obat.

3. Untuk umat Islam agar lebih meningkatkan kualitas keimanannya agar dapat
berfikir rasional sehingga dapat menyingkirkan mitos yang lebih mengarah
kepada akidah yang salah,seperti menganggap bahwa Skizofrenia disebabkan
oleh makhluk halus/ kekuatan supranatural,yang dimana sebenar-benarnya
Skizofren adalah kondisi medis yang dapat dipulihkan oleh obat-obatan

58

You might also like