You are on page 1of 13

PENDAHULUAN

Edema adalah penimbunan cairan yang berlebihan di antara sel-sel tubuh atau dalam
rongga tubuh. Cairan yang mengumpul di dalam rongga biasanya disebut efusi, misalnya
efusi pleura, efusi perikard. Penimbunan cairan dalam rongga peritonium disebut asites.
Edema umum yang masif disebut edema anasarka. Hidrops dan dropsi adalah istilah umum
yang dipakai untuk menyatakan edema. (patofisiologi)

Halaman 12 :
Edema merupakan gejala dari berbagai keadaan medis serius, seperti penyakit jantung
kongestif, gagal jantung, gagal hati, malnutrisi, dan sindroma nefrotik. Edema perifer bisa
juga terjadi akibat obstruksi vena atau obstruksi limfatik atau karena pemeberian garam dan
air yang berlebihan. Obat-obatan seperti obat inflamasi non steroid dan calsium chanel
blocker juga bisa menyebabkan edema perifer.
Edema Bilateral : pada edema tungkai bilateral, diagnosis di tegakkan dengan menentukan
ada tidaknya peningkatan tekanan vena dan ada tidaknya tanda penyakit hati, imobilitas berat
dan malnutrisi.
a. Gagal jantung : pada gagal jantung edema tungkai terjadi dari gagal jantung kanan
disertai peningkatantekanan vena jugularis. Sering di temukan hepatomegali sebagai
tanda kelainan jantung yang mendasarinya. Jika edema nampak sedikit di tungkai dan
beraat di abdomen harus dipertimbangkan adanya konstriksi perikardial
b. Gagal Hati : edema tungkai disebabkan oleh rendahnya kadar albumin (<20g/dl). Bisa
ditemukan tanda penyakit hati kronis seperti spider nevi,leukonikia,
ginekomastia,dilatasi vena abdomen, yang menunjukkan adanya hipertensi portal, dan
memar(kerusakan fungsi sintesis hati). Pada sirosis hati pemeriksaan enzim hati
mungkin hanya akan sedikit terganggu.
c. Gagal ginjal : edema disebabkan oleh rendahnya kadar albumin serum atau
ketidakmampuan mengekskresikan cairan (sindrom nefritik).
d. Imobilitas umum : pasien biasanya berusia tua dan jelas imobil karena lemah atau
penyakit serebrovaskular
e. Malnutrisi : derajat malnutrisi yang sangat berat dapat menurunkan kadar albumin
serum dan meyebabkan edema tungkai. Walaupunjarang edema bilateral dapt
disebabkan oleh tekanan vena kava inferior.
Edema tungkai unilateral : biasanya memiliki penyebab lokal misalnya : trombosis vena
dalam, rupturnya kista baker, selulitis, obstruksi limfatik,
(at a glance)
PATOFISOLOGI DEMA
Edema terjadi pada kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler,
peningkatan permeatabilitas kapiler atau peningkatan tekanan osmotik plasma. Ginjal
mempunyai peran penting dalam mempertahankan homeostasis cairan tubuh dengan control

volume cairan ekstraseluler melalui pengaturan ekskresi natrium dan air. Hormone
antidiuretik disereksikan sebagai respon terhadap perubahan volume darah, tonisitas dan
tekanan darah mempertahankan keseimbangan cairan tubuh.
Konsep volume darah arteri efektif (VDAE) merupakan hal penting dalam memahami
mengapa ginjal menahan natrium dan air. VDAE didefenisikan sebagai volume darah arteri
yang adekuat untuk mengisi keseluruhan pembuluh darah arteri. VDAE yang normal terjadi
pada kondisi dimana rasio curah jantung terhadap resistensi pembuluh darah perifer
seimbang. VDAE dapat berkurang pada kondisi terjadi pengurangan volume darah arteri
(pendarahan, dehidrasi ), penurunan curah jantung (gagal jantung ) atau peningkatan
capacitance pembuluh darah arteri
( sepsis, sirosis, hepatis ) sehinggga VDAE dapat
berkurang dalam keadaan volume darah actual yang rendah, normal atau tinggi. Pada orang
normal pembebanan natrium akan meningkatkan volume ekstraseluler dan VDAE yang
secara dapat merangsang natriuresis untuk memulihkan volume tubuh normal.
Jika VDAE berkurang maka ginjal akan memicu retensi natrium dan air. Mekanisme
ini melibatkan :

PENURUNAN ALIRAN DARAH GINJAL


Penurunan VDAE akan mengaktifasi resptor volume pada pembuluh darah besar, termasuk
low-pressure barorecep-tors, internal receptors sehingga terjadi peningkatan tonus simpatis
yang akan menurunkan aliran darah pada ginjal. Jika aliran darah berkurang akan
dikompensasi oleh ginjal dengan menahan natrium dan air melalui meknisme sebagai berikut
:
Peningkatan reabsorbsi garam dan air di tubulus proksimalis. Penurunan aliran darah
dari ginjal dipersiapkan oleh ginjal sebagai penurunan tekanan darah sehingga terjadi
kompensasi peningkatan sekresi rennin oleh apparatus juktaglomerulus. Rennin akan
menigkatkan pembentukan agiotensi II, angiotensin II ini akan menyebabkan kontriksi
arteriol eferen sehingga terjadi peningkatan fraksi filtrasi ( rasio laju filtrasi glomerulus
terhadap aliran darah ginjal ) dan peningkatan tekanan osmotic ini akan menyebabkan
peningkatan reabsorbsi air pada tubulus proksimalis.
Peningkatan reabsobrsi natrium dan air tubulus distalis. Angiotensin II akan merangsang
kelanjar adrenal melepaskan aldosteron ini akan menyebabkan retensi natrium pada tubulus
kontortus distalis.

SEKRESI HORMON ANTIDIURETIK (ADH)


Penurunan VDAE akan merangsang reseptor volume pada pembuluh arteri besar dan
hipotalamus aktivasi resptor ini akan merangsang akan pelepasan ADH yang kemudian
mengakibatkan ginjal menahan air.
Pada kondisi gangguan ginjal, komposisi cairan tubuh pada beberapa kompartemen tubuh
akan terganggu dan menyebabkan edema.

1. Penurunan tekanan osmotic


- Sindrom nefrotik
- Sirosis hepatis
- Malnutrisi
2. Peningkatan premeabilitas vascular terhadap protein
- Angioneurotik edema
3. Peningkatan tekanan hidrostatik
- Gagal jantung kongsetif
- Sirosis hepatis
4. Obstruksi aliran limfe
- Gagal jantung kongsetif
5. Retensi air dan natrium
- Gagal ginjal
- Sindrom nefrotik
Pembentukan edema pada sindrom nefrotik sindrom nefrotik adalah kelainan glomerulus
dengan karakteristik proteinuria (kehilanagan protein melalui urin >3,5g/hari)
hipoproteinemia, edema dan hiperlipidemia. Pasien sindrom nefrotik juga mengalami volume
plasma yang meningkat sehubungan dengan efek intrinsic eksresi natrium dan air.
Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik berhubungan dengan kehilangan protein sehingga
terjadi penurunan tekanan osmotic meyebabkan perpindahan cairan intravascular ke
interstitium dan memperberat pembentukan edema. Pada kondisi tertentu, kehilangan protein
dan hipoalbumin dapat sangat beratsehingga volume plasma menjadi berkurang yang
menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang juga merangsang retensi natrium dan air.
Ada dua mekanisme yang menyebabkan terjadinya edema pada sindrom nefrotik:
Meknisme underfiling. Pada mekanisme underfiling terjadinya edema disebabkan oleh
rendshnya kadar albumin serum yang mengakibatkan rendahnya tekanan osmotik plasma,
kemudian akan diikuti peningkatan transsudasi cairan dari kapiler keruang intersial sesuai
dengan hokum starling , akibatnya volume darah akan berkurang (underfiling) yang
selanjutnya mengakibatkan perangsangan sekunder system rennin-angiotensin-aldosteron
yang merentensi natrium dan air pada tubulus distalis. Hipotesis ini menempatkan albumin
dan volume plasma berperan penting pada proses terjadinya edema.
Mekanisme overfilling. Pada beberapa pasien sindrom nefrotik terdapat kelainan yang
bersifat primer yang mengganggu eksresi natrium pada tubulus distalis , sebagai akibatnya
terjadi peningkatan volume darah , penekanan system rennin-angiotensin dan vasopressin.
Kondisi volume darah yang meningkat (overfilling) yang disertai dengan rendahnya tekanan
osmosis plasma mengakibatkan transudasi cairan dari kapiler ke insteristital sehingga terjadi
edema.

Pembentukan edema pada gagal jantung kongsetif


Gagal jantung kongsetif ditandai kegagalan tanda jantung mulai memompa darah, darah akan
terbendung pada system vena dan saat yang bersamaan volume darah pada arteri mulai
berkurang, pengurangan pengisian arteri ini (direfleksikan pada VDAE) akan direspon oleh
reseptors volume pada pembuluh darah arteri yang memicu aktivasi system saraf simpatis
yang mengakibatkan vasokontriksi sebagai usaha untuk mempertahakan curah jantung yang
memadai. Akibat vasokontriksi maka suplai darah akan diutamakan ke pembuluh darah otak,

jantung dan paru, sementara ginjal dan orang lain akan mengalami penurunan aliran darah.
Akibatnya VDAE akan berkurang dan ginjal akan menahan air dan natrium.
Kondisi gagal jantung yang sangat berat, juga akan terjadi Hiponatermia ini terjadi karena
ginjal terlalu banyak menahan air dibanding natrium. Pada keadaan ini ADH akan meningkat
dengan cepat dan akan terjadi pemekatan urin. Keadaan ini diperberat oleh Tubulus
Proksimal yang juga menahan air dan natrium secara berlebihan sehingga produksi urin akan
sangat berkurang. Dilain pihak, ADH juga merangsang pusat rasa haus, menyebabkan
peningkatan masukan air.
Pembentukan Edema pada Sirosis Hepatis
Sirosis Hepatis ditandai oleh Fibrosisi jaringan hati yang luas dengan pembentukan modul.
Pada sirosis hepatis, fibrosis hati yang luas yang disertai distorsistruktur parenkim hati
menyebabkan peningkatan tahanan system porta diikuti dengan terbentuknya pintas
Portosistemik baik intra maupun ekstra hati. Apabila perubahan struktur parenkim semakin
berlanjut, fasodilatasi semakin berat menyebabkan tahanan perifer semakin menurun. Tubuh
akan menafsirkan seolah-olah terjadi penurunan VDAE. Reaksi yang dikeluarkan untuk
melawan keadan itu adalah meningkatkan Tonus Saraf Simpatis Adrenergik. Hasil akhirnya
adalah aktifasi system Fasokonstriktor dan anti dieresis yakni system renin-angiotensimalodsteron, saraf simpatis dan ADH. Peningkatan kadar ADH akan mengakibatkan retensi air,
aldosteron akan menyebabkan retensi garam sedangkan system saraf simpatis dan
angiotensim akan menyebabkan penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan meningkatkan
reabsorbsi garam pada tubulus proksimalis.
Pembentukan edema karena obat
Beberapa obat yang sering dipakai dalam praktik sehari-hari juga dapat menyebabkan edema.
Mekanisme penyebab edema karena obat diantaranya terjadinya Vasokontriksi arteri renalis
(OAINS, Cyclosporine), dilatasi arteri sistemik (Vasodilator), meningkatkan reabsorbsi
natrium di ginjal (hormone steroid) dan merusak struktur kapiler (interleukin 2).
Edema Idiopatik
Keadaan ini biasanya terjadi pada perempuan yang ditandai pada episode edema priodik yang
tidak berhubungan dengan siklus menstruasi dan biasanya disertai distensi abdomen. Pada
edemia idiopatik ini terdapat perbedaan berat bada yang dipengaruhi oleh posisi tubuh. Pada
posisi berdiri terjadi retensi natrium dan air sehingga terjadi peningkatan berat badan, ini
diduga karena terjadi peningkatan Permeabilitas Kapiler pada posisi berdiri. Pada kondisi
tertentu dapat disertai penurunan volume plasma yang kemudian mengaktifasi system renin
angiotensin aldosteron, sehingga edema akan memberat.
Edema idiopatik ini harus dibedakan dengan edema yang bersamaan dengan siklus
menstruasi, karena edema pada siklus menstruasi terjadi akibat retensi natrium dan air karena
stimulasi estrogen yang berlebihan.
Terapi edema
Terapi edema harus mencakup penyebab yang mendasarinya refersibel (jika memungkinkan),
pengurangan asupan sodium harus dilakukan untuk meminimalisasi retensi air. Tidak semua
pasien edema memerlukan terapi parmokologis: pada beberapa pasien terapi non
farmakologis sangat efektif seperti pengurangan asupan natrium ( yakni kurang dari jumlah
yang dieksreksikan oleh ginjal) dan menaikkan kaki di atas level dari atrium kiri. Pada

kondisi tertentu di uretik harus diberikan bersamaan dengan terapi non farmakologis.
Pemilihan obat, rute pemberian, dan dosis akan sangat tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, berat ringannya penyakit dan urgensi penyakitnya. Efek di uretik berbeda
berdasarkan tempat kerjanya pada ginjal.
Klasifikasi di uretik berdasarkan tempat kerja :
1. Di uretik yang bekerja pada tubulus proksimalis
Carbonik anhydrase inhibitor: asetazolamik (diamoks)
Phosphodiesterase Inhibitor : teofilin (diduga diperantai cyclice adenosine
monophosphate)
2. Di uretik yang bekerja pada loop of henle :
Sodium potassium chloride inhibitors : bumetanid (bumeks), etheacrynic acid
(edecrin), furosemid (lasix)
3. Di uretik yang bekerja pada tubulus kontortus distal :
Sodium chloride inhibitors : klortalidon (higroton), hidroclorodiazid (esidiriks),
metolazon (diulo)
4. Di uretik yang bekerja pada cortical collecting tubule :
Antagonis aldosteron : spirono lakton (aldakton)
Sodium channel blokers : amilorid (midamor), triamtrene (direnium)
Pada pemberian furosemid oral, jumlah yang diabsorbsi berkisar 10 80 % (rata-rata 50%),
sementara bumetanid dan torsemid diabsorbsi hampir sempurna yaitu berkisar 80 100 %. Di
uretik golongan tiazid dan hidroclorotiazid diekskresikan di urin dalam bentuk tidak berubah.
Pemberian diuretik juga harus mempertimbangkan waktu paruh diuretic tersebut. Golongan
tiazid memiliki waktu paruh yang sangat panjang sehingga dapat diberikan satu kali atau dua
kali sehari, sementara loop diuretik seperti bumetanid mempunyai waktu paruh 1 jam,
torsemid 3-4 jam sehingga pemberiannya harus lebih sering. Efek loop diuretic dapat
menghilang dengan segera, kemudian ginjal melalui mereabsorbsi natrium dan meniadakan
efek diuretic proses ini disebut post diuretic sodium chloride retention, sehingga restriksi
natrium sangat penting bagi pasien yang mendapat loop diuretic.

RESISTENSI TERHADAP DIURETIC


Resistensi terhadap diuretic adalah kegagalan tubuh membuat kondisi keseimbangan natrium
yang negative, meskipun telah menggunakan diuretic dosis tinggi (misalnya, furosemid
mencapai 240Mg / Hari). Kondisi ini harus dipiirkan pada pasien dengan edema yang
menetap meskipun telah diberi diuretic yang maksimal serta pengurangan aktifitas fisik dan
asupan natrium yakni kurang dari 2 gram / hari. Pemahaman akan farmakokinetik suatu
diuretic sangat perlu untuk menentukan ada tidaknya resistensi diuretic, efek pemberian
furosemid peroral sulit diprediksi karena absorbsinya sangat tidak menentu. Penambahan
diuretic lain dengan tempat kerja yang berbeda dapat membantu mengatasi adaptasi tubulus
distal karena pemberian di uretik yang berlangsung lama.
Penyebab potensial kegagalan terapi diuretik adalah terjadinya toleransi. Short term tolerance
harus dipikirkan jika terjadi penurunan response pada pemberian pertama suatu diuretic. Hal
ini sering disebabkan oleh penurunan volume intravaskuler sebagai kompensasi tubuh untuk
mencegah kehilangan cairan tubuh secara berlebihan. Long term tolerance dapat terjadi pada
penggunaan diuretic jangka panjang. Hal ini diperantarai hipertrofi nefron segmen distal dan

reabsorbsi natrium yang berlebihan. Penambahan dosis diuretic pada kondisi ini tidak dapat
memperbaiki dieresis tetapi penambahan diuretic golongan lain dapat mempertimbangkan.

(IPD Jilid II)

Halaman 35 :
Edema adalah akumulasi eksesif dari cairan di dalam rongga-rongga jaringan yang
jarang. Kulit yang edema, permukaannya akan mengkilat dan bila di tekan akan melekuk
(pitiing). Pada limfedema misalnya filariasis edemanya tidak melekuk bila ditekan (nonpitting), oleh sebab itu bukan merupakan edema sejati. Penyebab edema bermacam-macam,
misalnya ekstravasasi (akibat tekanan intravaskular yang meningkat), vaskulitis, alergi
(peningkatan permeabilitas kapiler akibat histamin), tekanan koloid menurun (misalnya
akibat hipoproteinemia). Awal edema, seringkali tampak di daerah palpebra, disebut edema
palpebra yang biasanya didapatkan pada kelainan ginjal, seperti sindroma nefrotik. Bila
edema bersifat merata diseluruh tubuh, disertai efusi pleura, asites dan kadang-kadang efusi
perikardial, disebut edema anasarka.

Halaman 176 :
Edema adalah suatu pembengkakan yang dapat diraba akibat penambahan volume
cairan intertisiel. Ada 2 faktor penentu terhadap terjadinya edema, antara lain:
a. Perubahan hemodinamik dalam kapiler yang memungkinkan cairan cairan
intravaskuler ke dalam jaringan intertisiel.
b. Retensi natrium di ginjal.
Hemodinamik dalam kapiler dipengaruhi oleh :permeabilitas kapiler, selisih tekanan
hidrolik dalam kapiler dengan tekanan hidrolik interstial, selisih tekanan onkotik dalam
plasma dengan tekanan onkotik dalam intertisial.
Retensi natrium dipengaruhi oleh : aktivitas renin-angiotensin-aldosteronyang erat
kaitannya dengan baroreseptor di arteri aferen glomerolus ginjal, aktivitas ANP (Atrial
natriuretik peptide) yang erat kaitannya dengan baroreseptor di atrium dan ventrikel
jantung, baroreseptor di sinus karotikus, osmoreseptor di hipotalamus.
Pada keadaan volume sirkulasi efektif yang rendah misalnya pada gagal jantung
kongestif, sirosis hepatis, sindrom nefrotik, dan gagal ginjal, makajumlah total natrium

tubuh akan meningkat oleh karena adanya retensi natriumginjal akibat peningktan sistem
reni angiotensin aldosteron. Akibat semua ini terjadi penimbunan air pada intertisial yang
akan menimbulkan edema umum.
Disamping faktor-faktor penyebab edema diatas ada faktor lain yang mencegah
berlanjutnya penumpukan cairan dalam jaringan inrtisial (edema) yaitu aliran limfatik
yang dapat menampung kelebihan cairan dalam jaringan intertisial. Faktor lain adalah
dengan meningkatnya jumlah cairan dalam jaringan intertisial pada edema, akan
mengurangi tekanan onkotik dan meningkatnykan tekanan hidrolik jaringan inertisial
sehingga penumpukan cairan dalam intertisial terhambat.
Manifestasi klinis dari edema dapat berupa : edema paru, edema perifer misalnya pada
tungkai, asites, bendungan pada vena setempat misalnya pada tungkai yang biasanya
unilateral, bendungan vena dalam, edema pitting pada hipotiroid.

Halaman 1772 :
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di paru-paru yang terjadi secara mendadak. Hal
ini disebabkan oleh tekanan intravaskuler yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena
peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang
mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat.
(IPD JILID I)

Halaman 451 :
Akumulasi protein plasma yang bocor di cairan intertisium meningkatkan tekanan osmotik
koloid cairan intertisium. Selain itu, meningkatkan aliran darah lokal, meningkatkan tekanan
darah kapiler. Karena kedua tekanan cenderung memindahkan cairan keluar kapiler maka
perubahan perubahan tersebut mendorong ultrafiltrasi dan mengurangi reabsorbsi cairan di
kapiler, hasil akhir dari pergeseran keseimbangan cairan ini adalah edema lokal. Karena itu
pembengkakan yang biasa terlihat menyertai peradangan disebabkan oleh perubahan
perubahan vaskular yang dipicu oleh histamin.
(sherwood)

Tutorial Skenario 4 part 2


Author : Eka

Edema
Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di
dalam berbagai rongga tubuh. Keadaan ini sering dijumpai pada praktek klinik sehari-hari
yang terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan faktor-faktor yang mengontrol perpindahan
cairan tubuh, antara lain gangguan hemodinamik system kapiler yang menyebabkan retensi
natrium dan air, penyakit ginjal serta perpindahannya air dari intravascular ke intestinum.
Edema yang bersifat lokal seperti terjadi hanya di dalam rongga perut
(hydroperitoneum atau ascites), rongga dada (hydrothorax), di bawah kulit (edema subkutis
atau hidops anasarca), pericardium jantung (hydropericardium) atau di dalam paru-paru
(edema pulmonum). Sedangkan edema yang ditandai dengan terjadinya pengumpulan
cairan edema di banyak tempat dinamakan edema umum (general edema).
Cairan edema diberi istilah transudat, memiliki berat jenis dan kadar protein rendah,
jernih tidak berwarna atau jernih kekuningan dan merupakan cairan yang encer atau mirip
gelatin bila mengandung di dalamnya sejumlah fibrinogen plasma.
Etiologi dan PATOFISIOLOGI
Pembengkakan jaringan akibat kelebihan cairan interstisium dikenal sebagai edema.
Penyebab edema dapat dikelompokan menjadi empat kategori umum:
1. Penurunan konsentrasi protein plasma menyebabkan penurunan tekanan osmotic
plasma.penurunan ini menyebabkan filtrasi cairan yang keluar dari pembuluh lebih tinggi,
sementara jumlah cairan yang direabsorpsi kurang dari normal ; dengan demikian terdapat
cairan tambahan yang tertinggal diruang ruang interstisium. Edema yang disebabkan oleh
penurunan konsentrasi protein plasma dapat terjadi melalui beberapa cara : pengeluaran
berlebihan protein plasma di urin akibat penyakit ginjal ; penurunan sintesis protein plasma
akibat penyakit hati ( hati mensintesis hampir semua protein plasma ); makanan yang
kurang mengandung protein ; atau pengeluaran protein akibat luka bakar yang luas .
2. Peningkatan permeabilitas dinding kapiler menyebabkan protein plasma yang keluar dari
kapiler ke cairan interstisium disekitarnya lebih banyak. Sebagai contoh, melalui
pelebaran pori pori kapiler yang dicetuskan oleh histamin pada cedera jaringan atau reaksi
alergi . Terjadi penurunan tekanan osmotik koloid plasma yang menurunkan kearah dalam
sementara peningkatan tekanan osmotik koloid cairan interstisium yang disebabkan oleh
kelebihan protein dicairan interstisium meningkatkan tekanan kearah luar.
ketidakseimbangan ini ikut berperan menimbulkan edema lokal yang berkaitan dengan
cedera ( misalnya , lepuh ) dan respon alergi (misalnya , biduran)
3. Peningkatan tekanan vena , misalnya darah terbendung di vena , akan disertai peningkatan
tekanan darah kapiler, kerena kapiler mengalirkan isinya kedalam vena. peningkatan
tekanan kearah dinding kapiler ini terutama berperan pada edema yang terjadi pada gagal
jantung kongestif. Edema regional juga dapat terjadi karena restriksi lokal aliran balik vena.
Salah satu contoh adalah adalah pembengkakan di tungkai dan kaki yang sering terjadi pada
masa kehamilan. Uterus yang membesar menekan vena vena besar yang mengalirkan

darah dari ekstremitas bawah pada saat vena-vena tersebut masuk ke rongga abdomen.
Pembendungan darah di vena ini menyebabkan kaki yang mendorong terjadinya edema
regional di ekstremitas bawah.
4. Penyumbatan pembuluh limfe menimbulkan edema,karena kelebihan cairan yang difiltrasi
keluar tertahan di cairan interstisium dan tidak dapat dikembalikan ke darah melalui sistem
limfe. Akumulasi protein di cairan interstisium memperberat masalah melalui efek
osmotiknya. Penyumbatan limfe lokal dapat terjadi, misalnya di lengan wanita yang saluransaluran drainase limfenya dari lengan yang tersumbat akibat pengangkatan kelenjar limfe
selama pembedahan untuk kanker payudara. Penyumbatan limfe yang lebih meluas terjadi
pada filariasis, suatu penyakit parasitic yang ditularkan melalui nyamuk yang terutama
dijumpai di daerah-daerah tropis. Pada penyakit ini, cacing-cacing filaria kecil mirip benang
menginfeksi pembuluh limfe sehingga terjadi gangguan aliran limfe. Bagian tubuh yang
terkena, terutama skrotum dan ekstremitas, mengalami edema hebat.Kelainan ini sering
disebut sebagai elephantiasis,karena ekstremitas yang membengkak seperti kaki gajah.
Apapun penyebab edema, konsenkuensi pentingnya adalah penurunan pertukaran
bahan-bahan antara darah dan sel. Sering dengan akumulasi cairan interstisium, jarak
antara sel dan darah yang harus ditempuh oleh nutrient, O2, dan zat-zat sisa melebar
sehingga kecepatan difusi berkurang. Dengan demikian, sel-sel di dalam jaringan yang
edematosa mungkin kurang mendapat pasokan darah.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan Tanda
Distensi vena jugularis, Peningkatan tekanan vena sentral
Peningkatan tekanan darah, Denyut nadi penuh, kuat
Melambatnya waktu pengosongan vena-vena tangan
Edema perifer dan periorbita
Asites, Efusi pleura, Edema paru akut ( dispnea,takipnea,ronki basah di seluruh lapangan
paru )
Penambahan berat badan secara cepat : penambahan 2% = kelebihan ringan, penambahna
5% = kelebihan sedang, penambahan 8% = kelebihan berat
Hasil laboratorium : penurunan hematokrit, protein serum rendah, natrium serum normal,
natrium urine rendah ( <10 mEq/24 jam )
PENATALAKSANAAN
Terapi edema harus mencakup terapi penyebab yang mendasarinya yang reversibel
(jika memungkinkan). Pengurangan asupan sodium harus dilakukan untuk meminimalisasi
retensi air. tidak semua pasien edema memerlukan terapi farmakologis ,pada beberapa
pasien terapi non farmakologis sangat efektif seperti pengurangan asupan natrium (yakni
kurang dari jumlah yang diekskresikan oleh ginjal) dan menaikkan kaki diatas level dari
atrium kiri. Tetapi pada kondisi tertentu diuretic harus diberikan bersamaan dengan terapi
non farmakologis. Pemilihan obat dan dosis akan sangat tergantung pada penyakit yang
mendasari, berat-ringannya penyakit dan urgensi dari penyakitnya.

1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.

1.

Efek diuretic berbeda berdasarkan tempat kerjanya pada ginjal. Klasifikasi diuretic
berdasarkan tempat kerja ;
Diuretik yang bekerja pada tubulus proksimalis
Diuretic yang bekerja pada loop of henle
Diuretic yang bekerja pada tubulus kontortus distal
Diuretic yang bekerja pada cortical collecting tubule
Prinsip terapi edema
Penanganan penyakit yang mendasari
Mengurangi asupan natrium dan air, baik dari diet maupun intravena
Meningkatkan pengeluaran natrium dan air : Diuretic ;hanya sebagai terapi paliatif,bukan
kuratif; Tirah baring, local pressure
Hindari factor yang memperburuk penyakit dasar ; diuresis yang berlebihan menyebabkan
pengurangan volume plasma,hipotensi,perfusi yang inadekuat, sehingga dapat
memperburuk.
Mekanisme edema yang disebabkan oleh penyakit dan penatalaksana
Edema Paru Akut (Kardiak) adalah edema paru yang disebabkan oleh meningkatnya tekanan
hidrostatik kapiler yang disebabkan karena meningkatnya tekanan vena pulmonalis. Edema
Paru Akut (Kardiak) menunjukkan adanya akumulasi cairan yang rendah protein di
interstisial paru dan alveoli ketika vena pulmonalis dan aliran balik vena di atrium kiri
melebihi keluaran ventrikel kiri.
Penatalaksanaan

2. Posisi duduk
3. Oksigen (40%-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk (pasien
makin sesak, takipneu, ronkhi bertambah, PaO2 tidak bisadipertahankan > 60 mmHg dengan
O2 konssentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi atau tidak mampu mengurangi
cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan ventilator.
4. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila perlu.
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin per oral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika
tekanan darah sistolik >95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5
ug/kgBB. Jika tidak memberikan hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitrogliserin IV
dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan sistolik 85-90 mmHg pada pasien
yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi
yang adekuat ke organ-organ vital.
6. Morfin sulfat 3-5 mg IV, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya dihindari).
7. Diuretik Furosemid 40-80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau
dilanjutkan drip ontinue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
8. Bila perlu (tekanan darah turun /tanda hipoperfusi) : Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit atau
doputamin 2-10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan
sesuai respon klinis atau keduanya.

9. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.


10. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan
oksigen.
11. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
12. Operasi pada komplikasi akut infark miokard sepertiregurgitasi, VSD dan ruptur dinding
ventrikel/corda tendinae.
1. Edema anasarka et causa Sindroma Nefrotik
Sindroma nefrotik adalah suatu sindroma klinik dengan gejala proteinuria masif ( 40
mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/dl atau dipstik 2+),
Hipoalbuminemia 2,5 gr/dl, Edema dan dapat disertai hiperkolesterolemia. Menurut
pembagian berdasarkan etiologi (penyebab), SN dibagi menjadi :
a. SN Primer, merupakan Sindroma Nefrotik Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya), tipe ini
diidap oleh 90% anak dengan SN.Diduga ada hubungan dengan faktor genetik, alergi dan
imunologi. SN idiopatik terdiri dari 3 tipe histologis : SN kelainan minimal (85% dari total
kasus SN pada anak), glomerulonephritis proliferatif (5% dari total kasus SN), dan
glomerulosklerosis fokal segmental (10% dari kasus SN).
b. SN Sekunder, tipe ini penyebabnya berasal dari luar ginjal (ekstra renal). Umumnya
menimpa orang dewasa, bisa diakibatkan oleh penyakit-penyakit tertentu seperti : Hepatitis
B, malaria, lepra, pasca infeksi bakteri streptokokus, penyakit ganas : tumor paru, tumor
saluran cerna, kontaminasi toksin seperti logam berat, bisa ular dan serangga. Episode awal
dapat didahului oleh infeksi ringan. Anak datang dengan keluhan bengkak (edema) ringan
dimana awalnya terjadi pada sekitar mata (periorbital) dan ekstremitas bawah. Seiring
waktu pembengkakan semakin meluas, asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Anoreksia,
iritabilitas, nyeri perut dan diare sering pula terjadi. Penatalaksanaan SN antara lain berupa
istirahat sampai edema berkurang, diit rendah protein dan rendah garam, diuretika,
antibiotika bila ada gejala infeksi, yang paling penting adalah pemberian kortikosteroid
(prednison) yang terbagi dalam beberapa fase sampai urin bebas protein. Obat-obat lain
seperti methylprednisolone, cyclofosfamid, tacrolimus dll diberikan pada kondisi tertentu.
Tindakan bedah seperti pungsi asites, pungsi hidrotoraks, dilakukan bila ada indikasi vital.
Prognosis penderita sangat tergantung dari penyebab, berat ringannya penyakit, umur
penderita dan penatalaksanaannya. Anak dapat mengalami berulangnya penyakit (relaps)
dikemudian hari.
Kesimpulan
Sindroma Nefrotik (SN) sindroma klinik dengan gejala proteinuria masif,
hipoalbuminemia, edema dan hiperkolesterolemia. 90 % SN merupakan tipe primer
(idiopatik). Penatalaksanaan SN antara lain berupa istirahat sampai edema berkurang, diit
rendah protein dan rendah garam, diuretika, antibiotika bila ada gejala infeksi dan
kortikosteroid (prednison). SN dapat mengalami relaps. Prognosis penderita sangat

tergantung dari penyebab,


penatalaksanaannya.

berat

ringannya

penyakit,

umur

penderita

dan

Terapi
Bed rest, Diit rendah garam 1-2 g/hari, Kortikosteroid : 4 minggu pertama dengan
dosis penuh 2 mg/kgBB/hari. Diharapkan akan remisi. Bila terjadi remisi pada 4 minggu
pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 2/3 dosis awal secara alternating
(selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Diuretik : Furosemid 1-2 mg/kgBB/hari.
Pemantauan : Berat badan dan tekanan darah diukur setiap hari, Ureum dan kreatinin urin
diperiksa setiap 3 hari.
1.
Ascites et causa Hepatitis Kronis
Kronis adalah peradangan yang berlangsung selama minimal 6 bulan. Hepatitis
kronis lebih jarang ditemukan, tetapi bisa menetap sampai bertahun-tahun bahkan
berpuluh-puluh tahun. Biasanya ringan dan tidak menimbulkan gejala ataupun kerusakan
hati yang berarti. Pada beberapa kasus, peradangan yang terus menerus secara perlahan
menyebabkan kerusakan hati dan pada akhirnya terjadilah sirosis dan kegagalan.
Dikatakan Hepatitis kronis bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis
atau laboratorium atau pada gambaran patologi anatomi, selama 6 bulan. Pada pasien ini
terdapat keluhan perut membesar. Hal ini merupakan tanda adanya kelainan pada rongga
perut pisa berupa cairan, massa dan perdarahan. Untuk membedakan maka dilakukan
pemeriksaan fisik yang didapat test undulasi dan pekak beralih positif, ini menunjukkan
pada rongga abdomen terdapat cairan yang disebut Asites.
Pasien memiliki riwayat sering mengkonsumsi minuman keras semasa mudanya yang
bisa memperburuk kondisi heparnya. Dengan hasil lab yang menyatakan HbsAg pasien (+)
berarti pasien menderita penyakit hepatitis B. Karena sudah berlangsung beberapa tahun
memungkinkan perjalanan penyakit pasien menjadi penyakit yang kronik. Pada pemeriksaan
kimia darah, rasio alumin dan globulin menjadi terbalik, menyatakan telah terjadi kerusakan
yang cukup parah pada hepar pasien.
Pada penurunan fungsi hepatoseluler terjadi penurunan dari sintesis albumin,
dimana albumin ini memegang peranan penting dalam menjaga tekanan osmotik darah.
Dengan menurunnya kadar albumin, maka tekanan osmotik akan menurun yang berakibat
eksudasi cairan intravaskular ke dalam jaringan interstitial di seluruh tubuh, diantaranya
adalah rongga peritoneum, sedangkan udem perifer yang terjadi selain karena faktor
hipoalbuminemia juga akibat adanya retensi garam dan air yang terjadi oleh karena
kegagalan hati dalam menginaktifkan hormon aldosteron dan hormon anti diuretik (ADH).
Mengenai keluhan badan lemas dan cepat lelah, mual dan nafsu makan yang
menurun merupakan kompensasi dari tubuh akibat adanya kerusakan dari parenkim hati.
Pasien juga merasakan perut sebah yang dikarenakan terdapatnya cairan pada
rongga abdomen sehingga tekanan abdomen meningkat dan dapat mengganggu kerja usus
dan lambung, hal ini bisa menimbulkan rasa mual akibat penekanan tersebut, nafsu makan
menurun dan badan menjadi lemas.

Berdasarkan alasan diatas maka kasus pada pasien ini lebih kearah gangguan fungsi
fungsi hati akibat penyakit yang berjalan lama.. Dengan tanda dan gejala yang ada dan
didukung oleh pemeriksaan fisik dan penunjang maka diagnosis pasien adalah Asites et
causa Hepatitis B kronik
KESIMPULAN
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum yang dapat
dibagi menjadi 2 mekanisme dasar yaitu eksudasi dan transudasi. Hepatitis Kronis adalah
peradangan yang berlangsung selama minimal 6 bulan. Hepatitis kronis lebih jarang
ditemukan, tetapi bisa menetap sampai bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun.
Biasanya ringan dan tidak menimbulkan gejala ataupun kerusakan hati yang berarti. Pada
beberapa kasus, peradangan yang terus menerus secara perlahan menyebabkan kerusakan
hati dan pada akhirnya terjadilah sirosis dan kegagalan. Dikatakan Hepatitis kronis bila
penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran
patologi anatomi, selama 6 bulan.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi terapi non farmakologis yaitu dengan diet tinggi
protein, tinggi kalori, rendah garam dan dengan pungsi asites. Diberikan juga terapi
farmakologis berupa infus RL 20 tetes/ menit, furosemid 40mg x 2 tab (dosis maksimal 600
mg/hari), kcl 50mg/hari, BC 100mg x 3 tab, dan Ranitidin 150mg x 3 tab.

Sumber
Amin, Zulkifli, Asril Bahar, dkk. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran UI.
Jakarta
IDAI. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia
Hassan, R., et al, Buku Kuliah, Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
cetakan ke 9, Jakarta; 2000.
Nelson, W. E., Ilmu Kesehatan Anak, Nelson Textbook of Peditrics, EGC, Jakarta; 2000.
Standar Pelayanan Medis Operasional RSUP DR. SARDJITO, Fakultas Kedokteran Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta; 2000.

You might also like