You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan basi


mycobaterium tuberculosi dan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah
terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di
dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000
penduduk. Di Indonesia, TB menduduku peringkat ke-3 dengan prevalensi
tertinggi di dunia setelah Cina dan India. Kematian oleh karena TB ini terutama
terjadi di negara-negara berkembang. Di Indonesia TB menduduki peringkat ke-3
sebagai penyebab kematian.
Di Amerika Serikat (AS) sejak ditemukan dan kemudian berkembangnya
obat anti tuberkulosis (OAT) yang cukup efektif, TB dapat ditekan jumlahnya.
Akan tetapi sejak tahun 1989-1992 timbul kembali peningkatan penyakit ini, yang
dikaitkan dengan peningkatan epidemi HIV/AIDS, urbanisasi dan migrasi akibat
resesi melanda dunia. Bersamaan dengan penignkatan penyakit ini timbul masalah
baru yaitu TB dengan resistensi ganda (Multidrug Resistant Tuberculosis / MDR
TB). WHO Report on Tuberculosis Epidemic 1995 menyatakan bahwa
resistensi ganda kini menyebar dengan sangat cepat di berbagai belahan dunia.
Lebih dar 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis
khususnya rifampisin dan isoniazid (INH), serta kemungkinan pula ditambah obat
TB yang lainnya. Pada pengobatan TB dengan resistensi ganda ternyata
memelukan perawatan rumah sakit cukup lama, OAT yang lebih toksik, resiko
mendapatkan tindakan operasi serta biaya pengobatan cukup tinggi yang
diperkirakan sampai 180.000 dolar AS untuk seorang penderita. Di Indonesia,
pernah dilaporkan di Rumah sakit Dr.Rotinsulu Bandung tahun 2005, terdapat

28,2% resisten rifampisin dan isoniazid; 17,8% resisten rifampisin-isoniazidetambutol (R-H-E); 13,8% resisten rifampisin-isoniazid-etambutol-pyrazinamid
(R-H-E-Z);

10,3%

resisten

sterptomycin (R-H-E-Z-S).

rifampisin-isoniazid-etambutol-pyrazinamid-

BAB II
TUBERCULOSIS RESISTEN (TB MDR)

A. DEFINISI
TB dengan resistensi ganda dimana basil M.tuberculosis resisten terhadap
rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainya.
TB resisitensi ganda dapat berupa resistensi primer dan resistensi
sekunder. Resistensi primer yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak
pernah mendapat OAT sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai khususnya
pada pasien-pasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi sekunder yaitu
resistensi yang didapat selama terapi pada orang sebelumnya sensitif obat.
B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESISTENSI OAT
Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran TB resistensi
ganda digambarkan pada gambar 1. Basil mengalami mutasi resisten terhadap satu
jenis obat dan mendapatkan terapi OAT tertentu yang tidak adekuat. Terap yang
tidak adekuat dapat disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis obat saja
(monoterapi direk) atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu saja yang
sensitif terhadap basil tersebut (indirek monoterapi). Selanjutnya resistensi
sekunder (dapatan) terjadi. Mutasi baru dalam pertumbuhan populasi basil
menyebabkan resistensi obat yang banyak bila terapi yang tidak adekuat terus
berlanjut. Pasien TB dengan resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain
dimana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resitensi primer. Transmisi
difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih cepat,
adanya prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat; dan terlambatnya penekakan
diagnostik. Resistensi obat yang primer dan sekunder dapat diimpor, khususnya
dari negara dengan prevalensi yang tinggi dimana program kontrol tidak adekuat.
Resistensi obat primer, seperti halnya resistensi sekunder, dapat ditransmisikan ke
orang lain jadi dapat menyebabkan penyakit resistensi obat di dalam komunitas.

koloni M.tuberculosis

Mutasi alamiah
Mutan resisten

Strain resisten akibat


terapi yang tidak adekuat
Resistensi obat TB sekunder
(multipel)

Infeksi HIV
Kontrol
infeksi yang adekuat
diagnostik
yang terlambat

transmisi secara droplet


Resistensi obat TB primer
(multipel)

transmisi yang lebih jauh

Resistensi obat TB primer


yang lebih banyak(multipel)

Gambar 1. Tiga tahap perkembangan dan penyebaran MDR TB. Keempat


masalah tersebut berasal dari pasien yang resisten primer dan sekunder
pindah ke daerah kontrol.

Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu:

Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis

Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang
kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi
terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH

saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah
cukup tinggi.

Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah
dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti
lagi, demikian seterunya.

Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu


paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena
kuman TB telah resisten pada panduan yang pertama, maka penambahan
(addition) satu macam obat hanya kan menambah panjangnya daftar obat
yang resisten saja.

Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara


baik sehingga mengganggu biovailabilitas obat.

Penyediaan

obat

yang

tidak

regular,

kadang-kadang

terhenti

pengirimannya sampai berbulan-bulan.

C. MEKANISME RESISTENSI OAT


1. Mekanisme Resistensi Terhadap INH
Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang
larut air sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekansime kerja obat ini
dengan menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang
sangat penting pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung
dengan oksigen seperti reaksi katase peroksidase.
Mutan M.tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan
dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid
diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase
(katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi
missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas katalase dan
peroksidase.

2. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin


Rifampisin

merupakan

turunan

semisintetik

dari

sterptomyces

mediterrane, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler.


Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara
khusus RNA polymerase yang tergantung DNA. Rifampisin berperan aktif invitro
pada kokus gram positif dan gram negatif, mikobakterium, chlamydia dan
poxvirux. Resistensi mutannya tinggi, biasanya pada populasi mikobakterium
terjadi pada frekuensi 1:107 atau lebih.
Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas
barier atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA. Rifampisin
menghambat RNA plymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan
menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation)
tidak pada perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase
manusia tidak terganggu. Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya
mutasi kromosom dengan frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu
10-7 sampai 10-3, dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase.
Resistensi terjadi pada gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan
akibat terjadinya perubahan pada tempat ikatan obat tersebut.
3. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide
Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting
sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini bekerja
efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5).
Pada keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit berefek.
Obat ini merupakan bakterisid yang metabolisme secara lambat organisme yang
berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut
akan diubah oelh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pyrazinoat.
Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas
pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam

pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan


mutasi pada gen pncA, yang menyadikan pyrazinamidase.
4. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol
Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif
hanya pada mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada
dosis

standar.

Mekanisme

utamanya

dengan

arabinosyltransferase yang memperantarai polymerisasi

menghambat

enzim

arabinose menjadi

arabinogalactgan yang berada di dalam dinding sel.


Resistensi ethambutol pada M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan
mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase.
Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan
pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90% kasus.
5. Mekanisme Resistensi Terhadapa Streptomysin
Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari
sterptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein
dengan mengganggu fungsi ribosomal.
Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telah
diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen
16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein ribosom S12 (rpsl). Kedua
target diyakini terlibat pada ikatan streptomysin ribosomal. Mutasi yang utama
terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah diidentifikasi sebanyak 50% isolat yang
resisten terhadap streptomysin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%. Pada sepertiga
yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi reseitensi mutan terjadi
pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang resisten
terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi silang terhadap capreomysin
maupun amikasin.

D. DIAGNOSIS
Tuberkulosis paru dengan resistensi ganda dicurigai kuat jika kultur basil
tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif
setelah terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografi dan riwayat
penyakit dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu 1) TB
aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan tidak
sesuai standar terapi; 2) kontak dengan kasus TB resistensi ganda; 3) gagal terapi
atau kambuh; 4) inveksi human immunodeficiency virus (HIV); 5) riwayat rawat
inap dengan wabah MDR TB.
Diagnosisi TB resistensi ganda tergantung pada pengumpulan dan proses
kultur spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika
pasien tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap
tidak bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan
kedua harus dilakukan pada laboratorium ruukan yang memadai.
Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB.
Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional
berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. akibat sulitnya beberapa
metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya,
maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru. Yang termasuk metode terbaru
ini adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasuk, metode genotipik
khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini
dipertimbangkan sebagai petanda TB resistensi ganda khususnya pada suasana
dengan prevalensi TB resistensi ganda yang tinggi. Sementara metode fenotipik ,
di lain sisi, merupakan metode yang lebih sederhana dan lebih mudah
diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin.

Tabel 1. Metode fenotipik dan genotipik untuk deteksi resistensi OAT


Metode

fenotipik Metode fenotipik baru

Metode genotipik

konvensional
Metode proporosional

Metode phage-based

Rangkaian DNA

Metode rasio resintensi

Metode kolorimetri

Teknik hybridisasi fase


Agar

Metode

konsentrasi The

absolut

nitrate

reductase Teknik

assay

polymerase

real-time
chain

reaction (PCR)
Metode

radiometri The

BACTEC

observation

microscopic Microarrays
broth-drug

susceptibility assay
Tabung

indikator Metode agar thin-layer

pertumbuhan
mikobakterial

E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan TB resistensi ganda ini memerlukan seorang spesialis
yang ahli dibidangnya. Tiga hal penting dan perlu diperhatikan pada
penatalaksanaan TB resistensi ganda adalah teknik diagnostik, pemberian obat
dan kepatuhan. Dengan pemilihan panduan obat yang tepat maka diharapkan
separuh penderita TB resistensi ganda ini akan sembuh dan bisa diselamatkan
kemungkinan terjadinya komplikasi dan kematian. Untuk dapat menyusun
panduan yang tepat bagi setiap penderita diperlukan beberapa informasi mengenai
hasil tes resistensi kuman tuberkulosis, riwayat pengobatan danpola resistensi
kuman di lingkungan masyarakat penderita menetap. Bila data resistensi baru
tidak ada makan data resistensi lama dapat dipakai apabila belum ada OAT yang
dipakai penderita setelah tes resistensi dilakukan atau OAT yang dipakai setelah
tes resistensi tersebut memang terbukti terdiri dari panduan obat yang masif

sensitif. Bila tidak didapat tiga obat yang sensitif maka OAT yang dipilih adalah
yang belum pernah dipakai penderita dan menurut data resistensi dimana
penderita bertempat tinggal jarang yang resisten.
Pengobatan berbasis rumah sakit dianjurkan setidaknya hingga konversi
sputum, kemudian setelah keluar rumah sakit, program DOT dijalankan terutama
pada kasus resistensi didapat dan sebelumnya terbukti tidak patuh. Konsep DOTS
(Directly Observed Treatment Short Course) merupakan salah satu upaya penting
dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan menanggulangi masalh
tuberkulosis khususnya resitensi ganda ini. Program DOTS-plus untuk TB
resistensi ganda memerlukan modifikasi pada lima komponen strategi DOTS
(tabel 2). Dalam pengawasan hasil terapi, harus dipahami bahwa perbaikan terjadi
lebih lambat bila dibandingakan tanpa TB resistensi ganda, namun pada beberapa
serial kasus didapatkan kultur sputum konversi negatif setelah 2-3 bulan terapi.
Tabel 2. Perbandingan antara Prinsip Strategi DOTS dasar dengan DOTS-plus
Strategi DOTS

Strategi DOTS-plus

Komitmen administratif dan politik Komitmen adminsitratif dan politik


(pemerintah)
Diagnosis

(pemerintah yang lebih lama


dengan

menggunakan

kualitas

pemeriksaan

baik Diagnosis

yang

akurat

dengan

sputum pemeriksaan kultur dan uji resitensi

mikroskopis

obat yang terjamin

Pengobatan yang berkesinambungan Pengobatan yang berkesinambugnan


terhadap obat lini pertama untuk pasien terhadap obat lini pertama dan kedua,
rawat jalan

pemberian obat lini kedua dilakukan


dibawah pengawasan yang ketat

Pengawasan obat secara langsung


Pencatatan

yang

bertanggung jawab

sistemik

Pengawasan obat secara langsung


dan Sistem pelaporan dan perekaman data
yang memungkinkan untuk pencatatan
dan evaluasi terhadap hasil akhir

* DOTS-plus merupakan komponen yang utuh dari program kontrol tuberkulosis


nasional yang telah ada yang diimplementasikan melalui program infrastruktur

Ketika hendak memulai terapi, yang perlu diingat adalah jangan pernah
menambahkan satu jenis obat ke regimen yang sudah gagal, karena hal ini yang
mempermudah terjadinya resistensi obat. Minimal 3 obat, dan yang lebih
dianjurkan 4 sampai 6 obat diberikan pada kasus TB resistensi ganda yang belum
pernah digunakan sebelumnya dan aktivitas obat secara invitro terjamin.
Regimen obat berdasarkan bukti medis (evidence-based medicine) pada penderita
TB resistensi ganda belum ada yang pasti, pemberian OAT telah desebabkan
menurut panduan internasional yang didasarkan pda studi-studi yang telah
dijalankan (tabel 3).
Tabel 3. Pengobatan TB resistensi obat : rekomendasi WHO
Obat resisten

Fase inisial
Durasi

Fase lanjutan
OAT

(bulan)

Durasi

OAT

(bulan)

H+S

R+Z+E

R+E

H+E+S

R+Z+Amk+Pth,

R+Pth

diikuti

18

E+Pth+Fqn

18

Pth+Fqn+Cyc

18

Pth+Fqn+Cyc

R+Z+Pth
H+R+S

3-6

Z+E+Pth+Amk+
Fqn

H+R+E+S

3-6

Z+E+Pth+Amk+
Fqn+Cyc

H+R+Z+E+S

3-6

Pth+Amk+Fqn+C
yc+Pas

Selain itu literatur lain ada juga yang menyarankan pemberian regimen
obat TB pada pasien dengan berbagai bentuk resistensi (tabel 4). Pilihan obat
yang dianjurkan adalah dengan memberikan obat lini pertama yang masih aktif,
seperti pyrazinamide, sterptomycin, dan ethambutol. Resistensi pada salah atau
obat golongan aminoglikosida, yang paling sering adalah sterptomycin, secara
umum masih dapat digunakan jenis yang lain obat dari golongan ini. Obat-obatan
parenteral seperti amikacin, capreomycin, kanamycin termasuk dalam obat-obatan
lini kedua (fluoroquinolone, ethionamide, PAS, cycloserine, clarythromycin, coamoxiclav, linezolid) yang dapat diberikan. Beberapa jenis obat yang dapat
digunakan pada terapi TB resistensi ganda dan dosisnya.
Tabel 4. Regimen yang potensial untuk penderita TB dengan berbagai
bentuk resistensi
Bentuk resistensi

Regimen

yang Durasi

dianjurkan

Keterangan

minimum
(bulan)

R+H (S)

Z+E+Fqn+Amk

18

Pada penyakit yang luas,


dapat ditambahkan regimen
tambahan

R+H+E (S)

Z+Fqn+Amk+2

18

Pertimbangan operatif

R+H+Z (S)

E+Fqn+Amk+2

18-24

Pertimbangan operatif

R+H+Z+E (S)

Fqn+Amk+3

18-24

Pertimbangan operatif

Untuk pemilihan obat lini kedua disarankan berdasarkan aktivitas intrinsik


obat terhadap M.tuberculosi dan efikasinya terhadap klinis (tabel 6). Durasi terapi
ditentukan berdasarkan setiap individu, tetapi secara umum, sebaiknya diberikan
minimal 18 bulan setelah konversi sputum. Menurut kerentanan obat-obat
M.tuberculosisi pada saat awal, penarikan obat satu atau lebih bisa saja dilakukan
selama terapi tanpa memperkirakan akibatnya nanti, tetapi obat bakteriostatik dan
yang tidak mempunyai efek bakterisid sebaiknya diperpanjang. Jika efek samping

tidak dapat ditolerir yang menjadi alasan mengapa regimen tersebut direvisi
(contoh : aminoglikosida, cycloserine).
Tabel 5. Urutan obat lini kedua yang diusulkan berdasarkan aktivitas
antimikrobial intrinsik dan efikasi klinisnya
Jenis obat

Urutan

Levofloxacin

Aminoglycoside/capreomycin

II

Ethionamide/prothionamide
Ofloxacin/ciprofloxacin
PAS

III

Cycloserine

IV

-Lactam

Clarythromycin, linezolid, clofazimine

VI

Hasil mengenai keberhasilan terapi TB resistensi ganda dengan


menggunakan OAT lini kedua pernah dilaporkan pada empat studi. Dari keempat
studi ini, hasil sputum yang mengalami konversi negatif berkisar 51-95% dan
yang mengalami keberhasilan terapi berkisar 44-77% sementara yang mengalami
mortalitas berkisar 0-37%.
Dari data Nasional Jewish Centre for Immunology and Respiratoy
Medicine pada tahun 1983-1990, berdasarkan operasi pada 57 penderita TB
resistensi ganda ternyata 45 penderita dinyatakan sembuh. Berdasarkan laporan
tersebut jelas bahwa tindakan operasi mempunyai peran yang besar dalam
penanganan TB resistensi ganda. Berbagai prosedur pembedahan dilakukan
terhadap pasien TB paru resistensi ganda, dimulai dari reseksi segmental sampai
pleuro-pneumonectomy. Berdasarkan pengalaman yang ada, tindakan operasi
pada penderita TB paru resistensi ganda dengan resiko mortalitas rendah (<3%).
Tetapi angka komplikasi yang terjadi cukup tinggi dimana fistula bronkopleural
dan empiema yang menjadi komplikasi utama. Lebih dari 90% pasien

pemeriksaan sputumnya menjadi negatif setelah dilakukan tindakan operasi.


Pembedahan reseksional saat ini direkomendasikan pada penderita TB paru
resistensi ganda yang terapi dengan obat-obatan cukup jelek. Indikasi
pembedahan yaitu 1) kultur sputum positif yang menetap meskipun sudah diterapi
dengan obat yang cukup banyak; dan atau 2) adanya resistensi obat yang luas
yang dikaitkan dengan kegagalan terapi atau bertambahnya resistensi; atau 3)
adanya kavitasi lokal, nekrosis/destruksi pada sebuah lobus atau sebagian paru
yang disetujui untuk dilakikannya operasi tanpa adanya insufisiensi respiratori
dan atau hipertensi pulmonal yang berat. Hal tersebut dilakukan setelah minimum
tiga bulan terapi intensif dengan regimen obat-obatan, dimana diharapkan status
sputum menjadi negatif jika memungkinkan. Dengan tindakan operasi ketahanan
hidup jangka panjang dapat diperbaiki dari pada dengan meneruskan terapi obatobatan saja. Walaupun begitu, pemakainan obat-obatan tetap dilanjutkan setelah
operasi dilakukan, kemungkinan dalam waktu setahun lebih, sebaliknya ketahanan
hidup yang jelek mungkin saja terjadi.
Penderita TB resistensi ganda seng mengalami kakeksia, terutama pad
apenderita dengan HIV. Mekanisme hilangnya berat badan tersebut dikaitkan
dengan Tumor Necrosis Factor- (TND-), yang menginduksi terjadinya demam
dan kerusakan jaringan sehingga mempengaruhi respon katabolik. Selain itu obatobatan seperti pyrazinamide dan golongan fluoroquinolon menyebabkan
anoreksia, nausea, vomiting dan diare yang mengganggu masukan makanan yang
selanjutnya akan memperparah keadaan katabolik. Peran nutrisi menjadi faktor
yang penting dalam penanganan pasien dengan TB resistensi ganda, khususnya
pada pasien-pasien yang hendak menjalankan operasi paru. Walaupun belum ada
bukti yang jelas, tetapi malnutrisi diperkirakan menjadi faktor resiko yang besar
untuk mengalami komplikasi pasca operasi.
Modifikasi sistem imun pada pasien tuberkulosis dapat memfasilitasi
kesembuhan. Oleh karena itu ada beberapa penelitian yan gmencari tahu agenagen yang berpotensial sebagai imunoterapi, diantaranya vaksinasi mycobaterium
vaccae. Hasil sementara yang diamati ketika imunitas membaik dengan

memberikan vaksinasi M.vaccae sebagai terapi penderita TB yang gagal dengan


obat-obatan. Hal tesebut didalilkan bahwa M.vaccae kembali merespon imun
seluler secara langsung dari jalur dominan Th-2 ke Th-1 yang menyebabkan
sedikitnya

destruksi

jaringan

dan

lebih

efektif

menginhibisi

replikasi

mikobarkterial. Walaupun begitu, kelanjutan hasil ini belum dikonfirmasi dari


penelitian lanjutan. Selain itu terapi sitokin juga telah dicoba sebagai terapi TB
dengan resistensi ganda. Data belakang ini menunjukan bahwa pemberian
interferon gamma (IFN- ) dan interferon alfa (IFN-) cukup berbanfaat.
Interferon gamma disekresikan sel Th CD4+ yang memiliki efek antituberkulosis.
Sebagai tambahan, interferon alfa dapat menginduksi interferon gamma yan
gdisekresi oleh sel Th CD4+, dan kedua tipe IFN tersebut dapat menstimulasi
aktivitas makrofag. Interferon gamma aerosol (500g tiga kali sehari) secara klinis
memberikan respon pada penderita TB dengan resistensi ganda. Keuntungan yang
didapat termasuk konversi sputum menjadi negatif tidak memakan waktu yang
lama, menghambat pertumbuhan kuman pada kultur, dan mengurangi kavitas.
Sementara pemberian IFN- aeroso (3 MU, tiga kali seminggu) untuk dua bulan
sebagai terapi tambahan pada penderita yang tidak respon terhadap obat lini kedua
yang telah diobati selama 6 bulan, memberikan hasil sementara yaitu penurunan
jumlah koloni kuman per kultur. Data sebelumnya juga mendukung abahwa IFN aeroso merupakan terapi tambahan yang menjanjikan terhadap penderita TB
dengan resistensi ganda. Peneltitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui persis
dosis yang optimal dan jadwal pemberian. Selain itu sitokin lainnya, interleukin 2
(IL-2), diyakini aktivitasnya terhadap meningkatnya produksi IFN- . Pemberian
recombinant human IL-2 (rhu IL-2) sebagai terapi tambahan setiap hari dikatakan
dapat menurunkan atau membersihkan jumlah kuman pada sputum sekitar 62%
penderita dan sekitar 58% mengalami perbaikan gambaran foto thoraks setelah
enam minggu pengobatan.

F. PROGNOSIS
Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis
pada penderita TB resistensi ganda. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan
bahwa adanya keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua, malnutrisi, infeksi HIV,
riwayat menggunakan OAT dengan jumlah yang cukup banyak sebelumnya,
terapi yang tidak adekuat (<2 macam obat yang aktif) dapat menjadi petanda
prognosis buruk pada penderita tersebut.
Dengan mengetahui beberapa petanda di atas dapat membantu klinisi
untuk mengamati penderita lebih seksama dan dapat memperbaiki hal yang
menjadi penyebab seperti malnutrisi.

BAB III
KESIMPULAN

TB resistensi ganda dimana terjaid resistensi minimal terhadap obat


rifampicin dan isoniazid kini menyebar dengan sangat cepat dibergai belahan
dunia. Teknik diagnostik, pemberian obat dan kepatuhan penderita sangat penting
dalam tatalaksana TB dengan resistensi ganda.
Terapi yang dianjurkan dengan memberikan 4 sampai 6 macam obat.
Pilihan obat yang diberkian yaitu obat lini pertama yang masih sensitif disertai
obat lini kedua berdasarkan aktivitas intrinsik terhadap kuman M.tuberculosis.
pembedahan perlu dipertimbangkan bila setelah 3 bulan terapi )AT tidak terjadi
konversi negatif sputum. Pemberian nutrisi yang baik dan modifikasi sistem imun
(dengan vaksin M.vaccae dan sitokin) dapat membantu keberhasilan terapi.

DAFTAR PUSTAKA

Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di


Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006
Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru dalam Sudoyo AW, dkk (eds), Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II, edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 2006
Aditama TY. Tuberkulosis : Diagnosism Terapi dan Masalahnya, edisi V.
Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia, 2005

REFERAT
TUBERCULOSIS RESISTEN (MDR TB)

Disusun Oleh:
Subur Widiyanto
H2A008043
Pembimbing:
dr. Zulfachmi Wahab, SpPD, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2012

Kata Pengantar
Syukur alhamdulillah saya panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
hidayahnya sehingga referat ini terselesaikan. Saya mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada pembimbing saya, dr. Zulfahmi Wahab, SpPD,
FINASIM, yang telah memberikan bimbingannya dalam proses penyelesaian
referat ini, juga untuk dukungannya baik dalam bentuk moril maupun dalam
mencari referensi yang lebih baik.
Selain itu, saya juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman saya
dalam kelompok kepaniteraan yang sama yaitu, Diky Sukma W, Rifa Nur
Syarifah, Gilang Sri Ridanillah dan Fajriana Marethiafani atas dukungan dan
bantuan mereka selama saya menjalani kepaniteraan ini. Pengalaman saya dalam
kepaniteraan ini akan selalu menjadi suatu inspirasi yang unik. Saya juga
mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam kepada kedua orangtua saya atas
bantuan serta dukungan baik secara moril maupun materi dan kasih sayangnya.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Penulis,

Subur Widiyanto

You might also like