You are on page 1of 2

Sidang Umum MPR tahun 1978 menetapkan Tap.MPR No.

II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P-4). Pemerintaha orde baru mendirikan
lembaga BP-7 yang ditugaskan untuk menyosialisasikan P-4 kepada seluruh masyarakat
dengan metode indoktrinasi dengan sebutan metode objektif praktis. Pada tahun 1980,
melalui rekayasa lahirlahkebulatan tekad rakyat Indonesia yang mengangkat Presiden RI ke-2
sebagai Bapak Pembangunan. Penyelanggaraan pembangunan sebagai ideologi menggunakan
trilogi pembangunan sebagai nilai instrumentalnya.
Pada tahun 1983, pemerintah mengajukan 1 paket yang terdiri atas 5 Undang-Undang
Politik tentang :
1. Susunan dan kedudukan anggota MPR/DPR,
2. Pemilihan umum,
3. Kepartaian dan Golkar,
4. Organisasi masyrakat, dan
5. Referendum
Kelima paket undang-undang itu disetujui oleh DPR dengan tujuan menjaga
terpeliharanya kekuasaan dan menjaga kelanjutan pembangunan sebagai ideologi perunahan
kondisi yang mengglobal mempengaruhi sikap masyarakat dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Hal ini menimbulkan sifat individualistik sehingga terbentuk masyarakat
marginal dan konglomerasi yang terpisat pada kelompok tertentu yang berdasarkan ekonomi
kapitalis dengan dalih kebebasan.
Pada kenyataannya, orde baru telah jauh menyimpang dari perjuangannya semula, yaitu
sebagai berikut
1.

Orde baru, secara eksplisit tidak mengakui 1 Juni sebagai lahirnya Pancasila

2.

Butir-butir P-4 mendidik secara halus ketaatan individu kepada kekuasaan dan tidak ada
butir yang mencantumkan kewajiban negara tehadap rakyatnya.

3.

Pengamalan Pancasila dengan membentuk citra pembangunan sebagai ideologi, sehingga


rekayasa mendukung Bapak Pembangunan melalui kebulatan tekad rakyat.

Asas Tunggal Pancasila


Dalam pidato kenegeraan di depan DPR-RI tanggal 16 Agustus 1982, Presiden
Soeharto mengemukakan gagasannya mengenai penerapan asas tunggal Pancasila atas partaipartai politik. Sesungguhnya gagasan ini bukan gagasan baru karena tahun 1966-1967 sudah
terdengar gagasan untuk mengasatunggalakn parta-partai politik. Namun, tampaknya keadaan
belum memungkinkan. Tujuan menyeragamkan atas partai-partai politik adalah untuk
mengurangi seminimal mungkin potensi konflik ideologis yang terkandung dalam partaipartai politik. Berbeda dengan gagasan Bung Karno dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, beliau

mengharapkan agar pancasila dijadikan dasar filosofis negara Indonesia, tiap golongan
hendaknya menerima anjuran filosofis ini dengan catatan bahwa tiap golongan berhak
memperjuangkan aspirasinya masing-masing dalam mengisi kemerdekaan. (Tim. LIP FISIPUI, 1998 : 39-40). Pola seperti ini masih terlihat dalam UU No.3/1975 tentang Partai Politik
dan Golongan Karya, dengan tidak adanya keharusan mencantumkan Pancasila sebagai satusatunya asas. Namun, dengan adanya pidato Presiden tersebut ada dorongan dengan
menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Hal ini berarti pencatuman asas lain yang
sesuai dengan aspirasi, ciri khas, dan karasteristik partai politik tidak diperkenalkan lagi.
Akhirnya, keinginan Presiden ini terpenuhi dengan merubah UU No.3/1975 dengan
UU No.3/1985. Dalam penjelasan undang-undang itu deisebutkan bahawa pengertian asas
meliputi juga pengertian dasar, landasan dan pedoman pokok yang harus dicantumkan dalam
anggaran dasar partai politik. Perbedaan partai hanya dalam bentuk program saja. Atas
tunggal Pancasila, menurut Deliar Noer, berarti mengikari kebhinnekaan masyarakat yang
memang berkembagan menurut keyakinan masing-masing. Keyakinan ini bisanya bersumber
dari agama atau dari paham lain. Bahakan asas tunggal Pancasila cenderung ke arah sistem
partai tunggal, meskipun acara formal ada 3 partai, tetapi secara terselubung, sebenearnya
hanya ada 1 partai.

You might also like