Professional Documents
Culture Documents
A.
Latar Belakang
Mineral dan batu bara merupakan salah satu dari hasil kekayaan bumi
yang tak terbarukan atau tidak dapat diperbaharui selain minyak bumi dan gas.
Oleh sebab itu, Pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945 mengamanatkan Cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara dan selanjutnya pada ayat (3) Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Indonesia merupakan negara yang sangat luas, yaitu 1,910,931.32 Km2.1
Dengan bentangan wilayah yang sangat luas tersebut, Indonesia memiliki potensi
SDA yang sangat besar baik SDA hayati maupun non-hayati. Apabila potensi
kekayaan alam tersebut dapat dimanfaatkan dengan maksimal, Indonesia dapat
menjadi negara yang makmur, bahkan dapat mengalahkan negara-negara Eropa
dan Amerika. Akan tetapi hal tersebut masih menjadi angan-angan (utopis) untuk
saat ini. Hal tersebut disebabkan sistem pengelolaan yang tidak tepat atau faktorfaktor lain yang tidak lepas dari kondisi transisi politik Indonesia tahun 1965 dari
Orde Lama ke Orde Baru. Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto ketika
itu membuka pasar yang seluas-luasnya bagi investor terutama investor asing
untuk menanamkan modalnya di Indonesia setelah sebelumnya pada masa Orde
Lama yang dipimpin Presiden Soekarno melakukan nasionalisasi aset terhadap
perusahaan asing yang ada di Indonesia.
Kebijakan liberalisasi ekonomi Orde Baru mulai terlihat sejak
pembentukan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang
diikuti dengan keluarnya UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, dan satu
tahun setelah itu disusul dengan pengesahaan UU No. 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri. Lahirnya paket regulasi tersebut telah menarik
minat investor pertambangan asal Amerika Freeport Mining Inc., untuk
menanamkan modalnya di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi
Papua untuk melakukan eksploitasi tembaga. Karena kondisi Indonesia dalam
masa transisi yang katanya membutuhkan dukungan ekonomi dan juga dengan
dalih promosi investasi Indonesia ke luar negeri, maka Pemerintah Indonesia
akhirnya menerima tawaran investasi dari Freeport Mining Inc. untuk melakukan
kegiatan usahanya di Indonesia dengan mendirikan PT. Freeport Indonesia (PTFI).
Kerjasama Pemerintah dan PTFI pun dituangkan dalam kontrak karya (KK)
pertamanya pada tahun 1967 dengan lama operasi 30 tahun, dan pada tahun 1988
ditemukan cadangan Grasberg akhirnya pada tahun 1991 dilakukan KK kedua
dengan durasi 30 tahun hingga tahun 2021 dengan alasan investasi besar dan
risiko tinggi.2 KK memuat beberapa poin kesepakatan seperti wilayah
pertambangan, royalti, hak-hak khusus pemerintah dan beberapa kesepakatan
lainnya. Keberadaan KK inilah yang akhirnya membawa permasalahan di
Indonesia terutama pasca Reformasi 1998. Terakhir KK PTFI tahun 1991 digugat
oleh IHCS yang merupakan salah satu organisasi non pemerintahan yang bergerak
1
dalam bidang advokasi hak asasi manusia. Alasan IHCS memasukkan gugatan
terhadap PTFI di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena menganggap KK PTFI
tahun 1991 yang memuat pembagian royalti kepada pemerintah sebesar 1% sudah
tidak sesuai dengan PP 9 Tahun 2012 Jo PP No. 45 Tahun 2003 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang mengharuskan tarif royalti emas sebesar
3,75%. Di samping itu IHCS juga menyatakan penguasaan tambang oleh PTFI
terbukti tidak untuk sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat sebagaimana
amanat UUD Tahun 1945. Terhadap Gugatan IHCS ini pada mulanya dalam
putusan sela Majelis Hakim menolak Eksepsi PTFI, yang dalam eksepsinya
menyatakan IHCS tidak berhak untuk melakukan gugatan terhadap PTFI, akan
tetapi dalam putusan akhirnya Majelis Hakim mengabulkan Eksepsi PTFI dan
menolak gugatan IHCS.3
Di balik kejanggalan putusan Majelis Hakim tersebut, ada hal yang
menarik untuk diteliti lebih lanjut terutama dilihat dari sejarah munculnya kontrak
karya PTFI ini, apalagi kalau diamati dalam KK PTFI tersebut tercantum klausula
yang mengatakan PTFI berhak untuk mengekspor seluruh hasil produksi mereka
tanpa pembatasan apapun atau pembebanan pajak.4 Lantas di mana peran negara
dalam hal ini, jika perusahaan seperti PTFI bisa begitu saja melakukan ekspor atas
hasil bumi Indonesia tanpa dibebani pajak atau pembatasan ekspor. Sementara
Pasal 33 Konstitusi sudah jelas dan tegas mengatakan semua hasil bumi dan
kekayaan alam itu dikuasai negara untuk kesejahteraan rakyat. Hal tersebut jelas
merugikan Indonesia, tapi karena Pemerintah sudah terikat dengan kontrak yang
menganut pada dasarnya asas pacta sunt servanda mau tidak mau, suka tidak suka
kontrak tersebut tetap harus dijalankan.
Di samping persoalan di atas, perlu juga dilihat apakah persoalan pada
KK PTFI tersebut akan berdampak terhadap iklim investasi di Indonesia sebab
bagaimanapun juga investasi merupakan salah satu income yang sangat berperan
dalam pembangunan Indonesia, tentunya investasi yang menjunjung semangat
Pasal 33 Konstitusi.
B.
Rumusan Masalah
C.
penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.10
Merujuk kepada tafsiran Mahkamah Konstitusi di atas, bisa dikatakan
tidak ada larangan bagi pemodal asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia
khususnya dalam mengelola sektor-sektor penting tersebut. Akan tetapi ada
batasan mengenai komposisi saham pemodal dari sektor swasta untuk
menanamkan modalnya dalam bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang
banyak tersebut. Untuk menentukan sektor usaha mana yang menyangkut hajat
hidup orang banyak Mahkamah Konstitusi memberikan kriteria sebagai berikut:
1) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak; atau
2) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; atau
3) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak.
Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Untuk menentukan cabang-cabang produksi tersebut penting atau tidak
merupakan kewenangan Pemerintah dan DPR. Sehingga untuk pemanfaatan
modal untuk cabang produksi tersebut harus hati-hati jangan sampai cabang
produksi penting dikelola secara berlebihan oleh swasta yang terlalu
mementingkan prfit dirinya sendiri, terutama modal yang bersumber dari asing.
Penggunaan modal asing ini pada dasarnya perlu dimanfaatkan secara
maksimal untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia serta digunakan
dalam bidang-bidang dan sektor-sektor yang dalam waktu dekat belum atau tidak
dapat dilaksanakan oleh modal Indonesia sendiri. Akan tetapi, harapan untuk
mendapatkan keuntungan besar dari pemodal asing justru yang terjadi saat ini
banyak perusahaan-perusaan asing terlalu mendominasi bahkan di dalam
kenyataannya perusahaan penanaman modal asing yang masuk di Indonesia
kebanyakan sudah berbentuk Perusahaan Multi Nasional (PMN) atau Multi
Nasional Corporation (MNC).
Mengenai kepemilikan saham dan struktur permodalan sendiri,
Sumantoro menyatakan dikenal adanya berbagai ketentuan yang menetapkan
pemilikan saham asing minoritas, pemilikan saham asing mayoritas, pemilikan
saham asing 50/50, pemilikan saham asing 49/51, dan pemilikan saham asing
100%.11 Di dalam program Indonesiasi, pemerintah telah menetapkan alternatif
49/51. Dalam konteks ini belum dipertimbangkan aspek-aspek jenis saham,
pembagian laba dan penilaian atas asset serta hak menentukan pengelolaan
perusahaan.
Sementara jika dilihat kebelakang ekonomi Indonesia pasca transisi
politik tahun 1967 bergerak menuju ekonomi liberal. Hal tersebut dipertegas
dengan beberapa paket kebijakan ekonomi, seperti UU No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing, UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, UU No.
10
6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dan beberapa kebijakan
lainnya setelah itu. Di samping itu pada tahun 1968 pemerintah mengeluarkan
kebijakan memberikan fasilitas tambahan masa pembebasan pajak untuk
perusahaan asing yang berbentuk patungan. Mulai saat itu penanaman modal asing
di Indonesia dapat berbentuk penanaman modal langsung yang dimiliki asing atau
berbentuk usaha patungan.
Pada tahun 1974 sidang kabinet menetapkan kebijakan-kebijakan dalam
upaya menarik investor dengan memberikan kemudahan memperkenankan
pengelolaan perusahaan oleh personil asing, menjamin transfer modal dan
keuntungan sesuai dengan mata uang yang dikehendaki, dan jaminan untuk tidak
melakukan nasionalisasi.12 Sejak tahun 1974, pemerintah menerbitkan kebijakan
baru yang mensyaratkan semua penanaman modal asing berbentuk usaha
patungan yang selanjutnya persyaratan tersebut lebih ditegaskan lagi yaitu bahwa
pemilikan saham nasional menjadi mayoritas dalam waktu sepuluh tahun. Namun
ada pengecualian untuk sektor pertambangan, minyak dan gas bumi dari ketentuan
mayoritas kepemilikan saham tersebut. Akan tetapi kebijakan tahun 1974 tersebut
belum ditetapkan dalam bentuk peraturan perundangan, dan pelaksanaannya
kurang efektif. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:13
1) Dilihat dari segi kemampuan permodalan peserta nasional.
2) Lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara dalam peningkatan
kepemilikan saham nasional belum bekerja seperti diharapkan.
3) Kebijakan tersebut belum dituangkan dalam bentuk peraturan perundangan
sehingga dalam penerapannya menimbulkan berbagai penafsiran.
Kenyataan menunjukkan bahwa sampai tahun 1980 tidak ada perusahaan
modal asing yang mengikuti kebijakan tersebut dengan menawarkan sahamnya
lebih dari 51% kepada pihak Indonesia. Bahkan Sumantoro mensinyalir bahwa di
Indonesia telah timbul aneka ragam aturan yang mengatur sektor perekonomian
yang acapkali ganti berganti dan adakalanya saling bertentangan atau tidak
mendukung satu sama lain di antara berbagai subsektor, yang diakibatkan karena
tidak metakhirnya hukum dasar yang mengatur sektor ekonomi.14 Kebijakan
liberalisasi ekonomi tersebut memuncak dikisaran tahun 1988 hingga tahun 1998,
yang mengakibatkan kebablasan kebijakan ekonomi yang berisiko terhadap
kondisi ekonomi Indonesia, beberapa di antaranya Bank Indonesia kehilangan
kendali atas sistem moneter di Indonesia, pihak swasta dan modalnya
menggantikan peran negara sebagai pengatur ekonomi mikro, beban utang negara
besar sehingga kejutan-kejutan sekecil apapun ataupun pelarian modal dapat
berakibat fatal, dan terakhir liberalisasi yang dilakukan setengah-setengah hanya
menguntungkan segelintir orang yang mengontrol modal.15
12
Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2007, hlm. 46.
Anang Priyanto, Eni Kusdarini, Candra Dewi Puspitasari, Kebijakan Pengaturan Divestasi
Penanaman Modal Asing Di Sektor Pertambangan. (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta,
2006), hal. 12-13.
14
Sumantoro, Op. Cit.,hal. 201-215.
15
Ibid., hlm. 47.
13
Keterangan ahli Prof. Dr. Sri Edie Swasono, S.E. pada perkara di Mahkamah Konstitusi RI No.
002/PUU-I/2003, hal. 84-85.
17
Pasal 22 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 No. 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.
4724) sebelum Judicial Review.
18
Revrisond
Baswir,
Kontrak
Karya
Pertambangan,
Tersedia
di
http://muhammadbarli.blogspot.com/2009/06/kontrak-karya-pertambangan.html, 24 September
2013, 20. 45 WIB.
D.
Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2818), Pasal 8.
20
G. Kartasaputra, dkk. Manajemen Penanaman Modal Asing. (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hal.
278-279.
21
Ibid.,
8
Ismail Sunny dalam Salim H.S, Perkembangan Hukum Innominaat di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003), hal.63.
23
Made Ester Ida Oka Patty, Pelaksanaan Kontrak karya Antara Pemerintah Republik Indonesia
Dengan PT. Avocet Bolang Mongondo, Universitas Diponegoro: Tesis, 2008, hal. 69-70.
24
Dahulu Undang-Undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 mengatur bahwa Bentuk Izin
Usaha Pertambangan meliputi Kontrak Karya (Pasal 10), Kuasa Pertambangan (Pasal 15) dan
terdapat juga Surat Izin Pertambangan Daerah dan Surat Izin Usaha Pertambangan Rakyat
sedangkan Undang-Undang Pertambangan baru (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009) mengatur
bahwa Bentuk Ijin Usaha Pertambangan hanya terdapat mengenai Izin Usaha Pertambangan (IUP),
Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) (tidak lagi
memasukkan konsep kontrak karya).
minyak bumi dan gas bumi seperti emas, tembaga, ataupun batu bara, hal ini bisa
terlihat dari pengertian KK berdasarkan keputusan Dirjen Pertambangan Tahun
1998 di atas.
Untuk melihat lebih jelas rezim KK, bisa kita kelompokkan kedalam
beberapa periode pertama, periode tahun 1967 atau periode lahirnya KK. Pada
periode ini ada beberapa prinsip yang terdapat dalam KK di antaranya 1).
Perusahaan kontraktor sebagai pemegang kuasa pertambangan atas dasar ijin
pemerintah; 2). Manajemen di tangan kontraktor dan operasional di tanggung oleh
kontraktor; 3). Pembagian hasil dalam bentuk uang dalam jumlah bebas (tidak
ditentukan besarnya) untuk tahun ke-1 sampai dengan ke-3, dengan ketentuan
bahwa penghasil pemerintah untuk tahun ke-4 sampai dengan ke-10 sebesar 35%;
dan 4). Jangka waktu kontrak 30 (tigapuluh) tahun dan dapat diperpanjang.
Kedua, periode 1968 1983, pada periode ini ada beberapa prinsip pada
KK yang diperbaharui dan masih ada beberapa hal yang sama di antaranya 1).
Memungkinkan bekerja sama dengan pihak lain yang telah memegang kuasa
pertambangan; 2). Manajemen di tangan kontraktor dan operasional ditanggung
oleh kontraktor. 3). Pembagian hasil ditentukan berdasarkan tarif yang ditetapkan
pada setiap kontrak karya. Sedangkan terkait jangka waktu KK masih sama
dengan periode I.
Ketiga, periode 1983 1986, pada periode ini tidak terlalu banyak
perubahan di antaranya terkait perusahaan kontraktor sebagai pemegang kuasa
pertambangan atas dasar ijin pemerintah, dan terkait pembagian hasil selanjutnya
mengacu pada Peraturan Menteri Nomor 352 tahun 1971. Terkait beberapa aspek
lainnya pada periode ini masih tetap sama dengan dua periode sebelumnya.
Keempat, periode 1986 1994, pada periode ke empat ini perubahan terjadi pada
aspek pembagian hasil, pada tahapan ini pembagian hasil sudah dibedakan antara
pembagian hasil emas dan perak, di mana pembagian hasil terhadap emas sebesar
1% dari harga jika US$ 300/troi ons dan 2% dari harga jika US$400/troi ons.
Sedangkan untuk perak sebesar 1% jika harga US$ 10/troi ons dan 2%/troi ons
jika harga US$15/troi ons.
Kelima, periode 1994 1996, pada tahapan ini KK masih menggunakan
beberapa prinsip pada periode pertama dan kedua, seperti manajemen di tangan
kontraktor dan operasional ditanggung oleh kontraktor (sama dengan generasi II),
tetapi ratio kewajaran utang (DER) 5: 1 untuk tidak kurang atau sama dengan
$200 juta investasi dan 8 : 1 untuk lebih dari $200 juta. Selanjutnya pembagian
hasil mengacu pada Peraturan Menteri Nomor 1166.K/844/MPE/1992 tanggal 12
September 1992. Pada tahapan periode keenam, yaitu 1996 1998 bisa dikatakan
tidak ada suatu hal yang baru, KK yang ada pada masa itu masih tetap mengacu
kepada periode-periode sebelumnya. Perubahan kembali terjadi pada periode
ketujuh yaitu tahun 1998 2004. Pada periode ketujuh ini ada perubahan atau
penyesuaian dalam beberapa aspek seperti dimungkinkan bekerjasama dengan
pihak lain yang telah memegang kuasa pertambangan. Di samping itu manajemen
di tangan kontraktor dan operasional di tanggung oleh kontraktor (sama dengan
generasi II ), tetapi ratio kewajaran utang (DER) 5 : 1 untuk tidak kurang atau
sama dengan $200 juta investasi dan 8 : 1 untuk lebih dari $200 juta.
10
Salim H.S, Perkembangan Hukum Innominaat di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hal.63.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek, diterjemahkan oleh Subekti
Tjitrosudibio, Pasal 1338.
26
11
12
Indonesia. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4959), Pasal 39.
28
Indonesia. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4959), Pasal 36 ayat (1)
13
15) perpajakan;
16) penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan iuran produksi;
17) penyelesaian perselisihan;
18) keselamatan dan kesehatan kerja;
19) konservasi mineral atau batubara;
20) pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negeri;
21) penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik;
22) pengembangan tenaga kerja Indonesia;
23) pengelolaan data mineral atau batu bara; dan
24) penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan mineral
atau batu bara
Berdasarkan perbandingan di atas, bahwa isi dari Izin Usaha
Pertambangan (IUP) tidak jauh berbeda dengan klausula minimal yang harus ada
pada kontrak karya. Hal ini tentunya membawa problematika baru di dalam upaya
penegakan hukum, misalnya jika terjadi penyelesaian sengketa perizinan yang
memungkinkan dibawa ke ranah arbitrase.29 Hal ini merupakan kejanggalan atau
keanehan mengingat sengketa izin tidak masuk dalam sengketa perdagangan.30
Indonesia sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi
UNIDROIT melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun
2008 tentang Pengesahan Statute of International Institute for The Unification of
Private Law (Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata),
mengakui adanya konvensi tersebut dan bersedia menjalankan ketentuanketentuan dalam konvensi tersebut. Berdasarkan prinsip UNIDROIT, terdapat
pula asas-asas/ prinsip-prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam suatu kontrak
seperti Pertama, Prinsip kebebasan berkontrak, dirumuskan secara tegas dalam
Pasal 1 Prinsip UNIDROIT yang menyatakan bahwa the parties aree free to
enter into a contract and determine its content.31 Kedua, Prinsip Pacta Sunt
Servanda, di mana kontrak yang dibuat secara sah mempunyai kekuatan mengikat
para pihak dalam kontrak tersebut, sehingga apabila akan dilakukan perubahan
atau pemutusan kontrak, harus berdasarkan persetujuan di antara para pihak atau
berdasarkan syarat kontrak yang disepakati sebelumnya. 32 Ketiga Prinsip Itikad
Baik dan Transasksi Jujur yang mengandung arti para pihak dalam kontrak wajib
menjunjung tinggi prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam keseluruhan
jalannya kontrak mulai dari negosiasi, pembuatan, pelaksanaan, sampai
29
Pasal 154 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Setiap sengketa yang
muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase
dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
30
Faizal Kurniawan, Aspek Kontraktual Pengelolaan Pertambangan Mineral Dan Batu Bara,
Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2009, Hal. 15.
31
International Institute for The Unification of Private Law, International Principles of
Commercial Contracts, (Roma: 2010), Article 1.1 (Freedom of Contract).
32
A contract validly entered into is binding upon the parties. It can only be modified or
terminated in accordance with its term or by agreement or as otherwise provided in these
Principles., International Institute for The Unification of Private Law, International Principles of
Commercial Contracts, (Roma: 2010), Article 1.3 (Binding character of Contract).
14
15
bahwa suatu hal tertentu tersebut adalah bahan galian (tambang), yang belum
tentu ada dan harus memerlukan penelitian lagi dengan melalui penyelidikan
umum. Dan keempat, suatu sebab yang halal. Sebab yang halal adalah
sebagaimana di atur dalam Pasal 1335 KUHPerdata, Pasal 1336 dan Pasal 1337
KUHPerdata.
Keempat syarat di atas sebagaimana dimaksud Pasal 1320 dapat
digolongkan menjadi dua bagian, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif.
Dikatakan sebagai syarat subjektif dikarenakan berkenaan dengan dingan person
atau subjek yang melakukan perikatan, yang termasuk syarat subjektif adalah
kesepakatan dan kecakapan. Untuk syarat objektif sendiri, merupakan syarat yang
berkenaan dengan objek dari perjanjian itu, yang termasuk syarat objektif adalah
mengenai suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Perikatan yang tidak memenuhi
syarat sah kontrak sebagaimana dimaksud Pasal 1320 KUHPerdata di atas akan
memiliki akibat hukum sebagai berikut:39
1) non-eksistensi, apabila tidak ada kesepakatan maka tidak timbul kontrak.
2) vernietigbaar atau dapat dibatalkan, apabila kontrak tersebut lahir karena
adanya cacat kehendak (wilsgebreke) atau karena ketidakcakapan
(onbekwaamheid) - (syarat Pasal 1320 BW angka 1 dan 2), berarti hal ini
terkait dengan unsur subyektif, sehingga berakibat kontrak tersebut dapat
dibatalkan, dan
3) nietig atau batal demi hukum, apabila terdapat kontrak yang tidak memenuhi
syarat obyek tertentu atau tidak mempunyai causa atau causanya tidak
diperbolehkan (syarat Pasal 1320 BW angka 3 dan 4), berarti hal ini terkait
dengan unsur subyektif, sehingga berakibat kontrak tersebut batal demi
hukum.
Sedang dalam kepustakaan common law keabsahan kontrak
diklasifikasikan ke dalam beberapa hal, meliputi:40
1) A valid contract, di mana seluruh elemen terpenuhi dalam kontrak tersebut.
2) A voidable contract, apabila salah satu pihak memberikan sepakat karena
adanya cacat kehendak (misrepresentation, duress or undue influence).
3) An unenforceable contract, kontrak tersebut sah, namun tidak dapat
dilaksanakan karena ada hal-hal tertentu yang tidak atau belum dipenuhi,
umumnya terkait dengan formalitas kontrak, misal tidak adanya perijinan.
4) An illegal contract, merupakan kontrak dengan tujuan atau obyeknya dilarang
menurut hukum dilarang (illegal).
Berkaitan dengan tidak dipenuhinya persyaratan formal yang meliputi
persyaratan administratif dan teknis di dalam kontrak karya, maka akibat hukum
terhadap kontrak karya tersebut adalah tidak dapat dilaksanakan (unenforceable).
Oleh karenanya kontrak tersebut tidak mempunyai daya berlaku sebelum
terpenuhinya persyaratan administrasi.41
39
Sehubungan dengan berakhirnya perjanjian/ kontrak, Kitab UndangUndang Hukum Perdata mengatur 10 (sepuluh cara untuk berakhirnya suatu
perjanjian, yakni:42
1) Karena Pembayaran;
2) Karena Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau
kenitipan (konsignasi);
3) Karena pembaruan utang (novasi);
4) Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
5) Karena pencampuran utang;
6) Karena pembebasan utang;
7) Karena musnahnya barang yang terutang;
8) Karena kebatalan atau pembatalan;
9) Karena berlakunya suatu syarat batal;
10) Karena lewat waktu (daluwarsa);
Dalam hal perjanjian berakhir karena pembayaran; pembayaran
tunai,diikuti dengan penyimpanan atau kenitipan (konsignasi); pembaruan utang
(novasi); perjumpaan utang atau kompensasi dan pencampuran utang, maka
kreditur tetap menerima prestasi dari debitur. Dalam hal berakhir karena
pembebasan utang, kreditur tidak menerima prestasi karena kreditur secara
sukarela melepaskan prestasinya; Sedangkan dalam hal perjanjian batal karena
musnahnya barang yang terutang; kebatalan atau pembatalan; berlakunya suatu
syarat batal;dan karena lewat waktu (daluwarsa), maka kreditur tidak menerima
prestasi karena perikatan tersebut gugur atau telah dianggap gugur.43
Pelaksanaan kontrak karya di Indonesia pada dasarnya mengacu pada
dua hal yaitu: 1). Aturan hukum Indonesia yang dikorelasikan dengan aturan
hukum asing di mana perusahaan tambang asing tersebut mendasarkan hukumnya
sebagai pedoman dalam hal terjadi sengketa perdata antara pihak Indonesia
dengan perusahaan tambang asing tersebut. 2). Model kontrak karya, di mana
kontrak karya tersebut memuat berbagai hal yang diperjanjikan antara Pemerintah
Indonesia dengan perusahaan tambang asing.44
F.
pengalihan saham dari peserta asing ke peserta nasional Istilah lain untuk
kebijakan di Indonesia disebut Indonesiasi saham. Perlunya menempuh langkah
divestasi adalah terkait karena alasan-alasan antara lain: (1) Aset yang dijual lebih
tinggi nilainya bagi pembeli, dalam arti pembeli bisa menggunakan secara lebih
efisien. (2) Divestasi bukan didorong nilai asset, tetapi lebih ditekankan pada
kemunculan kebutuhan mendesak atas dana tunai oleh perusahaan yang
melakukan divestasi. Hasil divestasi biasanya digunakan untuk melunasi
kewajibannya. (3) Alasan bahwa aset-aset yang dijual tidak ada hubungannya
dengan bisnis utama perusahaan yang bersangkutan.
Kebijakan Pemerintah yang terkait dengan divestasi dalam rangka
penanaman modal dahulu telah diuraikan secara rinci dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang
didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing, yang secara garis besar
mengatur hal-hal sebagai berikut:45
1) Penanaman modal asing dapat dilakukan dalam bentuk:
a. patungan antara modal asing dengan modal yang dimiliki warga Negara
Indonesia dan atau badan hukum Indonesia, atau
b. langsung, dalam arti seluruh modalnya dimiliki oleh warga Negara dan/atau
badan hukum asing;
2) Jumlah modal yang ditanamkan dalam rangka penanaman modal asing
ditetapkan sesuai dengan kelayakan ekonomi kegiatan usahanya.
Saham peserta Indonesia dalam perusahaan yang didirikan dalam bentuk
patungan antara modal asing dengan modal yang dimiliki Warga Negara
Indonesia dan atau badan hukum Indonesia, sekurang-kurangnya 5% (lima
perseratus) dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian.
Penjualan lebih lanjut saham perusahaan, jumlah sekurang-kurangnya 5% dapat
dilakukan kepada warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia yang
modal sahamnya dimiliki warga Negara Indonesia melalui pemilikan langsung
sesuai kesepakatan para pihak dan/atau pasar modal dalam negeri.
Perusahaan yang didirikan atas penanaman modal asing dalam bentuk
langsung, dalam jangka waktu paling lama lima belas tahun sejak berproduksi
komersial menjual sebagian sahamnya kepada warga Negara Indonesia dan/atau
badan hukum Indonesia melalui pemilikan langsung atau melalui pasar modal
dalam negeri.
Pengalihan saham tersebut tidak mengubah status perusahaan. Di
samping melakukan penambahan modal saham dalam perusahaan sendiri,
perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing yang telah
berproduksi komersial dapat pula:46
1) mendirikan perusahaan baru, dan/atau
2) membeli saham modal dalam negeri dan/atau perusahaan yang didirikan bukan
dalam rangka berdiri, baik yang telah atau belum berproduksi komersial
melalui pasar modal dalam negeri.
45
46
Anang Priyanto, Eni Kusdarini, Candra Dewi Puspitasari, Loc Cit., hal. 20-21.
Ibid, hal. 25.
18
Saham tersebut dapat juga dibeli oleh perusahaan yang didirikian dalam
bentuk patungan, melalui pemilikan langsung sesuai kesepakatan para pihak.
Pembelian saham tersebut tidak mengubah status perusahaan. Pembelian saham
sebagaimana dimaksud dalam a dan b di atas dapat dilakukan sepanjang bidang
usaha perusahaan tersebut tetap terbuka bagi penanaman modal asing.
Dengan demikian segala kebijakan Pemerintah dalam pengaturan
divestasi penanaman modal asing dalam sektor pertambangan secara yuridis
tidaklah bertentangan dengan aturan dasarnya yaitu Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. Kedua aturan dasar tersebut
memang dibuat hanyalah berisi ketentuan pokok yang dalam pelaksanaannya di
atur lebih lanjut dengan peraturan-peraturan pelaksanaan, seperti Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri. Namun demikian masih
perlu dipertanyakan apakah kepemilikan saham PMA dalam sektor pertambangan
khususnya pertambangan umum sudah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat?47
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 hanya ada satu pasal
yang mengatur tentang divestasi saham yaitu Pasal 7. Ketentuan ini berkaitan
dengan kewenangan pemerintah untuk tidak akan melakukan tindakan
nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal kecuali
dengan Undang-Undang. Nasionalisasi adalah pemindahan (cabang industri atau
perdagangan yang penting) dari private menjadi milik atau di bawah pengawasan
negara. Pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal atau lazim disebut
divestasi modal adalah upaya untuk membeli modal yang dimiliki investor
khususnya investor asing.48
Pengaturan mengenai divestasi ini diatur kembali pada PP No. 24 tahun
2012 yang menyebutkan antara lain:49
1)
2)
3)
4)
5)
47
Ibid
H. Salim HS. Hukum Divestasi di indonesia. (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2013), hal. 124.
49
Lihat Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara
48
19
50
20
kesejahteraan masyarakat, dan 3). Mengurangi peran asing dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam tambang di Indonesia.53
G.
Anang Priyanto, Eni Kusdarini, Candra Dewi Puspitasari, Loc Cit., hal. 27-28.
Ibid ., hal. 28.
22
Ibid
23
pada tahun 2004 sebesar Rp75.347,12 juta dan tahun 2005 (Semester I) sebesar
Rp116.880,98 juta atau total sebesar Rp192.228,10 juta belum dibukukan sebagai
PNBP Dep. ESDM sehingga Laporan Realisasi Anggaran Departemen belum
menunjukkan realisasi penerimaan yang sebenarnya, PT Freeport Indonesia
kurang membayar royalti tahun 2003 dan 2004 sebesar USD369.49 ribu, sehingga
royalti tersebut belum dapat digunakan untuk kepentingan Negara, Penjualan
konsentrat dari PTFI ke Perusahaan Glencore AG pada tahun 2004 di bawah harga
pasar sehingga menghilangkan potensi penerimaan pajak penghasilan sebesar
USD5,914,42 ribu. 58 Belum lagi berdasarkan hasil penelitian ICW bahwa ada
dugaan PT. Freeport Indonesia yang tidak melakukan pembayaran royalty sesuai
kesepakatan dengan Negara sehingga merugikan Negara senilai Rp. 1.519
Triliun59
Semua itu tidaklah terkait dengan isi normatif peraturan perundangundangan yang berlaku (UU Penanaman Modal dan Undang-Undang
Pertambangan). Namun demikian jika mengkaji isi Undang-Undang Penanaman
Modal dan Undang-Undang Pertambangan dari sisi maksud dan tujuannya
semestinya Undang-Undang ini juga harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi
dan kondisi masyarakat saat ini yang sesuai dengan era reformasi dan era
globalisasi yang menghendaki kejelasan dan kerincian sebuah peraturan
perundangan. Apalagi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, yang dalam Pasal 6 ayat
(1) nya dinyatakan bahwa materi peraturan perundang-undangan harus
mengandung beberapa asas, yang beberapa diantaranya adalah asas
keseimbangan, keserasian dan keselarasan, yaitu asas bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian,
dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan
bangsa dan negara. 60
Demikian juga asas keadilan yaitu asas bahwa setiap materi peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi
setiap warga negara tanpa kecuali. Asas-asas ini pada era Orde Baru tidak pernah
dimunculkan dan yang lebih ditekankan pada saat itu adalah kepentingan umum
yang diutamakan dari pada kepentingan pribadi atau golongan.61
Anggota Komisi VII DPR, Satya Yudha menuturkan, PP No. 24 Tahun
2012 harus diartikan sebagai kebangkitan industri pertambangan nasional.
Penanaman modal asing memberikan investasi besar dan divestasi diberlakukan
secara bertahap, karena selama ini perusahaan tambang nasional tidak pernah
mendapat kesempatan investasi di pertambangan besar. Menurutnya, tidak pernah
ada kesempatan apabila harus dimulai sejak eksplorasi, karena biaya cukup tinggi.
Divestasi ini dapat berjalan, bila pemerintah menyiapkan strategi portofolio
BUMN telah siap. Ia berpendapat PT Freeport Indonesia saat ini belum dapat
58
24
dimasukkan dalam aturan ini. Tapi, jika proses renegosiasi dimasukkan aturan
divestasi, Freeport wajib mendivestasi sahamnya kepada mitra Indonesia
tergantung tipe kontrak masing-masing.62
Namun, menurut Hikmahanto Juwana, meskipun kewajiban divestasi
51% pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 hanya ditujukan bagi
pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Pasal 169 ayat b Undang-undang No 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara sebagai dasar PP
tersebut menyatakan bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya
dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) harus
disesuaikan dengan UU Minerba selambat-lambatnya setahun sejak UU Minerba
diterbitkan. Pemegang kontrak karya pertambangan mineral yang belum memiliki
kewajiban divestasi ke nasional, seperti PT Freeport Indonesia, anak usaha
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, dinilai harus mengikuti kewajiban
divestasi berdasarkan Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2012 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.63 Selain itu
Hikmahanto Juwana juga menyebutkan bahwa penerapan Pasal 169 huruf (b)
bukan merupakan hal aneh karena berdasarkan Pasal 1338 KUHPer ditentukan
bahwa Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan
kepatutan. Bila dilanggar akan menyebabkan batalnya perjanjian tersebut. Oleh
karenanya sangat perlu dilakukan negosiasi ulang terhadap ketentuan Kontrak
Karya yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara.64
Lebih jauhnya, Hikmahanto Juwana menegaskan, dalam kaitannya
dengan proses renegosiasi kontrak, pemerintah harus tegas menolak perpanjangan
kontrak karya Freeport dengan alasan-alasan sebagai berikut:65
1) Pasal 169 ayat (B) UU Mineral dan Batubara mengamanatkan, kontrak karya
akan tetap dihormati hingga masa berakhirnya. Amanah itu harus dihormati
karena UU Minerba merupakan pengejawantahan kehendak dari masyarakat
Indonesia. Yaitu, agar presiden mempunyai kewajiban memegang teguh
sesuai sumpahnya ketika dilantik.
2) Freeport sudah terlalu banyak menikmati kekayaan yang seharusnya
digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Apalagi, Freeport
hingga saat ini enggan untuk transparan berapa keuntungan yang diperoleh.
3) Bila perpanjangan diluluskan oleh pemerintah atas desakan pemerintah AS
berarti negara Paman Sam tersebut telah menerapkan politik adu domba.
Yaitu,
antara
pemerintah
RI
dengan
rakyatnya
sendiri.
karena menurutnya saat ini masyarakat Indonesia tidak bisa menerima
62
Satya Yudha, Pro Kontra Kewajiban Divestasi Perusahaan Tambang Dengan Terbitnya PP
No.24/2012, Tersedia di http://irmadevita.com/2013/pro-kontra-kewajiban-divestasi-perusahaantambang-dengan-terbitnya-pp-no-242012, 22 September 2013, 21.15 WIB.
63
Hikmahanto Juwana, Kepastian Hukum di Sektor Pertambangan Pasca disahkannya UU
Minerba, Seminar Hukum Online. Jakarta, 21 Januari 2009.
64
Ibid.
65
Hikmahanto Juwana, Pengamat: Tolak Perpanjangan Kontrak Karya Freeport dalam
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/12/09/03/m9s3oc-pengamat-tolak-perpanjangankontrak-karya-freeport, 25 September 2013, 21.55 WIB.
25
Dalam catatan Ir. Alibasjah Inggriantara, SE, MMBAT ia mengutip beberapa persoalan mendasar
yang ia nilai amat mengecewakan penduduk asli Papua mengenai keberadaan PT. Freeport
Indonesia, yaitu: Pertama, Tidak legalnya penyerahan kepada Freeport, karena seharusnya
menunggu pelaksanaan pleebisit 1969, karena pada saat itu Papua belum diputuskan untuk menjadi
wilayah integral dari Indonesia. Hal ini diduga sebagai hadiah kepada Amerika Serikat yang
punya peran besar melengserkan orde lama di Indonesia. Kedua, dari segi kultural,
penandatanganan itu sama sekali tidak melibatkan penduduk asli Papua. Oleh karenanya, banyak
adat-adat penduduk setempat yang dilanggar melalui pengerukan isi perut bumi Papua, misalnya
bagi Suku Amungme yang percaya bahwa di beberapa gunung di wilayah Papua merupakan
tempat bersemayam arwah Jomun-Nerek, nenek moyang bagi orang Amungme. Ketiga, dari aspek
ekonomi, kontrak itu dinilai sangat merugikan penduduk Papua. Melalui pola penguasaan saham,
hasil yang didapatkan oleh Penduduk asli maupun Pemerintah Indonesia sangatlah minim.
Keempat, secara geologis areal kontrak karya itu terlalu besar sehingga untuk harga yang diberikan
kepada PT Freeport, sangatlah murah, padahal PT. Freeport menjadi perusahaan tambang terbesar
ketiga di seluruh dunia melalui penambangan di Papua tersebut. Kelima, aspek kesejahteraan yang
diberikan oleh PT. Freeport, terlalu kecil. Dengan penghasilan yang luar biasa besarnya, selama 21
tahun produksi (1973-1994), PT. Freeport hanya menyisihkan anggaran sebesar 5,56% saja untuk
program sosial. Walau setelah tahun 1994 meningkat, namun jumlahnya tetap saja tidak lebih dari
10%. Keenam, PT. Freeport masih kurang menunjukkan perhatian yang baik terhadap lingkungan
hidup, sehingga sampah (tailings) yang ia buang menyebabkan musnahnya 3.300 vegetasi hutan
tropis, terjadinya penyumbatan mulut sungai dan endapat mulut sungai yang meyebabkan
musnahnya banyak spesies ikan. Selain itu, terdapat juga aliran air asam tambang akibat proses
oksidasi tailings dan batuan limbah. Lihat: Papua Dalam Konflik Berkepanjangan: Mencari Akar
Penyelesaian Masalah Konflik Papua, Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Januari 2004, hal:
15-16.
Dalam (http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/File%20Publikasi/KI_Papua.pdf), 25 September
2013, 21.50 WIB.
26
H.
Lahirnya kontrak karya PT. Freeport Indonesia tidak lepas dari peran
Jacques Dozy yang menemukan cadangan Ertsberg pada tahun 1936, yang
dilanjutkan dengan ekspedisi Forbes Eilson pada tahun 1960 untuk menemukan
kembali Ertsberg.67 Hasil ekspedisi Forbes Eilson tersebut baru ditindak lanjuti
pasca lahir UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No.
11 Tahun 1967 tentang Pertambangan. Masih pada tahun 1967 tersebut
selanjutnya Pemerintah dengan PT. Freeport Indonesia (PTFI) sepakat untuk
melakukan kerjasama pengelolaan cadangan Ertsberg yang dituangkan dalam
kontrak karya pertama pada tahun 1967 dengan masa berlaku 30 tahun terhitung
sejak 1973. Setelah beroperasi beberapa tahun, pada tahun 1988 PTFI menemukan
cadangan Grasberg, dengan investasi yang berisiko tinggi dan jaminan investasi
jangka panjang, maka pihak PTFI mencoba menegosiasikan ulang kontrak karya
yang sudah ada untuk diperbarui, sehingga pada tahun 1991 lahirlah kontrak karya
kedua dengan jangka waktu investasi 30 tahun yang berakhir tahun 2021, dan
dapat diperpanjang 2 x 10 tahun (sampai tahun 2041).68
Bentuk kontrak karya yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dengan
perusahaan penanaman modal asing atau patungan antara perusahaan asing
dengan perusahaan domestik adalah bersifat tertulis begitu juga dengan kontrak
antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia sehingga dapat
ditinjau menurut aturan hukum mengenai perjanjian yang berlaku di Indonesia.
Tujuan dari kontrak antara perusahaan pertambangan PT. Freeport Indonesia
dengan Pemerintah pada dasarnya adalah untuk menambang bahan galian
(tambang) dan kesediaan Pemerintah untuk memberikan ijin dengan imbalan uang
atau pajak atau pendapatan guna menambah devisa negara.
Mengacu kepada pembahasan sebelumnya, bahwa kontrak karya
menggunakan kontrak baku (standart contract). Walau menggunakan kontrak
baku, terkait syarat sahnya kontrak tetap mengacuk kepada ketentuan perikatan
yaitu Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam hal ini mengenai syarat subjektif seperti
kesepakatan, dalam kontrak baku sepakat dilihat ketika pihak kedua menerima apa
yang ditentukan oleh pihak pertama, pihak pertama merupakan pihak yang
memiliki dominasi atau kekuatan yang lebih, sehingga dia mampu untuk
menentukan isi perikatan. Dominasi pihak pertama dalam kontrak baku tidak
berarti ada unsur paksaan dalam melakukan perikatan, sebab dalam pelaksaan
kontrak baku apabila pihak kedua tidak setuju dengan isi perikatan ia tidak harus
menandatangi isi dari perikatan atau kontrak itu sendiri. Dalam hal ini para
pihaknya adalah PTFI sebagai pihak yang memiliki modal dan Pemerintah
Indonesia sebagai pihak pemegang wilayah.
Syarat subjektif selanjutnya adalah cakap, yang dikatakan cakap adalah
mereka yang sudah dewasa dan tidak berada dibawah pengampuan. Dalam
konteks ini PTFI sebagai subjek hukum recht person tidak sedang berada di
bawah pengampuan sehingga ia bisa dikatakan cakap untuk melakukan perikatan,
67
68
http://www.ptfi.co.id/id/media/facts-about-feeport-indonesia/facts-about-kontrak-karya
Ibid.
27
dan negara sebagai subjek hukum memiliki hak juga untuk melakukan perikatan.
Dalam melakukan perikatan, negara sebagai subjek hukum diwakili oleh organ
dari negara tersebut. Perikatan atau kontrak karya yang dilakukan antara PTFI
dengan Pemerintah Indonesia, pemerintah diwakili oleh Menteri Pertambangan
dan Perminyakan ketika itu.
Terkait syarat objektif dari kontrak karya antara PTFI dengan
Pemerintah Indonesia, pertama suatu pokok hal tertentu. Hal tertentu dalam hal ini
adalah adanya objek yang diperjanjikan. Objek yang diperjanjikan dalam kontrak
karya tersebut adalah kawasan atau cadangan Ertsberg di Papua seluas 10.000 HA,
yang pada tahun 1991 diperbaharui dengan perluasan wilayah di cadangan
Grasberg seluas 202.950 HA. Sedangkan syarat objektif kedua adalah sebab yang
halal, sebab yang halal dalam hal ini tidak hanya diartikan halal dalam artian fisik,
tapi lebih mengacu apakah objek yang diperjanjikan tersebut termasuk yang
dilarang oleh undang-undang atau tidak, seperti bahan-bahan narkotika yang
dilarang oleh undang-undang sudah tentu tidak memenuhi ketentuan sebab yang
halal sehingga perjanjian tersebut akan batal demi hukum atau dengan batal
dengan sendirinya. Terkait kontrak karya PTFI dengan Pemerintah Indonesia,
ketika kontrak pertama dan kedua secara umum bisa dikatakan sudah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang ada ketika itu. Akan tetapi syarat
objektif yang kedua ini lah yang saat ini menjadi permasalahan kontrak karya
PTFI terutama pasca reformasi, lebih tepatnya lagi pasca lahirnya UU No. 25
tahun 2007 dan UU No. 4 Tahun 2009.
Kontrak karya kedua atau hasil negosiasi pada tahun 1991, mengenai
royalti disepakati sebesar 1%, akan tetapi saat ini UU No. 4 Tahun 2009 mengatur
sebaliknya minimal 3,75 % dan mengharuskan dilakukannya penyesuaian kontrak
karya yang sudah ada sebelumnya dengan UU No. 4 Tahun 2009, dalam hal ini
termasuk kontrak karya PTFI.
Pada awalnya, terkait kontrak karya PTFI juga sudah memicu konflik,
pertama PTFI sempat menjadi konflik di Papua karena lokasi penambangan
tersebut berada di atas tanah ulayat dan perjanjian tersebut tidak melibatkan unsurunsur masyarakat adat di Papua. Jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria (UUPA), yang
mengakui dan menjamin hak-hak ulayat, sudah sepantasnya ketika pembentukan
kontrak karya itu mempertimbangkan aspirasi masyarakat adat setempat. Bahkan
dalam salah satu klausul kontraknya disebutkan bahwa PTFI berhak untuk
memindahkan penduduk yang berada dalam area kontrak karya mereka.69
Kontrak karya PTFI saat ini menimbulkan banyak pertentangan dari
beberapa kalangan. Terakhir digugatnya kontrak karya PTFI ini di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan oleh IHCS. Gugatan IHCS ini tidak terlepas dari amanat
UU No. 4 Tahun 2009 yang mengamanatkan setiap kontrak karya yang sudah ada
sebelum UU ini lahir harus disesuaikan, sementara PTFI hingga saat ini belum
melakukan negoisasi ulang terhadap kontrak karya tahun 1991 tersebut. Terkait
gugatan dari IHCS tersebut, berdasarkan putusan Majelis Hakim PN. Jakarta
Selatan menolak gugatan IHCS karena tidak ada kewenangan IHCS untuk
69
melakukan gugatan atas kontrak karya tersebut. Pasca putusan Majelis Hakim PN.
Jakarta Selatan terkait gugatan kontrak karya PTFI oleh IHCS, hingga saat ini
kontrak karya PTFI belum disesuaikan dengan tuntutan UU No. 4 Tahun 2009.
Implikasi hukum terhadap kontrak karya yang tidak memenuhi
persyaratan formal seiring dengan berlakunya UU No. 4 Tahun 2009 yang mana
mengubah mekanisme hubungan kontraktual menjadi pemberian izin tentunya
berbeda. Akibat hukum tidak terpenuhinya persyaratan formal yang meliputi
persyaratan administratif, teknis, persayaratan lingkungan dan persyaratan
finansial di dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah berupa
sanksi administrasi dan sanksi pidana. Namun sanksi administrasi lebih
dikedepankan dalam penegakan hukum terhadap izin. Sanksi administasi tersebut
diatur dalam Pasal 151 ayat (1) UU 4 Tahun 2009, dan dapat berupa :70
1) Peringatan tertulis;
2) Penghentian sementara sebagian/atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi
produksi; dan/atau
3) Pencabutan IUP.
Kelebihan dari penerapan sanksi administrasi, di mana pemberi izin
dapat langsung menerapkan sanksi administrasi tanpa perlu penetapan pengadilan.
Penerapan sanksi admini strasi ini tidak dapat dilaksanakan dnegan serta merta,
namun harus melalui peringatan tertulis terlebih dahulu, tetapi bila pemegang izin
tetap tidak mengindahkan teguran tersebut, pemberi izin dapat menerapkan sanksi
administrasi tersebut. Dalam hal terjadi pelanggaran adminstrastif terhadap IUP,
maka menteri, gubernur, bupati/walikota dapat menerapkan sanksi administratif
tersebut sesuai dengan kewenangannya.71
I.
70
Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4959), Pasal 151 ayat (1).
71
Faizal Kurniawan, Op. Cit
72
Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2013), hal. 20-36.
29
tetap dengan jaminan hidup yang mencukupi kebutuhan sehari-hari. 73 Hal ini
menyebabkan konsep penyediaan lapangan kerja yang merupakan salah satu
alasan pentingnya investasi tidak terpenuhi.
Hal ini diperparah dengan adanya persoalan mogok kerja beberapa bulan
lalu sehingga menurut Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa kasus
mogok kerja karyawan PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang emas dan
tembaga di Grasberg, Papua jika berkepanjangan karena akan memberikan citra
negatif bagi iklim investasi di Tanah Air. Menurutnya aksi unjuk rasa dengan
mogok kerja itu dinilai tidak baik, karena produksi kondensat dari tambang
tersebut terganggu dan memberikan iklim yang kurang bagus bagi sektor
pertambangan.74
Dalam kaitannya dengan masalah royalty dan investasi, PP 9 Tahun
2012 Jo PP 45 Tahun 2003 menjelaskan bahwa pada dasarnya royalty yang diatur
harus diberikan atas tembaga, emas dan perak masing-masing adalah sebesar 4%,
3,75%, dan 3,25% dari harga jual dari harga jual per kg, sedangkan dalam Kontrak
Karya PT. Freport Indonesia dengan Pemerintah Indonesia (Pasal 13) hanya
mewajibkan royalti sebesar 1,5% jika harga tembaga US$ 0,9/pound atau 3,5%
dari harga jual jika harga tembaga US$ 1,1/pound, sedangkan untuk emas dan
perak hanya 1% dari harga jual, hal ini jelas bertetangan dengan PP 9 Tahun 2012
Jo PP 45 Tahun 2003 dan dapat dijadikan dasar melakukan renegosiasi ulang
kontrak karya. Pemerintah Indonesia perlu untuk meninjau ulang kontrak karya
PT. Freeport terkait royalty yang merupakan salah satu sumber devisa karena
berkaitan dengan konsep investasi sesuai Pasal 33 huruf (c) Undang-Undang
Dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Prinsip kemakmuran rakyat ini dapat dijadikan sebagai
dasar untuk menentukan kembali besaran royalty yang seharusnya dapat
memberikan kemakmuran untuk rakyat, khususnya rakyat Papua yang juga
merupakan bagian dari rakyat Indonesia.
Berikut ini juga disampaikan beberapa contoh negara dengan regulasi
mengenai royalti mineral yang berlaku di negaranya sebagai suatu perbandingan.
1) Mali
Mali sebuah negara yang berada di bagian barat benua Afrika merupakan
negara yang memiliki keunggulan dalam ekspor emas. Dalam kerangka
rezim fiskalnya, negara ini mengatur pembagian keuntungan yang adil
baik bagi Negara maupun untuk perusahaan pertambangan. Dengan
pengurangan presentase royalty dari 6% menjadi 3%, hokum
pertambangan Mali secara luas menjamin pembagian risiko yang adil
73
30
75
Saji Thomas, Mining Taxation: Application to Mali, International Monetary Fund Working
Paper, May 2010, hal. 1.
76
Western Australia, Mining Regulations 1981, dalam James Otto, et. Al, Mining Royalties: A
Global Study of Their Impact on Investors, Governments, and Civil Society, (Washington DC: The
World Bank, 2006), hal. 47.
77
In accordance with section 17 (4) Mining Act 1971, this notice will have effect from 1 July
2011, South Australia Government, South Australia Gazette 28 June 2011.
78
Botswana, Mining Regulations, dalam James Otto, et. Al, Loc. Cit, hal. 47.
31
4) India
Royalti mineral pertambangan yang harus dibayarkan kepada Pemerintah
Pusat Negara India besarnya relative sesuai dengan jenis-jenis mineralnya.
India dalam penghitungan royaltinya menggunakan metode valued based
yang presentasenya berkisar 0, 2% hingga 20%.
Hal menarik dalam Undang-Undangan Pertambangan India adalah
ketentuan yang menyatakan bahwa Pemerintah hanya dapat melakukan
perubahan nilai royalty (menaikkan tariff royalty) sekali dalam 1 periode
(3 tahun), namun setelah lewat 3 (tiga) tahun bukanlah suatu kewajiban
melakukan revisi terhadap nilai royalty.79
J.
PwC Global Mining Group, Income Taxes, Mining Taxes and Mining Royalties: A Summary of
Selected Countries, PriceWaterhouse Coopers, Desember 2010, hal. 14.
32
33
negara seperti venezuela yang menasionalisasi industri minyak (oil industry), pada
tahun 2006 Bolivia juga melakukan nasionalisasi terhadap industri migas yang
dikelola oleh asing.82 Nasionalisasi yang dilakukan oleh beberapa negara di atas
menggambarkan bahwa negara lain mampu mengambil alih pertambangan dari
multinational corporation, bahkan jika dibawa kedalam konteks Indonesia, justru
Indonesia memiliki ketersediaan SDM, begitu juga dengan teknologinya. Bahkan
pemerintah juga tidak perlu takut ketika menghadapi ancaman dari perusahaan
yang akan mengadukan masalah ke badan arbitrase internasional. Pemerintah
hanya perlu takut kepada rakyat yang dinaunginya dan menyakini bahwa proses
pengambilan keputusan nantinya bertujuan untuk memperoleh sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Tanpa keyakinan seperti itu, isu renegosiasi mungkin hanya
menjadi sekedar basa basi.
K.
Kesimpulan
"...Venezuela again took steps to nationalize its oil industry, and the Russian government took
control over Yukos, the largest nonstate oil firm. In 2006, Bolivia began to nationalize oil and gas,
and Ecuador also took over the operations of a foreign oil firm by canceling its contract. More
moderately, Argentina increased taxes on oil and mining fields, in spite of tax guarantees that
precluded doing so. Expropriation has also been a concern for mining projects: it seems to have
taken place in Uzbekistan, and firms have brought arbitration cases against Kyrgyzstan and
Azerbaijan
over
this
issue
(Hogan
&
Sturzenegger,
2010)
dalam
http://map.ugm.ac.id/index.php/home/20-map-corner/149-tarik-ulur-renegosiasi-kontrak-karyapertambangan
34
Saran
83
Ibid
35
Daftar Pustaka
Buku
Badrulzaman, Mariam Darus. KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan
Penjelasan. (Bandung: Alumni, 1996)
Erawati, Elly, Budiono, Herlien. Penjelasan Hukum tentang Kebatalan
Perjanjian, Jakarta: NLRP, 2010.
Harjono, Dhaniswara K. Hukum Penanaman Modal, Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2007.
Kurniawan, Faizal. Aspek Kontraktual Pengelolaan Pertambangan Mineral Dan
Batu Bara, Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2009.
Mulya Lubis, Todung. Hukum dan Ekonomi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1992.
Priyanto, Anang, Kusdarini, Eni, Puspitasari, Candra Dewi. Kebijakan
Pengaturan Divestasi Penanaman Modal Asing Di Sektor
Pertambangan. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2006.
Rajagukguk, Erman. Hukum Investasi dan Pasar Modal, Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2013.
Salim H.S, H. Perkembangan Hukum Innominaat di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2003.
_________, Hukum Divestasi di Indonesia. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2013.
Tesis, Skripsi dan Jurnal
Chermando, Edo, Agus Priyono, Ery, Priyono, F.X. Joko. Kontrak Karya
Pertambangan PT. Freeport Dengan Pemerintah Indonesia,
Semarang: Diponegoro Law Review, Volume 1, Nomor 4, Tahun
2012.
Ida Oka Patty, Made Ester. Pelaksanaan Kontrak karya Antara Pemerintah
Republik Indonesia Dengan PT. Avocet Bolang Mongondo,
Universitas Diponegoro: Tesis, 2008.
Otto, James, et. Al, Mining Royalties: A Global Study of Their Impact on
Investors, Governments, and Civil Society, (Washington DC: The
World Bank, 2006)
Saji Thomas, Saji. Mining Taxation: Application to Mali, International Monetary
Fund Working Paper, May 2010
PwC Global Mining Group, Income Taxes, Mining Taxes and Mining Royalties:
A Summary of Selected Countries, PriceWaterhouse Coopers,
Desember 2010
36
Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 002/PUU-I/2003
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 21-22/PUU-V/2007
Internet
http://antikorupsi.org/antikorupsi/q=content/20936/pemerintah-harus-renegosiasikontrak-freeport, tanggal 26 September 2013, 20.45 WIB.
http://bola.kompas.com/read/2012/07/23/17563876/Hatta.Puji.Renegosiasi.Kontra
k.Karya.Freeport, 27 September 2013, 10.30 WIB.
http://entertainment.kompas.com/read/2012/04/20/11462219/Freeport.Menolak.Di
vestasi, 27 September 2013, 10.35 WIB.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50489b86bbae3/ihcs-minta-hakimbatalkan-kontrak-karya-freeport, diakses pada tanggal 25 September
2013.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol4183/kebijakan-pertambangan-darisentralisasi-ke-desentralisasi, 27 September 2013, 01.25 WIB.
http://indonesiadata.co.id/main/index.php/provinsi, diakses pada tanggal 21
September 2013.
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/14636/Kasus-Mogok-KaryawanFreeport-Dinilai-Pengaruhi-Iklim-Investasi, 27 September 2013, 01.00
WIB.
http://irmadevita.com/2013/pro-kontra-kewajiban-divestasi-perusahaan-tambangdengan-terbitnya-pp-no-242012, 22 September 2013, 21.15 WIB.
37
38
Pertanyaan(Kelompok((
1.(Lutiary:(Apakah(ada(usaha(lain(dari(pemerintah(untuk(menyelesaikan(kasus(divestasi(PTFI?(Apakah(
hanya(dng(Re@Negosiasi(saja?(
Jawab:&Untuk&kasus&PTFI,&sejauh&ini&kelompok&kami&melihat&jalan&keluar&penyelesaian&masalah&ini&
hanya&dengan&Re?Negoisasi.&Belum&ada&lagi&usaha&lain&dari&pemerintah&mengenai&kasus&ini.&
2.(Andre:(Apakah(pihak(PIP(ada(mengajukan(permohonan(atau(pendekatan(untuk(mengambil(alih(
kasus(divestasi(tsb?(
Jawab:&Tidak&ada.&Dalam&kasus&PTFI,&PIP&tidak&terlibat.&Berbeda&dengan&kasus&New&Mont.(
3.(Immi(Ira:(mengenai(Kontrak(Karya(apakah(ada(kebijakan(mengenai(pembayaran(Pajak?(
Jawab:&Semua&mengenai&Kebijakan&Pembayaran&Pajak&sudah&tercantum&semuanya&pada&Kontrak&
Karya.&Sehingga&bisa&dibaca&langsung&pada&kontrak&karya&yang&telah&kami&lampirkan&pada&makalah&
tugas&kelompok&kami.&
(
(