You are on page 1of 12

Prosiding Konferensi Nasional Pascasarjana Teknik Sipil (KNPTS) 2011,

20 Desember 2011, ISSN 2089-3051

PERILAKU MEKANIK SAMBUNGAN BAUT MUTU TINGGI


DENGAN SISTEM INJEKSI FILLER
Hendrik Wijaya1, Wiryanto Dewobroto2
1

Mahasiswa Magister Jurusan Teknik Sipil Universitas Pelita Harapan, Email:hendrik_w86@yahoo.com


Lektor Kepala Jurusan Teknik Sipil Universitas Pelita Harapan, Email: wir@uph.edu

ABSTRAK
Sambungan yang tidak mengalami slip (mekanisme slip kritis) merupakan hal yang penting
pada struktur jembatan, karena bila slip terjadi, sifat beban reversal akan menyebabkan
fatigue pada sambungan sehingga berdampak pada kegagalan struktur. Slip adalah fenomena
pergerakan pelat pada celah (ruang kosong) / gap antara baut dengan sisi tebal lubang pelat,
ini dapat terjadi karena diameter lubang pada pelat lebih besar dibandingkan diameter baut
itu sendiri. Walaupun desain yang dilakukan telah berdasarkan mekanisme slip kritis (gaya
aksi berada di bawah tahanan slip), seiring dengan berjalannya waktu dan peningkatan
aktifitas, beban berlebih dapat terjadi pada jembatan. Hal ini dapat mengakibatkan beban
aksi melebihi tahanan slip sehingga mekanisme berpindah menjadi mekanisme tumpu.
Walaupun mekanisme tumpu memiliki kuat yang lebih tinggi dari beban yang ada, beban
reversal jembatan menyebabkan baut menumpu sisi lubang pelat secara bolak balik pada
kedua sisi lubang secara berulang-ulang. Kondisi yang berulang ini menyebabkan
sambungan mengalami fatigue dan berakibat pada kegagalan jembatan. Oleh karena itu slip
pada sambungan struktur jembatan harus dihindari.Jika celah (ruang kosong) yang ada
dihilangkan tanpa mengganggu toleransi pelaksanaan (lubang baut tetap lebih besar daripada
diameter baut) misalnya dengan cara mengisi celah tersebut dengan filler (setelah proses
ereksi) berupa material cair (memudahkan pengisian) yang kemudian mengeras menjadi
material mutu tinggi, maka ruang kosong sebagai prasarana gerakan baut seperti pada saat
slip dapat terhindari. Dengan adanya filler di atas, slip tidak akan terjadi. Pada saat beban
yang ada melebihi tahanan slip,maka tumpu antara baut dengan dengan filler langsung
bekerja sehingga sambungan bebas slip dapat tercapai.
Kata kunci: sambungan baut, slip, slip kritis, celah, filler

1.

PENDAHULUAN

Struktur jembatan memiliki sifat pembebanan yang berbeda dengan struktur gedung pada
umumnya. Beban bergerak pada jembatan rangka baja mengakibatkan beban reversal (bolak balik)
pada setiap member rangka jembatan. Adanya beban reversal yang mengakibatkan fatigue tersebut
mengharuskan sambungan tipe slip kritis digunakan pada struktur jembatan (AASHTO 2005).
Mekanisme slip kritis hanya dapat dicapai dengan memberikan gaya pretensioning pada baut
sedemikian rupa hingga terjadi friksi pada bidang kontak efektif pelat-pelat sejajar gaya. Pada
proses pengalihan gaya, mekanisme slip kritis terjadi lebih dahulu. Apabila gaya yang terjadi
melampaui tahanan slip sambungan maka slip akan terjadi sehingga pengalihan gaya berpindah
menjadi mekanisme tumpu.
Slip adalah fenomena pergerakan pelat pada celah (ruang kosong) / gap antara baut dengan sisi
tebal lubang pelat, ini dapat terjadi karena diameter lubang pada pelat lebih besar dengan diameter
baut itu sendiri.
Mekanisme slip kritis menjadi pilihan utama dalam perencanaan sambungan struktur jembatan.
Dengan mendesain kondisi gaya berada di bawah tahanan slip maka struktur jembatan dapat
memiliki sambungan tidak mengalami slip.

S - 70

Walaupun desain yang dilakukan telah berdasarkan mekanisme slip kritis (gaya aksi berada di
bawah tahanan slip), seiring dengan berjalannya waktu dan peningkatan aktifitas, beban berlebih
dapat terjadi pada jembatan. Hal ini dapat mengakibatkan beban aksi melebihi tahanan slip
sehingga mekanisme berpindah menjadi mekanisme tumpu. Walaupun mekanisme tumpu memiliki
kuat yang lebih tinggi dari beban yang ada, beban reversal jembatan menyebabkan baut menumpu
sisi lubang pelat secara bolak balik pada kedua sisi lubang secara berulang-ulang. Kondisi yang
berulang ini menyebabkan sambungan mengalami fatigue dan berakibat pada kegagalan jembatan.
Oleh karena itu slip pada sambungan struktur jembatan harus dihindari.
pelat baja
baut

celah /
gap

a.) Tidak Mengalami Slip

pelat baja
baut
celah /
gap

tumpu
baut - pelat

2
b.1) Pasca Slip 1

pelat baja

baut
tumpu
baut - pelat

celah /
gap

2
b.1) Pasca Slip 2
b.) Slip Akibat Beban Bolak Balik

Gambar 1. Pengaruh Beban Reversal pada Mekanisme Tumpu (Wijaya 2011)

Gambar 1.a menunjukan konfigurasi baut-pelat pada saat belum dibebani dimana kondisi ideal
celah sebesar pada kedua sisi baut. Setelah diberikan gaya hingga terjadi slip yang menyebabkan
pelat bergerak ke arah kiri, maka celah sebelah kiri bertambah besar menjadi 2sedangkan celah
sebelah kanan menjadi kontak antar baut dengan pelat (Gambar 1.b1). Adanya beban reversal
menyebabkan pelat mengalami pergerakan ke arah kanan (Gambar 1.b2) sehingga celah 2yang
semula di sebelah kiri menjadi tumpu antar baut dan pelat, dan pada sebelah kanan terdapat celah
menjadi sebesar 2.

S - 71

Berdasarkan Gambar 1 di atas dapat diketahui bahwa adanya celah ini menjadi masalah yang dapat
menyebabkan terjadinya slip. Ukuran lubang baut yang lebih besar dari diameter baut ini tidak
dapat dihindari karena perlunya toleransi dan kemudahan pada saat pemasangan baut. Jika saja
celah yang ada dapat dihilangkan setelah proses pelaksanaan / ereksi, maka slip tidak akan terjadi
sehingga fatigue akibat slip tidak terjadi dan terhindar dari kegagalan struktur.
Jika celah yang ada dihilangkan tanpa mengganggu toleransi pelaksanaan (lubang baut tetap lebih
besar daripada diameter baut) misalnya dengan cara mengisi celah tersebut dengan filler (setelah
proses ereksi) berupa material cair (memudahkan pengisian) yang kemudian mengeras menjadi
material mutu tinggi, maka ruang kosong sebagai prasarana gerakan baut seperti pada saat slip
dapat terhindari.
Dengan adanya filler di atas, diduga slip tidak akan terjadi. Pada saat beban yang ada melebihi
tahanan slip,maka tumpu antara baut dengan dengan filler langsung bekerja sehingga sambungan
bebas slip dapat tercapai.

2.

TINJAUAN PUSTAKA

AISC 2010 menyatakan bahwa mekanisme pengalihan gaya-gaya pada sambungan baut tipe geser
ditentukan oleh:
1. mekanisme tumpu pelat tegak lurus arah gaya sambungan;
2. mekanisme friksi (slip kritis) antar pelat sejajar arah sambungan, yaitu jika ada gaya
pretensioning yang mencukupi pada baut mutu tinggi.
Mekanisme tumpu dan mekanisme friksi mempunyai formulasi yang berbeda. Mekanisme tumpu
ditentukan oleh parameter diameter baut dan tebal pelat profil, sedangkan mekanisme friksi
ditentukan oleh parameter koefisien slip dan gaya pretensioning pada baut mutu tinggi. Keduanya
juga mempunyai sifat yang berbeda, mekanisme tumpu memberikan sifat daktail, sedangkan
mekanisme friksi memberikan sifat yang non-daktail.
Pada mekanisme tumpu, kekuatan sambungan akan ditentukan oleh tebal pelat, dan diameter baut.
Sehubungan dengan ketebalan profil baja hot-rolled yang mencukupi, umumnya keruntuhan pada
sambungan terjadi pada baut yang mengalami geser (keruntuhan / kegagalan pada baut). Artinya
baut telah digunakan secara optimal (efisien).
tebal pelat
geser pada baut
gaya aksi

tegangan tumpu pada


bidang kontak antara
pelat dan baut
gaya
reaksi

bidang kontak
baut mutu tinggi
slip/deformasi

Gambar 2.Mekanisme Tumpu Pada Sambungan (Dewobroto 2009)

Mekanisme friksi (slip kritis) dapat bekerja apabila ada gaya pretensioning yang mencukupi pada
saat pengencangan baut. Bidang friksi (plane of friction) pada Gambar 3. adalah bidang permukaan
pada pelat-pelat sambung yang saling melekat erat karena gaya clamping dari pretensioning pada
baut sehingga menghasilkan tekanan tegak lurus permukaan yang saling berlawanan dan seimbang.
Hubungan kedua pelat sambungan tersebut menghasilkan tahanan friksi yang merupakan sumber
kekuatan mekanisme friksi.

S - 72

bidang kontak efektif

gayya aksi
gaya reakssi

tahhanan friksi
gayya clamping dari
pretensioning

baut mutu
m tinggi

Gambaar 3. Mekanism
me Friksi Padaa Sambungan (Dewobroto 22009)

Paada mulanyaa mekanismee friksi (slip kritis)


k
yang dihasilkan dari
d tahanan ffriksi antar pelat
p
bekerjaa
daalam menahaan gaya bebaan yang adaa. Mekanisme ini bekerjaa hingga suaatu batasan dimana
d
gayaa
beeban lebih besar
b
dari taahanan friksii yang ada hingga sam
mbungan menngalami slip dan terjadii
koontak antaraa baut dengaan tebal pelaat yang merrupakan dim
mulainya meekanisme tum
mpu bekerjaa
daalam peralihaan gaya padda sambungaan hingga ak
khirnya sambbungan menggalami kegag
galan secaraa
tuumpu (failuree). Slip yang terjadi ini dapat
d
diindikasikan dengaan terjadinyaa penambahaan deformasii
tannpa adanya peningkatan
p
gaya tahanann sambungan
n.

Gambaar 4. Beban VS
V Deformasi Tipikal Samb
bungan Baut Mutu
M
Tinggi ((Kulak et.al. 2001)
2

Paada konstrukksi gedung sambungan


s
baut tipe geeser yang diigunakan haanya sebatas mekanismee
tuumpu saja, artinya kuatt sambungaan hanya diitentukan olleh diameterr baut dan tebal pelatt
peenyambung / profil sambbung. Berbedda dengan strruktur gedunng, jika pada bangunan geedung bebann
tettap pada strruktur beruppa beban staatis saja, pad
da struktur jembatan
j
bebban tetap beerupa bebann
diinamik akibaat beban berggerak. Bebann bergerak in
ni merupakann beban reveersal (beban bolak balik))
paada komponeen struktur jeembatan. Jaddi pada struk
ktur jembatann terdapat meember penyu
usun strukturr
jem
mbatan ranggka yang dapat mengalam
mi gaya tarik dan gaya tekkan secara beergantian teru
us menerus.
AA
ASHTO 20005 menyatakkan bahwa saambungan yaang mengalaami beban reeversal, bebaan tumbukann
beesar, getaran besar atau teegangan dann regangan yaang berdamppak pada dayya layan struk
ktur harus dii
deesain dengann mekanisme slip kritis.
Karena adanyya beban revversal, maka sambungan pada konstrruksi jembattan harus meengandalkann
m
mekanisme
slip kritis. Sesuai dengan AASHTO bahwa
b
jika terjadi
t
slip m
maka mekan
nisme tumpuu
yaang bekerja, tetapi AAS
SHTO mensyyaratkan bah
hwa mekaniisme tumpu hanya dapaat digunakann
unntuk membeer yang menngalami gayaa tekan sajaa atau pada member braacing, dengaan kata lainn
saambungan yaang mengalam
mi beban revversal harus mengandalka
m
an mekanism
me slip kritis..

S - 73
3

Mekanisme tumpu di atas memang harus dihindari karena dengan adanya celah akibat lubang baut
yang lebih besar daripada baut dapat menyebabkan tumpu baut-pelat secara berulang-ulang (lihat
Gambar 1.). Hal inilah yang tidak diijinkan AASHTO karena tumpu dengan adanya celah tersebut
dapat menyebabkan fatigue.
Di sisi lain kemungkinan untuk terjadinya slip dapat selalu ada. Adanya kemungkinan beban
berlebih dapat menyebabkan gaya beban lebih besar daripda tahanan slip kritis. Jika hal ini terjadi
maka slip akan terjadi sehingga dapat membahayakan struktur sesuai penjelasan di atas.Masalah
beban berlebih sering menjadi penyebab kegagalan struktur jembatan di Indonesia. Sebut saja
Jembatan Air Beliti (Sumatera Selatan, 1995), Jembatan Cipunagara (Jawa Barat, 2004), Jembatan
Air Lingsing (Sumatera Selatan, 2006), ketiganya merupakan jembatan rangka baja yang
mengalami keruntuhan disebabkan karena kelebihan beban. Adanya kasus beban berlebih ini tentu
erat kaitannya dengan beban yang terjadi diatas beban desain slip.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa perilaku pasca slip adalah mekanisme tumpu. Tumpu yang
berulang-ulang dapat menyebabkan fatigue. Hal ini yang dapat menjadi penyebab kegagalan
jembatan. Kasus ketiga jembatan yang gagal akibat beban berlebih di atas tidak dilengkapi dengan
data pendukung seperti yang penulis angkat, ini dapat terjadi karena minimnya survei dan evaluasi
kegagalan jembatan di Indonesia. Namun hal ini dapat terjawab dengan mempelajari kasus
Jembatan Musi II yang saat ini masih digunakan.
Jembatan Musi II merupakan jembatan rangka baja yang berada di Palembang, Sumatera Selatan
ini dibangun pemerintah antara tahun 1993-1994. Jembatan dengan lebar 9 meter dan panjang 600
meter ini sering mendapatkan beban berlebih sehingga mengalami kerusakan yang cukup parah dan
masih digunakan hingga saat ini.
Prof. Dr. Sohei Matsuno, seorang pakar jembatan berkebangsaan Jepang yang merupakan Guru
Besar di Universitas Sriwijaya, Palembang melakukan pengamatan pada Jembatan Musi II. Pada
tahun 2000 didapatkan bahwa tingkat goyangan jembatan sebesar sekitar 5 cm (normal). Saat ini
(2011) tingkat goyangan telah melebihi 10 cm (berbahaya). Selain itu juga didapatkan 6 (enam)
buah baut pada sambungan yang patah dan ratusan baut lainnya kendur. (Sumber:
http://www.seputar-indonesia.com)
Banyaknya baut yang kendur menjadi indikasi bahwa telah terjadi slip pada sambungan akibat
adanya beban berlebih, dimana beban yang ada ada lebih besar daripada tahanan slip. Tingkat
goyangan yang tinggi juga mendukung pernyataan telah terjadi slip. Tingkat goyangan yang tinggi
ini merupakan dampak dari fenomena tumpu yang terjadi terus menerus akibat beban bolak-balik.
Jika hal ini tidak ditangani secara serius maka bukan tidak mungkin Jembatan Musi II akan
mengalami kegagalan struktur hingga ambruk seperti pada ketiga jembatan yang telah disebutkan
di atas.
Biasanya dalam pelaksanaan di lapangan, besarnya pengencangan baut yang diberikan sesuai
dengan peraturan yang berlaku dan telah melalui kalibrasi dengan pengujian tension calibrator.
Namun nilai pretensioning yang telah diberikan pada suatu baut dalam suatu konstruksi tidak dapat
diketahui dengan tepat pada saat inspeksi di lapangan (Kulak 2005)
The inspector and the designer must realize that it is a reality that the bolt pretension itself
cannot be determined during the inspection process for most building and bridge
applications. (Kulak 2005)

Selain itu berdasarkan formulasi mekanisme slip kritis dapat diketahui bahwa nilai tahanan slip
tidak dapat ditentukan dengan pasti yaitu dihitung berdasarkan pendekatan statistik. Walaupun
regulasi telah menentukan pendekatan statistik sebagai acuan dalam menghitung tahanan slip,
kondisi terburuk bisa saja terjadi yaitu tahanan slip yang sebenarnya berada dibawah pendekatan
statistik yang telah ditentukan (formulasi AISC). Jika kondisi terburuk ini terjadi maka walaupun
tidak ada beban berlebih, tahanan slip yang terpasang pada sambungan dapat berada dibawah beban
yang bekerja hingga slip dapat terjadi.

S - 74

Dari uraian di atas dapat diketahui slip dapat selalu saja terjadi. Slip tersebut bisa terjadi karena
adanya celah akibat lubang baut lebih besar daripada diameter baut. Adanya celah tersebut menjadi
masalah dalam menghindari terjadinya slip pada sambungan padahal celah tersebut berguna
sebagai toleransi dan kemudahan pada saat pemasangan. Jika celah tersebut dihilangkan setelah
proses pelaksanaan / erection dengan mengisi celah tersebut dengan filler maka slip tidak akan
terjadi.

baut
celah /
gap

Gambar 5.Celah Pada Lubang Sambungan

3.

METODA PENELITIAN

Untuk menghindari terjadinya slip pada sambungan maka celah yang ada harus dihilangkan. Jika
lubang baut dibuat sama besar dengan ukuran diameter baut, maka celah pada sambungan tidak
akan ada dan slip tidak akan terjadi. Cara ini tidak dapat digunakan, karena jika tidak disiapkan
celah maka akan sangat menyulitkan pemasangan di lapangan. Sebagai toleransi minimum, lubang
ukuran standar tetap mensyaratkan diameter lubang lebih besar 2 mm daripada diameter baut,
perbedaan ini bertujuan untuk toleransi pemasangan di lapangan.
Pemikiran yang ada adalah pengaruh celah pada sambungan harus dihilangkan setelah proses
pemasangan di lapangan. Dengan cara ini maka toleransi untuk kemudahan pemasangan tidak akan
terganggu. Untuk menghilangkan celah tersebut maka setelah pemasangan dilakukan, celah
tersebut diisi dengan filler. Filler ini harus berupa material yang bersifat cair agar memudahkan
pengisian dan setelah waktu tertentu material tersebut harus dapat mengeras sehingga dapat
langsung mengalihkan mekanisme tumpu dari baut penuju pelat sambungan.
pelat baja

pelat baja
baut

baut
celah /
gap

Filler

a.) Sistem Konvensional

B.) Sistem Filler

Gambar 6.Filler Memenuhi Celah Sebagai Penghambat Ruang Gerak Slip

Dengan adanya filler yang mengisi celah maka setelah slip kritis terjadi dan mekanisme tumpu
mengambil alih gaya-gaya yang ada, maka sambungan ini diharapkan dapat memberikan perilaku
mekanik yang berbeda. Harapannya adalah slip tidak akan terjadi karena pada saat pelat hendak
bergerak menumpu baut, filler di atas menghambat ruang gerak pelat sehingga kontak antar pelat
dengan baut tidak dapat terjadi. Jika slip tidak terjadi maka selain sambungan akan tetap menjadi

S - 75

kaku, tanpa ada deformasi yang berarti, resiko terjadinya fatigue akibat beban bolak balik dapat
dihindari.
ccelah / gap kosong ()
ring / washer

celah / gap kosong ()

a.) Sebelum dibebani

ccelah / gap kosong (2)


ring / washer
celah / gap kosong (2)

P
b ) Sesudah dibebani (P > P slip)
celah / gap kosong (konvensional)

celah / gap dengan filler ()


ring / washer

celah / gap dengan filler ()

P
b ) Sesudah dibebani (P > P slip)
celah / gap dengan filler

Gambar 7. Dampak Penggunaan Filler Pada Sambungan (Wijaya 2011)

Pada Gambar 7 dapat terlihat bahwa dengan metode konvensional / tanpa filler (Gambar 7.b)
setelah terjadi slip, masing-masing pelat bergerak ke arah kerja gaya sebesar sehingga besar
celah menjadi sebesar 2 pada salah satu sisi dari masing masing pelat (pelat atas dan pelat
bawah). Pada sambungan dengan menggunakan filler (Gambar 7.c), pada saat beban lebih besar
dari tahanan slip (slip kritis), celah tetap seperti semula seperti sebelum dibebani yaitu sebasar
pada kedua sisi masing-masing pelat karena pelat tidak dapat bergerak (ruang gerak dibatasi oleh
filler)
Walaupun tipe sambungan slip kritis yang mengambil peran pada peralihan gaya sambungan pada
konstruksi. AISC dan AASHTO mensyaratkan bahwa kuat tumpu tetap perlu diperhitungkan dalam
mengambil alih gaya-gaya yang terjadi. Artinya kuat tumpu tetap harus didesain lebih tinggi
daripada kuat slip kritis yang ada, jadi pada saat terjadi beban berlebih (overload), kuat tumpu
mengambilh alih proses transfer gaya dari mekanisme friksi.
Beban reversal pada jembatan dapat menyebabkan fatigue pada sambungan akibat adanya slip
(lihat Gambar 1). Fatigue mengakibatkan kegagalan sambungan jembatan dapat terjadi pada saat
beban yang bekerja berada dibawah tahanan tumpu ultimate, dengan kata lain kuat tumpu ultimate
tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Pengujian utama pada penelitian ini terdiri dari dua jenis benda uji yaitu benda uji dengan sistem
sambungan konvensional dan benda uji dengan sistem sambungan dengan filler epoxy. Masing-

S - 76

masing jenis benda uji dilakukan pengujian sebanyak tiga kali. Di bawah ini merupakan
konfigurasi benda uji yang dimaksud.

t pelat =
16 mm

t pelat =
8 mm

TRANSDUCER

Bagian Sambungan
Yang Di-Uji
t pelat =
16 mm

a.) Tampak Depan


b.) Tampak Samping
Gambar 8. Konfigurasi Pengujian Sambungan

Perlu diingat bahwa penelitian ini menitikberatkan pada pentingnya menghindari fenomena slip
yang biasa terjadi. Dengan adanya filler pada celah, pada saat mekanisme tumpu mengambil alih
gaya-gaya yang ada, filler akan berfungsi sebagai penghambat ruang gerak slip dan slip tidak akan
terjadi sesuai dengan hipotesa.
Pengujian berupa uji tarik beban statik dilakukan di Balai Struktur dan Konstruksi Bangunan
Puskim, Bandung. Untuk menarik benda uji digunakan Mesin UTM (Universal Testing Machine).
Mesin UTM yang tersedia adalah UTM dengan kapasitas 200 ton dengan merk TOKYOKOKI.

4.

HASIL PENELITIAN

Berikut ini merupakan hasil penelitian berupa dokumentasi konfigurasi benda uji yang terpasang
pada Mesin UTM serta keruntuhan sambungan yang terjadi pada benda uji sistem konvensional
dan benda uji sistem injeksi filler. Benda uji sistem injeksi fillerepoxy dan sistem konvensional
dapat dengan mudah dibedakan. Pada sambungan sistem injeksi filler terdapat pewarna putih
dengan dua buah titik hitam yang berasal dari injeksi epoxy.

S - 77

a.) Sistem Konvensional


b.) Sistem Injeksi Filler
Gambar 9.Benda Uji Terpasang Pada Mesin UTM

a.) Sebelum Keruntuhan


b.) Sesudah Keruntuhan
Gambar 10.Benda Uji Sistem Konvensional 3

a.) Sebelum Keruntuhan


b.) Sesudah Keruntuhan
Gambar 11.Benda Uji Sistem Injeksi Filler 1

S - 78

5..

PEMBA
AHASAN PENELITIA
P
AN

Peembahasan penelitian
p
d
dilakukan
deengan meng
ggabungkan kurva gaya-perpindahan
n benda ujii
sisstem konvennsional dengaan benda uji sitem injeksi filler.

Kurvva Gaya VS Perpindahaan


45,000
0
40,000
0
35,000
0
30,000
0

Gaya (kg)

Sistem Konveensional 2
Sistem Konveensional 3

25,000
0

Sistem Injeksi Filler 1


20,000
0

Sistem Injeksi Filler 2

15,000
0

Sistem Injeksi Filler 3

10,000
0
5,000
0
0
0.00

5.00
0

10.00

15.00

20.0
00

25.00

30.00

35.0
00

40.00

45.00

Perpindahan (mm
m)
Gambbar 12. Kurva Gaya Perpinndahan Bendaa Uji Sistem Konvensional
K
dan Injeksi Fiiller

Paada sambunggan sistem konvensiona


k
al, slip terjad
di pada kisaaran gaya 50000 - 7500 kg
k sehinggaa
m
mekanisme
tum
mpu mengam
mbil alih prooses pengalih
han gaya-gayya. Tumpu terrjadi antara pelat
p
dengann
baaut hingga akkhirnya terjaadi kegagalann geser padaa baut atau keegagalan tariik pada pelatt ketika kuatt
tarrik pelat beraada di bawahh kuat geser baut.
b
Paada sambunggan dengan sistem
s
injeksi filler, terlih
hat bahwa fennomena slip tidak terjadii. Dari kurvaa
gaaya perpindahan yang dihasilkan dapat
d
dilihat bahwa tidakk adanya lonncatan perpin
ndahan yangg
cuukup besar seecara tiba-tibba.
Peerilaku slip yang
y
biasanyya terjadi akkibat gaya beban
b
yang terjadi
t
lebihh besar dari tahanan slipp
krritis menyebabkan terjaddinya perpinddahan yang besar secaraa mendadak.. Perpindahaan ini terjadii
kaarena adanyaa celah pada lubang
l
sambbungan.
Paada kisaran gaya di baw
wah 7500 kgg sebelum teerjadi slip krritis, seluruh kurva bend
da uji sistem
m
koonvensional dan injeksi filler
f
berhim
mpit (relatif sama) karenaa memang paada tahap inii mekanismee
saambungan yaang bekerja adalah samaa yaitu mekaanisme slip kritis. Perluu menjadi caatatan bahwaa
peerilaku sambbungan sisteem konvensional pada tahap ini adalah slip kkritis murni, sedangkann
peerilaku sistem
m injeksi filller tidak dappat diketahui keberadaanyya apakah sllip kritis murrni atau bisaa
saaja slip kritis dan menddapatkan dukkungan dari mekanisme tumpu akibbat adanya injeksi
i
fillerr
eppoxy.
Peerilaku berbeeda akan terllihat pasca slip kritis, dim
mana pada sambungan
s
kkonvensionall, slip terjadii
daan sebaliknya pada sambbungan injekksi filler, slip
p tidak terjaddi. Pada tahaap ini jelas kedua
k
sistem
m
saambungan mengalami
m
m
mekanisme
tuumpu. Pada sambungan sistem konnvensional tu
umpu terjadii

S - 79
9

antara dua buah elemen yaitu baut dengan pelat, sedangkan pada sistem injeksi filler, tumpu terjadi
antara tiga buah elemen yaitu baut epoxy pelat.
Adanya filler epoxy yang mengisi celah tersebut mengakibatkan slip tidak terjadi. Pada saat gaya
yang bekerja lebih besar dari tahanan slip, pelat berusaha bergerak untuk menumpu pada baut,
namun adanya filler, gerak dari pelat tersebut menjadi terbatas, sehingga tumpu langsung terjadi
tanpa adanya perpindahan yang berarti. Mekanisme tumpu yang langsung terjadi adalah tumpu
antara pelat dengan epoxy. Filler epoxy berperan dalam mengalihkan gaya dari pelat menuju baut.
Jadi di satu sisi tumpu terjadi antara pelat dengan epoxy, di sisi epoxy lainnya tumpu terjadi antara
epoxy dengan baut.
Di sisi lain slip yang tidak dapat terjadi akibat celah yang ada dihilangkan / diisi dengan filler
epoxy tidak mengganggu keberadaan / fungsi celah itu sendiri sebagai toleransi pelaksanaan pada
saat pemasangan baut. Keberadaan sistem sambungan injeksi filler ini selain mumpuni dalam hal
kekuatan namun juga tidak mengganggu kepentingan-kepentingan lainnya. Dengan kata lain sistem
sambungan ini memberikan dampak positif pada kinerja sambungan tanpa memberikan pengaruh
negatif atau kekurangan lainnya.
Sementara itu kaitannya dengan penggunaan sistem sambungan ini pada sambungan jembatan
rangka baja yang mengalami beban bolak-balik, sambungan sistem ini telah membuka peluang
tersendiri. Tentunya slip yang telah dapat dihindarkan ini membuka peluang untuk menghindari
terjadinya resiko fatigue akibat tumpu bolak-balik antara pelat dengan baut yang diprasarani oleh
celah pada lubang sambungan. Ini sesuai dengan hipotesis yaitu ketika ada beban berlebih yang
melebihi kapasitas slip kritis, slip tidak akan terjadi sehingga resiko-resiko yang sebelumnya
mungkin terjadi dapat dihindari. Terlalu dini untuk mengatakan sambungan sistem injeksi filler ini
merupakan sambungan yang tahan terhadap fatigue, namun peluang menuju arah tersebut terbuka
luas mengingat hasil yang telah dicapai pada penelitian ini.

6.

KESIMPULAN

Keberadaan slip pada sambungan struktur baja dapat menjadi masalah tersendiri. Keberadaan slip
yang disebabkan adanya celah pada lubang sambungan menyebabkan slip dapat selalu terjadi jika
gaya yang terjadi melebih tahanan slip. Di sisi lain keberadaan celah tersebut tetap harus
dipertahankan sehingga toleransi untuk pelaksanaan dapat tercapai.
Penelitian ini telah memberikan solusi berupa sambungan sistem injeksi filler yang mana injeksi
epoxy diberikan pada celah sambungan sehingga pengaruh celah dapat dihindarkan. Sambungan
sistem injeksi filler memberikan dampak positif yaitu menghindarkan sambungan dari fenomena
slip. Fenomena slip kritis diperlukan untuk sambungan yang tahan fatigue, dengan tidak adanya
slip pada sambungan sistem injeksi filler ini, maka terbuka peluang untuk meningkatkan kinerja
sambungan yang tahan fatigue dengan penelitian lebih lanjut.
Dapat dilakukannya penelitian ini tidak terlepas dari dukungan Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat Universitas Pelita Harapan (LPPM UPH), untuk itu diucapkan terima kasih
kepada lembaga tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
AASHTO. AASHTO LRFD Bridge Design Specification. AmericanAssociation of StateHighway and
Transportation Officials, (2004)
AISC. An American National Standard :Specification for Structural Steel Buildings (ANSI/AISC 360-10).
Chicago: American Institute of Steel Construction, 2010.
Dewobroto, Wiryanto. Struktur Baja 1, Rangka Batang dan Sambungan. Januari, 2006.
Dewobroto, Wiryanto and Anthony Natanael. Penelitian Perilaku Keruntuhan Sambungan Pelat Baja Satu
Sisi Menggunakan Baut Mutu Tinggi. Pra-Sidang Tugas Akhir. Jurusan Teknik Sipil, Universitas
Pelita Harapan, Juni 2008 unpublished.
Gresnigt, A. M and Stark J. W. B. Design of Bolted Connection With Injection Bolt. Trento, Italy, 1995

S - 80

Kulak, Geoffrey and John W. Fisher. Guide to Design for Bolted and Riveted Joints. Chicago: American
Institute of Steel Construction, 2001.
Kulak, Geoffrey High Strength Bolting. Toronto: Canadian Institute of Steel Construction, 2005.
Mans, D.G and J. Rodenberg. The Amsterdam Arena : a Multifunctional Stadium London, January 2001
Munse, W. H. High-Strength Bolting. AISC Engineering Journal, 1967.
Nikolovski, Tihomir. Injection Bolts FAKOM AD, 2009
RCSC. Specification for Structural Joints Using High Strength Bolt. Chicago: Research Council On
Structural Connections, 2009.
Wijaya, Hendrik. Peningkatan Kinerja Sambungan Baut Mutu Tinggi Pada Struktur Baja Cold-formed
Dengan Sistem Mekanisme Tumpu Baru. Tugas Akhir Jurusan Teknik Sipil, Universitas Pelita
Harapan, Karawaci. Unpublished, 2008.
Wijaya, Hendrik dan Dewobroto, Wiryanto Penggunaan Washer Khusus (Besar) Pada Sambungan Baja
Cold-Formed. Jurnal Teknik Sipil ITB, Vol. 15, no. 3, hal. 107 hal. 112. Bandung, 2008.
Wijaya, Hendrik. Pengaruh Filler Epoxy Terhadap Perilaku Sambungan Baut Mutu Tinggi. Tugas Akhir
Magister Teknik Sipil, Universitas Tarumanagara, Jakarta. Unpublished, 2011.

S - 81

You might also like