You are on page 1of 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab II akan membahas tentang uraian teori yang berkaitan dengan bab I dan
berdasarkan pustaka. Pembahasan akan difokuskan pada uraian tentang penyakit
dispepsia, penatalaksanaan, nausea atau mual, akupresur dan pengaruh akupresur
terhadap mual serta kerangka konsep yang berisi pendekatan pemecahan masalah
yang akan digunakan.
A. Landasan Teori
1. Dispepsia
a. Pengertian
Dispepsia atau indigesti merupakan istilah yang sering digunakan
untuk menjelaskan gejala yang umumnya dirasakan sebagai gangguan
perut bagian atas (Harrison, 1999). Tjokronegoro (2001) menerangkan
dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri
ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang dan
sendawa, dyspepsia sering ditemukan pada orang dewasa. Dispepsi
merupakan masalah yang sering ditemukan dan keluhannya sangat
beragam. Dispepsia merupakan salah satu gangguan pencernaan yang
paling banyak diderita yang menunjukkan rasa nyeri pada bagian atas

11

12

perut (Almatsier, 2004), dapat disimpulkan bahwa dispepsia merupakan


gangguan pencernaan yang ditandai dengan banyak gejala dari nyeri ulu
hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang dan
sendawa.
Prevalensi kejadian dispepsia di Amerika Serikat, India, Hongkong,
Australia, Cina cukup tinggi dan 27% yang menderita dyspepsia adalah
remaja putri dan 16% remaja putra (Dwijayanti, Ratnasari & Susetyowati
2008, dalam Susanti, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Joko,
Agus dan Saryono (2006) karakteristik penderita dispepsia yang berobat
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto sebagian besar berumur
diatas 40 tahun, berjenis kelamin perempuan, berpendidikan rendah dan
tidak bekerja. Penderita dispepsia sebagian kecil biasa mengkonsumsi
kopi, alkohol, dan rokok.
b. Klasifikasi
Mansjoer (2001) Membagi klasifikasi dispepsia menjadi 2, yaitu:
1) Dispepsia organik bila telah diketahui kelainan organic sebagai
penyebabnya.
2) Dispepsia nonorganik atau funsional, atau dispepsia non ulkus, bila
tidak jelas penyebabnya.

13

Table 2.1 Perbedaan dispepsia organik dan fungsional


Dispepsia organic

dispepsia fungsional

Ulkus peptic kronik


(ulkus fentrikulus, ulkus
Duodeni)
Gastro-oesophageal refluk
Disease dengan atau tanpa
Esofangitis
OAINA, Aspirin
Kolelitasis simtomatik
Pankreatitis kronik
Gangguan metabolic
Keganasan (gaster, kolon
Pancreas)
Insufisiensi vascular mesentrikus
Nyeri dinding perut

- disfungsi sensorik-motorik
- gastroparesis idiopatik
- disritmia gaster
- hipersensitivitas gaster
atau duodenum
- faktor psikososial
- gastristis Hp
- idiopatik

c. Patofisiologi
Djojodiningrat

(2007)

menjelaskan

proses

patofisiologi

yang

berhungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam


lambung, infeksi Helicobakter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan
hipersensittivitas visceral.
1) Sekresi asam lambung
Kasus dispepsia fungsional, umumnya mempunya tingkat sekresi asam
lambung, baik sekresi basal atau dengan stimulasi pentagastrin yang
rata-rata normal. Terjadinya peningkatan sensitivitas mukosa lambung
terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.

14

2) Helicobacter pylori (Hp)


Infeksi Hp dapa dispepsia fungsional belum sepenuhnya diterima. Hp
pada sispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna
dengan angka kekerapan Hp pada kelompok sehat.
3) Dismotilitas gastrointestinal
Dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung dan
adanya hipomotilitas antrum sampai 50% kasus, harus dimengerti
bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat
kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambung tidak dapat
mutlak menjadi penyebab dispepsia.
4) Ambang rangsang persepsi
Dispepsia memiliki hipersensitivitas visceral terhadap distensi balon di
gaster atau duodenum. Mekanisme lebih lanjut belum diketahui.
Penelitian menggunakan balon intragastrik mendapatkan hasil 50%
populasi dengan dispepsia fungsional timbul rasa nyeri atau tidak
nyaman di perut pada inflansi balon dengan volume yang lebih rendah
dibandingkan dengan volume yang menimbulkan nyeri pada populasi
kontrol.

15

d. Etiologi
Djojodiningrat (2007) menyebutkan penyebab dyspepsia.
Table 2.2 Penyebab dispepsia
Penyebab dispepsia
Esofago-gastro-duodenal
Obat-obatan
Hepato-billier
Pancreas
Penyakitt sistemik lain
Gangguan fungsional

tukak peptic, gastristis kronik, gastristis NSAID,


keganasan
antiinflamasi nonsteroid, antibiotic, digitalis
hepatitis, kolesistisis, kolelitiasis, disfungsi
sfingter odii
pankreatitis
DM, penyakit tiroid, gagal ginjal, penyakit
jantung
dispepsia fungsional, iritabel bowel syndrome

e. Manifestasi klinis
Mansjoer (2001) dalam bukunya membagi klasifikasi klinis secara
praktis, didasarkan atas gejala yang dominan, membagi dispepsia menjadi
tiga tipe:
1) Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dispepsia), dengan
gejala:
-

Nyeri epigastrium terlokalisasi

Nyeri hilang setelah makan

Nyeri saat lapar

Nyeri episodik

16

2) Dispepsia

dengan

gejala

dismotilitas

(dysmotility-like

dispepsia),dengan gejala:
-

Mudah kenyang

Perut cepat terasa penuh saat makan

Mual

Muntah

Upper abdominal bloating

Rasa tak nyaman bertambah saat makan

3) Dispepsia nonspesifik
f. Penatalaksanaan
Pasien dispepsia dalam melakukan pengobatan dengan menggunakan
modifikasi pola hidup dengan melakukan program diet yang ditujukan
untuk kasus dispepsia fungsional agar menghindari makanan yang dirasa
sebagai faktor pencetus. Pola diet yang dapat dilakukan seperti makan
dengan porsi kecil tetapi sering, makan rendah lemak, kurangi atau hindari
minuma-minuman spesifik seperti: kopi, alcohol dll, kurangi dan hindari
makanan yang pedas. Terapi medikamentosa untuk kasus dispepsia hingga
sekarang belum terdapat regimen pengobatan yang memuaskan terutama
dalam mengantisipasi kekambuhan (Tjokronegoro, 2001). Mansjoer
(2001) menerangkan pengobatan pada dispepsia mengenal beberapa
golongan obat, yaitu:

17

1) Antacid 20-150 ml/hari


Antacid berfungsi untuk menetralkan asam lambung. Pemakaian
antacid tidak dinajurkan secara terus-menerus, sifatnya hanya
simtomatis untuk mengurangi rasa nyeri. Penggunaan dosis besar
dapat menyebabkan diare.
2) Antikolinergik
Kerja antikolinergik tidak sepesifik. Obat yang bekerja sepesifik
adalah pirenzepin untuk menekan sekresi asam lambung.
3) Antagonis reseptor H2
Obat ini banyak digunakan untuk mengatasi dispepsia organic. Obat
tergolong antagonis reseptor H2 adalah; simetidin, roksatidin,
ranitidine dan famotidine.
4) Penghambat pompa asam
Golongan obat ini menghambat sekresi asam lambungpada stadium
akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat termasuk dalam
golongan penghambat asam adalah; omeperazol, lansoprazol dan
pantoprazole.
5) Sitroprotetif
Prostaglandin sintetik seperti misoprosol dan eprostil, selain bersifat
sitoprotektif juga dapat menekan sekresi asam lambung oleh sel
parietal.

18

6) Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan prokinetik; sisaprid, domperidon dan
metoklopramid. Obat golongan ini efektif untuk mengobati dispepsia
fungsional dan refluks esofangitis dengan mencegah refluks dan
memperbaiki bersihan asam lambung.
Dispepsia

merupakan

sindrom

dari

sekumpulan

gejala

yang

menyertainya. Gejala yang timbul pada dispepsia diantaranya adalah mual


yang merupakan gejala yang dominan terjadi setelah gejala nyeri.
Dispepsia sering terjadi karena adanya hipersekresi asam lambung yang
menyebabkan meningkatnya asam lambung menyebabkan rasa tidak enak
pada perut berupa rasa mual. Obat-obatan yang diberikan banyak berfokus
pada penanganan simtomatis dan penanganan pada sekresi asam lambung,
golongan obat yang diberikan seperti; golongan prokinetik, sitoprotetif,
penghambat pompa asam, antagonis reseptor H2, antikolinergik dan
antacid.
2. Mual Pada Pasien Dispepsia
a. Pengertian
Price dan Willson (2005) mendefinisikan mual merupakan suatu
perasaan yang sangat tidak enak dibelakang tenggorokan dan epigastrium,
sering menyebabkan muntah. Mual muntah dianggap sebagai suatu
fenomena yang terjadi dalam tiga stadium yaitu mual, retching dan

19

muntah. Stadium mual merupakan stadium pertama, stadium kedua


retching adalah suatu usaha involunter untuk muntah, stadium ketiga
muntah merupakan suatu reflex yang menyebabkan dorongan ekspulsi isi
lambung atau usus atau keduanya ke mulut.
Mual merupakan ungkapan subjektif berupa sensasi atau perasaan
yang tidak menyenangkan di bagian epigastrium yang disertai dengan
pucat, keringat panas dingin, kemerahan, takikardi, dan pengeluran saliva
yang berlebihan (Garret, et.al, 2003, dalam Apriany, 2010).
b. Mekanisme mual
Teori menyatakan tentang mual, aktifitas nucleus dari neuron di
medulla oblongata , merupakan pusat yang mengawali terjadinya reflek
mual dan muntah. Pusat mual muntah dapat diaktifkan secara langsung
oleh korteks cerebral, sinyal dari organ sensoria atau sinyal dari apparatus
vestibular dari telinga dalam yang menimbulkan reflek mual karena
adanya gerakkan. Nausea atau mual sering mendahului atau menyertai
muntah (vomitus) (Garret et.al. 2003, dalam Apriany, 2010)
Faktor risiko terjadinya mual yang berhubungan dengan pasien
meliputi usia, jenis kelamin, riwayat mual terdahulu dan dapat
dipengaruhi oleh penggunaan obat antiemetik seperti antikolinergik
(Grunberg, 2004; Barsadia & Patel, 2006, dalam Apriyani, 2010).

20

c. Mual pada dispepsia


Mual yang terjadi pada dispepsia disebabkan karena sekresi asam
lambung yang meningkat menyebabkan terjadinya inflamasi pada
lambung yang kemudian merangsang saraf-saraf pada lambung dan
dihantarkannya ke medulla oblongata dan ditanggkap oleh pusat saraf
sebagai respon mual. Karakteris mual pada dispepsia tidak dapat
diprediksikan lamanya mual terjadi. Mual pada dispepsia terjadi pada pagi
hari atau sebelum dan setelah makan timbul secara tiba-tiba dengan durasi
yang tidak dapat dipresiksikan (Garret et.al. 2003, dalam Apriany, 2010;
Marcellus, 2009)
d. Intervensi Mual
Mual merupakan gejala yang mendominasi pada kasus dispepsia.
Mual merupakan hal yang sangat tidak menyenangkan dan banyak orang
yang tidak nyaman ketika mendapati rasa mual. Pasien dispepsia sering
mengeluhkan rasa tidak enak pada bagian abdomen seperti mual dan
terkadang ingin muntah (Healthnew, 2009; Harrison, 2007). Terapi yang
dilakukan pada pasien dispepsia adalah hanya untuk mengurangi atau
menghilangkan gejala, mual merupakan gejala dispepsia yang dapat
ditangai menggunakan terapi farmakologi dan non farmakologi. Terapi
farmakologi yang diberikan seperti obat antiemetik (Djojodiningrat, 2007;
Angela, Donal & John, 2005). Obat antiemetik utama yang sering
digunakan adalah antihistamin, fenotiazin dan metoklopramid. Obat

21

antiemetik memiliki efek puncak terapi 1-2 jam dan berakhir setelah 6 jam
(Staf pengajar farmakologi, 2008).
Menurut Apriany (2010) jenis terapi non farmakologi yang dapat
digunakan sebagai intervensi untuk mengatasi mual diantaranya:
akupresur, akupunktur, relaksasi, terapi musik merupakan jenis terapi
keperawatan komplementer sehingga dapat dilakukan oleh perawat.
Menurut Jones et. al (2008) akupresur atau akupunktur merupakan terapi
nonfarmakologi yang dapat digunakan untuk mengatasi mual, mudah
dilakukan aman dan merupakan pengobatan yang alami. Akupunktur sama
dengan akupresur menggunakan meridian untuk mengetahui titik yang
dapat berpengaruh pada organ target penggunaan akupunktur efeknya
akan lebih cepat dari akupresur hanya saja akupunktur lebih beresiko
karena akupunktur memberikan tusukkan pada salah satu titik pada
meridian (Sukanta, 1999). Akupresur merupakan terapi sentuhan atau
pemijatan yang mengacu pada meridian tertentu dan titik pada meridian,
akupresur dikatakan lebih aman karena hanya memberikan pijatan pada
meridian organ target. Feyz (2012) dalam penelitiannya menyimpulkan
bahwa akupresur merupakan terapi non invasive, murah dan mudah
dilakukan untuk

penatalaksanaan terhadap

mual muntah selama

kehamilan.
Angela, Donal dan Jhon (2005) melalui study sistematik rieview
dengan mengumpulkan beberapa penelitian mengenai akupresur terhadap

22

mual pada pasien paska operasi, menyatakkan bahwa keempat penelitian


yang yang dilakukan sistematik review menghasilkan penelitian bahwa
akupresur terbukti dapat mengatasi mual paska operasi dengan melakukan
akupresur pada titk P6 dengan akupresur band. Lee Jiyeon et. al (2010)
dalam penelitiannya meneliti hubungan intensitas mual pada kemoterapi
terhadap frekuensi akupresur, memberikan hasil bahwa pasien kanker
payudara yang mengalami intesitas mual yang tinggi selama 11 hari
setelah dilakukan kemoterapi diperlukan lebih sering tindakan akupresur
untuk mengatasi mual bahkan setelah puncak mual. Terapi musik
merupakan terapi non farmakologi dengan yang dapat digunakan sebagai
distraksi atau relaksasi dengan cara mendengarkan musik sesuai dengan
musik yang disukai pasien sehingga pasien akan merasa nyaman, namun
terapi musik akan lebih efektif untuk mengatasi mual jika dipadukan
dengan pemberian antiemetik dan musik yang diputar sesuai dengan apa
yang diinginkan responden (Apriany, 2010).
e. Instrument mual
Menurut Rhodes dan Mc Daniel (2004), alat untuk mengukur mual
muntah yang telah teruji validitas dan reabilitasnya yaitu: Numerik rating
scale (NRS), Duke Descriptive Scale (DDS), Visual Analog Scale (VAS),
Index Nausea vomiting and Retching (INVR), Marrow Assessment Of
Nausea and Emesis and Functional Living Index Emesis.

23

1) Numerik rating scale (NRS)


Merupakan jenis instrument berupa skala pengukuran dapat digunakan
untuk mengetahui tingkat nyeri dan dapat digunakan untuk
mengetahui tingkat keparahan mual. Numerik rating scale (NRS)
adalah rentan skala 0-10 dengan angka nol tidak mual dan angka 10
muntah. NRS telah digunakan pada penelitian Lee Jiyeon et. al (2010)
untuk mengetahui tingkat keparahan mual pada penderita kanker
payudara yang menjalani kemoterapi.
2) Duke Descriptive Scale (DDS)
Instrument ini memuat data nausea dan vomiting dengan frekuensi,
keparahan dan kombinasi aktifitas. Tipe dari kuesioner ini adalah
sakala ceklist, kelemahan kuesioner ini adalah terbatasnya informasi
(Rhodes & Mc Daniel, 2001).
3) Visual Analog Scale (VAS)
Instrument penelitian berupa rentan skala dengan menggunakan angka
0-10 untuk mengetahui gejala. Instrument ini instrument yang simple
dan paling banyak digunakan dalam penelitian, penelitian yang
menggunakan instrument VAS diantaranya; pada penelitian L Juregui
et.al (2011), penelitian Artika (2006) dan penelitian Lee Jiyeon et. al
(2010).

24

4) Index Nausea vomiting and Retching (INVR)


Rhodes Index Nausea Vomiting and Retching yang dipopulerkan oleh
Rhodes digunakan untuk mengukur mual, muntah dan retching dengan
skala Likert yaitu 0-4, instrument (INVR) merupakan instrument yang
digunakan dalam penelitian Apriany (2010).
5) Marrow Assessment Of Nausea and Emesis and Functional Living
Index Emesis
Instrument ini dilengkapi dengan data awal, intensitas, keparahan, dan
durasi dari nausea dan vomiting (Rhodes dan Mc Daniel, 2001).
Mual merupakan perasaan tidak enak yang dirasakan oleh pasien yang
kemudian dapat menyebabkan muntah. Mual dapat diobati dengan terapi
farmakologi dan juga terdapat terapi nonfarmakologi. Mual dapat diukur
dengan menggunakan beberapa instrument diantaranya: Numerik rating
scale (NRS), Duke Descriptive Scale (DDS), Visual Analog Scale (VAS),
Rhodes Index Nausea Vomiting and Retching, Marrow Assessment Of
Nausea and Emesis and Functional Living Index Emesis merupakan jenis
instrument yang dapat digunakan untuk meneliti nausea dan vomiting.
Numerik rating scale (NRS) merupakan instrument yang mudah hanya
melihat skala 0-10 dan instrument ini jarang digunakan dalam penelitian
namun, peneliti berharap NRS dapat digunakan dalam aplikasi rumah
sakit untuk mengetahui rentang mual. Instrument yang akan digunakan

25

pada penelitian ini untuk mengetahui keefektifitasan akupresur terhadap


mual adalah dengan menggunakan instrument NRS.
3. Akupresur
a. Pengertian
Akupresur merupakan terapi menggunakan pijatan dengan jari tangan,
akupresur dilakukan dengan cara memberikan rangsangan penekanan oleh
ujung-ujung jari tangan pada titik tertentu dipermukaan tubuh yang
disebut

dengan

titik

akupresur.

Akupresur

ditunjukkan

untuk

mengembalikan keseimbangan didalam tubuh dengan cara memberi


rangsangan aliran energi kehidupan (Depkes, 2000).
Akupresur tergolong pengobatan yang mudah dilakukan dan murah
untuk pertolongan pertama mengatasi penyakit dan gejala penyakit
tertentu tanpa menggunakan obat dan alat bantu lain (Depkes, 2004).
b. Konsep meridian akupresur
Akupresur dikenal dengan adanya system meridian, yaitu sebuah
system yang mengatur lalu lintas energi vital di dalam tubuh. Meridian
adalah saluran energi vital yang dilalui system organ, jaringan penunjang,
panca indera, dan bagian tubuh tertentu lainnya, yang membentuk satu
kesatuan utuh di dalam tubuh (Sukatan, 1999). Menurut Sukatan (2001),
fungsi meridian adalah sebagai berikut:

26

1) Menghubungkan bagian tubuh satu dengan lainnya.


2) Menghubungkan organ dengan panca indera, dan jaringan tubuh
lainnya.
3) Merupakan saluran untuk menyampaikan kelainan fungsi organ ke
permukaan tubuh.
4) Merupakan saluran bagi penyebab penyakit masuk ke dalam organ.
5) Menghubungkan titik akupunktur dengan organ, panca indera dan
jaringan tubuh.
Titik akupresur adalah simpul meridian tempat terpusatnya energy
kehidupan. Terdapat tiga titik yang dapat dirangsang, yaitu titik pijat
umum yang berada di saluran meridian, titik pijat istimewa yang berada di
luar titik meridian, dan titik nyeri yang jika dipijat terasa nyeri walau
bukan titik umum maupun istimewa. System anatomi tubuh digunakan
untuk menentukan titik akupresur (Sukanta, 1999).
c. Konsep meridian terhadap mual
Teori menyatakan tentang mual, aktifitas nucleus dari neuron di
medulla oblongata, merupakan pusat yang mengawali terjadinya reflek
mual dan muntah. Pusat mual muntah dapat diaktifkan secara langsung
oleh korteks cerebral, sinyal dari organ sensoria tau sinyal dari apparatus
vestibular dari telinga dalam yang menimbulkan reflek mual karena
adanya gerakkan (Garret et.al. 2003, dalam Apriany, 2010). Mual dan
nyeri merupakan suatu sensasi yang ditangkap oleh medulla spinalis

27

kemudian diterima oleh medulla oblongata dan diterjemahkan sebagai


suatu sensasi yang tidak enak pada saraf pusat yang dapat dijelaskan
melalusi suatu teori gate kontrol (Mihardja. 2008; Garret et.al. 2003,
dalam Apriany, 2010). Titik akupresur dapat meningkatkan kadar endofrin
dalam darah maupun sistemik, tetapi memiliki daerah tangkap yang
berbeda. Penggunanan titik akupresur berbeda sesuai dengan organ yang
akan dituju dan sesuai indikasi (Saputra, 2000). Endofrin merupakan
opiate tubuh secara alami dihasilkan oleh kelenjar pituitary yang berguna
untuk mengurangi nyeri, mempengaruhi memomi dan mood yang
kemudian akan memberikan perasaan relaks (Tuner, 2010 dalam Apriany,
2010).
Prinsip dasar teori gate kontrol, diawali dari masuknya aktivitas saraf
aferen dimodulasi oleh mekanisme pembukaan dan penutupan gerbang
(gating mechanism) di dalam tanduk dorsal korda spinalis dan batang
otak. Gerbang ini merupakan inhibitor atau fasilitator bagi aktivitas sel
Transmisi (T) yang membawa aktivitas lebih jauh sepanjang jalur saraf.
Gerbang dipengaruhi oleh derajat relatif dari aktivitas serabut beta A
dengan diameter besar, serabut delta A diameter kecil serta serabut C.
Serabut beta A diameter besar diaktifkan oleh stimuli tidak berbahaya dan
pada aktifitas serabut aferen besar cenderung menutup gerbang sedangkan
aktifitas serabut kecil cenderung membukanya. Mekanisme kontrol
serabut saraf desendens dari tingkatan yang lebih tinggi di susunan saraf

28

pusat dipengaruhi oleh proses kognitif, motivasional dan afektif. Derajat


mekanisme yang lebih tinggi juga memodulasi gerbang. Aktivitas di
dalam serabut aferen besar tidak hanya cenderung menutup gerbang secara
langsung tetapi juga mengaktifkan mekanisme kontrol pusat yang
menutup gerbang. Saat gerbang terbuka dan aktivitas di dalam aferen yang
baru masuk cukup untuk mengaktifkan sistem transmisi, dua jalur
asendens utama diaktifkan. Pertama adalah jalur sensoris-diskriminatif,
yang bersambung dengan korteks somatosensoris serebri melalui thalamus
ventroposterior. Jalur ini memungkinkan penentuan tempat sensasi.
Kedua, jalur asendens yang melibatkan informasi retikuler melalui sistem
thalamus dan limbus medial. Jalur ini berurusan dengan rasa tidak enak,
penolakan (aversif) dan aspek emosional dari sensasi. Jalur desendens,
selain berpengaruh pada gerbang tanduk dorsal, dapat juga berinteraksi
dengan kedua sistem asendens ini (Kastono, 1999).
Penggunaan titik-titik jalur energi meridian sesuai dengan teori gate
kontrol, perangsangan titik pada jalur meridian merupakan rangsangan
yang akan diteruskan melalui serabut saraf A-Beta yang memiliki
diameter besar (penghantar impuls lebih cepat) menuju saraf spinal atau
kranial menuju ke kornu posterior medulla spinalis. Dalam medulla
spinalis, Substantia Gelatinosa akan bekerja sebagai Gate Kontrol,
yang akan menyesuaikan rangsangan serta mengaturnya sebelum
diteruskan oleh serabut saraf aferen ke sel-sel transmisi. serta menutup

29

Gate Kontrol, rangsangan yang diteruskan oleh serabut saraf cepat ABeta tersebut harus mempunyai frekuensi tinggi dan intensitas yang
rendah. Rangsangan nyeri yang dihantarkan oleh serabut saraf tersebut
dapat tertahan dan tidak diteruskan ke sel-sel transmisi, sehingga tidak
diteruskan ke pusat nyeri. Secara sistem neurotransmitter, endogenous
opiod subtance (Endorfin) dapat dapat dikeluarkan oleh Periaqueductal
grey matter dari sistem kontrol Desenden dengan merangsang dari salah
satu titik energi meridian (Hakam, Krisna & Tutik, 2009).
d. Manfaat akupresur
Menurut Sukanta (2001) dalam bukunya dituliskan manfaat akupresur
sebagai berikut:
1) Upaya promotif

Meningkatkan

daya

tahan

tubuh

dan

kekuatan tubuh.
2) Upaya preventif

Pencegahan terhadap penyakit. Tujuannya


untuk mencegah masuknya sumber penyakit
dan mempertahankan kondisi tubuh.

3) Upaya kuratif

Penyembuhan terhadap penyakit. Tujuannya


menyembuhkan

keluhan

sakit

dan

dipraktekkan dalam keadaan sakit.


4) Upaya rehabilitatif

Meningkatkan daya tahan tubuh walaupun


tidak sedang sakit.

30

Akupresur membuktikkan keefektifannya dan menghasilkan manfaat


untuk mengurangi gejala yang dirasakan, dengan melakukan akupresur
dan kemudian dilihat efektifitasnya (Sukanta, 1991). Berdasarkan
penelitian Budiartri (2011) setelah dilakukan terapi akupresur pada nyeri
efek akupresur dapat dilihat 30 menit setelah pemberiang terapi dan 60
setelah pemberian terapi.
Manfaaat akupresur dalam mengatasi mual adalah; dapat mengurangi
frekuensi dan intensitas mual dan muntah dan menguragi skala keparahan
mual setelah dilakukan terapi akupresur selama 15 menit dan dilihat
hasilnya dalam waktu 24 jam(Artika, 2006).
e. Akupresur untuk mual
Penelitian yang dilakukan oleh Lee Jiyeon et.al (2010) membuktikan
efektifitas akupresur terhadap mual pada pasien kemoterapi pada titik P6
untuk mengatasi mual yang terletak pada pergelangan tangan dengan
prosedur pelaksanaa dilakukan pemijatan selama 3-5 menit pada masingmasing titik pada tangan kanan dan kiri dan dapat dilakukan 1-3 kali
dalam 1 hari. Artika (2006) meneliti mengenai efektifitas akupresur pada
titik P6 terhadap frekuensi mual muntah kehamilan, prosedur pelaksanaan
pemijatan 15 menit untuk pemijatan pergelangan tangan kanan dan kiri
dan dilakukan pukul 07.00-09.00 dalam sehari selama 3 hari dan dilihat
perbedaan jumlah frekuensi mual muntah pada hari pertama hingga hari
ketiga . Penelitian sistematik review yang dilakukan oleh Angela, Donal

31

dan Jhon (2005), membuktikan efektifitas akupresur terhadap mual pada


pasien post operasi pada titik P6 dengan durasi akupresur rata-rata 5 menit
pada satu titik dan dalam sistematik reviewnya memuat penelitian Ming
et.al yang menggunakan dua titik pada P6 dan K9 menggunakan durasi 20
menit untuk semua titik pada kedua pergelangan tangan kanan dan kiri.
Berdasarkan Sukanta (1999) Akupresur pada orang dewasa dapat
dilakukan selama 10 menit,15 menit hingga 20 menit.
Hasil lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Taspinar dan Sirin
(2010), yang meneliti tentang efek akupresur terhadap mual dan muntah
karena induksi kemoterapi pada pasien kanker ginekologi dengan jumlah
responden 34, didapatkan hasil bahwa terdapat penurunan yang signifikan
pada nilai rata-rata pasien yang mengalami mual dengan penggunaan obat
antiemetik dan akupresur pada pergelangan tangan, namun dibandingkan
dengan nilai rata-rata mual pada kelompok yang menggunakan antiemetik
didapatkan nilai (p<0,05) dan dilakukan observasi penurunan rata-rata
nilai muntah dan reteching, namun tidak didapatkan penurunan yang
signifikan (p>0,05). Hasil penelitian lain yang mendukung temuan dari
penelitian ini adalah penelitian Molassiotis, Helin, Dabbour &
Hummerston (2007). Penelitian ini ingin mengetahui efek akupresur P6
terhadap profilaksis mual muntah terkait kemoterapi pada pasien kanker
payudara. Jumlah responden 36 dibagi menjadi 2 kelompok 19 akupresur
dan 17 kelompok kontrol yang masing-masing mendapatkan obat

32

antiemetik golongan 5-HT3 sebelum kemoterapi pada kelompok


akuupresur dilakukan akupresur selama 5 hari 2-3 menit setiap 2 jam dan
kelompok kontrol tidak mendapatkan akupresur. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terjadi penurunan mual dan reteching, mual dan
muntah dengan reteching yang signifikan pada kelompok yang
mendapatkan akupresur (p<0,05), suatu pengecualian responden dengan
pengalaman muntah mendapatkan nilai (p>0,06).
Penelitian untuk mengetahui pengaruh akupresur pada mual sudah
pernah dilakukan sebelumnya pada titik P6 namun pada pasien yang
mendapatkan kemoterapi yang berefek mual, kehamilan dengan mual
muntah yang dipengaruhi oleh hormon dan paska operasi terjadinya mual
karena efek dari analgesik, peneliti akan mencoba melakukan replikasi
dengan sedikit inovasi akupresur untuk mengatasi mual pada dispepsia.
Dispepsia merupakan gangguan pada fungsi lambung. dalam ilmu
akupresur menurut teori yin dan yang suatu organ yang mengalami
disfungsi menggambarkan bahwa organ tersebut mengalami kelemahan
sehingga diperlukan adanya penguatan pada organ tersebut dengan
memberikan rangsangan pada meridian dengan titik tertentu. Titik
lambung 36 dan limpa 3 memiliki indikasi untuk mengatasi mual, titik
tersebut berada pada sepanjang meridian lambung dan limpa. Titik SP3
dan ST36 memiliki organ target yaitu lambung dan limpa, dispepsia
merupakan kelainan pada disfungsi lambung. Rangsangan berupa

33

pemijatan pada titik ST36 dan SP3 akan memberikan penguatan terhadap
organ target (Sukanta, 1999). Rangsangan berupa pemijatan pada titik
ST36 yang memiliki organ target lambung dan SP3 akan memberikan
penguatan terhadap organ target (Sukanta, 1999).
Kelompok bagian gastroenterology universitas Guuiyang didalam
journal tradisional Cina melalui studi eksperimen klinik pada hewan,
menyatakan bahwa ada beberapa studi baru menunjukkan tusukan jarum
zusanli (ST36) memiliki efek regulasi pada fungsi saluran pencernaan
(Dharmananda, 2010). Hai-bo, Wan-yin dan Xiao-shu (2006) menyatakan
bahwa tusukan jarum zusanli ST36 dan neiguan PC6 dapat menurunkan
reaksi lambung.
Dari paparan penelitian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa terapi
akupresur efektif untuk menurunkan mual muntah pada pasien kehamilan,
kemoterapi dan postoperasi.
f. Guideline acupressure
Artika (2006) dalam prosedur penelitiannya, melakukan akupresur pada
titik P6 dengan durasi 15 menit pada setiap sisi tangan antara pukul 07.0009.00 sekali dalam satu hari selama 3 hari dan dibandingkan frekuensi
mual antara hari pertama hingga hari ketiga. Tekanan diberikan mulai
dengan

tekanan

yang

lembut

kemudian

ditingkatkan

kekuatan

penekanannya sampai peneliti menggunakan semua tenaga dari ujung ibu


jari bukan hanya tenaga dari ujung ibu jari saja. Arah penekanann menuju

34

pusat tubuh sedalam 1-2 cm, apabila responden mengeluh nyeri dalam 15
menit perlakuan maka akan dihentikan sementara setelah 3 menit
dilakukan kembali akupresur sampai total lama perlakuan 15 menit.
Penelitian yang dilakukan oleh Lee Jiyeon et.al (2010) menggunakan
titik P6 dengan prosedur lama pemijatan 3-5 menit dilakukan 1-3 kali
dalam 1 hari. Penelitian sistematik review yang dilakukan oleh Angela,
Donal dan Jhon (2005) memuat penelitian Ming et.al melakukan
pemijatan pada titik P6 dan K9 menggunakan durasi lama pemijatan 20
menit.
Berdasarkan pemaparan diatas peneliti akan melakukan inovasi pada
meridian dan titik yang akan digunakan yaitu meridian limpa lambung
dengan titik tekan akupresur SP3 dan ST36 berdasarkan Sukanta (1999).
Durasi waktu yang akan digunakan 15 menit kurang lebih 25-30 kali
pemijatan dalam satu kali terapi mengacu pada buku yang ditulis oleh
Sukanta (1999) dan penelitian yang dilakuka Artika (2006), namun tidak
dilakukan pemijatan selama 3 hari berturut-turut. Pemijatan akan
dilakukan lebih dari 2 jam setelah pemberian obat antiemetik, proses
terapi akupresur akan diihentikan selama 3 menit ketika pasien merasa
kesakitan dan kemudian akan ditawarkan untuk melanjutkan terapi selama
15 menit atau dihentikan terapi akupresur. Faktor yang mempengaruhi
akupresur terhadap mual diantanya ada usia, jenis kelamin, pengalaman

35

mual sebelumnya dan penggunaan obat antiemetik yang tidak bias di


kendalikan oleh peneliti (Marcellus, 2009).
4. Hubungan akupresur dengan mual
Pasien dispepsia mengalami gejala mual disebabkan karena sekresi asam
lambung atau dismotilitas lambung yang kemudian menyebabkan inflasami
merangsang saraf-saraf meister dan dihantarkan ke medulla oblongata
diterjemahkan oleh pusat saraf sebagai respon mual (Marcellus, 2009).
Akupresur melalui titik meridian sesuai dengan organ yang akan dituju
dapat membantu mengurangi rasa ketidaknyamanan seperti mual. Akupresur
akan meningkatkan kadar endofrin dalam darah maupun sistemik. Stimulasi
akupresur dapat membawa hubungan subtansi untuk pelepasan zat yang
mampu menghambat sinyal rasa sakit ke otak. Efek rangsangan titik
akupresur dapat melalui saraf dan dapat melauli transmitter humoral yang
belum dapat diterangkan dengan jelas (Garret et.al. 2003, dalam Apriany,
2010;Saputra, 2000).
Pengaruh akupresur pada titik perikardium 6 terhadap penurunan
frekuensi muntah pada primigravida trimester pertama dengan emesis
gravidarum penelitian yang dilakukan oleh Artika (2006) menunjukkan
bahwa (t=2,522,p=0,04), yang berarti terdapat perbedaan frekuensi muntah
secara signifikan pada saat sebelum dan sesudah akupresur pada titik
pericardium 6.

36

Bab II tinjauan pustaka menyimpulkan bahwa dispepsia merupakan


kumpulan beberapa gejala. Mual merupakan gejala yang mendominasi pada
kasus dispepsia. Mual merupakan hal yang sangat tidak menyenangkan dan
banyak orang yang tidak nyaman ketika mendapati rasa mual. Mual dapat
diatasi dengan terapi farmakologi dan non farmakologi, pada terapi
farmakologi dapat diberikan antiemetik sebagai obat anti mual. Terapi non
farmakologi atau terapi komplementer sebagai intervensi keperawatan dapat
memberikan terapi akupresur. Akupresur adalah pemijatan yang dilakukan
pada meridian atau pada salah satu titik pada jalur meridian sesuai dengan
indikasi. Akupresur merupakan jenis terapi komplementer yang paling aman
untuk digunakan karena tidak menimbulkan efek samping yang berarti dan
akupresur mudah untuk dilakukanoleh masyarakat. Meridian adalah saluran
energi vital yang dilalui system organ. Pasien dispepsia memiliki gangguna
pada saluran pencernaan yang kemudian menimbulkan gejala mual, sehingga
pada tindakan akupresur yang akan dilakukan peneliti menggunakan
meridian limpa lambung untuk yang menurut ilmu akupresur dipercaya untuk
mengatasi gangguan pencernaan atau lambung. Pemijatan akan dilakukan
sepanjang meridian limpa dan lambung pada titik lambung 36 dan limpa 3
dengan melihat indikasinya yaitu mual, pemijatan akan dilakukan selama 15
menit dalam satu kali terapii dan instrument yang akan digunakan ialah
Numerik Rating scale dengan skala 0-10 merujuk pada penelitian Lee Jiyeon
et al (2010).

37

B. Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka menurut: Harrison

(1999), Tjokronegoro

(2001), Mansjoer (2001), Djojoningrat (2007), Price dan Willson (2005),


Kashanian dan Shahali (2009), Angela, Donald an John (2005), Jones et al
(2008), Sukanta (1999), Feyz (2012), Apriyani (2010), Rhodes dan MC Donal
(2004), Hakam, Krisna & Tutik (2009).
Non farmakologi:

Akupunktur

Farmakologi:

Relaksasi

Pemberian antiemetik

terapi musik

1.

Point
P6
yang
dilakukan oleh jones
et.al (2008), artika
(2006) dan Lee,
jiyeon et.al. (2010)

2.

Meridian
ST36
mihardja (2008)

3.

Meridian
limpa
lambung ST36 dan
SP3 (sukanta,1999)

Akupresur limpa
lambung ST36 dan SP3

dispepsia

Peningkatan
asam
lambung,
hormon

Mual

Aktivasi saraf aferen

diteruskan melalui serabut saraf A-Beta


yang memiliki diameter besar
Saraf spinal atau kranial

Kornu posterior medulla spinalis

Subtansi gelatinosa bekerja sebagai


gate kontrol

Sel-sel transmisi

VAS, INVR, DDS, marrow


assessment of nausea and
emesis and fungsional living
index emesis

NRS

38

Dispepsia merupakan sindrom dari sekumpulan gejala gastrointestinal salah


satunya menimbulkan gejala mual. Mual pada dispepsia disebabkan oleh
peningkatan asam lambung, mual merupakan perasaan tidak enak yang dirasakan
secara subjektif oleh seseorang, mual dapat ditangani oleh terapi farmakologi dan
non farmakologi. Terapi farmakologi dengan memberikan antiemetik atau obat
anti mual dan terapi non farmakologi dapat dengan akupunktur, relaksasi, terapi
musik atau akupresur. Terapi non farmakologi untuk mengatasi mual banyak
macamnya akupresur merupakan alternatif yang aman digunakan dan mudah
dilakukan oleh masyarakat, dengan memberikan rangsangan pada meridian akan
diteruskan oleh serabut saraf A-beta dengan cepat hingga akhirnya diblok pada
medulla spinalis, disalurkan ke sel-sel transmisi dan tidak diterjemahkan saraf
pusat, terapi yang akan di gunakan adalah akupresur selama 15 menit yang
kemudian akan dilihat skala mual dengan menggunakan NRS 0-10.

39

C. Kerangka konsep
Berdasarkan landasan teori, maka dibuat kerangka konsep penelitian yang
dapat dijelaskan melalui gambar sebagai berikut:
mual

akupresur

Faktor pengganggu:

Usia

Jenis kelamin

Riwayat mual

Antiemetik

Adanya ulkus gaster

Hakam, Krisna dan Tutik (2009)


Perangsangan akupresur jalur meridian limpa lambung pada titik ST36
dan SP3 akan menimbulkan rangsangan oleh aktivasi saraf aferen yang
akan diteruskan melalui serabut saraf A-Beta yang memiliki diameter

40

besar (penghantar impuls lebih cepat) menuju saraf spinal atau kranial
menuju ke kornu posterior medulla spinalis. Dalam medulla spinalis,
Substantia Gelatinosa akan bekerja sebagai Gate Kontrol, yang akan
menyesuaikan rangsangan serta mengaturnya sebelum diteruskan oleh
serabut saraf aferen ke sel-sel transmisi, serta menutup Gate Kontrol,
rangsangan yang diteruskan oleh serabut saraf cepat A-Beta tersebut harus
mempunyai frekuensi tinggi dan intensitas yang rendah. Rangsangan mual
yang dihantarkan oleh serabut saraf tersebut dapat tertahan dan tidak
diteruskan ke sel-sel transmisi, sehingga tidak diteruskan ke saraf pusat
dan kemudian akan diukur menggunakan NRS (Hakam, Krisna & Tutik,
2009).

41

D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka teori dan kerangaka konsep tersebut, maka peneliti
menggunakan rumusan hipotesis alternatif (Ha) dalam penelitian yaitu : ada
pengaruh akupresur terhadap skala mual pada pasien dispepsia di RSUD
Banyumas.

You might also like