You are on page 1of 21

CEDERA KEPALA

PENGERTIAN
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi
descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan
peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan.
Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma yang
mengenai kepala yakni benturan dan goncangan (Gernardli and Meany, 1996).
Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu
cidera kepala derajat ringan, bila GCS : 13 15, Cidera kepala derajat sedang, bila
GCS : 9 12, Cidera kepala berat, bila GCS kuang atau sama dengan 8. Pada
penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka
reaksi verbal diberi tanda X, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga
tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai
X, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi
maka reaksi verbal diberi nilai T.
Cedera Kepala Sedang :
- GCS 9 12
- Saturasi oksigen > 90 %
- Tekanan darah systale > 100 mm Hg
- Lama kejadian < 8 jam

PATOFISIOLOGI
Cidera Kepala

TIK - Oedem
- Hematom
Respon Biologi

Hypoxemia
Kelainan Metabolisme

Cidera Otak Primer

Cidera Otak Sekunder

Kontusio
Laserasi

Kerusakan Sel Otak

Gangguan Autoregulasi

Rangsangan Simpatis

Stress

Aliran Darah Keotak

Tahanan Vaskuler

Katekolamin

Sistemik & TD
O2 Ggan Metabolisme

Sekresi Asam Lambung

Tek. Pemb.Darah

Mual, Muntah

Pulmonal
Asam Laktat

Tek. Hidrostatik

Oedem Otak

Kebocoran Cairan Kapiler

Ggan Perfusi Jaringan

Oedema Paru Cardiac Out Put

Asupan Nutrisi Kurang

Cerebral
Difusi O2 Terhambat
Gangguan

Pola

Ggan Perfusi Jaringan


Napas

Hipoksemia,

Hiperkapnea

Hubungan Cedera Kepala Terhadap Munculnya Masalah Keperawatan


Cedera Kepala Primer
-Komotio, Kontutio,
Laserasi Cerebral

Cedera Kepala Sekunder


-Hipotensi, Infeksi General,
Syok, Hipertermi, Hipotermi,
Hipoglikemi

Gangguan vaskuler serebral dan produksi


prostaglanding dan peningkatan TIK

Nyeri
Intracerebral

Kerusakan /
Penekanan Sel Otak
Local / Difus

Gangguan
kesadaran
Penurunan GCS

Gangguan Seluruh
Kebutuhan Dasar
(Oksigenasi, Makan,
Minum, Kebersihan
Diri, Rasa Aman,
Gerak, Aktivitas Dll

Dampak Langsung

Dampak Tidak Langsung

Komotio Cerebri
Kontutio Cerebri
Lateratio Cerebri

Penurunan ADO2, VO2,


CO2,
Peningkatan Katekolamin,
Peningkatan Asam Laktat

Edema Cerebri

Gangguan Sel Glia /


Gangguan Polarisasi

Kejang

Resiko Trauma

Mekanisme Cedera Kepala


Berdasarkan besarnya gaya dan lamanya gaya yang bekerja pada kepala
manusia maka mekanisme terjadinya cidera kepala tumpul dapat dibagi menjadi dua:
(1) Static loading
Gaya langsung bekerja pada kepala, lamanya gaya yang bekerja lambat, lebih
dari 200 milidetik. Mekanisme static loading ini jarang terjadi tetapi kerusakan yang
terjadi sangat berat mulai dari cidera pada kulit kepala sampai pada kerusakan tulang
kepala, jaringan dan pembuluh darah otak. (Bajamal A.H , 1999).
(2) Dynamic loading
Gaya yang bekerja pada kepala secara cepat (kurang dari 50 milidetik). Gaya
yang bekerja pada kepala dapat secara langsung (impact injury) ataupun gaya
tersebut bekerja tidak langsung (accelerated-decelerated injury). Mekanisme cidera
kepala dynamic loading ini paling sering terjadi (Bajamal A.H , 1999).
a. Impact Injury
Gaya langsung bekerja pada kepala. Gaya yang terjadi akan diteruskan
kesegala arah, jika mengenai jaringan lunak akan diserap sebagian dan sebagian yang
lain akan diteruskan, sedangkan jika mengenai jaringan yang keras akan dipantulkan
kembali. Tetapi gaya impact ini dapat juga menyebabkan lesi akselerasi-deselerasi.
Akibat dari impact injury akan menimbulkan lesi :
Pada cidera kulit kepala (SCALP) meliputi Vulnus apertum, Excoriasi, Hematom
subcutan, Subgalea, Subperiosteum. Pada tulang atap kepala meliputi Fraktur linier,
Fraktur distase, Fraktur steallete, Fraktur depresi. Fraktur basis cranii meliputi
Hematom

intracranial,

Hematom

epidural,

Hematom

subdural,

Hematom

intraserebral, Hematom intrakranial. Kontusio serebri terdiri dari Contra coup


kontusio, Coup kontusio. Lesi difuse intrakranial, Laserasi serebri yang meliputi
Komosio serebri, Diffuse axonal injury (Umar Kasan , 1998).
b. Lesi akselerasi deselerasi
Gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian tubuh yang
lain tetapi kepala tetap ikut bergerak akibat adanya perbedaan densitas antara tulang
kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otak dengan densitas yang lebih
rendah, maka jika terjadi gaya tidak langsung maka tulang kepala akan bergerak
lebih dahulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap berhenti, sehingga pada saat
tulang kepala berhenti bergerak maka jaringan otak mulai bergerak dan oleh karena

pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan maka akan terjadi gesekan antara
jaringan otak dan tonjolan tulang kepala tersebut akibatnya terjadi lesi intrakranial
berupa Hematom subdural, Hematom intraserebral, Hematom intraventrikel, Contra
coup kontusio. Selain itu gaya akselerasi dan deselerasi akan menyebabkan gaya
terikan ataupun robekan yang menyebabkan lesi diffuse berupa Komosio serebri,
Diffuse axonal injury (Umar Kasan , 1998).
Cidera Otak Primer
Cidera otak primer adalah cidera otak yang terjadi segera cidera kepala baik
akibat impact injury maupun akibat gaya akselerasi-deselerasi (cidera otak primer ini
dapat berlanjut menjadi cidera otak sekunder) jika cidera primer tidak mendapat
penanganan yang baik, maka cidera primer dapat menjadi cidera sekunder (Bajamal
A.H, Darmadipura : 1993).
1. Cidera pada SCALP
Fungsi utama dari lapisan kulit kepala dengan rambutnya adalah melindungi
jaringan otak dengan cara menyerap sebagian gaya yang akan diteruskan melewati
jaringan otak. Cidera pada scalp dapat berupa Excoriasi, Vulnus, Hematom subcutan,
Hematom subgaleal, Hematom subperiosteal. Pada excoriasi dapat dilakukan wound
toilet. Sedangkan pada vulnus apertum harus dilihat jika vulnus tersebut sampai
mengenai galea aponeurotika maka galea harus dijahit (untuk menghindari dead
space sedangkan pada subcutan mengandung banyak pembuluh darah demikian juga
rambut banyak mengandung kuman sehingga adanya hematom dan kuman
menyebabkan terjadinya infeksi). Penjahitan pada galea memakai benang yang dapat
diabsorbsi dalam jangka waktu lama (tetapi kalau tidak ada dapat dijahit dengan
benang noabsorbsable tetapi dengan simpul terbalik untuk menghindari terjadinya
druck necrosis), pada kasus terjadinya excoriasi yang luas dan kotor hendaknya
diberikan anti tetanus untuk mencegah terjadinya tetanus yang akan berakibat sangat
fatal. Pada kasus dengan hematom subcutaan sampai hematom subperiosteum dapat
dilakukan bebat tekan kemudian berikan anlgesia, jika selama 2 minggu hematom
tidak diabsorbsi dapat dilakukan punksi steril. Hati-hati cidera scalp pada anakanak/bayi karena pendarahan begitu banyak dapat terjadi shock hipopolemik
(Gennerellita ,1996).

2. Fraktur linier kalvaria


Fraktur linier pada kalvaria dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja
pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending
dan terjadi fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial, tetapi tidak ada
terapi khusus pada fraktur linier ini tetapi gaya yang menyebabkan terjadinya fraktur
tersebut cukup besar maka kemungkinan terjadinya hematom intrakranial cukup
besar, dari penelitian di RS Dr. Soetomo Surabaya didaptkan 88% epidural hematom
disertai dengan fraktur linier kalvaria. Jika gambar fraktur tersebut kesegala arah
disebut Steallete fracture, jika fraktur mengenai sutura disebut diastase fraktur
(Bajamal AH, 1999).
3. Fraktur Depresi
Secara definisi yang disebut fraktur depresi apabila fragmen dari fraktur
masuk rongga intrakranial minimal setebal tulang fragmen tersebut, berdasarkan
pernah tidaknya fragmen berhubungan dengan udara luar maka fraktur depresi dibagi
2 yaitu fraktur depresi tertutup dan fraktur depresi terbuka (Bajamal AH, 1999).
(1) Fraktur Depresi Tertutup
Pada fraktur depresi tertutup biasanya tidak dilakukan tindakan operatip
kecuali bila fraktur tersebut menyebabkan gangguan neurologis, misal kejang-kejang
hemiparese/plegi,

penurunan

kesadaran.

Tindakan

yang

dilakukan

adalah

mengangkat fragmen tulang yang menyebabkan penekanan pada jaringan otak,


setelah mengembalikan dengan fiksasi pada tulang disebelahnya, sedangkan fraktur
depresi didaerah temporal tanpa disertai adanya gangguan neurologis tidak perlu
dilakukan operasi (Bajamal A.H ,1999).
(2) Fraktur Depresi Terbuka
Semua fraktur depresi terbuka harus dilakukan tindakan operatif debridemant
untuk mencegah terjadinya proses infeksi (meningoencephalitis) yaitu mengangkat
fragmen yang masuk, membuang jaringan devitalized seperti jaringan nekrosis
benda-benda asing, evakuasi hematom, kemudian menjahit durameter secara water
tight/kedap air kemudian fragmen tulang dapat dikembalikan ataupun dibuang,
fragmen tulang dikembalikan jika Tidak melebihi golden periode (24 jam),
durameter tidak tegang Jika fragmen tulang berupa potongan-potongan kecil maka
pengembalian tulang dapat secara mozaik (Bajamal 1999).

4. Fraktur Basis Cranii


Fraktur basis cranii secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis
cranii dan kalvaria yang meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis
dibandingkan daerah kalvaria, Durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan
daerah kalvaria, Durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan
daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan
durameter klinis ditandai dengan Bloody otorrhea, Bloody rhinorrhea, Liquorrhea,
Brill Hematom, Batles sign, Lesi nervus cranialis yang paling sering N I, NVII dan
NVIII. Diagnose fraktur basis cranii secara klinis lebih bermakna dibandingkan
dengan diagnose secara radiologis oleh karena foto basis cranii posisinya hanging
foto, dimana posisi ini sangat berbahaya terutama pada cidera kepala disertai
dengan cidera vertebra cervikal ataupun pada cidera kepala dengan gangguan
kesadaran yang dapat menyebabkan apnea. Adanya gambaran fraktur pada foto basis
cranii tidak akan merubah penatalaksanaan dari fraktur basis cranii, Pemborosan
biaya perawatan karena penambahan biaya foto basis cranii (Umar Kasan , 2000).
5. Penanganan dari fraktur basis cranii meliputi :
(1). Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk,
mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
(2). Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan
tampon steril (Consul ahli THT) pada bloody otorrhea/otoliquorrhea.
(3). Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur
dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat (Umar Kasan :
2000).

Komosio Serebri
Secara definisi komosio serebri adalah gangguan fungsi otak tanpa adanya
kerusakan anatomi jaringan otak akibat adanya cidera kepala. Sedangkan secara
klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama kurang dari 15
menit, disertai sakit kepala, pusing, mual-muntah adanya amnesi retrogrde ataupun
antegrade. Pada pemeriksaan radiologis CT scan tidak didapatkan adanya kelainan
(Bajamal AH : 1993).
Kontusio Serebri
Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak
akibat adanya kerusakan jaringan otak, secara klinis didapatkan penderita pernah atau
sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelainan
neurologis akibat kerusakan jaringan otak seperti hemiparese/plegi, aphasia disertai
gejala mual-muntah, pusing sakit kepala, amnesia retrograde/antegrade, pada
pemerikasaan CT Scan didaptkan daerah hiperdens di jaringan otak, sedangkan
istilah laserasi serebri menunjukkan bahwa terjadi robekan membran pia-arachnoid
pada daerah yang mengalami contusio serebri yang gambaran pada CT Scan disebut
Pulp brain (Bajamal A.H & Kasan H.U , 1993 ).
Epidural Hematom (EDH = Epidural Hematom)
Epidural Hematom adalah hematom yang terletak antara durameter dan
tulang, biasanya sumber pendarahannya adalah robeknya Arteri meningica media
(paling sering), Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), Vena emmisaria,
Sinus venosus duralis. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran
yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri
dan kanan tubuh) yang dapat berupa Hemiparese/plegi, Pupil anisokor,Reflek
patologis satu sisi. Adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari
EDH. Pupil anisokor/dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi
EDH sedangkan hemiparese/plegi lataknya kontralateral dengan lokasi EDH,
sedangkan gejala adanya lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH
karena dapat terjadi pada pendarahan intrakranial yang lain, tetapi lucid interval
dapat dipakai sebagai patokan dari prognosenya makin panjang lucid interval makin
baik prognose penderita EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk melakukan
kompensasi). Pada pemeriksaan radiologis CT Scan didapatkan gambaran area
hiperdens dengan bentuk bikonvek diantara 2 sutura. Terjadinya penurunan
kesadaran, Adanya lateralisasi, Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak hilang

dengan pemberian anlgesia. Pada CT Scan jika perdarahan volumenya lebih dari 20
CC atau tebal lebih dari 1 CM atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift)
lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan
sumber perdarahan sedangkan tulang kepala dapat dikembalikan. Jika saat operasi
tidak didapatkan adanya edema serebri sebaliknya tulang tidak dikembalikan jika
saat operasi didapatkan duramater yang tegang dan dapat disimpan subgalea. Pada
penderita yang dicurigai adanya EDH yang tidak memungkinkan dilakukan diagnose
radiologis CT Scan maka dapat dilakukan diagnostik eksplorasi yaitu Burr hole
explorations yaitu membuat lubang burr untuk mencari EDH biasanya dilakukan
pada titik- titik tertentu yaitu Pada tempat jejas/hematom, pada garis fratur, pada
daerah temporal, pada daerah frontal (2 CM didepan sutura coronaria), pada daerah
parietal, pada daerah occipital. Prognose dari EDH biasanya baik, kecuali dengan
GCS datang kurang dari 8, datang lebih dari 6 jam umur lebih dari 60 tahun (Bajamal
A.H , 1999).
Subdural hematom (SDH)
Secara definisi hematom subdural adalah hematom yang terletak dibawah
lapisan duramater dengan sumber perdarahan dapat berasal dari Bridging vein
(paling sering), A/V cortical, Sinus venosus duralis. Berdasarkan waktu terjadinya
perdarahan maka subdural hematom dibagi 3 meliputiSubdural hematom akut terjadi
kurang dari 3 hari dari kejadian, Subdural hematom subakut terjadi antara 3 hari 3
minggu, Subdural hematom kronis jika perdarahan terjadi lebih dari 3 minggu.
Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai
adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/plegi. Sedangkan pada
pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan
sabit (cresent). Indikasi operasi menurut EBIC (Europebraininjuy commition) pada
perdarahan subdural adalah Jika perdarahan tebalnya lebih dari 1 CM, Jika terdapat
pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi
hematom, menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema serebri biasanya tulang
tidak dikembalikan (dekompresi) dan disimpan subgalea. Prognose dari penderita
SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi, lamanya penderita datang sampai
dilakukan operasi, lesi penyerta di jaringan otak serta usia penderita, pada penderita
dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %, makin rendah GCS, makin jelek
prognosenya makin tua pasien makin jelek prognosenya adanya lesi lain akan
memperjelek prognosenya.

Subdural hematom adalah terkumpulnya darah antara duramater dan


jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya
pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara
duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam
48 jam 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan.
Gejala gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Bingung
3). Mengantuk
4). Menarik diri
5). Berfikir lambat
6). Kejang
7). Udem pupil.
Intracerebral hematom (ICH)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis
ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai
lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang
indikasi dilakukan operasi jika Single, Diameter lebih dari 3 cm, Perifer, Adanya
pergeseran garis tengah, Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan
gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi
hematom disertai dekompresi dari tulang kepala. Faktor-faktor yang menentukan
prognosenya hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan prognose
perdarahan subdural (Bajamal A.H , 1999).

CIDERA OTAK SEKUNDER


Cidera otak sekunder yang terjadi akibat dari cidera otak primer yang tidak
mendapat penanganan dengan baik (sehingga terjadi hipoksia) serta adanya proses
metabolisme dan neurotransmiter serta respon inflamasi pada jaringan otak maka
cidera otak primer berubah menjadi otak sekunder yang meliputi Edema serebri,
Infrark serebri, Peningkatan tekanan intra kranial (Bajamal A.H , 1999).

10

Edema serebri
Adalah penambahan air pada jaringan otak / sel sel otak, pada kasus cidera
kepala terdapat 2 macam edema serebri Edema serebri vasogenik, Edema serebri
sitoststik (Sumarmo Markam et.al ,1999).
1. Edema serebri vasogenik
Edema serebri vasoganik terjadi jika terdapat robekan dari blood brain
barrier (sawar darah otak ) sehingga solut intravaskuler (plasma darah) ikut masuk
dalam jaringan otak (ekstraseluler) dimana tekanan osmotik dari plasma darah ini
lebih besar dari pada tekanan osmotik cairan intra seluler. Akibatnya terjadi reaksi
osmotik dimana cairan intraseluler, yang tekanan osmotiknya lebih rendah akan
ditarik oleh cairan ekstra seluler keluar dari sel melewati membran sel sehingga
terjadi edema ekstra seluler sedangkan sel-sel otak mengalami pengosongan
(shringkage) (Sumarmo Markam et.al ,1999).
2. Edema serebri sitostatik
Edema serebri sitostatik terjadi jika suplai oksigen kedalam jaringan otak
berkurang (hipoksia) akibatnya terjadi reaksi anaerob dari jaringan otak (pada
keadaan aerob maka metabolisme 1 mol glukose akan di ubah menjadi 38 ATP dan
H2O). Sedangkan dalam keadaan anaerob maka 1 molekul glukose akan diubah
menjadi 2 ATP dan H2O karena kekurangan ATP maka tidak ada tenaga yang dapat
digunakan untuk menjalankan proses pompa Natrium Kalium untuk pertukaran
kation dan anion antara intra selluler dan ekstraseluler dimana pada proses tersebut
memerlukan ATP akibatnya Natrium (Na) yang seharusnya dipompa keluar dari sel
menjadi masuk kedalam sel bersama masuknya natrium. Maka air (H2O) ikut masuk
kedalam sel sehingga terjadi edema intra seluler (Sumarmo Markam et.al :1999).
Gambaran CT Scan dari edema serebri Ventrikel menyempit, Cysterna basalis
menghilang, Sulcus menyempit sedangkan girus melebar.
Tekanan Intra Kranial
Compartment rongga kepala orang dewasa rigid tidak dapat berkembang yang
terisi 3 komponen yaitu Jaringan otak seberat 1200 gram, Cairan liquor
serebrospinalis seberat 150 gram, Darah dan pembuluh darah seberat 150 gram.
Menurut doktrin Monroe kellie, jumlah massa yang ada dalam rongga kepala
adalah konstan jika terdapat penambahan massa (misal hematom, edema, tumor,
abses) maka sebagian dari komponen tersebut mengalami kompensasi/bergeser, yang

11

mula mula ataupun canalis centralis yang ada di medullaspinalis yang tampak pada
klinis penderita mengalami kaku kuduk serta pinggang terasa sakit dan berat. Jika
kompensasi dari cairan serebrospinalis sudah terlampaui sedangkan penambahan
massa masih terus berlangsung maka terjadi kompensasi kedua yaitu kompensasi dari
pembuluh darah dan isinya yang bertujuan untuk mengurangi isi rongga intrakranial
dengan cara ialahVaso konstriksi yang berakibat tekanan darah meningkat, Denyut
nadi menurun (bradikardia), yang merupakan tanda awal dari peningkatan tekanan
intrakranial, kedua tanda ini jika disertai dengan ganguan pola napas disebut trias
cushing. Jika kompensasi kedua komponen isi rongga intrakranial sudah terlampaui
sedangkan penambahan massa masih terus berlangsung maka jaringan otak akan
melakukan kompensasi yaitu berpindah ketempat yang kosong (locus minoris)
perpindahan jaringan otak tersebut disebut herniasi cerebri. Tanda - tanda klinis
herniasi cerebri tergantung dari macamnya, pada umumnya klinis dari peningkatan
tekanan intrakranial adalah Nyeri kepala, Mual, Muntah, Pupil bendung (Sumarmo
Markam et.al ,1999).
Penanganan pertama kasus cidera kepala
Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart
yang telah ditetapkan dalam ATLS (Advanced Trauma Life Support) yang meliputi,
anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan pemeriksaan fisik
meliputi Airway, Breathing, Circulasi, Disability (ATLS ,1997). Pada pemeriksaan
airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara kepala miring, buka mulut, bersihkan
muntahkan darah, adanya benda asing. Perhatikan tulang leher, Immobilisasi, Cegah
gerakan hiperekstensi, Hiperfleksi ataupun rotasi, Semua penderita cidera kepala
yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera vertebrae cervikal sampai terbukti
tidak disertai cedera cervical, maka perlu dipasang collar barce. Jika sudah stabil
tentukan saturasi oksigen, minimal saturasinya diatas 90 %, jika tidak usahakan
untuk dilakukan intubasi dan support pernafasan. Setelah jalan nafas bebas sedapat
mungkin pernafasannya diperhatikan frekwensinya normal antara 16 18 X/menit,
dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas buatan, kalau bisa
dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO 2 antara 28 35 mmHg
karena jika lebih dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya
edema serebri. Sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan menyebabkan vaso
konstruksi yang berakibat terjadinya iskemia, Periksa tekanan oksigen (O2) 100 mm
Hg jika kurang beri oksigen masker 8 liter /menit. Pada pemeriksaan sistem sirkulasi

12

Periksa denyut nadi/jantung, jika (tidak ada) lakukan resusitasi jantung, Bila shock
(tensi < 90 mm Hg nadi >100x per menit dengan infus cairan RL, cari sumber
perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang dewasa hampir
tidak pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala meningkatkan
angka kematian 2x. Pada pemeriksaan disability/kelainan kesadaran pemeriksaan
kesadaran memakai glasgow coma scale, Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya
serta catat reaksi terhadap cahaya langsung maupun tidak langsung, Periksa adanya
hemiparese/plegi, Periksa adanya reflek patologis kanan kiri, Jika penderita sadar
baik tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi misal adanya aphasia.
Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara
melakukan sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorax,
foto pelvis, CT Scan dan pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan
seksama) (ATLS , 1997).
Glasgow Coma Scale (GCS)
Untuk mendapatkan keseragaman dari penilaian tingkat kesadaran secara
kwantitatif (yang sebelumnya tingkat kesadaran diukur secara kwalitas seperti apatis,
somnolen dimana pengukuran seperti ini didapatkan hasil yang tidak seragam antara
satu pemeriksaan dengan pemeriksa yang lain) maka dilakukan pemeriksaan dengan
skala kesadaran secara glasgow, ada 3 macam indikator yang diperiksa yaitu reaksi
membuka mata, Reaksi verbal, Reaksi motorik.
1). Reaksi membuka mata
Reaksi membuka mata

Nilai

Membuka mata spontan

Buka mata dengan rangsangan suara

Buka mata dengan rangsangan nyeri

Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri

2). Reaksi Verbal


Reaksi Verbal
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang
Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata

Nilai
5
4
3

13

Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata

Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun

3). Reaksi Motorik


Reaksi Motorik
Mengikuti perintah
Melokalisir rangsangan nyeri
Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri
Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri
Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri
Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri

Nilai
6
5
4
3
2
1

Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu
cidera kepala derajat ringan, bila GCS : 13 15, Cidera kepala derajat sedang, bila
GCS : 9 12, Cidera kepala berat, bila GCS kuang atau sama dengan 8. Pada
penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka
reaksi verbal diberi tanda X, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga
tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai
X, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi
maka reaksi verbal diberi nilai T.
Indikasi foto polos kepala
Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan
kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi
indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus
alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap,
Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran (Bajamal A.H ,1999). Sebagai indikasi
foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut
tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto
polos posisi AP/lateral dan oblique.
Indikasi CT Scan
Indikasi CT Scan adalah :
(1) Nyeri kepala menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat obatan analgesia/anti muntah.

14

(2) Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
(3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock,
febris, dll).
(4) Adanya lateralisasi.
(5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
(6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
(7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
(8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
Cidera kepala yang perlu masuk rumah sakit (MRS)
Cidera kepala yang perlu masuk rumah sakit (MRS) meliputi :
(1) Adanya gangguan kesadaran (GCS < 15).
(2) Pernah tidak sadar lebih dari 15 menit (contusio serebri).
(3) Adanya gangguan fokal neorologis (Hemiparese/plegi, kejang - kejang, pupil
anisokor).
(4) Nyeri kepala, muntah - mual yang menetap yang telah dilakukan observasi di
UGD dan telah diberikan obat analgesia dan anti muntah selama 2 jam tidak ada
perbaikan.
(5) Adanya tanda fraktur tulang kavaria pada pemerisaan foto kepala.
(6) Klinis adanya tanda tanda patah tulang dasar tengkorak.
(7) Luka tusuk atau luka tembak
(8) Adanya benda asing (corpus alienum).
(9) Penderita disertai mabuk.
(10) Cidera kepala disertai penyakit lain misal hipertensi, diabetes melitus, gangguan
faal pembekuan.
Indikasi sosial yang dipertimbangkan pada pasien yang dirawat dirumah sakit
tidak ada yang mengawasi di rumah jika di pulangkan,Tempat tinggal jauh dengan
rumah sakit oleh karena jika terjadi masalah akan menyulitkan penderita. Pada saat
penderita di pulangkan harus di beri advice (lembaran penjelasan) apabila terdapat
gejala seperti ini harus segera ke rumah sakit misalnya : mual muntah, sakit kepala
yang menetap, terjadi penurunan kesadaran, Penderita mengalami kejang kejang,

15

Gelisah. Pengawasan dirumah harus dilakukan terus menerus selama kerang lebih 2 x
24 jam dengan cara membangunkan tiap 2 jam (Bajamal AH ,1999).
1 Perawatan dirumah sakit
Perawatan di rumah sakit bila GCS 13 15 meliputi :
1). Infus dengan cairan normoosmotik (kecuali Dextrose oleh karena dextrose cepat
dimetabolisme menjadi H2O + CO2 sehingga dapat menimbulkan edema serebri)
Di RS Dr Soetomo surabaya digunakan D5% salin kira kira 1500 2000
cc/24 jam untuk orang dewasa.
2). Diberikan analgesia/antimuntah secara intravena, jika tidak muntah dicoba
minum sedikit sedikit (pada penderita yang tetap sadar).
3). Mobilisasi dilakukan sedini mungkin, dimulai dengan memberikan bantal
selama 6 jam kemudian setengah duduk pada 12 jam kemudian duduk penuh
dan dilatih berdiri (dapat dilakukan pada penderita dengan GCS 15).
4). Jika memungkinkan dapat diberikan obat neorotropik, seperti : Citicholine,
dengan dosis 3 X 250 mg/hari sampai minimal 5 hari.
5). Minimal penderita MRS selama 2 X 24 jam karena komplikasi dini dari cidera
kepala paling sering terjadi 6 jam setelah cidera dan berangsur angsur
berkurang sampai 48 jam pertama.
2 Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13
Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13
1). Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head up 15
30) hal ini untuk memperbaiki venous return sehingga tekanan intra kranial
turun.
2). Beri masker oksigen 6 8 liter/menit.
3). Atasi hipotensi, usahakan tekanan sistolok diatas 100 mmHg, jika tidak ada
perbaikan dapat diberikan vasopressor.
4). Pasang infus D5% saline 1500 2000 cc/24 jam atau 25 30
CC/KgBB/24jam.
5). Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan perawatan
yang lebih lama maka hendaknya dipasang maagslang ukuran kecil (12 Fr)
untuk memberikan makanan yang dimulai pada hari I dihubungkan dengan 500
cc Dextrose 5%. Gunanya pemberian sedini mungkin adalah untuk menghindari
atrophi villi usus, menetralisasikan asam lambung yang biasanya pH nya sangat

16

tinggi (stress ulcer), menambah energi yang tetap dibutuhkan sehingga tidak
terjadi metabolisme yang negatip, pemberian makanan melalui pipa lambung ini
akan ditingkatkan secara perlahan lahan sampai didapatkan volume 2000 cc/24
jam dengan kalori 2000 Kkal. Keuntungan lain dari pemberian makanan peroral
lebih cepat pada penderita tidak sadar antara lain mengurangi translokasi kuman
di dinding usus halus dan usus besar, Mencegah normal flora usus masuk
kedalam system portal.
6). Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari terjadinya
statik pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan miring kekiri dan
kanan setiap 2 jam.
7). Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak boleh langsung
diberikan obat penenang seperti diazepam karena dapat menyebabkan masking
efek terhadap kesadarannya dan terjadinya depresi pernapasan. Pada penderita
gelisah dapat terjadi karena nyeri oleh karena fraktur, Kandung seni yang penuh,
Tempat tidur yang kotor, Penderita mulai sadar, Penurunan kesadaran, Shock,
Febris.
Transpor Oksigen
Sebagaimana yang diuraikan oleh beberapa peneliti (MacLean, 1971,
Peitzman, 1987, Abrams, 1993 mekanisme ini terdiri dari tiga unsur besar yakni:
1. Sistim pernafasan yang membawa O2 udara alveoli, kemudian difusi masuk
kedalam darah.
Setelah difusi menembus membran alveolokapiler, oksigen berkaitan dengan
hemoglobin dan sebagian kecil larut dalam plasma. Gangguan oksigenansi
menyebabkan berkurangnya oksigen didalam darah (hipoksemia) yang selanjutnya
akan menyebabkan berkurangnya oksigen jaringan (hipoksia). Atas penyebabnya,
dibedakan 4 jenis hipoksia sesuai dengan proses penyebabnya :
1). Hipoksia hipoksik

gangguan ventilasi-difusi

2). Hipoksia stagnan

gangguan perfusi/sirkulasi

3). Hipoksia anemik

anemia

4). Hipoksia histotoksik

gangguan pengguanaan oksigen dalam sel (racun

HCN, sepsis).
Pada pendarahan dan syok terjadi gabungan hipoksia stagnan dan anemik.
Kandungan oksigen dalam darah arterial (Ca O2) menurut rumus Nunn-Freeman
(MacLean, 1971, Lentner, 1984, Buran, 1987) adalah :

17

Ca O2 = (Hb x Saturasi O2 x 1,34) + (p O2 x 0,003)


Hb

= kadar hemoglobin darah (g/dl) saturasi O 2 = saturasi oksigen dalam


hemoglobin (%)

1,34 = koefisien tetap (angka Huffner) beberapa penulis menyebut 1,36 atau 1,39
pO2

= tekanan parsiel oksigen dalam plasma, mmHg

0,003 = koefisien kelarutan oksigen dalam plasma.


2. Sistim sirkulasi yang membawa darah berisi O2 ke jaringan
Perubahan-perubahan

hemodinamik

sebagai

kompensasi

yaitu:

nadi

meningkat (takikardia), kekuatan kontraksi miokard meningkat, vasokonstriksi di


daerah arterial reaksi takikardia terjadi segera. Tujuh puluh lima persen volume
sirkulasi berada di daerah vena. Vasokonstriksi memeras darah dari cadangan vena
kembali ke sirkulasi efektif. Vasokonstriksi arterial membagi secara selektif aliran
untuk organ prioritas (otak dan jantung) dengan mengurangi aliran ke kulit, ginjal,
hati, usus. Vasokonstriksi yang berupaya mempertahankan tekanan perfusi (perfusion
pressure) untuk otak dan jantung, menyebabkan jantung bekerja lebih berat
mengatasi SVR, pada saat yang sama oksigenasi koroner sedang menurun.
Vasokonstriksi yang berlebihan di daerah usus dapat menyebabkan cedera iskemik
(iscemic injury), translokasi kuman menembus usus dan masuknya endotoksin ke
sirkulasi sistemik (Kreimeier 1990 dan 1992; Hartmann, 1991). Takikardia dan
vasokonstriksi sudah berjalan dengan cepat melalui respons baroreseptor dan
katekolamin. Takikardia yang berlebihan justru merugikan, karena menyebabkan
EDV menurun sehingga CO juga turun. Cardiac output atau curah jantung adalah
volume aliran darah yang membawa oksigen ke jaringan. Hubungan antara curah
jantung (CO), frekwensi denyut jantung (f) dan Stroke Volume (SV) adalah sebagai
berikut:
CO = f x SV
SV

dipengaruhi oleh EDV--- C --- SVR

EDV

volume ventrikel pada akhir diastole

contractility (kekuatan kontraksi otot jantung)

SVR

Systemic Vascular Resistance

VR

Venous Return (jumlah darah yang masuk atrium), dalam keadaan

normal VR = CO
Available O2 = CO x Ca O2
Available O2 : oksigen tersedia (untuk jaringan)

18

Ca O2

: kandungan oksigen darah arterial.

3. Sistim O2-Hb dalam eritrosit dan transpor ke sel jaringan


Eritrosit mendapat oksigen dari difusi yang terjadi di kapiler paru. Dinamika
oksigen dalam eritrosit ditunjukkan oleh kurva disosiasi oksigen-hemoglobin
(Lentner, 19984; Odorico, 1993). Untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada organ
vital (otak, jantung) diisyaratkan bhwa kadar Hb harus > 9 sampai 10 gr %. Bila
kadar Hb kurang dari 9 gr % masih dapat memenuhi kebutuhan oksigen dengan
peningkatan curah jantung dan pelepasan lebih banyak oksigen ke jaringan (Odorico,
1993; Rotondo, 1993).

19

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hafid, M. Sajid Darmadiputra, Umar Kasan, (1989), Strategy Dasar
Penanganan Cidera Otak, Warta IKABI Cab. Surabaya.
American College of Surgeons, (1995), Advanced Trauma Life Support Course for
Physicians, ACS Chicago
Bajamal AH, (1999), Penatalaksanaan Cidera Otak Karena Trauma Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf Surabaya.
Becker DP, Gardner S, (1985), Intensive Management of Head Injury. In : Wilkins
RH, Rengachary SS, eds. Neurosurgery New York : Mc. Grow Hill
Company, 1953.
Bouma GJ, Muizelaar JP, Choi Sc et.al, (1991), Cerebral Circulation and
Metabolism After Severe Traumatic Barin Injury : the elusive role of
ischemia. J. Neurosurg.
Bambang Wahyu Prajitno, (1990), Terapi Oksigen, Lab Anestesiologi F.K Unair
Surabaya.
Barzo MK, rau AM, Donaldson D et.al, (1997), Protective Effect of Ifenprodil on
Ishemic Injury Size, Blood Breakdown, and Edema Formation in Focal
Cerebral Ischemia.
Combs DJ, Dempsey RJ, Maley M et.al (1990), Relationship between plasma
glocose, brain lactate and intra cellular PH during cerebraal ischemia
in gebrils stroke.
Gennerelli TA and Meany DF ( 1996 ), Mechanism of Primary Head Injury, Wilkins
RH and Renfgachery SS ( eds ) Neurosurgery, New York
Ishige N, Pitts LH et.al (1987), Effect of Hypoxia on Traumatic brain Injury in rats
Neurosurgery
Jenkins N, Pitts LH et.al (1987), Increased vulnerability of the traumatized brain to
early ischemia in Baethment A, Go CK and Unterberg A ( eds )
Mecahnism of Secondary brain demage.PC Worksho, Italy
Klatzo I. Chui E, Fujiware K (1980), Resulation of Vasogenic brain edema, Adv.
Neurol.
Klauber MF, Marshall LF et.al (1989), Determinants of Head Injury Mortality,
Importance of the Row Risk Patients.
Kraus JF (1993), Epidemiology of Head Injury in Cooper P ( ed ) Head Injury.
Baltimore, William and Wilkins.

20

Narayan RK (1989), Emergency Room Management of the Head Injury Patient. In :


Becker D.P, Gudeman S.K, eds Text Book of Head Injury Philadelphia :
WB Saunders
R. Zander, F. Mertzlufft (1990), The Oxygen Status of Arterial Blood, Saarstrabe
Germany.
Sumarmo Makam et.,al (1999), Cidera Kepala, Balai Penerbit FK UI Jakarta.
Umar kasan (1998), Peran Ilmu Bedah Saraf Dalam Penanganan Cidera Kepala
Pidato Pengukuhan Guru Besar Airlangga Univ. Press.
Umar Kasan (2000), Penanganan Cidera Kepala Simposium IKABI Tretes
Vincent J. Collins, (1996), Pharmacology of Oxygen and Effect of Hypoxia Germany
Zainuddin M, (1988), Metodologi Penelitian. Program Pasca Sarjana Universitas
Airlangga Surabaya.

21

You might also like