You are on page 1of 12

KONSERVASI DAERAH

Kampung Kuta adalah dusun adat yang masih bertahan di Desa Karangpaningal,
Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis. Kampung adat ini dihuni masyarakat yang
dilandasi kearifan lokal, dengan memegang budaya pamali (tabu), untuk menjaga
keseimbangan alam dan terpeliharanya tatanan hidup bermasyarakat. Salah satu yang
menonjol adalah dalam hal pelestarian hutan, sekaligus mempertahankan kelestarian mata
air dan pohon aren untuk sumber kehidupan mereka.
Karena penghormatan yang tinggi terhadap hutan, warga Kampung Kuta yang hendak
masuk ke kawasan hutan tidak pernah mengenakan alas kaki. Tujuannya agar hutan
tersebut tidak tercemar dan tetap lestari. Oleh karena itu, kayu-kayu besar masih terlihat
kokoh di Leuweung Gede. Selain itu, sumber air masih terjaga dengan baik.
Secara administratif, Kampung Kuta berada di wilayah Kabupaten Ciamis, Kecamatan
Tambaksari, tepatnya di dalam Desa Karangpaningal. Kampung Kuta terdiri atas 2 RW
dan 4 RT. Kampung ini berbatasan dengan Dusun Cibodas di sebelah utara, Dusun
Margamulya di sebelah barat, dan di sebelah selatan dan timur dengan Sungai Cijulang,
yang sekaligus merupakan perbatasan wilayah Jawa Barat dengan Jawa Tengah.
Untuk menuju ke kampung tersebut jarak yang harus ditempuh dari kota Kabupaten
Ciamis sekitar 34 km menuju ke arah utara. Dapat dicapai dengan menggunakan mobil
angkutan umum ke Kecamatan Rancah. Sedang dari Kecamatan Rancah menggunakan
motor sewaan atau ojeg, dengan kondisi jalan aspal yang berkelok, dan tanjakan yang
cukup curam. Jika melalui Kecamatan Tambaksari dapat menggunakan kendaraan umum
atau ojeg, dengan kondisi jalan serupa.Upacara Adat Nyuguh

Sesuai warisan leluhur, acara nyuguh itu harus dilakukan di pinggir Sungai Cijolang yang
berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap, Jateng. Pernah satu kali acara nyuguh
tak dilaksanakan, tiba-tiba seluruh kampung mendapat musibah. Padi yang siap panen
rusak parah, sedangkan sejumlah hewan ternak ditemui mati menggelepar. Warga
menyakini kerusakan itu terjadi karena utusan Padjadjaran itu tidak disuguhi makanan.
Alhasil mereka pun mencari makanan sendiri dengan cara merusak kampung.
Adapun perjalanan ke Sungai Cijolang sekitar lima kilometer. Kini, Pak Kuncen pun
kembali memulai ritual.
Doa kembali dipanjatkan sebelum warga menyantap makanan yang tersedia. Setelah
berdoa, seluruh warga kemudian menyantap makanan yang dibawa dari kampung.
Makanan khas yang harus ada setiap upacara.
Upacara Adat Nyuguh ini merupakan suatu upacara ritual tradisional Adat Kampung
Kuta Kec. Tambaksari Kabupaten Ciamis yang selalu dilaksanakan pada tanggal 25
shapar pada setiap tahunnya.
Sejarah Kampung Kuta Ciamis
Kampung yang terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, berbatasan
dengan Jawa Tengah itu dikenal sebagai Kampung adat. Ada beberapa versi mengenai
sejarah Kampung Kuta ini. Menurut cerita rakyat setempat, asal-usul Kampung Kuta
berkaitan dengan berdirinya Kerajaan Galuh. Konon, pada zaman dahulu ketika Prabu
Galuh yang bernama Ajar Sukaresi (dalam sumber lain, tokoh ini adalah seorang pandita
sakti) hendak mendirikan Kerajaan Galuh, Kampung Kuta dipilih untuk pusat kerajaan
karena letaknya strategis.
Prabu Galuh memerintahkan kepada semua rakyatnya untuk mengumpulkan semua
keperluan pembangunan keraton seperti kapur bahan bangunan, semen merah dari tanah
yang dibakar, pandai besi, dan tukang penyepuh perabot atau benda pusaka. Keraton pun
akhirnya selesai dibuat. Namun, pada suatu ketika, Prabu Galuh menemukan lembah
yang (Kuta) oleh tebing yang dalamnya sekitar 75 m di lokasi pembangunan pusat
kerajaan itu. Atas musyawarah dengan para punggawa kerajaan lainnya, diputuskanlah
bahwa daerah tersebut tidak cocok untuk dijadikan pusat kerajaan (menurut orang tua,
tidak memenuhi Patang Ewu Domas).
Selanjutnya, mereka berkelana mencari tempat lain yang memenuhi syarat. Prabu Galuh
membawa sekepal tanah dari bekas keratonnya di Kuta sebagai kenang-kenangan.
Setelah melakukan perjalanan beberapa hari, Prabu Galuh dan rombongannya sampai di
suatu tempat yang tinggi, lalu melihat-lihat ke sekeliling tempat itu untuk meneliti apakah
ada tempat yang cocok untuk membangun kerajaannya. Tempat ia melihat-lihat itu
sekarang bernama Tenjolaya. Prabu Galuh melihat ke arah barat, lalu terlihatlah ada
daerah luas terhampar berupa hutan rimba yang menghijau. Ia kemudian melemparkan
sekepal tanah yang dibawanya dari Kuta ke arah barat dan jatuh di suatu tempat yang
sekarang bernama Kepel. Tanah yang dilemparkan tadi sekarang menjadi sebidang

sawah yang datar dan tanahnya berwarna hitam seperti dengan tanah di Kuta, sedangkan
tanah di sekitarnya berwarna merah. Prabu Galuh melanjutkan perjalanannya sampai di
suatu pedataran yang subur di tepi Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy, lalu
mendirikan kerajaan di sana.
Cerita selanjutnya tentang Prabu Galuh tersebut hampir mirip dengan cerita Ciung
Wanara dalam naskah Wawacan Sajarah Galuh, bahwa Prabu Galuh kemudian
digantikan oleh patihnya, Aria Kebondan (dalam naskah disebut Ki Bondan). Prabu
Galuh menjadi pertapa di Gunung Padang. Menurut versi tradisi lisan, Prabu Galuh
meninggalkan dua orang istri, yaitu Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Saat itu,
Dewi Naganingrum sedang mengandung. Ketika Dewi Naganingrum melahirkan, Dewi
Pangrenyep menukar bayinya dengan seekor anak anjing. Bayi itu kemudian dihanyutkan
ke Sungai Citanduy. Melihat Dewi Naganingrum beranak seekor anjing, Aria Kebondan
yang menjadi raja di Galuh menjadi marah, lalu menyuruh Lengser membunuhnya.
Namun, Lengser itu tidak membunuh Dewi Naganingrum, tetapi menyembunyikannya di
Kuta. Adapun bayi yang dibuang ke Sungai Citanduy itu kemudian ditemukan oleh Aki
Bagalantrang di depan badodon (tempat menangkap ikan)-nya. Bayi itu dipungut dan
diasuh oleh Aki Bagalantrang hingga remaja, lalu diberi nama Ciung Wanara. Tempat Aki
Bagalantrang mengasuh bayi itu sekarang disebut daerah Geger Sunten, sekitar 6 km
dari Kuta. Ciung Wanara kemudian merebut kembali Kerajaan Galuh dari Aria Kebondan
melalui sabung ayam, sebagaimana yang diceritakan dalam naskah. Setelah Ciung
Wanara menjadi raja, Lengser pun menjemput Dewi Naganingrum sehingga bisa
berkumpul kembali dengan anaknya.
Di Kampung Kuta terdapat mitos tentang Tuan Batasela dan Aki Bumi. Diceritakan
bahwa bekas kampong Galuh yang telah diterlantarkan selama beberapa lama ternyata
menarik perhatian Raja Cirebon dan Raja Solo. Selanjutnya, masing-masing raja tersebut
mengirimkan utusannya untuk menyelidiki keadaan di Kampung Kuta. Raja Cirebon
mengutus Aki Bumi, adapun Raja Solo mengutus Tuan Batasela. Raja Cirebon berpesan
kepada utusannya bahwa ia harus pergi ke Kuta, tetapi jika didahului oleh utusan dari
Solo, ia tidak boleh memaksa jadi penjaga Kuta. Ia harus mengundurkan diri, tetapi tidak
boleh pulang ke Cirebon dan harus terus berdiam di sekitar daerah itu sampai mati. Pesan
yang sama juga didapat oleh utusan dari Solo. Pergilah kedua utusan tersebut dari
kerajaannya masing-masing. Utusan dari Solo, Tuan Batasela, berjalan melalui Sungai
Cijolang sampai di suatu kampung, lalu beristirahat di sana selama satu malam. Jalan
yang dilaluinya itu hingga saat ini masih sering dilalui orang untuk menyeberang dari
Jawa Tengah ke Jawa Barat. Penyeberangan itu diberi nama Pongpet. Adapun Aki
Bumi dari Cirebon langsung menuju ke Kampung Kuta dengan melalui jalan curam, yang
sampai saat ini masih ada dan diberi nama Regol, sehingga tiba lebih dulu di Kampung
Kuta. Sesampainya di sana, Aki Bumi menemui para tetua kampung dan melakukan
penertiban- penertiban, seperti membuat jalan ke hutan dan membuat tempat
peristirahatan di pinggir situ yang disebut Pamarakan. Karena telah didahului oleh
utusan dari Cirebon, Tuan Batasela kemudian terus bermukim di kampung tempat ia
bermalam, yang terletak di utara Kampung Kuta. Konon, utusan dari Solo itu kekurangan
makanan, lalu meminta-minta kepada masyarakat di Kampung itu, tetapi tidak ada yang
mau memberi. Keluarlah umpatan dan sumpah dari Tuan Batasela yang mengatakan

bahwa Di kemudian hari, tidak akan ada orang yang kaya di Kampung itu. Ternyata,
hingga saat ini rakyat di Kampung itu memang tidak ada yang kaya. Karena menderita
terus, Tuan Batasela kemudian bunuh diri dengan keris. Darah yang keluar dari luka Tuan
Batasela berwarna putih, lalu mengalir membentuk parit yang kemudian disebut
Cibodas. Kampung itu pun diberi nama Kampung Cibodas. Tuan Batasela dimakamkan
di tengah- tengah persawahan di sebelah utara Kampung Cibodas. Makamnya masih ada
hingga saat ini. Aki Bumi terus menjadi penjaga (kuncen) Kampung Kuta sampai
meninggal, lalu dimakamkan bersama keluarganya di tengah-tengah Kampung, yang
sekarang termasuk Kampung Margamulya. Tempat makam itu disebut Pemakaman Aki
Bumi. Setelah keturunan Aki Bumi tidak ada lagi, Raja Cirebon memerintahkan bahwa
yang menjadi kuncen di Kampung Kuta berikutnya adalah orang-orang yang dipercayai
oleh Aki Bumi, yaitu para leluhur kuncen Kampung Kuta saat ini.
Mitos-mitos yang dituturkan oleh tradisi lisan terkadang mempunyai keterkaitan dengan
mitos yang diceritakan dalam sumber naskah. Keterkaitan itu kemudian menimbulkan
pertanyaan bagi kita, apakah si penutur mitos yang bersumber pada naskah atau naskah
yang ditulis berdasarkan penuturan. Jika dirujuk pada usianya, maka tradisi lisan telah
ada sebelum tulisan muncul sehingga dapat diasumsikan bahwa naskah ditulis
berdasarkan cerita yang dituturkan. Tradisi lisan yang terus ada hingga saat ini, seperti
yang dituturkan oleh para kuncen atau tukang cerita, terdapat dua kemungkinan mengenai
asal-usulnya. Pertama, tradisi lisan itu berdasarkan cerita naskah yang dibaca kemudian
dituturkan kembali. Kedua, tradisi lisan itu memang belum pernah dituliskan dalam
bentuk naskah, lalu dituturkan secara turun-temurun. Adanya perbedaan versi suatu cerita
yang dituturkan dalam naskah dan tradisi lisan disebabkan oleh beberapa kemungkinan,
yaitu perbedaan sumber cerita, distorsi cerita karena pewarisan cerita yang turun-temurun
memungkinkan terjadinya penambahan ataupun pengurangan isi cerita, dan adanya
keinginan dari penutur cerita untuk mengedepankan peranan seorang tokoh ataupun
berapologia atas kesalahan tokoh tersebut. Demikian pula dengan cerita tentang
Kampung Kuta di atas. Ada beberapa bagian yang hampir mirip dengan cerita yang
dikemukakan dalam naskah dan ada pula yang berbeda jalan ceritanya. Adapun mengenai
kebenaran isi cerita atau mitos tersebut bukanlah suatu permasalahan. Setidaknya, mitosmitos tersebut dihormati dan dipelihara oleh masyarakatnya. Lebih jauh, bukankah ilmu
pengetahuan juga pada awalnya berkembang dari bentuk pemikiran mitis. Hingga saat
ini, Kampung Kuta tetap dilestarikan sebagai kampung adat atau petilasan.
Masyarakatnya masih memelihara dan melestarikan tradisi-tradisi leluhur mereka.
Pantangan-pantangan pun dibuat untuk menjaga kelestarian tradisi itu, seperti larangan
membuat rumah dari tembok dan memakai atap genteng, larangan mengubur mayat orang
dewasa kecuali bayi kecil dan dalamnya pun tidak melebihi pangkal paha, larangan
menggali sumur terlalu dalam, larangan mementaskan wayang, larangan meminum
minuman keras, tidak boleh sombong atau menentang adat kuta, dan sebagainya.

KAMPUNG NAGA
Kampung Naga dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang
adat istiadat peninggalan Ieluhumya. Hal ini akan terlihat jelas perbedaannya bila
dibandingkan dengan masyarakat lain di luar Kampung Naga. Masyarakat Kampung
Naga hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suasana kesahajaan dan
lingkungan kearifan tradisional yang lekat.
Secara administratif Kampung Naga termasuk kampung Legok Dage Desa Neglasari
Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya.
Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer,
sedangkan dari Kota Garut jaraknya 26 kilometer.
Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni
tangga yang sudah ditembok (Sunda sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan
kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan
setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai ke dalam Kampung Naga. Menurut data dari
Desa Neglasari, bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan
produktivitas tanah bisa dikatakan subur.
Luas tanah Kampung Naga yang ada seluas satu hektar setengah, sebagian
besardigunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan selebihnya digunakan untuk
pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali.
Daya tarik obyek wisata Kampung Naga terletak pada kehidupan yang unik dari
komunitas yang terletak di Kampung Naga tersebut. Kehidupan mereka dapat berbaur
dengan masyrakat modern, beragama Islam, tetapi masih kuat memlihara Adat Istiadat
leluhurnya. Seperti berbagai upacara adat, upacara hari-hari besr Islam misalnya Upacara
bulan Mulud atau Alif dengan melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek
Moyang) Proses ini dimulai dengan mandi di Sungai Ciwulan dan Wisatawan boleh
mengikuti acara tersebut dengan syarat harus patuh pada aturan disana.
Bentuk bangunan di Kampung Naga sama baik rumah, mesjid, patemon (balai
pertemuan) dan lumbung padi. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau injuk
sebagi penutup bumbungan. Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman
bambu (bilik). Sementara itu pintu bangunan terbuat dari serat rotan dan semua bangunan
menghadap Utara atau Selatan. Selain itu tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata
letak dan bahan alami merupakan ciri khas gara arsitektur dan ornamen Perkampungan
Naga.
Obyek wisata ini merupakan salah satu obyek wisata budaya di Tasikmlaya Wisatawan
biasanya memiliki minat khusus yaitu ingin mengetahui dan membuktikan secara nyata
keadaan tesebut. Pengembangan obyek wisata Kampung Naga termasuk dalam jangkuan
pengembangan jangka pendek.
Sejarah/asal usul Kampung Naga
menurut salah satu versi nya bermula
pada masa kewalian Syeh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati,
seorang abdinya yang bernama

Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia


sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu,
Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung
Naga disebut Sembah Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk
harus bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia
harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga.
Nenek moyang Kampung Naga yang paling
berpengaruh dan berperan bagi masyarakat
Kampung Naga "Sa Naga" yaitu Eyang
Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana
yang disebut lagi dengan Eyang Galunggung,
dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga.
Makam ini dianggap oleh masyarakat Kampung
Naga sebagai makam keramat yang selalu diziarahi
pada saat diadakan upacara adat bagi semua
keturunannya.
Namun kapan Eyang Singaparana meninggal, tidak diperoleh data yang pasti bahkan
tidak seorang pun warga Kampung Naga yang mengetahuinya. Menurut kepercayaan
yang mereka warisi secara turun temurun, nenek
moyang masyarakat Kampung Naga tidak meninggal
dunia melainkan raib tanpa meninggalkan jasad. Dan
di tempat itulah masyarakat Kampung Naga
menganggapnya sebagai makam, dengan memberikan
tanda atau petunjuk kepada keturunan Masyarakat
Kampung Naga.
Ada sejumlah nama para leluhur masyarakat Kampung
Naga yang dihormati seperti: Pangeran Kudratullah, dimakamkan di Gadog Kabupaten
Garut, seorang yang dipandang sangat menguasai pengetahuan Agama Islam. Raden
Kagok Katalayah Nu Lencing Sang Seda Sakti, dimakamkan di Taraju, Kabupaten
Tasikmalaya yang mengusai ilmu kekebalan "kewedukan". Ratu Ineng Kudratullah atau
disebut Eyang Mudik Batara Karang, dimakamkan di Karangnunggal, Kabupaten
Tasikmalaya, menguasai ilmu kekuatan fisik "kabedasan". Pangeran Mangkubawang,
dimakamkan di Mataram Yogyakarta menguasai ilmu kepandaian yang bersifat.
kedunawian atau kekayaan. Sunan Gunungjati Kalijaga, dimakamkan di Cirebon
menguasai ilmu pengetahuan mengenai bidang pertanian.

UPACARA KAMPUNG NAGA

Menyepi
Upacara menyepi dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada hari selasa, rabu, dan
hari sabtu. Upacara ini menurut pandangan masyarakat Kampung Naga sangat penting
dan wajib dilaksanakan, tanpa kecuali baik laki-laki maupun perempuan. Oleh sebab itu
jika ada upacara tersebut di undurkan atau dipercepat waktu pelaksanaannya.
Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-masing orang, karena pada
dasarnya merupakan usaha menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang
berkaitan dengan adat istiadat. Melihat kepatuhan warga Naga terhadap aturan adat,
selain karena penghormatan kepada leluhurnya juga untuk menjaga amanat dan wasiat
yang bila dilanggar dikuatirkan akan menimbulkan malapetaka.

Hajat Sasih
Upacara Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Sa-Naga, baik yang bertempat
tinggal di Kampung Naga maupun di luar Kampung Naga. Maksud dan tujuan dari
upacara ini adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung
Naga, Eyang Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan yang mahaesa atas
segala nikmat yang telah diberikannya kepada warga sebagai umat-Nya.
Upacara Hajat Sasih diselenggarakan pada bulan-bulan dengan tanggal-tanggal sebagai
berikut:
1.
2.
3.
4.
5.

Bulan Muharam (Muharram) pada tanggal 26, 27, 28


Bulan Maulud (Rabiul Awal) pada tanggal 12, 13, 14
Bulan Rewah (Sya'ban) pada tanggal 16, 17, 18
Bulan Syawal (Syawal) pada tanggal 14, 15, 16
Bulan Rayagung (Dzulkaidah) pada tanggal 10, 11, 12

Pemilihan tanggal dan bulan untuk pelaksanaan upacara Hajat Sasih sengaja dilakukan
bertepatan dengan hari-hari besar agama Islam. Penyesuaian waktu tersebut bertujuan
agar keduanya dapat dilaksanakan sekaligus, sehingga ketentuan adat dan akidah agama
islam dapat dijalankan secara harmonis.
Upacara Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam. Sebelumnya
para peserta upacara harus melaksanakan beberapa tahap upacara. Mereka harus mandi
dan membersihkan diri dari segala kotoran di sungai Ciwulan. Upacara ini disebut
beberesih atau susuci. Selesai mandi mereka berwudlu di tempat itu juga kemudian
mengenakan pakaian khusus. Secara teratur mereka berjalan menuju mesjid. Sebelum
masuk mereka mencuci kaki terlabih dahulu dan masuk kedalam sembari menganggukan
kepala dan mengangkat kedua belah tangan. Hal itu dilakukan sebagai tanda
penghormatan dan merendahkan diri, karena mesjid merupakantempat beribadah dan

suci. Kemudian masing-masing mengambil sapu lidi yang telah tersedia di sana dan
duduk sambil memegang sapu lidi tersebut.
Adapun kuncen, lebe, dan punduh / Tua kampung selesai mandi kemudian berwudlu dan
mengenakan pakaian upacara mereka tidak menuju ke mesjid, melainkan ke Bumi
Ageung. Di Bumi Ageung ini mereka menyiapkan lamareun dan parukuyan untuk nanti di
bawa ke makam. Setelah siap kemudian mereka keluar. Lebe membawa lamareun dan
punduh membawa parukuyan menuju makam. Para peserta yang berada di dalam mesjid
keluar dan mengikuti kuncen, lebe, dan punduh satu persatu. Mereka berjalan beriringan
sambil masing-masing membawa sapu lidi. Ketika melewati pintu gerbang makam yang
di tandai oleh batu besar, masing-masing peserta menundukan kepala sebagai
penghormatan kepada makam Eyang Singaparna.
Setibanya di makam selain kuncen tidak ada yang masuk ke dalamnya. Adapun Lebe dan
Punduh setelah menyerahkan lamareun dan parakuyan kepada kuncen kemudian keluar
lagi tinggal bersama para peserta upacara yang lain. Kuncen membakar kemenyan untuk
unjuk-unjuk (meminta izin ) kepada Eyang Singaparna. Ia melakukan unjuk-unjuk sambil
menghadap kesebelah barat, kearah makam. Arah barat artinya menunjuk ke arah kiblat.
Setelah kuncen melakukan unjuk-unjuk, kemudian ia mempersilahkan para peserta
memulai membersihkan makam keramat bersama-sama. Setelah membersihkan makam,
kuncen dan para peserta duduk bersila mengelilingi makam. Masing-masing berdoa
dalam hati untukmemohon keselamatan, kesejahteraan, dan kehendak masing-masing
peserta. Setelah itu kuncen mempersilakan Lebe untuk memimpin pembacaan ayat-ayat
Suci Al-Quran dan diakhri dengan doa bersama.
Selesai berdoa, para peserta secara bergiliran bersalaman dengan kuncen. Mereka
menghampiri kuncen dengan cara berjalan ngengsod. Setelah bersalaman para peserta
keluar dari makam, diikuti oleh punduh, lebe dan kuncen. Parukuyan dan sapu lidi
disimpan di "para" mesjid. Sebelum disimpan sapu lidi tersebut dicuci oleh masingmasing peserta upacara di sungai Ciwulan, sedangkan lemareun disimpan diBumi
Ageung.
Acara selnjutnya diadakan di mesjid. Setelah para peserta upacara masuk dan duduk di
dalam mesjid, kemudian datanglah seorang wanita yang disebut patunggon sambil
membawa air di dalam kendi, kemudian memberikannya kepada kuncen. Wanita lain
datang membawa nasi tumpeng dan meletakannya ditengah-tengah. Setelah wanita
tersebut keluar, barulah kuncen berkumur-kumur dengan air kendi dan membakar dengan
kemenyan. Ia mengucapkan Ijab kabul sebagai pembukaan. Selanjutnya lebe
membacakan doanya setelah ia berkumur-kumur terlebih dahulu dengan air yang sama
dari kendi. Pembacaan doa diakhiri dengan ucapan amin dan pembacaan Al-fatihah.
Maka berakhirlah pesta upacara Hajat Sasih tersebut. Usai upacara dilanjutkan dengan
makan nasi tumpeng bersama-sama. Nasi tumpeng ini ada yang langsung dimakan di
mesjid, ada pula yang dibawa pulang kerumah untuk dimakan bersama keluarga mereka.

Perkawinan
Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah upacara yang dilakukan
setelah selesainya akad nikah. adapun tahap-tahap upacara tersebut adalah sebagai
berikut: upacara sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung
(berkumpul), ngampar (berhamparan), dan diakhiri dengan munjungan.
Upacara sawer dilakukan selesai akad nikah, pasangan pengantin dibawa ketempat
panyaweran, tepat di muka pintu. mereka dipayungi dan tukang sawer berdiri di hadapan
kedua pengantin. panyawer mengucapkan ijab kabul, dilanjutkan dengan melantunkan
syair sawer. ketika melantunkan syair sawer, penyawer menyelinginya dengan
menaburkan beras, irisan kunir, dan uang logam ke arah pengantin. Anak-anak yang
bergerombol di belakang pengantin saling berebut memungut uang sawer. isi syair sawer
berupa nasihat kepada pasangan pengantin baru.
Usai upacara sawer dilanjutkan dengan upacara nincak endog. endog (telur) disimpan di
atas golodog dan mempelai laki-laki menginjaknya. Kemudian mempelai perempuan
mencuci kaki mempelai laki-laki dengan air kendi. Setelah itu mempelai perempuan
masuk ke dalam rumah, sedangkan mempelai laki-laki berdiri di muka pintu untuk
melaksanakan upacara buka pintu. Dalam upacara buka pintu terjadi tanya jawab antara
kedua mempelai yang diwakili oleh masing-masing pendampingnya dengan cara
dilagukan. Sebagai pembuka mempelai laki-laki mengucapkan salam
'Assalammu'alaikum Wr. Wb.' yang kemudian dijawab oleh mempelai perempuan
'Wassalamu'alaikum Wr. Wb.' setelah tanya jawab selesai pintu pun dibuka dan selesailah
upacara buka pintu.
Setelah upacara buka pintu dilaksanakan, dilanjutkan dengan upacara ngampar, dan
munjungan. Ketiga upacara terakhir ini hanya ada di masyarakat Kampung Naga.
Upacara riungan adalah upacara yang hanya dihadiri oleh orang tua kedua mempelai,
kerabat dekat, sesepuh, dan kuncen. Adapun kedua mempelai duduk berhadapan, setelah
semua peserta hadir, kasur yang akan dipakai pengantin diletakan di depan kuncen.
Kuncen mengucapakan kata-kata pembukaan dilanjutkan dengan pembacaan doa sambil
membakar kemenyan. Kasur kemudian di angkat oleh beberapa orang tepat diatas asap
kemenyan.
Usai acara tersebut dilanjutkan dengan acara munjungan. kedua mempelai bersujud
sungkem kepada kedua orang tua mereka, sesepuh, kerabat dekat, dan kuncen.
Akhirnya selesailah rangkaian upacara perkawinan di atas. Sebagai ungkapan rasa terima
kasih kepada para undangan, tuan rumah membagikan makanan kepada mereka. Masingmasing mendapatkan boboko (bakul) yang berisi nasi dengan lauk pauknya dan rigen
yang berisi opak, wajit, ranginang, dan pisang.
Beberapa hari setelah perkawinan, kedua mempelai wajib berkunjung kepada saudarasaudaranya, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Maksudnya untuk
menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan mereka selama acara perkawinan yang

telah lalu. Biasanya sambil berkunjung kedua mempelai membawa nasi dengan lauk
pauknya. Usai beramah tamah, ketika kedua mempelai berpamitan akan pulang, maka
pihak keluarga yang dikunjungi memberikan hadiah seperti peralatan untuk keperluan
rumah tangga mereka.

KAMPUNG PULO

Kampung Pulo
Ti Wikipdia, nsiklopdia bbas basa Sunda
Luncat ka: pituduh, sungsi
Kampung Pulo ngarupakeun ngaran hiji kampung adat leutik di wewengkon Dsa
Cangkuang, Kacamatan Lls, Garut.
Kampung Pulo, numutkeun kapercayaan masarakatna, dimimitian ku hiji tokoh nu
disebut Arif Muhammad (kuburanana aya gigireun Candi Cangkuang), nu nyebarkeun
agama Islam di wewengkon ta. Arif Muhammad, minantu Sultan Sumenep, Madura, th
tadina anggota perjurit Mataram jaman Sultan Agung nu milu ngarurug Batavia abad ka17. Alatan seranganana gagal, perjurit Mataram th kalabur ka mana ba, Nya kitu og
Arif Muhammad, nu lajeng bubuara sarta ngajarkeun Islam di wewengkon Cangkuang.

Pamali
Aya lima pamali nu diterapkeun di masarakat Kampung Pulo:
teu meunang miara sato
ingon nu sukuna opat; Arif
Muhammad teu resep kana
sato ingon nu beuki
dangdaunan
teu meunang digaw dina po
rebo; po ieu th hususon
Arif Muhammad ngajarkeun
Islam, sahingga masarakat
teu digaraw
teu meunang nabeuh goong
atawa gamelan; putrana anu
pameget pupus dina kariaan sunatan anu nabeuh gamelan
imah kudu mak hateup injuk sarta bentukna prisma
teu meunang aya leuwih ti genep kulawarga (genep suhunan imah jeung hiji
masjid); baheula Arif Muhammad gaduh putra istri genep, putra pamegetna pupus
nalika anom knh.

KAMPUNG CIPTA GELAR


Masyarakat
kasepuhan* Banten
Kidul adalah
masyarakat agraris
yang mendiami
kawasan Taman
Nasional Gunung
Halimun yang
tersebar meliputi 3
kabupaten yaitu
kabupaten Lebak,
Kabupaten Bogor dan
Kabupaten Sukabumi.
*Kasepuhan dalam
bahasa sunda adalah
kata yang mengacu pada golongan masyarakat yang masih bertingkah laku sesuai adat
istiadat lama.
Mereka tinggal di daerah ketinggian dengan populasi penduduk kurang lebih 30.000 jiwa
dan menempati 569 kampung kecil yang termasuk kedalam 360 kampung besar.
Kasepuhan memiliki keterikatan sejarah dengan salah satu kerajaan Sunda dengan
rajanya Prabu Siliwangi itu, Kasepuhan Banten Kidul kini telah berumur 640 [1368
2008], dengan pusat pemerintahan adatnya sekarang berada di kampung gede Ciptagelar,
Cikarancang, Cicemet, Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi.
Nama pemimpin adat [sesepuh girang ] adalah Abah Ugi, yang memulai memegang
tampuk kepemimpinan sejak tahun 2007 di usia 23 tahun, sepeninggal ayahanda nya
yang kita kenal dengan Abah Anom
Profil Kampung Gede
Kampung Gede Ciptagelar berada pada posisi koordinat S 06 47` 10,4`` ; BT 106 29`
52, di ketinggian 1200 mdpl dengan jumlah populasi masyarakatnya 250 jiwa dalam 60
kepala keluarga.
Terletak di bawah Gunung Halimun yang merupakan bagian dari kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun dan gunung Salak. Halimun atau kabut sebagai sebutan
kawasan itu karena setiap harinya tiap pukul 16.00 biasanya kabut menyelimuti area itu.
Tempat baru ini berjarak 9km dari Ciptarasa kearah utara memasuki hutan TNGH
Halimun dengan jalanan menanjak dan menurun yang hanya dapat dilewati oleh

kendaraan roda2.
Akses masuk ke wilayah ini dari
Timur Parung Kuda dengan mobil Off road,
Selatan Pelabuhan Ratu dengan mobil dan motor,
Barat Sirnaresmi, cicadas dengan mobil off road.
Banten,Lebak, ikotok, Cisungsang
Utara Leuwi Liang, Nanggung, Cisangku, PTP Nirmala
Ciptagelar adalah nama kampung gede yang baru ditempati sejak April 2001 sebagai
pusat pemerintahan Sesepuh Girang Kasepuhan Banten Kidul, sebelumnya, pusat
pemerintahan berada di kampung Ciptarasa, Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak,
kabupaten Sukabumi. Ciptarasa sekarang terdiri dari 2 RT dan 1 RW berada di
dipunggung Gunung Sangiang dan Gunung Bodas, di ketinggian 750mdpl.
Kampung Ciptarasa sendiri didirikan oleh Abah Anom yang merupakan pindahan dari
kampung Linggar Jati Cisarua yang berjarak 350m dibawahnya.
Kampung Ciptarasa ini mudah dijangkau dari pelabuhan Ratu dengan kendaraan roda 4
hingga halaman Imah Gede. Setelah menetap selama 17 tahun, kampung Gede berpindah
kembali ketempat baru berdasarkan wangsit yang diterima Abah dan harus dilaksanakan
oleh sesepuh girang dan baris kolot.

You might also like