You are on page 1of 27

PENGEMBANGAN METODE PENGUJIAN DAN STANDAR MUTU BENIH DAN

BIBIT TANAMAN HUTAN


Oleh :
Dede J. Sudrajat dan Nurhasybi
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor

ABSTRAK
Pengendalian peredaran benih dan bibit tanaman hutan di Indonesia dilakukan melalui
skema sertifikasi. Salah satu perangkat sertifikasi tersebut adalah standar mutu benih dan bibit
yang hingga saat ini masih belum optimal baik dari akurasi parameter maupun jumlah jenis yang
distandarkan. Balai Penelitian Perbenihan Tanaman Hutan telah melakukan penelitian standar
pengujian dan mutu benih tanaman hutan untuk 26 jenis, sedangkan untuk standar mutu bibit
masih dalam tahap kajian. Selain itu, kerjasama pembuatan standar mutu benih dan bibit dengan
institusi operasional (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan dan Balai Perbenihan Tanaman
Hutan) mulai dirancang sehingga standar yang dihasilkan dapat langsung diterapkan. Beberapa
hasil telah diperoleh sebagai data awal yang juga dapat digunakan sebagai standar mutu bibit
yang bersifat crash program sebelum standar hasil pengujian diperoleh.
Kata kunci : Benih, bibit, mutu, sertifikasi, standar, tanaman hutan

I. PENDAHULUAN
Pengadaan benih dan bibit bermutu merupakan upaya penting untuk mendukung
keberhasilan pembangunan hutan. Mulai tingginya peredaran benih dan bibit secara
komersial memerlukan suatu sistem untuk pengendaliannya. Di Indonesia dan beberapa
negara berkembang lainnya, pengendalian mutu benih dan bibit dilakukan melalui sistem
sertifikasi mutu yang diatur dalam bentuk peraturan yang dikeluarkan pemerintah (Sadjad,
1997; Kartiko, 2002; Van der Meer, 2002; Van Gastel et al., 2002; Louwaars, 2005).
Dalam Permenhut No. P.01/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan
Tanaman Hutan, pasal 47 menyatakan Setiap benih atau bibit yang beredar harus jelas
kualitasnya yang dibuktikan dengan: a. sertifikat mutu untuk benih atau bibit yang berasal
dari sumber benih bersertifikat; atau b. surat keterangan pengujian untuk benih dan/atau
bibit yang tidak berasal dari sumber benih bersertifikat. Secara operasional, sertifikasi
mutu benih dan bibit tersebut memerlukan perangkat berupa standar uji dan standar mutu
benih dan bibit.
Benih bermutu merupakan perpaduan dari tingginya mutu genetik, fisik dan
fisiologik. Mutu genetik menunjukkan tingkat kemurnian varietas yang dihasilkan dari
kinerja pemuliaan pohon (tree improvement) (Barner and Ditlevsen, 1988) dan tingkat
kelas sumber benih sebagai hasil kegiatan pemuliaan pohon (Permenhut No. P.72/
Menhut-II/2009). Mutu genetik juga didefinisikan sebagai tingkat keterwakilan keragaman
genetik suatu sumber benih (IFSP, 2000). Mutu fisik adalah hasil kinerja fisik seperti
kebersihan, kesegaran butiran serta utuhnya kulit benih, dan mutu fisiologis menunjukkan
kemampuan benih untuk tumbuh atau disimpan lama. Secara singkat, mutu fisik dan
fisiologis menunjukkan kinerja pengadaan benih (seed procurement) (Barner dan
Ditlevsen, 1988). Untuk mendapatkan benih bermutu tinggi, benih harus diperoleh dari
sumber benih yang telah ditetapkan dan ditangani dengan prosedur yang benar (Schmitd,
2002). Ketersediaan benih bermutu tentunya akan mempermudah penyediaan bibit
bermutu.
Bibit bermutu merupakan bibit yang mampu beradaptasi dan tumbuh baik ketika
ditanam pada suatu tapak yang sesuai dengan karakteristik jenisnya (Mattson, 1996;
Wilson dan Jacobs, 2005). Permasalahan standar mutu bibit di lapangan di antaranya
adalah standar yang berlaku belum mencerminkan kemampuan bibit tumbuh setelah
56

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

tanam, terbatasnya jenis yang distandarkan, dan belum adanya pedoman kesesuaian
sumber benih asal bibit dengan lokasi penanaman. Standar yang berlaku didasarkan
pada morfologi bibit siap tanam dan kurang didukung oleh data hasil uji penanaman
(Nurhasybi et al., 2007). Kurang optimalnya persyaratan mutu bibit tanaman hutan untuk
kegiatan penanaman dapat dilihat dari keberhasilan Gerakan Rehabilitasi Lahan Nasional
(Gerhan) yang sangat bervariasi. Sebagai contoh menurut Darwo (2006), tingkat
keberhasilan Gerhan di daerah tangkapan air Danau Toba sangat beragam dengan
kisaran 5-85%.
Tulisan ini memberikan informasi kondisi pengembangan standar mutu benih dan
bibit dan penerapannya dalam rangka meningkatkan keberhasilan rehabilitasi lahan dan
hutan di Indonesia. Informasi ini diharapkan mampu menjadi acuan bagi perbaikan
standar mutu benih dan bibit di masa depan baik dari aspek kesesuaian standar maupun
jumlah jenis yang distandarkan dan juga menjadi referensi awal bagi pengguna mengenai
standar mutu benih dan bibit tanaman hutan. Standar mutu benih dan bibit yang tepat dan
aplikatif diyakini mampu meningkatkan keberhasilan program penanaman baik dalam
rangka rehabilitasi lahan maupun pembangunan hutan tanaman dan hutan rakyat.

II. STANDAR PENGUJIAN MUTU BENIH TANAMAN HUTAN


A. Pengembangan Standar Metode Pengujian Mutu Fisik dan Fisiologis Benih
Metode Pengujian mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan yang
dikembangkan Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor meliputi metode pengujian
kadar air, kemurnian benih, berat 1000 butir dan daya berkecambah (BTP, 2000).
Pengembangan metode pengujian mutu benih tersebut mengacu pada ketentuan ISTA
(2006). Beberapa modifikasi pengujian mutu benih telah dilakukan, yaitu melalui
penyesuaian yang metode tahapan disesuaikan dengan karakteristik/ watak benih
tanaman hutan yang ada di Indonesia. Hingga tahun 2009, sebanyak 26 jenis benih
tanaman hutan telah disusun standar pengujian mutu fisik-fisiologisnya (Sudrajat et al,
2009). Parameter utama yang ditentukan untuk pengujian mutu benih tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Metode penentuan kadar air benih
Penentuan standar pengujian kadar air benih dilakukan dengan menganalisis
hasil simulasi pengujian dengan menggunakan metode oven suhu 103 2 C dan 130
+ 3 C dengan lama pengeringan berbeda-beda. Faktor lainnya yang dianalisis adalah
teknik persiapan benih sebelum dioven. Simulasi pengujian kadar air ini dilakukan
dengan melibatkan sekurang-kurangnya 3 kelompok benih dari berbagai sebaran
tumbuh sehingga trend metode terbaik dapat diperoleh. Contoh kerja yang digunakan
adalah 5 g untuk benih berukuran diameter kurang dari 8 cm dan 10 g untuk benih
yang berdiameter lebih dari 8 cm dan diulang 2 kali. Kadar air benih dihitung dengan
rumus:

Hal yang perlu diperhatikan adalah penyiapan benih sebelum dioven. Beberapa benih
memerlukan perlakuan pembelahan (cutting) atau penggilingan (grinding) sebelum
dioven (Tabel 1 dan 2). Daftar jenis dengan metode pengovenan suhu 103 2 C dan
130 + 3 C dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

57

Tabel 1. Jenis yang harus digiling sebelum dioven


Aleurites moluccana
Maesopsis emenii
Manilkara kauki

Schleicera oleosa
Styrax benzoin
Tectona grandis

Tabel 2. Jenis yang harus dipotong sebelum dioven (jumlah benih kurang dari 5000 butir/kg)
Aleurites moluccana
Calophylum inophylum

Intsia bijuga
Sterculia foetida

Tabel 3. Jenis yang menggunakan metode oven 103 2 C


Eucalyptus urophylla
Hibiscus macrophyllus
Maesopsis emenii
Melia azedarach
Paraserianthes falcataria
Pinus merkusii
Styrax benzoin
Swietenia macrophylla
Toona sureni
Tectona grandis

Acacia mangium
Acacia crassicarpa
Acacia auriculiformis
Albizia procera
Aleurites moluccana
Alstonia scholaris
Calliandra calorthyrsys
Dalbergia latifolia
Duabanga moluccana
Eucalyptus deglupta

Tabel 4. Jenis yang menggunakan metode oven 130 3 C


Calamus manan
Manilkara kauki
Schleicera oleosa

Styrax benzoin
Tectona grandis

2. Metode penentuan kemurnian benih


Penentuan kemurnian benih mengacu pada ketentuan ISTA (2006). Contoh
kerja untuk kemurnian benih umumnya setara dengan 2500 butir benih. Komponen
benih dibagi dalam 3 bagian, yaitu benih murni (pure seed), benih lain (other seeds),
dan kotoran (inert matter). Setiap komponen ditimbang. Penghitungan kemurnian
benih dilakukan dengan menghitung berat setiap komponen (tidak menggunakan
berat awal contoh kerja) dengan rumus sebagai berikut :
Kemurnian (%) = 100 Benih lain Kotoran
dimana :

Permasalahan dalam penentuan kemurnian benih adalah belum adanya definisi


benih murni yang jelas (baku) untuk setiap jenis. Hal ini penting untuk
menyeragamkan penentuan kemurnian benih antar instansi yang berwenang untuk
melakukan pengujian mutu benih.
3. Metode penentuan berat 1000 butir benih
Berat 1000 butir dihitung berdasarkan berat 100 butir benih murni dengan 8
ulangan secara terpisah. Berat 1000 butir diperoleh dengan menghitung rata-rata
berat 100 butir benih dan kalikan dengan 10.
Koefisien variasi dari hasil perhitungan tersebut harus lebih rendah dari 4,0. Jika
koefisien variasi lebih dari 4,0, maka penghitungan dilakukan dengan menambah 8

58

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

ulangan lainnya dan menghitung koefisien variasi dari 16 ulangan, jika masih lebih
besar, maka dua ulangan yang nilainya lebih dari 2 kali standar deviasi dihilangkan.
4. Metode Penentuan daya berkecambah benih
Untuk menentukan standar pengujian, beberapa kelompok benih yang mewakili
sebaran ekologinya dikumpulkan (minimal 3 kelompok benih). Kelompok benih
tersebut diuji perkecambahannya dengan beberapa metode perkecambahan terbaik
berdasarkan beberapa literatur, yang meliputi media, perlakuan pendahuluan, dan
kondisi lingkungan. Contoh uji perkecambahan dibuat dari contoh kerja. Contoh uji
dari satu kelompok benih untuk setiap perlakuan berjumlah 4 ulangan masing-masing
100 butir atau 50 butir untuk benih-benih berukuran besar. Pengujian dilakukan di
germinator dengan media kertas merang dan rumah kaca dengan media pasir,
campuran pasir dan tanah (1:1 v/v), atau media lainnya. Simulasi tersebut akan
menghasilkan trend metode perkecambahan optimal yang dapat diterapkan untuk
menguji kelompok-kelompok benih jenis tersebut dari sebaran tumbuh yang berbedabeda.
5. Uji Tetrazolium
Uji cepat viabilitas benih yang dikembangkan dan mulai diadopsi di beberapa
institusi pengujian benih tanaman hutan adalah uji tetrazolium. Pembuatan larutan
tetrazolium dilakukan dengan cara sebagai berikut : Larutan I : Larutkan 9,078 gram
KH2PO4 dalam aquades 1000 ml, larutan II : larutkan 11,876 gram Na2HPO4.2H2O
dalam aquades 1000 ml, larutan penyangga : campurkan 400 ml larutan I dengan 600
ml larutan II (2 : 3). Larutan tetrazolium 1% : masukkan 10 gram garam tetrazolium
(2,3,5 triphenil tetrazolium chlorida) kedalam 1000 ml larutan penyangga. Larutan
tetrazolium 0,5% : masukkan 5 gram garam tetrazolium (2,3,5 triphenil tetrazolium
chlorida) ke dalam 1000 ml larutan penyangga. Larutan Tetrazolium harus dihindarkan
dari cahaya langsung, yaitu dengan cara menempatkan larutan tersebut ke dalam
gelas piala yang telah dilapisi aluminium foil. Pengkondisian uji Tz dilakukan dengan
cara membuka kulit benih dan dilembabkan di atas kertas merang. Setelah
pengkondisian, benih dipotong menjadi dua bagian dan bagian yang mengandung titik
tumbuh digunakan sebagai bahan pengujian. Benih dimasukkan ke dalam gelas piala
yang telah berisi larutan Tetrazolium. Gelas piala yang telah berisi larutan benih tadi
dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 40o C. Setelah perendaman, benih dibilas
dengan aquades selama 1 - 2 menit, selanjutnya dikeringkan di atas kertas merang
dan diamati kualitas pewarnaannya. Kualitas pewarnaan yang baik adalah gambar
terlihat kontras dalam membedakan warna putih, merah muda dan merah (Zanzibar et
al, 2003ab).
Pengembangan metode uji tetrazolium dilakukan terhadap jenis-jenis tanaman
hutan dengan simulasi untuk menentukan beberapa tahap perkerjaan pengujian.
Tahapan yang ditentukan melalui beberapa penelitian tersebut adalah penentuan
dosis larutan Tz yang optimal untuk memperoleh pola perwarnaan maksimal, cara
pengkondisian, lama inkubasi, dan kriteria benih viable. Hasil-hasil penelitian tersebut
dirangkum dalam Lampiran 2.
B. Pengembangan Standar Mutu Benih Layak Edar
Beberapa jenis tanaman hutan telah distandarkan mutu benihnya dalam bentuk
Perdirjen No. P.06/V-Set/2009 dan SNI Standar Mutu Benih Tanaman Hutan. Namun,
sesuai dengan kemajuan teknologi, baik pada taraf penelitian maupun penerapannya di
lapangan, serta kebutuhan stakeholder perbenihan di lapangan tentunya upaya
penyempurnaan dan penambahan jenis dalam standar tersebut perlu dilakukan. Dengan
demikian benih tanaman yang dikomersialkan dapat dijamin dan diperbaiki mutunya
melalui sistem sertifikasi tersebut.

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

59

Beberapa tahapan kegiatan untuk pembuatan dan penyempurnaan standar mutu


benih layak edar adalah sebagai berikut (Sudrajat et al., 2009b) :
1. Pengumpulan data hasil pengujian BPTP dan BPTH di Indonesia. Data yang
dikumpulkan merupakan data hasil pengujian dalam rangka sertifikasi mutu benih di 6
BPTH dan hasil penelitian di BPTP Bogor.
2. Kerjasama tukar-menukar benih dan pengujian antar BPTH dan BPTP Bogor.
Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih mewakili hasil-hasil uji
mutu benih dan sekaligus sebagai saling koreksi terhadap metode yang dilakukan di
setiap institusi.
3. Penyusunan standar mutu benih layak edar. Standar tersebut disusun berdasarkan
kurva sebaran normal dan selang penduga dari masing-masing hasil uji yang meliputi
kadar air, kemurnian, berat 1000 butir, dan daya berkecambah benih (Lampiran 3).
C. Revisi Perdirjen No. P.06/V-Set/2009 dan SNI tentang Pengujian dan Mutu Benih
Untuk memperbaiki standar pengujian dan mutu fisik fisiologis secara operasional
maka dipandang perlu untuk merevisi sebagian dari peraturan yang mengatur standar
pengujian dan mutu benih tanaman hutan. Beberapa hal yang dapat dijadikan bahan
revisi Perdirjen atau SNI adalah sebagai berikut :
1. Penentuan contoh kirim dan contoh kerja.
2. Metode pengujian kadar air, terutama persiapan benih dalam pengujian kadar air
benih.
3. Metode pengujian kemurnian benih, terutama menentukan definisi benih murni dalam
pengujian kemurnian benih.
4. Metode pengujian perkecambahan, terutama rekomendasi untuk uji perkecambahan.

III. STANDAR MUTU BIBIT TANAMAN HUTAN


A. Standar Mutu Bibit Operasional
Hingga saat ini penilaian bibit tanaman hutan secara operasional mengacu pada
Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Perdirjen RLPS)
No. P.05/V-Set/2009 tentang Pedoman Sertifikasi Mutu Bibit Tanaman Hutan. Dalam
peraturan tersebut, bibit berkualitas adalah bibit yang memenuhi standar mutu, baik mutu
genetik dan mutu fisik-fisiologis. Mutu genetik didasarkan pada kelas sumber benihnya
sedangkan mutu fisik-fisiologi didasarkan pada kesehatan, batang berkayu, diameter
batang, tinggi, kekompakan media, jumlah daun/live crown ratio dan umur. Selain
ketentuan tersebut, standar mutu bibit juga dikeluarkan oleh BSN dalam bentuk Standar
Nasional Indonesia (SNI) yang bersifat volunteer namun subtansinya tidak berbeda
dengan Perdirjen RLPS No. P.05/V-Set/2009.
Pada Perdirjen RLPS No. P.05/V-Set/2009 jenis yang tercantum dalam standar
tersebut sebanyak 13 jenis yang dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu jenis cepat
tumbuh (Acacia spp., Eucalyptus spp., Anthocephalus spp., Gmelina arborea, dan
Paraserianthes falcataria) dan jenis lambat tumbuh (Altingia excelsa, Tectona grandis,
Shorea spp., Swietenia spp., Pinus spp.). Sementara pada SNI mutu bibit baru memuat 7
jenis, yaitu Acacia mangium, Eucalyptus urophylla, Gmelina arborea, Paraserianthes
falcataria, Pinus merkusii, Shorea sp. (meranti) dan Shorea stenoptera (tengkawang)
(Badan Standardisasi Nasional, 2005).
Dalam pelaksanaannya Perdirjen RLPS No. P.05/V-Set/2009 menjadi acuan BPTH
dan lembaga sertifikasi lainnya yang ditunjuk dalam penentuan mutu bibit. Persyaratan
mutu bibit dalam standar tersebut di bagi menjadi syarat umum dan syarat khusus, yaitu :
1. Syarat umum meliputi :
a. Bibit berbatang tunggal dan lurus
b. Bibit sehat: terbebas dari serangan hama penyakit dan warna daun normal
(tidak menunjukkan kekurangan nutrisi dan tidak mati pucuk)
60

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

c. Batang bibit berkayu, diukur dari pangkal batang sampai dengan setinggi 50%
dari tinggi bibit.
2. Syarat khusus meliputi:
a. Tinggi bibit, yang diukur mulai dari pangkal batang sampai pada titik tumbuh
teratas
b. Diameter batang bibit, yang diukur pada pangkal batang
c. Kekompakan media, yang ditetapkan dengan cara mengangkat satu persatu dari
beberapa jumlah contoh bibit.
d. Kekompakan media dibedakan ada 4 yaitu utuh, retak, patah, lepas
e. Jumlah daun sesuai dengan jenisnya sedangkan untuk jenis tanaman yang
berdaun banyak seperti Pinus sp., Paraserianthes sp., parameter yang digunakan
adalah Live Crown Ratio (LCR). LCR adalah nilai perbandingan tinggi tajuk dan
tinggi bibit dalam prosen. Umur sesuai dengan jenisnya.
Standar persyaratan khusus mutu bibit untuk beberapa jenis tanaman hutan
tersebut tertulis pada Tabel 5.
Tabel 5. Persyaratan khusus bibit beberapa jenis tanaman berdasarkan Perdirjen RLPS No.
P.05/V-Set/2009
No

Jenis

Kelompok jenis cepat tumbuh


1.
Benuang bini (Octomeles sp.)
2.
Jabon (Anthocephalus sp.)
3.
Acacia crassicarpa
4.
Acacia mangium
5.
Eucalyptus pellita
6.
Gmelina arborea
7.
Paraserianthes falcataria
Kelompok jenis lambat tumbuh
1.
Jati (Tectona grandis)
2.
Ulin (Eusideroxylon sp.)
3.
Damar (Agathis sp.)
4.
Shorea spp.
5.
Shorea stenoptera
6.
Pinus merkusii

Diameter
(mm)

Tinggi
(cm)

Kriteria
Kekompakan
Media

Jumlah
Daun/LCR

Umur
(bln)

>7
>7
>2
>2
>2
>4
>4

> 25
> 40
> 20
> 20
> 20
> 30
> 30

Utuh
Utuh
Utuh
Utuh
Utuh
Utuh
Utuh

> 3 pasang
> 4 pasang
> 3 pasang
> 3 pasang
> 3 pasang
> 3 pasang
LCR > 30 %

56
23
36
36
36
34
46

>3
>6
>6
>5
>6
>4

>20
> 40
> 30
> 40
> 50
> 30

Utuh
Utuh
Utuh
Utuh
Utuh
Utuh

> 3 pasang
> 4 pasang
> 4 pasang
> 4 pasang
> 4 pasang
LCR > 30 %

36
12 24
18 24
6 10
46
10 12

Untuk keperluan intern, beberapa perusahaan menerapkan standar mutu bibit siap
tanam sendiri, seperti Perum Perhutani yang menetapkan kriteria bibit siap tanam untuk
jenis jati baik yang dibiakkan secara generatif maupun vegetatif (stek) sebagai berikut
(Puslitbang Perum Perhutani, 2007ab) :
1. Pertumbuhan normal,
2. Tinggi bibit 20-30 cm,
3. Batang lurus, berkayu (1/3 dari tinggi), kokoh,
4. Daun tidak terlalu lebar, berwarna hijau, sedikit kuning,
5. Tidak terserang hama dan penyakit,
6. Perakaran banyak dan membentuk gumpalan yang kompak dengan media.
Dalam pelaksanaannya, selain terbatasnya sumber benih yang ada, kriteria mutu
bibit juga masih diragukan karena sebagian besar parameternya merupakan parameter
fisik/morfologi yang belum diuji melalui uji penanaman (Nurhasybi et al, 2007). Sementara
itu, kondisi morfologi bibit tidak selalu mencerminkan kemampuan tumbuh dan
beradaptasi bibit setelah penanaman (Hawkins, 1996).
Dari segi ketersediaan jenis, jumlah jenis bibit yang diuji pun jauh lebih banyak dari
pada standar yang tersedia (75 jenis yang diuji, sedangkan standar yang berlaku secara
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

61

operasional hanya 13 jenis). Hal tersebut mengindikasikan banyak jenis tanaman hutan
yang diuji dengan standar yang tidak jelas. Dengan demikian perlu ada program yang
terencana baik untuk menyediakan perangkat (standar mutu) dalam rangka sertifikasi
mutu benih baik yang bersifat crash program maupun jangka panjang melalui uji
penanaman.
B. Pengembangan Standar Mutu Bibit Sementara
Beragamnya jenis yang diuji ( 75 jenis) sedangkan pedoman pengujian (standar)
mutu bibit hanya memuat 13 jenis tanaman hutan memerlukan ketersediaan standar yang
mampu mengakomodir permintaan konsumen (pengada dan pengedar bibit). Dalam
jangka pendek, (crash program) standar mutu bibit yang dikembangkan hanya
berdasarkan kondisi morfologi bibit siap tanam di beberapa persemaian dan kompilasi
data hasil pengujian mutu bibit periode 2006-2009. Data yang terkumpul sebanyak 1289
hasil pengujian/kelompok bibit ( 75 jenis) yang mewakili berbagai tipe persemaian di
seluruh Indonesia (Sudrajat et al, 2009a)
Tabel 6. Jumlah pengujian dan persentase jenis yang diuji oleh BPTH di seluruh Indonesia
periode 2006 2009
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.

Jenis

Jumlah pengujian

Jati (Tectona grandis)


Mahoni (Swietenia macrophylla)
Sengon (Paraserianthes falcataria)
Gaharu (Aquilaria malaccensis)
Meranti (Shorea sp.)
Bakau (Rhizophora sp.)
Suren (Toona sp.)
Jelutung (Dyera sp.)
Balangeran (Shorea balangeran)
Sungkai (Peronema canescens)
Tengkawang (Shorea stenoptera)
Jati putih (Gmelina arborea)
Kapur (Dryobalanops sp.)
Manglid (Manglieta glauca)
Mindi (Melia azedarach)
Pulai (Alstonia scholaris)
Jenis-jenis lainnya yang persentase pengujian
kurang dari 1%

347
235
101
67
59
40
36
29
28
27
26
24
21
17
14
14
170

Persentase jenis
(%)
26,92
18,23
7,84
5,19
4,57
3,10
2,79
2,25
2,17
2,09
2,02
1,86
1,63
1,31
1,08
1,08
13,17

Hasil analisis dengan menggunakan standar deviasi dan selang penduga kisaran
syarat khusus mutu bibit yang meliputi tinggi, diameter, jumlah daun atau LCR, umur dan
kekokohan bibit diperoleh data yang dapat dilihat pada Lampiran 4 (Sudrajat et al, 2009).
Hasil tersebut dapat digunakan untuk menguji mutu bibit siap tanam yang bersifat
sementara sebelum satandar hasil uji lapang (penanaman) diperoleh.
C. Pengembangan Standar Mutu Bibit Hasil Uji Lapang
Mutu bibit merupakan ekspresi yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan
bibit untuk beradaptasi dan tumbuh setelah penanaman (Mattson, 1996; Wilson dan
Jacobs, 2005). Mutu bibit juga didefinisikan sebagai sesuatu yang sesuai dengan tujuan
(fitness for purpose) yang mencerminkan berbagai parameter yang menentukan bibit
dapat beradaptasi dan tumbuh setelah ditanam di lapangan (Pattonen, 1985; Mattson,
1996; Wilson dan Jacobs, 2005). Kriteria mutu bibit sangat terkait dengan jenis dan
lingkungan tempat tumbuhnya (ekologi), sehingga tidak dapat diadopsi secara langsung
dari berbagai jenis yang berbeda atau dari berbagai wilayah yang lain. Pengertian yang

62

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

mendasar dalam memformulasikan suatu standar mutu bibit adalah mutu bibit bukan
merupakan parameter yang kaku tetapi suatu yang dinamis dan merefleksikan semua
aspek dari lingkungan tempat tumbuh, perubahan musim, dan variasi perlakuan tanaman
(Hawkins, 1996).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa parameter morfologi yang mempunyai
korelasi positif dengan daya adaptasi dan pertumbuhan bibit di lapangan adalah diameter
batang (Blair dan Cech, 1974; Sluder, 1979; White, 1979; South et al., 1989; Dey dan
Parker, 1997; South dan Mitchell, 1999). Diameter berkorelasi baik dengan ukuran dan
perkembangan akar (Rose et al., 1997). Namun ada pula penelitian yang menyatakan
bahwa diameter atau tinggi bibit yang lebih kecil mempunyai daya adaptasi dan
pertumbuhan yang lebih baik khususnya pada kondisi tapak spesifik seperti pegunungan
atau lokasi-lokasi spesifik lainnya (Allen, 1953; Venator, 1983; Jurasek et al., 2009).
Untuk jenis-jenis daun lebar (daerah tropis), penelitian mutu bibit dalam hubungannya
dengan keberhasilan penanaman masih sangat kurang dibandingkan bibit jenis-jenis
daun jarum (Wilson dan Jacobs, 2005). Omon (2008) melaporkan bahwa kriteria mutu
bibit meranti (Shorea leprosula, S. parvifolia, dan S. johorensis) yang baik berdasarkan
hasil uji penanaman di 3 lokasi di Kalimantan adalah tinggi 60-65 cm, diameter 5,0-8,0
mm dan nilai kekokohan 6,3 10,8. Kriteria ini dilihat dari parameter tingginya lebih tinggi
dari persyaratan dalam Perdirjen No. P.05/V-Set/2009 dan kondisi umum bibit di tingkat
penangkar. Untuk itu, perlu adanya uji-uji lapang lainnya untuk menentukan standar yang
ideal untuk jenis-jenis tertentu yang menjadi prioritas.
Untuk ke depannya, penelitian standar mutu bibit ini akan masuk dalam rencana
Penelitian Integratif Unggulan (PIU) yang akan dilakukan BPTP Bogor dengan
bekerjasama dengan institusi lainnya. Selain itu, untuk meningkatkan mutu bibit dari
penangkar/perusahaan pengada bibit perlu juga dikembangkan program pengendalian
mutu internal (in-house quality control programs) seperti yang telah dilakukan oleh
Pusbanghut Perum Perhutani Cepu dan beberapa perusahaan HPHTI. Dengan demikian,
pengembangan standar juga perlu didukung dengan penyusunan standard an prosedur
pembuatan bibit untuk jenis-jenis tanaman hutan tersebut.

IV. PENUTUP
Pengembangan metode pengujian dan standar mutu benih sudah menghasilkan 26
jenis tanaman hutan yang dapat digunakan untuk penyempurnaan pedoman operasional
maupun SNI. Penyusunan metode pengujian dan standar mutu tersebut terus berlanjut
dengan bekerjasama dengan institusi perbenihan operasional seperti Direktorat
Perbenihan Tanaman Hutan dan Balai Perbenihan Tanaman Hutan. Untuk standar mutu
bibit, pengembangannya masih banyak yang harus dilakukan terutama pengujian lapang
sehingga standar yang diperoleh mampu menggambarkan kemampuan bibit beradaptasi
dan tumbuh baik setelah ditanam di lapangan.
Dukungan perangkat untuk sertifikasi mutu benih dan bibit tanaman hutan harus
terus ditingkatkan. Penyempurnaan metode uji dan standar mutu baik untuk benih
maupun bibit tanaman hutan perlu mendapatkan perhatian dan dukungan dari berbagai
pihak. Koordinasi antar institusi perbenihan harus terus ditingkatkan untuk membangun
kerjasama yang saling menguntungkan dan membuat sesuatu yang lebih besar untuk
meningkatkan keberhasilan pembangunan hutan.

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

63

DAFTAR PUSTAKA
Allen, R.M. 1953. Large Longleaf Seedlings Survive Well. Tree Planters Notes. 14:17-18.
Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2005. Mutu Bibit (Mangium, Ampupu, Gmelina,
Sengon, Tusam, Meranti, dan Tengkawang). Badan Standardisasi Nasional.
Jakarta. 13p.
Balai Teknologi Perbenihan (BTP). 2000. Pedoman Standardisasi Uji Mutu Fisik dan
Fisiologis Benih Tanaman Hutan. Buku I. Publikasi Khusus. Balai Teknologi
Perbenitan. Bogor.
Barner, H. and Ditlevsen. 1988. Strategies and Procedures for an Integrated National
Tree-seed Programe for Seed Procurement, Tree Improvement and Genetic
Resources. Lecture Note A-1. Danida Forest Seed Centre. Denmark.
Blair, R. and F. Cech. 1974. Morphological Seedling Grades Compared after Thirteen
Growing Seasons. Three Planters Notes. 25(1):5-7.
Darwo. 2006. Strategi Peningkatan Program Gerhan (Studi Kasus Gerhan di Daerah
Tangkapan Air Danau Toba). Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Padang, 20
September 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi
Alam. Bogor. Pp 249-258.
Dey, D.C. and W.C. Parker. 1997. Morphological Indicators of Stock Quality and Yield
Performance of Red Oak (Quercus rubra L.) Seedlings Underplanted in a Central
Ontario Shelterwood. New Forests 14:145-156.
Hawkins, B. J. 1996. Planting Stock Quality Assessment. In Yapa, A.C. (ed.). Proc Intl.
Symp. Recent Advances in Tropical Tree Seed Technol. And Planting Stock
Production. ASEAN Forest Tree Seed Centre, Muaklek, Saraburi, Thailand.
Indonesia Forest Seed Project (IFSP). 2000. Pengaruh dari Kegiatan Penanganan Benih
dan Persemaian terhadap Mutu Benih. Bahan Kursus Biologi Benih, 7-18 Februari
di Bogor.
ISTA. 2006. International rules for seed testing: Edition 2006. The International Seed
Testing Association. Bassersdorf. Switzerland.
Jurasek, A., J. Leugner, and J. Martincova. 2009. Effect of Initial Height of Seedlings on
the Growth of Planting Material of Norway Spruce (Picea abies (L.) Karst.) in
Mountain Conditions. Journal of Forest Science. 55(3): 112-118.
Kartiko. H.D.P. 2002. Penanganan Perbenihan untuk Mendukung Pengelolaan Hutan
secara Lestari.
Dalam : Industri Benih di Indonesia. Aspek Penunjang
Pengembangan. Kerjasama Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih. Institut
Pertanian Bogor dengan PT. Sang Hyang Seri. Bogor.
Louwaars, N. 2005. Biases and Bottlenecks, Time to Reform the Souths and Inherited
Seed Laws? Seedling July 2005. University of Wegeningen. Pp 4-9.
Mattson, A. 1996. Predicting Field Performance Using Seedling Quality Assessment. New
Forests. 13:223-248.
Nurhasybi, D.J. Sudrajat, A.A. Pramono. Dan B. Budiman. 2007. Review Status Iptek
Perbenihanan Tanaman Hutan. Publikasi Khusus Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Bogor. Bogor.
Omon, M. 2008. Teknik Kriteria dan Indikator Mutu Bibit Dipterocapaceae. Proseding
Workshop Sintesa Hasil Litbang Hutan Tanaman, Bogor 19 Desember 2008. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.

64

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

Pattonen, P. 1985. Assessment of Seedling Vigor Attributes: Outline for Integration.


University of Helsinki. Farm Forestry, Viikki SF-00710 Helsinki, Finland.
Pusbanghut Perum Perhutani. 2007a. Standar Operasional Prosedur Pembuatan
Persemaian Jati Plus Perhutani. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perum
Perhutani. Cepu. 33p.
Pusbanghut Perum Perhutani. 2007b. Standar Operasional Prosedur Pengelolaan Kebun
Pangkas dan Pembuatan Bibit Stek Pucuk Jati Plus Perhutani. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perum Perhutani. Cepu. 51p.
Rose, R., D.L. Haase, F. Kroiher, and T. Sabin. 1997. Root Volume and Growth of
Ponderosa Pine and Douglas-fir Seedlings. A Summary of eigth growing seasons.
Western Journal of Applied Forestry. 12:69-73.
Sadjad. S. 1997. Membangun Industri Benih dalam Era Agribisnis Indonesia. PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Schmidt, L. 2002. Pedoman penanganan benih tanaman hutan tropis dan sub tropis.
Terjemahan. Kerjasama Direktorat Jenderal Rehabiltasi Lahan dan Perhutanan
Sosial dengan Indonesia Forest Seed Project. Jakarta.
Sluder, E.R. 1979. The Effect of Seed and Seedling Size on Survival and Growth of
Loblolly Pine Seedlings. Tree Planters Notes. 30(4):25-28.
South, D.B. and R.J. Mitchell. 1999. Determining the Optimum Slash Pine Seedling Size
for Use with Four Levels of Vegetation Management on a Flatwoods Site in Georgia,
USA. Canadian Journal of Forest Research 29(7):1039-1046.
South, D.B., J.G. Mexal and J.P. Van Buijtenen. 1989. The Relationship between
Seedling Diameter and Planting and Long Term Growth of Loblolly Pine Seedlings
in East Texas. In Proc. 10th North Am. Forest Biology Workshop, August, 1989.
University of British Columbia, Vancouver, B.C., Canada. Pp192 199.
Sudrajat, D.J. dan Nurhasybi. 2009.
Standardisasi Pengujian Kadar Air dan
Perkecambahan Benih Tanaman Hutan. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah
Standardisasi. Kerjasama Badan Standardisasi Nasional dengan Universitas
Hasanudin Makassar.
Sudrajat, D.J., D. Syamsuwida, Nurhasybi dan B. Budiman. 2009a. Kajian Standar Mutu
Bibit Tanaman Hutan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Bogor.
Sudrajat, D.J., Nurhasybi, D. Iriantono, J. Siswandi, dan C.S. Rustini. 2009b. Laporan
Pembuatan Standar Mutu Bibit. Kelompok Kerja Pembuatan Standar Mutu Benih
dan Bibit Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. Jakarta.
Van Gastel, T.J.G., B.R. Gregg, and E.A. Asiedu. 2002. Seed Quality Control in
Developing Countries. Jurnal of New Seeds. 4(1/2): 65-75.
Venator, C.R. 1983. First-year Survival of Morphologically Graded Loblolly Pine Seedlings
in Central Louisiana. Tree Planters Notes. 34(4):34-36.
White, J.B. 1979. Longleaf Pine Survival Influenced by Seedling Size and Length of
Storage. In W.E. Balmer (Ed.). Longleaf pine workshop. USDA Forest Service
Technical Publication SA-TP3. Mobile, AL. pp 26-29.
Wilson, B.C. and D.F. Jacobs. 2005. Quality Assessment of Hardwood Seedings.
Hardwood Tree Improvement and Regeneration Center, Purdue University. Indiana.

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

65

Zanzibar, M., N. Herdiana. I. Novita, E. R. Kartiana, dan A. Muharam. 2003a. Pedoman


Uji Cepat Viabilitas Benih Tanaman Hutan. Buku I. Balai Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Perbenihan. Bogor.
Zanzibar, M., A. Rohandi, N. Herdiana. S. Mokodompit, E. R. Kartiana, dan A. Muharam.
2003b. Pedoman Uji Cepat Viabilitas Benih Tanaman Hutan. Buku II. Balai
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan. Bogor.

66

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

67

68

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

69

70

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

71

72

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

73

74

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

Lampiran 1. Standar pengujian perkecambahan benih tanaman hutan


Jenis

Metode

Suhu (C);
Kelembaban (%)

Hitungan
awal (hari)

Hitungan
akhir (hari)

Kecambah normal

Acacia aulacocarpa

UDK, UKDdp

24-30; 90-95

14

Acacia crassicarpa

UDK

24-30; 90-95

15

Acacia mangium

UDK

24-30; 90-95

10

Agathis lorantifolia

UAK, UKDdp

24-30; 90-95

Albizia procera

UDK

24-30; 90-95

16

Alstonia scholaris

UDK, UAK

24-30; 90-95

21

Aleurites moluccana

UDPT

29-34; 60-75

20

45

Caliandra calothyrsus

UDK, UKDdp

24-30; 90-95

14

Calophyllum inophyllum

UDP

30-35; 60-75

16

Dalbergia latifolia

24-30; 90-95

11

Duabanga moluccana

UKDdp, UDK,
UAK
UDK

24-30; 90-95

12

20

Panjang hipokotil 3
kali panjang benih
Panjang hipokotil 3
kali panjang benih
Panjang hipokotil 3
kali panjang benih
Panjang hipokotil 3
kali panjang benih
Panjang hipokotil 3
kali panjang benih
Panjang hipokotil 3
kali panjang benih
Muncul sepasang
daun pertama
Panjang hipokotil 4
kali panjang benih
Munculn daun
pertama
Panjang hipokotil 3
kali panjang benih
Kotiledon terbuka

Eucalyptus deglupta
Eucalyptus urophylla
Gmelina arborea

UDP
UDK
UDP

30-35; 60-75
24-30; 90-95
29-34; 60-75

10
10
20

14
14
30

Kotiledon terbuka
Muncul daun pertama
Muncul daun pertama

Intsia bijuga

UDP

29-34; 60-75

21

Muncul daun pertama

Hibiscus macrophyllus

UDK

24-30; 90-95

14

Maesopsis eminii

UDP

29-34; 60-75

34

50

Panjang hipokotil 3
kali panjang benih
Muncul daun pertama

Manilkara kauki

UDP

29-40; 80-90

18

40

Melia azedarach

UDP

29-34; 60-75

11

21

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

Muncul sepasang
daun pertama
Muncul daun pertama

Rekomendasi untuk pemecahan dormansi dan uji


viabilitas
Rendam air panas (80 C) 1 menit dan air dingin 24
jam
Rendam air panas (80o C) biarkan dingin 24 jam
Rendam air panas (80o C) biarkan dingin 24 jam
(1). Tanpa perlakuan pemecahan dormansi
(2). Gunakan uji tetrazolium
Rendam dalam larutan H2SO4 2N, 24 jam, kemudian
cuci dengan air mengalir.
Tanpa perlakuan pemecahan dormansi
(1). Rendam-jemur 7 hari
(2). Gunakan uji tetrazolium
Rendam air panas (80o C) biarkan dingin 24 jam
(1). Pengupasan kulit benih
(2). Gunakan uji tetrazolium
Rendam air dingin 24 jam
Tanpa perlakuan pemecahan dormansi,
Berat setiap ulangan 0,10 g
Berat setiap ulangan 0,10 g
Berat setiap ulangan 0,10 g
(1). Tanpa perlakuan pemecahan dormansi
(2). Gunakan uji tetrazolium
(1). Pengikiran
(2). Perendaman dalam H2SO4 selama 1 jam
Rendam H2SO4 selama 30 menit
(1). Rendam dalam larutan KNO3 0,2% 30 menit
(2). Gunakan uji tetrazolium
Rendam jemur 3 hari, bak kecambah ditutup plastic
selama 2 minggu setelah tabur.
Retakan bagian ujung benih

75

Jenis

Metode

Paraserianthes falcataria

UDK

Suhu (C);
Kelembaban (%)
24-30; 90-95

Hitungan
awal (hari)
6

Hitungan
akhir (hari)
8

Pinus merkusii

UDK

24-30; 90-95

18

24

Schleicera oleosa

UDP

29-34; 60-75

12

28

Sterculia foertida

UDP

29-34; 60-75

16

Styrax benzoin

UDP

29-34; 60-75

20

30

Sweitenia macrophylla

UDPT

29-34; 60-75

20

30

Tectona grandis

UDP

29-34; 60-75

14

60

Toona sureni

UDK

24-30; 90-95

14

Kecambah normal
Panjang
hipokotil+akar 2
kali panjang benih
Panjang
hipokotil+akar 4 kali
panjang benih
Muncul sepasang
daun pertama
Lepasnya kulit benih
dan mucul sepasang
daun
Muncul sepasang
daun pertama
Panjang hipokotil 3
kali panjang benih
Muncul daun pertama

Muncul sepasang
daun

Rekomendasi untuk pemecahan dormansi dan uji


viabilitas
Rendam air panas (80o C) biarkan dingin 24 jam
Tanpa perlakuan pemecahan dormansi
Rendam air dingin 24 jam
Rendam H2SO4 selama 5 menit
Rendam jemur 3 hari, bak kecambah ditutup plastik
selama 2-3 minggu setelah tabur.
Tanpa perlakuan pemecahan dormansi
(1). Rendam dalam air yang diganti setiap hari
selama 3 hari
(2). Rendam dalam air dan keringkan selama 3 hari,
ulang 6 kali
(3). Gunakan uji tetrazolium
Tanpa perlakuan pemecahan dormansi

Keterangan: UDK=Uji di Atas Kertas; UAK=Uji Antar Kertas; UKDdp = Uji Kertas Digulung didirikan dalam plastik, UDP = Uji di Atas Pasir, UDPT = Uji di Atas Campuran Pasir dan Tanah (1:1 v/v).

76

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

Lampiran 2. Uji tetrazolium benih beberapa jenis tanaman hutan


Jenis

Pelembaban
Tipe

Persiapan sebelum
staining

Staining pada suhu


40 C
Persen
Waktu
larutan
optimum
1
2

Acacia mangium

Waktu minimum
(jam)
24

Acacia
crassicarpa

24

Lubangi ujung kulit


benih berlawanan arah

0,5

Calophyllum
inophyllum

AK

24

Mengeluarkan benih
dari kulit benih

0,5

Gmelina arborea

AK

24

Mengeluarkan benih
dari endocarp

0,5

Paraserianthes
falcataria

AK

24

Lubangi ujung kulit


benih berlawanan arah

0,5

Pinus merkusii

AK

24

Kupas kulit benih

0,5

Swietenia
macrophylla

AK

24

Kupas kulit benih

0,5

Tectona grandis

AK

24

Mengeluarkan benih
dari kulit benih

Lubangi ujung kulit


benih berlawanan arah

Persiapan untuk evaluasi


dan jaringan yang diamati

Evaluasi
Benih viabel

Kupas benih dan belah


membagi dua radikel,
plumula, dan kotiledon

Radikel dan kotiledon berwarna


merah hingga merah muda tanpa
warna putih, dan endosperma
berwarna putih 20% jauh dari
embrio.
Kupas benih dan belah
Radikel dan plumula 100% berwarna
membagi dua radikel,
merah hingga merah muda, dan
plumula, dan kotiledon
kotiledon berwarna putih 10%
terletak jauh di atas embrio
Benih dipotong menjadi Titik tumbuh (embrio) berwarna
dua bagian dan bagian merah atau merah muda dengan
yang mengandung titik lebih dari 75% endosperma berwarna
tumbuh
merah
Kupas benih dan belah
Radikel 100% merah, warna putih
membagi dua radikel,
pada kotiledon 10%.
embrio, dan kotiledon
Kupas benih dan belah
Radikel dan plumula merah hingga
membagi dua radikel,
merah muda, kotiledon berwarna
plumula, dan kotiledon
merah 60% disekitar embrio.
Belah benih dengan
Radikel dan plumula merah hingga
embrio, radikel dan
merah muda, kotiledon berwarna
kotiledon) dan
merah 80% disekitar embrio.
endosperma terbagi dua.
Belah benih menjadi dua
bagian melalui titik
tumbuhnya.
Benih dipotong menjadi
dua bagian dan bagian
yang mengandung titik
tumbuh

Titik tumbuh 100% berwarna merah,


dan endosperma berwarna putih
20% jauh dari embrio.
Titik tumbuh (radikel dan plumula)
dan kotiledon 100 % berwana merah

Keterangan : W = dalam air, AK=antar kertas.


Sumber : Zanzibar et al. 2003a; Zanzibar et al., 2003b.

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

77

Lampiran 3. Standar mutu benih dalam Perdirjen No. P.06/V-Set/2009 dan konsep penyempurnaannya
No.

Jenis

1
2

Nama botani
Acacia arabica
Acacia aulacocarpa

Nama Lokal
Aula

3
4

Acacia auriculiformis
Acacia crassicarpa

Karpa

Acacia mangium

Mangium

6
7
8

Acacia villosa
Agathis loranthifolia
Aleurites moluccana

Damar
Kemiri

9
10

Albizia procera
Alstonia sp.

Kihiyang
Pulai

11
12
13
14
15

Altingia exelsa
Anacardium occidentale
Anthocephalus cadamba
Anthocephalus chinensis
Calliandra calothyrsus

Rasamala
Jambu monyet
Jabon
Jabon
Kaliandra merah

16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Calliandra tetragona
Ceiba petandra
Calophylum inophyllum
Dalbergia latifolia
Duabanga moluccana
Dyera poliphylla
Elmerrilia ovalis
Eucalyptus camadulensis
Eucalyptus deglupta
Eucalyptus pellita

Kaliandra putih
Kapuk/randu
Nyamplung
Sonobritz
Benuang laki
Jelutung
Cempaka
Leda
Pelita

26
27

Eucalyptus urophylla
Fragrea fragans

Ampupu
Tembesu

78

Jumlah
seedlot*
16
65
58
9
3
5
12
6
10
7
17
-

Daya Kecambah
(%)
70-85
70-85
70
70-85
70-85
70
80-95
75
70-85
90-100
40-50
50
70
90-100
75
40-50
60-80
75-90
70
75-90
90-95
70
80-90
65-75 kc/g
60
60
700 kc/g
1000-1200 kc/g
1500 kc/g
700 kc/g
210-410 kc/g
65-80

Berat 1000
butir (gram)
350
12-25
16-19
13-18
27
19-26
8-15
8-15
16
200-250
2800
9837-10275
30-39
11-27
2,4-3,5
6
3300-7700
0,038-0,056
0,038-0,056
50-55
44-56
32
22-100
2850-3250
48
0,1
52-70
27-34
0,5
0,5
0,32
0,6-0,7
0,2

Kemurnian
(%)
93-97
93-98
96
93-98
94-98
96
92-98
97
92-96
95-100
99-100
100
95
90-95
98
70-80
100
94-99
95
94-99
94-97
100
96-98
97
97
-

Kadar Air
(%)
7-9
6-7
8
6-7
6-7
8
6-7
8
6-7
30
10-12
14
10
6-7
10
10-12
10-15
8-9
8-9
3-9
10
6-7
10-12
30-40
8-9
8-9
12
30-40
8-9
8-9
8-9
10
8-9
8-9

Keterangan
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

No.

Jenis

28

Nama botani
Fagara rhetsa

Nama Lokal
Panggal buaya

29
30

Glirisidia sepium
Gmelina arborea

Gamal
Jati putih

31
32
33
34
35
36
37
38

Hibiscus macrophyllus
Instia bijuga
Khaya anthotheca
Leucaena glauca
Leucaena leucocepala
Madhuca aspera
Maesopsis eminii
Manilkara kauki

Tisuk
Merbau
Mahoni afrika
Lantoro
Lantorogung
Bambang lanang
Kayu afrika
Sawo kecik

39
40
41

Manglietia glauca
Melaleuca leucadendron
Melia azedarach

Manglid
Gelam
Mindi

42

Paraserianthes falcataria

Sengon

44

Pericopsis mooniana

Kayu kuku

45

Pinus merkusii

Tusam

46
47

Pterocarpus indicus
Santalum album

Angsana
Cendana

48

Schleicera oleosa

Kesambi

49
50
51
52
53

Senna siamea
Sesbania grandiflora
Styrax benzoin
Swietenia macrophylla

Johar
Turi
Kemenyan
Mahoni

Tectona grandis

Jati

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

Jumlah
seedlot*
8
7
5
7
10
6
13
14
6
6
33
3
5
6
14
3
3
25
-

Daya Kecambah
(%)
10-30
25
90-100
60
65
70
90
90-100
65-90
50-80
70
40
70-80
65
60
4000 kc/g
70-85
60
70-90
75
60-70
65
70-80
60
80
40-60
40
70-80
60
75-90
85-90
70
60-80
60
40-60

Berat 1000
butir (gram)
45-60
54-57
90-200
400-700
500-720
6-8
2600-3100
260-500
45-50
50-60
60-93
1177-1456
600-800
675-895
47-60
700
820-879
16-26
18-24
90-150
265
16-20
16-20
210-620
140-230
100-150
600
510-600
22-28
33-58
1700-2400
400-700
400-700
400

Kemurnian
(%)
96-98
98
91-95
98-100
97
90
97
95-98
95-98
95-98
99
100
100
100
99
99-100
99
93-99
96
95-98
99
93-98
94
85
95-98
95
95-98
99
94-97
92-96
100
96-98
96
99-100

Kadar Air
(%)
8-10
15
8-9
10-12
13
9
11
8-10
8-9
8-9
20-30
20
10-12
14-30
18
12
10-12
10
6-7
10
8-9
8
8-10
10
10
8-10
9
30
16-30
8-9
6-7
30
8-9
10
10-12

Keterangan
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
Baru
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
Baru
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009

79

No.

Jenis
Nama botani

Nama Lokal

54
56
57

Toona sureni

Suren

Vitex coffasus
Wrightia pubescens

Biti
Bentawas

Jumlah
seedlot*
27
10
16
9

Daya Kecambah
(%)
40
50-80
80
50
75

Berat 1000
butir (gram)
550 -740
2-16
8-11
80-99
15-27

Kemurnian
(%)
99
96-98
85
97
99

Kadar Air
(%)
12
8-9
12
13
25-50

Keterangan
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
Baru
Baru

Keterangan : Jumlah seedlot* = banyaknya kelompok benih yang diuji untuk menentukan standar mutu benih.

80

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

Lampiran 4. Standar mutu bibit dalam Perdirjen No. P.05/V-Set/2009 dan konsep penyempurnaannya
No

Jenis
Lokal

Botani

Acacia crassicarpa

Karpa

Acacia mangium

Mangium

Agathis sp.

Damar

4
5

Alstonia sp.
Antocephalus sp.

Pulai
Jabon

6
7
8
9
10
11
12
13

Aquilaria malaccensis
Avicenia sp.
Diospyros sp.
Dipterocarpus sp.
Dyera sp.
Dryobalanops sp.
Eucalyptus pellita
Eusideroxylon zwagery

Gaharu
Api-api
Eboni
Keruing
Jelutung rawa
Kapur
Pelita
Ulin

14

Gmelina arborea

Jati putih

15
16
17
18
19
20
21
22

Hibiscus macrophyllus
Instia bijuga
Lagerstomia speciosa
Melia azedarach
Mimosops elengi
Octomeles sp.
Palaqium alovium
Paraserianthes falcataria

Tisuk
Merbau
Bungur
Mindi
Tanjung
Benuang bini
Nyatoh
Sengon

23
24
25
26

Peronema canescens
Rhizophora apiculata
Rhizophora mucronata
Rhizophora stylosa

Sungkai
Bakau
Bakau
Bakau

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

Jumlah
kelompok
bibit*
2
34
6
14
1
67
8
3
2
29
21
2
24
3
8
6
14
8
10
101
17
3
3

Tinggi
(cm)
> 20
25
> 20
25
>30
30
40
>40
30
32
30
30
40
35
35
> 20
40
40
>30
30
30
30
35
35
45
25
28
>30
35
30
35
50
35

Diameter
(mm)
>2
3
>2
3
>6
6
5
>7
7
3,5
5
3
4
6
3,5
>2
6
6
>4
4
5
4,5
4
3,5
5
7
3
>4
4
4
5
16
14

Kriteria
Kekompakan
media
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh

Keterangan
Jumlah
daun/LCR
> 3 pasang
6
> 3 pasang
6
> 4 pasang
6
9
> 4 pasang
8
8
6
10
8
8
10
> 3 pasang
> 4 pasang
6
> 3 pasang
5
10
6
6
8
10
3 pasang
8
LCR>30 %
LCR30%
9
4
4
4

Umur (bln)
36
36
36
36
18 24
15 24
6 10
23
34
58
46
6 10
5 10
68
57
36
12 24
10 24
34
48
46
36
46
36
6 12
36
47
46
47
46
47
57
57

P.05/V-SET/2009
Baru
P.05/V-SET/2009
Baru
P.05/V-SET/2009
Baru
Baru
P.05/V-SET/2009
Baru
Baru
Baru
Baru
Baru
Baru
Baru
P.05/V-SET/2009
P.05/V-SET/2009
Baru
P.05/V-SET/2009
Baru
Baru
Baru
Baru
Baru
Baru
P.05/V-SET/2009
Baru
P.05/V-SET/2009
Baru
Baru
Baru
Baru
Baru

81

27

Pinus merkusii

Tusam

28
29
30
31
32

Shorea balangeran
Shorea leprosula
Shorea levis
Shorea parvifolia
Shorea stenoptera

Balangeran
Meranti
Bangkirai
Meranti
Tengkawang

33

Shorea sp.

Meranti

34
35
36

Samanea saman
Swietenia macrophylla
Tectona grandis

Kihujan
Mahoni
Jati

37

Terminalia catapa

Ketapang

7
28
11
2
7
26
59
4
232
347
6

>4
25
40
40
50
34
>50
38
>40
45
35
35
>20
30
30

> 30
3
4
3,5
4
3,6
>6
4
>5
4
5
3,5
3
4
5

utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh

LCR>30 %
8
8
7
8
10
> 4 pasang
LCR10
> 4 pasang
8
LCR40%
8
> 3 pasang
6
8

10 12
7 12
5 10
68
10 12
67
46
48
6 10
6 12
4 12
48
36
46
5 -10

P.05/V-SET/2009
Baru
Baru
Baru
Baru
Baru
P.05/V-SET/2009
Baru
P.05/V-SET/2009
Baru
Baru
Baru
P.05/V-SET/2009
Baru
Baru

Keterangan : Jumlah kelompok bibit* = banyaknya kelompok bibit (persemaian) yang diuji untuk menentukan standar mutu bibit siap tanam.

82

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

You might also like