Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
Pengendalian peredaran benih dan bibit tanaman hutan di Indonesia dilakukan melalui
skema sertifikasi. Salah satu perangkat sertifikasi tersebut adalah standar mutu benih dan bibit
yang hingga saat ini masih belum optimal baik dari akurasi parameter maupun jumlah jenis yang
distandarkan. Balai Penelitian Perbenihan Tanaman Hutan telah melakukan penelitian standar
pengujian dan mutu benih tanaman hutan untuk 26 jenis, sedangkan untuk standar mutu bibit
masih dalam tahap kajian. Selain itu, kerjasama pembuatan standar mutu benih dan bibit dengan
institusi operasional (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan dan Balai Perbenihan Tanaman
Hutan) mulai dirancang sehingga standar yang dihasilkan dapat langsung diterapkan. Beberapa
hasil telah diperoleh sebagai data awal yang juga dapat digunakan sebagai standar mutu bibit
yang bersifat crash program sebelum standar hasil pengujian diperoleh.
Kata kunci : Benih, bibit, mutu, sertifikasi, standar, tanaman hutan
I. PENDAHULUAN
Pengadaan benih dan bibit bermutu merupakan upaya penting untuk mendukung
keberhasilan pembangunan hutan. Mulai tingginya peredaran benih dan bibit secara
komersial memerlukan suatu sistem untuk pengendaliannya. Di Indonesia dan beberapa
negara berkembang lainnya, pengendalian mutu benih dan bibit dilakukan melalui sistem
sertifikasi mutu yang diatur dalam bentuk peraturan yang dikeluarkan pemerintah (Sadjad,
1997; Kartiko, 2002; Van der Meer, 2002; Van Gastel et al., 2002; Louwaars, 2005).
Dalam Permenhut No. P.01/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan
Tanaman Hutan, pasal 47 menyatakan Setiap benih atau bibit yang beredar harus jelas
kualitasnya yang dibuktikan dengan: a. sertifikat mutu untuk benih atau bibit yang berasal
dari sumber benih bersertifikat; atau b. surat keterangan pengujian untuk benih dan/atau
bibit yang tidak berasal dari sumber benih bersertifikat. Secara operasional, sertifikasi
mutu benih dan bibit tersebut memerlukan perangkat berupa standar uji dan standar mutu
benih dan bibit.
Benih bermutu merupakan perpaduan dari tingginya mutu genetik, fisik dan
fisiologik. Mutu genetik menunjukkan tingkat kemurnian varietas yang dihasilkan dari
kinerja pemuliaan pohon (tree improvement) (Barner and Ditlevsen, 1988) dan tingkat
kelas sumber benih sebagai hasil kegiatan pemuliaan pohon (Permenhut No. P.72/
Menhut-II/2009). Mutu genetik juga didefinisikan sebagai tingkat keterwakilan keragaman
genetik suatu sumber benih (IFSP, 2000). Mutu fisik adalah hasil kinerja fisik seperti
kebersihan, kesegaran butiran serta utuhnya kulit benih, dan mutu fisiologis menunjukkan
kemampuan benih untuk tumbuh atau disimpan lama. Secara singkat, mutu fisik dan
fisiologis menunjukkan kinerja pengadaan benih (seed procurement) (Barner dan
Ditlevsen, 1988). Untuk mendapatkan benih bermutu tinggi, benih harus diperoleh dari
sumber benih yang telah ditetapkan dan ditangani dengan prosedur yang benar (Schmitd,
2002). Ketersediaan benih bermutu tentunya akan mempermudah penyediaan bibit
bermutu.
Bibit bermutu merupakan bibit yang mampu beradaptasi dan tumbuh baik ketika
ditanam pada suatu tapak yang sesuai dengan karakteristik jenisnya (Mattson, 1996;
Wilson dan Jacobs, 2005). Permasalahan standar mutu bibit di lapangan di antaranya
adalah standar yang berlaku belum mencerminkan kemampuan bibit tumbuh setelah
56
tanam, terbatasnya jenis yang distandarkan, dan belum adanya pedoman kesesuaian
sumber benih asal bibit dengan lokasi penanaman. Standar yang berlaku didasarkan
pada morfologi bibit siap tanam dan kurang didukung oleh data hasil uji penanaman
(Nurhasybi et al., 2007). Kurang optimalnya persyaratan mutu bibit tanaman hutan untuk
kegiatan penanaman dapat dilihat dari keberhasilan Gerakan Rehabilitasi Lahan Nasional
(Gerhan) yang sangat bervariasi. Sebagai contoh menurut Darwo (2006), tingkat
keberhasilan Gerhan di daerah tangkapan air Danau Toba sangat beragam dengan
kisaran 5-85%.
Tulisan ini memberikan informasi kondisi pengembangan standar mutu benih dan
bibit dan penerapannya dalam rangka meningkatkan keberhasilan rehabilitasi lahan dan
hutan di Indonesia. Informasi ini diharapkan mampu menjadi acuan bagi perbaikan
standar mutu benih dan bibit di masa depan baik dari aspek kesesuaian standar maupun
jumlah jenis yang distandarkan dan juga menjadi referensi awal bagi pengguna mengenai
standar mutu benih dan bibit tanaman hutan. Standar mutu benih dan bibit yang tepat dan
aplikatif diyakini mampu meningkatkan keberhasilan program penanaman baik dalam
rangka rehabilitasi lahan maupun pembangunan hutan tanaman dan hutan rakyat.
Hal yang perlu diperhatikan adalah penyiapan benih sebelum dioven. Beberapa benih
memerlukan perlakuan pembelahan (cutting) atau penggilingan (grinding) sebelum
dioven (Tabel 1 dan 2). Daftar jenis dengan metode pengovenan suhu 103 2 C dan
130 + 3 C dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.
57
Schleicera oleosa
Styrax benzoin
Tectona grandis
Tabel 2. Jenis yang harus dipotong sebelum dioven (jumlah benih kurang dari 5000 butir/kg)
Aleurites moluccana
Calophylum inophylum
Intsia bijuga
Sterculia foetida
Acacia mangium
Acacia crassicarpa
Acacia auriculiformis
Albizia procera
Aleurites moluccana
Alstonia scholaris
Calliandra calorthyrsys
Dalbergia latifolia
Duabanga moluccana
Eucalyptus deglupta
Styrax benzoin
Tectona grandis
58
ulangan lainnya dan menghitung koefisien variasi dari 16 ulangan, jika masih lebih
besar, maka dua ulangan yang nilainya lebih dari 2 kali standar deviasi dihilangkan.
4. Metode Penentuan daya berkecambah benih
Untuk menentukan standar pengujian, beberapa kelompok benih yang mewakili
sebaran ekologinya dikumpulkan (minimal 3 kelompok benih). Kelompok benih
tersebut diuji perkecambahannya dengan beberapa metode perkecambahan terbaik
berdasarkan beberapa literatur, yang meliputi media, perlakuan pendahuluan, dan
kondisi lingkungan. Contoh uji perkecambahan dibuat dari contoh kerja. Contoh uji
dari satu kelompok benih untuk setiap perlakuan berjumlah 4 ulangan masing-masing
100 butir atau 50 butir untuk benih-benih berukuran besar. Pengujian dilakukan di
germinator dengan media kertas merang dan rumah kaca dengan media pasir,
campuran pasir dan tanah (1:1 v/v), atau media lainnya. Simulasi tersebut akan
menghasilkan trend metode perkecambahan optimal yang dapat diterapkan untuk
menguji kelompok-kelompok benih jenis tersebut dari sebaran tumbuh yang berbedabeda.
5. Uji Tetrazolium
Uji cepat viabilitas benih yang dikembangkan dan mulai diadopsi di beberapa
institusi pengujian benih tanaman hutan adalah uji tetrazolium. Pembuatan larutan
tetrazolium dilakukan dengan cara sebagai berikut : Larutan I : Larutkan 9,078 gram
KH2PO4 dalam aquades 1000 ml, larutan II : larutkan 11,876 gram Na2HPO4.2H2O
dalam aquades 1000 ml, larutan penyangga : campurkan 400 ml larutan I dengan 600
ml larutan II (2 : 3). Larutan tetrazolium 1% : masukkan 10 gram garam tetrazolium
(2,3,5 triphenil tetrazolium chlorida) kedalam 1000 ml larutan penyangga. Larutan
tetrazolium 0,5% : masukkan 5 gram garam tetrazolium (2,3,5 triphenil tetrazolium
chlorida) ke dalam 1000 ml larutan penyangga. Larutan Tetrazolium harus dihindarkan
dari cahaya langsung, yaitu dengan cara menempatkan larutan tersebut ke dalam
gelas piala yang telah dilapisi aluminium foil. Pengkondisian uji Tz dilakukan dengan
cara membuka kulit benih dan dilembabkan di atas kertas merang. Setelah
pengkondisian, benih dipotong menjadi dua bagian dan bagian yang mengandung titik
tumbuh digunakan sebagai bahan pengujian. Benih dimasukkan ke dalam gelas piala
yang telah berisi larutan Tetrazolium. Gelas piala yang telah berisi larutan benih tadi
dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 40o C. Setelah perendaman, benih dibilas
dengan aquades selama 1 - 2 menit, selanjutnya dikeringkan di atas kertas merang
dan diamati kualitas pewarnaannya. Kualitas pewarnaan yang baik adalah gambar
terlihat kontras dalam membedakan warna putih, merah muda dan merah (Zanzibar et
al, 2003ab).
Pengembangan metode uji tetrazolium dilakukan terhadap jenis-jenis tanaman
hutan dengan simulasi untuk menentukan beberapa tahap perkerjaan pengujian.
Tahapan yang ditentukan melalui beberapa penelitian tersebut adalah penentuan
dosis larutan Tz yang optimal untuk memperoleh pola perwarnaan maksimal, cara
pengkondisian, lama inkubasi, dan kriteria benih viable. Hasil-hasil penelitian tersebut
dirangkum dalam Lampiran 2.
B. Pengembangan Standar Mutu Benih Layak Edar
Beberapa jenis tanaman hutan telah distandarkan mutu benihnya dalam bentuk
Perdirjen No. P.06/V-Set/2009 dan SNI Standar Mutu Benih Tanaman Hutan. Namun,
sesuai dengan kemajuan teknologi, baik pada taraf penelitian maupun penerapannya di
lapangan, serta kebutuhan stakeholder perbenihan di lapangan tentunya upaya
penyempurnaan dan penambahan jenis dalam standar tersebut perlu dilakukan. Dengan
demikian benih tanaman yang dikomersialkan dapat dijamin dan diperbaiki mutunya
melalui sistem sertifikasi tersebut.
59
c. Batang bibit berkayu, diukur dari pangkal batang sampai dengan setinggi 50%
dari tinggi bibit.
2. Syarat khusus meliputi:
a. Tinggi bibit, yang diukur mulai dari pangkal batang sampai pada titik tumbuh
teratas
b. Diameter batang bibit, yang diukur pada pangkal batang
c. Kekompakan media, yang ditetapkan dengan cara mengangkat satu persatu dari
beberapa jumlah contoh bibit.
d. Kekompakan media dibedakan ada 4 yaitu utuh, retak, patah, lepas
e. Jumlah daun sesuai dengan jenisnya sedangkan untuk jenis tanaman yang
berdaun banyak seperti Pinus sp., Paraserianthes sp., parameter yang digunakan
adalah Live Crown Ratio (LCR). LCR adalah nilai perbandingan tinggi tajuk dan
tinggi bibit dalam prosen. Umur sesuai dengan jenisnya.
Standar persyaratan khusus mutu bibit untuk beberapa jenis tanaman hutan
tersebut tertulis pada Tabel 5.
Tabel 5. Persyaratan khusus bibit beberapa jenis tanaman berdasarkan Perdirjen RLPS No.
P.05/V-Set/2009
No
Jenis
Diameter
(mm)
Tinggi
(cm)
Kriteria
Kekompakan
Media
Jumlah
Daun/LCR
Umur
(bln)
>7
>7
>2
>2
>2
>4
>4
> 25
> 40
> 20
> 20
> 20
> 30
> 30
Utuh
Utuh
Utuh
Utuh
Utuh
Utuh
Utuh
> 3 pasang
> 4 pasang
> 3 pasang
> 3 pasang
> 3 pasang
> 3 pasang
LCR > 30 %
56
23
36
36
36
34
46
>3
>6
>6
>5
>6
>4
>20
> 40
> 30
> 40
> 50
> 30
Utuh
Utuh
Utuh
Utuh
Utuh
Utuh
> 3 pasang
> 4 pasang
> 4 pasang
> 4 pasang
> 4 pasang
LCR > 30 %
36
12 24
18 24
6 10
46
10 12
Untuk keperluan intern, beberapa perusahaan menerapkan standar mutu bibit siap
tanam sendiri, seperti Perum Perhutani yang menetapkan kriteria bibit siap tanam untuk
jenis jati baik yang dibiakkan secara generatif maupun vegetatif (stek) sebagai berikut
(Puslitbang Perum Perhutani, 2007ab) :
1. Pertumbuhan normal,
2. Tinggi bibit 20-30 cm,
3. Batang lurus, berkayu (1/3 dari tinggi), kokoh,
4. Daun tidak terlalu lebar, berwarna hijau, sedikit kuning,
5. Tidak terserang hama dan penyakit,
6. Perakaran banyak dan membentuk gumpalan yang kompak dengan media.
Dalam pelaksanaannya, selain terbatasnya sumber benih yang ada, kriteria mutu
bibit juga masih diragukan karena sebagian besar parameternya merupakan parameter
fisik/morfologi yang belum diuji melalui uji penanaman (Nurhasybi et al, 2007). Sementara
itu, kondisi morfologi bibit tidak selalu mencerminkan kemampuan tumbuh dan
beradaptasi bibit setelah penanaman (Hawkins, 1996).
Dari segi ketersediaan jenis, jumlah jenis bibit yang diuji pun jauh lebih banyak dari
pada standar yang tersedia (75 jenis yang diuji, sedangkan standar yang berlaku secara
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
61
operasional hanya 13 jenis). Hal tersebut mengindikasikan banyak jenis tanaman hutan
yang diuji dengan standar yang tidak jelas. Dengan demikian perlu ada program yang
terencana baik untuk menyediakan perangkat (standar mutu) dalam rangka sertifikasi
mutu benih baik yang bersifat crash program maupun jangka panjang melalui uji
penanaman.
B. Pengembangan Standar Mutu Bibit Sementara
Beragamnya jenis yang diuji ( 75 jenis) sedangkan pedoman pengujian (standar)
mutu bibit hanya memuat 13 jenis tanaman hutan memerlukan ketersediaan standar yang
mampu mengakomodir permintaan konsumen (pengada dan pengedar bibit). Dalam
jangka pendek, (crash program) standar mutu bibit yang dikembangkan hanya
berdasarkan kondisi morfologi bibit siap tanam di beberapa persemaian dan kompilasi
data hasil pengujian mutu bibit periode 2006-2009. Data yang terkumpul sebanyak 1289
hasil pengujian/kelompok bibit ( 75 jenis) yang mewakili berbagai tipe persemaian di
seluruh Indonesia (Sudrajat et al, 2009a)
Tabel 6. Jumlah pengujian dan persentase jenis yang diuji oleh BPTH di seluruh Indonesia
periode 2006 2009
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Jenis
Jumlah pengujian
347
235
101
67
59
40
36
29
28
27
26
24
21
17
14
14
170
Persentase jenis
(%)
26,92
18,23
7,84
5,19
4,57
3,10
2,79
2,25
2,17
2,09
2,02
1,86
1,63
1,31
1,08
1,08
13,17
Hasil analisis dengan menggunakan standar deviasi dan selang penduga kisaran
syarat khusus mutu bibit yang meliputi tinggi, diameter, jumlah daun atau LCR, umur dan
kekokohan bibit diperoleh data yang dapat dilihat pada Lampiran 4 (Sudrajat et al, 2009).
Hasil tersebut dapat digunakan untuk menguji mutu bibit siap tanam yang bersifat
sementara sebelum satandar hasil uji lapang (penanaman) diperoleh.
C. Pengembangan Standar Mutu Bibit Hasil Uji Lapang
Mutu bibit merupakan ekspresi yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan
bibit untuk beradaptasi dan tumbuh setelah penanaman (Mattson, 1996; Wilson dan
Jacobs, 2005). Mutu bibit juga didefinisikan sebagai sesuatu yang sesuai dengan tujuan
(fitness for purpose) yang mencerminkan berbagai parameter yang menentukan bibit
dapat beradaptasi dan tumbuh setelah ditanam di lapangan (Pattonen, 1985; Mattson,
1996; Wilson dan Jacobs, 2005). Kriteria mutu bibit sangat terkait dengan jenis dan
lingkungan tempat tumbuhnya (ekologi), sehingga tidak dapat diadopsi secara langsung
dari berbagai jenis yang berbeda atau dari berbagai wilayah yang lain. Pengertian yang
62
mendasar dalam memformulasikan suatu standar mutu bibit adalah mutu bibit bukan
merupakan parameter yang kaku tetapi suatu yang dinamis dan merefleksikan semua
aspek dari lingkungan tempat tumbuh, perubahan musim, dan variasi perlakuan tanaman
(Hawkins, 1996).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa parameter morfologi yang mempunyai
korelasi positif dengan daya adaptasi dan pertumbuhan bibit di lapangan adalah diameter
batang (Blair dan Cech, 1974; Sluder, 1979; White, 1979; South et al., 1989; Dey dan
Parker, 1997; South dan Mitchell, 1999). Diameter berkorelasi baik dengan ukuran dan
perkembangan akar (Rose et al., 1997). Namun ada pula penelitian yang menyatakan
bahwa diameter atau tinggi bibit yang lebih kecil mempunyai daya adaptasi dan
pertumbuhan yang lebih baik khususnya pada kondisi tapak spesifik seperti pegunungan
atau lokasi-lokasi spesifik lainnya (Allen, 1953; Venator, 1983; Jurasek et al., 2009).
Untuk jenis-jenis daun lebar (daerah tropis), penelitian mutu bibit dalam hubungannya
dengan keberhasilan penanaman masih sangat kurang dibandingkan bibit jenis-jenis
daun jarum (Wilson dan Jacobs, 2005). Omon (2008) melaporkan bahwa kriteria mutu
bibit meranti (Shorea leprosula, S. parvifolia, dan S. johorensis) yang baik berdasarkan
hasil uji penanaman di 3 lokasi di Kalimantan adalah tinggi 60-65 cm, diameter 5,0-8,0
mm dan nilai kekokohan 6,3 10,8. Kriteria ini dilihat dari parameter tingginya lebih tinggi
dari persyaratan dalam Perdirjen No. P.05/V-Set/2009 dan kondisi umum bibit di tingkat
penangkar. Untuk itu, perlu adanya uji-uji lapang lainnya untuk menentukan standar yang
ideal untuk jenis-jenis tertentu yang menjadi prioritas.
Untuk ke depannya, penelitian standar mutu bibit ini akan masuk dalam rencana
Penelitian Integratif Unggulan (PIU) yang akan dilakukan BPTP Bogor dengan
bekerjasama dengan institusi lainnya. Selain itu, untuk meningkatkan mutu bibit dari
penangkar/perusahaan pengada bibit perlu juga dikembangkan program pengendalian
mutu internal (in-house quality control programs) seperti yang telah dilakukan oleh
Pusbanghut Perum Perhutani Cepu dan beberapa perusahaan HPHTI. Dengan demikian,
pengembangan standar juga perlu didukung dengan penyusunan standard an prosedur
pembuatan bibit untuk jenis-jenis tanaman hutan tersebut.
IV. PENUTUP
Pengembangan metode pengujian dan standar mutu benih sudah menghasilkan 26
jenis tanaman hutan yang dapat digunakan untuk penyempurnaan pedoman operasional
maupun SNI. Penyusunan metode pengujian dan standar mutu tersebut terus berlanjut
dengan bekerjasama dengan institusi perbenihan operasional seperti Direktorat
Perbenihan Tanaman Hutan dan Balai Perbenihan Tanaman Hutan. Untuk standar mutu
bibit, pengembangannya masih banyak yang harus dilakukan terutama pengujian lapang
sehingga standar yang diperoleh mampu menggambarkan kemampuan bibit beradaptasi
dan tumbuh baik setelah ditanam di lapangan.
Dukungan perangkat untuk sertifikasi mutu benih dan bibit tanaman hutan harus
terus ditingkatkan. Penyempurnaan metode uji dan standar mutu baik untuk benih
maupun bibit tanaman hutan perlu mendapatkan perhatian dan dukungan dari berbagai
pihak. Koordinasi antar institusi perbenihan harus terus ditingkatkan untuk membangun
kerjasama yang saling menguntungkan dan membuat sesuatu yang lebih besar untuk
meningkatkan keberhasilan pembangunan hutan.
63
DAFTAR PUSTAKA
Allen, R.M. 1953. Large Longleaf Seedlings Survive Well. Tree Planters Notes. 14:17-18.
Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2005. Mutu Bibit (Mangium, Ampupu, Gmelina,
Sengon, Tusam, Meranti, dan Tengkawang). Badan Standardisasi Nasional.
Jakarta. 13p.
Balai Teknologi Perbenihan (BTP). 2000. Pedoman Standardisasi Uji Mutu Fisik dan
Fisiologis Benih Tanaman Hutan. Buku I. Publikasi Khusus. Balai Teknologi
Perbenitan. Bogor.
Barner, H. and Ditlevsen. 1988. Strategies and Procedures for an Integrated National
Tree-seed Programe for Seed Procurement, Tree Improvement and Genetic
Resources. Lecture Note A-1. Danida Forest Seed Centre. Denmark.
Blair, R. and F. Cech. 1974. Morphological Seedling Grades Compared after Thirteen
Growing Seasons. Three Planters Notes. 25(1):5-7.
Darwo. 2006. Strategi Peningkatan Program Gerhan (Studi Kasus Gerhan di Daerah
Tangkapan Air Danau Toba). Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Padang, 20
September 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi
Alam. Bogor. Pp 249-258.
Dey, D.C. and W.C. Parker. 1997. Morphological Indicators of Stock Quality and Yield
Performance of Red Oak (Quercus rubra L.) Seedlings Underplanted in a Central
Ontario Shelterwood. New Forests 14:145-156.
Hawkins, B. J. 1996. Planting Stock Quality Assessment. In Yapa, A.C. (ed.). Proc Intl.
Symp. Recent Advances in Tropical Tree Seed Technol. And Planting Stock
Production. ASEAN Forest Tree Seed Centre, Muaklek, Saraburi, Thailand.
Indonesia Forest Seed Project (IFSP). 2000. Pengaruh dari Kegiatan Penanganan Benih
dan Persemaian terhadap Mutu Benih. Bahan Kursus Biologi Benih, 7-18 Februari
di Bogor.
ISTA. 2006. International rules for seed testing: Edition 2006. The International Seed
Testing Association. Bassersdorf. Switzerland.
Jurasek, A., J. Leugner, and J. Martincova. 2009. Effect of Initial Height of Seedlings on
the Growth of Planting Material of Norway Spruce (Picea abies (L.) Karst.) in
Mountain Conditions. Journal of Forest Science. 55(3): 112-118.
Kartiko. H.D.P. 2002. Penanganan Perbenihan untuk Mendukung Pengelolaan Hutan
secara Lestari.
Dalam : Industri Benih di Indonesia. Aspek Penunjang
Pengembangan. Kerjasama Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih. Institut
Pertanian Bogor dengan PT. Sang Hyang Seri. Bogor.
Louwaars, N. 2005. Biases and Bottlenecks, Time to Reform the Souths and Inherited
Seed Laws? Seedling July 2005. University of Wegeningen. Pp 4-9.
Mattson, A. 1996. Predicting Field Performance Using Seedling Quality Assessment. New
Forests. 13:223-248.
Nurhasybi, D.J. Sudrajat, A.A. Pramono. Dan B. Budiman. 2007. Review Status Iptek
Perbenihanan Tanaman Hutan. Publikasi Khusus Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Bogor. Bogor.
Omon, M. 2008. Teknik Kriteria dan Indikator Mutu Bibit Dipterocapaceae. Proseding
Workshop Sintesa Hasil Litbang Hutan Tanaman, Bogor 19 Desember 2008. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
Metode
Suhu (C);
Kelembaban (%)
Hitungan
awal (hari)
Hitungan
akhir (hari)
Kecambah normal
Acacia aulacocarpa
UDK, UKDdp
24-30; 90-95
14
Acacia crassicarpa
UDK
24-30; 90-95
15
Acacia mangium
UDK
24-30; 90-95
10
Agathis lorantifolia
UAK, UKDdp
24-30; 90-95
Albizia procera
UDK
24-30; 90-95
16
Alstonia scholaris
UDK, UAK
24-30; 90-95
21
Aleurites moluccana
UDPT
29-34; 60-75
20
45
Caliandra calothyrsus
UDK, UKDdp
24-30; 90-95
14
Calophyllum inophyllum
UDP
30-35; 60-75
16
Dalbergia latifolia
24-30; 90-95
11
Duabanga moluccana
UKDdp, UDK,
UAK
UDK
24-30; 90-95
12
20
Panjang hipokotil 3
kali panjang benih
Panjang hipokotil 3
kali panjang benih
Panjang hipokotil 3
kali panjang benih
Panjang hipokotil 3
kali panjang benih
Panjang hipokotil 3
kali panjang benih
Panjang hipokotil 3
kali panjang benih
Muncul sepasang
daun pertama
Panjang hipokotil 4
kali panjang benih
Munculn daun
pertama
Panjang hipokotil 3
kali panjang benih
Kotiledon terbuka
Eucalyptus deglupta
Eucalyptus urophylla
Gmelina arborea
UDP
UDK
UDP
30-35; 60-75
24-30; 90-95
29-34; 60-75
10
10
20
14
14
30
Kotiledon terbuka
Muncul daun pertama
Muncul daun pertama
Intsia bijuga
UDP
29-34; 60-75
21
Hibiscus macrophyllus
UDK
24-30; 90-95
14
Maesopsis eminii
UDP
29-34; 60-75
34
50
Panjang hipokotil 3
kali panjang benih
Muncul daun pertama
Manilkara kauki
UDP
29-40; 80-90
18
40
Melia azedarach
UDP
29-34; 60-75
11
21
Muncul sepasang
daun pertama
Muncul daun pertama
75
Jenis
Metode
Paraserianthes falcataria
UDK
Suhu (C);
Kelembaban (%)
24-30; 90-95
Hitungan
awal (hari)
6
Hitungan
akhir (hari)
8
Pinus merkusii
UDK
24-30; 90-95
18
24
Schleicera oleosa
UDP
29-34; 60-75
12
28
Sterculia foertida
UDP
29-34; 60-75
16
Styrax benzoin
UDP
29-34; 60-75
20
30
Sweitenia macrophylla
UDPT
29-34; 60-75
20
30
Tectona grandis
UDP
29-34; 60-75
14
60
Toona sureni
UDK
24-30; 90-95
14
Kecambah normal
Panjang
hipokotil+akar 2
kali panjang benih
Panjang
hipokotil+akar 4 kali
panjang benih
Muncul sepasang
daun pertama
Lepasnya kulit benih
dan mucul sepasang
daun
Muncul sepasang
daun pertama
Panjang hipokotil 3
kali panjang benih
Muncul daun pertama
Muncul sepasang
daun
Keterangan: UDK=Uji di Atas Kertas; UAK=Uji Antar Kertas; UKDdp = Uji Kertas Digulung didirikan dalam plastik, UDP = Uji di Atas Pasir, UDPT = Uji di Atas Campuran Pasir dan Tanah (1:1 v/v).
76
Pelembaban
Tipe
Persiapan sebelum
staining
Acacia mangium
Waktu minimum
(jam)
24
Acacia
crassicarpa
24
0,5
Calophyllum
inophyllum
AK
24
Mengeluarkan benih
dari kulit benih
0,5
Gmelina arborea
AK
24
Mengeluarkan benih
dari endocarp
0,5
Paraserianthes
falcataria
AK
24
0,5
Pinus merkusii
AK
24
0,5
Swietenia
macrophylla
AK
24
0,5
Tectona grandis
AK
24
Mengeluarkan benih
dari kulit benih
Evaluasi
Benih viabel
77
Lampiran 3. Standar mutu benih dalam Perdirjen No. P.06/V-Set/2009 dan konsep penyempurnaannya
No.
Jenis
1
2
Nama botani
Acacia arabica
Acacia aulacocarpa
Nama Lokal
Aula
3
4
Acacia auriculiformis
Acacia crassicarpa
Karpa
Acacia mangium
Mangium
6
7
8
Acacia villosa
Agathis loranthifolia
Aleurites moluccana
Damar
Kemiri
9
10
Albizia procera
Alstonia sp.
Kihiyang
Pulai
11
12
13
14
15
Altingia exelsa
Anacardium occidentale
Anthocephalus cadamba
Anthocephalus chinensis
Calliandra calothyrsus
Rasamala
Jambu monyet
Jabon
Jabon
Kaliandra merah
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Calliandra tetragona
Ceiba petandra
Calophylum inophyllum
Dalbergia latifolia
Duabanga moluccana
Dyera poliphylla
Elmerrilia ovalis
Eucalyptus camadulensis
Eucalyptus deglupta
Eucalyptus pellita
Kaliandra putih
Kapuk/randu
Nyamplung
Sonobritz
Benuang laki
Jelutung
Cempaka
Leda
Pelita
26
27
Eucalyptus urophylla
Fragrea fragans
Ampupu
Tembesu
78
Jumlah
seedlot*
16
65
58
9
3
5
12
6
10
7
17
-
Daya Kecambah
(%)
70-85
70-85
70
70-85
70-85
70
80-95
75
70-85
90-100
40-50
50
70
90-100
75
40-50
60-80
75-90
70
75-90
90-95
70
80-90
65-75 kc/g
60
60
700 kc/g
1000-1200 kc/g
1500 kc/g
700 kc/g
210-410 kc/g
65-80
Berat 1000
butir (gram)
350
12-25
16-19
13-18
27
19-26
8-15
8-15
16
200-250
2800
9837-10275
30-39
11-27
2,4-3,5
6
3300-7700
0,038-0,056
0,038-0,056
50-55
44-56
32
22-100
2850-3250
48
0,1
52-70
27-34
0,5
0,5
0,32
0,6-0,7
0,2
Kemurnian
(%)
93-97
93-98
96
93-98
94-98
96
92-98
97
92-96
95-100
99-100
100
95
90-95
98
70-80
100
94-99
95
94-99
94-97
100
96-98
97
97
-
Kadar Air
(%)
7-9
6-7
8
6-7
6-7
8
6-7
8
6-7
30
10-12
14
10
6-7
10
10-12
10-15
8-9
8-9
3-9
10
6-7
10-12
30-40
8-9
8-9
12
30-40
8-9
8-9
8-9
10
8-9
8-9
Keterangan
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
No.
Jenis
28
Nama botani
Fagara rhetsa
Nama Lokal
Panggal buaya
29
30
Glirisidia sepium
Gmelina arborea
Gamal
Jati putih
31
32
33
34
35
36
37
38
Hibiscus macrophyllus
Instia bijuga
Khaya anthotheca
Leucaena glauca
Leucaena leucocepala
Madhuca aspera
Maesopsis eminii
Manilkara kauki
Tisuk
Merbau
Mahoni afrika
Lantoro
Lantorogung
Bambang lanang
Kayu afrika
Sawo kecik
39
40
41
Manglietia glauca
Melaleuca leucadendron
Melia azedarach
Manglid
Gelam
Mindi
42
Paraserianthes falcataria
Sengon
44
Pericopsis mooniana
Kayu kuku
45
Pinus merkusii
Tusam
46
47
Pterocarpus indicus
Santalum album
Angsana
Cendana
48
Schleicera oleosa
Kesambi
49
50
51
52
53
Senna siamea
Sesbania grandiflora
Styrax benzoin
Swietenia macrophylla
Johar
Turi
Kemenyan
Mahoni
Tectona grandis
Jati
Jumlah
seedlot*
8
7
5
7
10
6
13
14
6
6
33
3
5
6
14
3
3
25
-
Daya Kecambah
(%)
10-30
25
90-100
60
65
70
90
90-100
65-90
50-80
70
40
70-80
65
60
4000 kc/g
70-85
60
70-90
75
60-70
65
70-80
60
80
40-60
40
70-80
60
75-90
85-90
70
60-80
60
40-60
Berat 1000
butir (gram)
45-60
54-57
90-200
400-700
500-720
6-8
2600-3100
260-500
45-50
50-60
60-93
1177-1456
600-800
675-895
47-60
700
820-879
16-26
18-24
90-150
265
16-20
16-20
210-620
140-230
100-150
600
510-600
22-28
33-58
1700-2400
400-700
400-700
400
Kemurnian
(%)
96-98
98
91-95
98-100
97
90
97
95-98
95-98
95-98
99
100
100
100
99
99-100
99
93-99
96
95-98
99
93-98
94
85
95-98
95
95-98
99
94-97
92-96
100
96-98
96
99-100
Kadar Air
(%)
8-10
15
8-9
10-12
13
9
11
8-10
8-9
8-9
20-30
20
10-12
14-30
18
12
10-12
10
6-7
10
8-9
8
8-10
10
10
8-10
9
30
16-30
8-9
6-7
30
8-9
10
10-12
Keterangan
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
Baru
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
Baru
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
P.06/V-Set/2009
79
No.
Jenis
Nama botani
Nama Lokal
54
56
57
Toona sureni
Suren
Vitex coffasus
Wrightia pubescens
Biti
Bentawas
Jumlah
seedlot*
27
10
16
9
Daya Kecambah
(%)
40
50-80
80
50
75
Berat 1000
butir (gram)
550 -740
2-16
8-11
80-99
15-27
Kemurnian
(%)
99
96-98
85
97
99
Kadar Air
(%)
12
8-9
12
13
25-50
Keterangan
Baru
P.06/V-Set/2009
Baru
Baru
Baru
Keterangan : Jumlah seedlot* = banyaknya kelompok benih yang diuji untuk menentukan standar mutu benih.
80
Lampiran 4. Standar mutu bibit dalam Perdirjen No. P.05/V-Set/2009 dan konsep penyempurnaannya
No
Jenis
Lokal
Botani
Acacia crassicarpa
Karpa
Acacia mangium
Mangium
Agathis sp.
Damar
4
5
Alstonia sp.
Antocephalus sp.
Pulai
Jabon
6
7
8
9
10
11
12
13
Aquilaria malaccensis
Avicenia sp.
Diospyros sp.
Dipterocarpus sp.
Dyera sp.
Dryobalanops sp.
Eucalyptus pellita
Eusideroxylon zwagery
Gaharu
Api-api
Eboni
Keruing
Jelutung rawa
Kapur
Pelita
Ulin
14
Gmelina arborea
Jati putih
15
16
17
18
19
20
21
22
Hibiscus macrophyllus
Instia bijuga
Lagerstomia speciosa
Melia azedarach
Mimosops elengi
Octomeles sp.
Palaqium alovium
Paraserianthes falcataria
Tisuk
Merbau
Bungur
Mindi
Tanjung
Benuang bini
Nyatoh
Sengon
23
24
25
26
Peronema canescens
Rhizophora apiculata
Rhizophora mucronata
Rhizophora stylosa
Sungkai
Bakau
Bakau
Bakau
Jumlah
kelompok
bibit*
2
34
6
14
1
67
8
3
2
29
21
2
24
3
8
6
14
8
10
101
17
3
3
Tinggi
(cm)
> 20
25
> 20
25
>30
30
40
>40
30
32
30
30
40
35
35
> 20
40
40
>30
30
30
30
35
35
45
25
28
>30
35
30
35
50
35
Diameter
(mm)
>2
3
>2
3
>6
6
5
>7
7
3,5
5
3
4
6
3,5
>2
6
6
>4
4
5
4,5
4
3,5
5
7
3
>4
4
4
5
16
14
Kriteria
Kekompakan
media
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
Keterangan
Jumlah
daun/LCR
> 3 pasang
6
> 3 pasang
6
> 4 pasang
6
9
> 4 pasang
8
8
6
10
8
8
10
> 3 pasang
> 4 pasang
6
> 3 pasang
5
10
6
6
8
10
3 pasang
8
LCR>30 %
LCR30%
9
4
4
4
Umur (bln)
36
36
36
36
18 24
15 24
6 10
23
34
58
46
6 10
5 10
68
57
36
12 24
10 24
34
48
46
36
46
36
6 12
36
47
46
47
46
47
57
57
P.05/V-SET/2009
Baru
P.05/V-SET/2009
Baru
P.05/V-SET/2009
Baru
Baru
P.05/V-SET/2009
Baru
Baru
Baru
Baru
Baru
Baru
Baru
P.05/V-SET/2009
P.05/V-SET/2009
Baru
P.05/V-SET/2009
Baru
Baru
Baru
Baru
Baru
Baru
P.05/V-SET/2009
Baru
P.05/V-SET/2009
Baru
Baru
Baru
Baru
Baru
81
27
Pinus merkusii
Tusam
28
29
30
31
32
Shorea balangeran
Shorea leprosula
Shorea levis
Shorea parvifolia
Shorea stenoptera
Balangeran
Meranti
Bangkirai
Meranti
Tengkawang
33
Shorea sp.
Meranti
34
35
36
Samanea saman
Swietenia macrophylla
Tectona grandis
Kihujan
Mahoni
Jati
37
Terminalia catapa
Ketapang
7
28
11
2
7
26
59
4
232
347
6
>4
25
40
40
50
34
>50
38
>40
45
35
35
>20
30
30
> 30
3
4
3,5
4
3,6
>6
4
>5
4
5
3,5
3
4
5
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
LCR>30 %
8
8
7
8
10
> 4 pasang
LCR10
> 4 pasang
8
LCR40%
8
> 3 pasang
6
8
10 12
7 12
5 10
68
10 12
67
46
48
6 10
6 12
4 12
48
36
46
5 -10
P.05/V-SET/2009
Baru
Baru
Baru
Baru
Baru
P.05/V-SET/2009
Baru
P.05/V-SET/2009
Baru
Baru
Baru
P.05/V-SET/2009
Baru
Baru
Keterangan : Jumlah kelompok bibit* = banyaknya kelompok bibit (persemaian) yang diuji untuk menentukan standar mutu bibit siap tanam.
82