You are on page 1of 44

CASE REPORT

Rheumatic Heart Disease dengan CHF Fc. NYHA IV

Oleh :
Angga Nugraha
Norma Julianti
M. Akip Ryan
Amanda Samurti P.

Pembimbing :
dr. Ronald David Martua Nababan, Sp. PD

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD JENDERAL AHMAD YANI METRO
NOVEMBER 2014

A. Pendahuluan
Laporan kasus ini mengenai seorang wanita usia 27 tahun yang datang ke RSUD Jenderal
Ahmad Yani dengan keluhan sesak. Sesak dirasa bertambah berat setelah beraktivitas dan
sesak berkurang ketika pasien beristirahat. Keluhan ini disertai dada berdebar-debar, mual,
muntah, nyeri bahu kanan dan ulu hati. Pasien ini kemudian didiagnosa Rheumatic Heart
Disease dengan CHF Fc. NYHA IV. Kasus ini membahas kemungkinan suatu Rheumatic
Heart Disease dan penatalaksanaan yang seharusnya.

B. Laporan Kasus
1. Anamnesis
Seorang wanita, 27 tahun sudah menikah datang ke unit gawat darurat (UGD) RSUD
Jenderal Ahmad Yani dengan sesak napas. Os mengatakan mulai mengalami sesak sejak
1 minggu sebelum masuk rumah sakit, sesak dipengaruhi aktivitas dan tidak dipengaruhi
cuaca maupun emosi. Os mengalami sesak saat berjalan jauh dan saat beraktivitas, sesak
berkurang ketika beristirahat.

1 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak yang dialami os semakin bertambah. Os
mengalami sesak walaupun hanya beraktivitas ringan. Os lebih nyaman tidur dengan 2-3
bantal ataupun dengan posisi setengah duduk. Os juga merasakan mual,dada berdebardebar, nyeri pada ulu hati dan bahu kanan. Demam tidak ada. Nyeri dada tidak ada.. BAK
dan BAB tidak ada keluhan. Kemudian os berobat ke Rumah Sakit Ahmad Yani Metro.

Selain itu os sering merasa lemas dan tidak bertenaga, nyeri dan bengkak pada persendian
juga dirasakan os, namun letaknya tidak menentu. Os menyangkal memiliki benjolan di
daerah persendian. Menurut pernyataan os tidak pernah mengalami pergerakan tanpa
disadari, begitupun bercak merah dengan pusat berwarna pucat ditubuhnya. Keluhan
tersebut sudah sering dirasakan pasien sejak 14 tahun yang lalu dan dirasakan hilang
timbul.

Os mengaku, pada saat kecil sering menderita sakit batuk dan tenggorokan yang sering
kambuh, namun tidak diobati. Kemudian os mulai mengalami nyeri sendi serta perasaaan

dada berdebar. Saat umur 13 tahun, os mengatakan pernah berobat karena keluhannya
tersebut dan os dinyatakan menderita penyakit jantung rematik, mulai saat itu os
diberikan obat rutin oleh dokter untuk jantungnya sampai sekarang. Os mengatakan
dadanya akan terasa sangat berdebar jika os tidak meminum obat rutin tersebut.

Os tidak mengetahui ada tidaknya riwayat saat masih kecil mengalami kebiruan pada saat
menyusu ataupun menangis, dan aktifitas os pada saat kecil aktif dan tidak mudah
mengalami kelelahan

Os tidak memiliki riwayat alergi apapun. Riwayat asma, hipertensi, dan diabetes melitus
disangkal. Os juga menyangkal dikeluarganya terdapat penyakit serupa, hipertensi dan
diabetes melitus.

2. Pemeriksaan Fisilk
Status Present
Keadaan Umum

: tampak sakit sedang

Status Gizi

: baik

Tanda Vital
Takanan darah

: 110/90 mmHg

Frekuensi Nadi

: 96 x/mnt

Frekuensi Napas

: 28 x/mnt

Suhu

: 36,8 0 C

Status Generalis
Kepala
Rambut

: hitam, tipis, tidak mudah dicabut

Mata

: konjungtiva ananemis, sklera anikterik

Hidung

: bentuk normal, septum deviasi (-), napas cuping hidung (-)

Telinga

: bentuk normal, simetris, liang lapang, serumen (-/-)

Mulut

: bibir kering, sianosis bibir (-), lidah kotor, faring tidak hiperemis

Leher
Trakea

: letak ditengah

KGB

: tidak ditemukan pembesaran KGB

JPV

: JPV 5 + 4 cmH2O

Thoraks
Paru-paru
Inspeksi

: bentuk dada asimetris kiri>kanan, gerak nafas asimetris,


retraksi (-), pelebaran sela iga (-), dan penggunaan otot bantu
pernapasan

Palpasi

: nyeri tekan (-), vokal fremitus kanan>kiri

Perkusi

: redup, sonor pada bagian lateral paru kanan dan lobus superior
paru kanan dan kiri

Auskultasi

: vesikuler (+), ronkhi (+), wheezing (-)

Jantung
Inspeksi

: ictus cordis terlihat di ICS VII linea aksilaris anterior

Palpasi

: ictus cordis dan thrill apical teraba di ICS VII linea aksilaris
anterior

Perkusi

: redup, batas jantung atas ICS III linea midclavicula sinistra, batas
kanan jantung ICS VI 2 jari lateral linea midclavicula dextra,
batas kiri jantung sulit dinilai

Auskultasi

: BJ I dan II reguler, mur-mur sistolik (+), BJ tambahan (+)

Abdomen
Inspeksi

: datar , simetris

Palpasi

: supel, nyeri tekan epigastrium dan hipocondria dekstra (+),


massa intra abdomen (-), hepar teraba 3 jari di bawah arcus
costae, lien tidak teraba

Perkusi

: timpani, shifting dulness (-)

Auskultasi

: BU (+) dalam batas normal

Genitalia

: perempuan

Ekstremitas
Superior

: edema -/-

Inferior

: edema -/-

Kulit

: sianosis (-)

3. Pemeriksaan Penunjang
Saat di unit gawat darurat dilakukan pemeriksaaan :
Hematologi
WBC

: 8.900/mm3

RBC

: 4.040.000/ mm3

HB

: 11,2 g/dl

HT

: 34,7 %

PLT

: 241.000/mm3

GDS

: 125 mg/dl

Rontgen Thorax

Kesan : Oedem pulmonal, cardiomegali


Suspect effusi pericardium

EKG

4. Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding


Rheumatic Heart Disease dengan CHF Fc. NYHA IV

5. Penatalaksanaan
Saat di unit gawat darurat mendapatkan terapi posis semifowler, O2 2-4 L/mnt, infus RL
10 tetes per menit (jaga), digoxin 1 x1 tab (PO), furosemide 1 x 1 ampul (IV), sohobion
1x1, ranitidin 2x1 ampul (IV)

6. Follow up
Hari rawat ke-2, tanggal 15 November 2014
Keadaan umum sakit sedang
Kesadaran kompos mentis
TD : 120/80 mmHg

Nadi : 96x/mnt

RR : 28 x/mnt

Suhu : 36,7 0 C

S/ Pasien mengeluh sesak nafas ada namun berkurang, lemas dan dada berdebar
O/ Dari pemeriksaan fisik ditemukan bibir asianosis, JPV 5 + 4 cmH2O (meningkat),
dada asimetris kiri>kanan, fremitus vocal kanan>kiri, penggunaan otot bantu
napas berkurang, ictus cordis terlihat di ICS VII linea aksilaris anterior, ictus
cordis dan thrill apical teraba di ICS VII linea aksilaris anterior redup, batas
jantung atas ICS III linea midclavicula sinistra, batas kanan jantung ICS VI 2 jari
lateral linea midclavicula dextra, batas kiri jantung sulit dinilai, BJ I dan II

reguler, mur-mur sistolik (+), BJ tambahan (+), nyeri tekan epigastrium dan
hipocondria dekstra (+), hepar teraba 3 jari di bawah arcus costae, lien tidak
teraba
Dx/ Rheumatic Heart Disease dengan CHF Fc. NYHA IV
Th/ Infus RL tetesan dijaga, eritromisin 2x500mg, omeprazol 1x1 amp, lasix 2x2 amp,
sohobion 1x1, dexanta 3x1 tab, digoksin 1x1tab (PO).

Hari rawat ke-4, tanggal 17 November 2014


Keadaan umum sakit sedang
Kesadaran kompos mentis
TD : 120/70 mmHg

Nadi : 88x/mnt

RR : 24 x/mnt

Suhu : 36,5 0 C

S/ Pasien mengeluh sesak nafas berkurang, lemas, nyeri perut dan dada berdebar sudah
membaik
O/ Dari pemeriksaan fisik ditemukan bibir asianosis, JPV 5 + 4 cmH2O (meningkat),
dada asimetris kiri>kanan, fremitus vocal kanan>kiri, penggunaan otot bantu napas
berkurang, ictus cordis terlihat di ICS VII linea aksilaris anterior, ictus cordis dan
thrill apical teraba di ICS VII linea aksilaris anterior redup, batas jantung atas ICS III
linea midclavicula sinistra, batas kanan jantung ICS VI 2 jari lateral linea
midclavicula dextra, batas kiri jantung sulit dinilai, BJ I dan II reguler, mur-mur
sistolik (+), BJ tambahan (+), nyeri tekan epigastrium dan hipocondria dekstra (+),
hepar teraba 3 jari di bawah arcus costae, lien tidak teraba
Dx/ Rheumatic Heart Disease dengan CHF Fc. NYHA IV
Th/ Infus RL tetesan dijaga, ceftriakson 2x1 iv, omeprazol 1x1 amp, lasix 2x3 amp,
sohobion 1x1, dexanta 3x1 tab, spironolakton 1x100mg, digoksin 1x1tab (PO).

Hari rawat ke-5, tanggal 18 November 2014


Keadaan umum sakit sedang
Kesadaran kompos mentis
TD : 110/80 mmHg

Nadi : 84x/mnt

RR : 24 x/mnt

Suhu : 36,2 0 C

S/ Pasien mengeluh bahu kanan nyeri, nyeri perut sudah berkurang, sesak nafas
berkurang, lemas dan dada berdebar sudah membaik
O/ Dari pemeriksaan fisik ditemukan bibir asianosis, JPV 5 + 4 cmH2O (meningkat),
dada asimetris kiri>kanan, fremitus vocal kanan>kiri, penggunaan otot bantu napas
berkurang, ictus cordis terlihat di ICS VII linea aksilaris anterior, ictus cordis dan
thrill apical teraba di ICS VII linea aksilaris anterior redup, batas jantung atas ICS III
linea midclavicula sinistra, batas kanan jantung ICS VI 2 jari lateral linea
midclavicula dextra, batas kiri jantung sulit dinilai, BJ I dan II reguler, mur-mur
sistolik (+), BJ tambahan (+), nyeri tekan epigastrium dan hipocondria dekstra (+),
hepar teraba 3 jari di bawah arcus costae, lien tidak teraba
Dx/ Rheumatic Heart Disease dengan CHF Fc. NYHA IV
Th/ Infus RL tetesan dijaga, ceftriakson 2x1 iv, omeprazol 1x1 amp, lasix 2x3 amp,
sohobion 1x1, dexanta 3x1 tab, spironolakton 1x100mg, digoksin 1x1tab (PO).

Hari rawat ke-6, tanggal 19 November 2014


Keadaan umum sakit sedang
Kesadaran kompos mentis
TD : 110/80 mmHg

Nadi : 90x/mnt

RR : 20 x/mnt

Suhu : 36,7 0 C

S/ Pasien mengeluh pegal-pegal


O/ Dari pemeriksaan fisik ditemukan bibir asianosis, JPV 5 + 4 cmH2O (meningkat),
dada asimetris kiri>kanan, fremitus vocal kanan>kiri, ictus cordis terlihat di ICS VII
linea aksilaris anterior, ictus cordis dan thrill apical teraba di ICS VII linea aksilaris
anterior redup, batas jantung atas ICS III linea midclavicula sinistra, batas kanan
jantung ICS VI 2 jari lateral linea midclavicula dextra, batas kiri jantung sulit dinilai,
BJ I dan II reguler, mur-mur sistolik (+), BJ tambahan (+), nyeri tekan epigastrium
dan hipocondria dekstra (-), hepar teraba 3 jari di bawah arcus costae, lien tidak
teraba
Dx/ Rheumatic Heart Disease dengan CHF Fc. NYHA IV
Pasien diperbolehkan pulang

C. Resume
Seorang wanita, 27 tahun datang dengan keluhan sesak napas. Pasien mengatakan mulai
mengalami sesak sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, sesak dipengaruhi
aktivitas dan tidak dipengaruhi cuaca maupun emosi. Pasien mengalami sesak saat
berjalan jauh ataupun sehabis melakukan pekerjaan berat, sesak pasien berkurang ketika
beristirahat. 1 hari SMRS pasien bertambah sesak disertai mual, dada berdebar-debar,
nyeri bahu kanan.
Diagnosa awal: RHD + CHF Fc. NYHA III
Diagnosa Akhir : RHD + CHF Fc. NYHA IV

ANALISIS KASUS
1. Apak sesak yang dirasakan pasien merupakan sesak yang berasal dari keluhan
jantung?
Keluhan sesak yang dirasakan pasien merupakan keluhan sesak khas yang berasal dari
jantung, seperti pada anamnesis didapatkan:

Sesak yang dipengaruhi aktifitas, keluhan ini dinamakan Dyspnea de Effort, keluhan
sesak ini biasa membaik setelah pasien beristirahat dan tingkat keparahan sesaknya
bergantung pada tingkat aktifitas yang dlakukan. Keluhan sesak ini hanya
dipengaruhi aktifitas dan tidak dipengaruhi oleh cuaca maupun emosi. Hal ini terjadi
karena adanya peningkatan kerja jantung untuk membuat paru-paru terbendung
berventilasi.

Lebih senang tidur dengan bantal yang tinggi, keluhan ini dinamakan ortpnea.
Merupakan gejala sulit bernafas yang memburuk pada saat pasien berbaring. Hal ini
terjadi karena tingginya elevasi posisi kaki akan meningkatkan aliran darah vena
kembali ke kanan.

Sering terbangun pada malam hari karena sesak nafas disebut juga Paroksismal
Nocturnal dyspnea. Episode sulit bernafas (sesak nafas) yang terjadi pada saat tidur
sehingga menyebabkan pasien terbangun secara tiba-tiba.

Keluhan sesak ini merupakan khas sebagai tanda dari gagal jantung kiri sehingga dari
keluhan sesak diagnosa dapat diarahkan ke arah penyakit jantung khususnya gagal jantung.

2. Bagaimana mendiagnosa penyakit RHD pada pasien ini?


Data yang pertama kami gunakan sebagai alat untuk menganalisa diagnosa pada kasus ini
adalah anamnesis. Dari hasil anamnesis didapatkan keluhan sesak yang mengarah ke
penyakit jantung dan dada terasa berdebar, disamping itu pasien juga pasien mengeluh
sering merasa cepat lelah dan lemah. Keluhan ini dirasakan pasien sudah bertahun-tahun dan
pasien pernah berobat ke dokter pada usia 13 tahun dan dikatakan menderita penyakit
jantung rematik, semenjak saat itu sampai saat ini pasien mengaku mengkonsumsi obat rutin
yang bernama digoksin. Pada riwayat penyakit dahulu pasien mengatakan saat pasien remaja
pasien sering menderita nyeri sendi yang berpindah-pindah, kadang bengkak, serta perasaan

jantung berdebar, keluhan ini didahului oleh sakit batuk dan tenggorakan yang sering
kambuh dan sering tidak diobati dengan baik. Berdasarkan kriteria Jones, pada anamnesis
terdapat keluhan bengkak dan nyeri sendi yang berpindah, nyeri abdomen dan perasaan
jantung berdebar, sedangkan pada pemeriksaan fisik di dapatkan gejala karditis yang dapat
dimasukan ke dalam kriteria mayor untuk kriteria jones pada pasien ini. Riwayat penyakit
jantung rematik dan artralgia dapat dimasukan ke dalam kriteria minor. Dimana jika sudah
terdapat 2 gejala mayor pada pasien ini, diagnosa kami arahkan ke suatu riwayat demam
rematik. Kemudian dari pemeriksaan fisik, kami dapatkan ictus cordis yang terlihat dan
teraba pada ICS VII linea aksilaris anterior, dengan kesan batas jantung membesar dan
didaptakan suatu muru-mur. Hal ini menguatkan arah diagnosa kami ke arah penyakit
jantung rematik.

3. Bagaimana pendekatan diagnosa pada kasus?


Berdasarkan hasil dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan pendekatan diagnosis sebagai berikut :
Anamnesis

Sesak nafas

Sesak dipengaruhi aktifitas,

Sesak tidak dipengaruhi cuaca atau emosi,

Sesak bertambah jika pasien berbaring dan berkurang jika pasien duduk,

Pasien lebih nyaman tidur dengan bantal yang banyak atau posisi setengah duduk

Pasien sering terbangun pada malam hari karena sesak.

Pasien merasa cepat lelah bahkan ketika melakukan aktifitas ringan

Nyeri perut

Dada terasa berdebar

Bengkak dan nyeri sendi yang berpindah

Riwayat penyakit jantung rematik (+) sejak 14 tahun yang lalu.

Riwayat batuk dan sakit tenggorok

Pemeriksaan Fisik

Peningkatan JVP (5+4 cmH2O)

Takikardi

Thrill teraba

Batas jantung membesar

Mur-mur (+)

Hepatomegali

Pemeriksaan penunjang
Cardiomegali, oedem pulmonal, susp efusi pericardium

Berdasarkan kriteria firmingham yang terdiri dari :


Kriteria Mayor:

Paroksismal nocturnal dyspnea

Distensi vena pada leher

Rales

Kardiomegali (ukuran peningkatan jantung pada radiografi dada)

Edema paru akut

S3 ( Suara jantung ketiga )

Peningkatan tekanan vena sentral (> 16 cm H2O di atrium kanan)

Hepatojugular refluks

Kriteria Minor:

Bilateral ankle edema

Batuk nokturnal

Dyspnea pada aktivitas biasa

Hepatomegali

Efusi pleura

Penurunan kapasitas vital oleh sepertiga dari maksimum terekam

Takikardia (denyut jantung> 120 denyut / menit.)

Diagnosis CHF membutuhkan adanya minimal 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dalam
hubungannya dengan 2 kriteria minor. Pada pasien ini didapatkan tiga kriteria mayor.
Pertama terdapatnya paroksismal nokturnal dispneu dari hasil anamnesis. Kedua, dari hasil

pemeriksaan fisik perkusi jantung, didapatkan adanya pembesaran jantung. Dan pada
pemeriksaan foto thorax didapatkan kardiomegali. Ketiga terdapat peninggian tekanan vena
jugularis yaitu 5+4 cmH2O, maka diagnosa Congestif Heart Failure pada pasien ini sudah
dapat ditegakan.
Menurut New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam gagal
jantung dalam 4 kelas :
Kelas 1

: Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan

Kelas 2

: Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari

hari tanpa keluhan.


Kelas 3

: Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa keluhan

Kelas 4

: Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah

baring
Berdasarkan anamnesis, pasien ini dapat digolongkan ke dalam NYHA 4 karena keluhan
sesak tersebut membuat pasien tidak dapat melakukan aktifitas apapun. Maka dari hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dapat
disimpulkan pasien menderita Rheumatic Heart Disease dengan CHF Fc. NYHA IV.

4. Apakah penatalaksanaan pada kasus sudah tepat?


Penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat karena :

Posisi SemiFowler, dilakukan untuk mengurangi keluhan sesak akibat dari


pengurangan preload.

O2, suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dekompensasio kordis untuk
meningkatkan oksigenasi.

Infus Ringer Laktat, untuk memenuhi kebutuhan cairan harian yaitu dengan
memberikan cairan isotonic.

Ceftriaxon, antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga diberikan sebagai


profilaksis.

Digoxin, obat inotrpik positif untuk meningkatkan kontraksi otot jantung.

Ranitidin, mengurangi produksi asam lambung yang dirangsang oleh pemberian


digoxin.

Spironolakton, obat diuretic hemat kalium untuk keadaan edema.

Furosemide, obat diuretic untuk meningkatkan ekskresi cairan dari tubuh.

Sohobion, untuk suplemen.

Dexanta, untuk mengurangi gejala dyspepsia.

C.

Tinjauan Pustaka

PENYAKIT JANTUNG REMATIK

1.1 Definisi
Menurut WHO, Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah cacat jantung akibat karditis
rematik.1 Menurut Afif. A tahun 2008, Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah penyakit jantung
sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik (DR), yang ditandai dengan
terjadinya cacat katup jantung.2

1.2 Etiologi
Infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya
demam reumatik, baik pada serangan pertama maupun pada serangan ulang. Untuk
menyebabkan serangan demam reumatik, streptococcus grup A harus menyebabkan infeksi pada
faring, bukan hanya kolonisasi superficial. Infeksi ini dapat dibedakan dari kolonisasi dengan
munculnya respon antibodi sekurang kurangnya satu antigen streptococcus, misalnya anti
streptolisin O.1

Faktor yang penting untuk manifestasi penyakit ini meliputi sifat organisme, tempat infeksi,
serta predisposisi genetik. Streptococcus grup A sp pyogenes merupakan salah satu dari 20
serogrup. Streptococcus beta hemolyticus dikenali oleh karena morfologi koloninya dan
kemampuannya untuk menimbulkan hemolisis pada agar plat darah kambing.3

1.3 Epidemiologi
Demam rematik (DR) masih sering didapati pada anak di negara sedang berkembang dan
sering mengenai anak usia antara 5 15 tahun. Pada tahun 1944 diperkirakan diseluruh dunia

terdapat 12 juta penderita DR dan

PJR dan sekitar 3 juta mengalami gagal jantung dan

memerlukan rawat inap berulang di rumah sakit. Prevalensinya dinegara sedang berkembang
berkisar antara 7,9 sampai 12,6 per 1000 anak sekolah dan relatif stabil. Data terakhir mengenai
prevalensi demam rematik di Indonesia untuk tahun 1981 1990 didapati 0,3-0,8 diantara 1000
anak sekolah dan jauh lebih rendah dibanding negara berkembang lainnya.2

1.4 Patofisiologi
Hubungan antara infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A dan perkembangan penyakit
jantung rematik telah dipastikan. PJR adalah respon imun yang tertunda terhadap faringitis yang
disebabkan Streptococcus grup A dan manifestasi klinis pada individu ditentukan oleh
kerentanan host, genetik, virulensi dari kuman, dan lingkungan yang kondusif.3

Meskipun RF telah dinyatakan sebagai penyakit autoimun, mekanisme pathogenesis yang


tepat belum dapat dijelaskan. Bukti baru menunjukkan bahwa limfosit T memainkan peran
penting dalam patogenesis PJR. Sebuah postulat juga manyatakan bahwa Streptococcus grup A
M types bersifat potensial reumatogenik. Serotipe tersebut biasanya sangat bersimpai, dan
berukuran besar, koloni berlendir yang kaya M-protein. Karakteristik ini meningkatkan
kemampuan bakteri untuk melekat ke jaringan, serta untuk melawan fagositosis pada host
manusia.1

M-protein adalah salah satu cara terbaik untuk menentukan virulensi bakteri. M-protein
terdapat pada permukaan sel kuman sebagai alphahelical coiled coil dimer, dan memiliki
struktur yang homolog dengan miosin jantung dan molekul alpha-helical coiled coil, seperti
tropomyosin, keratin, dan laminin. Disimpulkan bahwa homologi ini bertanggung jawab pada

proses patologis PJR. Laminin merupakan target untuk antibodi polireaktif yang mengenali
protein M, miosin.4

Superantigen adalah glikoprotein yang disintesis oleh bakteri dan virus yang dapat
menjembatani kompleks molekul histokompatibiliti mayor kelas II dan rantai b nonpolimorfik V
pada reseptor sel T, menstimulasi pengikatan antigen, sehingga terjadi pelepasan sitokin atau
limfosit T teraktivasi menjadi sel sititoksik. Pada kasus PJR, proses terjadi terutama pada
aktivitas superantigen-like dari fragmen protein M (PeP M5).1,4,8 Aktivasi superantigen tidak
terbatas pada sel T saja. Toksin eritrogenik Streptococcus juga berperan sebagai superantigen
terhadap sel B, menyebabkan produksi antibodi autoreaktif. Aktivitas dari GRAB (alpha-2
macroglobulin-binding protein) yang dihasilkan oleh

Streptococcus pyogenes, streptococcal

fibronectin-binding protein 1 (sfb1), yang memediasi perlekatan dan invasi kuman ke sel epitel
manusia, streptococcal C5a peptidase (SCPA),

yang mengaktivasi komplemen C5a dan

membantu perlekatan kuman pada jaringan, semuanya itu berperan dalam patogenesis PJR.1

Keadaan lingkungan seperti kondisi ekonomi sosial yang buruk, kepadatan penduduk dan
akses ke perawatan kesehatan sangat menentukan perkembangan dan komplikasi RF. Penularan
penyakit sangat dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, kontak antar individu. Variasi musiman
kejadian RF (insiden tinggi yaitu pada awal musim gugur, akhir musim dingin dan awal musim
semi) sangat menyerupai variasi infeksi Streptococcus. Variasi ini sangat signifikan di daerah
beriklim sedang, tetapi tidak signifikan dalam tropis.1

Gambar 1. Proses infeksi oleh S. pyogenes

1.5 Diagnosa
Diagnosis penyakit jantung rematik dapat ditegakkan setelah diagnosis demam rematik
ditegakkan. Kriteria untuk menegakkan diagnosis demam rematik adalah Kriteria Jones. Kriteria
Jones memuat kelompok kriteria mayor dan minor yang pada dasarnya merupakan manifestasi
klinik dan laboratorik demam rematik. Pada perkembangan selanjutnya, kriteria ini kemudian
diperbaiki oleh American Heart Association dengan menambahkan bukti adanya infeksi
streptokokus sebelumnya. Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriterium mayor dan 2
kriteria minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya, kemungkinan
besar menandakan adanya demam rematik. Tanpa didukung bukti adanya infeksi streptokokus,
maka diagnosis demam rematik harus selalu diragukan, kecuali pada kasus demam rematik
dengan manifestasi mayor tunggal berupa korea Syndenham atau karditis derajat ringan, yang

biasanya terjadi jika demam rernatik baru muncul setelah masa laten yang lama dan infeksi
strepthkokus. 1
Perlu diingat bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai suatu
pedoman dalam menentukan diagnosis demam rematik. Kriteria ini bermanfaat untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa overdiagnosis maupun
underdiagnosis.5

Tabel. 1 kriteria Jones yang dimodifikasi


Kriteria Mayor
Karditis
Poliartritis
Korea
Eritema marginatum
Nodulus subkutan
Kriteria Minor
Klinik
Riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik sebelumnya
Artralgia
Demam
Laboratorium
Peningkatan kadar reaktan fase akut :
Protein C reaktif (CRP +),
Laju endap darah meningkat
Leukositosis
EKG dengan P-R Interval yang memanjang
Ditambah
Tanda- tanda yang mendukung adanya infeksi streptokokus sebelumnya :
kenaikan titer antistreptolisin 0 (ASTO) atau antibodi antistreptokokus lainnya,
biakan usapan(swab) tenggorokan yang positif untuk streptokokus grup A atau
baru menderita demam skarlatina.
Setelah diagnosis demam rematik ditegakkan, jika didapatkan gejala gagal jantung seperti
sesak napas, intoleransi terhadap latihan, takikardia merupakan indikasi telah terjadinya carditis
dan penyakit jantung rematik. Pada pemeriksaan fisik pasien dengan demam rematik didapatkan
gejala yang berhubungan dengan jantung (cardiac symptoms) dan gejala yang tidak berhubungan

dengan jantung (noncardiac symptoms). Pada beberapa pasien, manifestasi klinik dari jantung
baru tampak pada keadaan penyakit jantung rematik kronis.2
Gejala yang berasal dari jantung meliputi gejala gagal jantung dan pericarditis.6
1.5.1 Murmur baru atau berubahnya bunyi murmur
Terdengarnya murmur pada demam rematik akut berhubungan dengan insufisiensi katup.
Murmur yang dapat terdengar pada demam rematik akut adalah:6
a. Apical pansystolic murmur, dengan karakteristik bernada tinggi, blowing-quality murmur
yang disebabkan oleh regurgitasi mitral. Bunyi murmur ini tidak dipengaruhi oleh respirasi
atau posisi pasien. Intensitas murmur biasanya 2/6 atau lebih besar.6
b. Apical diastolic murmur, juga dikenal dengan Carey-Coombs murmur. Mekanisme dari
murmur ini adalah terjadinya mitral stenosis, yang disebabkan karena volume yang sangat
besar saat pengisian ventrikel dikarenakan aliran regurgitasi dari katup mitral. Murmur ini
dapat terdengar lebih jelas dengan menggunakan sisi bel dari stetoskop dan pada saat
pasien dengan posisi miring ke kiri dan pasien menahan napas saat ekspirasi.6
c. Basal diastolic murmur, adalah murmur awal diastolic dari regurgitasi aorta, dengan
karakteristik murmur bernada tinggi, decrescendo, terdengar lebih jelas pada bagian kanan
atas dan midsternal pada ekspirasi dalam.6

1.5.2 Gagal jantung kongestif


Gagal jantung dapat terjadi sekunder karena insufisiensi katup yang berat atau
myocarditis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda gagal jantung seperti takipnoe,
orthopnea, peningkatan JVP, ronchi basah karena edema paru, gallop, edema pada ekstremitas.5

1.5.3 Pericarditis

Terdengarnya pericardial friction rub menandakan terdapatnya pericarditis.5

Meningkatnya bunyi dull pada perkusi jantung, ictus cordis yang tidak terlihat, dan
terdengarnya bunyi jantung yang lebih teredam dapat menunjukkan terdapatnya pericarditis.
Pada keadaan darurat, jika terdapat efusi pericardial dilakukan pericardiocentesis.5

Gejala noncardiac termasuk polyarthritis, chorea, erythema marginatum, dan nodul


subkutan, selain itu nyeri abdomen, arthralgia, epistaksis, demam juga dapat didapatkan.6

a. Polyarthritis
Gejala yang sering dan gejala awal yang didapatkan pada demam rematik akut (pada 7075% pasien). Karakteristik dari arthritis adalah biasanya dimulai dari sendi-sendi besar di
ekstremitas bagian bawah (lutut dan pergelangan kaki), yang kemudian menjalar ke sendi-sendi
besar lainnya di ekstremitas atas (siku dan pergelangan tangan). Terdapat nyeri pada sendi yang
terkena, bengkak, hangat, kemerahan pada kulit karena proses inflamasi dan didapatkan
keterbatasan gerak pada sendi yang terkena. Arthritis ini mencapai nyeri maksimal pada 12-24
jam, yang menetap selama 2-6 hari (sangat jarang nyeri bertahan lebih dari 3 minggu), nyeri
akan berkurang dengan pemberian aspirin.6

b. Sydenham chorea
Sydenham chorea terjadi pada 10-30% pasien dengan demam rematik. secara khas
ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan yang berlangsung cepat dan
umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu sisi tubuh. Manifestasi
demam rematik ini lazim disertai kelemahan otot dan ketidakstabilan emosi. Korea jarang
dijumpai pada penderita di bawah usia 3 tahun atau setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada

perempuan. Korea Sydenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting
sehingga dapat dianggap sebagai pertanda adanya demam rematik meskipun tidak ditemukan
kriteria yang lain. Korea merupakan manifestasi demam rematik yang muncul secara lambat,
sehingga tanda dan gejala lain kemungkinan sudah tidak ditemukan lagi pada saat korea mulai
timbul.5

Keluhan pasien adalah kesulitan dalam menulis, gerakan-gerakan wajah, tangan dan kaki
tanpa tujuan, kelemahan yang menyeluruh, dan emosional yang labil. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan hyperextended joints, hipotonia, fasikulasi lidah, dan gerakan tidak bertujuan. Gejala
ini akan mengalami resolusi dalam 1-2 minggu dan akan sembuh sempurna dalam 2-3 bulan.3

c. Erythema marginatum
Merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam rematik dan tampak sebagai
makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah, tidak terasa gatal, berbentuk bulat atau
dengan tepi yang bergelombang dan meluas secara sentrifugal. Eritema marginatum juga dikenal
sebagai eritema anulare rematikum dan terutama timbul di daerah badan, pantat, anggota gerak
bagian proksimal, tetapi tidak pernah ditemukan di daerah wajah. Kelainan ini dapat bersifat
sementara atau menetap, berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain,
dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan. Tanda mayor demam rematik
ini hanya ditemukan pada kasus yang berat ditemukan pada kira-kira 5% pasien demam rematik,
berlangsung berminggu-minggu dan berbulan, tidak nyeri dan tidak gatal. Lesi eritematous
dengan warna pucat pada bagian tengah dan disekelilingnya, dengan tepi yang bergelombang.3

d. Subcutaneous nodules
Biasanya terjadi pada 0-8% pasien dengan demam rematik. Jika terdapat nodul, maka
nodul didapatkan pada daerah siku, lutut, pergelangan kaki dan pergelangan tangan, prosesus
spinosus dari vertebra. Nodul ini teraba keras, ukuran 1-2 cm, tidak melekat pada jaringan
sekitarnya, dan tidak ada nyeri tekan. Nodul subkutan terjadi beberapa minggu dan mengalami
resolusi dalam satu bulan. Nodul ini sangat berhubungan dengan rematik carditis, jika pada
pasien tidak didapatkan gejala carditis, maka terdapatnya nodul subkutan harus dipikirkan
kemungkinan lain.3

Kriteria Minor
1) Riwayat demam rematik
Sebelumnya dapat digunakan sebagai salah satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik
sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada kriteria obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat
demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap seorang penderita
seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak
terdiagnosis.2

2) Artralgia
Rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan atau keterbatasan gerak
sendi. Biasanya melibatkan sendi-sendi besar. Kadang nyerinya sangat berat sehingga tidak mampu
bergerak. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada otot atau jaringan periartikular

lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak normal. Artralgia
tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria
mayor.2

3) Demam
Pada demam rematik biasanya ringan,meskipun adakalanya mencapai 39C, terutama jika
terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu demam derajat ringan selama
beberapa minggu. Demam merupakan pertanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat
dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak memiliki arti diagnosis
banding yang bermakna. Demam biasa terjadi pada serangan poliartritis reumatik, sering pada karditis
reumatik murni, namun tidak ada pada korea syndenham murni.2

4) Peningkatan kadar reaktan fase akut


Berupa kenaikan laju endap darah, kadar protein C reaktif, serta leukositosis merupakan
indikator nonspesifik dan peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir selalu
ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea merupakan satu-satunya manifestasi mayor
yang ditemukan. Ketiga uji ini juga abnormal pada beberapa infeksi bakteri dan penyakit kolagen. Perlu
diingat bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif.
Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami kenaikan pada
gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada
semua kasus infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak bertambah, maka kemungkinan
adanya infeksi streptokokus akut dapat dipertanyakan.2

5) Interval P-R yang memanjang


Biasanya menunjukkan adanya keterlambatan abnormal sistem konduksi pada nodus
atrioventrikel dan meskipun sering dijumpai pada demam rematik, perubahan gambaran EKG ini
tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu, interval P-R yang memanjang juga bukan
merupakan pertanda yang memadai akan adanya karditis rematik.2

Adapun keadaan- keadaan yang merupakan pengecualian pemakaian kriteria jones antara
lain :
a. Korea yang terjadi sebagai satu- satunya manifestasi klinis demam rematik.
b. Indolent carditis yang menjadi satu- satunya manifestasi klinis pada pasien yang datang
beberapa bulan setelah onset demam rematik.
c. Seringkali pasien yang mengalami kekambuhan (recurrens) tidak memenuhi kriteria jones.6

GAGAL JANTUNG

3.1 Definisi
Gagal jantung adalah keadaan dimana darah yang dipompakan dari jantung tidak mencukupi
kebutuhan tubuh. Secara singkat, gagal jantung merupakan gangguan kemampuan jantung untuk
memompakan darah dari vena menuju arteri. Gagal jantung juga dapat dikatakan sebagai
gangguan proses biokimia dan biofisika jantung yang mengakibatkan rusaknya kontraktibilitas
dan relaksasi miokard. Hal ini mengakibatkan percepatan kematian sel otot jantung sehingga
meyebabkan kecacatandan kematian dini. Dari keseluruhan pengertian di atas, gagal jantung juga
dapat didefinisikan sebagai sindroma klinis penyakit jantung berupa pengurangan curah jantung,
peningkatan tekanan vena dan disertai oleh ketidaknormalan molekuler yang meyebabkan
perburukan progresif dan kegagalan kerja jantung dan kematian dini sel miokard.11

3.2 Epidemiologi
Gagal jantung menjadi penyakit yang terus meningkat kejadiannya terutama pada lansia.
Studi Framingham memberikan gambaran yang cukup jelas tentang gagal jantung. Pada studi ini
disebutkan bahwa kejadian gagal jantung per tahun pada orang berusia >45 tahun adalah 7,2

kasus setiap 1000 orang laki-laki dan 4,7 kasus setiap 1000 orang perempuan, dimana prevalensi
gagal jantung adalah 24 setiap 1000 orang laki-laki dan 25 setiap orang perempuan. Gagal
jantung ditandai dengan mortalitas yang tinggi dengan frekuensi rawat inap di rumah sakit yang
sering dan penurunan kualitas hidup.11

3.3 Etiologi
Karena morbiditas, mortalitas dan biaya pelayanan kesehatan yang tinggi,maka faktor resiko
yang menyebabkan gagal jantung perlu diidetifikasi dan ditanganisedini mungkin. Penyakit yang
menyebabkan gagal jantung adalah penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan katup
jantung, dan kardiomiopati.11
Tabel 2. Evaluation of the Cause of Heart Failure: The History
History to include inquiry regarding:
Hypertension
Diabetes
Dyslipidemia
Valvular heart disease
Coronary or peripheral vascular disease
Myopathy
Rheumatic fever
Mediastinal irradiation
History or symptoms of sleep-disordered breathing
Exposure to cardiotoxic agents
Current and past alcohol consumption
Smoking
Collagen vascular disease
Exposure to sexually transmitted diseases
Thyroid disorder
Pheochromocytoma
Obesity
Family history to include inquiry regarding:
Predisposition to atherosclerotic disease (Hx of MIs, strokes, PAD)
Sudden cardiac death
Myopathy Conduction system disease (need for pacemaker)
Tachyarrhythmias

Cardiomyopathy (unexplained HF)


Skeletal myopathies
HF indicates heart failure; Hx, history; MI, myocardial infarction; and PAD,
peripheral arterial disease.

3.4 Klasifikasi
Gagal jantung diklasifikasikan berdasarkan jenis dan tingkat kelainan untuk mencapai tujuan
terapi. Pengklasifikasian juga diperlukan untuk membantu memantau respon pengobatan.
Berbagai klasifikasi gagal jantung ditentukan berdasarkan patofisiologi, gejala, dan kapasitas
aktivitas.

3.4.1 Forward and Backward Heart Failure (Gagal jantung efek ke depan dan kebelakang)
Klasifikasi ini digunakan untuk memahami perubahan hemodinamik yang muncul segera
setelah suatu patofisiologi yang spesifik.
a.

Forward heart failure (Gagal jantung efek ke depan)


Gagal jantung jenis ini terjadi akibat pengosongan penampungan vena yang tidak

mencukupi. Penyebab umum dari gagal jantung kiri dengan efek forward adalah:

Stenosis aorta (hambatan pengosongan akibat obstruksi mekanis).

Miokarditis (menyebabkan fase sistolik yang memendek akibat kerusakan otot jantung).

Infark miokard luas.


b. Backward heart failure (Gagal jantung efek ke belakang)
Gagal jantung jenis ini terjadi akibat pengurangan pengosongan darah menujuarteri

paru dan aorta. Peyebab dari gagal jantung dengan efek backward adalah:

Stenosis mitral (mengakibatkan penurunan aliran balik vena menuju ventrikel kiri).

Kardiomiopati hipertropik (mengakibatkan penurunan pengisiian saatdiastolik).

3.4.2 Gagal Jantung Sistolik, Gagal Jantung Diastolik


Klasifikasi ini lebih mudah dipahami dibandingkan dengan klasifikasi sebelumnya.
a. Gagal jantung sistolik
Gagal jantung sistolik terjadi akibat terganggunya kemampuan jantung untuk
mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Hal ini disebabkan oleh adanya penekanan kontraktilitas
miokard. Gagal jantung sistolik akut terlihat pada miokarditis akibat virus, keracunan alkohol,
dan anemia, sedangkan gagal jantung sistolik kronis dapat terjadi setelah kardiomiopati atau
infark miokard.
b. Gagal jantung diastolik
Gagal jantung diastolik terjadi akibat dari pengisian jantung yang terganggu. Hal ini
biasa tampak pada wanita lanjut usia. Empat mekanisme patologi yang dihasilkan pada gagal
jantung jenis ini telah diketahui.
Penyakit struktural
-

Kerusakan katup jantung

Abnormalitas anatomi seperti hipertropi konsentrik

Efusi pericardial

Abnormalitas fisiologis
-

Peningkatan volume sistolik akhir

Pengurangan waktu pengisian sebagaimana tampak pada takikardia

Abnormalitas non-miosit
-

Peningkatan jaringan ikat

Perikarditis konstriktif Abnormalitas miosit

3.4.3 Gagal Jantung Kiri dan Kanan

Klasifikasi ini terutama bermanfaat pada pasien dengan penyakit jantung valvular dan
kongenital:
a. Gagal jantung kiri
Gagal jantung kiri lebih banyak terjadi pada praktek klinik. Gagal jantung kiri biasa
terjadi pada pasien dengan kardiomiopati dilatasi. Hal ini terjadi akibat akumulasi darah sebelum
darah sebelum masuk ventrikel kiri. Yang mengakibatkan peningkatan tekanan atrium kiri dan
vena paru sehingga terjadiakumulasi cairan diparu. Pasien dengan gagal jantung kiri ini sering
mengalami kesulitan bernapas.
b. Gagal jantung kanan
Gagal jantung kanan lebih jarang terjadi dan hanya terjadi pada pasien dengan
penyakit jantung bawaan dan kor pulmonale. Gagal jantung kanan terjadi akibat akumulasi darah
sebelum masuk ke ventrikel kanan. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan atrium kanan dari
vena sistemik sehingga terjadi akumulasi cairan pada jaringan lunak tubuh. Pasien dengan gagal
jantung kanan sering mengalami edema.

3.4.4 Low-Output Heart Failure, High-Output Heart Failure


Klasifikasi ini berdasarkan pada volume hemodinamik dan curah jantung. Perbedaan
antara gagal jantung curah rendah dan tinggi dapat dilihat dari karakteristik detak jantung atau
dengan kata lain detak jantung yang ringan menandakan curah rendah dan detak jantung yang
tidak beraturan menandakan gagal jantung curah tinggi. Sebagian besar gagal jantung adalah
gagal jantung curah rendah. Gagal jantung curah tinggi jarang terjadi dan jika terjadi
berhubungan dengan:

Defisiensi nutrisi seperti beri-beri atau anemia

Hipertiroidisme

Tumor vaskular yang besar.

3.5 Klasifikasi Kapasitas Fungsional dan Penilaian Objektif


3.5.1 Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA)
Kelas I: Asimtomatik
Tidak ada pembatasan aktifitas fisik akibat penyakit jantung kelas ini, hanya dapat diduga
jika terdapat riwayat penyakit jantung yang dipastikan melalui pemeriksaan misalnya
kardiomegali.
Kelas II: Ringan
Terdapat sedikit pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas yang lebih berat menyebabkan
nafas tersengal, misalnya berjalan menaiki tangga. Pasien pada kelas ini dapat menjalani gaya
hidup dan pekerjaan yang hampir mirip dengan keadaan normal.
Kelas III: Sedang
Terdapat pembatasan aktivitas yang lebih jelas sehingga dapatmengganggu pekerjaan.
Kelas IV: Berat
Tidak mampu menjalani aktivitas fisik tanpa disertai gejala. Pasien kesulitan bernapas
pada saat beristirahat dan kebanyakan jarang keluar rumah.B. Klasifikasi gagal jantung menurut
American Heart Association/American Collage of Cardiology (AHA/ACC) Klasifikasi ini
menekankan pada evolusi dan perkembangan gagal jantung kronik. Klasifikasi ini melengkapi
klasifikasi NYHA dan membantu penerapan pengobatan awal.

Klasifikasi Gagal Jantung


A
Pasien mempunyai resiko tinggi mengalami gagal jantung karena menderita penyakit
yang merupakan penyebab terjadinya gagal jantung. Pasien seperti ini tidak mempunyai
abnormalitas struktur jantung maupun fungsi perikardia, miokard, atau katup jantung dan tidak
pernah memperlihatkan gejala gagal jantung.

B
Pasien dengan penyakit jantung dengan abnormalitas struktur yang merupakan penyebab
terjadinya gagal jantung namun tidak pernah menunjukkan gejala gagal jantung.

C
Pasien yang pernah atau sedang mengalami gejala gagal jantung akibat adanya
abnormalitas struktur jantung.

D
Pasien dengan abnormalitas struktur jantung yang darah dan menunjukkan gejala gagal
jantung pada saat beristirahat meskipun diberikan terapi medik secara maksimal sehingga
memerlukan penanganan yang khusus.

3.6 Patofisiologi
Kerja jantung diatur oleh dua sistem yang berbeda. Sistem pertama adalah regulasi secara
intrinsik yang melibatkan respon miokard untuk meregangkan seratotot jantung sebelum proses
kontraksi. Hal ini disebut preload dan melibatkan proses pengisian jantung selama diastolik

seperti volume diastolik akhir. Respon miokard untuk meningkatkan kapasitas jantung setelah
kontraksi dimulai disebut afterload.
Sistem kedua merupakan regulasi secara ekstrinsik yang melibatkan respon jantung terhadap
kondisi-kondisi seperti stimulasi neural, hormon, obat dan penyakit. Setiap perubahan pada
kedua sistem tersebut menyebabkan gagal jantung.

3.6.1 Hukum Starling tentang jantung


Hukum ini pertama kali dicetuskan oleh Frank dan Starling menyebutkan bahwa pada
kondisi normal, tekanan yang dihasilkan oleh otot yang berkontraksi akan lebih besar bila
sebelumnya otot mengalami peregangan. Hal ini mengakibatkan selama diastolik jika terjadi
pengisian darah yang lebih besar ke dalam ventrikel dapat menyebabkan kontraksi berikutnya
menjadi penuh tekanan. Menurut hukum Starling, suatu peningkatan pada volume diastolik akhir
(preload) menyebabkan jantung memulai kontraksi pada tekanan dan volume yang lebih
tinggi.Perubahan pada gagal jantung. Pada kasus terjadi gagal jantung sistolik, terdapat kontraksi
ventrikel kiri yang terganggu, sehingga terjadi pengurangan kemampuan peningkatan volume
sekuncup dengan meningkatkan preload. Jika kondisi ventrikel kiri memburuk, tekanan dan
volume jantung akan terus meningkat dan menyebabkan kongesti vena paru.

Pada fase awal gagal jantung terdapat dua mekanisme yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki kontraktilitas miokard. Respon pertama adalah dengan mekanisme Straling.
Mekanisme kedua adalah melalui aktivasi sistem saraf simpatik. Jika penyakit bertambah parah,
hipertropi menyebabkan perburukan fungsi jantungdan menyebabkan kondisi gagal jantung yang
memburuk.

3.6.1 Aktivasi Neurohormonal


Selama lebih dari satu dekade, terdapat pengertian bahwa respon neurohormonal berperan
dalam pathogenesis gagal jantung. Respon ini pada awalnya menguntungkan, namun selanjutnya
menyebabkan perburukan pada gagal jantung. Respon ini menghasilkan beberapa perubahan
hemodinamik, seperti vasokonstriksi dan retensi volume air.

3.7 Gejala Klinis


Sindroma klinis gagal jantung merupakan efek terakhir dari berbagai penyakit jantung.
Pasien yang sudah mengalami gagal jantung biasanya akan mengalami satu atau lebih gejalagejala berikut:
3.7.1 Dispnea : Sulit bernafas (sesak nafas) merupakan gejala utama dari gagal jantung. Hal ini
terjadi karena adanya peningkatan kerja jantung untuk membuat paru-paru terbendung
berventilasi.

3.7.2 Dispnea nocturnal paroksismal: (sesak nafas malam hari): Episode sulit bernafas (sesak
nafas) yang terjadi pada saat tidur sehingga menyebabkan pasien terbangun secara tibatiba.
3.7.3 Orthopnea: Merupakan gejala sulit bernafas yang memburuk pada saat pasien berbaring.
Hal ini terjadi karena tingginya elevasi posisi kaki akan meningkatkan aliran darah vena
kembali ke kanan.
3.7.4 Penurunan toleransi latihan fisik, lesu, lelah: Hal ini terjadi karena penurunan curah
jantung dalam waktu lama.
3.7.5 Edema tungkai : Hal ini terjadi karena adanya akumulasi cairan pada kaki akibat gaya
berat gravitasi.Pemeriksaan fisik: Pada kondisi gagal jantung yang tidak berat, hasil
pemeriksaanfisik yang dilakukan dapat merupakan gejala yang tidak khas karena dapat
pula merupakan gejala penyakit lain selain gagal jantung, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan yang lengkap jika pasien datang dengan keluhan gejala gagal jantung.

Tanda-tanda fisik berikut ini dapat terjadi pada pasien gagal jantung.

Takikardia : Tanda ini bukan merupakan gejala yang khs bagi gagal jantung.

Detak nadi : Detak nadi yang lambat terjadi pada gagal jantung dengan curah jantung
rendah dan detak nadi yang tidak beraturan terjadi pada gagal jantungdengan curah
jantung tinggi.

Peningkatan tekanan vena jugularis: gejala ini merupakan gejala yang sangat khas pada
gagal jantung karena jika tekanan vena jugularis normal maka bisa dipastikan penyakit
yang muncul bukan penyakit gagal jantung. Namun hal ini tidak berlaku bagi pasien yang
sedang mengkonsumsi diuretik.

3.8 Diagnosis
Kriteria Farmingham untuk Gagal Jantung Kongestif Diagnosis gagal jantung
berdasarkan criteria ini harus mendapatkan/menemukan minimal dua kriteria mayor atau satu
kriteria mayor dengan dua kriteria minor.

3.8 Pemeriksaan Penunjang


3.8.1 Pemeriksaan Laboratorium Rutin
Pasien dengan gagal jantung onset baru dan yang sudah kronis dan juga dekompensasi
akut harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, ureum, kreatinin, fungsi hati, dan
juga urinalisis. Pada beberapa pasien juga harus dilakukan pemeriksaan penyaring diabetes
mellitus (kadar gula darah puasa dan 2 jam PP), dislipidemia (profil lipid), dan kelainan tiroid
(kadar TSH).

3.8.2 Elektrokardiogram (EKG)


EKG rutin 12 lead direkomendasikan untuk semua pasien gagal jantung. Adapun peranan
EKG disini adalah untuk menilai irama jantung, melihat adanya hipertrofi ventrikel kiri, melihat

riwayat infark miokard sebelumnya (ada atau tidaknya gelombang Q patologis), dan juga menilai
lebar QRS sebagai kandidat terapi resinkronisasi. EKG yang normal pada umumnya
mengeksklusikan disfungsi sistolik.

3.8.3 Foto Thoraks


Foto thoraks memberi informasi tentang bentuk dan ukuran jantung, gambaran
vaskularisasi pulmonal, dan juga dapat mengidentifikasi penyebab non-kardial dari gejala-gejala
pasien. Meskipun pasien dengan gagal

jantung akut mempunyai bukti adanya hipertensi

pulmonal, edema interstisial, dan/atau edema pulmonal, mayoritas pasien dengan gagal jantung
kronis tidak. Tidak adanya temuan-temuan ini pada pasien dengan gagal jantung kronis
menggambarkan peningkatan kapasitas drainage dari sistem limfatik untuk membuang cairan
interstisail dan pulmonal.

3.8.4 Echocardiogram
Pencitraan jantung noninvasif adalah penting untuk diagnosis, evaluasi, dan
penatalaksanaan dari gagal jantung. Test yang paling berguna adalah echocardiogram 2-D/
Doppler, yang dapat memberi gambaran semikuantitatif dari ukuran dan fungsi ventrikel kiri
begitu juga ada tidaknya abnormalitas katup dan/atau gerakan dinding regional (indikatif untuk
MI sebelumnya). Indeks penting untuk menilai fungsi dariventrikel kiri adalah ejection fraction
(perbandingan stroke volume terhadap end-diastolic volume). Oleh karena EF mudah untuk
dinilai dengan menggunakan testnoninvasive, hal ini telah diterima luas di kalangan klinisi.
Namun EF juga memiliki beberapa keterbatasan sebagai ukuran kontraktilitas, karena juga
dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai contoh, LVEF akan
meningkat pada regurgitasi mitral oleh karena ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang tekanannya

rendah. Meskipun demikian, dengan pengecualian kasus di atas, ketika EFnormal (50%), fungsi
sistolik biasanya adekuat, dan jika EF menurun (<30-40%),kontraktilitas biasanya juga menurun.

3.8.5 Biomarker
Kadar natriuretic peptides di sirkulasi berguna sebagai pemeriksaan tambahan untuk
mendiagnosis pasien dengan gagal jantung. Baik B-type natriuretic peptide (BNP) dan Nterminal pro-BNP, yang dilepas pada saat kegagalan jantung terjadi,adalah marker yang sensitif
adanya gagal jantung dengan EF yang menurun; marker ini juga meningkat pada pasien dengan
EF yang normal, meskipun kadarnya lebih rendah.

3.9 Terapi Gagal Jantung


Berdasarkan guideline ACC/AHA 2005 yang direvisi tahun 2009 memberikan rekomendasi
penatalaksanaan yang berbeda pada setiap stadium dari gagal jantung yaitu:

Stage A
Tujuan utama penatalaksanaan pada stadium ini adalah untuk mencegah kelainan struktural
dari jantung. Hal ini dapat dilakukan dengan mengontrol faktor resiko seperti hipertensi,
penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, hiperlipidemia, merokok, konsumsi alkohol, dan
penggunaan obat-obatan kardiotoksik, yang akan menurunkan insidensi kejadian kardiovaskular.
Evaluasi periodik terhadap gejala dan tanda dari gagal jantung dapat dilakukan pada pasien ini.
Ventricular rate hausfi kontrol atau restorasi ke irama sinus pada pasien dengan takiaritmia
supraventrikular yang mempunyai resiko untuk menjadi gagal jantung. Kelainan tiroid juga harus
diatasi sesuai guideline yang berlaku pada psien resiko tinggi. Penyedia kesehatan
harusmelakukan evaluasi nonivasif terhadap fungs ventrikel kiri (mis, LVEF) pada pasien

dengan riwayat keluarga dengan kardiomiopati ataupun pasien yang menerima intervensi
kardiotoksik (Rekomendasi kelas I).ACE inhibitor dapat digunakan untuk mencegah gagal
jantung pada pasien dengan resiko tinggi menjadi gagal jantung yaitu pasien dengan riwayat
penyakit aterosklerosis, DM, dan hipertensi. Angiotensin receptor II juga dapat digunakan
sebagai pengganti ACE inhibitor (Rekomendasi Kelas II). Penggunaan suplemen nutrisi rutin
terhadap pencegahan kerusakan struktural jantung tidak direkomendasikan (Rekomendasi Kelas
III)
Stage B
Pada pasien stadium ini insidensi dari gagal jantung dapat diturunkan dengan mengurangi
resiko terjadinya cedera tambahan serta menghambat evolusi dan progresi dari remodeling
ventrikel kiri. Semua rekomendasi kelas I pada stadium A harus diaplikasikan pada semua pasien
dengan stadium B. Penyekat receptor beta dan ACE inhibitor harus digunakan pada semua
pasien dengan riwayat penyakit sekarang atau terdahulu dari infark miokard. Beta blocker juga
diindikasikan pada pasien tanpa riwayat infark miokard. ACE inhibitor harus digunakan pada
pasien dengan penurunan fraksi ejeksi dan tidak ada gejala gagal jantng, meskipun telah
mengalami infark miokardium. Angiotensin II receptor blocker juga harus diberikan pada pasien
post-MI tanpa gagal jantung yang tidak toleransi terhadap ACE inhibitor. Revaskularisasi
koroner harus direkomendasikan pada pasien yang tepat yang belum mengalami gejala gagal
jantung. Terapi pengganti atau perbaikan katup jantung harus direkomendasikan pada pasien
stenosis dan regurgitasi katup tanpa gejala gagal jantung (Rekomendasi Kelas I). ACE inhibitor
ataupun ARB dapat diberikan pada pasien hipertensi dan hipertorfi ventrikel kiri. ARB dapat
diberikan pada pasien dengan fraksi ejeksi yang rendah dan tanpa gejala dari gagal jantung yang
tidak toleransi terhadap ACE inhibitor. Penenmpatan ICD dapat dilakukan pada pasien dengan

kardiomiopati iskemik yang minimal lewat 40 hari post-MI, mempunyai fraksi ejeksi ventrikel
kiri< 30%, NYHA fungsional kelas I yang telah mendapat terapi medis kronis (Rekomendasi
Kelas II).Digoksin tidak boleh digunakan pada pasien dengan EF (ejection fraction ) rendah,
irama sinus, dan riwayat gejala gagal jantung. Pemakaian suplemen nutrisi tidak
direkomendasikan. Ca channel blocker dengan efek inotrofik negatif dapat berbahaya pada
pasien asimptomatik dengan LVEF rendah dan tidak ada gejala darigagal jantung (Rekomendasi
Kelas III).5

Stage C
Semua rekomendasi kelas I pada pasien stage A dan B dapat dilakukan pada pasien stage C.
Pemberian diuretik dan restriksi garam diindikasikan pada pasien dengan gejala sekarang atau
terdahulu dari gagal jantung dan penurunan LVEF yangmengalami retensi cairan. ACE inhibitor
direkomendasikan pada semua pasiendengan gejala gagal jantung dan penurunan EF, kecuali ada
kontraindikasi.Penggunaan 1 dari 3 beta blocker yaitu bisoprolol, carvediol, dan metoprolol
terbuktimengurangi mortalitas dan direkomendasikan pada pasien ini kecuali kontraindikasi.
ARB dapat digunakan pada pasien yang tidak toleransi terhadap ACE inhibitor. Obat-obatan
yang dapat memperburuk gagal jantung harus dihentikan dan dicegah penggunaannya jika
mungkin sperti NSAID, obat antiaritmia, dan Ca Channel blocker. Pemasangan implantable
cardioverter-defibrillator direkomendasikan sebagai pencegahan sekunder untuk memperpanjang
survival pada pasien dengan riwayat henti jantung, fibrilasi ventrikular, atau takikardia
ventrikular yang tidak stabil hemodinamiknya. Alat ini juga sebagai pencegahan primer terhadap
sudden cardiac death pada pasien kardiomiopati dilatasi iskemik atau penyakit jantungiskemik
dengan masa post-MI lebih dari 40 hari, dan LVEF 35% dengan NYHAfungsional kelas II atau
III. Pasien dengan LVEF 35%, irama sinus, dan NYHAfungsional kelas III dan IV dengan

durasi QRS 0,12 detik, harus dilakukan terapiresinkronisaasi jantung, dengan atau tanpa ICD.
Pemberian antagonis aldosterondirekomendasikan pada pasien dengan gejala sedang sampai
berat dan penurunanLVEF dimana kadar kreatinin harus 2,5 mg/dL pada pria atau 2,0 mg/dL
padawanita dan kadar kalium harus 5,0 mEq/L . Kombinasi hidralazine dan
nitratdirekomendasikan pada pasien afro-amerika dengan gejala sedang dan beratmeskipun terapi
yang optimal. Pada pasien gagal jantung dengan hipertensi sistolik dan diastolik dengan LVEF
yang normal, tekanan darah harus dikontrol sesuaidengan guideline yang berlaku. Kontrol rate
ventrikular juga dilakukan pada pasiendengan LVEF normal dan fibrilasi atrium. Edema
pulmonal dan juga perifer jugaharus dikontrol dengan penggunaan diuretik pada pasien dengan
LVEF normal. (Rekomendasi Kelas I).

Pada pasien dengan fibrilasi atrium dan gagal jantung dapat diatasi dengankontrol rate
ventrikular. ARB dapat digunakansebagai lini pertama terutama pada pasien dengan indikasi lain
penggunaan ARB. Digitalis dapat diberikan pada pasien dengan penurunan LVEF untuk
mengurangi masa rawatan. Penambahan kombinasihidralazin dan nitrat pada pasien dengan
penurunan LVEF pada pasien dengan gejalayang persisten dapat dilakukan. Penggunaan terapi
resinkronisasi jantung dapatdigunakan pada pasien dengan indikasi yang tepat. Kombinasi
hidralazin dan nitratdapat diberikan pada pasien dengan intoleransi terhadap ACE inhibitor dan
ARB, hipotensi ataupun insufisiensi ginjal. Revaskularisasi koroner dapat dilakukan pada pasien
tertentu yaitu pasien CAD yang simptomatik atau iskemik miokardium. Restorasi dan
maintenance terhadap irama sinus pada pasien dengan fibrilasi atrial berguna untuk memperbaiki
gejala pada gagal jantung dan LVEF normal. Penggunaan beta blocker, ACE inhibitor, atau Ca
antagonis efektif pada pasein gagal jantung dengan LVEF normal. Penggunaan digitalis untuk

meminimalisir gejala pada pasien gagal jantung dengan LVEF normal belum diketahui
manfaatnya. (Rekomendasi Kelas II).

Penggunaan kombinasi rutin ACE inhibitor, ARB, dan aldosterone antagonisttidak


direkomendasikan. Pemberian Ca chanel blocker tidak diindikasikan secararutin pada psien
stadium C. Infus jangka panjang dari obat inotropik positif dapat berbahaya dan tidak
direkomendasikan. Penggunaan suplemen nutrisi dan terapihormon tidak direkomendasikan
(Rekomendasi Kelas III).

Stage D
Pada pasien dengan stadium ini identifikasi dan kontrol yang cermat terhadap retensi cairan
direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung refraktoris tahap akhir. Transplantasi
jantung terhadap pasien yang sesuai dapat direkomendasikan pada pasien ini, selain itu
penanganan khusus juga dilakukan pada pasien ini oleh ahli-ahli yang khusus. Diskusi perawatan
end-of-life harus dilakukan bersama dengan pasien dan keluarga. Pasien dengan implantable
defibrillators harus diinformasikan untuk pilihan menginaktivasi alat tersebut (Rekomendasi
Kelas I).

Pilihan untuk menggunakan LV assist device sebagai terapi akhir pada pasien dengan gagal
jantung tahap akhir refraktoris dan mortalitas 1-tahun > 50% dengan terapi medis. Pemasangan
kateter arteri pulmonal dapat juga dilakukan pada gejala yang sangat berat. Penggantian katup
mitral belum terbukti pada pasien gagal jantung refraktoris dengan regurgitasi mitral berat
sekunder. Infus intravena berkesinambungan dari agen inotropik untuk mengatasi gejala dapat
dilakukan (Rekomendasi Kelas II).

Ventrikulektomi kiri parsial tidak direkomendasi pada pasien dengan kardiomiopati noniskemik dan gagal jantung tahap akhir. Infus intermiten dari agen vasso aktif dan inotropik
positif tidak direkomendasikan yang sangat berat. Penggantian katup mitral belum terbukti pada
pasien gagal jantung refraktoris dengan regurgitasi mitral berat sekunder. Infus intravena
berkesinambungan dari agen inotropik untuk mengatasi gejala dapat dilakukan (Rekomendasi
Kelas II). Ventrikulektomi kiri parsial tidak direkomendasi pada pasien dengan kardiomiopati
non-iskemik dan gagal jantung tahap akhir. Infus intermiten dari agenvassoaktif dan inotropik
positif tidak direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung tahap akhir refraktoris
(Rekomendasi Kelas III).

Rekomendasi ini dapat diringkas seperti pada gambar dibawah ini: pada pasien dengan gagal
jantung tahap akhir refraktoris (Rekomendasi Kelas III). Rekomendasi ini dapat diringkas seperti
pada gambar dibawah ini.

Adapun penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien dengan gagal jantung meliputi
3.9.1 Non farmakologi
Penyuluhan umum
Penyuluhan tentang gagal jantung kepada pasien dan keluarganya.
Mengontrol berat badan
Pengaturan diet dan kebiasaan sehari-hari
-

Diet rendah garam (<2 gr/hari)

Pembatasan intake cairan (1,5-2L/hr)

Hindari konsumsi alkohol

Berhenti merokok

Pembatasan dan penyesuaian aktivitas fisik


Obat-obatan yang perlu mendapat perhatian khusus

3.9.1 Farmakologi
a. Diuretik
Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit diuretik regular
dosis rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis normal dan menghilangkan edema.
Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respons tidak cukup baik dosis diuretik
dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena atau kombinasi loop diuretik dan tiazid. Diuretik
hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/haridapat mengurangi mortalitas pada
pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal
jantung sistolik.
b. Penghambat ACE

Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal dan pada gagal
jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri.
c. Penyekat Beta
Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian mulai dosis kecil,
kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengankontrol ketat sindrom gagal jantung.
Biasanya diberikan bila keadaan sudahstabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III.
d. Angiotensin II antagonis reseptor
Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada kontraindikasi penggunaan
penghambat ACE dan diuretik.
e. Kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat member hasil yang baik pada pasien
yang intoleran dengan penghambat ACE dapat dipertimbangkan.
f. Digoksin
Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi sistolik
ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik,
penghambat ACE, penyekat beta.
g. Antikoagulan dan antiplatelet.
Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi
atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk.
h. Antiaritmia
Aritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau aritmia ventrikel
yang tidak menetap.
i. Antagonis kalsium dihindari.

You might also like