Professional Documents
Culture Documents
sampai di sini sang dhalang kehabisan kata-kata ternyata penyebab masalahnya adalah
perbedaan kesempatan kini balik sang dhalang bertanya sudahkah kita semua bersikap adil pada
para punakawan
yang ada di sekitar kita
akhir cerita aslinya adalah sebagai berikut bimasena segera menghantam patih kanekaretna
sampai semaput yang lalu babar berubah menjadi batara narada si perut gendut
sementara arjuna yang juga sudah dibebaskan segera menyerang detya kaladurga yang masih
keheranan dan babarlah sang detya menjadi batara guru si raja kahyangan
ah, itu semua kan hanya kata pak dalang . . .yang terpenting adalah apa makna di balik kisah
semacam ini agar kita tidak senantiasa kalah dan terbelakang cukup sekian sang dhalang
nyuwun pamit undur diri.
To show different kind of characters and each characters changing of emotion during the
play, the dalang would relay on the gesture of each puppet. And the characterization of
each puppet could be seen in how the form itself.
Wayang Kulit Characters
The puppet used in the wayang kulit performance is made from lamb skin, and the form
is carved with care and detail to create each character. And every form that shapes the
face and its part has specific purpose and meaning regarding the personality and
characterization of each character. Basically, there are three kinds of character: The
Satria/noble type, The Ponggawa/warrior type and The Buta/giant type.
The form of the face for each type is mostly the same. Such as the form of the face of
every Satria type character is based on the same form. Because The Satria type is
described as gentle, polite and tender characters, they have a small, half closed eye with
sharp nose and half closed mouth. The small eye is symbolize the Satrias ability to
persist the worldly temptation and desire, while the half closed mouth to symbolize that
they do not talk much as the noble.
The Ponggawa type is a brave and heroic character and is visualized as rougher character
than the Satria type. They have soy bean shaped eye with long and well-shaped nose.
The Buta type is the roughest and toughest character (in relation with physical abilities),
armed with anger, emotional and short tempered attitude. Therefore, they have rounded
and wide opened eyes, big nose and opened mouth.
Four basic eye shapes to differentiate the characterization in wayang kulit: the small half closed eye (top left), the soy
bean shaped eye (top right) and the rounded and wide opened eye (bottom left). There are variations such as in the
bottom right that is used to represent the tricky and cunning character.
To differentiate of each character from every type (because there many characters for each type), wayang
kulit uses the apparel, gesture and color of the face.
For characters that have calm, patience and dedication, they are presented through the bowed
head position. The more ambitious, aggressive, arrogant and impatient attitude characters are
presented through the head held high position. The neutral characters are presented in the head
facing straight ahead.
Three kinds of head position to represent each different character: from the most calm and patience (left), neutral
(middle) and aggressive (right)
Beside the gesture, the color of the face is another significant characterization in describing attitude and
personalities. Black represents mature and calmness. Red describes emotional and uncontrollable desire.
White represents noble heritage, young spirit, pureness and beauty. Yellow/Gold has double meaning: it
could represent noble heritage or beauty (and sometimes, both). Blue represent coward ness.
The character Bima from the noble Pandawa Lima is a robust, giant-man, with straight forward
attitude and kind heart. So he is presented in combination of ponggawa shaped nose, giant
shaped eye with the black color and bowed head.
This is Cakil character, a giant with arrogant (because he always refuses losing in the fight he faces),
cunning and tricky personalities. He is visualized with the head held high, a giant nose and mouth, cunning
shaped eyes and pink colored face.
The giant king that is evil, ambitious and arrogant. He is also very emotional and quick to anger, symbolize
by the red colored face, and the head held high. The crown he wears represents his status as king.
Sadewa -a noble satria type of character- is a mature, calm, patience personalities and yet a little proud of
himself. He is visualized in the head facing straight, with black colored face.
Drupadi is a princess and later becoming the queen of Amarta, after she married Yudhistira, King
of Amarta. She has calm and patience character and is very loyal to her husband. Therefore she
is visualized with the bowed head and black colored face.
Srikandi is also a princess but not just the ordinary princess. She has tomboyish character and
eventually is a skillful warrior especially in archery. To show the different with other princess that
usually calm and obedient, she is presented in the head held high position (to show her
aggressiveness, ambition and tomboyish personality). Because she is in fact a princess, she has
yellow/gold colored face.
The above samples are how the visualization of each character represents their unique personalities. In the
wayang performance, this visual characterization is also emphasized by the whole gesture of the body, the
kind of clothes they wear and how they moved.
The different personalities of each characters presented here is emphasizes with their specific gesture,
shape and colors (not showed here). In the same type (such as the Satria type, two pictures at the bottom),
we could acknowledge that the character in the bottom left has modest and calm type in contrast to the
character in the bottom right who seem more arrogant and confident.
Utah-utahan merupakan hiasan kepala yang umunnya di gunakan di bagian belakang kepala
untuk pelengkap mahkota, topong ataupun hanya digunakan begitu saja. Dikatakan utah utahan
karena bentuknya seperti raksasa atau makhluk yang mengeluarkan isi mulutnya.
Gaya Yogyakarta dan Surakarta juga memiliki perbedaan yang sangat menonjol pada Utah-
utahan. Hal yang sama seperti pada irah-irahan yaitu pada pola isian dari utah-utahan ini. Bagian
atas kanan kepala bisa di lihat pola tatahan khas Yogyakarta dengan
adanya pola: ( ( ( ( dan Surakarta juga sama denagn pola khasnya )))) dan ((((
Dan juga jik kita lihat, Surakarta memiliki ukiran yang lebih padat daripada gaya Yogyakarta
sehingga terlihat lebih rumit.
Pada utah-utahannya sendiri, Yogyakarta tetap menggunakan prinsip dasar pola
( ( ( ( di tepi, dengan bagian tengah berpola ))) ))) . (( ((
RAMBUT
Bagian Rambut ini akan dibagi kedalam dua kategori. Katgori pertama adalah rambut gelung
(sapit urang) yang umumnya ditatah halus dan kategori kedua adalah rambut ngore udalan yang
umumnya berbentuk gimbal dengan tatahan yang lebih besar.
Pada bagian rambut gelung yang umumnya adalah rambut dari ksatria dan dewa (kecuali dewa
raksasa seperti Batara Kala, dan Batara Kali) adalah pada bagian ujung dari gaya Yogyakarta
lebih ramping jika dibandingkan dengan gaya Surakarta dan juga isian dari gelung Yogyakarta
terlihat lebih besar sehingga terkesan padat, sedang gaya Surakarta sebaliknya. Perhatikan
gambar dibawah ini.
Gelung Sapit Urang gaya Surakarta (atas) dan Yogyakarta (bawah) Bagian kedua adalah rambut
ngore udalan atau gimbalan. Rambut ini umumnya digunakan pada wayang raksasa seperti
Dewa Mambang, Kumbakarna, dan wayang raksasa besar lainnya. Pada tatahan kedua gaya ini
hanya ada dua perbedaan yang dapat diperhatikan. Yang pertama adalah alur dari ukiran. Pada
gaya Yogyakarta ukiran yang jatuh kebawah, menggelung ke bawah atau ke dalam ( ) sedang
pada gaya Surakarta ukiran yang tampak adalah ukiran jatuh namun menggelung ke atas atau ke
luar ( ). Pada gambar ini untuk menunjukan luar dan dalam adalah bagian tengah yang berlaku
sebagai leher. Kedua adalah bentuk udalan gaya Surakarta lebih bulat dah berpangkal/buntut
SUMPING
Sumping adalah salah satu perhiasan atau aksesori pada tubuh Wayang Kulit Purwa, yakni
sebagai penghias telinga. Jenis-jenis sumping pada seni kriya Wayang Kulit Purwa gaya
Yogyakarta, antara lain :
1. Sumping Mangkara
2. Sumping Surengpati
3. Sumping Kudhup Turi
4. Sumping Gajah Ngoling,
5. Sumping Mangkara Terate,
6. Sumping Pudhak Sategal
7. Sumping Setegal.
Surakarta, antara lain :
1. Sumping Waderan
2. Sumping Kembang Kluwih
3. Sumping Pudak Sinumpet
4. Sumping Surengpati
5. Sumping Gajah Ngoling
6. Sumping Kembang Pacar
7. Sumping Kembang Telekan.
Selain nama, perbedaan juga terletak pada tatahan seperti halnya yang ditemukan pada bagian
irah-irahan dan garudha mungkur. Di bawah ini adalah contoh sumping yang dimiliki Yogyakarta :
Praba adalah hiasan yang digunakan oleh ksatria besar berwujud seperti sayap yang
melambangkan cahaya dari kehidupan atau lambang sebagai orang terpandang. Perbedaan
yang tampak pada praba adalah bentuk ukiran padat pada gaya Surakarta dan adanya tepian
pada gaya Yogyakarta. Selain itu pokok cabang pohon yang dilukiskan dengan warna merah dan
biru pada gaya Yogyakarta terkesan lebih besar dari pada gaya Surakarta sehingga praba gaya
Surakarta terlihat lebih rumit.
KELAT BAHU
Untuk hiasan tangan dan kaki saya rasa hanya kelat bahu yang memiliki sedikit perbedaan dari
gaya Yogyakarta dan Surakarta. Hal ini di sebabkan oleh bentuk gelang dan hiasan sejenisnya
memiliki bentuk yang sederhana sehingga terkadang tidak ada bedanya. Dalam kelat bahu biasa
ini yang dapat dijelaskan perbedaannya adalah banyaknya rongga pada gaya Yogyakarta karena
keduannya memiliki alur ukiran yang sama
ULUR-ULUR
Pada Tubuh Wayang umumnya terdapat ulur-ulur yaitu semacam hiasan pada bagian dada yang
menyerupai tali yang terulur. Perbedaaan tatahan dari kedua gaya tampak sangat significan di
sini. Pada tali bagian atas dan bawah wayang gaya Yogyakarta hanya berbentuk garis tanpa
hiasan tatahan di dalamnya sedang pada gaya Surakarta, yang terjadi adalah sebaliknya, ulurulur di tatah sampai pada talinya sehingga tampak lebih menarik jika dibandingkan gaya
Yogyakarta. Perbedaan lain adalah adanya pembatas beruap benjolan pada kiri dan kanan ulurulur untuk membatasi tali dan pokok bunga (tengah) yang berbentuk belah ketupat pada ulur-ulur
gaya Yogyakarta sedang dalam gaya Surakarta yang ditemui adalah bentuk halus tanpa benjolan
signifikan antara tali dan pokok bunga gaya Surakarta.
Introduction
Category: Other
Membuka Takbir Wayang Purwa
Menurut cerita Jawa, awal adanya wayang yaitu pada masa raja Jayabaya di Kediri tahun 1135
Masehi. Pada saat itu raja Jayabaya ingin mengambarkan wajah para leluhurnya dengan lukisan
pada daun rontal, meniru wajahpara dewa-dewa maupun manusia purba (purwa) sehinga karya
raja Jayabaya itu kemudian disebut wayang purwa.
Menurut Dr. hazeu, cerita tentang wayang sudah ada sejak jamn raja Erlangga diKahuripan
permulaan abad ke sebelas, karena pada masa Erlanga tersebut sudah ada ahli sastra
kepercayaan raja Erlangga yakni Mpu Kanwa yang menulis kitab Arjuna Wiwaha. Isi dari kitab
Arjuna Wiwaha antara lain menceritakan Arjuna ketika bertapa di dalam goa Witaraga sebagai
brahmana dengan nama Ciptaning. Sebagai Pertapa, Arjuna berhasil membinasakan raksasa
Niwatakawaca dari kerajaan Manimantaka yang bermaksud melamar bidadari Dewi Supraba.
Atas jasanya itu, Arjuna mendapat penghargaan dari dewa Endra berupa sebuah panah lengkap
dengan busurnya bernama panah Pasopati.
Hagema dalam bukunya Handleiding lot Degechiede denis Van Java menyebutkan bahwa
pertama kali yang membuat wayang kulit adalah Raden Panji Inukertopati sekitar abad ke 13.
Seperti kita ketahui, seni sastra Jawa kuna berlangsung pada jaman Kediri yang hasilnya
sebagian besar berupa kakawin, misalnya kitab Kresnayana karangan Mpu Triguna,
Samanasantaka karya Mpu Meraguna, Bharatayudha karangan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh,
Smaradahana karangan Mpu Dharmaja, Gatutkacasraya karangan Mpu Panuluh dan
Wretasancaya karya Mpu Tanakung.
Seperti juga di Yunani dan India, pertunjukan wayang di Jawa juga berkembang dari upacara
keagamaan, yakni untuk menghormati para dewa-dewa atau arwah nenek moyang yang
dipandangsebagai para dewa. Sedangkan lakon atau ceritanya diambil dari hasil kesusastraan
Jawa kuna yang ditulis pada daun lontar, yakni berupa gancaran (prosa) dan tembang (puisi).
Tembang Jawa kuna inilah yang lazim disebut kakawin, sedangkan tembang tengahan
dinamakan kidung.
Ditinjau dari sudut isi, kesusastraan jawa kuna terdiri dari tutur (kitab keagamaan), sastra (kitab
hukum), wira carita atau epos seperti Mahabharata dan Ramayana.
Lakon merupakan gambaran tentang sifat dan karakter manusia di dunia. Karena sifat dan
karakter begitu khas, maka banyak yang tersugesti. Oleh karena itu pertunjukan wayang dapat
membuat penontonnya menjadi terharu. Pertunjukan yang pada awalnya hanya diceritakan oleh
juru tutur dan sangat menyentuh hati, mulai berkembang pada masa Prabu Lembuamiluhur pada
tahun 1244. Selanjutnya raja Brawijaya Majapahit mulai membuat wayang beber berwarna,
pertunjukan wayang saat itu juga telah menggunakan iringan gamelan slendro.
Wayang purwa semakin menanjak pada masa perkembangan agama Islam di Jawa. Pada masa
itu para wali menggunakan wayang sebagai media dakwah. Sunan Giri kemudian membuat
wayang raksasa berbiji mata dua. Raden Patah (raja Demak pertama) membuat gunungan atau
kayon. Sedangkan yang menyelenggarakan pertunjukan wayangs ecara lengkap seperti
menggunakan kelir, pohon pisang, blencong dan sebagainya adalah Sunan Kalijaga.
Wayang itu sendiri berasal dari kata wod dan yang serta merupakan kebudayaan asli
Indonesia. Wod dan Yang berarti bayangan yang bergerak atau bergoyang. Dr.Hazeu
berpendapat bahwa perkataan yang berasal dari Hyang, maksudnya adalah leluhur. Hal ini dapat
disamakan dengan perkataan Jawa Eyang.
Beberapa pendapat bahwa wayang adalah kebudayaan Nasional Indonesia asli:
1. Teori yang dikemukakan oleh Dr. J. Brandes dari segi penyelidikan bahasa bahwa semua
perabot-perabot/alat-alat pewayangan/pedalangan tidak ada yang bertalian dengan bahasa
Sansekerta, berarti tidaka da yang berasal dari India atau kata lain Indonesia asli dan bangsa
Indonesia mempunyai corak teater sendiri yang berbeda dengan corak teater India.
2. Teori yang dikemukakan oleh W.H Ressers dari segi penyelidikan Antropologi Budaya, bahwa
yang berasal dari kegiatan upacara Totenisme.
3. Teori yang dikemukakan oleh Dr. Albert C. Krujit dari segi penyelidikan tradisi Toraja, bahwa
wayang berasal dari kegiatan upacara Dukunisme.
4. Teori yang dikemukakan oleh W.H Stuterheim dari segi penyelidikan sejarah kebudayaan dan
teori yang dikemukakan oleh Dr. Hazeu, yang keduannya berpendapat bahwa wayang berasal
dari upacara pemujaan arwah nenek moyang.
Kesenian wayang khususnya wayang kulit purwa, selama lebih dari seribu tahun telah dikenal
dan digemari oleh rakyat Indonesia. Sebuah inskripsi dari tahun 907 Masehi pada masa
pertengahan raja Dyah Balitung telah menyebutnya dengan tegas dan jelas bahwa berita adanya
wayang kulit purwa tertera dalam sebuah kakawin karya Mpu Kanwa dari jama raja Erlanga dari
Jawa Timur dalam abad ke 11. Tidak henti-hentinya bentuk seni budaya yang dinamakan
wayang ini dalam berbagai gaya dan jenisnya benar-benar menarik perhatian rakyat dari
berbagai daerah dan selalu dibicarakan oleh berbagai ahli sosial seni budaya baik dari dalam
maupun luar negeri yang menulis tentang seni pewayangan di Indonesia.
Kesenian wayang yang berkembang dan hidup di Indonesia tersebar di pulau-pulau antara lain:
Jawa, Lombok, Kalimantan, Sumatra dan lain-lain, baik yang masih populer maupun yang hampir
punah atau dikenal dalam kepustakaan-kepustakaan dan yang terdapat di museum-museum,
dan timbulnya beberapa wayang baru akhir-akhir ini seperti wayang Sadar dan wayang Warta
dari daerah Klaten dan wayang Sadosa dari STSI Surakarta. Adapun macam dan jenis wayang
antara lain:
1. Wayang Purwa
2. Wayang Madya
3. Wayang Gedog
4. Wayang Kulit Menak
5. Wayang Wahyu
6. Wayang Klitik
7. Wayang Beber
8. Wayang Jawa
9. Wayang Dobel
10. Wayang Jemblung (Jawa)
11. Wayang Ramayana (Bali)
12. Wayang Purwa (Bali)
13. Wayang Gambuh (Bali)
14. Wayang Cupak (Bali)
15. Wayang Sasak (Lombok)
16. Wayang Betawi (Bali)
17. Wayang Banjar (Kalimantan)
18. Wayang Golek (Sunda)
19. Wayang Golek Menak (Jawa)
20. Wayang Pakuan (Sunda)
21. Wayang Orang (Jawa)
22. Wayang Topeng (dari berbagai suku)
Diantara wayang-wayang tersebut yang paling populer dan tersebar luas dan paling banyak
disoroti di dalam maupung di luar negeri adalah wayang purwa, yang sejarah dan
perkembangannya telah diketahui paling tidak sejak abad ke 11, yang telah dijadikan objek studi
para sarjana daam dan luar negeri selama berabad-abad.
Untuk mengenal wayang secara mendasar, hal-hal yang perlu diketahui adalah sebagai berikut:
a. Unsur Pelaku dan Peralatan. Pelaku terdiri dari Dalang, Niyaga (pengrawit atau penabuh
gamelan) dan Pesinden (swarawati atau penyanyi wanita). Perlengkapan/Peralatan terdiri dari
wayang kulit, kelir (layar dari katun), blencong (lampu), debog (batang pisang), cempala
(pemukul kotak), kotak (kotak kayu), kepyak atau keprak, dan gamelan. b. Unsur Pertunjukan.
ang dilihat adalah Sabetan (gerak wayang). Sedangkan yang didengar adalah janturan, catur
(ginem, pocapan), carios atau kanda, suluk, tembang, dhodhokan, kepyak atau kaprakan,
gending, gerongan, sindhenan.
Sumber Cerita Wayang Purwa
Pada jaman prasejarah telah kita ketahui bersama bahwa wayang itu adalah kebudayaan
nasional Indonesia asli yang kemudian kena pengaruh kebudayaan Hindu. Adapun cerita Jawa
asli yang sampai sekarang masih ada, misalnya cerita Prabu Watugunung yang akhirnya menjadi
pawukon dan Prabu Mikukuhan yang menceritakan asal mula adanya padi dan Semar, Gareng,
Petruk serta Bagong adalah wayang Indonesia kuno.
Sumber cerita yang akhirnya berkembang dari tanah Hindu tersebut adalah Ramayana dan
Mahabharata. Ada beberapa pendapat cerita Ramayana dikarang oleh pujangga besar dari India
bernama Walmiki, sedang Mahabharata oleh Wiyasa. Cerita Ramayana dan Mahabharata dalam
dunia sastra sangat terkenal tidak hanya di tanah Jawa saja melainkan sampai di tanah Asia.
Demikian besar pengaruh Ramayana dan Mahabharata merupakan pedoman hidup (pepakem)
yang berhubungan dengan masalah: agama, filsafat, politik, masyarakat, kepribadian, keluarga,
keperwiraan, keutamaan, dsb.
Pada intisari cerita Ramayana timbulnya peperangan antara Rahwana dan Rama adalah
memperebutkan Dewi Shinta, sedangkan intisari dari Mahabharata terjadinya perang
Bharatayuda antara Pandawa dan Kurawa yang diperebutkan adalah bumi Hastina. Dengan
demikian jelas bahwa tema kedua epos tersebut wanita dan bumi. Tema tersebut juga terdapat
pada kehidupan kita yang sifatnya universal. Dalam kehidupan kita ada istilah Sedumuk bathuk
senyari bumi dipun labeti pecahing dhadha wutahing ludira. Cerita Ramayana dan Mahabharata
yang mengandung nilai-nilai luhur tersebut oleh para leluhur kita dianggit disesuaikan dengan
kebutuhan bangsa kita seusai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Ada yang menyalin
Ramayana dan Mahabharata kedalam bahasa Jawa Kuno.
Ada sementara yang menyebut karangan baru tetapi tetap menggunakan kedua wiracarita
tersebut sebagai sumber (babon), dan membuat cerita yang dapat dipergelarkan dalam seni
pedalangan wayang purwa. Akhirnya kedua babon kitab tersebut berkembang menjadi pakem
lakon wayang purwa. Adapun kitab-kitab yang membuat sumber cerita pedalangan adalah
sebagai berikut:
1. Kitab Ramayana (Jaman Dyah Balitung 900 M)
2. Utarakandha (menceritakan lahirnya Kusa dan Lawa putera Dewi Sinta dan matinya Dewi
Sinta terperosok ke Bumi)
3. Adiparwa (Jaman Darmawangsa, terdapat cerita Dewi Lara Amis, Bale Segala-gala, Peksi
Dewata dan matinya Arimba)
4. Sabhaparwa (cerita Pandawa Dadu)
5. Wirataparwa (Para Pandawa mengabdi di Wirata)
6. Udyogaparwa (Kresna gugah)
7. Bismaparwa (Bisma Gugur)
8. Asramawasanaparwa (cerita Drestarasta mati)
9. maosalaparwa (cerita matinya darah Wresni dan Yadu)
10. Prastanikaparwa (cerita Pandawa Puterpuja)
11. Arjunawiwaha (Karya Mpu kanwa jaman raja Erlangga gubahan dari kitab wanaparwa yang
akhirnya menjadi cerita Mintaraga atau Begawan Ciptoning)
12. Kresnayana (Jaman Kediri 1104 M di dalam seni pedalangan menjadi cerita Kresnakembang)
13. Bomakawya (Matinya Prabu Boma oleh Kresna)
14. Baratayuda (Karya Mpu Sedah dan Panuluh pada jaman kediri, Prabu Jayabaya)
15. Gathutkacasraya (Perkawinan Abimanyu dan Siti Sendari)
16. Arjunawijaya (gubahan dari Utarakandha) cerita perangnya Prabu Dasamuka dengan
Danaraja
17. Korawasrama (cerita Wirataparwa)
18. Dewaruci (Karya pujangga jawa Empu Ciwamurti)
19. Sudamala )tergolong cerita ruwatan)
20. Manikmaya (Yasan jaman Kartasura, setelah orang jawa menganut agam Islam)
21. Kanda (serat kandha) yasan jaman Kartasura, disini mulai membaur cerita Hindu, Jawi dan
Islam.
22. Bhartayuda yasadipuran jaman Surakarta
23. Arjunasasra (Lokapala) Yasadipuran II petikan dari kitab Ajuna Wijaya
24. Arjunasasrabahu (karagan Kyai Sindusastra jaman PB VII, dalam kitab tersebut terdapat
ceritera Sugriwa Subali dengan mengambil babon serat Kandha)
25. Kitab Paramayoga (karya R. Ng. Rangawarsito isinya menceritakan Nabi Adam dan
keturunannya sampai jaman Tanah Jawa dihuni oleh manusia)
26. Pustakarajapurwa (karangan Ki Ng. Rangawarsito memuat cerita wayang).
Demikianlah beberapa sumber yang menjadi babon pakem cerita dalam seni pedalangan
wayang purwa. Lakon-lakon carangan yang berkembang akhir- akhir ini yang dihimpun oleh
4. Rama Bargawa
5. Prabu Suteja
6. Raden Gatotkaca dari beberapa wanda.
7. Raden Antareja
8. Anoman dari beberapa wanda
9. Batara Guru 10. Durga
11. WayangRama terdiri Prabu Arjunasasrabahu, Prabu Rama, Parikesit, Jayamurcita.
12. Prabu kresna dari beberapa wanda.
13. Prabu Yudistira
14. Raden Puntadewa
15. Arjuna dari beberapa wanda
16. Prabu Pandu
17. Raden Premadi, Suryatmaja, dan Kumajaya
18. Bambang Sekutrem
19. Raden Lesmana
20. Bambang Palasara
21. Raden Abimanyu
22. Wayang putren terdiri dari beberapa putri misalnya Banowati, Subadra, Srikandi.
23. Wayang putran atau wayang bayi.
Wayang simpingan yang disebutkan di atas hanya merupakan garis besar saja, jadi masih
banyak tokoh-tokoh yang belum disebutkan disini. Wayang eblekan yaitu wayang yang diatur rapi
di dalam kotak dan tidak termasuk disimping. Contoh wayang eblekan antara lain wayang dewa,
wayang wanara, wayang reksasa, wayang prajurit atau wayang tatagan dan lain-lain. Sedangkan
wayang duduhan yaitu wayang yang diatur pada sisi kanan dalang dan atau wayang yang akan
digunakan di dalam pakeliaran. Sedangkan yang termasuk wayang dudahan antara lain
rampogan, kreta, wayang kewan, pendita, panakawan, limbuk cangik dan lain-lain.
Jika anda nonton wayang purwa, baik yang dipagelarkan semalam maupun yang dipergelarkan
padat, maka jika direnungkan benar- benar didalamnya terkandung banyak nilai serta ajaranajaran hidup yang sangat berguna. Semua yang ditampilkan baik berupa tokoh dan yang berupa
medium yang lain didalamnya banyak mengandung nilai filosofi. Secara gampang saja baru
melihat simpingan wayang, orang telah mempunyai penilaian, bahwa simpingan kanan
melambangkan tokoh yang baik, simpingan kiri melambangkan tokoh yang jelek atau buruk.
Kalau kita melihat perangnya wayang, wayang yang diletakkan atau diperangkan tangan kiri pasti
kalah. Tetapi hal ini tidak semua benar.
Didalam pdalangan kita kaya nilai-nilai didalamnya. Nilai-nilai didalam pedalangan antara lain:
kepahlawan, kesetiaan, keangkara murkaan, kejujuran, dll.
1. Nilai kepahlawanan ada pada tokoh: Kumbakarna, Adipati Karna.
2. Nilai kesetiaan terdapat pada tokoh: Dewi Sinta, Raden Sumantri, dll
3. Nilai keankaramurkaan terdapat pada tokoh: Rahwana, Duryudana, dll.
4. Nilai kejujuran terdapat pada tokoh: Puntadewa.
Kayon / Gunungan
Gunungan atau di dalam pakeliran disebut kayon, pertama diciptakan oleh Raden Patah.
Dinamakan gunungan karena bentuknya menyerupai gunung yang memiliki puncak dan terdapat
pada setiap pagelaran wayang (wayang purwa, wayang krucil, wayang golek, wayang gedok,
wayang suluh, dll).
Menurut bentuknya, gunungan atau kayon ini dapat dibedakan menjadi dua macam.
1. Kayon gapuran berbentuk ramping dan pada bagian bawah bergambar gapua yang pada sisi
sebelah kiri maupun kanan di jaga oleh raksasa Cingkarabala dan Balaupata. Sedangkan pada
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
dis
pl
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
dis
pl
ay
ed
.
Yo
ur
co
m
pu
ter
m
ay
no
t
ha
ve
en
ou
gh
m
e
m
or
y
to
op
en
th
e
im
ag
e,
or
th
e
im
ag
e
m
ay
ha
ve
be
en
co
rr
up
te
d.
Re
st
art
yo
ur
co
m
pu
ter
,
an
d
th
en
op
en
th
e
fil
e
ag
ai
n.
If
th
e
re
d
x
sti
ll
ap
pe
ar
s,
yo
u
m
ay
ha
ve
to
de
let
e
th
e
im
ag
e
an
d
th
en
in
se
rt
it
ag
ai
n.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
dis
pl
The image cannot be display ed. Your computer may not hav e enough memory to open the image, or the image may hav e been corrupted. Restart y our computer, and then open the file again. If the red x still appears, y ou may hav e to delete the image and then
insert it again.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
dis
pl
ay
ed
.
Yo
ur
co
m
pu
ter
m
ay
no
t
ha
ve
en
ou
gh
m
e
m
or
y
to
op
en
th
e
im
ag
e,
or
th
e
im
ag
e
m
ay
ha
ve
be
en
co
rr
up
te
d.
Re
st
art
yo
ur
co
m
pu
ter
,
an
d
th
en
op
en
th
e
fil
e
ag
ai
n.
If
th
e
re
d
x
sti
ll
ap
pe
ar
s,
yo
u
m
ay
ha
ve
to
de
let
e
th
e
im
ag
e
an
d
th
en
in
se
rt
it
ag
ai
n.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
The image cannot be display ed. Your computer may not hav e enough memory to open the image, or the image may hav e been corrupted. Restart y our computer, and then open the file again. If the red x still appears, y ou may hav e to delete the image and then insert it again.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
dis
pl
The image cannot be display ed. Your computer may not hav e enough memory to open the image, or the image may hav e been corrupted. Restart y our computer, and then open the file again. If the red x still appears, y ou
may hav e to delete the image and then insert it again.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
dis
pl
ay
ed
.
Yo
ur
co
m
pu
ter
m
ay
no
t
ha
ve
en
ou
gh
m
e
m
or
y
to
op
en
th
e
im
ag
e,
or
th
e
im
ag
e
m
ay
ha
ve
be
en
co
rr
up
te
d.
Re
st
art
yo
ur
co
m
pu
ter
,
an
d
th
en
op
en
th
e
fil
e
ag
ai
n.
If
th
e
re
d
x
sti
ll
ap
pe
ar
s,
yo
u
m
ay
ha
ve
to
de
let
e
th
e
im
ag
e
an
d
th
en
in
se
rt
it
ag
ai
n.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
The image cannot be display ed. Your computer may not hav e enough memory to open the image, or the image may hav e been corrupted. Restart y our computer, and then open the file again. If the red x still appears, y ou
may hav e to delete the image and then insert it again.
Tags: wayang kulit, wayang purwa, mahabharata, ramayana, shadow puppet, javanese
reply slideshow prints & gifts share
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
dis
pl
The image cannot be display ed. Your computer may not hav e enough memory to open the image, or the image may hav e been corrupted. Restart y our computer, and then open
the file again. If the red x still appears, y ou may hav e to delete the image and then insert it again.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
dis
pl
ay
ed
.
Yo
ur
co
m
pu
ter
m
ay
no
t
ha
ve
en
ou
gh
m
e
m
or
y
to
op
en
th
e
im
ag
e,
or
th
e
im
ag
e
m
ay
ha
ve
be
en
co
rr
up
te
d.
Re
st
art
yo
ur
co
m
pu
ter
,
an
d
th
en
op
en
th
e
fil
e
ag
ai
n.
If
th
e
re
d
x
sti
ll
ap
pe
ar
s,
yo
u
m
ay
ha
ve
to
de
let
e
th
e
im
ag
e
an
d
th
en
in
se
rt
it
ag
ai
n.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
The image cannot be display ed. Your computer may not hav e enough memory to open the image, or the image may hav e been corrupted. Restart y our computer, and then open
the file again. If the red x still appears, y ou may hav e to delete the image and then insert it again.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
dis
pl
The image cannot be display ed. Your computer may not hav e enough memory to open the image, or the image may hav e been corrupted. Restart y our computer, and then open the file again. If the red x still appears, y ou may hav e to delete the image and then insert it again.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
dis
pl
ay
ed
.
Yo
ur
co
m
pu
ter
m
ay
no
t
ha
ve
en
ou
gh
m
e
m
or
y
to
op
en
th
e
im
ag
e,
or
th
e
im
ag
e
m
ay
ha
ve
be
en
co
rr
up
te
d.
Re
st
art
yo
ur
co
m
pu
ter
,
an
d
th
en
op
en
th
e
fil
e
ag
ai
n.
If
th
e
re
d
x
sti
ll
ap
pe
ar
s,
yo
u
m
ay
ha
ve
to
de
let
e
th
e
im
ag
e
an
d
th
en
in
se
rt
it
ag
ai
n.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
The image cannot be display ed. Your computer may not hav e enough memory to open the image, or the image may hav e been corrupted. Restart y our computer, and then open the file again. If the red x still appears, y ou may hav e to delete the image and then insert it again.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
dis
pl
The image cannot be display ed. Your computer may not hav e enough memory to open the image, or the image may hav e been corrupted. Restart y our computer, and then open the file again. If the red x still appears, y ou may hav e to delete the image and then insert it again.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
dis
pl
ay
ed
.
Yo
ur
co
m
pu
ter
m
ay
no
t
ha
ve
en
ou
gh
m
e
m
or
y
to
op
en
th
e
im
ag
e,
or
th
e
im
ag
e
m
ay
ha
ve
be
en
co
rr
up
te
d.
Re
st
art
yo
ur
co
m
pu
ter
,
an
d
th
en
op
en
th
e
fil
e
ag
ai
n.
If
th
e
re
d
x
sti
ll
ap
pe
ar
s,
yo
u
m
ay
ha
ve
to
de
let
e
th
e
im
ag
e
an
d
th
en
in
se
rt
it
ag
ai
n.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
The image cannot be display ed. Your computer may not hav e enough memory to open the image, or the image may hav e been corrupted. Restart y our computer, and then open the file again. If the red x still appears, y ou may hav e to delete the image and then insert it again.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
dis
pl
The image cannot be display ed. Your computer may not hav e enough memory to open the image, or the image may hav e been corrupted. Restart y our computer, and then open the file again. If the red x still appears, y ou may hav e to delete the image and then insert it again.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
dis
pl
ay
ed
.
Yo
ur
co
m
pu
ter
m
ay
no
t
ha
ve
en
ou
gh
m
e
m
or
y
to
op
en
th
e
im
ag
e,
or
th
e
im
ag
e
m
ay
ha
ve
be
en
co
rr
up
te
d.
Re
st
art
yo
ur
co
m
pu
ter
,
an
d
th
en
op
en
th
e
fil
e
ag
ai
n.
If
th
e
re
d
x
sti
ll
ap
pe
ar
s,
yo
u
m
ay
ha
ve
to
de
let
e
th
e
im
ag
e
an
d
th
en
in
se
rt
it
ag
ai
n.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
The image cannot be display ed. Your computer may not hav e enough memory to open the image, or the image may hav e been corrupted. Restart y our computer, and then open the file again. If the red x still appears, y ou may hav e to delete the image and then insert it again.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
dis
pl
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
dis
pl
ay
ed
.
Yo
ur
co
m
pu
ter
m
ay
no
t
ha
ve
en
ou
gh
m
e
m
or
y
to
op
en
th
e
im
ag
e,
or
th
e
im
ag
e
m
ay
ha
ve
be
en
co
rr
up
te
d.
Re
st
art
yo
ur
co
m
pu
ter
,
an
d
th
en
op
en
th
e
fil
e
ag
ai
n.
If
th
e
re
d
x
sti
ll
ap
pe
ar
s,
yo
u
m
ay
ha
ve
to
de
let
e
th
e
im
ag
e
an
d
th
en
in
se
rt
it
ag
ai
n.
Th
e
im
ag
e
ca
nn
ot
be
The image cannot be display ed. Your computer may not hav e enough memory to open the image, or the image may hav e been corrupted. Restart y our computer, and then open the file again. If the red x still appears, y ou may hav e to delete
the image and then insert it again.