You are on page 1of 9

Umat Islam patut bersyukur karena ajaran dan agama yang

dianutnya adalah agama yang telah diridhai oleh Allah Taala.





Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah
Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab
kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang
kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah
sangat cepat hisab-Nya. (Ali Imran:19)
Islam adalah agama para nabi dan umat-umat terdahulu ketika
mereka masih lurus menjalankan agama mereka sesuai dengan
perintah rasul dan nabi mereka. 2:132-133,136; 3:52,64,84; 5:111.
Karena itu, umat Islam kaya akan kisah dan pelajaran dari umatumat terdahulu. Kisah yang dialami oleh saudaranya seiman
dalam menegakkan tauhid dan memakmurkan bumi. Kisah dan
kejadian yang dialami umat terdahulu dapat kita lihat pada
kalamullah untuk diambil ibrah dan dars. Pengkisahan
merupakan salah satu uslub dari asalib quraniyah fi tarbiyatil
ummah.
Beberapa kisah dapat kita jumpai pada sabda Rasulullah saw.
yang kebenarannya sudah dijamin Allah Taala.
..
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (An-Najm:3-4)
Ditambah lagi bahwa umat Islam memiliki contoh beberapa
generasi beliau yang kaya akan rawai imaniyah wa ukhawiyah.
Hal ini telah oleh legitimasi dengan firman-Nya, Al-Fath: 29, AtTaubah: 100, Al-Hasyr: 8
:


:


Dari Imran bin Hushain r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
Sebaik-baik kalian adalah abadku (para sahabat), kemudian
orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah
mereka. Kemudian Imran berkata, Aku tidak tahu apakah
Rasulullah saw. mengatakan setelah mereka itu dua kali atau

tiga kali.
Yaitu pada masa Rasulullah saw. dan shahabat, tabiin dan tabiit
tabiin. Tetapi kita masih juga memiliki banyak pelajaran dari
generasi-generasi setelah mereka.
:




Dari Imran bin Hushain, ia berkata bahwa Rasulullah saw.
bersabda, Senantiasa ada segolongan umatku yang tegak
pada kebenaran sampai datang hari kiamat.
Di antara kisah dan kejadian unik yang ditayangkan dalam
Alquran adalah kisah burung Hud-hud dengan nabi Sulaiman
a.s. Seekor burung hud-hud yang melakukan kerja dakwah tanpa
ada perintah terlebih dahulu. Ia mengintai suatu aktivitas suatu
kaum yang dengan sebab kabar itulah, segolongan umat
mendapat hidayah Allah, masuk ke dalam agama Islam.
. .


. .

Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata, Mengapa
aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak
hadir. Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan
azab yang keras, atau benar-benar menyembelihnya kecuali
jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang
terang.Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu
ia berkata, Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum
mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba
suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku
menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia
dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang
besar. (An-Naml:22-23)
Tindakan burung Hud-hud janganlah dijadikan dalil untuk
tasayyub (lepas kontrol), tetapi harus dipahami dengan positif
bahwa yang dilakukan burung Hud-hud merupakan tindakan
memanfaatkan furshah untuk menjalankan misi dakwah.
Dakwah yang diawali dengan mengetahui keadaan spiritual
mereka.
Burung Hu-hud tidak keluar dari tujuan jamaah dan sarananya,

juga tidak melanggar prinsip-prinsip umum atau mengabaikan


perintah lainnya yang lebih utama, tetapi kisah tersebut
menunjukkan bahwa pada diri prajurit terdapat ciri yaqzhah
(selalu sadar akan misi), diqqah (teliti) dalam beramal dan
semangat untuk menyadarkan kaum. Juga menunjukkan bahwa
pada diri pemimpin terdapat sifat atau sikap kontrol, ketegasan
pemimpin dan penyelesaian yang tidak sembrono.
Kecerdasan dan kecemerlangan berfikir burung Hud-hud
tersebut telah ia manfaatkan untuk mengambil kesempatan
untuk mencari berita dan kabar suatu kaum karena ia
berkeinginan untuk menyampaikan risalah Islam kepada
mereka, mengajak mereka untuk mentauhidkan Allah diserta
dengan tindakan yang bijak, presentasi yang gemilang serta
keberanian dalam mengemukakan uzur.
Kisah ini banyak mengandung pelajaran untuk para dai dan para
mas-ul atau murabbi, di antaranya:
1. Seorang dai tentu lebih mulia dari seekor burung Hud-hud
yang memiliki inisiatif positif dan mencari-cari kebaikan yang
boleh dilakukan. Seorang dai lagi mukmin lebih terpanggil untuk
berinisiatif dan melakukan perbuatan baik tanpa harus
meninggu perintah.
2. Memandang kepada para pemimping dakwah bahwa tidak
seluruh rencana dan program dapat dikerjakan dan dapat
dimutabaahi, karena itu pengarahan terhadap semua perintah
dan kebijakan adalah lebih diutamakan. jngn buat apa2 selagi
xterima arahan. Raikan. Tp focus.
Kita dapat menyimak bahwa Nabi Sulaiman a.s. yang dikuatkan
dengan wahyu Allah dan ditundukkan untuknya jinn dan
burung-burung tidak mampu mengetahui semua perkara dan
tidak mampu menyerap semua informasi. Karenanya ia
memerlukan sedikit informasi dari burung yang kecil yang
secara positif merupakan masukan besar bagi dakwah.
3. Dari kisah tersebut kita menyaksikan pengecekkan atas
keterlambatan burung Hud-hud. Dengan sikap ijabiyah (positif)
yang dikembangkan burung Hud-hud, maka alasannya itu
diterima. Di lain pihak, (27: )

(Sulaiman berkata, Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah

kamu termasuk orang-orang yang berdusta.) menunjukkan


bahwa seorang pemimpin harus menerima alasan keterlambatan
tersebut dan membatalkan hukuman yang telah ia janjikan
karena alasan burung itu. Alasan burung Hud-hud tersebut
mengandung ihtimal benar dan dusta.
Tetapi kenyataannya adalah bahwa yang dikabarkan oleh burung
hud-hud adalah benar dan dari kabar itulah nabi Sulaiman a.s.
kemudian menyerukan untuk berjihad.
4. Dari kisah tersebut kita dapat melihat adanya itidzar lil qa-id
fi ada-il wajib. Jika kita jadikan kisah ini sebagai amal ijabi,
maka kita akan melihat bahwa dalam madzirah dan itidzar
terdapat sesuatu yang berharga, ketika pengetahuan burung
Hud-hud memberikan manfaat kepada pemimpin, nabi
Sulaiman yang mempunyai segala jenis kekuatan. Bahkan
burung Hud-hud tersebut menyampaikan dengan tabir naba
yaqin (berita penting dan besar yang diyakini kebenarannya),
suatu jenis kekuatan yang dimiliki burung Hud-hud ketika
menyampaikan alasan keterlambatannya di hapapan kekuasaan
nabi Sulaiman yang telah berniat akan menyiksa dengan siksaan
yang pedih atau ia akan menyembelihnya.
Suatu kekuatan yang dimiliki burung Hud-hud yang digunakan
secara positif untuk taat kepada pemimpin, kekuatan ilmu
pengetahuan. Sehingga ia selamat dari hukuman berupa siksaan
dan penyembelihan dengan ilmu pengetahuan.

Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia
berkata, Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum
mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba
suatu berita penting yang diyakini. (An-Naml: 22)
Keberanian burung Hud-hud untuk berbicara kepada nabi
Sulaiman a.s. karena kabar yang dibawa burung Hud-hud
merupakan kabar penting dan nabi Sulaiman a.s. belum
mempunyai kabar tersebut. Kalaulah ia terlambat tanpa ada hal
yang akan ia sampaikan, maka dengan kelemahannya dari segala
hal, maka ia tidak akan mampu untuk berbicara dari lantang di
hadapan pemimpinnya.
Kalaulah bukan karena ijabiyah burung Hud-hud, maka uzur

dan alasan burung Hud-hud pasti tidak akan diterima, karena


keintisaban kita kepada jamaah menuntut kita untuk
melaksanakan amal dan kerja sebaik mungkin dalam kerangka
mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Tidak menjadi
keharusan seorang dai atau bawahan atau binaan atau anggota
jamaah melaksanakan perintah saja, tetapi amal dan kerja yang
dilakukan harus ijabi atau memiliki bobot yang memadai untuk
tercapainya tujuan dakwah dan tarbiyah.
5. Kita sebagai dai dapat menyimpulkan sebagai pelajaran buat
kita bahwa hudhur yang dapat menyelamatkan kita dari uzur
kita di hadapan qaid, mas-ul, naqib atau murabbi adalah hudhur
dawi tarbawi. Sejalan dengan semangat kita untuk
meningkatkan mutu diri dan memperbanyak kader baru dengan
segala jenis tajnid, maka kita dituntut untuk selalu hadhir secara
dawiyan dan tarbawiyan, bukan hanya kehadiran di jilsah atau
di halaqah atau di usrah atau di ijtima. Kita seharusnya selalu
hadir dalam segala aktivitas dawah dan tarbiyah. Boleh jadi
seseorang tidak pernah absen untuk hadir di setiap pertemuan,
akan tetapi keikutsertaannya di setiap aktivitas sangatlah minim
atau ia sendiri tidak ada inisiatif positif untuk melakukan
aktivitas dawah dan tarbiyah. Karenanya di antara ijabiyah
seorang pemimpin, mas-ul, naqib atau murabbi adalah
memperhatikan dan mengontrol adha dan binaannya agar
kehadirannya dalam dawah dan tarbiyah tidak pernah absen.
Karena itu kalaupun ia uzur untuk hadir di ijtima, atau di usrah
atau di halaqah karena alasan syari, maka tidak serta merta
disimpulkan sebagai ketidakhadirannya dalam dawah, sebelum
dilihat kehadirannya pada aktivitas dawah dan tarbiyah lainnya.
6. Untuk para mas-ulin dan qiyadiyyin juga dapat mengambil
beberapa pelajaran yang dapat dicermati dan diperhatikan dari
sikap dan respon Nabi Sulaiman terhadap kerja burung Hudhud. Di antara pelajaran yang dapat kita ambil dari sikap Nabi
Sulaiman a.s. adalah:
a. Tafaqqudul amiir lil atba (rasa kehilangan seorang pemimpin
terhadap pengikutnya). Seorang mas-ul harus memperhatikan
siapa yang tidak hadir dalam setiap pertemuan dan kegiatan.
Karena perhatiannya terhadap kehadiran binaannya merupakan
bagian dari mas-uliyah yang harus diemban. Nabi Sulaiman a.s.

mempertanyakan ketidakhadiran burung Hud-hud dalam ijtima


b. Akhdzul amri bil hazm (sangat perhatian terhadap perkara).
Seorang pemimpin harus memiliki haibah di hadapan atbanya
dengan menyatakan sikap tegasnya di hadapan pengikutnya.
c. Muhasabah (evaluasi). Seorang mas-ul harus berinisiatif
untuk mengevaluasi proses tarbiyah dan hasil perjalanan
tarbiyah yang ia lakukan.
d. Tabayyunul udzr (klarifikasi uzur). Mengklarifikasi alasan
keuzuran binaan agar penyikapan dan perlakukan yang akan
diambil lebih berdampak positif.
7. Dengan kerja yang kelihatannya kecil, hanya sekadar
mengetahui keadaan dan kondisi keagamaan suatu kaum, dapat
menghasilkan prestasi besar, yaitu keislaman Ratu dan
rakyatnya, tunduk untuk beribadah kepada Allah bersama nabi
Sulaiman a.s.
Karena itu pula dalam dunia peradaban materi kita melihat
banyak karya dan hasil penemuan besar awalnya dirintis oleh
kerja dan inisiatif satu orang. Hasil kerja seorang ini kemudian
didukung dan didanai oleh kelompok atau negara. Seperti
penemuan sepeda, lalu mesin cetak, telegraf, bola lampu dan
lain-lain. Demikan pula dalam medan dakwah, banyak yang
awalnya merupakan terobosan pribadi kemudian menjadi
garapan jamaah.
Jadi dengan sikap ijabiyah seorang dai, akan banyak amal Islam
yang dapat dihasilkan seiring dengan hasil yang gemilang. Di
antaranya adalah dengan merasa kurang di hadapan Allah dalam
menjalankan semua kewajiban yang telah dibebankan
kepadanya, maka akan muncul rasa pada diri seorang mukmin
untuk berusaha mengerjakan satu kewajiban dengan sebaikbaiknya dan dengan niat yang lurus. Dengan demikian ia telah
mengerti maksud dari taklif Allah, yaitu agar manusia berusaha
membaguskan amalnya dengan cara meluruskan niat dan
menyesuaikan segala perbuatan dan ibadahnya sesuai dengan
syariat.
Dalam hal ini, para ulama memberikan dua syarat suatu
perbuatan dikatakan amal shaleh. Syarat pertama adalah
muwafaqah lis syari (sesuai dengan tuntanan syariat Islam) dan
yang kedua adalah ikhlash liwajhillah wahdah (semata-mata

dilakukan karena mengharapkan ridha Allah).


Di antara sikap ijabiyah adalah tidak meremehkan perkara kecil,
karena seringkali sesuatu yang besar menjadi kecil nilainya
karena niat yang kurang ikhlas dan kadang beberapa kalimat
akan mendatangkan kebaikan yang banyak karena niat dan
keluar dari hati yang tulus. Pernah seorang ulama ditanya,
Sampai kapan Anda terus menulis hadits? Lalu ia menjawab,
Mungkin kalimat yang akan menyelamatkanku masih belum
aku tulis.
Untuk menunjukkan betapa perkara ringan itu tidak boleh
dianggap ringan, Rasulullah saw. menegaskan bahwa banyak
perkara ringan atau sepele, tetapi di sisi Allah mempunyai bobot
pahala dan kebaikan bagi yang melakukannya.

:


Dari Abu Dzar r.a. ia berkata bahwa Rasulullah saw.
bersabda, Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah
bagimu, perintahmu mengerjakan kebaikan dan mencegah
kemungkaran adalah sedekah bagimu, kamu menunjuki orang
yang tersesat juga merupakan sedekah bagimu, membantu
orang yang kurang penglihatannya juga merupakan sedekah
bagimu, menyingkirkan batu, duri dan tulang dari jalan juga
merupakan sedekah bagimu, kamu menuangkan air dari
timbamu ke timba saudaramu juga merupakan sedekah
bagimu. (H.R. Bukhari dan Tirmidzi)
Allah juga berfirman dalam surah Az-Zalzalah ayat 7-8,

.
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah
pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang
siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun,
niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula. (Az-Zalzalah: 78)
Bagi dai kata-kata matsur tersebut dapat menjadi motivator
untuk tidak menganggap remeh amal dan aktivitas kecil atau
kata-kata nasihat dalam dakwah. Karena itu janganlah kikir

untuk mengajak bicara keluarganya atau bercakap-cakap dengan


anak-anak atau memberikan senyuman kepada tetangga atau
memberi nasihat dan bimbingan kepada teman kerja atau dia
mendengarkan bacaan Alquran. Semua itu dapat dilakukan dai
jika dirinya memiliki ijabiyah.
Dalam konteks amar maruf nahyi munkar, maka kita akan
menemukan medan dan lapangannya yang cukup luas dan lebar.
Di mana kita akan menemukan setiap hari fenomena atau
suasana kemungkaran yang mesti kita hilangkan dari
masyarakat. Maka dengan kata-kata yang bijak kita dapat
menuliskan keprihatinan kita atau analisa kritis kita di meda
cetak.
Atau sekadar mendukung artikel bagus yang mengangkat
permasalahan yang sedang kita cermati. Atau mungkin dengan
mengirimkan surat ke pejabat atau wakil kita di DPR pusat
maupun daerah. Yang penting dalam diri seorang dai adalah
keinginan dan kemauan untuk mengadakan perubahan ke arah
positif dengan cara yang dapat ia tempuh sebatas otoritas yang ia
miliki. Karena itu keberadaan kita pada posisi yang memiliki
otoritas yang luas dan besar akan membantu dan mengefektifkan
usahan dakwah dalam perbaikan masyarakat.
Meskipun dengan menjadi ketua RT atau RW kita dapat lebih
maksimal dan efektif untuk membuat perubahan di lingkungan
sekitar tempat tinggal kita, kenapa kita tidak lakukan? Kenapa
kita tidak peduli dengan hal ini, sehingga membiarkan posisi itu
dipegang atau berada pada orang yang pemahaman perubahan
islamnya masih minim.
Atau posisi struktural di tempat pekerjaan yang menyebabkan
kita memiliki otoritas terhadap bawahan kita, maka merupakan
suatu bekal dan modal untuk menjadi bagian dari anashir
taghyir di tempat tersebut. taghyir yang mengarah kepada model
dan prilaku Islam.
Atau bahkan bagi mereka yang kerap mengadakan perjalanan ke
daerah atau pelosok dan menemukan informasi obyektif,
kemudian informasi tersebut dapat menjadi pintu untuk proyek
dakwah yang lebih efektif, maka itu juga bagian dari ijabiyah
yang diperankan oleh seorang dai.
Karena di era dakwah yang sudah mulai agak terbuka ini

keperluan kita akan informasi obyektif terhadap keadaan dan


kondisi suatu daerah atau suatu kelompok orang (segmen
tertentu).

You might also like