Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1
Rumusan Masalah
1.2.1
1.2.2
1.2.3
1.2.4
1.2.5
1.2.6
1.2.7
1.3
TujuanPenulisan
1
1.3.1
1.3.2
1.3.3
1.3.4
1.3.5
1.3.6
1.3.7
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi
pembangunan nasional dewasa ini. Setiap tahun anggaran (APBN), pemerintah senantiasa
berusaha untuk meningkatkan penerimaan pajak guna membiayai pembangunan yang akan
dilaksanakan. Salah satu indikator yang digunakan pemerintah untuk mengikuti keberhasilan
dalam penerimaan negara dari pajak ini adalah tax ratio , yaitu perbandingan jumlah pajak
yang diperoleh atau dikumpulkan pemerintah dengan jumlah pendapatan domestik bruto
dalam satu tahun fiskal. Semakin besar tax ratio mengindikasikan semakin besar porsi
penerimaan pajak dalam APBN.
Upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak, dihadapkan pada kondisi yang masih
belum optimalnya sistem perpajakan diljalankan. Dalam sistem self assesment yang berlaku
saat ini posisi wajib pajak sangat penting karena wajib pajak diwajibkan untuk melaksanakan
kewajiban pajaknya secara mandiri. Kewajiban penghitungan pajak, pembayaran pajak, dan
pelaporan pajak dilaksanakan sendiri oleh wajib pajak dengan demikian seorang wajib pajak
dituntut untuk mengerti dan memahami tidak saja peaturan perpajakan, tetapi juga aspek
administrasi dan prosedur perpajakan. Pemenuhan kewajiban ini tidaklah muddah dilakukan
wajib pajak. Berjalannya sistem ini banyak bergantung pada adanya aturan yang jelas, adil,
dan transparan, demikian pila prosedur administrasi sederhana dan tidak berbelit-belit. Paralel
dengan itu, administrasi perpajakan dituntut pula untuk benar-benar transparan dan
memberikan pelayanan yang baik dan terpuji, sehingga wajib pajak dapat melaksanakan
pemenuhan kewajiban perpajakannya dengan baik dan bertanggung jawab.
Pada akhirnya orang atau badanlah sebagai subjek pajak yang melaksanakan
pembayaran pajak tersebut. Dengan sistem ini sepanjang tidak ditemukan data yang
menyimpang, maka otorisasi penentuan besarnya jumlah pajak terutang sudah bergeser ke
wajib pajak. Dengan demikian efektifitas sistem ini banyak bergantung pada seberapa besar
kesadaran dan tanggung jawab seorang wajib pajak. Kesadaran atau kepatuhan pajak
seyogyanya menjadi hal utama dalam proses jalannya sistem self assesment. Fenomena yang
terjadi, perilaku penghindaran pajak cenderung menjadi bagian dari perilaku warga
masyarakat dalam melakukan pemenuhan tindakan kewajiban perpajakannya. Uraian berikut
ini menjelaskan tinjauan secara teoritis berkaitan dengan kepatuhan pajak ( tax complience)
baik terkait dengan teori perpajakan (taxation) maupun dengan penelitian-penelitian yang
pernah dilakukan di berbagai negara terkait dengan tax complience.
Dalam salah satu artikelnya yang terkenal James and Alley (1999) mengemukakan
pengertian tax complience sebagai ..... The difinition of tax complience in its most simple
3
form is usually cast in term of the degree version relate which taxpayer comply with the tax
law. However, like many such concepts, the meaning of complience can be seen almost as
continuum of definition and on to even more comprehensive version relating to taxpayer
decision to conform to the wider objectives of society as reflected in tax policy.....
Berdasarkan penertian di atas, definisi kepatuhan pajak dapat dilihat secara sederhana
atau secara lebih komprehensif. Secara sederhana menurutnya kepatuhan wajib pajak adalah
sekedar menyangkut sejauh mana wajib ajak memenuhi kewajiban perpajakannya seauai
dengan aturan perpajakan yang berlaku. Dengan demikian derajat atau tingakt kepatuhan
dapat diukur dengan adanya tax gap, yaitu perbedaan antara apa yang tersurat dalam aturan
perpajakan dengan apa yang dilaksanakan oleh seorang wajib pajak. Tax gap ini dapat pula
diartikan sebagai perbedaan antara seberapa besar pajak yang dapat dikumpulkan dengan
besar pajak yang seharusnya terkumpul, sebagaimana dinyatakan James dan Alley (1999),
tax gap represent the difference between the actual revenue colleted and the amount that
would be collected. Dalam praktek pemahaman ini terus berkembang ke berbagai pengertian
dan bahkan lebih kompleks sejalan dengan kepentingan masyarakat. Perkembangan dunia
bisnis yang terus berubah secara cepat seiring dengan dinamika perubahan perekonomian
menuntut pula terus menerus perlunya dilakukan penyesuaian-penyesuaian dalam ketentuan
perpajakan.
Lebih jauh dijelaskan tax complience in this context would appear to indicate
complience with government policy in a wider sense, rather than only complience with the
tax law, and therefore what could be expected from a responsible citizen. Dengan demikian
kepatuhan pajak ini lebih merajuk pada bagaimana sikap pembayar pajak yang memiliki rasa
tanggung jawab sebagai warga negara bukan hanya sekedar takut akan sanksi dari hukum
pajak yang berlaku. Pendapat seru[a dinyatakan oleh James and Nobes (1997 : 137) yang
mengemukakan bahwa the definition of complience is usually cast in terms of the degree to
which tax payer comply with tax law. It has than been said that the degree of non complience
can be measured in terms of the tax gap.
Pengertian ini sejalan dengan pendapat sebelumnya bahwa kepatuhan dapat dijelaskan
sebagai tingkatan wajib pajak dalam memenuhi hukum pajak. Oleh karena itu, derajat ketidak
patuhan dapat diukur dengan berapa besar kesenjangan pajak (tax gap) yang terjadi. Tax gap
merujuk pada perbedaan antara penerimaan pajak yang diterima (actual revenue) dengan apa
yang seharusnya diterima jika wajib pajak patuh 100%.
Definisi di atas dianggap terlalu sederhana, karena di dalam implementasinya
keberhasilan administrasi pajak disertai pula dengan melakuan pemeriksaan atau penyeidikan
4
fiskus, ancaman atau sanksi hukum. Kepatuhan pajak baru akan terealisir setelah dilakukan
tindakan penegakan hukum (law enforecement). Sejatinya kepatuhan pajak diharapkan lebih
merupakan suatu kesadaran secara sukarela (voluntary tax complience). Untuk itu definisj
kepatuhan yang lebih sesuai adalah kepatuhan sukarela (voluntary tax complience), yaitu
mencakup tingkatan kesadaran untuk tunduk terhadap peraturan perpajakan dan sekaligus
terhadap administrasi pajak yang berlaku tanpa perlu disertai dengan aktivitas tindakan dari
otoritas pajak (enforcement activity) sebelumnya. Hal ini sejalan sebagaimana dinyatakan
James and Nobes (1997),
complience with tax law and administration without the need for enforcement activiy.
Sebagai konsekuansi menjadi benar bahwa pengertian kepatuhan pajak sukarela adalah
mencakup tidak saja kesediaan wajib pajak untuk melaksanakan apa yanag tersurat dlam
aturan pajak, tetapi juga termasuk konsistensi semangat melaksanakan dari pada apa yang
tersirat dari aturan pajak dimaksud.
Oleh karena itu, setiap perencanaan pajak haruslah selalu di dalam koridor ketentuan
pajak. Setiap upaya perencanaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan
karenanya dianggap tidak mencerminkan kepatuhan pajak sukarela.
B.
berakibat melanggar aturan pajak. Peraturan perpajakan berupa undang-undang pajak beserta
aturan pelaksanaannya dimaksudkan untuk tidak memberikan peluang untuk dpat ditafsirkan
oleh siapa saja, melainkan suatu ketentuan yang pasti yang bagi yang melannggarkarnya akan
terena sanksisesuai ketentuan. Wajib pajak yang tidak memahami secara penuh aturan
perpajakan dapat terjebak pada pemahan yang keliru dan berdampak pada gagalnya
penegakkan kepatuhan pajak dengan baik. Dalam konteks ini strategi kepatuhan pajak
dibangun atas dasar kepercayaan pada itikad baik wajib pajak dengan cara memberikan
bantuan pelayanan bagaimana memahami aturan pajak dan prosedur administrasi yang
menyertainya dengan benar (assist to comply). Dengan strategi ini diharapkan dikemudian
hari wajib pajakmembatalkan niatnya untuk menghindari pajak, sehingga kembali dapat
meningkatkan kepatuhannya.
Tingkatan kepatuhan pajak selanjutnya adalah dimana wajib pajak tidak patuh yaitu
tidak bersedia memenuhi aturan perpajakan yang berlaku (dont want to comply). Wajib pajak
selalu dengan aktif menghindar memenuhi kewajibannya dengan alasan yang berbeda-beda.
Masalah perbedaan perlakuan pajak akibat masih dirasakannya ketidakadilan aturan, prosedur
administrasi pelaporan pajak yang dirasakan masih rumit me ndorong wajib pajak tidak
bersedia melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar. Sebaliknya gejala ini dapat
pula diakibatkan oleh keberadaan usaha wajib pajak yang menurun, sehingga kewajiban
pajak menjadi tertunda. Demikian pula perilaku curang sebagian wajib pajak dapat
mendorong wajib pajak lainnya bertindak sama. Davis, et al. (2003) mengemukakan bahwa
enforecement and behavior of other affect tax payer complience.
Pendapat senada
sebagaimana dinyatakan Weisman (Davis, et al., 2003) bahwa if taxpayer begin to believe
that others are cheating, the temptations to shave their own tax burden may become
irreistible. Dengan demikian kepatuhan menyangkut unsur perilaku pihak-pihak yang
terkait dalam pajak. Secara implementatif pola ketidakpatuhan ini dipahami sebagai cara
menghindar yang sengaja dilakukan wajib pajak dalam upaya mengurangi, atau bahkan tidak
membayar pajak yang seharusnya. Memahami bahwa pajak adalah suatu kewajiban maka
tidak bisa lain bahwa dalam situasi apapun bilamana potensi penghasilan menunjukkan harus
ada kewajiban pajak yang harus dibayar, maka strategi yang dilakukan adalah melakukan
upaya pencegahan penghindaran pajak. Upaya yang dilakukan adalah upaya pencarian faktafakta yang menjadi alasan wajib pajak untuk menghindar. Demikian pula menemukan
informasi, data-data terkait potensi penyimpangan aturan pajak (deter by detection).
Informasi atau data akurat terkait penyimpangan perpajakan wajib pajak baik berpa surat
teguran atau peringatan lainnya.
7
Tingkat kepatuhan pajak yang terakhir adalah sudah pada tingkat yang sama sekali
tidak bersedia memenuhi kepatuhan pajak atau tidak mau membayar pajak yang menjadi
kewajibannya (have decided not to comply). Fenomena ini menunjukkan seoalah ada dan bisa
sebagian wajib pajak berada diatas undang-undang atau aturan perpajakan. Segala upaya
dilakukan wajib pajak untuk menghindar pajak, bahkan menyelundupkan atau menggelapkan
pajak, yaitu dengan sengaja melanggar perpajakan. Dalam kondisi ini pajak yang seharusnya
merupakan kewajiban menjelma menjadi suatu hal yang tidak penting dan dapat diabaikan
begitu ssaja. Efektivitas penerimaan pajak menghadapi tantangan berat dan untuk itu tindakan
antisipasi benar-benar harus menjadikan pelanggar aturan menjadi jera. Penegakkan hukum
(law enforcement) menjadi strategi pilihan yang tepat, yaitu dengan cara menggunakan semua
perangkat hukum mulai dari pemeriksaan pajak sampai dengan penyidikkan pajak bilamana
ditemukan bukti permulaan tentang adanya tindak pidana fiskal.
C.
dapat dikelompokkan menjadi faktor individu, politik, ekonomi, dan faktor sodial
(Hobsor,2002:1). Sementara itu, Tomkins(2001:754) mengemukakan bahwa faktor sosial
memiliki tingkat tertinggi sebagai penentu dari tax payer non complience. Beberapa studi
menunjukkan adanya faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kepatuhan dalam
membayar pajak.
Borck (2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa dampak pengenaan sanksi
pinalti terhadap penggelapan pajak (tax evasion), berakibat menurunnya penerimaan pajak
yang diharapkan (expected tax revenue). Menurutnya apabila kesejahteraan wajib pajak (tax
payer welfare). Menurutnya apabila pengenaan sanksi denda diterapkan terhadap
penggelapan pajak (evaded tax), maka penghindaran pajak justru semakin besar, penerimaan
pajak menjadi kecil. Hal ini menunjukkan perlu kajian mendalam seberapa pentingnya
pengenaan pinalti sanksi pajak menjadi pilihan kebijakan sebelum diterapkan. Identifikasi
perilaku pajak mensyaratkan kebenaran hasil identifikasi wajib pajak. Hanya terdapat wajib
pajak yang benar-benar melakukan kesalahan atau pelanggaran yang dapat dikenakan sanksi.
Masalahnya adalah tidak seluruh wajib pajak dapat memenuhi aturan maupun prosedur
implementasi pelaporan pajak yang benar. Bahkan, dapat terjadi wajib pajak merasa sudah
benar-benar melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar seuai dengan aturan dan
prosedur perpajakan. Namun, tanpa disadari ternyata ada kesenjangan pemahaman aturan
karena berbagai hal. Beberapa diantaranya, misalnya aturan yang tidak jelas, sehingga
8
terdapat multi tafsir pemahaman antara wjib pajak dengan fiskus. Pelaporan pajak (SPT)
dalam pelaksanaannya diwajibkan diungkapkan dengan benar, jelas, dan lengkap. Dalam hal
ini pengertian dan faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar ketentuan benar, lengkap, dan
jelas haruslah transparan dinyatakan dalam ketentuanannya. Dalam konteks ini apabila fiskus
tidak tepat dan tidak profesional dalam menerapkan sanksi akan berakibat tercederainya rasa
keadilan wajib pajak. Dampak penerapan sanksi yang tidak benar adalah negatis dimana
wajib pajak cenderung beebuat sebaliknya akan lebih menghindar pajak dan penerimaan
pajak akan menurun. Oleh karena itu, dalam menentukan adanya dugaan pelanggaran, atau
bahkan penggelapan pajak haruslah disertai fakta dan data yang sebenarnya yang dapat
dipertanggung jawabkan, sehingga hasil yang diharapkan adalah positif. Dengan demikian
ketika pemerintah ingin
pendapatan pajak yang diharapkan, bagian dari denda yang dikenakan terhadap evaded tax
seharusnya lebih tinggi.
Prinsip utama penghindara pajak (tax avoidence), dapat dibedakan menjadi tiga
prinsip yaitu Stiglitz (1985) :
1. Menunda pembayaran pajak (postponement of taxes)
2. Memilih tarif pajak yang rendah (different marjinal tax rate )
3. Merekayasa penghasilan menjadi berbagai jenis penghasilan yang memiliki tarif yang
berbeda-beda (manipulation of different types of income that are taxed to different
degrees)
Pada dasarnya kewajiban perpajakan harus dilaksanakan sesuai aturan perpajakan
yang berlaku. Penghinddaran pajak hanya dapat dibenarkan sepanjang di dalam ketentuan
perpajakan. Penundaan pembayaran pajak yang didasarkan atas kebijakan perussahaan tentu
tidak dapat dibenarkan, kecuali ada dasar hukum khusus yang kuat untuk itu misalnya
penundaan karena adanya fasilitas penundaan atsa industri-industri tertentu dalam rangka
investasi. Dunia usaha bisnis ditujukan untuk memperoleh laba yang besar. Adanya pilihan
tarif pajak yang bertingkat-tingkat (tarif progresif) tentu memberikan peluang bagi wajib
pajak untuk memilih tarif, karena wajib pajak dapat menyesuaikan penghasilan usahanya
untuk terhindar dari pengenaan tarif yang tinggi. Dalam hal upaya penghindaran ini terkait
dengan penggelapan penghasilan kena pajak maka tidak dapat dibenarkan. Kebijakan pajak
perusahaan haruslah sejalan dengan ketentuan perpjakan. Laporan keuangan komersial
menggambarkan kinerja perusahaan yang ditujukan untuk manajemen maupunshareholder
dan stakeholder lainnya yang terkait. Prinsip yang digunakan adalah standar akuntansi yang
9
berlaku. Sebaliknya laporan keuangan fiskal ditujukkan untuk menghitung seberapa besar
pajak yang seharusnya terutang yang didasarkan pada aturan perpajakan. Perbedaan tujuan
diantara model laporan keuangan ini mensyaratkan adanya rekonsiliasi lapran keuangan
fiskal. Prinsip bisnis yang mengutamakan keuntungan dapat mendorong perilaku rekayasa
penghasilan secara tidak benar. Tarif pajak atas kegiatan hasil usaha akan berbeda dan
cenderung lebih tinggi dari tarif pajak yang akan dikenakan atsa modal misalnya bunga dan
dividen. Mengubah atau merekayasa penghailan usaha menjadi penghasilan modal tentu
mengungkapkan suatu yang tidak benar, termasuk pengelapan pajak yang akan dikenakan
sanksi. Oleh karena tiu, rekayasa penghasilan harus dalam bingkai aturan pajak yang benar.
Memutuskan investasi dalam bentuk saham atau tabungan sepenuhnya adalah pilihan wajib
pajak yang masing-masing pilihan jenis investasi akan memberika resiko dan penghasilan
yang berbeda, demikian pula besar pajak yang ditanggung sesuai ketentuan pajak yang
berlaku.
Penggelapan pajak adalah perilaku wajib pajak yang salah dan menyimpang
bertentangan dengan semangat dan tanggung jawab yang diharapkan dari seorang wajib
pajak, karenanya dikenakan ssanksi berat. Keputusan untuk menggelapkan pajak lebih
didasarkan pada perilaku wajib pajak yang hanya semata-mata mencari keuntungan sebesarbesarnya tanpa melihat kewajiban yang harus dipikul. Sandmo (2004), menyatakan bahwa
keputusan
membayar pajak individu terhadap perilaku orang lain. Dengan demikian asas perlakuan
sama haruslah diterapkan bagi semua wajib pajak yang menggelapkan pajak tanpa membedabedakan.
James, et al., (2003) mengemukakan bahwa work in sociology has identified a
number of relevant variables such as social support, social influence, attitudes and certain
background such as gender, race, and culture. Pandangan ini mengisyaratkan bahwa
kepatuhan pajak ditengarai dipengaruhi oleh masalah-masalah sosial. Termasuk didalamnya
antara lain dukungan masyarakat, pengaruh masyarakat, perilaku, dan latar belakang gender
seperti masalah ras dan budaya. Masyarakat menitik beratkan pada rasa keadilan dalam
membayar pajak. Dukungan dan pengaruh masyarakat merasakan adanya keadilan dalam
aturan pajak. Demikian pula dalam perilaku gender dan budaya masyarakat sangat sensitif
dengan keadilan pajak baik yang terutang dalam aturan maupun dalam praktik
pelaksanaannya.
10
Dengan demikian sikap masyarakat terhadap negara dalam kaitan dengan kepatuhan
pajak lebih didasarkan pada aspek keadilan yang merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi keputusan mereka untuk patuh.
Murphy(2003) mengemukakan studi yang berangkat dari fenomena bahwa selama ini
memang faktor yang menyebabkan patuhnya pembayar pajak labih banyak dikaji dari aspek
psikologi. Dalam studinya Murphy (2003) melihatnya dari aspek hukum. Beberapa studi
yang mennjau aspek hukum yang berpengaruh terhadap kepatuhan menunjukkan bahwa
pengaruh dari ancaman dan paksaan legal (legal coercion), pemeriksaan misalnya kadangkadang justru berdampak kontra produktif (counterproductive) (Ayres dan Braithwaite, 1992,
Blumenthal, Christian & Slemrod, 1998; braithwaite, 2001; Murphy,2002a). Lebih jauh
dikemukakan bahwa temuan ini mengindikasikan pentingnya kehati-hatian fiskus dalam
merespons tindak pelanggaran aturan perpajakan (uncomlience), terlebih apabila dirasakan
tidak didasari dasar hukum yang tidak jelas. Pengenaan sanksi yang tidak tepat justru
berakibat negatif dimana wajib pajak justru akan lebih menunjukkan ketidakpatuhannya.
Menurut pada berbagai hasil studi yang mencoba mengidentifikasikan faktor-faktor
yang mempengaruhi tax compliance, OECD (organization for Economic Cooperation and
Development, 2004) mengemukakan analisi tentang perilaku kepatuhan dari para tax payer .
hasil penelitian yang ada secara umum diarahkan pada dua pendekatan dari kepatuhan, yaitu:
(1) perspektif ekonomi dan (2) perilaku yang menitik beratkan pada riset dari disiplin
psikologi dan sosiologi. Faktor-faktor termasuk dalam faktor ekonomi adalah :
1. Beban keuangan, ada hubungan antara jumlah pajak yang terutang dengan perilaku
kepatuhan (financial burden, there appears to be a relationship between the amount of tax
owed and complience behavior)
2. Biaya kepatuhan, ada biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pajak
diatas biaya seharusnya (the cost of complience, tax payer appear to face a number of
common cost of having to comply with their tax obligation over and above the actual
amount)
3. Hambatan, wajib pajak yang patuh menghendaki adanya denda terhadap wajib pajak yang
tidak patuh (disincentive, studies has shown that those who are compliant want those who
are non-compliant to be punished)
4. Pendorong, memberikan wajib pajak insentif akan berdampak positif terhdap kepatuhan
pajak (incentives, giving tax payer incentives may have a positive effect on compliance
behavior)
Lebih jauh, OECD (2004) juga mengemukakan faktor-faktor perilaku, seperti :
11
12
aktual. Dalam hal ini perilaku pajak lebih disebabkan oleh faktor-faktor lain dari pada nilai
moral individu, sehingga dalam hal ini asumsi bahwa norma-norma pajak sosial berpengaruh
signifikan terhadap tax evasion tidak mendapat dukungan secara empiris.
D.
kenaikan dalam probabilitas audit (p) dari deteksi atau penalty rate (f). Sementara itu,
dampak dari besarnya tarif (t) dan pendapatan (I) bergantung perilaku individu terhadap
risiko.
Meskipun demikian menurut Cowell and Gordon (1988) dalam perkembangannya
juga terdapat faktor lain yang mempengaruhi tax compliance berdasarkan model di atas,
yakni government expenditure (G). Sehingga, model tax compliance-nya menjadi:
D = D (I, t, p, f, G).......................................................................................(2)
Adapun yang dimaksud G di sini adalah refleksi transfer pemerintah yang mungkin
diperoleh sebagai manfaat bagi seorang wajib pajak. Perbedaan teori Allingham and Sandmo
(1972) dengan teori Cowell and Gordon (1988) terletak pada adanya manfaat pajak sebagai
cerminan daro government expenditure (G), di mana Cowell and Gordon (1988) menyetakan
bahwa government expenditure berbanding lurus dengan declared income.
2. Teori moral pajak (tax morale theory)
Frey (1997) memperkenalkan adanya moral pajak atau disebut juga motivasi intrinsik
individu untuk bertindak, yang didasari oleh nilai-nilai yang dipengaruhi oleh norma-norma
budaya. Menurut pendapat ini tax morale dapat dipahami sebagai penjelasan prinsip-prinsip
moral atau nilai-nilai yang diyakini seseorang mengapa membayar pajak. Beberapa faktor
yang mempengaruhi tax morale seperti:
merasa puas dan meyakini bahwa pajak yang dipungut benar-benar dipergunakan untuk
kebutuhan publik. Sebaliknya manakala pejabat pajak menganggap wajib pajak semata-mata
sebagai subjek yang harus dipaksa untuk membayar pajaknya, maka wajib pajak cenderung
merespon dengan aktif untuk mencoba menghindari membayar pajak.
Greetz and Wiede (1985) menyimulkan bahwa tax morale juga adalah etika yang
mengukur seberapa jauh tingkat komitmen wajib pajak atau kewajiban pertanggungjawaban
warga negara mematuhi aturan pajak. Oleh karena itu, apabila faktor komitmen ini hilang,
maka tingkat etikapun ternodai. Oleh karena itu, menipisnya etika dapat dipersalahkan atsa
menurunnya tingkat kepatuhan pajak.
E.
al., (1994:77) menjelaskan bahwa self assesment process requires all entities subject to tax to
file a tax return and accurately report their income. Berdasarkan pendapat ini indikator
kepatuhan pajak didasarkan pada adanya kewajiban seluruh wajib pajak untuk memasukkan
Surat Pemberitahuan (SPT) dan melaporkan semua penghasilan secara akurat. Sejalan dengan
implementasi penilaian sendiri tersebut, diharapkan wajib pajak dapat mencapai tingkat
kepatuhan sukarela (voluntary compliance level-VCL). Pengertian VCL adalah perbandingan
antara pajak yang sesungguhnya dilaporkan dengan pajak yang seharusnya dilaporkan.
Dengan demikian VCL merujuk pada kepatuhan wajib pajak untuk melaporkan pajak pada
kondisi yang sebenarnya.
Dalam praktik pelaksanaannya yang berlangsung saat ini pada Direktorat Jenderal
Pajak sesuai dengan Undang Undang Nomor 28 tahun 2007 tantang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, indikator kepatuhan wajib pajak antara lain dapat dilihat dari :
1) Aspek ketepatan waktu, sebagai indikator kepatuhan adalah persentase pelaporan SPT
yang disampaiakan teat waktu sesuai ketentuan yang berlaku
2) Aspek income atau penghasilan WP, sebagai indikator kepatuhan adlah kesediaan
membayar kewajiban angsuran Pajak Penghasilan (PPh) sesuai ketentuan yang berlaku
3) Aspek law enforcement (pengenaan sanksi), sebagai indikator kepatuhan ialah
pembayaran tunggakan pajak yang diterapkan berdasarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP)
sebelum jatuh tempo
4) Dalam perkembangannya indikator kepatuhan ini dpat juga dilihat dari aspek lainnya,
misalnya aspek pembayaran dan aspek kewajiban pembukuan.
F.
Motif Kepatuhan dan Penghindaran Pajak (Tax Evasion dan Tax Avoidance)
16
Penerimaan negara yang berasal dari pajak merupakan salah satu aspek penting dalam
rangka menjamin kelangsungan pembangunan yang berbasis pada kemandirian dalam
pembiayaannya. Meskipun demikian dalam implementasinya, suatu negara akan menghadapi
kendala terutama terkait kemauan masyarakat untuk membayar pajak. Dalam hal in akan
muncul perilaku tax avoidance dan tax evasion dari masyarakat sebagai wujud dari
keenggananya dalam membyar pajak yang dibebankan oleh negara kepadanya.
Dalam hal ini tax avoidance digunakan untuk menjelaskan manipulasi legal dari
seorang individu untuk mengurangi pajak, sedangkan tax evasion manipulasi pajak dengan
sengaja melanggar aturan pajak. Dengan demikian walaupun tax avoidance(penghindaran
pajak) dianggap legal tidak melanggar hukum, tetapi apabila maksud tujuannya untuk
mengurangi pajak yang seharusnya dibayar,maka perilaku ini tetap dianggap tidak patuh(non
compliance). Oleh karena itu, yang dipentingkan disini adalah semangat daripada setiap
tindakan itu sesuai dengan apa yang tertulis dalam undang-undang. Suatu tindakan wajib
pajak yang semangatnya tidak konsisten dengan aturan perpajakan dianggap non compliance.
Secara lebih khusus Cowell(1990:5) menjelaskan bahwa tax evasion sebagai suatu
kegiatan judi. Seorang penjudi yang professional akan mengambil posisi dengan resiko yang
lebih kecil dari seluruh tindakannya, sedangkan penjudi yang lainnya akan bertindak
sebaliknya. Dalam komdisi ini akan terjadi suatu permainan untuk menentukan siapa yang
menang dan siapa yang kalah sesuai dengan parameter yang diyakininya masing-masing.
G.
diwajibkan membuat laporan keuangan perusahaan yang diaudit oleh akuntan public.
Selanjutnya wajib pajak menghitung,mengisi SPT berikut lampirannya dan membayar
sendiri utang pajaknya. Dalam kaitan ini pejabat pajak melakukan pengawasan dalam
bentuk pemeriksaan (post audit) terhadap wajib pajak.
2. Golongan dua, yaitu self assessment system perkelompok diberlakukan terhadap mereka
yang berstatus wajib pajak golongan dua ini diharuskan bergabung dalam satu asosiasi
pengusaha atau profesi,missalnya asosiasi pengusaha sepatu,profesi pengacara ,dokter, dan
sebagainya dengan masing-masing asosiasi menentukan berapa prosentase keuntungan
bersih rata-rata yang diperoleh dari usaha para anggota yang tergabung dalam asosiasi,
bagaimana menentukan
secara
anggota
bersama-sama
asosiasi
akan
lebih
mudah
diarahkan
dalam
perusahaan
yang
diaudit
oleh
akuntan
public
kemudian
1. Pertama-tama
tetap
memegang
teguh
prinsip-prinsip
four
Smiths
kepatuhan
(ease
of
administration
and
compliance)
memerlukan
empat
persyaratan,yaitu:
1. The requirement of clarity ,yaitu dalam proses pemungutan pajak terdapat kejelasan
,antara lain menyangkut kejelasan mengenai subjek,objek, tariff kapan pajak harus
dibayar,dimana harus dibayar,hak-hak wajib pajak maupun pejabat pajak (kursif-pen) dan
sebagainya.
2. The requirement of continuity ,yaitu menyangkut perlunya kesinambungan kebijaksanaan,
karena peraturan perundang-undangan kemungkinan dapat berubah-ubah dan variasi,tetapi
tetap dalam kerangka kebijakan umum perpajakan.
3. The requirement of economy, yaitu menghendaki agar organisasi dan administrasi pajak
(fiskus) dilaksanakan seefisien mungkin ,Karena biaya dan tenaga yang dikorbankan untuk
pemungutan pajak harus seimbang. Efisiensi bukan hanya dari sisi fiskus ,tetapi juga dari
sisi wajib pajak.
4. The requirement of convenience,yaitu menghendaki supaya dalam melaksanakan
kewajiban
perpajakan
wajib
pajak
merasa
senang,maksudnya
tidak
merasa
pelayanan perpajakan
20
2. Meningkatkan pelayanan terhadap wajib pajak yang relative sudah patuh sehingga tingkat
kepatuhan dapat dipertahankan atau ditingkatkan. Programnya antara lain: program
pengembangan pelayanan prima dan program penyederhanaan pemenuhan kewajiban
perpajakan.
3. Memerangi ketidakpatuhan (combatting non compliance) dengan berbagai program dan
kegiatan ,diharapkan dapat menangkal ketidakpatuhan perpajakan. Program yang
dijalankan antara lain: program pengenaan sanksi,menentukan sikap atas kelompok wajib
pajaka yang tidak patuh,meningkatkan efektivitas pemeriksaan,modernisasi aturan dan
metode pemeriksaan penagihan ,pemanfaatan teknologi terkini,dan pemanfaatan bank
data.
Disamping itu dikemukakan pula pentingnya upaya untuk meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap administrasi perpajakan. Strategi yang dijalankan adalah dengan
meningkatkan citra Direktorat Jendral Pajak dan melanjutkan pengembangan administrasi
LTO ( Large Taxplayer Office ) dengan demikian kebijakan perpajakan diharapkan dapat
berjalan efektif yaitu seiring dengan meningkatnya kepatuhan wajib pajak.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
21
Saran
Penyusunan makalah tentang Komputer Personal danKomunikasi Bisnis oleh
kelompok 12 kelas E ini masih dikira terdapat banyak kekurangan disana-sini baik dari segi
materi yang disajikan, penyusunan format dan tujuan dari penyampaiannya. Maka dari itu,
kami sebagai penyusun mengharapkan sumbangsih saran dan kritik baik dari dosen
pembimbing maupun dari teman mahasiswa demi penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hamonangan, Timbul, 2012, Dimensi Ekonomi Perpajakan dalam Pembangunan Ekonomi,
Jakarta: Raih Asa Sukses (PS).
22