You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang Masalah


Sumber penerimaan negara Indonesia yang paling potensial adalah penerimaan pajak.

Penerimaan pajak akan digunakan untuk membiayai pembangunan dan meningkatkan


kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Salah satu penerimaan pajak berasal dari Pajak
Penghasilan (PPH). Pajak Penghasilan sendiri terbagi dua, yaitu Pajak Penghasilan yang
berasal dari Badan dan Pajak Penghasilan yang berasal dari wajib pajak orang pribadi.
Dalam usaha untuk meningkatkan penerimaan pajak, antara lain fiskus melakukan
ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan pajak. Ekstensifikasi ditempuh dengan
meningkatkan jumlah Wajib Pajak yang aktif. Sedangkan, intensifikasi dapat ditempuh
melalui meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, dan pembinaan kualitas aparatur perpajakan,
pelayanan prima terhadap Wajib Pajak, dan pembinaan kepada para Wajib Pajak, pengawasan
administratif, pemeriksaan, penyidikan dan penagihan pasif dan aktif serta penegakan hukum.
Penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi masih di bawah penerimaan Pajak
Penghasilan badan. Sementara dilihat dari realisasi penerimaan PPh nonmigas, kendati
jumlah wajib pajak (WP) orang pribadi terus meningkat. Idealnya, peningkatan jumlah basis
Wajib Pajak Orang Pribadi akan berbanding lurus dengan besarnya penerimaan pajak dari
PPh orang pribadi (Ali Imron, 2009; Bisnis Indonesia).
Pada umumnya Wajib Pajak cenderung untuk menghindarkan diri dari pembayaran
pajak. Kecenderungan ini terjadi karena tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah.
Pemeriksaan pajak merupakan salah satu instrumen yang baik untuk meningkatkan tingkat
kepatuhan Wajib Pajak, baik formal maupun material dari peraturan perpajakan, yang tujuan
utamanya untuk menguji dan meningkatkan kepatuhan perpajakan seorang wajib pajak.
Kepatuhan ini akan berdampak baik secara langsung maupun tak langsung pada penerimaan
pajak.
1.2

Rumusan Masalah

1.2.1
1.2.2
1.2.3
1.2.4
1.2.5
1.2.6
1.2.7

Pengertian kepatuhan pajak (tax compliance) ?


Bagaimana tingkat kepatuhan pajak ?
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kepatuhan pajak ?
Apa faktor utama kepatuhan pajak ?
Apa saja indikator kepatuhan pajak ?
Apa motif kepatuhan dan penghindaran pajak ?
Bagaimana kebijakan dalam kepatuhan pajak ?

1.3

TujuanPenulisan
1

1.3.1

Untuk mengetahui pengertian Kepatuhan Pajak

1.3.2
1.3.3
1.3.4
1.3.5
1.3.6
1.3.7

Untuk mengetahui tingkat kepatuhan pajak


Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak
Untuk mengetahui faktor utama kepatuhan pajak
Untuk mengetahui indikator kepatuhan pajak
Untuk mengetahui motif kepatuhan dan penghindaran pajak
Untuk mengetahui kebijakan dalam kepatuhan pajak

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pengertian Kepatuhan Pajak (Tax Compliance)


2

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi
pembangunan nasional dewasa ini. Setiap tahun anggaran (APBN), pemerintah senantiasa
berusaha untuk meningkatkan penerimaan pajak guna membiayai pembangunan yang akan
dilaksanakan. Salah satu indikator yang digunakan pemerintah untuk mengikuti keberhasilan
dalam penerimaan negara dari pajak ini adalah tax ratio , yaitu perbandingan jumlah pajak
yang diperoleh atau dikumpulkan pemerintah dengan jumlah pendapatan domestik bruto
dalam satu tahun fiskal. Semakin besar tax ratio mengindikasikan semakin besar porsi
penerimaan pajak dalam APBN.
Upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak, dihadapkan pada kondisi yang masih
belum optimalnya sistem perpajakan diljalankan. Dalam sistem self assesment yang berlaku
saat ini posisi wajib pajak sangat penting karena wajib pajak diwajibkan untuk melaksanakan
kewajiban pajaknya secara mandiri. Kewajiban penghitungan pajak, pembayaran pajak, dan
pelaporan pajak dilaksanakan sendiri oleh wajib pajak dengan demikian seorang wajib pajak
dituntut untuk mengerti dan memahami tidak saja peaturan perpajakan, tetapi juga aspek
administrasi dan prosedur perpajakan. Pemenuhan kewajiban ini tidaklah muddah dilakukan
wajib pajak. Berjalannya sistem ini banyak bergantung pada adanya aturan yang jelas, adil,
dan transparan, demikian pila prosedur administrasi sederhana dan tidak berbelit-belit. Paralel
dengan itu, administrasi perpajakan dituntut pula untuk benar-benar transparan dan
memberikan pelayanan yang baik dan terpuji, sehingga wajib pajak dapat melaksanakan
pemenuhan kewajiban perpajakannya dengan baik dan bertanggung jawab.
Pada akhirnya orang atau badanlah sebagai subjek pajak yang melaksanakan
pembayaran pajak tersebut. Dengan sistem ini sepanjang tidak ditemukan data yang
menyimpang, maka otorisasi penentuan besarnya jumlah pajak terutang sudah bergeser ke
wajib pajak. Dengan demikian efektifitas sistem ini banyak bergantung pada seberapa besar
kesadaran dan tanggung jawab seorang wajib pajak. Kesadaran atau kepatuhan pajak
seyogyanya menjadi hal utama dalam proses jalannya sistem self assesment. Fenomena yang
terjadi, perilaku penghindaran pajak cenderung menjadi bagian dari perilaku warga
masyarakat dalam melakukan pemenuhan tindakan kewajiban perpajakannya. Uraian berikut
ini menjelaskan tinjauan secara teoritis berkaitan dengan kepatuhan pajak ( tax complience)
baik terkait dengan teori perpajakan (taxation) maupun dengan penelitian-penelitian yang
pernah dilakukan di berbagai negara terkait dengan tax complience.
Dalam salah satu artikelnya yang terkenal James and Alley (1999) mengemukakan
pengertian tax complience sebagai ..... The difinition of tax complience in its most simple
3

form is usually cast in term of the degree version relate which taxpayer comply with the tax
law. However, like many such concepts, the meaning of complience can be seen almost as
continuum of definition and on to even more comprehensive version relating to taxpayer
decision to conform to the wider objectives of society as reflected in tax policy.....
Berdasarkan penertian di atas, definisi kepatuhan pajak dapat dilihat secara sederhana
atau secara lebih komprehensif. Secara sederhana menurutnya kepatuhan wajib pajak adalah
sekedar menyangkut sejauh mana wajib ajak memenuhi kewajiban perpajakannya seauai
dengan aturan perpajakan yang berlaku. Dengan demikian derajat atau tingakt kepatuhan
dapat diukur dengan adanya tax gap, yaitu perbedaan antara apa yang tersurat dalam aturan
perpajakan dengan apa yang dilaksanakan oleh seorang wajib pajak. Tax gap ini dapat pula
diartikan sebagai perbedaan antara seberapa besar pajak yang dapat dikumpulkan dengan
besar pajak yang seharusnya terkumpul, sebagaimana dinyatakan James dan Alley (1999),
tax gap represent the difference between the actual revenue colleted and the amount that
would be collected. Dalam praktek pemahaman ini terus berkembang ke berbagai pengertian
dan bahkan lebih kompleks sejalan dengan kepentingan masyarakat. Perkembangan dunia
bisnis yang terus berubah secara cepat seiring dengan dinamika perubahan perekonomian
menuntut pula terus menerus perlunya dilakukan penyesuaian-penyesuaian dalam ketentuan
perpajakan.
Lebih jauh dijelaskan tax complience in this context would appear to indicate
complience with government policy in a wider sense, rather than only complience with the
tax law, and therefore what could be expected from a responsible citizen. Dengan demikian
kepatuhan pajak ini lebih merajuk pada bagaimana sikap pembayar pajak yang memiliki rasa
tanggung jawab sebagai warga negara bukan hanya sekedar takut akan sanksi dari hukum
pajak yang berlaku. Pendapat seru[a dinyatakan oleh James and Nobes (1997 : 137) yang
mengemukakan bahwa the definition of complience is usually cast in terms of the degree to
which tax payer comply with tax law. It has than been said that the degree of non complience
can be measured in terms of the tax gap.
Pengertian ini sejalan dengan pendapat sebelumnya bahwa kepatuhan dapat dijelaskan
sebagai tingkatan wajib pajak dalam memenuhi hukum pajak. Oleh karena itu, derajat ketidak
patuhan dapat diukur dengan berapa besar kesenjangan pajak (tax gap) yang terjadi. Tax gap
merujuk pada perbedaan antara penerimaan pajak yang diterima (actual revenue) dengan apa
yang seharusnya diterima jika wajib pajak patuh 100%.
Definisi di atas dianggap terlalu sederhana, karena di dalam implementasinya
keberhasilan administrasi pajak disertai pula dengan melakuan pemeriksaan atau penyeidikan
4

fiskus, ancaman atau sanksi hukum. Kepatuhan pajak baru akan terealisir setelah dilakukan
tindakan penegakan hukum (law enforecement). Sejatinya kepatuhan pajak diharapkan lebih
merupakan suatu kesadaran secara sukarela (voluntary tax complience). Untuk itu definisj
kepatuhan yang lebih sesuai adalah kepatuhan sukarela (voluntary tax complience), yaitu
mencakup tingkatan kesadaran untuk tunduk terhadap peraturan perpajakan dan sekaligus
terhadap administrasi pajak yang berlaku tanpa perlu disertai dengan aktivitas tindakan dari
otoritas pajak (enforcement activity) sebelumnya. Hal ini sejalan sebagaimana dinyatakan
James and Nobes (1997),

a more appropriate might therefore include the degree of

complience with tax law and administration without the need for enforcement activiy.
Sebagai konsekuansi menjadi benar bahwa pengertian kepatuhan pajak sukarela adalah
mencakup tidak saja kesediaan wajib pajak untuk melaksanakan apa yanag tersurat dlam
aturan pajak, tetapi juga termasuk konsistensi semangat melaksanakan dari pada apa yang
tersirat dari aturan pajak dimaksud.
Oleh karena itu, setiap perencanaan pajak haruslah selalu di dalam koridor ketentuan
pajak. Setiap upaya perencanaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan
karenanya dianggap tidak mencerminkan kepatuhan pajak sukarela.
B.

Tingkat Kepatuhan Pajak


Hubungan sikap kepatuhan pajak dengan strategi kepatuhan dalam merespon tindak

ketidakpatuhan pajak digambarkan melalui Complience Model yang dikemukakan oleh


Australlian Tax Office (2000) dan New Zealand Revenue Department (2003) (James,
Hasseldine, Hite, and Toumi, 2003). Model ini didasarkan pada asumsi bahwa kebijakkan
yang diharapkan adalah refleksi dari tingkat kepatuhan pajak yang ada (attitude to
complience). Model tersebut juga sesuai dengan model yang digambat=rkan oleh OECD
Centre for Tax Policy and Administration dalam menjelaskan tingkat kepatuhan pajak,
(OECD Centre for Tax Policy and Administration, 2004:38). Adapun klasifikasi dari tingkat
kepatuhan pajak dan strategi antisipasi yang daat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan
pajak sesuai dengan model OECD dapat dilihat pada bagan berikut.

Sumber : Centre for Tax Policy and Administration, (2004:38)


Gambar 2.1
Berdasarkan model OECD di atas dapat diketahui bahwa perilaku-perilaku kepatuhan
wajib pajak adalah bervariasi. Seiap tingkat kepatuhan dapat direspon dengan strategi
kepatuhan (complience strategy) yang berbeda. Pilihan strategi kepatuhan yang dilaksanakan
adalah merupakan produk dari kebijakan. Gambar 2.1 menunjukkan masyarakat wajib pajak
dibagi menjadi lima tingkatan kepatuhan. Pada tingkatan paling baik atau ideal dimana wajib
pajak sudah memiliki tingkat kesadaran yang sangat tinggi dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya dengan baik (willing to do the right things), maka sebagai strategi kepatuhan
terhadap mereka adalah upaya fiskus untuk terus-menerus memberikan kemudahan dalam
pelayanan yang terbaik. Saat ini Direktorat Jenderal Pajak memiliki tenaga AR (account
representative) yang dapat berperan aktif sesai perannya dalam membina wajib pajak,
memberikan penyuluhan, informasi yang diperlukan, sehingga wajib pajak merasa nyaman
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dengan tingkat kesadaran yang sangat baik
wajib pajak akan terus secara konsisten menunjukkan tingkat kepatuhan yang tinggi bila
terdapat pelayanan yang baik dari aparat perpajakan. Wajib pajak mengetahui dengan benar
untuk selalu menjalankan aktivitas ekonominya sesuai dengan aturan yang benar. Melakukan
tindakan yang bertentangan dengan ketentuan perpajakan akan mengakibatkan kontra
produktif, dan mereka tidak akan melakukan hal tersebut.
Pada tingkat kepatuhan selanjutnya adalah masyarakat wajib pajak yang selalu
mencoba-coba untuk memanfaatkan peluang menghindar pajak walau tidak selalu berhasil
(try to but do not always succed. Kepatuhan wajib pajak untuk menghindar pajak dapat
6

berakibat melanggar aturan pajak. Peraturan perpajakan berupa undang-undang pajak beserta
aturan pelaksanaannya dimaksudkan untuk tidak memberikan peluang untuk dpat ditafsirkan
oleh siapa saja, melainkan suatu ketentuan yang pasti yang bagi yang melannggarkarnya akan
terena sanksisesuai ketentuan. Wajib pajak yang tidak memahami secara penuh aturan
perpajakan dapat terjebak pada pemahan yang keliru dan berdampak pada gagalnya
penegakkan kepatuhan pajak dengan baik. Dalam konteks ini strategi kepatuhan pajak
dibangun atas dasar kepercayaan pada itikad baik wajib pajak dengan cara memberikan
bantuan pelayanan bagaimana memahami aturan pajak dan prosedur administrasi yang
menyertainya dengan benar (assist to comply). Dengan strategi ini diharapkan dikemudian
hari wajib pajakmembatalkan niatnya untuk menghindari pajak, sehingga kembali dapat
meningkatkan kepatuhannya.
Tingkatan kepatuhan pajak selanjutnya adalah dimana wajib pajak tidak patuh yaitu
tidak bersedia memenuhi aturan perpajakan yang berlaku (dont want to comply). Wajib pajak
selalu dengan aktif menghindar memenuhi kewajibannya dengan alasan yang berbeda-beda.
Masalah perbedaan perlakuan pajak akibat masih dirasakannya ketidakadilan aturan, prosedur
administrasi pelaporan pajak yang dirasakan masih rumit me ndorong wajib pajak tidak
bersedia melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar. Sebaliknya gejala ini dapat
pula diakibatkan oleh keberadaan usaha wajib pajak yang menurun, sehingga kewajiban
pajak menjadi tertunda. Demikian pula perilaku curang sebagian wajib pajak dapat
mendorong wajib pajak lainnya bertindak sama. Davis, et al. (2003) mengemukakan bahwa
enforecement and behavior of other affect tax payer complience.

Pendapat senada

sebagaimana dinyatakan Weisman (Davis, et al., 2003) bahwa if taxpayer begin to believe
that others are cheating, the temptations to shave their own tax burden may become
irreistible. Dengan demikian kepatuhan menyangkut unsur perilaku pihak-pihak yang
terkait dalam pajak. Secara implementatif pola ketidakpatuhan ini dipahami sebagai cara
menghindar yang sengaja dilakukan wajib pajak dalam upaya mengurangi, atau bahkan tidak
membayar pajak yang seharusnya. Memahami bahwa pajak adalah suatu kewajiban maka
tidak bisa lain bahwa dalam situasi apapun bilamana potensi penghasilan menunjukkan harus
ada kewajiban pajak yang harus dibayar, maka strategi yang dilakukan adalah melakukan
upaya pencegahan penghindaran pajak. Upaya yang dilakukan adalah upaya pencarian faktafakta yang menjadi alasan wajib pajak untuk menghindar. Demikian pula menemukan
informasi, data-data terkait potensi penyimpangan aturan pajak (deter by detection).
Informasi atau data akurat terkait penyimpangan perpajakan wajib pajak baik berpa surat
teguran atau peringatan lainnya.
7

Tingkat kepatuhan pajak yang terakhir adalah sudah pada tingkat yang sama sekali
tidak bersedia memenuhi kepatuhan pajak atau tidak mau membayar pajak yang menjadi
kewajibannya (have decided not to comply). Fenomena ini menunjukkan seoalah ada dan bisa
sebagian wajib pajak berada diatas undang-undang atau aturan perpajakan. Segala upaya
dilakukan wajib pajak untuk menghindar pajak, bahkan menyelundupkan atau menggelapkan
pajak, yaitu dengan sengaja melanggar perpajakan. Dalam kondisi ini pajak yang seharusnya
merupakan kewajiban menjelma menjadi suatu hal yang tidak penting dan dapat diabaikan
begitu ssaja. Efektivitas penerimaan pajak menghadapi tantangan berat dan untuk itu tindakan
antisipasi benar-benar harus menjadikan pelanggar aturan menjadi jera. Penegakkan hukum
(law enforcement) menjadi strategi pilihan yang tepat, yaitu dengan cara menggunakan semua
perangkat hukum mulai dari pemeriksaan pajak sampai dengan penyidikkan pajak bilamana
ditemukan bukti permulaan tentang adanya tindak pidana fiskal.
C.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pajak


Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak. Faktor-faktor tersebut

dapat dikelompokkan menjadi faktor individu, politik, ekonomi, dan faktor sodial
(Hobsor,2002:1). Sementara itu, Tomkins(2001:754) mengemukakan bahwa faktor sosial
memiliki tingkat tertinggi sebagai penentu dari tax payer non complience. Beberapa studi
menunjukkan adanya faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kepatuhan dalam
membayar pajak.
Borck (2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa dampak pengenaan sanksi
pinalti terhadap penggelapan pajak (tax evasion), berakibat menurunnya penerimaan pajak
yang diharapkan (expected tax revenue). Menurutnya apabila kesejahteraan wajib pajak (tax
payer welfare). Menurutnya apabila pengenaan sanksi denda diterapkan terhadap
penggelapan pajak (evaded tax), maka penghindaran pajak justru semakin besar, penerimaan
pajak menjadi kecil. Hal ini menunjukkan perlu kajian mendalam seberapa pentingnya
pengenaan pinalti sanksi pajak menjadi pilihan kebijakan sebelum diterapkan. Identifikasi
perilaku pajak mensyaratkan kebenaran hasil identifikasi wajib pajak. Hanya terdapat wajib
pajak yang benar-benar melakukan kesalahan atau pelanggaran yang dapat dikenakan sanksi.
Masalahnya adalah tidak seluruh wajib pajak dapat memenuhi aturan maupun prosedur
implementasi pelaporan pajak yang benar. Bahkan, dapat terjadi wajib pajak merasa sudah
benar-benar melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar seuai dengan aturan dan
prosedur perpajakan. Namun, tanpa disadari ternyata ada kesenjangan pemahaman aturan
karena berbagai hal. Beberapa diantaranya, misalnya aturan yang tidak jelas, sehingga
8

terdapat multi tafsir pemahaman antara wjib pajak dengan fiskus. Pelaporan pajak (SPT)
dalam pelaksanaannya diwajibkan diungkapkan dengan benar, jelas, dan lengkap. Dalam hal
ini pengertian dan faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar ketentuan benar, lengkap, dan
jelas haruslah transparan dinyatakan dalam ketentuanannya. Dalam konteks ini apabila fiskus
tidak tepat dan tidak profesional dalam menerapkan sanksi akan berakibat tercederainya rasa
keadilan wajib pajak. Dampak penerapan sanksi yang tidak benar adalah negatis dimana
wajib pajak cenderung beebuat sebaliknya akan lebih menghindar pajak dan penerimaan
pajak akan menurun. Oleh karena itu, dalam menentukan adanya dugaan pelanggaran, atau
bahkan penggelapan pajak haruslah disertai fakta dan data yang sebenarnya yang dapat
dipertanggung jawabkan, sehingga hasil yang diharapkan adalah positif. Dengan demikian
ketika pemerintah ingin

meningkatkan bobot besarnya kesejahteraan masyarakat dan

pendapatan pajak yang diharapkan, bagian dari denda yang dikenakan terhadap evaded tax
seharusnya lebih tinggi.
Prinsip utama penghindara pajak (tax avoidence), dapat dibedakan menjadi tiga
prinsip yaitu Stiglitz (1985) :
1. Menunda pembayaran pajak (postponement of taxes)
2. Memilih tarif pajak yang rendah (different marjinal tax rate )
3. Merekayasa penghasilan menjadi berbagai jenis penghasilan yang memiliki tarif yang
berbeda-beda (manipulation of different types of income that are taxed to different
degrees)
Pada dasarnya kewajiban perpajakan harus dilaksanakan sesuai aturan perpajakan
yang berlaku. Penghinddaran pajak hanya dapat dibenarkan sepanjang di dalam ketentuan
perpajakan. Penundaan pembayaran pajak yang didasarkan atas kebijakan perussahaan tentu
tidak dapat dibenarkan, kecuali ada dasar hukum khusus yang kuat untuk itu misalnya
penundaan karena adanya fasilitas penundaan atsa industri-industri tertentu dalam rangka
investasi. Dunia usaha bisnis ditujukan untuk memperoleh laba yang besar. Adanya pilihan
tarif pajak yang bertingkat-tingkat (tarif progresif) tentu memberikan peluang bagi wajib
pajak untuk memilih tarif, karena wajib pajak dapat menyesuaikan penghasilan usahanya
untuk terhindar dari pengenaan tarif yang tinggi. Dalam hal upaya penghindaran ini terkait
dengan penggelapan penghasilan kena pajak maka tidak dapat dibenarkan. Kebijakan pajak
perusahaan haruslah sejalan dengan ketentuan perpjakan. Laporan keuangan komersial
menggambarkan kinerja perusahaan yang ditujukan untuk manajemen maupunshareholder
dan stakeholder lainnya yang terkait. Prinsip yang digunakan adalah standar akuntansi yang
9

berlaku. Sebaliknya laporan keuangan fiskal ditujukkan untuk menghitung seberapa besar
pajak yang seharusnya terutang yang didasarkan pada aturan perpajakan. Perbedaan tujuan
diantara model laporan keuangan ini mensyaratkan adanya rekonsiliasi lapran keuangan
fiskal. Prinsip bisnis yang mengutamakan keuntungan dapat mendorong perilaku rekayasa
penghasilan secara tidak benar. Tarif pajak atas kegiatan hasil usaha akan berbeda dan
cenderung lebih tinggi dari tarif pajak yang akan dikenakan atsa modal misalnya bunga dan
dividen. Mengubah atau merekayasa penghailan usaha menjadi penghasilan modal tentu
mengungkapkan suatu yang tidak benar, termasuk pengelapan pajak yang akan dikenakan
sanksi. Oleh karena tiu, rekayasa penghasilan harus dalam bingkai aturan pajak yang benar.
Memutuskan investasi dalam bentuk saham atau tabungan sepenuhnya adalah pilihan wajib
pajak yang masing-masing pilihan jenis investasi akan memberika resiko dan penghasilan
yang berbeda, demikian pula besar pajak yang ditanggung sesuai ketentuan pajak yang
berlaku.
Penggelapan pajak adalah perilaku wajib pajak yang salah dan menyimpang
bertentangan dengan semangat dan tanggung jawab yang diharapkan dari seorang wajib
pajak, karenanya dikenakan ssanksi berat. Keputusan untuk menggelapkan pajak lebih
didasarkan pada perilaku wajib pajak yang hanya semata-mata mencari keuntungan sebesarbesarnya tanpa melihat kewajiban yang harus dipikul. Sandmo (2004), menyatakan bahwa
keputusan

untuk menggelapkan pajak (tax evasion) sangat tergantung dari persepsi

membayar pajak individu terhadap perilaku orang lain. Dengan demikian asas perlakuan
sama haruslah diterapkan bagi semua wajib pajak yang menggelapkan pajak tanpa membedabedakan.
James, et al., (2003) mengemukakan bahwa work in sociology has identified a
number of relevant variables such as social support, social influence, attitudes and certain
background such as gender, race, and culture. Pandangan ini mengisyaratkan bahwa
kepatuhan pajak ditengarai dipengaruhi oleh masalah-masalah sosial. Termasuk didalamnya
antara lain dukungan masyarakat, pengaruh masyarakat, perilaku, dan latar belakang gender
seperti masalah ras dan budaya. Masyarakat menitik beratkan pada rasa keadilan dalam
membayar pajak. Dukungan dan pengaruh masyarakat merasakan adanya keadilan dalam
aturan pajak. Demikian pula dalam perilaku gender dan budaya masyarakat sangat sensitif
dengan keadilan pajak baik yang terutang dalam aturan maupun dalam praktik
pelaksanaannya.

10

Dengan demikian sikap masyarakat terhadap negara dalam kaitan dengan kepatuhan
pajak lebih didasarkan pada aspek keadilan yang merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi keputusan mereka untuk patuh.
Murphy(2003) mengemukakan studi yang berangkat dari fenomena bahwa selama ini
memang faktor yang menyebabkan patuhnya pembayar pajak labih banyak dikaji dari aspek
psikologi. Dalam studinya Murphy (2003) melihatnya dari aspek hukum. Beberapa studi
yang mennjau aspek hukum yang berpengaruh terhadap kepatuhan menunjukkan bahwa
pengaruh dari ancaman dan paksaan legal (legal coercion), pemeriksaan misalnya kadangkadang justru berdampak kontra produktif (counterproductive) (Ayres dan Braithwaite, 1992,
Blumenthal, Christian & Slemrod, 1998; braithwaite, 2001; Murphy,2002a). Lebih jauh
dikemukakan bahwa temuan ini mengindikasikan pentingnya kehati-hatian fiskus dalam
merespons tindak pelanggaran aturan perpajakan (uncomlience), terlebih apabila dirasakan
tidak didasari dasar hukum yang tidak jelas. Pengenaan sanksi yang tidak tepat justru
berakibat negatif dimana wajib pajak justru akan lebih menunjukkan ketidakpatuhannya.
Menurut pada berbagai hasil studi yang mencoba mengidentifikasikan faktor-faktor
yang mempengaruhi tax compliance, OECD (organization for Economic Cooperation and
Development, 2004) mengemukakan analisi tentang perilaku kepatuhan dari para tax payer .
hasil penelitian yang ada secara umum diarahkan pada dua pendekatan dari kepatuhan, yaitu:
(1) perspektif ekonomi dan (2) perilaku yang menitik beratkan pada riset dari disiplin
psikologi dan sosiologi. Faktor-faktor termasuk dalam faktor ekonomi adalah :
1. Beban keuangan, ada hubungan antara jumlah pajak yang terutang dengan perilaku
kepatuhan (financial burden, there appears to be a relationship between the amount of tax
owed and complience behavior)
2. Biaya kepatuhan, ada biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pajak
diatas biaya seharusnya (the cost of complience, tax payer appear to face a number of
common cost of having to comply with their tax obligation over and above the actual
amount)
3. Hambatan, wajib pajak yang patuh menghendaki adanya denda terhadap wajib pajak yang
tidak patuh (disincentive, studies has shown that those who are compliant want those who
are non-compliant to be punished)
4. Pendorong, memberikan wajib pajak insentif akan berdampak positif terhdap kepatuhan
pajak (incentives, giving tax payer incentives may have a positive effect on compliance
behavior)
Lebih jauh, OECD (2004) juga mengemukakan faktor-faktor perilaku, seperti :
11

1) Perbedaan individu; faktor-faktor individu memperngaruhi perilaku termasuk; jenis


kelamin, umur, tingkat pendidikan, moral, industry, kepribadian, lingkungan dan beban
resiko.
2) Perasaan ketidak adilan; wajib pajak merasakan sistem yang tidak jujur atau
berpengalaman dilakukan tidak jujur cenderung kurang patuh
3) Persepsi risiko rendah; jika wajib pajak punya kesempatan untuk tidak patuh, maka ia
akan ambil risiko untuk tidak patuh
4) Pengambilan risiko; sementara masyarakat ada yang berpandangan bahwa menghindar
pajak adalah permainan untuk dilaksanakan dan berhasil.
Beberapa studi lain menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam
membayar pajak. Murphy (2003) mengemukakan studi yang berangkat dari fenomena bahwa
selama ini memang faktor yang menyebabkan kepatuhan pembayar pajak lebih banyak dikaji
dari aspek psikologi. Dalam studinya tersebut Murphy melihatnya dari aspek hukum.
Beberapa studi yang meninjau aspek ukum yang berpengaruh terhadap kepatuhan
menunjukkan bahwa pengaruh ancaman dan legal coercion kadang-kadang bersifat kontra
produktif. Temuan ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya pemahaman lebih mendalam
alasan apa yang menyebabkan wajib pajak tidak memenuhi kewajibannya. Pemberian
ancaman pemerikaan dan penerapan sanksi secara tidak tepat, justru berdampak negatif
menurunkan kepatuhan wajib pajak. Hanya terhadap wajib pajak yang terbukti melakukan
pelanggaran aturan perpajakan yang dapat dikenakan sanksi hukun, misalnya pemeriksaan
pajakn atau pengenaan sanksi bunga dan denda kenaikan. Pemilihan identifikasi kesalahan
yang tepat akan menghasilkan solusi yang tepat pula.
Berdasarkan gambaran tersebut sudah dijelaskan bahwa perilaku tax payer terhadap
kepatuhan pajak dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor ekonomi, sosial,
orientasi nilai, psikologi, hukum, dsb. Lebih lanjut OECD (2004) dalam kajiannya membuat
batasan secara terperinci faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam konteks bisnis
seperti dalam gambar 3.1.

12

Gambar 3.1. Factor Influence The Compliance Behavior of Business


Dalam gambar 3.1 secara rinci dpat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi
kepatuhan pajak. Dari perspektif bisnis kepatuhan pajak dipengaruhi dari berbagai hal, yaitu :
faktor profil bisnis, faktor industri, faktor sosiologi, faktor ekonomi, dan faktor psikologi.
Adapaun elemen apa saja yang terkait dalam faktor tersebut dapat dilihat secara rinci pada
gambar diatas. Dengan adanya rincian yang sangat detail dari faktor- faktor yang
mempengaruhi kepatuhan pajakn tentu memudahkan otoritas pajak di damal mengidentifikasi
pelanggaran wajib pajak dengan lebih tepat.
Penelitian lain oleh Edlund dan Aberg (2002) bertujuan untuk mengetimasi pengaruh
antara norma-norma perpjakan sosial dengan perilaku penghindaran pajak. Penelitian ini
dilakukan terhadap dalam negara-negara dalam kelompok OECD selama tahun 1981-1998,
sedangkan metode analisis yang digunakan adalah model regresi linier berganda. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa tingkat tarif pajak umum memiliki pengaruh negatif
terhadap dorongan norma masyarakat. Meskipun demikian proses politik dapat mengubahnya
dan dalam banyak kasus, bahkan dapat menolak pengaruh negatif tarif pajak terhadap
dukungan norma sosial. Selanjutnya dalam penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa
norma-norma pajak sosial tidak pengaruh atau sedikit pengaruhnya terhadap perilaku pajak
13

aktual. Dalam hal ini perilaku pajak lebih disebabkan oleh faktor-faktor lain dari pada nilai
moral individu, sehingga dalam hal ini asumsi bahwa norma-norma pajak sosial berpengaruh
signifikan terhadap tax evasion tidak mendapat dukungan secara empiris.
D.

Faktor Utama Kepatuhan Pajak

1. Teori risiko menentang (risk aversion theory)


Teori standar tentang tax compliance pertama kasli dikemukakan oleh Allingham and
Sandmo (1972). Teori ini mengasumsikan sedemikian tingginya tingkat ketidak patuhan dari
sisi ekonomi. Teori ini berkeyakinan tidak ada individu bersedia membayar pajak secara
sukarela (voluntary complience). Oleh karena itu, individu akan selalu menentang untuk
membayar pajak.
Guna menjelaskan teorinya tersebut Allingham and Sandmo merumuskan suatu model
:
D = D (I, t, p, f) .........................................................................................(1)
Keterangan :
D adalah declared income
I adalah pendapatan tetap
t adalah tarif pajak
p adalah probabilitas untuk diaudit
f adalah penalty rate
berdasarkan model ini beberapa faktor utama kepatuhan pajak antara lain: pendapatan
yang tetap (I), tarif pajak (t), probabilitas dilakukan pemeriksaan (p), dan besarnya sanksi
yang mungkin dikenakan (f). Menurutnya individu diasumsikan memiliki endowment
pendapatan yang tetap (I) dan harus melaporkan pendapatannya ke pemerintah untuk
menentukan besarnya pajak yang harus dibayarkannya. Notasi D merupakan declared
income, yaitu tingkat pendapatan wajib pajak yang sedia untuk dilaporkan pada tingkat tarif
pajak t. Pendapatan yang tidak dilaporkan tidak dikenai pajak, tetapi sebagai konsekuensinya
individu akan dimungkinkan untuk diaudit dengan probabilitas p dengan denda/sanksi
sebesar f yang harus dibayar untuk setiap pendapatany yang tidak dikenakan pajak. Individu
akan memilih D untuk memaksimalkan utilitas yang diharapkannya dari tindakan spekuliasi
dari penghindarannya (evasion gamble).
Persamaan (1) di atas menunjukkan bahwa terdapat permintaan untuk menyatakan
pendapatan yang bergantung pada I, t, p, dan f. Dalam hal ini D meningkat seiring dengan
14

kenaikan dalam probabilitas audit (p) dari deteksi atau penalty rate (f). Sementara itu,
dampak dari besarnya tarif (t) dan pendapatan (I) bergantung perilaku individu terhadap
risiko.
Meskipun demikian menurut Cowell and Gordon (1988) dalam perkembangannya
juga terdapat faktor lain yang mempengaruhi tax compliance berdasarkan model di atas,
yakni government expenditure (G). Sehingga, model tax compliance-nya menjadi:
D = D (I, t, p, f, G).......................................................................................(2)
Adapun yang dimaksud G di sini adalah refleksi transfer pemerintah yang mungkin
diperoleh sebagai manfaat bagi seorang wajib pajak. Perbedaan teori Allingham and Sandmo
(1972) dengan teori Cowell and Gordon (1988) terletak pada adanya manfaat pajak sebagai
cerminan daro government expenditure (G), di mana Cowell and Gordon (1988) menyetakan
bahwa government expenditure berbanding lurus dengan declared income.
2. Teori moral pajak (tax morale theory)
Frey (1997) memperkenalkan adanya moral pajak atau disebut juga motivasi intrinsik
individu untuk bertindak, yang didasari oleh nilai-nilai yang dipengaruhi oleh norma-norma
budaya. Menurut pendapat ini tax morale dapat dipahami sebagai penjelasan prinsip-prinsip
moral atau nilai-nilai yang diyakini seseorang mengapa membayar pajak. Beberapa faktor
yang mempengaruhi tax morale seperti:

Persepsi adanya kejujuran


Sikap membantu atau melayani dari aparat
Kepercayaan terhadap instansi pemerintah
Penghargaan atau rasa hormat dari aparat pajak
Sejumlah sifat-sifat individu lainnya
Tax morale akan berbeda-beda disetiap negara karena setiap negar memiliki kulturnya

masing-masing. Teori ini dengan pendeketan psikologi masyarakat, berpandangan bahwa


antara masyarakat dan pemerintah terdapat kontrak implisit yang mana msyarakat menydari
bahwa mereka memiliki hak dan kewajiban.
Selanjutnya Frey and Feld (2002) menjelaskan bahwa wajib pajak akan merespon
positif atas bagaimana otoritas pajak memperlakukan mereka. Khususnya kesediaan moral
wajib pajak untuk membayar pajak atau tax morale akan meningkat manakala pejabat pajak
menghargai dan menghormati mereka, dan kemudian berdampak terhadap masyarakat yang
15

merasa puas dan meyakini bahwa pajak yang dipungut benar-benar dipergunakan untuk
kebutuhan publik. Sebaliknya manakala pejabat pajak menganggap wajib pajak semata-mata
sebagai subjek yang harus dipaksa untuk membayar pajaknya, maka wajib pajak cenderung
merespon dengan aktif untuk mencoba menghindari membayar pajak.
Greetz and Wiede (1985) menyimulkan bahwa tax morale juga adalah etika yang
mengukur seberapa jauh tingkat komitmen wajib pajak atau kewajiban pertanggungjawaban
warga negara mematuhi aturan pajak. Oleh karena itu, apabila faktor komitmen ini hilang,
maka tingkat etikapun ternodai. Oleh karena itu, menipisnya etika dapat dipersalahkan atsa
menurunnya tingkat kepatuhan pajak.
E.

Indikator Kepatuhan Pajak


Dalam proses pelaporan pajak dengan sistem self ratio of assesment, Sommerfeld, et

al., (1994:77) menjelaskan bahwa self assesment process requires all entities subject to tax to
file a tax return and accurately report their income. Berdasarkan pendapat ini indikator
kepatuhan pajak didasarkan pada adanya kewajiban seluruh wajib pajak untuk memasukkan
Surat Pemberitahuan (SPT) dan melaporkan semua penghasilan secara akurat. Sejalan dengan
implementasi penilaian sendiri tersebut, diharapkan wajib pajak dapat mencapai tingkat
kepatuhan sukarela (voluntary compliance level-VCL). Pengertian VCL adalah perbandingan
antara pajak yang sesungguhnya dilaporkan dengan pajak yang seharusnya dilaporkan.
Dengan demikian VCL merujuk pada kepatuhan wajib pajak untuk melaporkan pajak pada
kondisi yang sebenarnya.
Dalam praktik pelaksanaannya yang berlangsung saat ini pada Direktorat Jenderal
Pajak sesuai dengan Undang Undang Nomor 28 tahun 2007 tantang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, indikator kepatuhan wajib pajak antara lain dapat dilihat dari :
1) Aspek ketepatan waktu, sebagai indikator kepatuhan adalah persentase pelaporan SPT
yang disampaiakan teat waktu sesuai ketentuan yang berlaku
2) Aspek income atau penghasilan WP, sebagai indikator kepatuhan adlah kesediaan
membayar kewajiban angsuran Pajak Penghasilan (PPh) sesuai ketentuan yang berlaku
3) Aspek law enforcement (pengenaan sanksi), sebagai indikator kepatuhan ialah
pembayaran tunggakan pajak yang diterapkan berdasarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP)
sebelum jatuh tempo
4) Dalam perkembangannya indikator kepatuhan ini dpat juga dilihat dari aspek lainnya,
misalnya aspek pembayaran dan aspek kewajiban pembukuan.
F.

Motif Kepatuhan dan Penghindaran Pajak (Tax Evasion dan Tax Avoidance)

16

Penerimaan negara yang berasal dari pajak merupakan salah satu aspek penting dalam
rangka menjamin kelangsungan pembangunan yang berbasis pada kemandirian dalam
pembiayaannya. Meskipun demikian dalam implementasinya, suatu negara akan menghadapi
kendala terutama terkait kemauan masyarakat untuk membayar pajak. Dalam hal in akan
muncul perilaku tax avoidance dan tax evasion dari masyarakat sebagai wujud dari
keenggananya dalam membyar pajak yang dibebankan oleh negara kepadanya.
Dalam hal ini tax avoidance digunakan untuk menjelaskan manipulasi legal dari
seorang individu untuk mengurangi pajak, sedangkan tax evasion manipulasi pajak dengan
sengaja melanggar aturan pajak. Dengan demikian walaupun tax avoidance(penghindaran
pajak) dianggap legal tidak melanggar hukum, tetapi apabila maksud tujuannya untuk
mengurangi pajak yang seharusnya dibayar,maka perilaku ini tetap dianggap tidak patuh(non
compliance). Oleh karena itu, yang dipentingkan disini adalah semangat daripada setiap
tindakan itu sesuai dengan apa yang tertulis dalam undang-undang. Suatu tindakan wajib
pajak yang semangatnya tidak konsisten dengan aturan perpajakan dianggap non compliance.
Secara lebih khusus Cowell(1990:5) menjelaskan bahwa tax evasion sebagai suatu
kegiatan judi. Seorang penjudi yang professional akan mengambil posisi dengan resiko yang
lebih kecil dari seluruh tindakannya, sedangkan penjudi yang lainnya akan bertindak
sebaliknya. Dalam komdisi ini akan terjadi suatu permainan untuk menentukan siapa yang
menang dan siapa yang kalah sesuai dengan parameter yang diyakininya masing-masing.
G.

Kebijakan dalam Kepatuhan Pajak


Kebijakan sistem perpajakan yang tepat dimaksudkan untuk lebih mengefisienkan

dan mengefektifkan pemungutan pajak dalam kerangka meningktakan penerimaan Negara


dari dari sektor pajak. Hal ini sejalan dengan perkembangan usaha agar dapat mendukung
kebijakan pendapatan Negara (fiscal policy), tetapi tetap memberikan keadilan dan kepastian
hukum dalam mewujudkan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian system penetapan
pajak harus dapat mendukung upaya pemerintah dalam optimalisasi kebijakan fiskalnya.
Beberapa system penetapan pajak yang sedang dan pernah diterapkan di Indonesia
adalah sebagai berikut(Sofyan dan Hidayat,2004:22)
Model sistem pertama,yaitu system penaksiran pajak secara individual (self
assessment system) yang murni dan self assessment system per kelompok. Dalam
memudahkan pengawasannya,Dirjen Pajak menggolongkannya menjadi:
1. Golongan satu, system individual self assessment system murni diberlakukan kepada
mereka yang berstatus wajib pajak pengusaha besar. Pada system ini wajib pajak
17

diwajibkan membuat laporan keuangan perusahaan yang diaudit oleh akuntan public.
Selanjutnya wajib pajak menghitung,mengisi SPT berikut lampirannya dan membayar
sendiri utang pajaknya. Dalam kaitan ini pejabat pajak melakukan pengawasan dalam
bentuk pemeriksaan (post audit) terhadap wajib pajak.
2. Golongan dua, yaitu self assessment system perkelompok diberlakukan terhadap mereka
yang berstatus wajib pajak golongan dua ini diharuskan bergabung dalam satu asosiasi
pengusaha atau profesi,missalnya asosiasi pengusaha sepatu,profesi pengacara ,dokter, dan
sebagainya dengan masing-masing asosiasi menentukan berapa prosentase keuntungan
bersih rata-rata yang diperoleh dari usaha para anggota yang tergabung dalam asosiasi,
bagaimana menentukan

peringkat(ranking) dari masing-masing anggota asosiasi ,dan

secara

anggota

bersama-sama

asosiasi

akan

lebih

mudah

diarahkan

dalam

menghitung,memperhitungkan dan mengisi SPT Tahunan serta masing-masing membayar


sendiri utang pajaknya.
Model sistem kedua,yaitu system penetapan pajak yang menggabungkan self assessment
system dan official assessment system per individual. Model system kedua ini pada
prinsipnya tetap menyederhanakan golongan wajib pajak menjadi 2(dua) untuk memudahkan
pengawasan, yaitu:
1. Golongan satu,yaitu self assessment system yang diberlakukan terhadap wajib pajak
pengusaha besar dan bonafit. Wajib pajak ini diwajibkan untuk membuat laporan
keuangan

perusahaan

yang

diaudit

oleh

akuntan

public

kemudian

menghitung,memperhitungkan ,mengisi SPT tahunan berikut lampirannya dan membayar


sendiri utang pajaknya.pengwasan yang dilakukan dengan sektor usaha masing-masing
wajib pajak.
2. Golongan dua,yaitu official assessment system perindividual yang diberlakukan terhadap
mereka yang berstatus wajib pajak pengusaha menengah dan kecil. Wajib pajak golongan
dua ini diharuskan menhitung,memperhitungkan ,mengisi SPT tahunan berikut
lampirannya. Sementara itu, audit oleh Kantor Akuntan Publik(KAP) tidak dipersyaratkan
terhadap laporan keuangan perusahaan. Dirjen Pajak melakukan pengawasan dengan
melakukan pemeriksaan (pre audit) dalam rangka menetapkan berapa besarnya pajak yang
terutang berdasarkan SPT beriku lampirannya.
Apabila pemerintah melakukan perubahan kebijakan di bidang perpajakan guna
meningkatkan pemasukan pajak ke kas Negara dan menunjang peningkatan pertumbuhan
perekonomian,maka pemerintah harus bersunggguh-sungguh mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
18

1. Pertama-tama

tetap

memegang

teguh

prinsip-prinsip

four

Smiths

Canonsadil,certainty,convenience,ekonomis dalam seluruh aturan perundang-undangan


perpajakan dan peraturan pelaksanaannya.
2. Tidak semata-mata pertimbangan ekonomi tetapi juga unsure moral (Feld,2002)
3. Menetapkan system pajak yang efisien,fleksibel,realistis dan integrated dengan
system/subsistem secara internal dengan system yang lain secara eksternal dalam
menunjang kebijakan pendapatan Negara(fiscal policy)
Hal tersebut diatas sangat penting untuk mendukung kepatuhan wajib pajak dalam
menjalankan kewajibannya membayar pajak.
Neumark yang dikutip oleh Narmantu(1987) menyatakan bahwa kenyamanan administrasi
dan

kepatuhan

(ease

of

administration

and

compliance)

memerlukan

empat

persyaratan,yaitu:
1. The requirement of clarity ,yaitu dalam proses pemungutan pajak terdapat kejelasan
,antara lain menyangkut kejelasan mengenai subjek,objek, tariff kapan pajak harus
dibayar,dimana harus dibayar,hak-hak wajib pajak maupun pejabat pajak (kursif-pen) dan
sebagainya.
2. The requirement of continuity ,yaitu menyangkut perlunya kesinambungan kebijaksanaan,
karena peraturan perundang-undangan kemungkinan dapat berubah-ubah dan variasi,tetapi
tetap dalam kerangka kebijakan umum perpajakan.
3. The requirement of economy, yaitu menghendaki agar organisasi dan administrasi pajak
(fiskus) dilaksanakan seefisien mungkin ,Karena biaya dan tenaga yang dikorbankan untuk
pemungutan pajak harus seimbang. Efisiensi bukan hanya dari sisi fiskus ,tetapi juga dari
sisi wajib pajak.
4. The requirement of convenience,yaitu menghendaki supaya dalam melaksanakan
kewajiban

perpajakan

wajib

pajak

merasa

senang,maksudnya

tidak

merasa

tertekan,merasa diburu atas kewajibannya membayar pajak.


Dengan kondisi diatas diharapkan system perpajakan dapat berjalan dengan efektif
karena para wajib pajak berada dalam kondisi yang menyenangkan dalam melaksanakan
kewajibannya membayar pajak. Di sadari bahwa tidak mudah untuk meyakinkan seluruh
pembayar pajak untuk patuh dengan system pajak yang dipersyaratkan. Kepatuhan pajak
tampaknya menjadi aspek yang signifikan dari kebijakan pajak dan merupakan masalah yang
sudah lama terjadi dan efektifitas pemungutan pajak selalu berhubungan dengan masalah
kebijakan perpajakan itu sendiri.
Menyadari ketimpangan antara kebijakan yang dilakukan dengan tuntutan wajib pajak
yang semakin ingin diperlakukan adil dan transparan/kepastian hukum, maka perlu
19

dipertimbangkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat kesadaran/kepatuhan wajib


pajak disamping faktor ekonomi.
Sesungguhnya menurut wajib pajak untuk patuh memenuhi kewajiban pajak,terkait
langsung dengan kesadaran ,kerelaan,kebersediaan wajib pajak itu sendiri. Apa pun yang
dianjurkan kepada segolongan masyarakat itu sendiri,sulit kiranya suatu anjuran/himbauan
akan dilaksanakan. Kemauan untuk mematuhi aturan adalah disamping factor masalah
eksistensi pribadi seseorang juga pengaruh faktor lingkungan luar seseorang. Seseorang yang
berakhlak moral baik mempunyai etika baik,cenderung mematuhi aturan. Demikian pula
nilai-nilai orientasi seorang bahkan pilihan resiko sekalipun akan menentukan langkah
seseorang. Dipihak lain factor situasional turut ambil peranan dalam membentuk pola
perilaku seseorang dalam menentukan langkahnya. Aspek situasional bias menyangkut sanksi
audit,keadilan ,dan kepastian hokum/fairness (Trivedi et al, 2003)
Upaya mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak
terus berkembang dan pada Mei 2004 dilakukan pertemuan antar Negara-negara OECD
dalam sebuah seminar yang membahas secara khusus masalah tingkat kepatuhan pajak
tersebut. Forum ini membicarakan berbagai hasil penelitian yang dilakukan masing-masing
Negara domestic sehubungan dengan isu kepatuhan pajak. Forum berhasil mengidentifikasi
dan membahas prinsip-prinsip umum yang melandasi risiko perilaku kepatuhan sebagai
akibat kebijakan perpajakan yang sedang dijalankan. Bahkan ,diskusi ini merekomendasikan
suatu strategi (compliance strategi) yang dapat dilaksanakan sebagai cara untuk
mempengaruhi perilaku wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Berbagai Negara tentunya menghadapi kindisi yang beragam didalam implementasi
masing-masing sistem perpajakannya. Ketentuan perpajakan berbeda-beda terkait dengan
kebijakan dan lembaga legislasi,praktik administrasi,dan budaya,sehingga tidak diperoleh
suatu standar khusus.
Berkaitan dengan upaya meningkatkan kepatuhan perpajakan,Purnomo (2004:220227) mengemukakan bahwa meningkatkan kepatuhan wajib pajak adalah tujuan pertama dari
reformasi perpajakan jangka menengah. Terkait dengan hal tersebut maka terdapat tiga
strategi yang akan dilaksanakan,yaitu:
1. Membuat program dan kegiatan yang diharapkan dapat menyadarkan dan meningkatakn
kepatuhan sukarela khususnya wajib pajak yang selama ini belum patuh. Programnya
antara lain: program

kampanye sadar dan peduli pajak, program pengembangan

pelayanan perpajakan

20

2. Meningkatkan pelayanan terhadap wajib pajak yang relative sudah patuh sehingga tingkat
kepatuhan dapat dipertahankan atau ditingkatkan. Programnya antara lain: program
pengembangan pelayanan prima dan program penyederhanaan pemenuhan kewajiban
perpajakan.
3. Memerangi ketidakpatuhan (combatting non compliance) dengan berbagai program dan
kegiatan ,diharapkan dapat menangkal ketidakpatuhan perpajakan. Program yang
dijalankan antara lain: program pengenaan sanksi,menentukan sikap atas kelompok wajib
pajaka yang tidak patuh,meningkatkan efektivitas pemeriksaan,modernisasi aturan dan
metode pemeriksaan penagihan ,pemanfaatan teknologi terkini,dan pemanfaatan bank
data.
Disamping itu dikemukakan pula pentingnya upaya untuk meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap administrasi perpajakan. Strategi yang dijalankan adalah dengan
meningkatkan citra Direktorat Jendral Pajak dan melanjutkan pengembangan administrasi
LTO ( Large Taxplayer Office ) dengan demikian kebijakan perpajakan diharapkan dapat
berjalan efektif yaitu seiring dengan meningkatnya kepatuhan wajib pajak.

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
21

Kepatuhan pajak merupakan salah satu komponen penting dalam rangka


meningkatkan penerimaan pajak. Kepatuhan pajak mencerminkan ketersediaan dari individu
untuk melaksanakan kewajiban pajaknya. Dalam hal ini terdapat banyak factor yang dapat
mempengaruhi kepatuhan pajak baik factor ekonomi dan factor non-ekonomi. Diantara faktor
tersebut dibutuhkan juga sebuah sanksi yang tegas untuk mendorong masyarakat
melaksanakan kewajiban perpajakannya dan tidak melakukan tax avoidance dan tax evasion.
Berbagai dimensi dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kepatuhan pajak.
Beberapa diantaranya antara lain adanya kewajiban seluruh wajib pajak untuk melaporkan
Surat Pemberitahuan(SPT) dan mengungkapkan kebenaran jumlah penghasilan yang
dilaporkannya. Sejalan dengan implementasi self assessment diharapkan wajib pajak dapat
mencapai suatu tingkat kepatuhan pajak sukarela (voluntary compliance level VCI). Dengan
demikian kepatuhan wajib pajak untuk melaporkan pajak pada kondisi yang sebenarnya dapat
terlaksana. Beberapa indikator kepatuhan wajib pajak antara lain dapat dilihat dari : Aspek
ketepatan waktu, yaitu persentase pelaporan SPT yang disampaikan tepat waktu sesuai
ketentuan yang berlaku . Aspek income yaitu kesediaan membayar kewajiban angsuran pajak
penghasilan (PPh) sesuai ketentuan yang berlaku. Aspek law enforcement (pengenaan
sanksi),sebagai indikator kepatuhan misalnya adalah pembayaran tunggakan pajak yang
ditetapkan berdasarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) sebelum jatuh tempo atau pembuatan
pembukuan yang benar sesuai ketentuan.
3.2

Saran
Penyusunan makalah tentang Komputer Personal danKomunikasi Bisnis oleh

kelompok 12 kelas E ini masih dikira terdapat banyak kekurangan disana-sini baik dari segi
materi yang disajikan, penyusunan format dan tujuan dari penyampaiannya. Maka dari itu,
kami sebagai penyusun mengharapkan sumbangsih saran dan kritik baik dari dosen
pembimbing maupun dari teman mahasiswa demi penyempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Hamonangan, Timbul, 2012, Dimensi Ekonomi Perpajakan dalam Pembangunan Ekonomi,
Jakarta: Raih Asa Sukses (PS).
22

You might also like