Professional Documents
Culture Documents
3) Kultur darah
Kultur darah positif pada 60-80% pasien Tyfoid. Sensitivitas kultur darah lebih tinggi pada minggu pertama dan
sensitivitasnya meningkat sesuai dengan volume darah yang dikultur. Sensitivitas kultur darah dapat menurun
karena penggunaan antibiotik sebelum isolasi, namun hal ini dapt diminimalisasi dengan menggunakan sistem kultur
darah otomatis seperti BacT Alert, Bactec 9050 dengan menggunakan media kultur (botol kultur) yang dilengkapi
dengan resin untuk mengikat antibiotik.
Beberapa penyebab kegagalan dalam mengisolasi kuman Salmonella typhi adalah:
1. Keterbatasan media di laboratorium
2. Konsumsi antibiotik
3. Volume spesimen yang dikultur
4. Waktu pengambilan sampel (positifitas tertinggi adalah demam 7-10 hari)
2. Pemeriksaan Serologi
Demam tifoid menginduksi respon imun humoral baik sistemik maupun lokal tetapi respon imun ini tidak dapat
memproteksi dengan lengkap terhadap kekambuhan dan reinfeksi.
Beberapa pemerikasaan serologi diantaranya:
a.
Test Widal ( Test Aglutinasi Pengenceran Tabung)
Uji widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896.Prinsip uji widal adalah
memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran yang berbedabeda terhadap antigen somatik (O) dan flagella (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi
aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Pemerikasaan widal mendeteksi antibodi aglutinasi terhadap antigen O dan H, Biasanya antibodi O muncul pada hari
ke 6-8 dan H pada hari ke 10-12 setelah onset penyakit.
Agutinin serum meningkat dengan cepat selama minggu kedua dan ketiga pada infeksi Salmonella. Sekurangkurangnya diperlukan dua bahan serum, yang diperoleh dalam waktu 27-10 hari untuk membuktikan adanya
kenaikan titer antibodi. Serum yang tidak dikenal diencerkan berturut-turut (dua kali lipat) lalu dites terhadap
antigen Salmonella.
Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut
1. Titer O yang tinggi atau kenaikan titer O ( 1: 160) adanya infeksi aktif
2. Titer H yang tinggi ( 1:160) penderita pernah divaksinasi atau pernah terkena infeksi.
Mekanismenya :
Biasanya dipergunakan suspensi H dan O kuman salmonella typhi. Pada pemeriksaan ini serum penderita diencerkan
(mulai dari 1:10, 1:20, 1:40, 1:80, 1:160, 1:320 dan seterusnya), tiap-tiap pengenceran diambill sedikit (0,3 ml) dan
dipindahkan kedalam tabung-tabung kecil khusus. Kemudian pada masing-masing tabung ditambahkan suspensi
kuman yang telah disiapkan sebanyak 0,3 ml pula. Tabung kontrol diisi dengan air garam faal dan suspensi kuman
tanpa serum penderita. Tabung kontrol dipakai untuk mengetahui apakah kuman tidak menggumpal dengan
sendirinya. Lalu tabung-tabung ini dieramkan selama 12-24 jam akan terjadi gumpalan aglutinasi suspensi H dan
aglutinasi seperti pasir (berbutir) pada aglutinasi O. Pada aglutinasi H hasilnya dapat dilihat dalam waktu 2 jam. Jika
dieramkan pada suhu 55C. Hasil pemeriksaan ini dinyatakan sebagai titer antibodi.
Titer antibodi yang rendah terhadap salmonella dapat tampak pada darah penderita yang belum pernah menderita
sakit atau mendapat vaksinasi, titer ini disebut titer normal. Reaksi anamnestik lebih sering terjadi pada agglutinin H
dari pada aglutinin O. Bukti serelogis yang paling dapat dipercaya pada infeksi Salmonella ialah kenaikan titer
agglutinin O antara titer pada minggu pertama dibandingkan titer pada minggu kedua atau minggu-minggu
selanjutnya pada masa sakit. Meskipun demikian tidak adanya respon antibodi tidak menghilangkan kemungkinan
adanya penyakit demam tifoid sebab kemungkinan penderita tidak dapat membuat antibodi cukup banyak sampai
kadarnya dapat diukur
b. TUBEX TF (mendeteksi antibodi IgM tehadap antigen O LPSSalmonella typhi)
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit)
dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogroup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi
antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini,
beberapa peneliti terdahulu menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik
daripada uji Widal.
Prinsip pemeriksaan :
Metode pemeriksaan yang digunakan adalah Inhibition Magnetic Binding Immunoassay (IMBI). Antibodi IgM
terhadap antigen O9 LPS dideteksi melalui kemampuannya untuk menghambat interaksi antara kedua tipe partikel
reagen yaitu indikator mikrosfer lateks yang disensitisasi dengan antibodi monoklonal anti O (reagen berwarna biru)
dan mikrosfer magnetik yang disensitisasi dengan LPS Salmonella typhi (reagen berwarna coklat). Setelah
sedimentasi partikel dengan kekuatan magnetik, konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam cairan
menunjukkan daya inhibisi.
Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan konsentrasi antibodi IgM Salmonella typhi dalam sampel.
Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna.
Interpretasi
Keterangan
<2
Negatif
Bouderline
4-5
Positif
>6
Positif
Pemeriksaan TUBEX sangat sensitif dan spesifik untuk deteksi demam tifoid. Hal ini disebabkan karena penggunaan
antigen O LPS yang memiliki sifat sifat sebagai berikut :
1) Immunodominan dan kuat
2)
Antigen O (LPS secara umum) bersifat thymus independent type 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H
kurang imunogenik), dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B
3)
Antigen O dapat menstimulasi sel sel B tanpa bantuan sel T (tidak seperti antigen antigen protein) sehingga
respon anti O dapat terdeteksi lebih cepat.
4)
LPS dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan
reseptor lain (Toll like receptor 4)
5)
Spesifisitas yang tinggi (>90%) karena antigen O yang sangat jarang ditemukan baik dialam maupun diantara
mikroorganisme.
c.
Typidot ( Mendeteksi Antibody IgG dan IgM terhadap antigen 50 kDSalmonella typhi)
d. Typidot M (mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen 50 kD Salmonella typhi)
e.
Dipstick test (mendeteksi antibody IgM terhadap antigen LPS Salmonella typhi)
Tubex TF, Typidot, Typidot M, dan Dipstick test merupakan cara pemeriksaan serologi yang baru dikembangkan.
3. Teknik Molekuler
Seperti halnya kultur darah target dari teknik-teknik molekular adalah patogen itu sendiri sehingga bermanfaat
untuk deteksi awal penyakit. Teknik hibridisasi menggunakan probe DNA adalah teknik biologi molekular pertama
yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Teknik ini memiliki spesifitas yang tinggi namun kurang sensitif.
Teknik ini dapat mendeteksi Salmonellatyphi bila jumlah bakteri <500 bakteri/ml. Kemudian berkembang teknik
polymerase Chain Reaction (PCR) dengan spesifisitas dan sensitivitas yang lebih baik (1-5 bakteri/ml). PCR untuk
identifikasi Salmonella typhi ini tersedia dibeberapa negara namun penggunaannya masih terbatas untuk penelitian
karena harganya cukup mahal. Selain itu diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan teknik
molekular termasuk PCR terutama di daerah dengan endemisitas demam tifoid yang tinggi seperti di Indonesia.
VI. PENGOBATAN
Pemberian antibiotika yang efektif dapat mengurangi angka kematian. Antibiotika kloramfenikol masih dipakai
sebagai obat standar dimana efektivitas obat-obat lain masih dibandingkan terhadapnya. Untuk strain kuman yang
sensitif terhadap kloramfenikol, antibiotik ini memberikan efek klinis paling baik dibandingkan obat lain. Perlu
diketahui kloramfenikol mempunyai efek toksik terhadap sumsum tulang. Obat-obat lain seperti ampisilin,
amoksisilin, dan trimetoprim-sulfametoksasole dapat dipergunakan untuk pengobatan demam tifoid dimana strain
kuman penyebab telah resisten terhadap khloramfenikol, selain bahwa obat-obat tersebut kurang toksik
dibandingkan kloramfenikol.
Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena,
selama 14 hari.
Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diberi ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari,
terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau amoksisilin dengan
dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari atau kotrimoksasol
dengan dosis 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian oral, selama 14 hari.
Kotrimoksasol, trimethoprim, atau sulfamethoxazole adalah obat-obat yang sering dikombinasikan yang mempunyai
sifat antibakteri agent sehingga dapat menghasilkan efek sinergis. Quinolone adalah golongan asam karboksilat yang
dengan cincin quinolon-nya berfungsi untuk mengobati infeksi dari saluran intestinal. Pada diare yang hebat, penting
penggantian cairan dan elektrolit. Antispasmolitik mungkin diperlikan untuk mengurangi kejang.
Pengobatan carrier kronik selalu menjadi masalah, terutama carrier dengan batu empedu. Penderita carrier tanpa
batu empedu, pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian ampisillin atau amoksisillin dan probenesit, tetapi bila
disertai kholelitiasis maka diperlukan pengobatan pembedahan selain antibiotika.
Imunisasi dengan vaksin monovalen kuman Salmonella typhi memberikan proteksi yang cukup baik, vaksin akan
merangsang pembentukan serum terhadap antigen Vi, O, dan H. Dari percobaan para sukarelawan ternyata antibodi
terhadap antigen H memberikan proteksi terhadap Salmonella typhi tetapi tidak demikian halnya antibodi Vi dan O.
Untuk perawatannya, penderita beristirahat/berbaring sampai minimal 7 hari, bebas demam atau 14 hari, keadaan
ini sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Pada pasien
dengan kesadaran menurun diperlukan perubahan-perubahan posisi berbaring untuk menghindari komplikasi
pneumonia hipostatik dan dekubisitas. Pada mulanya penderita diberikan bubur halus kemudian bubur kasar yang
bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Dengan mengkonsumsi makanan
dalam bentuk tersebut di atas, tentunya pasien kurang mau mengkonsumsinya sehingga pasien mengalami
penurunan keadaan umum dan gizi sekaligus memperlama proses penyembuhan.
VII. PENCEGAHAN
Dapat dilakukan pengendalian dengan menerapkan dasar-dasar hygiene dan kesehatan masyarakat yaitu melakukan
deteksi dan isolasi terhadap sumber infeksi, perlu diperhatikan kebersihan lingkungan, pembuangan sampah,
perlindungan terhadap suplai makanan dan minuman, peningkatan ekonomi dan peningkatan kebiasan hidup sehat
serta mengurangi populasi lalat (reservoir).
Memberikan pendidikan kesehatan dan pemeriksaan kesehatan 9terutama pemeriksaan tinja) secara berkala
terhadap penyaji makanan maupun restoran.
Selain itu yang sangat penting adalah sterilisasi pakaian, bahan, dan alat alat yang digunakan pasien dengan
memberikan antiseptik, dianjurkan pula bagi pengunjung untuk mencucui tangan dengan sabn dan memberikan
desinfektan pada saat mencuci pakaian.
Deteksi carrier dilakukan dengan cara test darah dan diikuti dengan pemeriksaan tinja dan urine yang dilakukan
berulang-ulang. Pasien yang carrier positif diperlukan pengawasan yang lebih ketat yaitu dengan memberikan
informasi tentang hygiene perorangan dan cara meningkatkan standar hygiene agar tidak berbahaya bagi orang lain.
DIARE
I. PENDAHULUAN
Diare adalah peningkatan volume, keenceran atau frekuensi buang air besar. Diare yang disebabkan oleh masalah
kesehatan biasanya jumlahnya sangat banyak, bias mencapai lebih dari 500 gram/hari. Orang yang banyak makan
serat sayuran, dalam keadaan normal bias menghasilkan lebih dari 500 gram, tapi konsistensinya normal dan tidak
cair. Dalam kedaan normal, tinja mengandung 60-90% air, pada diare airnya bias mencapai lebih dari 90%.
Diare bukanlah penyakit yang dating dengan sendirinya. Biasanya ada yang menjadi pemicu terjadinya diare. Secara
umum, berikut ini beberapa penyebab diare, yaitu:
1. Diare osmotic
Terjadi bila bahan-bahan tertentu yang tidak dapat diserap ke dalam darah, tertinggal di usus. Bahan tersebut
menyebabkan peningkatan kandungan air dalam tinja, sehingga terjadi diare. Makanan tertentu (buah dan kacangkacangan) dan heksitol, sorbitol juga manitol dapat menyebabkan diare osmotic. Kekurangan lactase juga dapat
menyebabkan diare osmotic.
2. Diare sekretorik
Terjadi jika usus kecil dan usus besar mengeluarkan garam (terutama natrium klorida) dan air kedalam tinja. Hal ini
juga bias disebabkan oleh toksin tertentu seperti pada kolera dan diare infeksius lainnya. Bahan lainnya yang juga
menyebabkan pengeluaran air dan garam adalah minyak kastor dan asam empedu (yang terbentuk setelah
pengagkatan sebagian usus kecil).
3. Sindroma malabsorbsi
Sindroma malabsorbsi juga bias menyebabkan diare. Penderita sindroma ini tidak dapat mencerna makanannya
secara normal. Pada malabsorbsi yang menyeluruh, lemak tertinggal di usus besar dan menyebabkan diare
sekretorik, sedangkan adanya karbohidrat dalam usus besar menyebabkan diare osmotic. Malabsorbsi dapat
disebabkan oleh sariawan non-topikal, insufiensi pancreas, pengangkatan sebagian usus, aliran darah ke usus besar
yang tidak adekuat, kekurangan enzim tertentu di usus halus, penyakit hati.
4. Diare eksudatif
Terjadi jika lapisan usus besar mengalami peradangan atau membentuk tukan, lalu melepaskan protein, darah,
lender, dan cairan lainnya yang akan meningkatkan kandungan serat dan cairan pada tinja. Penyebabnya adalah
colitis ulserativa, enteritis regional, tuberculosis, limfoma, kanker
5. Perubahan pasase usus
Perubahan pasase usus bias menyebabkan diare. Untuk mendapatkan konsistensi yang normal, tinja harus tetap
berada di usus besar selama waktu tertentu. Tinja yang terlalu cepat meninggalkan usus besar, akan berbentuk
encer/cair. Tinja yang terlalu lama berada di usus besar, konsistensinya keras dan kering.
6. Pertumbuhan bakteri berlebih
Pertumbuhan bakteri berlebih adalah pertumbuhan bakteri alami usus dalam jumlah yang sangat banyak atau
pertumbuhan bakteri yang secara alami tidak ditemukan diusus. Hal ini bias menyebabkan diare.
7. Diare karena infeksi virus (Rotavirus)
Di Indonesia, sebagian besar diare pada bayi dan anak disebabkan oleh infeksi Rotavirus. Disamping diare, muntah
dapat menjadi masalah serius membantu kearah dehidrasi. Penyakit ini biasanya tidak mematikan kecuali kalau telah
ada dehidrasi berat atau dihubungkan dengan malnutrisi yang ada sebelumnya. Diare mulai agak lebih lambat
daripada muntah dan menggambarkan infeksi dalam ususpada bermacam-macam tingkat. Kelainan mukosa serupa
dengan kelainan yang ditemui pada penderita infeksi virus Norwalk.
Dua serotip rotavirus telah dikenali tipe 1 dan 2. Rotavirus tipe 2 merupakan hamper 80% penyebab penyakit pada
manusia, dengan sisanya merupakan tipe 1.
Rotavirus diklasifikasikan ke dalam famili Reoviridae. Ada enam kelompok serologis yang telah diidentifikasikan, tiga
diantaranya (grup A, B, dan C) dapat menginfeksi manusia.
Rotavirus grup A terdapat diseluruh dunia. Virus ini merupakan penyebab utama diare parah yang terjadi pada bayi
dan anak-anak. Setengah dari kasus-kasus diare yang memerlukan perawatan di rumah sakit disebabkan oleh virus
ini. Di daerah beriklim sedang, infeksi rotavirus umunya terjadi saat musim dingin, tetapi di daerah tropis infeksinya
terjadi sepanjang tahun. Jumlah kasus yang disebabkan oleh kontaminasi pada makanan tidak diketahui.
Rotavirus grup B, yang disebut juga rotavirus penyebab diare pada orang dewasa (adult diorrhoea rotavirus atau
ADRV), pernah menimbulkan wabah diare yang parah, menginfeksi ribuan orang dari berbagai usia di Cina.
Rotavirus grup C dikaitkan dengan kasus-kasus diare pada anak-anak yang jarang terjadi dan bersifat sporadis di
banyak negara. kasus-kasus pertama yang disebabkan oleh virus ini dilaporkan dari Jepang dan Inggris
Semua manusia rentan terhadap infeksi rotavirus. Anak-anak yang berusia antara 6 bulan sampai 2 tahun, bayi
prematur, orang lanjut usia, dan orang dengan sistem kekebalan yang lemah, rentan terhadap infeksi grup A denga
gejala yang lebih parah.
II. MORFOLOGI ROTAVIRUS
Rotavirus termasuk dalam famili reoviridae dan merupakan patogen yang paling penting pada manusia dalam
kelompok reoviridae. Golongan virus reoviridae meliputi tiga genus yang dapat menginfeksi manusia yaitu Reovirus
yang terdiri dari 3 serotipe, Rotavirus dengan 2 serotipe, Orbivirus yang terdiri dari beberapa serotipe.
Tabel 1. Ciri Khas Rotavirus
Virion
Komposisi
Genom
RNA untai ganda, Linear, Bersegmen (10-12 segmen), total ukuran genom 16-17kbp
Protein
Amplop
Replikasi
Rotavirus memiliki RNA untai ganda. Virion rotavirus yang tidak berselubung terdiri dari 3 kapsid konsentrik yang
mengelilingi genom RNA. Genom ini terbagi menjadi 11 segmen yang mengkode 6 protein struktural dan 6 protein
non struktural. Rotavirus dibagi menjadi 7 grup, A-G, berdasar pada tipe epitop antigen pada protein struktural
internal VP6. Antigen ini dapat dideteksi dengan teknik imunofluoresen, ELISA dan IEM (immune electron
microscopy). Hanya grup A, B, dan C yang menginfeksi manusia.
Virion rotavirus mempunyai diameter keseluruhan sebesar 60-66 nm dan mempunyai lapisan kapsomer rangkap
yang mengelilingi pusatnya dan memberikan gambaran sebuah roda.
Protein kapsid luar VP4 dan VP7 membawa epitop penting dalam aktivasi netralisasi, walaupun glikoprotein VP7
tampaknya merupakan antigen dominan. Dua buah protein kapsid luar tersebut digunakan untuk klasifikasi serotipe,
yakni P dan G, dinamakan P karena VP4 dipotong oleh protease dan dinamakan G karena VP7 mengalami glikolisis.
Setidaknya ada 14 serotipe G dan 20 serotipe P dan krena gen yang mengkode VP4 dan VP7 terpisah secara terseniri,
beberapa lusin kombinasi PG yang berbeda dapat muncul secara teori. Namun secara klinis hanya sedikit serotipe PG
yang dominan.
Tabel2. Serotipe Rotavirus
Gen
VP7
VP7
Serotipe
Jumlah serotipe
14
20
P4, P8
G9
P6
Virus dapat dilihat dengan mikroskop elektron dalam sediaan tinja dari 20-40% anak berumur 5 tahun ke bawah
yang menderita gastroenteritis. Di samping itu virion dapat dideteksi dalam tinja dari sebanyak 4% anak tanpa
gastroentritis yang dirawat di rumah sakit.
Rotavirus menginfeksi sel-sel dalam vili usus halus dan berkembang biak dalam sitoplasma sitoplasma enterosit dan
merusak mekanisme transportnya. Sel yang rusak dapat masuk ke dalam lumen usus dan melepaskan sejumlah besar
virus, yang kemudian terdapat dalam tinja. Infeksi Rotavirus biasanya selama musim dingin, masa inkubasinya
selama 1-4 hari. Penularannya melalui feses yang mengering dan disebarkan lewat udara.