Professional Documents
Culture Documents
AGRARIA INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
kalangan, baik dalam bentuk buku-buku referensi, jurnal ilmiah dan di dalam
tidak begitu fokus mengkaji tentang sejarah hukum agraria, bagaimana lahirnya
yang selanjutnya dalam makalah ini disebut UUPA, terus dilakukan guna
kebutuhan masayarakat, untuk itu diperlukan suatu kajian ilmiah tentang bagaimana
perkembangan yang terjadi di bidang agraria. Dengan demikian setidaknya dari kajian
itu dapat diperoleh bahan untuk dijadikan pegangan dalam melakukan pembaharuan
Substansi yang akan dibahas di dalam makalah singkat ini terfokus kepada
sejarah hukum agraria sebagai salah satu bagian yang integral dari sistem hukum
guna mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara. Dalam kajian terhadap hukum agraria
ini penulis melakukan kajian dari pendekatan sejarah. Hal ini penulis anggap penting
karena perkembangan hukum agararia kedepan tidak akan terlepas dari proses dan
pergelutan yang melatarbelakangi lahirnya hukum agraria ini. Lebih lanjut kenapa
pendekatan sejarah hukum ini diperlukan adalah disebabkan beberapa alasan sebagai
berikut :[1]
1. Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga dalam
lintasan kala dan waktu. Hal ini berlaku bagi sumber-sumber hukum formil, yakni
sejarah hukum. Henri De Page penulis sebuah karya penting perihal Traite
berkeyakinan bahwa sejarah hukum, lebih dahulu daripada logika dan ajaran
hakikatnya merupakan suatu pegangan penting bagi para yuris pemula untuk
4. Hal ikhwal yang teramat penting di sini adalah perlindungan hak asasi manusia
Dari berbagai alasan kenapa pentingnya suatu kajian sejarah hukum, maka
penulis menganggap perlu untuk melakukan kajian terhadap sejarah hukum agraria
agrraria Indonesia sebagai suatu gejala yang tidak terlepas dari proses masa lalu.
Dari uraian di atas, panulis menuangkan kajian tentang sejarah hukum ini
dalam makalah sederhana dengan judul “Hukum Agraria Indonesia : Sejarah dan
Perkembangannya”
B. Identifikasi Masalah.
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dikaji dalam
1. Tujuan Penelitian.
Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk :
a. Mengetahui proses sejarah dalam lintasan waktu dan kala dalam bidang
2. Kegunaan Penelitian.
b. Secara Praktis; makalah ini dapt berguna sebagai sumber kajian berikutnya
D. Kerangka Teoritis.
Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Ubi cocietas, ibi ius. Di manapun
di dunia ini selama di situ ada masyarakat, maka di situ ada aturan hukum. Sejalan
dengan hal itu, hukum itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya. Hukum
itu tumbuh dan berkembang dari refleksi kebutuhan-kebutuhan yang terungkap dalam
jalinan-jalinan hidup masyarakat di mana hukum itu hidup. Apapun corak hukum itu
dipengaruhi oleh jalinan kebutuhan-kebutuhan masyarakat itu yang merupakan
ini terbagi ke dalam banyak masyrakat bangsa. Tiap masyarakat bangsa itu
mempunyai Volksgeist (jiwa bangsa)-nya sendiri yang berbeda menurut tempat dan
zaman. Volksgeist itu dinyatakan dalam bahasa, adat istiadat, dan organisasi sosial
rakyat yang tentunya berbeda-beda menurut tempat dan zaman pula. Yang
dimaksudkan dengan Volksgeist adalah filasafat hidup suatu bangsa atau pola
kebudayaan atau kepribadian yang tumbuh akibat pengalaman dan tradisi di masa
lampau.[2]
masyarakat tempat hukum itu berlaku. Isi hukum ditentukan oleh perkembangan adat
istiadat rakyat di sepanjang sejarah; isi hukum ditentukan oleh sejarah masyarakat
“Pada permulaan sejarah, hukum sudah mempunyai ciri yang tetap, khas
untuk rakyat seperti bahasanya, adat istiadatnya, dan konstitusinya. Gejala ini
yang jelas. Yang mengikat semua itu dalam suatu keseluruhan adalah
kesamaan pendirian dari rakyat. Kesadaran batiniah yang sama perlu untuk
membuang semua pikiran tentang asal mula yang kebetulan dan tidak pasti
kebangsaannnya …..maka inti teori ini adalah bahwa semua hukum pada
mulanya dibentuk dengan cara, seperti yang dikatakan orang, hukum adat,
dengan bahasa yang biasa, tetapi tidak terlalu tepat, dibentuk, yakni bahwa
dalam yang bekerja diam-diam, tidak oleh kehendak sewenang- wenang dari
pembuat undang-undang”.[3]
Dengan demikian, bahwa suatu tatanan hukum yang hidup dan ditaati
keberadaannya di masyarakat merupakan hasil hasil dari ekstraksi adat sitiadat, cita,
rasa, karsa masyarakat yang dikristalkan dalam bentuk seperangkat aturan yang
memiliki wibawa sehingga hal itu diikuti dalam rangka mencapai tujuan hidup
Faham tersebut di atas dikenal dalam ranah imu pengetahuan hukum dengan
faham/mazhab sejarah (historis). Faham inilah yang melandasi pijakan berfikir dalam
makalah ini, di mana bahwa hukum agraria yang berlaku dalam sistem hukum
nasional adalah merupakan hasil dari ekstraksi volkgeist bangsa Indonesia. Hal mana
ditegaskan dalam UUPA itu sendiri, bahwa UUPA tersebut berdasarkan hukum adat.
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
agama.
BAB II
A. Pengertian Agraria.
arti agraria dalam arti umum, Administrasi Pemerintahan dan pengertian agraria
agraria berasal dari bahasa Latin ager yang berarti tanah atau sebidang tanah.
Indonesia, 1994, Edisi Kedua Cetakan Ketiga, Agraria berarti urusan pertanian atau
tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah. Maka sebutan agraria atau dalam
bahasa Inggris agrarian selalu dairtikan dengan tanah dan dihubungakan dengan
usaha pertanian. Sebutan agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk
tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.
dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian.
bidang pertanahan. Maka perangkat hukum tersebut merupakan bagian dari hukum
administrasi negara.
pertanian dan agraria, direktur jenderak agraria, direktorat jenderal agraria pada
mengubah ataupun mengurangi lingkup tugas dan kewenangan yang sebelumnya ada
tanah-tanah di daratan maupun yang berada di bawah air, baik air daratan maupun air
laut.
dalam Kabinet Pembagnuan VI, juga tidak mengubah lingkup pengertian agraria.
Menteri Negara Agraria adalah lebih luas dari dan tidak terbatas pada lingkup
tugasnya sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang disebut dalam KEPRES
Agraria dulu yang memimpin Departemen Agraria, yang dalam tata susunan Kabinet
Biarpun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa yang tercantum
pengertian agraria dan hukum agraria dalam UUPA dipakai dalam arti yang sangat
luas.
Pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam Pasal 48, bahkan
meliputi juga ruang angkasa. Yaitu ruang di atas bumi dan air yang mengandung :
tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan
Pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi
di bawahnya serta yangberada di bawah air (Pasal 1 ayat (4) jo.Pasal 4 ayat(1)).
Dengan demikian pengertian tanah meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan
Sehubungan dengan itu bumi meliputi juga apa yang dikenal dengan sebutan
Landas Kontinen Indonesia (LKI). LKI ini merupakan dasar laut dan tubuh bumi di
Undang-undang Nomor : 4 Prp Tahun 1960, sampai kedalaman 200 meter atau lebih,
Penguasaan penuh dan hak ekslusif atas kekayaan alam di LKI tersebut serta
Indonesia (Pasal 1 ayat (5)). Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang :
Pengairan (LN 1974-65) pengertian air tidak dipakai dalam arti yang seluas itu.
pengertiannya meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-
sumber air, baik yang meliputi air yang terdapat di laut (Pasal 1 angka 3).
Kekayaan alam yang terkandung di dalam air adalah ikan dan lain-lain
kekayaan alam yang berada di dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia.
tersebut perlku dimaklumi adanya pengertian dan lembaga Zone Ekonomi Eksklusif,
yaitu meliputi jalur perairan dengan batas terluar 200 mili laut diukur dari garis
pangkal laut wilayah Indonesia. Dalam ZEE ini hak berdaulat untuk melakukamn
eksplorasi, eksploitasi dan lain-lainnya atas segala sumber daya alam hayati dan non
hayati yang terdapat di dasar laut serta tuuh bumi di bawahnya dan air di atasnya, ada
mempunyai ruang lingkup, yaitu dalam arti sempit, bisa terwujud hak-hak atas tanah,
atupun pertanian saja, sedangkan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA telah mengambil sikap
dalam pengertian yang meluas, yakni bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam
Dari batasan agraria yang diberikan UUPA dalam ruang lingkupnya di atas
tentang : Penataan Ruang. Menurut Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa ruang adalah
wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udata sebagai satu
kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan
agraria dengan membedakan pengertian agraria dalam arti luas dan pengertian agraria
dalam arti sempit. Dalam arti sempit, agraria hanyalah meliputi bumi yang disebut
tanah, sedangkan pengertian agraria dalam arti luas adalah meliputi bumi, air, ruang
angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pengertian tanah yang
dimaksudkan di sini adalah bukan dalam arti fisik, melainkan tanah dalam pengertian
yuridis, yaitu hak. Pengertian agraria yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian
yang hukum perdata, tata negara, tata usaha negara, yang mengatur hubungan antara
orang dan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan mengatur
bagian dari hukum tata usaha negaram karena mengkaji hubungan-hubungan hukum
antara orang, bumi, air dan ruang angkasa yang meliatakan pejabat yang bertugas
Daripada itu, sesuai dnegan Pasal 2 ayat (1) UUPA, maka sasaran Hukum
Agraria meliputi : bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
agraria dalam arti luas, yang merupakan suatu kelompok berbagai hukum yang
1. Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti
permukaan bumi;
4. Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang
5. Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas hutan dan hasil
hutan;
6. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan
space law), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam
Hukum Pertanahan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas
tanah.
Yang dimaksud tanah di sini adalah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUPA,
adalah permukaan tanah, yang dalam penggunaannya menurut Pasal 4 ayat (2),
meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa, yang ada di atasnya, sekedar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunan tanah itu dalam
batas menurut UUPA, dan peraturan-perturan hukum lain yang lebih tinggi.
C. Hukum Tanah.
Dalam pengertian konteks agraria, tanah berarti permukaan bumi paling luar
berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah di sini buakan
mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu
aspeknya saja yaitu aspek yuridisnya yang disebut dengan hak-hak penguasaan atas
tanah.
Dalam hukum, tanah merupakan sesuatu yang nyata yaitu berupa permukaan
fisik bumi serta apa yang ada di atasnya buatan manusia yang disebut fixtures.
dimiliki dan dikuasai dalam berbagai bentuk hak penguasaan atas tanah.
permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah hak atas sebagiaan tertentu permukaan
bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang
yang dihakinya. Atas ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepda pemegang hak atas
demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang di atasnya sekedar diperlukan untuk
kepentingan langsung yang berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-
batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Hirarki hak-hak atas penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional
adalah :
8). Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan
maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu
hubungan hukum konkrit, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan
Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah yang dibagi menjadi 2
(dua), yaitu :
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan hak tertentu sebagai
obyeknya dan atau orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek pemegang
haknya.
hak atas tanahnya, ada 2 (dua) macam asas dalam dalam hukum tanah, yaitu : asas
tanah dengan memisahakan tanah dari segala benda yang melekat pada tanah tersebut.
Sedangkan asas pelekatan vertikal yaitu asas yang mendasrkan pemilikan tanah san
segala benda yang melekat padanya sebagai suatu kesatuan yang tertancap menjadi
satu.
Asas pemisahan horisontal merupakan alas atau dasar yang merupakan latar
belakang peraturan yang konkrit yang berlaku dalam bidang hukum pertanahan dalam
pengaturan hukum adat dan asas ini juga dianut oleh UUPA. Sedangkan asas
pelekatan vertikal merupakan alas atau dasar pemikiran yang melandasi hukum
dengan tata hukum yang berlaku dewasa itu (masih dualistis) pada masa sebelum
adanya kesatuan hukum dalam hukum pertanahan yaitu sebelum UUPA. Sejak
air serta kekayaan di dalamnya telah dicabut, kecuali tentang hipotik. Dengan
demikian pengaturan tentang hukum tanah dewasa ini telah merupakan satu kesatuan
hukum (unifikasi hukum) yaitu hanya ada satu hukum tanah saja yang berlaku yaitu
yang diatur dalam UUPA dan berasaskan hukum adat (lihat Pasal 5 UUPA).[8]
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
1960 diundangkan dan dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1960-140, dan
1). Yurisprudensi;
telah dibersihkan.
BAB III
(dua), yaitu :
beberapa ciri dari hukum agraria kolonial pada huruf b, c dan d, sebagai berikut :
1. Hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan
3. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
Beberapa ketentuan hukum agraria pada masa kolonial beserta ciri dan
sebagai upaya guna menghindari persaingan antara pedagang Belanda kala itu.
VOC tidak mengubah struktur penguasaan dan pemilikan tanah, kecuali pajak
1). Contingenten.
Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja
ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak
3). Roerendiensten.
kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah itulah
dengan tanah eigendom lainnya ialah adanya hak-hak pada pamiliknya yang
untuk keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah
di Jawa disimpulkan bahwa semua tanah milik raja, sedang rakyat hanya
atas tanah-tanah tersebut dngna sendirinya beralih pula kepa Raja Inggris.
Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu
bukan miliknya, melainka milik Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib
tetapi ditugaskan kepada kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan
utnuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.
b. Kepala desa diberikan kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan
pada pemilikan tanah oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna
tidak mempu membayar pajak tanah yang ditetapkan baginya, tanah yang
memenuhinya.
yang harus dibayar, tetapi dalam praktik pemungutan pajak tanah itu justru
kebijakan pertanhan yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa atau Cultuur
Stelsel.
Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu
dibutuhkan oleh pasar internasional paa waktu itu. Hasil pertanian tersebut
menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau
besar. Di samping pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai tanah
sendiri yang cukup luas dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan
dan mengelola tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang dilakukan
oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara.
kosong.
dikeluarkan pemerintah masa itu sebagai permulaan hukum agraria barat. Ide
Pasal 62 RR menjadi 8 ayat, yakni ayat 4 sampai dengan ayat 8. pada akhirnya
kerajinan/industri.
Ayat (7) : dengan Hak Milik (hak pakai perseorangan yang turun
negara dan kerja paksa dalam melaksanakan cultuur stelse, dengna sisitem
liberal.
2). Memberikan kepada rakyat asli untuk memperoleh hak tanah baru
(Agrarische eigendom).
Untuk pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam
peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang paling penting adalah apa
yang dimuat dalam Koninklijk Besluit (KB), yang kemudian dikenal dengan
blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet anderen reght
Jika diterjemahkan :
Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak
1). Vrijlands Domein atau tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya
2). Onvrijlands Domein atau tanah negra tidak bebas, yaitu tanah yang di
maka negara tidak pelu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi
berdasarkan hukum adat, sedangkan dalam hukum adat tidak adak ketentuan
hukum yang sama dengan Pasal 570 BW, maka denga sekaligus semua tanah
dari rakyat Indonesia termasuk menjadi tanah negara (domein negara). Yang
tidak termasuk tanah negara, menurut Pemerintah Hindia Belanda, adalah
c. Erfacht Ordonantie.
kebun besar.
Persewaan tanah rakyat kepada perusahaan kebun besar diatur pula dengan
d. Agrarische Eigendom.
hak yang kuat atas sebidang tanah. Agrarische eigendom ini, dalam praktik
Agrarische eigendom diatur dalam Pasal 51 ayat (7) I.S., diatur lebih
yaitu :
1). Apabila seseorang Indonesia asli (=bumi putera) berkeinginan agar hak
4). Agrarische eigendom yang telah diperoleh dari bupati tersebut, maka
memberikan kepada orang-orang Indonesia asli dengan semata hak yang kuat,
yang pasti karena terdaftar dan haknya dapat dibebani dengan hypotheek.
juga diperhatikan politik hukum pemerintah Hindia Belanda yang terapkan dalam
pemberlakuan hukum bagi penduduk Hindia Belanda kala itu, yaitu politik hukum
penggolongan penduduk yang membagi golongan penduduk menjadi tiga
Staatsregeling) yakni :
2). Golongan Timur-Asing; yang terdiri dari Timur Asing Golongan Tionghoa
3). Golongan Bumi Putera, yaitu golongan orang Indonesia asli yang terdiri atas
1). Untuk bangsa Indonesia asli, berlaku Hukum Adat, yaitu hukum yang
sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih
2). Untuk warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa
ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi), karena hal ini
perdata, hukum tanah pun berstruktur ganda atau dulaistik, dengan berlakunya
hukum adat yang tidak tertulis dan hukum tanah barat yang pokok-pokok
ketentuannya terdapat dalam buku II KUHPerdata yang merupakan hukum
tertulis.
kalangan orang-orang dari golongan yang lain. Hukum yang ditetpkan adalah
orang-orang non pribumi diselesaikan apa yang disebut Hukum Antar Golongan
atau hukum intergentiel. Dalam peristiwa hubungan hukum semacam itu timbul
pertanyaan hukum mana yang berlaku. Pertanyaan itu timbul karena pemerintah
Hindia Belanda menganut apayang disebut asas persamaan derajat atau persamaan
penghargaan bagi stelse-stelsel hukum yang berlaku, baik hukum barat, hukum
adat golongan pribumi maupun hukum adat golongan timur asing bukan Cina.
Tidak ada salah satu di antaranya yang superior atau dihargai lebih tinggi dari
yang lain. Maka dalam menyelesaikan peristiwa hukum antar golongan tidak
1) Tanah eigendom, yaitu suatu hak atas tanah ang pemiliknya mempunyai
2) Tanah hak opstal, yaitu suatu hak yang memberikan wewenang kepada
pemegangnya untuk memiliki sesuatu yang di atas tanah eigendom, pihak lain
yaitu :
Dengan catatan hak opstal tersebut belum habis waktunya menurut perjanjian
3) Tanah hak erfacht, yaitu hak untuk dapat diusahakan/mengolah tanah orang
lain dan menarik atau hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut,
opstal.
4) Tanah hak gebruis, yaitu tanah hak pakai atas tanah orang lain.
Di samping hak atas tanah barat tersebut di atas, juga ada tanah-tanah
dengan hak Indonesia, seperti tanah-tanah dengan hak adat, yang disebut tanah
hak adat. Ada pula tanah-tanah dengan hak ciptaan pemerintha Hindia Belanda
pemerintah swapraja, seperti grant sultan. Tanah-tanah dengan hak-hak adat dan
hak-hak ciptaan pemerintha Hindia Belanda dan swapraja tersebut, bisa disebut
tanah-tanah hak Indonesia, yang cakupannya lebih luas dari tanah-tanah hak adat.
Tanah hak barat ini tunduk pada hukum tanah barat. Artinya hak-hak dan
tunduk pada hukum adat yang tidak tertulis. Tanah-tanah hak adat, yang teridiri
atas apa yang disebut tanh ulayat msyarakat-masayrakat hukum adat dan tanah
perorangan, seperti hak milik adat, merupakan sebagian terbesar ranah Hindi
Belanda.
Di daerah Kesultanan Deli misalnya dikenal tanh-tanah yang dipunyai dengan apa
1) Grant Sultan semacam hak milik adat, diberikan oleh pemrintah swapraja,
3) Grant Deli Maatschappij, terdapat di kota Medan dan diberikan oleh Deli
besar tembakau dan bergerak juga di bidang pelayanan umum dan tanah,
memperoleh tanah yang luas dari pemerintah swapraja Deli dengan Grant.
dikenal dengan sebutan “grant D”, singkatatan dari grant Deli Maatschappaij.
Pada periode sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang cenderung pada :
menurut hukum adat tidak terlepas dari hukum adat daerah setempat antara lain,
perangkat hukumnya tidak tertulis, bersifat komunal, bersifat tunai dan bersifat
4) Hak pakai;
Pada masa kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak terdaftar, kalaupun
ada hanyalah bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh
tanah oleh masyarakt sudah menjadi hal yang sangat komplek karena masyarakat
yang belum berkesempatan menduduki tanah perkebunan dalam waktu singkat
seluas ± 8.000 Ha. Daerah Kediri luas tanah perkebunan ± 23.000 Ha.
pendudukan oleh rakyat seluas ± 13.000 Ha. dan menurut perkiraan dari luas
tanah perkebunan di Jawa yang seluas ± 200.000 Ha. telah diduduki rakyat
umum.
memperhatikan :
yangbersangkutan;
negara.
diberlakukan;
tanpa izin yang berhak yaitu Undang-undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960.
an. Prof. Dr. Mahfud M.D. dalam bukunya “Membangun Politik Hukum,
disebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy atau arah hukum yang akan
diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa
dan sumber daya alam lainnya yang terkandung di dalamnya untuk kepentingan dan
kesejahteraan rakyat. Dimana dalam pelaksanaan legal policy itu dapat dituangkan
dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang memuat asas, dasar, dan norma
Sementara itu, politik hukum agraria kolonial adalah prinsip dagang, yakni
untuk mendapatkan hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin,
kemudian dijual dengan harga yang setinggi-tingginya. Tujuannya tidak lain mencari
sebagai pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh pengusaha Belanda dan
pengusaha Eropa. Sebaliknya bagi rakyat Indonesia menimbulkan penderitaan yang
sangat mendalam.
penjajah yang minoritas terhadap penduduk pribumi yang mayoritas. Dominasi ini
ditopang oleh keunggulan militer kaum penjajah dalam menguasai dan memerintah
penduduk peribumi. Eksploitasi atau pemerasan sumber kekayaan tanah jajahan untuk
itu dikirim ke negara induknya untuk kemakmuran mereka sendiri. Diskriminasi atau
perbedaan ras dan etnis. Golongan penjajah dianggap sebagai golongan yang
superior, sedangkan penduduk pribumi yang dijajah dipandang sebagai bangsa yang
penjajah. Masyarakat terjajah menjadi makin tergantung kepada penjajah dalam hal
modal, teknologim pengetahuan, dan keterampilan karena mereka semakin lemah dan
miskin.[19]
Politik hukum agraria kolonial dimuat dalam Agrarische Wet (AW) S.1870-55
1. Tujuan primer :
yang luas dari pemerintah unutk waktu yang cukup lama dengan uang sewa
(canon) yang murah. Di samping itu untuk memungkinkan orang asing (bukan
bumi putera) menyewa atu mendapat hak pakai atas tanah langsung dari orang
asing.
2. Tujuan sekunder.
Putera;
c. Bumi Putera diberikan kesempatan mendapatkan hak atas tanah yang kuat
d. Diadakan peraturan sewa menyewa antara Bumi Putera dengan bukan Bumi
Putera.
skundernya, yaitu adanya penjualan tanah-tanah mili pribumi langsung kepada orang-
orang Belanda atau Eropa lainnya. Untuk memberikan perlindungan hukum terhadap
tanah-tanah milik Bumi Putera dari pembelian orang-orang Belanda dan Eropa
Vervreemdingsverbod S.1875-179.
tanah tidak dapat dipindahtangankan oleh orang-orang Indonesia asli kepada bukan
orang Indonesia asli dan oleh karena itu semua perjanjian yang bertujuan untuk
memindahkan hak tersbut, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah batal
karenanya.
kebijakan agraria dalam Agrarische Besluit (AB) sebagai pelaksanaan dari ketentuan
AW. AB ini diundangkan dalam S.1870-118. yang terpenting dalam AB ini adalah
adanya pernyataan domein negara atau lebih dikenal dengan Domein Verklaring.
bahwa struktur agraria warisan penjajah sebagai hasil politik agraria kolonial apabila :
[20]
diberlakukan di Hindia Belanda oleh pihak penjajah Belanda dan hukum adat
c. Ada hak ciptaan baru yang bukan hukum adat tapi yang bukan hukum barat,
a. Ada pemegang hak yang orang orang Bumi Putera, ada yang bukan orang
a. Ada besar golongan manusia (petanai) yang tidak mempunyai tanah atau
b. Di lain pihak ada golongan kecil manusia (penguasa, pengusaha asing, tuan
penggunaan tanah.
b. Di luar Jawa, Madura dan Bali masih ada tanah luas yang bukan
dibuka/diusahakan.
yang menguasai atau ditangkap, tanpa ambil pusing soal hak yang ada di
atasnya;
17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia merupakan suatu
yang merdeka dan berdaulat. Secara yuridis, proklamasi tersebut memiliki makna
terputusnya atau tidak berlakunya hukum kolonial dan saat mulai berlakunya hukum
ternyata tidak serta merta pemerintah dapat dengan mudah membentuk hukum agraria
nasional, hal itu membutuhkan waktu yang cukup lama sampai terbentuknya hukum
agraria yang bersifat nasional. Dengan demikian, guna mencegah adanya kekosongan
yaitu : “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
Dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut, maka segala badan
maupun peraturan yang ditetapkan dan merupakan produk kolonial dinyatakan masih
tetap berlaku selama hal tersebut belum dicabut, belum diubah atau belum diganti
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan
negara agar bumi, air dan kekayaan alamyang terkandung di dalamnya nyang
Hukum Agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah Indonesia merdeka,
yaitu :[22]
memakai tafsir yang baru pula yang sesuai dengan jiwa Pancasila dan Pasal 33
ayat (3) UUD 1945. tafsir baru di sini, conthnya adalah menegenai hubungan
domein verklaring, yaitu negara tidak lagi sebagai pemilik tanaah, melainkan
tanah.
Salah satu warisan feodal yang sangat merugikan rakyat adalah lembaga konversi
yang berlaku di karasidenan Surakarta dan Yogyakarta. Di daeran ini semua tanah
menyerahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada raja, jika tanah itu tanah
pertanian atau melakukan kerja paksa, jika tanahnya tanah perkarangan. Kepada
anggota keluarganya atau hamba-hambanya yang berjasa atau seti kepada raja
diberikan tanah sebagai nafkah, dan pemberian tanah ini disertai pula pelimpahan
hak raja atau sebagian hasil tanha tersebut di atas. Mereka pun berhak menuntut
sebgian dari hasil tanama rakyat yang mengusahakan tanah itu. berdasarkan
S.1918-20, para pengusaha asing tersebut kemudian mendapatkan hak atas tanah
oleh raja yang disebut hal konversi (beschikking konversi). Keputusan raja, pada
dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950, yang secara tegas
Pemerintah Hindia Belanda berpa tanah partikelir yang di dalamnya terdapat hak
tersebut merupakan negara dalam negara. Tuan-tuan tanah yang mempunyai hak
banyak menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat yang ada atau berdiam
di wilayahnya.
dan yang cukup juga karena tuan-tuan tanah yang bersangkutan menuntut harga
yang tinggi.
tanah Partikelir, 24 Januari 1958, hak-hak milik partikelir atas tanahnya dan hak-
hak pertuanannya hapus, dan tanah bekas apartikelir itu karen hukum seluruhnya
dan kepada pemilik tanah partikelir diberikan ganti kerugian. Tanah partikelir
khususnya dan orang-orang bukan Indonesia asli pada umumnya sebagai yang
dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (8) I.S. untuk Jawa dan Madura diatur dalam
Pasal 8a dan 8b serta Pasal 15a dan 15b oleh Undang-undang Darurat Nomor 6
persewaan tanah rakyat untuk tanama tebu dan lain-lainnya yang ditunjuk oleh
Menteri Pertanian hanya diperbolehkan paling lama 1 tahun atau 1 tahun tanaman.
Adapun besar sewanya ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri, kemudian oleh
Menteri Agraria. Dengan demikian, rakyat tidak lagi dirugikan karena besar dan
jumlah sewanya disesuaikan dengan tingkat perkembangan harga pada saat itu
bahwa sambil menunggu pengaturan lebih lanjut unutk sementara untuk setiap
serah pakai lebih dari 1 tahun dan perbuata-perbuatan yang berwujud pemindahan
hak mengenai hak tanah-tanah dan barang-barang tetap lainnya yang tunduk pada
hukum Eropa hanya dapat dilakukan setelah mendapat ijin dari Menteri
Agraria).
Semua perbuatan yang dilakukan di luar izin menteri tersebut dengan semdirinya
kembali kepada pembeli jika perbuatan berbentuk jual beli. Peraturan mengenai
Menurut ketentuan di atas, setiap perbuatan yang berwujud pemindahan hak dan
setiap serah pakai untuk lebih dari satru tahun mengenai tanah erfacht, eigendom,
konsesi untuk perkebunan dari bangsa Belanda dan bangsa-bangsa asinglein serta
yang bersangkutan dengan baik dan bahwa kebun itu tidak akan dijadikan objek
spekulasi belaka.
Atas dasar Undang-undang Nomor 29 Tahun 1956, Menteri Agraria dan Pertanian
oleh Menteri Agraria. Hak erfacht juga dapat dibatalkan, jika menurut
pertimbagnan Menteri Agraria dan Menteri Pertanian sikap pemegang hak selama
sebagaimana mestinya.
Tanaman dan bangunan di atas tanah tersebut yang menurut keputusan Menteri
Canon adalah uang yang wajib dibayar oleh pemgang hak erfacht setiap tahunnya
kepada negara, sedangkan cijn adalah uang yang wajib dibayar oleh pemegang
konsesi perusahaan perkebunan besar. Pada umumnya, ccnon dan cijn dulu tidak
besar jumlahnya, karena terutama dianggap sebagai tanfa pengakuan hak pemilik
dan diusahakan, sehingga uang wajib yang harus dibayar setiap tahunnya itu
Dalam Undang-undang Nomor 78 Tahun 1957 tentang Perubahan Canon dan Cijn
Atas Hak-hak Erfacht dan Konsesi guna perkebunan besar ditetpkan bahwa
selambat-lambatnya 5 tahun sekali uang wajib tahunan ini harus ditinjau kembali.
izin pengusahanya dan untuk menyelesaikan soal pemakaian tanah yang sudah
darurat ini diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961.
Dalam Pasal 2 jo. Pasal 6 Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 dinyatakan
bahwa pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang saha adalah
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman pidana, tetapi tidak selalu
Perjanjian bagi hasi adalah salah satu bentuk perjanjian antara pemili tanah
Perjanjian bagai hasil semula diatur menurut hukum adat setempat. Imbangan
tanah yang tersedia untuk dibagihasilkan tidak seimbang dengan jumlah petani
Mengingat bahwa golongan penggarap bagi hasil itu biasanya golongan ekonomi
lemah dan selalu dirugikan, maka dalam rangka melindungi mereka, dikeluarkan
undanga ini mengharuskan agar pihak-pihak yang membuat perjanjian bagi hasil
dibuat secara tertulis, dengan maksud agar mudah mengawasi dan mengadakan
Setelah Indonesia merdeka sampai dengan 1955 urusan agraria berada dalam
55 Tahun 1955 dibentuk Kementerian Agraria yang berdiri sendiri yang terpisah
dari Kementerian Dalam Negeri. Dalam Keputusna Presiden Nomor 190 Tahun
Agraria.
dan wewenang agraria dari Menteri Dalam Negeri kepada Menteri Agraria, serta
kabupaten/kotamadya.
Lima Panitia rancangan, yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta,
a. Dasar Hukum.
Republik Indonesia;
lama tentang tanah yang tidak sesuai lagi dengan kedudukan Republik
c. Keanggotaan Panitia.
a. Dasar Hukum.
b. Keanggotaan.
Agararia);
2) Pejabat-pejabat kementrian;
3) Pertanian rakyat hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan tidak
dibedakan antara warga negara asli dan bukan asli. Badan hukum tidak
4) Bagunan hukum untuk pertanian rakyat ialah hakl milik, hak usaha, hak
suatu undang-undang.
3. Panitia Soewahjo.
a. Dasar Hukum.
b. Rancangan Undang-undang.
2) Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara atas dasar ketentuan
4) Hak-hak atas tanah : hak milik sebagai hak yang terkuat yang berfungsi
sosial kemudian ada hak usaha, hak bangunan dan hak pakai;
5) Hak milik hanya boleh dipunyai oleh warga negara Indonesia yang tidak
diadakan pembedaan antara waraga negara asli dan tidak asli. Badan-
badan hukum pada asasnya tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah;
oleh pemiliknya;
tanah.
4. Rancangan Soenarjo.
Anggota-anggota : Notosoekardjo
K.H. Muslich
Soepeno
Hadisiwojo
I.J. Kasimo
5. Rancangan Sadjarwo.
Karena rancangan Soenarjo disusun berdasarkan UUDS 1950, maka pada tanggal
23 Maret 1960 rancangan tersebut ditarik kembali. Dalam rangka menyesuaikan
rancangan UUPA dengan UUD 1945, perlu diminta saran dari Universitas Gadjah
Mada. Untuk itu, pada tanggal 29 Desember 1959, Menteri Mr. Sadjarwo beserta
Yogyakarta untuk berbicara dengna pihak Universitas Gadjah Mada yang diwakili
DPRGR. Pada hari Sabtu tanggal 24 September 1960 rancanan UUPA sisetujui
Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lazim
tidak memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria kolonial, dan kedua,
5) Perncanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang
material dan formal. Sifat nasional material berkenaan dengan substansi UUPA.
3) Sederhana;
makmur;
10) Merupakan pelaksanaan GBHN (dulu Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
Manifesto Politik;
DPRGR;
3) Dibentuk di Indonesia;
dengan demikian Indonesia memiliki hukum agraria baru yang bersifat nasional
yan tentunya lepas dari sifat-sifat kolonial dan disesuaikan dengan pribadi dan