You are on page 1of 14

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PASIEN PENYAKIT

GINJAL KRONIS DALAM MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS DI RSUD ULIN


BANJARMASIN
Asmadiannor1
1

Bagian Hemodialisis RSUD Ulin Banjarmasin

Abstrak
Penyakit ginjal mencakup berbagai penyakit dan gangguan yang mempengaruhi
ginjal. Jika penyakit ginjal tidak segera diobati dan ditangani, maka akan terjadi gagal ginjal.
Gagal ginjal akan mengakibatkan terganggunya kualitas hidup penderita. Hemodialisis
merupakan tindakan pengganti fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa metabolisme.
Kepatuhan merupakan salah satu permasalahan pada pasien hemodialisa yang mengalami
penyakit ginjal kronis. Ketidakpatuhan dapat menyebabkan kegagalan terapi sehingga
menurunkan kualitas hidup pasien, meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas. Banyak
faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat pasien PGK yang menjalani hemodialisis.
Faktor-faktor tersebut antara lain, umur, tingkat pendidikan, pelayanan medis, pendapatan
keluarga dan ketersediaan asuransi kesehatan.
Kata kunci : Penyakit Ginjal Kronis, Hemodialisis, Kepatuhan Pasien

Abstract
Kidney diseases includes various diseases and disorders that affect kidneys. If the
kidney disease is not immediately medicated and handled, the renal failure will occur. The
renal failure will disrupt the life quality of its sufferer. Hemodialysis is an intervention to
subtitute the renal functions to discharge the wastes of metabolism. Adherence is one of the
problems in hemodialysis patients who have chronic kidney disease. Poor adherence could

lead to treatment failure resulting in lower quality of life for patients, increase morbidity and
mortality. Many factors affect the adherence of CKD patients during hemodialysis. These
factors are, age, level of education, medical care, family income and the availability of health
insurance.
Key words : Chronic Kidney Diseases, Hemodialysis, Patience Adherence.

I. Pendahuluan
Ginjal adalah organ vital yang berperan sangat penting dalam mempertahankan
kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan cairan dalam tubuh,
elektrolit dan asam-basa dengan cara filtrasi darah, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non
elektrolit, serta mengeskresi kelebihannya sebagai urine (1).
Penderita PGK meningkat setiap tahunnya, berdasarkan Center for disease control and
prevention, prevalensi gagal ginjal kronik di Amerika serikat pada akhir tahun 2002 sebanyak
345.00 orang, pada akhir tahun 2007 bertambah 80.000 orang, dan pada tahun 2010
mengalami peningkatan yang tinggi yaitu lebih dari dua juta orang yang menderita penyakit
ginjal kronik (2).
Populasi penyakit gagal ginjal di Indonesia dari tahun ke tahun juga terus mengalami
peningkatan. Berdasarkan data yang dirilis PT. Askes pada tahun 2010 jumlah pasien gagal
ginjal ialah 17.507 orang. Kemudian meningkat lagi sekitar lima ribu lebih pada tahun 2011
dengan jumlah pasti sebesar 23.261 pasien. Pada tahun 2012 terjadi peningkatan yakni 24.141
pasien, bertambah hanya 880 orang. Data di RSUD Ulin Banjarmasin juga menunjukkan
bahwa prevalensi PGK masih cukup tinggi, yakni 192 pasien hanya pada bulan Desember
2011 (2).
Gagal ginjal kronik membutuhkan terapi pengganti ginjal permanen. Salah satu terapi
pengganti gagal ginjal kronik adalah Hemodialisis (HD) yang bertujuan menggantikan fungsi

ginjal sehingga dapat memperpanjang kelangsungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup
pada pasien gagal ginjal kronik.Tindakan ini dapat membantu atau mengambil alih fungsi
normal ginjal. Berdasarkan data dari Indonesia Renal Registry, suatu kegiatan registrasi dari
Perhimpunan Nefrologi Indonesia, dikatakan bahwa terjadi peningkatan klien HD sebesar 5,2
%, dari 2148 orang pada tahun 2007 menjadi 2260 orang pada tahun 2008 (3).
Kesuksesan hemodialisa tergantung pada kepatuhan pasien. Secara umum kepatuhan
(adherence) didefinisikan sebagai tingkatan perilaku seseorang yang mendapatkan
pengobatan, mengikuti diet, dan atau melaksanakan perubahan gaya hidup sesuai dengan
rekomendasi pemberi pelayanan kesehatan (4). Kepatuhan pasien terhadap rekomendasi dan
perawatan dari pemberi pelayanan kesehatan adalah penting untuk kesuksesan suatu
intervensi. Sayangnya, ketidakpatuhan menjadi masalah yang besar terutama pada pasien
yang menjalani hemodialisis. Dan dapat berdampak pada berbagai aspek perawatan pasien,
termasuk konsistensi kunjungan, regimen pengobatan serta pembatasan makanan dan cairan.
Secara keseluruhan, telah diperkirakan bahwa sekitar 50 % pasien HD tidak mematuhi
setidaknya sebagian dari regimen hemodialisis mereka (5).
Ketidakpatuhan memiliki dampak yang sangat memprihatinkan sebab akan
berpengaruh terhadap terjadinya komplikasi akut dan kronis, lamanya perawatan dan
berdampak pada produktivitas dan menurunkan sumber daya manusia. Selain itu, dampak
masalah ini bukan hanya mengenai individu dan keluarga saja, lebih jauh akan berdampak
pada sistem kesehatan suatu negara. Negara akan mengeluarkan biaya yang banyak untuk
mengobati dan merawat pasien CKD dengan hemodialisis yang umumnya menjadi
pengobatan seumur hidup. Upaya pencegahan dan penanggulangan tidak dapat dilakukan
hanya oleh pemerintah saja tetapi harus dibantu oleh semua pihak baik masyarakat maupun
profesi yang terkait, khususnya tenaga kesehatan. Perawat sebagai salah satu profesi
kesehatan memiliki peran yang sangat besar karena memiliki waktu interaksi terlama dengan

pasien di institusi kesehatan, khususnya dalam memberikan informasi yang penting untuk
meningkatkan kepatuhan pasien (6).
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) ulin Banjarmasin merupakan rumah sakit
rujukan se-Kalimantan Selatan dan Tengah. Hal tersebut menjadikan RSUD Ulin Banjarmasin
melayani pasien Hemodialisa yang cukip banyak setiap bulannya. RSUD Ulin menyediakan
20 unit mesin hemodialisa. Setiap bulannya jumlah rata-rata kunjungan HD di RSUD Ulin
saat ini mencapai 125 kunjungan baik pasien baru maupun pasien yang sudah menjalani HD.
Setiap hari kegiatan HD dilakukan dalam tiga shift, pagi, siang, dan malam. Sejauh ini RSUD
Ulin belum pernah melakukan penelitian pada bagian HD, khususnya mengenai kepatuhan
pasien yang menjalani terapi HD.

II. Penyakit Gagal Ginjal Kronis


PGK adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus-menerus. Gagal ginjal
kronik dapat timbul dari hampir semua penyakit penyerta, akan terjadi perburukan fungsi
ginjal secara progresif yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus. The National
Kidney Foundation mendefinisikan PGK sebagai kerusakan ginjal, atau menurunnya tingkat
fungsi ginjal dalam jangka waktu tiga bulan atau lebih. PGK ini dapat dibagi menjadi 5 tahap,
tergantung pada tingkat keparahan kerusakan ginjal dan tingkat penurunan fungsi ginjal.
Tahap 5 PGK disebut sebagai stadium akhir penyakit ginjla. Tahap ini merupakan akhir dari
fungsi ginjal (7).
PGK dapat disebabkan karena berbagai penyakit. Penyebab utama PGK adalah
diabetes mellitus yakni sebesar 30%, hipertensi 24%, glomerulonefritis 17%, pielonefritis
kronik 5% dan idiopatik 20% (7).
Tanda dan gejala pasien PGK dapat diklasifikasikan sesusai dengan derjatnya. Berikut
adalah tanda dan gejala PGK : (7)

1. Derajat 1 : pasien dengan tekanan darah normal, tanpa abnormalitas hasil tes laboratorium
dan tanpa manifestasi klinis.
2. Derajat 2 : umumnya asimtomatik, berkembang menjadi hipertensi dan munculnya nilai
laboratorium yang abnormal.
3. Derajat 3 : asimtomatik, namun nilai laboratorium menandakan adanya abnormalitas pada
beberapa sistem organ.
4. Derajat 4 : munculnya manifestasi klinis PGK berupa kelelahan dan penurunan
rangsangan.
5. Derajat 5 : terjadi peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan anemia.
Patofisiologi PGK awalnya tergantung dari penyakit yang mendasari dan pada
perkembangan lebih lanjut proses yang terjadi hampir sama. Adanya pengurangan massa
ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor
sehingga menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, yang diikuti proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa dan pada akhirnya akan terjadi
penurunan fungsi nefron secara progresif. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal yang dipengaruhi oleh growth factor Transforming Growth
Factor (TGF-) menyebabkan hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas. Selain itu
progresifitas penyakit ginjal kronik juga dipengaruhi oleh albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia (1).
Stadium awal penyakit ginjal kronik mengalami kehilangan daya cadangan ginjal
(renal reverse) dimana basal laju filtrasi glomerulus (LFG) masih normal atau malah
meningkat dan dengan perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron yangprogresif ditandai
adanya peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, masih
belum ada keluhan atau asimptomatik tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Pada LFG sebesar 30% mulai timbul keluhan seperti nokturia, lemah, mual,

nafsu makan kurang dan penurunan berat badan dan setelah terjadi penurunan LFG dibawah
30% terjadi gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah,
gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan juga mudah terjadi
infeksi pada saluran perkemihan, pencernaan dan pernafasan, terjadi gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit yaitu hipovolemia, hipervolemia, natrium dan kalium. Pada LFG kurang
dari 15% merupakan stadium gagal ginjal yang sudah terjadi gejala dan komplikasi yang lebih
berat dan memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal (7).

III.Penatalaksanaan Penyakit Gagal Ginjal Kronis


Penatalaksanaan PGK terdiri dari tiga macam, antara lain :
Terapi konservatif : tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal
ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit (1). Terapi konservatif untuk penderita PGK, antara lain :
1. Diet : terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2. Kebutuhan jumlah kalori : kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus
adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3. Kebutuhan cairan : bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
4. Kebutuhan elektrolit dan mineral : kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat
individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
Terapi simtomatik :
1. Asidosis metabolik : asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat

diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan
intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
2. Anemia: transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati
karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3. Keluhan gastrointestinal : anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan
yang sering dijumpai pada PGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama
(chief complaint) dari PGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
4. Kelainan kulit : tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5. Kelainan neuromuskular : beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis

reguler

yang

adekuat,

medikamentosa

atau

operasi

subtotal

paratiroidektomi.
6. Hipertensi : pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7. Kelainan sistem kardiovaskular : tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan

kardiovaskular yang diderita.


Terapi pengganti ginjal : terapi pengganti ginjal dilakukan pada PGK stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal (7).
1. Hemodialisis : tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi
tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik,
bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi
refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan
kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat (8).

2. Dialisis peritoneal (DP) : akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory


Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasienpasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity
dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual
tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (8).
3. Transplantasi ginjal : transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi
dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu :
Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal,
sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
Kualitas hidup normal kembali.
Masa hidup (survival rate) lebih lama
Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
IV. Hemodialisis
Hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien
melewati membran semipermiabel (alat dialisa) ke dalam dialisat. Alat dialisa juga dapat
digunakan untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan
melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air
plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) membrans (9).
Menurut Le Mone (9) hemodialisa menggunakan prinsip dari difusi dan ultrafltrasi
untuk membersihkan elektrolit dari produk tak berguna dan kelebihan cairan tubuh. Darah
akan diambil dari tubuh melalui jalan masuk vaskular dan memompa ke membran dari
selulosa asetat dan zat yang sama. Pengeluaran kira-kira sama dengan komposisi seperti
ekstra cairan selular normal. Dialisa menghangatkan suhu tubuh dan melewati sepanjang

ukuran dari membran lain. Semua larutan molekul lebih kecil dari sel darah, plasma dan
protein mampu bergerak bebas di membran melalui difusi.
Hemodialisa bertujuan untuk mengoreksi kelainan metabolisme dan elektrolit akibat
dari kegagalan ginjal. Kelainan metabolisme yang utama yakni tingginya ureumia di dalam
darah dan hiperkalemi. Dengan terapi dialisa dimaksudkan sebagai usaha untuk memisahkan
hasil-hasil metabolisme dari darah dengan bantuan proses difusi lewat membran yang
semipermeabel (yang dapat menembus bahan-bahan sisa tapi tidak dapat ditembus oleh darah
dan plasma). Membran yang semipermeabel ini memisahkan dua kompartemen dialisat yakni
cairan yang menghisap hasil metabolisme (ureum). Oleh karena proses ini adalah merupakan
proses difusi maka selain dari pada hasil metabolik dapat pula diatasi hiperkalemi asal saja
cairan dialisatnya bebas kalium atau mengandung kalium yang rendah. Pemindahan metabolik
maupun cairan atas dasar perbedaan konsentrasi antara plasma dan dialisat dengan cara
filtrasi. Maka lamanya hemodialisa dapat pula diprediksi dari tekanan yang diberikan oleh
mesin dialisa disamping jumlah darah yang melalui membran dialisa dalam waktu 1 menit
(10).
Dengan demikian hemodialisa dapat dibagi menjadi dua cara yaitu konvensional
hemodialisa dan difisiensi tinggi (high dificiency). Pada cara konvensional hemodialisa
dimana darah dan dialisa berdasarkan arus yang berlawanan (countercurent) dengan
kecepatan 300-500 cc/menit. Cairan dialisa hanya sekali melalui membran dialisa dan
dibuang sesudah sekali pakai. Efisiensi dari hemodialisa dapat diperbesar dengan membran
yang lebih porus terhadap air dan cairan. Dan cara difisiensi tinggi atau (high dificiency) serta
aliran tinggi (high flux). Konfisiensi ultrafiltrasi dapat dinaikkan menjadi lebih 10 kali dan
kurang dari 20 cc/mm/Hg/jam. Pada high flux hemodialisa maka membrana dialisat lebih
porus dan koefisiensi ultrafiltrasi dapat dinaikkan sampai 20 cc/mm/Hg/jam (10).
Hemodialisa dapat memperpanjang usia meskipun tanpa batas yang jelas, tindakan ini
tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang mendasari dan juga tidak akan
mengembalikan seluruh fungsi ginjal. Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang

menjalani hemodialisa meliputi ketidakseimbangan cairan, hipervolemia, hipovolemia,


hipertensi, hipotensi, ketidakseimbangan elektrolit, infeksi, perdarahan dan heparinisasi dan
masalah-masalah peralatan yaitu aliran, konsentrasi, suhu dialisat, aliran kebocoran darah dan
udara dalam sikuit dialisa (11).
Tindakan hemodialisa dapat menyebabkan timbulnya berbagai komplikasi yang
berasal dari pemasangan kateter di pembuluh darah, berhubungan dengan air yang digunakan,
penggantian cairan, komposisi dialisis, membran hemodialisa, dosis yang tidak adekuat,
karena antikoagulopati yang diberikan, dan komplikasi dari hemoperfusi. Komplikasi yang
berasal dari selang yang dimasukkan ke pembuluh darah untuk tindakan hemodialisa beragam
seperti kemampuan mengalirkan darah yang cukup berkurang, pneumotoraks, perdarahan,
terbentuknya hematoma, robeknya arteri, hemotorak, embolisme, hemomediastinum,
kelumpuhan saraf laring, trombosis, infeksi dan stenosis vena sentral, pseudoneurisma,
iskhemia, dan sebagainya (11).
Komplikasi terkait dengan air dan cairan yang diberikan terdiri atas adanya bakteri
dan pirogen dalam air yang diberikan yang dapat memicu timbulnya infeksi, hipotensi, kram
otot, hemolisis (bila komposisi elektrolit yang diberikan rendah sodium), haus dan sindrom
kehilangan keseimbangan (bila sodium tinggi), aritmia (rendah dan tinggi potassium),
hipotensi ringan, hiperparatiroidisme, petekie (rendah kalsium dan magnesium), osteomalais,
nausea, pandangan kabur, kelemahan otot, dan ataksia (tinggi magnesium) (1).
V. Konsep Kepatuhan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
Kepatuhan (adherence) secara umum didefinisikan sebagai tingkatan perilaku
seseorang yang mendapatkan pengobatan, mengikuti diet, dan atau melaksanakan gaya hidup
sesuai dengan rekomendasi pemberi pelayanan kesehatan (4). Kepatuhan pasien terhadap
rekomendasi dan perawatan dari pemberi pelayanan kesehatan adalah penting untuk
kesuksesan suatu intervensi. Sayangnya, ketidakpatuhan menjadi masalah yang besar
terutama pada pasien yang menjalani hemodialisis. Dan dapat berdampak pada berbagai aspek
perawatan pasien, termasuk konsistensi kunjungan, regimen pengobatan serta pembatasan

makanan dan cairan. Secara keseluruhan, telah diperkirakan bahwa sekitar 50 % pasien HD
tidak mematuhi setidaknya sebagian dari regimen hemodialisis mereka (5).
Pasien yang menjalani hemodialisis kronis beresiko memiliki banyak masalah,
termasuk dalam retensi garam dan air, retensi fosfat, hiperparatiroidisme sekunder, hipertensi,
anemia kronik, hiperlipidemia dan penyakit jantung. Hampir setengah dari pasien dialysis
memiliki diabetes, dan lebih jauh mengarah pada komplikasi tambahan. Untuk mengatasi
semua masalah ini, pasien mungkin memerlukan pembatasan cairan, pengikat fosfat, vitamin
D, agen calcimimetik, obat antihipertensi, agen hipoglikemik, eritropoetin, suplemen zat besi,
dan berbagai obat-obat lain. Belum lagi pengaturan diet serta rutinitas mendatangi unit
hemodialisis. Hal ini menimbulkan kejenuhan yang luar biasa dari pasien karena harus banyak
merubah pola hidupnya. (12).
Kepatuhan merupakan suatu perilaku dalam bentuk respon atau reaksi terhadap
stimulus atau rangsangan dari luar organisme. Dalam memberikan respon sangat bergantung
pada karakteristik atau faktor-faktor lain. Green (13) menjabarkan bahwa perilaku seseorang
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat.
Berbeda dengan Green, Kamerrer menggambarkan faktorfaktor yang mempengaruhi
kepatuhan pasien hemodialisis digambarkan dalam sebuah interaksi kompleks (5), dengan
model interaksi pada gambar 1.

Gambar 1. Konsep kepatuhan pasien menurut Kamerrer

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan


dengan ketidakpatuhan Pasien CKD dengan hemodialisis menggunakan Model Perilaku
Green (13) dan Model Kepatuhan Kamerrer (5) adalah :
1. Faktor pasien : faktor pasien meliputi :karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, ras, status
perkawinan, pendidikan), lamanya sakit, tingkat pengetahuan, status bekerja, sikap,
keyakinan, nilai-nilai, persepsi, motivasi, harapan pasien, kebiasaan merokok.
2. Faktor sistem pelayanan kesehatan : faktor pelayanan kesehatan meliputi : fasilitas unit
hemodialisis, kemudahan mencapai pelayanan kesehatan (termasuk didalamnya biaya,
jarak, ketersediaan transportasi, waktu pelayanan dan keterampilan petugas).
3. Faktor provider atau petugas : faktor provider meliputi : keberadaan tenaga perawat
terlatih, ahli diet, kualitas komunikasi, dukungan keluarga
Beberapa faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien PGK dengan
hemodialisis seperti dikemukakan sebelumya akan diuraikan sebagiannya yaitu :
1. Usia
2. Perbedaan Gender
3. Pendidikan
4. Lamanya HD
5. Kebiasaan merokok
6. Pengetahuan tentang hemodialisa
7. Motivasi
8. Akses ke pelayanan kesehatan
9. Persepsi pasien terhadap pelayanan
10. Dukungan keluarga

VI. Penutup
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat kita simpulkan bahwa PGK merupakan
penyakit kronis progresif yang prevalensinya terus meningkat. Pasien PGK sangat bergantung
pada terapi hemodialisa untuk menggantikan ginjalnya. Kepatuhan pada penderita PGK
dalam menjalani program terapi hemodialisa merupakan hal yang penting untuk diperhatikan.
Apabila pasien tidak patuh dalam menjalani terapi hemodialisa, akan terjadi penumpukan zatzat berbahaya dari tubuh hasil metabolisme dalam darah sehingga penderita akan merasa sakit
seluruh tubuh dan jika hal tersebut dibiarkan maka akan menimbulkan kematian.

Daftar Pustaka
1. Price AS, Wilson ML. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC,
2006.
2. Syamsiah N. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kepatuhan Pasien CKD yang
Menjalani Hemodialisa di RSPAU Dr Esnawan Antariksa Halim Perdana Kusuma Jakarta.
Tesis. Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Program Studi Magister Keperawatan
Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah Universitas Indonesia, 2011.
3. Kim Y, Evangelista S, Phillips LR, Pavlish C, and Kopple JD. The End-Stage Renal
Disease Adherence Questionnaire (ESRD-AQ): Testing the psychometric properties in
patients receiving in center hemodialysis. Nephr Nurs J 2011; 37 (4): 377-393.
4. WHO. Adherence long-term therapies. Evidence for action. 2003; available from: URL:
http://www.emro.who.int/ncd/publicity/adherencereportindiabeticpatient.
5. Kammerer J, Garry G, Hartigan M, Carter B, and Erlich L. Adherence in Patients On
Dialysis: Strategies for Succes. Nephr Nurs J 2007; 34 (5): 479-485.
6. Sapri A. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepatuhan dalam mengurangi asupan cairan
pada penderita GGK yang menjalani HD di RSUD Dr.H.Abdul Moeloek Bandar Lampung.
Medan: USU, 2004.
7. Suwitra, K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam Sudoyo, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2006.
8. Suyodo A, dkk. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publishing Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam, 2010.
9. Rahardjo P, Susalit E, Suhardjono. Hemodialisis. Dalam Sudoyo, dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen

Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, 2006.


10. Roesli R. Terapi pengganti ginjal berkesinambungan (CRRT). Dalam Sudoyo, dkk. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006.
11. Kallenbach et al. Review Of Hemodialysis For Nursing And Dialysis Personnel 7th
Edition. St Louis Missouri: Elsevier Saunders, 2005.

12. Iriana F. Hubungan Motivasi dengan Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik dalam
menjalani Program Terapi di Unit Hemodialisa RSPAD Gatot Soebroto Tahun 2010.
Skripsi. Jakarta: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan UPN
Veteran Jakarta, 2010.
13. Morgan L. A Decade review: Methods to improve Adherence to the Treatment Regimen
Among Hemodialysis Patients, Nephr Nurs J 2000; 27 (3): 299.

You might also like