You are on page 1of 30

Arah Strategi Pembangunan Indonesia Sebagai Negara Maritim

Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS1


1.

Pendahuluan
Kemaritiman adalah peradaban dunia karena kepentingan negara-negara di dunia akan

sangat ditentukan bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan laut untuk kemakmuran


maupun keberlanjutan bangsa-bangsa di dunia. Demikian pula Indonesia yang 70 %
wilayahnya berupa laut dan lautan perlu meletakkan arah pembangunan sebagai Negara
Maritim. Nenek moyang bangsa Indonesia pernah mencapai abad keemasan sebagai negara
maritim pada saat Kerajaan Mataram dan Sriwijaya serta kerajaan lainnya di Nusantara
yang menguasai laut dari berbagai belahan bumi sehingga mendapatkan kemakmuran
bagi rakyatnya dari laut melalui aktivitas ekonomi maupun perdagangan global dengan
memanfaatkan laut. Zaman kejajayaan mariitim tersebut pudar pada masa penjajahan dan
berimbas sampai sekarang orientasi pembangunan kurang mengintegrasikan pembangunan
darat dan laut sebagai sebuah kekuatan pembangunan yang mensejahterakan bangsa
Indonesia.
Dalam mengembalikan kejayaan nusantara maka Indonesia harus mengedepankan strategi
pembangunan Negara Maritim.

Indonesia sebagai sebuah Negara Maritim memiliki

kriteria: a) berdaulat di wilayah NKRI dan disegani negara lain atas wilayahnya, b)
menguasai seluruh wilayah darat dan laut melalui effective occupancy dan memiliki sea
power yang diandalkan secara nasioal dan global, c) mampu mengelola dan
memanfaatkan berbagai potensi pembangunan sesuai aturan nasional dan internasional, d)
menghasilkan kemakmuran bagi segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian maka
keterpaduan darat dan laut dalam pembangunan harus menjadi dasar spasial serta
berorientasi pada wawasan nasional maupun global dengan mengutamakan kepentingan
nasional. Perspektif pembangunan Negara Maritim juga didasari bahwa keberlanjutan
pembangunan guna mencapai keberlanjutan bangsa Indonesia.
1

Ketua Senat Akademik IPB, Guru Besar Kebijakan Ekonomi Kelautan IPB dan Ketua Program
Pasca Sarjana Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, Departemen Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. (Tulisan ini merupakan
senarai dari beberapa paper yang disampaikan dalam berbagai forum untuk memajukan kelautan
dan maritim Indonesia)

2. Visi Kelautan dalam Membangun Negara Maritim


Negara Maritim adalah negara yang berdaulat, menguasai, mampu mengelola dan
memanfaatkan secara berkelanjutan dan memperoleh kemakmuran dari laut. Dengan
demikian apabila membicarakan negara maka digunakan istilah Negara Maritim karena
terkait dengan kata sifat yakni mengelola dan memanfaatkan laut untuk kejayaan
negaranya. Sedangkan kelautan adalah yang terkait dengan artian fisik dan properti
(physical property) yakni terkait dengan sumberdaya kelautan dan fungsi laut yang
digunakan untuk mencapai Negara Maritim. Visi kelautan adalah visi dalam
mendayagunakan sumberdaya dan fungsi laut secara berkelanjutan untuk kemakmuran
bangsa. Visi Kelautan tersebut digunakan untuk menyatukan pembangunan yang
berwawasan kedalam (inward looking) yakni mengembangkan kemajuan nusantara dan
negara kepulauan dan wawasan keluar (outward looking) yakni mengembangkan berbagai
kemampuan bangsa untuk menguasai potensi laut secara global sesuai peraturan
internasional untuk kemakmuran bangsa Indonesia.
Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia, hal ini didukung
oleh 17.000 an pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, dengan panjang pantai
sekitar 95.181 km yang menempati urutan ke-4 di dunia setelah Kanada (265.523 km),
Amerika Serikat (133.312 km) dan Rusia (110.310 km) (WRI, 2001). Oleh karenanya
sangat wajar bila konstitusi Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara
kepulauan. Hal ini sebagaimana dituangkan dalam Pasal 25 Amandemen ke-2 UUD 1945
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri
nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undangundang.

Pencantuman negara kepulauan yang berciri nusantara tidak dapat dilepaskan


dari konsepsi Wawasan Nusantara yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda pada tanggal
13 Desember 1957. Deklarasi Djuanda merupakan salah satu tiang utama dalam sejarah
kehidupan Bangsa Indonesia. Hal ini sebagaimana disebutkan Djalal dalam Djamin (2001),
bahwa secara historis ada tiga tiang utama (tonggak) yang penting dalam sejarah
kehidupan bangsa Indonesia yaitu: (1) Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang
menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai kesatuan kejiwaan yaitu satu Nusa, satu
Bangsa, dan satu Bahasa; (2) Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 dimana
rakyat Indonesia yang telah menjadi satu bangsa tersebut ingin hidup dalam satu kesatuan
kenegaraan, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); dan (3) Deklarasi
Djuanda tanggal 13 Desember 1957 yang menekankan bahwa bangsa Indonesia yang
hidup dalam NKRI tersebut berada dalam suatu kesatuan kewilayahan yang berbentuk
kepulauan (Nusantara).
Konsepsi Negara Kepulauan yang diperjuangkan selama 25 tahun sejak Deklarasi
Djuanda tahun 1957 baru mendapatkan pengakuan dari masyarakat internasonal secara
keseluruhan sebagai rezim hukum baru setelah Konvensi PBB tentang Hukum Laut
(UNCLOS) 1982 ditandatangani. Dengan demikian, bagi Indonesia, pengakuan
internasional melalui UNCLOS 1982 itu hanyalah bersifat pengukuhan saja dari yang telah
dipraktekan sejak diumumkannya Konsepsi Negara Kepulauan pada tahun 1957 yang
kemudian diundangkan melalui UU No. 4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
(Muhjidin, 1993). Berdasarkan landasan hukum kewilayahan tersebut maka 5,8 juta km2
atau 70% wilayah Indonesia terdiri dari laut dengan potensi ekonomi yang besar serta
sejarah panjang kemampuan kerajaan di nusantara menguasai samudra sehingga
sebenarnya laut merupakan jatidiri bangsa Indonesia

Namun demikian, pembangunan bidang kelautan Indonesia belum berperan optimal


dalam

pembangunan

ekonomi

Indonesia

karena

berbagai

kebijakan

yang

memarjinalkannya. Hal ini dikarenakan sampai saat ini, kebijakan pemerintah di bidang
kelautan belum muncul sebagai sebuah arus utama (mainstream) kebijakan politik dan
ekonomi dalam pembangunan bangsa, sehingga pembangunan bidang kelautan jauh
tertinggal dibanding pembangunan daratan. Berdasarkan kondisi yang dimilikinya
seharusnya Indonesia kembali mengarustamakan pembangunan kelautan sesuai jatidiri
bangsa. Dengan demikian untuk mewujudkannya diperlukan KEBIJAKAN KELAUTAN
(OCEAN POLICY) yang diharapkan dapat mewujudkan tujuan untuk menjadi negara
negara maritim yang sejahtera. Dalam menjabarkan Ocean Policy menjadi sebuah
mainstream pembangunan ekonomi nasional, maka pembangunan disusun dalam kerangka
pemikiran ILMU EKONOMI KELAUTAN- OCEAN ECONOMICS (OCEANOMICS)
serta

didukung

dengan

ILMU

TATAKELOLA

KELAUTAN

(OCEAN

GOVERNANCE) yang dapat menggerakkan pembangunan kelautan guna mewujudkan


Indonesia sebagai Negara Maritim yang mensejahteraan rakyat Indonesia. Keberhasilan
ocean governance tidak dapat dilepaskan dari aransemen kelembagaan, karena kelautan
adalah multi sektor dan multi displin. Hal ini sebagaimana yang disarankan Nichols dan
Monahan (2003), bahwa dalam menunjang mekanisme kerja kebijakan kelautan dan
tatakelola kelautan, maka diperlukan aransemen kelembagaan (institutional arrangement).
Pemikiran-pemikiran tersebut selanjutnya dituangkan dalam kebijakan-kebijakan
yakni KEBIJAKAN KELAUTAN (OCEAN POLICY) yang dijabarkan dalam kebijakan
EKONOMI KELAUTAN (OCEAN ECONOMIC POLICY) dan KEBIJAKAN
TATAKELOLA KELAUTAN (OCEAN GOVERNANCE POLICY), KEBIJAKAN
LINGKUNGAN LAUT (OCEAN ENVIRONMENT POLICY), KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN BUDAYA BAHARI (MARITIME CULTURE POLICY) dan
4

KEBIJAKAN KEAMANAN MARITIM (MARITIME SECURITY POLICY)


sehingga ke lima pilar tersebut dirumuskan menjadi KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
KELAUTAN NASIONAL (NATIONAL OCEAN DEVELOPMENT POLICY /
NODEP). Kebijakan tersebut merupakan acuan pembangunan kelautan baik jangka
pendek, menengah maupun panjang dalam kerangka besar mengukir masa depan bangsa
(Reframing the future). Dengan demikian, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
kelautan serta fungsi laut dapat dilaksanakan secara holistik mensinergikan semua sektor
yang berkaitan dengan pembangunan nasional. Hal ini dikarenakan, pada dasarnya satu
sektor dan sektor lainnya baik yang memanfaatkan sumberdaya daratan, laut dan udara
akan saling melengkapi dan mendukung sehingga menghasilkan pemanfaatan pada tingkat
optimal dari sumber kekayaan nasional dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional
demi kesejahteraan bangsa Indonesia.

3.

Posisi Strategis Wilayah Indonesia


Secara geo-politik dan geo-strategis, Indonesia terletak diantara dua benua, Asia
dan Australia dan dua samudera, Hindia dan Pasifik yang merupakan kawasan paling
dinamis dalam percaturan dunia baik secara ekonomi dan politik. Posisi strategis tersebut
menempatkan Indonesia memiliki keunggulan sekaligus ketergantungan yang tinggi
terhadap bidang kelautan, dan sangat logis jika ekonomi kelautan dijadikan tumpuan bagi
pembangunan ekonomi nasional.
Dalam menjaga wilayah kedaulatan dan kepentingan sebagai negara kepulauan,
Indonesia harus mampu menyelesaikan batas wilayahnya dengan 10 negara tetangga
(Tabel 1) , yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua
Nugini, Australia, dan Timor Leste. Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut
(UNCLOS 1982), terdapat empat batas maritim yang harus diperjanjikan, yaitu: Pertama,

laut teritorial (territorial sea), adalah wilayah kedaulatan suatu negara yang didasarkan
atas hukum internasional, yang lebar lautnya tidak boleh melebihi 12 mil laut.
Kedua, zona ekonomi eksklusif (economic exclusive zone), adalah wilayah
berdaulat yang tidak boleh melebihi 200 mil laut, diukur dari garis pangkal yang sama
yang dipakai untuk mengukur lebar laut teritorial. Pada wilayah ini, suatu negara
mempunyai hak-hak berdaulat dan yurisdiksi khusus untuk memandaatkan kekayaan alam
yang berada pada jalur tersebut, termasuk pada dasar laut dan tanah dibawahnya.
Ketiga, landas kontinen (continental shelf). Menurut Summer, teori dari landas
kontinen didasarkan kepada suatu fakta sosiologis bahwa disepanjang sebagian besar
pantai, tanahnya menurun ke dalam laut, sampai akhirnya di suatu tempat tanah tersebut
jatuh curam ke dalam laut. Hal ini sesuai Pasal 76 UNCLOS 1982, landas kontinen suatu
negara pantai adalah dasar laut dan tanah dibawahnya yang merupakan kelanjutan daratan
wilayahnya sampai jarak 200 mil laut dari garis dasar dan dalam hal tertentu dapat sampai
350 mil laut, tergantung jarak tepian kontinennya.
Keempat, zona tambahan (contiguous zone), adalah zona maritim yang
berdampingan dengan laut teritorial dan merupakan area tambahan (Pasal 33 UNCLOS
1982). Zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil laut dari garis pangkal yang sama untuk
lebar laut teritorial. Pada zona tambahan memiliki kekuasaan terbatas untuk penegakkan
hukum bea cukai, keimigrasian, fiskal, dan saniter.
Selain penyelesaian batas maritim, ke depan, Indonesia harus mampu melakukan
eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam laut di luar wilayah yurisdiksi Indonesia,
seperti klaim terhadap landas kontinen sejauh 350 mil di wilayah Samudera Hindia dan
kawasan dasar samudera. Dalam konteks ekonomi yang lain, Indonesia harus mampu
memanfaatkan selat strategis seperti Selat Malaka dan 3 Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI) sebagai sumber pendapatan negara dan rakyat, melalui pengembangan berbagai
6

aktivitas ekonomi.. Dalam pengembangan negara maritim, Indonesia harus memiliki visi
outward looking didasarkan pada peraturan internasional yang dimungkinkan untuk
mendapatkan sumberdaya alam laut secara global maupun mengembangkan kekuatan
armada laut nasional untuk dapat menguasai pelayaran internasional dengan menciptakan
daya saing sehingga kapal-kapal berbendera Indonesia menguasai pelayaran internasional
dan memiliki kekuatan laut (sea power) yang unggul.
Pengembangan pelabuhan-pelabuhan Indonesia yang kompetitif, efisien dan maju
disegenap wilayah Indonesia yang mampu mendorong terbangunnya aktivitas ekonomi di
seluruh kepulauan maupun jalur ALKI sehingga manfaat peningkatan perdangangan dunia
dapat dimanfaatkan bagi pertumbuhan kemakmuran disegenap penjuru nusantara.
Berkembangnya aktivitas ekonomi berbasis sumberdaya kelautan dan fungsi laut harus
dilakukan secara terpadu dalam matra darat, laut dan udara.
Posisi Indonesia secara geo-poilitik dan geo-strategis tersebut harus didukung
dengan berdaulat terhadap wilayah NKRI secara nyata dilapangan sehingga batas-batas
wilayah dengan negara tetangga secara nyata dikuasai oleh Indonesia melalui penguasaan
yang efektif dan sea power yang unggul.

Keadaan tersebut juga harus diperkuat

kemampuan mempertahankan dari segenap ancaman baik dari dalam maupun dari luar
NKRI melalui kemampuan maritime security yang disegani secara global. Posisi strategis
wilayah tersebut selanjutnya dapat memberikan keunggulan Indonesia secara geo-ekonomi
melalui kemampuan mengelola dan memanfaatkan secara berkelanjutan sehingga
menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Namun demikian
penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan yang dilakukan secara terpadu antara kawasan
darat dan laut dalam wilayah NKRI serta kemampuan memanfaatkan aktivitas global yakni
pelayaran dan perdagangan global maupun eksploitasi sumberdaya yang dimungkinkan
berdasarkan peraturan internasional (e.g. wilayah 200-350 mil laut, artik, antartitika) perlu
7

disiapkan dengan seksama demi keberlanjutan bangsa dan negara Indonesia dimasa yang
akan datang.
Tabel 1. Status Batas Maritim Indonesia dengan Negara-negara Tetangga
No

Negara Pihak

Laut Teritorial

Status Batas Maritim


Zona
ZEE
Tambahan

India

Thailand

Malaysia

UU No. 2/1971 1)

4
5
6
7

Singapura
Vietnam
Filipina
Palau

UU No. 7/1973 2)

Papua Nugini

UU No. 6/1973

Australia

10
Timor Leste
Jumlah Batas Maritim Antar
Negara yang telah
3
0
Dirafifikasi / Diperjanjikan
Jumlah Batas Maritim Antar
Negara yang Belum
1
3
Diperjanjikan
Sumber: Dekin (2009)
Tidak perlu dilakukan perjanjian batas maritim
Belum dilakukan perjanjian batas maritim

Keppres No.
21/1982
Perth, 16-02-1997
(belum
diratifikasi)
-

Landas Kontinen
Keppres No.51/1974
Keppres No.26/1977
Keppres No.21/1972
Keppres No.1/1977
Keppres No.24/1978
Keppres No.89/1969
Keppres No.20/1972
UU No. 18/2007
UU No. 6 /1973
Canberra, 18/1971
Jakarta, 9-10-1972
-

Keterangan:
1)
Batas laut teritorial yang diperjanjikan baru mencakup segmen Selat Malaka bagian Tengah Timur dan
Selatan, segmen Selat Singapura bagian Timur belum diperjanjikan
2)
Batas Laut Wilayah di Selat Singapura diratifikasi dengan UU No 7/1973 (baru sebagian). Masih
diperlukan penetapan batas di segmen dan Timur dan akan menjadi trilateral dengan Malaysia

Geo-strategis Indonesia diperkuat dengan geo-politik, geofisik, geoekosistem,


geoideologi, geoekonomi serta keunggulan kewilayahan yang dimiliki maupun wilayah
laut lainnya yang dapat dikuasai sesuai hukum nasional maupun internasional yang
berlaku, harus menjadi kekuatan bangsa Indonesia menjamin tercapainya keberlangsungan
kehidupan, kemajuan, kemandirian dan kemakmurkan bangsa, negara dan rakyat
Indonesia. Dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
8

Jangka Panjang Nasional (UU RPJPN) disebutkan bahwa pembangunan adalah untuk
mewujudkan INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL, melalui Mewujudkan
Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan
kepentingan nasional. Visi dan misi tersebut dilaksanakan dengan menumbuhkan
wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah agar pembangunan Indonesia berorientasi
kelautan; meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia yang berwawasan kelautan melalui
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; mengelola wilayah laut nasional untuk
mempertahankan kedaulatan dan kemakmuran; dan membangun ekonomi kelautan secara
terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan.
Dengan demikian wilayah yang dikuasai dan dijaga kedaulatannya dapat untuk memajukan
bangsa dan mampu menjamin kemakmuran antar generasi (intergerational welfare) bangsa
Indonesia.

3. Ocean Policy
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, dalam rangka mencapai impian sebagai
Negara Maritim yang makmur, maka diperlukan sebuah ocean policy yang berperan
memayungi bidang kelautan yang sifatnya lintas sektoral dan institusi serta terintegrasi
dengan daratan. Ocean policy adalah kebijakan-kebijakan dalam mendayagunakan
sumberdaya dan fungsi laut secara bijaksana guna mencapai kesejahteraan
masyarakat. Dengan kata lain, ocean policy merupakan paradigma baru yang mendorong
agar bidang kelautan sebagai arus utama (mainstream) dalam pembangunan ekonomi.
Dengan demikian, ocean policy secara integral dan komprehensif dapat menjadi payung
politik bagi semua institusi negara dan masyarakat yang menunjang pembangunan bidang
kelautan dan pembangunan nasional serta implementasinya dijabarkan dalam Kebijakan
Pembangunan Kelautan Nasional (National Ocean Development Policy).

Berdasarkan hal tersebut, secara ekonomi-politik bidang kelautan harus menjadi


arus utama dalam kebijakan pembangunan ekonomi nasional, sehingga secara ekonomi
bidang kelautan harus dapat memakmurkan rakyat. Sedangkan, secara politik semangat
menjadikan bidang kelautan sebagai basis ekonomi nasional harus didukung oleh visi dan
konsensus bersama semua pengambil kebijakan di negeri ini baik pada tataran eksekutif
(termasuk militer dan polisi), legislatif, yudikatif serta segenap komponen bangsa.
Dalam rangka mengembangkan ocean policy maka diperlukan persyaratan yang
harus dipenuhi yaitu: Pertama, kebijakan tersebut harus memiliki instrumen yang efektif
untuk menjalankannya (policy tools dll), dan instrumen tersebut sebaiknya: (i) dapat
diaplikasikan (applicability) secara leluasa dan universal serta dapat ditegakkan secara
hukum (enforceability); (ii) mempunyai kewenangan administratif dan pengelolaan yang
jelas. Kedua, kebijakan tersebut dapat memberikan dampak terhadap perekonomian
domestik maupun global. ketiga, kebijakan tersebut harus efisien dan efektif atau cost
effective secara ekonomi serta adil (fairness), sehingga mampu mendorong pertumbuhan
dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Keempat, kebijakan harus mampu mendorong
kemandirian rakyat dan berlandaskan nilai luhur agama dan moralitas.
Dengan demikian, keberadaan ocean policy akan memberikan sebuah payung dan
guide line bagi semua stakeholders dalam pembangunan nasional. Pembangunan bidang
kelautan menjadi sangat penting bagi keberlanjutan bangsa dan negara sehingga bidang
kelautan merupakan pilar utama pembangunan ekonomi yang memiliki keterpaduan
dengan bidang lainnya yang berbasiskan aktivitas ekonomi daratan yang mampu
memakmurkan bangsa dalam sebuah negara kepulauan.
Sedangkan dalam konteks internasional, ocean policy dipahami sebagai langkah
antisipatif terhadap perubahan akibat adanya globalisasi dunia. Hal ini telah diingatkan
oleh Friedheim (2000) bahwa dampak dari perubahan politik dunia sejak tahun 1980an
10

yang ditandai oleh globalisasi dimana terjadi perubahan cepat dalam bidang transportasi,
komunikasi, interdependensi ekonomi, peningkatan jumlah penduduk, meningkatnya
tekanan terhadap sumberdaya alam dan biodiversitas spesies dunia serta berakhirnya
perang dingin (dimana terjadi perlombaan senjata: kimia, biologi dan nuklir) dan pada
akhirnya memunculkan suatu kesadaran akan pentingnya lingkungan di seluruh
masyarakat dunia.
Kusumastanto (2003) menyatakan bahwa karakteristik laut berbeda dengan darat,
keberlanjutan (sustainability)

pembangunan kelautan ditentukan oleh kelestarian

sumberdaya pulih (renewable resources) sehingga perlu adanya ambang batas (threshold)
aktivitas pembangunan ekonomi sektor lainnya pada tingkat yang tidak membahayakan
kelestarian sumberdaya pulih. Dengan demikian keberhasilan pengelolaan pembangunan
kelautan (ocean development management) memerlukan keterpaduan perencanaan dan
implementasi pembangunan yang kuat agar tidak mengulang kesalahan pengelolaan
pembangunan di darat.
Secara global seharusnya semua negara di dunia mampu mengembangkan suatu
pola pemanfaatan yang berkelanjutan dan mempelajari bagaimana mengimplementasikan
prinsip pengelolaan kelautan (ocean management) yang lestari karena laut setiap negara
saling berhubungan (interconnected). Dalam melaksanakan hal tersebut diperlukan
kalkulasi biaya politik dan ekonomi atau memahami bagaimana caranya memperoleh
manfaat ekonomi secara yang berkelanjutan dan konsisten dengan prinsip pengelolaan
kelautan yang lestari.
Sekalipun pemikiran ini nampaknya lebih sustainable management minded tetapi
substansinya adalah bahwa ocean policy penting bagi negara-negara yang masuk kategori
wilayah kepulauan atau yang memiliki kepentingan terhadap wilayah laut sangat tinggi dan
masa depannya ditentukan oleh keberlanjutan pengelolaan laut, seperti halnya negara11

negara yang menguasai dunia sebelum abad ke 19 karena memiliki ocean policy yang kuat
sehingga menjadi negara maritim yang kuat.
Sedangkan secara mikro adalah bagaimana ocean policy tersebut diwujudkan
dalam pengambilan kebijakan-kebijakan yang kongkrit dan terfokus untuk pembangunan
kelautan yang bersifat integral. Kebijakan yang penting saat ini untuk direalisasikan adalah
bagaimana kelautan dapat mengentaskan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi dan
memperbaiki kehidupan rakyat kecil yang terhimpit di berbagai kawasan nusantara yakni
kebijakan pengembangan investasi bidang kelautan yang mencakup tujuh sektor yakni
perikanan, pariwata bahari, pertambangan laut, industri maritim, transportasi laut,
bangunan kelautan, dan jasa kelautan lainnya. Dengan demikian, ocean policy dapat
dijabarkan oleh pemerintah pusat dan daerah sebagai pembangunan yang berpihak kepada
rakyat serta kelautan dapat menjadi basis pembangunan ekonomi melalui adanya
keterpaduan antara aktivitas ekonomi kelautan dan daratan sehingga Indonesia menjadi
negara kepulauan yang makmur dan sejahtera.

4. Arah Strategi Pembangunan Negara Maritim


4.1. Pembangunan Ekonomi
Kusumastanto

(2006)

mengemukakan

mengedepankan pembangunan ekonomi yang

bahwa

konsep

ekonomi

kelautan

mendayagunakan sumberdaya kelautan

(ocean based resource) dan fungsi laut secara bijaksana sebagai pendorong pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia dengan didukung oleh pilar-pilar
ekonomi berbasis daratan (land based economy) yang tangguh dan mampu bersaing dalam
kancah kompetisi global antar bangsa.

Kusumastanto (1997), Kusumastanto et al (2000)

dan Kusumastanto (2006) mengelompokkan aktivitas ekonomi di pesisir, laut dan lautan
sebagai ekonomi kelautan (ocean economy)

yang terdiri dari 7 (tujuh) sektor yakni


12

perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri kelautan/maritim,


transportasi laut, bangunan kelautan dan jasa kelautan. Batasan secara spasial
ekonomi kelautan adalah ke darat adalah wilayah kabupaten/kota pesisir dan ke arah laut
adalah wilayah laut sampai ZEE Indonesia serta Landas Kontinen Indonesia.

4.2. Potensi dan Keragaan Ekonomi Bidang Kelautan Indonesia


Keanekaragaman sumberdaya di bidang kelautan terlihat dari jenis potensi yang
dimiliki yakni Pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources)
seperti sumberdaya perikanan beserta ekosistem laut dengan megabiodiversitasnya. Kedua,
sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable) seperti sumberdaya minyak,
gas, dan berbagai jenis mineral lainnya. Ketiga, selain dua jenis sumberdaya tersebut, juga
terdapat berbagai macam fungsi dan jasa kelautan yang dapat dikembangkan untuk
pembangunan nasional seperti transportasi laut, pariwisata bahari, energi terbarukan
(pasang surut, OTEC dll), industri kelautan/maritim, dan jasa lingkungan laut. Potensi
ekonomi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dalam pembangunan nasional.
Pengembangan perekonomian Indonesia belum memanfaatkan potensi kelautan
sengan sungguh-sungguh yang ditunjukkan belum optimumnya perhatian terhadap
ekonomi kelautan Indonesia. Potensi kekayaan pesisir dan laut belum menjadi basis
ekonomi bagi pembangunan nasional. Hal ini dapat dilihat dari masih relatif tidak
berkembangnya kontribusi ekonomi bidang kelautan dalam GDP nasional. Dibandingkan
nilai ekonomi kelautan Jepang, Korea Selatan, Cina, mampu menyumbang hingga 48,4%
bagi PDB nasionalnya, sedangkan ekonomi kelautan Vietnam bahkan memberikan
kontribusi sebesar 57,63% dari total GDP pada tahun 2007 maka nampak ekonomi
kelautan Indonesia kurang berkembang walaupun potensi yang dimilikinya lebih besar.
Kontribusi ekonomi bidang kelautan dinegara-negara Eropa, juga menunjukkan
perkembangan, bahkan ada yang mencapai hampir 60% PDB. Proporsi ini bisa dikatakan
13

besar jika dilihat panjang pantai dan kekayaan laut mereka memang relatif kecil jika
dibandingkan Indonesia.
Bila dilihat dari kontribusi bidang kelautan terhadap Produk Domestik Bruto
dibandingkan bidang lainnya sudah menunjukkan peran yang cukup besar namun kurang
berkembang. Berdasarkan perhitungan dengan berbagai keterbatasan data yang tersedia,
sejak tahun 1995-2005 kontribusi ekonomi bidang kelautan diperkirakan berkisar pada
20,06 % pada tahun 2000 hingga

22,42% dari total PDB pada tahun 2005, sektor

pertambangan (minyak, gas dan mineral) memberikan kontribusi terbesar diikuti industri
maritim. Perkembangan kontribusi bidang kelautan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
sebagai berikut:
Tabel 2. Perkembangan Kontribusi ekonomi Bidang Kelautan Indonesia (1995-2005)
No.

Bidang Kelautan

Persentase
ersentase ( %) Produk Domestik Bruto
1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

1.

Perikanan

1,54

1,51

1,99

2,45

2,31

2,29

2,43

2,56

2,59

2,66

2,79

2.

Pertambangan

4,16

4,01

3,85

4,65

7,23

10,02

9,29

9,32

9,36

9,38

9,13

3.

Industri Maritim

2,74

2,87

3,97

4,48

3,38

3,32

3,80

3,81

3,85

4,68

3,77

-Pengilangan Minyak Bumi

1,05

1,03

1,58

1,40

1.20

1,22

2,09

2,00

2,01

2,05

2,10

-LNG

0,99

1,11

1,49

1,88

1,08

1,03

1,20
1,20

1,11

1,13

1,12

1,14

-Industri maritim lainnya

0,70

0,73

0,90

1,20

1,10

1,07

0,51

0,70
0,70

0,71

0,51

0,53

4.

Transportasi Laut

0,83

0,86

1,08

1,55

1,51

1,58

0,74

1,39

1,67

1,49

1,48

5.

Pariwisata Bahari

0,79

0,73

0,86

2,21

1,53

1,44

1,47

1,56

1,52

1,51

1,52

6.

Bangunan Kelautan

0,74

0,65

1,08

1,50

1,22

1,08

0,96

0,96

0,50
0,50

0,77

1,01

7.

Jasa Kelautan Lainnya.


Jumlah PDB Bidang Kelautan

0,97

0,78

1,56

1,19

1,15

1,10

1,46

1,20
1,20

1,28

1,34

1,32

12,37

11,41

14,39

18,13

18,6

20,06

20,15

20,71

20,77

20,83

22,42

Sumber: Kusumastanto (1997, 2000, 2003), PKSPL-IPB (2007)

Sektor-sektor yang ada dalam bidang ekonomi kelautan ini memiliki nilai ICOR
(Incremental Capital Output Ratio) yang baik. ICOR merupakan indikator untuk mengukur
sejauh mana efisiensi dari suatu investasi dimana semakin rendah angka ICOR
menunjukkan investasi yang dilakukan semakin efisien. Berdasarkan perhitungan Tabel

14

Input-Output 2005, bahwa nilai ICOR terendah terdapat pada sektor wisata bahari dengan
nilai indeks ICOR sebesar 3,01. Hal ini menunjukkan bahwa sektor wisata bahari
merupakan bidang yang paling efisien dalam penanaman investasi jika dibandingkan
dengan bidang lain. Dalam hal efesiensi penyerapan tenaga kerja dapat digunakan adalah
ILOR (Incremental Labour Output Ratio). Semakin besar nilai ILOR, maka penyerapan
tenaga kerjanya akan semakin tinggi. Perhitungan pada tahun 2005 menunjukkan koefisien
ILOR terbesar adalah sektor perikanan yaitu sebesar 14,02. Ini berarti sektor perikanan
adalah sektor yang memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi. Oleh karena itu,
pengembangan sektor ini akan mampu menjadi sebuah solusi bagi pengurangan angka
pengangguran terutama masyarakat di pesisir. Nilai ICOR dan ILOR ke tujuh sektor dalam
bidang kelautan tersebut disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Nilai ICOR dan ILOR Bidang Kelautan berdasarkan Tabel I-O tahun 2005
No.
1.

Bidang Kelautan
Transportasi Laut

Nilai ICOR
3,65

Nilai ILOR
12,11

2.

Industri Maritim

3,39

11,16

3.

Perikanan

3,30
3,30

14,02

4.

Energi dan Sumberdaya Mineral

3,82

10,14

5.

Wisata Bahari

3,01

13,09

6.

Bangunan Kelautan

4,03

11,82

7.

Jasa Kelautan Lainnya

3,34

13,20

Sumber: PKSPL-IPB (2007)

Berdasarkan UU No. 17/2007 tentang RPJN Tahun 2005-2025, bangsa Indonesia


harus mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya kelautan yang terdiri dari transportasi
laut, perikanan, pariwisata, pertambangan, industri maritim, bangunan kelautan, dan jasa
kelautan menjadi tantangan yang perlu dipersiapkan agar dapat menjadi tumpuan masa
depan bangsa. Tujuh sektor dalam bidang kelautan yakni dua sektor sangat erat dengan
sumberdaya pulih (renewable resources) yang menentukan keberlanjutan pembangunan di
15

laut dan sektor lainnya tersebut perlu ditingkatkan agar dapat mendukung pertumbuhan
ekonomi nasional. Keragaan masing-masing sektor tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sektor Perikanan
Produksi perikanan Indonesia menunjukkan kecenderungan (trend) positif di mana
pada tahun 2013 bernilai Rp 291.799.10 milyar dan menyumbang sekitar 2,75% dari total
PDB (BPS, 2014). Namun demikian, jumlah ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan
negara-negara produsen perikanan lainnya seperti China (17 juta ton/tahun) dan Peru (10,7
juta ton/tahun). Produksi perikanan ini hampir sama dengan negara-negara yang luas
lautnya jauh lebih kecil dari Indonesia seperti Jepang (5 juta ton/tahun) dan Chile (4,3 juta
ton/tahun). Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya produksi adalah terjadinya
kerusakan ekosistem pesisir dan laut serta maraknya illegal fishing di Perairan laut
Indonesia.
b. Sektor Wisata Bahari
Indonesia memiliki potensi wisata bahari yang besar, selain potensi yang didukung
oleh kekayaan alam yang indah dan keanekaragaman flora dan fauna maupun
kamajemukan budaya yang menarik wisatawan. Pembangunan wisata bahari dapat
dilaksanakan melalui pemanfaatan obyek dan daya tarik wisata secara optimal. Berbagai
obyek dan daya tarik wisata yang dapat dimanfaatkan adalah wisata alam (pantai),
keragaman flora dan fauna (biodiversity), seperti taman laut wisata alam (ecotourism),
wisata bisnis, wisata budaya, maupun wisata olah raga. Misalnya kawasan terumbu karang
di seluruh perairan Indonesia luasnya mencapai 7.500 km2 dan umumnya terdapat di
wilayah taman nasional laut. Selain itu juga didukung oleh 263 jenis ikan hias di sekitar
terumbu karang tersebut. Potensi wisata bahari tersebut tersebar di sekitar 241 daerah
Kabupaten/Kota.

16

Statistik kedatangan wisatawan mancanegara ke Indonesia menunjukkan terjadinya


peningkatan dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Kunjungan wisatawan mancanegara
pada tahun 2009 merupakan kunjungan tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir yaitu
mencapai 6.323.730 kunjungan atau naik 1,43%. Penerimaan devisa negara dari sektor
pariwisata sejumlah US$ 6.292,3 juta atau mengalami peningkatan sebesar 20,19%
(Depbudpar, 2009).
c. Sektor Transportasi Laut
Jumlah kunjungan kapal di seluruh pelabuhan mengalami fluktuasi, meskipun
secara umum mengalami trend positif. Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir (1995-2008)
di beberapa pelabuhan strategis telah mengalami peningkatan jumlah kunjungan kapal
lebih dari 45%. Tidak hanya itu, penambahan jumlah gross ton kapal juga mengalami
peningkatan lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran kapal yang berlayar di
perairan Indonesia semakin bertambah besar dan nilai perdagangan melalui jasa
perhubungan laut semakin meningkat. Berdasarkan Kantor Administrasi Pelabuhan
Indonesia, jumlah kunjungan kapal diseluruh pelabuhan di Indonesia pada tahun 2008
mencapai 729.564 unit dengan jumlah total ukuran kapal sebesar 822.968.000 GT
(Dephub, 2008).
d. Sektor Industri Maritim
Industri maritim adalah salah satu sektor dalam bidang kelautan yang dapat menjadi
sumberdaya ekonomi potensial sebagai penyumbang penerimaan devisa negara. Kegiatan
ekonomi industri maritim ini diantaranya adalah yang mencakup industri pengilangan
minyak bumi dan LNG serta industri yang menunjang kegiatan ekonomi di pesisir dan laut,
yaitu industri galangan kapal, mesin kapal dan jasa perbaikannya (docking).
Industri maritim nasional yang cukup potensial untuk dikembangkan adalah
industri galangan kapal. Industri ini telah berkembang dan terbagi dalam tiga kategori
17

industri, yaitu: (i) industri pembangunan kapal, (ii) industri mesin, spare parts, dan
komponen yang diperlukan dalam konstruksi kelautan, serta (iii) industri pemeliharaan dan
perbaikan kapal. Dalam masa dua dekade terakhir, ratusan hingga ribuan kapal telah
dibangun oleh galangan kapal nasional yang meliputi kapal niaga, kapal untuk tujuan
tertentu, kapal ikan, dan kapal perang, industri ini juga memerlukan dukungan industri
mesin kapal dan sebagainya. Dalam konteks pemeliharaan, galangan kapal Indonesia
belum mampu melakukan perbaikan kapal dengan ukuran lebih besar dari 20.000 DWT,
karena ukuran docking domestik sangat terbatas.
e. Sektor Pertambangan (Energi dan Sumberdaya Mineral)
Menurut BPPT, dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia,
sekitar 70% atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekunguan itu 10 cekungan
telah diteliti secara intensif, 11 cekungan baru diteliti sebagian, sedangkan 25 cekungan
belum terjamah. Diperkirakan ke 40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 miliar
barel setara minyak, namun baru 16,7 miliar barel yang diketahui pasti, sebanyak 7,5 miliar
barel diantaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89.5 miliar barel berupa
kekayaan belum terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3
miliar barel terkandung di lepas pantai, yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 miliar
terdapat di laut dalam. Cadangan minyak bumi di daerah pesisir di Indonesia sampai
dengan tahun 2007 telah mencapai 3,99 milliar barel dan yang potensial mencapai 4,41
milliar barrel. Cadangan gas bumi di daerah pesisir secara terbukti telah mencapai 106
TKK dan potensinya mencapai 59 TKK (DESDM, 2007). Selain potensi tersebut berbagai
potensi mineral seperti timah, mangan, bauksit, bijih besi, fosfor dan energi terbarukan
yang tersedia di wilayah pesisir dan laut Indonesia namun belum dimanfaatkan secara
optimal. Potensi tersebut dapat dikembangkan apabila investasi dan keberpihakan
kebijakan terhadap kelautan dapat ditingkatkan.
18

f. Sektor Bangunan Kelautan


Sektor bangunan kelautan merupakan potensi ekonomi kelautan yang diantaranya
berasal dari kegiatan penyiapan lahan sampai konstruksi bangunan tempat tinggal maupun
bukan tempat tinggal di wilayah pesisir dan laut. Salah satu bangunan kelautan yang
menjadi fokus utama adalah bangunan pelabuhan. Pelabuhan adalah pusat aktivitas
perekonomian barang dan jasa (antar pulau, ekspor maupun ekspor), sehingga
keberadaannya sangat diperlukan dalam pembangunan kelautan. Sistem pelabuhan
Indonesia disusun menjadi sebuah sistem nasional yang terdiri atas sekitar 1.887 pelabuhan
pada tahun 2007. Terdapat 111 pelabuhan, termasuk 25 pelabuhan strategis utama, yang
dianggap sebagai pelabuhan komersial dan dioperasikan oleh empat BUMN yakni PT
Pelabuhan Indonesia I, II, III and IV maupun pelabuhan lainnya. Selain potensi tersebut
aktivitas bangunan kelautan lainnya seperti konstruksi bangunan lepas pantai, pipa dan
kabel bawah laut merupakan peluang ekonomi yang sangat potensial bagi Indonesia.
g. Sektor Jasa Kelautan
Jasa kelautan merupakan salah satu sektor yang berpotensi menjadi sumber
penerimaan devisa negara melalui beberapa kegiatan yang bersifat menunjang dan
memperlancar kegiatan pengangkutan yang meliputi jasa pelayanan pelabuhan, jasa
pelayanan keselamatan pelayaran dan kegiatan yang memanfaatkan kelautan sebagai jasa
seperti perdagangan, pendidikan, pelatihan, penelitian dan lain-lain. Lebih rinci lagi potensi
ekonomi dari sektor jasa kelautan dapat berupa aktifitas ekonomi yang meliputi jasa
perdagangan, penelitian, arkeologi laut dan benda muatan kapal tenggelam, jasa
pengelolaan kabel dan pipa di dasar laut serta jasa-jasa lingkungan meliputi
keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, pengolahan limbah secara alamiah, keindahan
alam, dan udara bersih merupakan penopang kehidupan manusia.

19

Di bidang pengembangan sumberdaya manusia khususnya dalam bentuk


pendidikan dan pelatihan guna menghasilkan tenaga yang terampil dalam melaksanakan
pembangunan pembangunan kelautan di dalam maupun luar negeri, diantaranya dalam
rangka mengisi peluang kebutuhan tenaga kepelautan (seafarer) yang dibutuhkan oleh
dunia. Selain itu, keamanan dan keselamatan pelayaran merupakan sektor ekonomi yang
potensial disamping peran TNI AL dalam menjaga kedaulatan NKRI.

4.3 Tatakelola Kelautan (Ocean Governance)


Pembangunan kelautan nasional saat ini masih masih berjalan sendiri-sendiri.
Semua institusi negara yang berkepentingan dengan laut membuat kebijakan lebih bersifat
sektoral. Belum ada suatu mekanisme atau aransemen kelembagaan yang mampu
mensinergikan dan memadukan kebijakan pembangunan kelautan. Dewan Kelautan
Indonesia (DEKIN) seharusnya dapat mengembangkan perannya dalam koordinasi
pembangunan kelautan atau dibentuk Kementerian Koordinator Kelautan. Ketidak
terpaduan kebijakan pembangunan tersebut berdampak pada penanganan suatu program
dalam pembangunan kelautan acapkali menimbulkan konflik kepentingan ketimbang solusi
integral, hal tersebut menunjukan tidak adanya koordinasi pembangunan yang baik di
bidang kelautan. Dari berbagai pengalaman pembangunan selama ini, nampak jelas bahwa
pembangunan kelautan memang membutuhkan mekanisme koordinasi dan aransemen
kelembagaan yang mampu memadukan semua kepentingan institusi negara yang terlibat.
Peran institusi negara di laut disajikan secara ringkas pada Lampiran 1 yang menampilkan
peran masing-masing institusi negara yang berkaitan dengan pembangunan kelautan.
Lampiran 1 menunjukkan bahwa tanggung jawab/kewenangan pembangunan
kelautan melibatkan berbagai pihak. Dengan mempertimbangkan aspek keterkaitan maka
pembangunan kelautan tersebut tidak dapat hanya dilakukan oleh sebuah institusi negara
yang kewenangannya terbatas atau derajat institusionalnya sejajar dengan lembaga negara
20

yang lainnya. Dengan demikian, agar bidang kelautan menjadi sebuah bidang unggulan
dalam perekonomian nasional, maka diperlukan suatu kebijakan pembangunan yang
bersifat terkordinasi dan terintegrasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan.
Guna mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan sebuah tatakelola kelembagaan kelautan
(ocean governance).
Kooiman et.al (2005) mendefinisikan tatakelola (governance) sebagai keseluruhan
interaksi antara sektor publik dan sektor privat untuk memecahkan persoalan publik
(societal problems) dan menciptakan kesempatan sosial (social opportunities). Dalam
konteks kelautan, tata kelola dapat didefinisikan sebagai sejumlah kebijakan dalam bidang
hukum, sosial, ekonomi, dan politik yang digunakan untuk mengatur dan mengelola
kelautan dalam rangka mencapai kesejahteraan bangsa. Tatakelola memiliki dimensi
internasional, nasional dan lokal dan termasuk aturan-aturan yang mengikat secara hukum.
Dengan demikian, pendekataan kelembagaan (institutional arrangement) diharapkan
mampu mewujudkan Kebijakan Pembangunan Kelautan Nasional (National Ocean
Development Policy) yang terintegrasi dan holistik.
Institutional

arrangement

mencakup

dua

dominan

dalam

suatu

sistem

ketatanegaraan yakni eksekutif, legislative dan yudikatif. Dalam konteks itu, maka
kebijakan kelautan

pada akhirnya menjadi kebijakan negara yang nantinya menjadi

tanggung jawab bersama pada semua level institusi eksekutif, legislatif dan yudikatif yang
mempunyai keterkaitan kelembagaan maupun sektor pembangunan. Sementara pada level
legislatif adalah bagaimana lembaga ini mampu menciptakan instrumen kelembagaan
(peraturan perundang-undangan) pada level pusat maupun daerah untuk mendukung
kebijakan pembangunan kelautan (Kusumastanto, 2003, 2010). Secara skematis model alur
kebijakan pembangunan kelautan yang dimaksud dijelaskan pada Gambar 1.

21

Keterangan :
Alur Kebijakan

Pola interaksi

Implikasi

Gambar 1. Aransemen Kelembagaan dalam Tata kelola Kelautan


Berdasarkan Gambar 1, maka perumusan kebijakan pembangunan kelautan akan
melingkupi tiga tingkatan, yaitu: (1) tingkatan politis (kebijakan), (2) tingkatan
organisasi/implementasi (institusi, aturan main), dan (3) tingkatan implementasi (evaluasi,
umpan balik). Aplikasi atau simplifikasi model hierarkis ini dalam konteks kebijakan
pembangunan kelautan dijelaskan sebagai berikut. Pada tingkat politis terdapat lembaga
tinggi negara dan atau lembaga legislatif, sedangkan pada tingkat organisasi ditempati oleh
lembaga-lembaga kementerian dan non-kementerian yang memiliki wilayah yang sama
dengan bidang kelautan. Dengan demikian pada, level ini terdapat hubungan antara
lembaga pemerintah (intergovernmental organization, IGO) yang bersifat koordinatif, dan
saling mendukung. Sedangkan, pada tingkat implementasi terdapat masyarakat, perbankan,

22

nelayan dan petani ikan, kalangan pengusaha dan sebagainya yang berperan dalam
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang kelautan.
Selain penataan kelembagaan diatas, diperlukan penataan hukum yang terkait di
bidang kelautan. Penataan tersebut bukan hanya menata undang-undang yang sudah ada,
melainkan juga menambahkan undang-undang yang belum ada namun diperlukan sehingga
mampu mewujudkan arsitektur bangunan hukum kelautan yang ideal (Gambar 2).
Dalam arsitektur bangunan hukum setidaknya terdapat lima elemen, yaitu:
Pertama, elemen pondasi, yaitu unsur hukum yang menjaga keutuhan dan kedaulatan
NKRI yang dalam bagian ini terdapat 5 undang-undang, yaitu UU No. 1/1973 tentang
Landas Kontinen, UU No. 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, UU No.
17/1985 tentang Pengesahan UNCLOS, UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia, dan
UU No. 43/2008 tentang Wilayah Negara.

Gambar 2. Arsitektur Hukum di Bidang Kelautan yang Ideal


(dimodifikasi dari Kusumastanto, et al, 2008)

Kedua, elemen pilar, yaitu unsur hukum yang menopang keutuhan dan kedaulatan
NKRI serta terjaganya dari pelanggaran hukum yang dalam bagian ini terdapat 11 undang23

undang, yaitu UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, UU No. 9/1992 tentang Keimigrasian, UU No. 16/1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan dan Tumbuhan, UU No. 5/1994 tentang Pengesahan Konvensi
Keanekaragaman Hayati, UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI, UU No. 3/2004
tentang Pertahanan Negara, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.
33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, UU No. 17/2006 jo UU No.
10/1995 tentang Kepabeanan, dan UU No. 23/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Ketiga, elemen plafon, yaitu unsur hukum yang mengatur pemanfaatan
sumberdaya ekonomi di wilayah laut yang pada bagian ini terdapat 10 undang-undang,
yaitu UU No. 5/1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No. 22/2001
tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No.
26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil, UU No. 30/2007 tentang Energi, UU No. 17/2008 tentang
Pelayaran, UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 10/2009
tentang Kepariwisataan, UU No. 45/2009 jo. 31/2004 tentang Perikanan.
Keempat, elemen atap, yaitu unsur hukum yang menjadi payung hukum dalam
membangun Indonesia sebagai negara kepulauan, yaitu Undang-undang Kelautan. Dengan
demikian, arsitektur hukum di bidang kelautan perlu undang-undang yang menjadi payung
hukum yaitu UU Kelautan.
Selain itu, eksekutif dan legislatif juga harus segera menyusun tiga undang-undang
pada bagian pondasi, yaitu UU Perairan Pedalaman, UU Zona Tambahan, dan UU Landas
Kontinen. Khusus untuk Landas Kontinen Indonesia, meski sudah diatur dalam UU No. 1
Tahun 1973, namun undang-undang tersebut masih mengacu kepada Konvensi Jenewa
24

Tahun 1958 yang berdasarkan pada kedalaman laut secara vertikal. Sementara aturan
UNCLOS 1982, selain berdasarkan vertikal juga berdasarkan horizontal.

5. Penutup
Kelautan adalah tumpuan masa depan Indonesia yang harus dikembangkan secara
lestari dan mampu mensejahterakan segenap komponen bangsa di tanah airnya sendiri
serta sebagai unsur utama dalam membangun Indonesia sebagai Negara Maritim.
Pembangunan kelautan memerlukan suatu perencanaan yang terkoordinasi, komprehensif
dan berpihak terhadap kepentingan masyarakat serta lingkungan. Oleh karenanya
keterpaduan tujuan pembangunan antar stakeholders serta antar sektor dalam bidang
kelautan harus dapat dituangkan melalui kebijakan dan strategi pembangunan nasional
yang dapat diimplementasikan.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan suatu kebijakan pembangunan kelautan
nasional (National Ocean Development Policy) yang integral dan komprehensif dalam satu
kesatuan strategi pembangunan nasional. Kebijakan tersebut diharapkan menjadi payung
politik bagi semua institusi negara, swasta dan masyarakat yang mendukung transformasi
Indonesia menjadi Negara Maritim yang maju, adil, mandiri berbasiskan kepentingan
nasional.

Pengembangan formulasi kebijakan tersebut terdiri dari pilar utama yakni

Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) dengan pilar pendukung penting yakni Kebijakan
Ekonomi Kelautan (Ocean Economic Policy) yang mampu mendorong pertumbuhan dan
pemerataan ekonomi nasional serta Kebijakan Tatakelola Kelautan (Ocean Governance
Policy) yang jujur, bersih, dan berwibawa yang diperkuat dengan Kebijakan Lingkungan
Laut (Ocean Environmental Policy), Kebijakan Budaya Bahari (Maritime Culture Policy),
dan didukung Kebijakan Keamanan Maritim (Maritime Security Policy) yang kuat.
Dengan demikian kelautan sebagai arus utama dalam pembangunan Negara Maritim, maka
25

pendekatan kebijakan yang dilakukan harus dilaksanakan secara terpadu antar sektor
ekonomi dalam lingkup bidang kelautan maupun sektor ekonomi berbasis daratan bagi
kemakmuran bangsa dan negara Indonesia.

Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik [BPS]. 2010. Statistik Indonesia 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik
Republik Indonesia
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral [DESDM]. 2007. Publikasi Media.
http://dtwh2.esdm.go.id/dw2007/.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata [Depbudpar]. 2009. Buku Saku Statistik
Kunjungan Wisatawan Mancanegara 2009. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata Republik Indonesia.
Departemen Perhubungan [Dephub]. 2008. Buku Informasi Transportasi Departemen
Perhubungan. Jakarta: Departemen Perhubungan Republik Indonesia.
Djamin, A. 2001. Ir. H. Djuanda: Negarawan, Administrator dan Teknokrat. Jakarta.
Kompas.
Friedheim, R.L. 2000. Ocean Governance at the Millenium: where we have been whwrw
we should go. Ocean & Coastal Management 2000:42 (9); 747-65.
Kooiman J., M. Bavinck, S. Jentoft and R. Pullin. (Eds.). 2005. Fish for Life: Interactive
Governance for Fisheries. Amsterdam University Press.
Muhjidin, A.M. 1993. Status Hukum Perairan Kepulauan Indoesia dan hak Lintas Kapal
Asing. Bandung: Alumni.
Nichols, S, D. Monahan and Shuterland. 2003. Good Governance of Canadas Offshore
and Coastal Zone: Towards an Understanding of the Maritime Boundary Issues.
Kusumastanto, T. 1997. Rencana Aksi Pembangunan Kelautan Nasional. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir Lautan-Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), Bogor
Kusumastanto, T. et al. 2000. Kajian Kontribusi Ekonomi Sektor Kelautan dalam
Pembangunan Nasional. Jakarta: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB
dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI.
Kusumastanto, T. 2002. Reposisi Ocean Policy dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Orasi Ilmiah Guru Besar, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut
Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), Bogor.
_______________ 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi
Daerah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
______________. 2006. Ekonomi Kelautan (Ocean Economics Oceanomics). PKSPLIPB.Bogor
Kusumastanto, T. et.al. 2008. Perencanaan Pengembangan Hukum Nasional Tentang
Kelautan. Badan Pembinaan Hukum Nasional, RI. Jakarta
26

Kusumastanto, T. et al. 2010. Kebijakan Kelautan Indonesia (Indonesia Ocean Policy).


Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN). Jakarta.
Kusumastanto, T. 2010. Kebijakan Tatakelola Kelautan Indonesia (Indonesia Ocean
Governance Policy). PKSPL-IPB. Bogor.
Kusumastanto, T. 2011. Kebijakan Kelautan Nasional. Seminar Kelautan Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Kusumastanto, T. et. Al. 2011. Kebijakan Ekonomi Kelautan Indonesia. Dewan Kelautan
Indonesia (DEKIN). Jakarta.
Kusumastanto. T. et al. Kebijakan Tata Kelola Kelautan Indonesia. Dewan Kelautan
Indonesia (DEKIN). Jakarta.
Kusumastanto, T. 2012. Pembangunan Pulau-pulau Kecil Terluar Dalam Kerangka
Ketahanan dan Keberlanjutan Bangsa. Round Table Discussion LEMHANAS.
Jakarta.
Kusumastanto, T. 2013. Pengembangan Ekonomi Maritim: Tantangan Perekonomian
Indonesia. Program Studi Pascasarjana Port, Shipping and Logistics Manajemen,
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan [PKSPL-IPB]. 2007. Kajian Kontribusi
Bidang Kelautan. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik
Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian
Bogor.
World Resource Institute [WRI]. 2001. Coastal Ecosystem: Pilot Analysis of Global
Ecosystems. Washington DC.

27

Lampiran 1. Institusi Institusi Negara yang Berkaitan dengan Bidang Kelautan


No
1.

Institusi Negara
Kementerian
Kelautan dan
Perikanan

Dasar Hukum
UU No. 31/2004
tentang Perikanan jo
UU No. 45/2009
UU No. 27/2007
tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil

2.

Kementerian
Dalam Negeri

UU No. 32/2004
tentang Pemerintahan
Daerah

3.

Kementerian Luar
Negeri

UU No. 24/2000
tentang Perjanjian
Internasional

4.

Kementerian
Pertahanan

UU. No.3 Tahun 2002


tentang Pertahanan
Negara

5.

Kementerian
Perhubungan

UU No. 17/2008
tentang Pelayaran

Transportasi Laut
Kepelabuhanan
Syahbandar
SDM Kepelautan

6.

Kementerian
Energi dan
Sumberdaya
Mineral

No. 22/2001 Tentang


Minyak dan Gas
Bumi
No. 30/2007 Tentang
Energi
No. 4/2009 Tentang
Pertambangan
Mineral dan Batubara
UU. No. 17/2006 tentang
Kepabeanan

7.

Kementerian
Keuangan

Tupoksi
Perikanan tangkap
Perikanan budidaya
(laut dan darat)
Aransemen
kelembagaan perikanan
(hukum-hukum
perikanan nasional)
Pengelolaan pesisir dan
pulau-pulau kecil
Implementasi otonomi
daerah di wilayah laut
Penataan aransemen
kelembagaan otda di
daerah
Penataan ulang masalah
perbatasan daerah di
wilayah laut
Wilayah perbatasan
NKRI
Ratifikasi hukumhukum laut
internasional
Jalur pelayaran
internasional
Perbatasan dengan
negara tetangga
Kebijakan pertahanan di
wilayah laut

Batasan Wilayah
Perairan Pedalaman
Perairan Kepulauan
Laut Teritorial
ZEEI
Laut Lepas

Kabupaten/Kota
yang memiliki
wilayah laut
Provinsi yang
memiliki wilayah
laut

Perairan Pedalaman
Perairan Kepulauan
Laut teritorial
Zona Tambahan
ZEEI
Landas Kontinen
Laut Lepas
Kawasan Samudera

Pertambangan Minyak
dan Gas lepas pantai
Pertambangan Mineral
dan golongan C di
pantai dan lepas pantai

Perairan Pedalaman
Perairan Kepulauan
Laut teritorial
Zona Tambahan
ZEEI
Landas Kontinen
Perairan Pedalaman
Perairan Kepulauan
Laut teritorial
Zona Tambahan
Laut Lepas
Perairan
Internasional
Perairan Pedalaman
Perairan Kepulauan
Laut teritorial
Landas Kontinen
Laut Lepas
Kawasan Samudera

Perumusan kebijakan
pembiayaan pembangunan
kelautan dan politik
anggraran

Perairan Pedalaman
Perairan Kepulauan
Laut teritorial
Zona Tambahan
ZEEI

28

8.

Kementerian
Pendidikan dan
Kebudayaan

UU No. 5/1992 Tentang


Benda Cagar Budaya

Pengelolaan barang muatan


kapal tenggelam dan situs
maritim

9.

Kementerian
Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif

UU No. 10/2009 Tentang


Kepariwisataan

Wisata Bahari (diving,


snorkeling, atraksi laut,
surfing, dll)

10.

Kementerian
Perencanaan
Pembangunan/Ba
dan Perencanaan
Pembangunan
Nasional

UU No. 17/2007 tentang


Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional

Perencanaan pembangunan
nasional lintas sektoral,
maupun institusi negara

11.

Kementrian
Lingkungan
Hidup

UU No. 32 Tahun 2009


Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup

UU. No. 18/2002 tentang


Sistem Nasional
Penelitian,
Pengembangan, dan
Penerapan Ilmu dan
Teknologi

12.

Kementerian
Negara Riset dan
Teknologi

AMDAL Kelautan,
pesisir dan pulau-pulau
kecil
Perumusan kebijakan
pengelolaan lingkungan
pesisir, laut dan pulau
kecil
Penelitian dan kajiankajian sumberdaya
kelautan
Kajian pengembangan
teknologi dan
bioteknologi kelautan

13.

Kepolisian
Negara RI

UU No. 2/2002 tentang


Kepolisian Negara
Republik Indonesia

Perencanaan pembangunan
nasional lintas sektoral,
maupun institusi negara

14.

TNI AL

UU. No. 34/2004 tentang


Tentara Nasional
Indonesia

Pengamanan wilayah
laut dan wilayah
perbatasan NKRI
Patrol dan Penegakkan
hukum di laut

Landas Kontinen
Laut Lepas
Kawasan Samudera
Perairan
Internasional
Perairan Pedalaman
Perairan Kepulauan
Laut teritorial
Zona Tambahan
ZEEI
Landas Kontinen
Laut Lepas
Kawasan Samudera
Perairan Pedalaman
Perairan Kepulauan
Laut teritorial
Zona Tambahan
ZEEI
Landas Kontinen
Perairan Pedalaman
Perairan Kepulauan
Laut teritorial
Zona Tambahan
ZEEI
Landas Kontinen
Laut Lepas
Kawasan Samudera
Perairan Pedalaman
Perairan Kepulauan
Laut teritorial
Zona Tambahan
ZEEI
Landas Kontinen
Laut Lepas
Kawasan Samudera
Perairan Pedalaman
Perairan Kepulauan
Laut teritorial
Zona Tambahan
ZEEI
Landas Kontinen
Laut Lepas
Kawasan Samudera
Perairan Pedalaman
Perairan Kepulauan
Laut territorial
Perairan Pedalaman
Perairan Kepulauan
Laut teritorial
Zona Tambahan
ZEEI
Landas Kontinen

29

Laut Lepas
Kawasan Samudera

Sumber : dimodifikasi dari Kusumastanto (2003)

30

You might also like